• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Historis Keterlibatan Militer Dalam Politik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Historis Keterlibatan Militer Dalam Politik Indonesia"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LEMBAR PENGESAHAN

KAJIAN HISTORIS KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

Nama : Dedi Vonika

Nim : 070906002

Departemen : Ilmu Politik

Ketua Departemen

(Dra.T.Irmayani,M.Si)

NIP. 19680630 199403 2 001

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(Drs. Heri Kusmanto, MA, PhD) (Husnul Isa Harahap, S.Sos,

M.Si)

NIP. 19641006 199803 1 002 NIP. 19821231 201012 1 001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(Prof. Badaruddin, M. Si)

(3)

 

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat yang telah diberikan hingga detik ini, sehingga skripsi yang berjudul “Kajian Historis Keterlibatan Militer Dalam Politik Indonesia ” ini bisa terselesaikan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang wajib dilaksanakan untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang sangat mendalam penulis ucapkan kepada Orang tua, Tante dan terutama kepada Almarhumah nenek tercinta atas segala do’a dan dukungan tanpa akhir yang penulis dapatkan sampai akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih. Dan untuk saat ini mungkin hanya terima kasihlah yang mampu penulis ungkapkan sebagai bentuk rasa syukur atas betapa beruntungnya penulis memiliki orang tua yang sangat luar biasa.

Penyelesaian penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari berbagai bantuan yang datang dari berbagai pihak, baik berupa masukan, motivasi maupun pengorbanan waktu. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Badaruddin selaku Dekan FISIP USU.

2. Ibu Dra. T. Irmayani M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Politik.

3. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA, PhD, selaku dosen pembimbing beserta Abang

Husnul Isa Harahap, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembaca. Terima kasih untuk semua bimbingan, masukan, motivasi dan kesediaan waktunya selama pengerjaan skripsi ini.

4. Jajaran staf administrasi yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu dalam proses pembuatan skripsi ini

5. Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan, terima kasih atas motivasi dan

dukungannya.

6. Saudara-saudara tercinta yang telah banyak memberikan dorongan, semangat,

kasih sayang dan bantuan baik secara moril maupun materiil demi lancarnya penyusunan skripsi ini.

7. Nenek, Tante dan orang tua atas jasa-jasanya, kesabaran, do’a, dan tidak pernah

lelah dalam mendidik dan memberi cinta yang tulus dan ikhlas kepada penulis semenjak kecil.

(5)

 

9. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karenanya, diharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini untuk ke depannya.

Medan, 23 April 2014

Penulis

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

DEDI VONIKA (070906002)

KAJIAN HISTORIS KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah: 1). Mendeskripsikan sejarah terbentuknya militer beserta kelembagaannya, 2). Mendeskripsikan keterlibatan militer dalam politik Indonesia, 3). Menganalisis sejarah awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan 1). peran dan format politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, 2). Semenjak demokrasi terpimpin golongan militer telah mulai masuk ke dalam sistem politik Indonesia, 3). Kekuasaan militer menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru.

(7)

  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

DEDI VONIKA (070906030)

HISTORICAL REVIEW OF MILITARY INVOLVEMENT IN INDONESIAN POLITICS

ABSTRACT

The purpose of the study was: 1). Describing the history of the military establishment and institutions, 2). Describing the military involvement in Indonesian politics, 3). Analyzing the early history of military involvement in Indonesian politics.

This study is a descriptive qualitative research, purpose of the study was to determine how the early history of military involvement in Indonesian politics.

The results showed 1). political role of the army and the format is actualized through the effort to uphold and defend the independence 2). Since the guided democracy begun the military has entered into Indonesian politics. 3). Military power becomes greater after “supersemar” and reached its peak during the “orde baru” regim.

(8)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Batasan Masalah ... 6

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Mamfaat Penelitian ... 7

1.6. Kerangka Teori ... 7

1.6.1. Batasan Militer ... 8

1.6.2 Orientasi militer ... 9

1.6.3 Batasan Sipil ... 14

1.6.4 Pola hubungan Sipil Militer ... 14

1.6.5 Kekuasaan ... 17

1.7. Metode penelitian... 19

1.7.1 Jenis penelitian ... 19

1.7.2 Teknik pengumpulan data ... 19

1.8. Sistematika penulisan ... 19

(9)

 

2.1. Sejarah lahirnya TNI ... 21

2.1.1. Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) ... 21

2.1.2. Pembela Tanah Air (PETA) ... 24

2.1.3.Laskar Rakyat ... 28

2.2. Pembentukan tentara nasional ... 32

2.2.1.Badan Keamanan Rakyat (BKR) ... 33

2.2.2. Dari BKR ke TKR ... 43

2.2.3. TKR menjadi TRI ... 44

2.3. Tugas dan wewenang TNI ... 47

BAB III SEJARAH KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA 3.1. Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) ... 49

3.1.1. Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS 1950) ... 50

3.1.2. Pengaruh UUDS 1950 terhadap kedudukan militer dalam politik Indonesia ... 55

3.1.3. Kabinet-kabinet pada masa demokrasi liberal ... 59

3.2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ... 69

3. 2.1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan kedudukan militer dalam politik ... 72

3.3. Politik “Jalan Tengah” Nasution ... 76

3. 4. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) ... 77

(10)

3. 4.2. NASAKOM dan keterlibatan PKI (Partai Komunis Indonesia) ... 81

3. 4.3. Peristiwa G 30S/PKI ... 84

3. 4.4. Kedudukan Militer pada masa Demokrasi Terpimpin ... 86

3. 5. Surat Perintah 11 Maret 1966 dan berakhirnya Demokrasi terpimpin ... 86

3.5.1. Surat Perintah 11 Maret 1966 sebagai legitimasi keterlibatan militer dalam politik Indonesia ... 90

BAB IV PENUTUP 4. 1. Kesimpulan ... 92

4. 2. Saran ... 97

(11)

  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

DEDI VONIKA (070906002)

KAJIAN HISTORIS KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah: 1). Mendeskripsikan sejarah terbentuknya militer beserta kelembagaannya, 2). Mendeskripsikan keterlibatan militer dalam politik Indonesia, 3). Menganalisis sejarah awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan 1). peran dan format politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, 2). Semenjak demokrasi terpimpin golongan militer telah mulai masuk ke dalam sistem politik Indonesia, 3). Kekuasaan militer menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru.

(12)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

DEDI VONIKA (070906030)

HISTORICAL REVIEW OF MILITARY INVOLVEMENT IN INDONESIAN POLITICS

ABSTRACT

The purpose of the study was: 1). Describing the history of the military establishment and institutions, 2). Describing the military involvement in Indonesian politics, 3). Analyzing the early history of military involvement in Indonesian politics.

This study is a descriptive qualitative research, purpose of the study was to determine how the early history of military involvement in Indonesian politics.

The results showed 1). political role of the army and the format is actualized through the effort to uphold and defend the independence 2). Since the guided democracy begun the military has entered into Indonesian politics. 3). Military power becomes greater after “supersemar” and reached its peak during the “orde baru” regim.

(13)

  BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Pembentukan angkatan bersenjata di sebuah negara ditujukan untuk melindungi dan

mempertahankan kedaulatan negara tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat beberapa

perluasan peran yang melekat pada angkatan bersenjata. Perluasan ini sangat terkait dengan

ideografis dan perkembangan suatu negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh

militer dengan multi fungsinya dalam pemerintahan lebih disebabkan sejarah perjuangan

bangsa dan negara yang bersangkutan.

Di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia Kerterlibatan militer dalam politik

sudah menjadi sebuah gejala umum. disamping melakukan fungsi pertahanan, militer juga

melakukan fungsi sosial politik, Keterlibatan militer dalam fungsi sosial politik berkaitan

dengan kenyataan bahwa negara-negara dunia ketiga umumnya baru mendapatkan

kemerdekaan atau dalam upaya membina diri sehingga belum memiliki sistem politik yang

stabil dan pemerintahan yang mantap. Disamping itu, pencapaian kemerdekaan yang

dilakukan dengan kekerasan senjata dalam melawan penjajah melibatkan unsur militer

didalamnya. Dengan demikian, akibat belum stabilnya pemerintahan dan adanya andil militer

dalam mencapai kemerdekaan, memungkinkan militer untuk masuk dalam wilayah politik,

yang sesungguhnya bukan wilayah militer tetapi wilayah sipil. 1

Namun fenomena campur tangan militer dalam politik ini tidak terjadi di

negara-negara yang secara politik, ekonomi, dan sosial yang telah maju dibandingkan dengan

negara-negara berkembang. Di negara-negara maju, militer berada dibawah supremasi sipil.

       1 

(14)

Sistem plitik yang telah mapan, pendapatan perkapita yang cukup tinggi, tingkat

industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang sangat

tinggi, telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer.

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil-militer

yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh

terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju

mundurnya suatu negara. Militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi

anggaran yang dibutuhkan untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka

mengatasi ancaman yang akan timbul. Begitu juga sipil membutuhkan militer sebagai

perlindungan terhadap keamanan. Dalam konteks Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan,

konstelasi politik dan maraknya peraturan politik tidak terlepas dari pengaruh keterlibatan

kelompok militer.2

Di Indonesia Keterlibatan militer dalam politik sedikit berbeda dengan negara-negara

berkembang lainnya, dimana militer Indonesia tidak masuk kedunia politik melalui perebutan

kekuasaan atau kudeta militer seperti yang lazim terjadi dinegara-negara amerika latin dan

beberapa negara Asia, namun keterlibatan militer kedalam dunia politik sangat terkait dengan

sejarah terbentuknya militer itu sendiri, pada awalnya militer Indonesia tidak terbentuk secara

instan, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan

penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perannya dalam mendapatkan kemerdekaan ini

membuat militer melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan

tetapi juga terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Penggalan sejarah

kemerdekaan ini kemudian menjadikan militer tidak hanya sebagai instrumen pertahanan

      

2

(15)

 

bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi juga menjadi bagian penting dalam

pengambilan keputusan politik Indonesia.3

Namun selain dari itu, alasan lain yang menguatkan dwifungsi ABRI diantaranya

adalah: pertama, argumentasi historis bahwa ABRI lahir dari rakyat, besar bersama rakyat

dan berjuang bersama rakyat. mereka dibentuk tidak dalam kontrol pemerintah, ABRI

terbentuk dari para pemuda yang berjuang untuk rakyat dan melakukan koordinasi sesuai

dengan tujuan bersama, yaitu menyingkirkan penjajah. Kedua, yang dikemukakan untuk

membenarkan dwifungsi ABRI adalah mengenai kegagalan pemerintahan sipil dalam

mengemudikan roda pemerintahan Negara.

Ketiga, mengenai paham Negara integralistik atau Negara kekeluargaan yang

menjelaskan bahwa setiap Negara adalah miniatur dari sebuah keluarga inti dimana setiap

anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Maka, mustahil memisahkan

kedudukan ayah-ibu dan anak. Sehingga antara sipil dan militer hidup berdampingan tanpa

perbedaan. Jika ada persinggungan antar keduanya merupakan hal yang sangat wajar.

alasan lain yang menyebabkan ABRI ingin berperan di arena politik yakni alasan

ekonomi. Menurut Coen Husain Pontoh inilah alasan utama dwifungsi ABRI dalam politik,

penguasan ekonomi. Terutama motivasi tersebut dapat membantu dalam pendanaan operasi

militer. Jadi dari alasan tersebut bisa dikatakan logis ketika militer dijadikan sebagian dari

rakyat, namun permasalahannya tidak terlepas dari militer sendiri bahwa mereka sangat anti

demokrasi sehingga dalam bergaul dengan masyarakat sipil sifatnya sangat kaku. Dalam

arena politik, konsep demokrasi yang mengedepankan kepentingan umum dan

mengedepankan hak asasi manusia tidak terdapat dalam pendidikan militer.4

       3

Soebijono, Dwifungsi ABRI:Perkembangan dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Gadjah Mada University Press,1992), Hlm .7.

4 

(16)

Pada awalnya militer di Indonesia lahir dan berkembangan sebagai militer yang

revolusioner dengan konsep ABRI manunggal dengan rakyat, hal ini ditujukan bahwa doktrin

Dwifungsi ABRI dapat setara dengan ideologi yang harus disadari oleh baik kalangan sipil

maupun militer. Berdasarkan kelahiran doktrin itulah dua fungsi militer dalam sistem politik

Indonesia dilaksanakan. Berdasarkan tataran empiris, konsepsi doktrin itu telah mengalami

pergeseran terutama pada tingkat operasional. Dwifungsi yang tadinya menyangkut tugas

pembelaan negara berubah menjadi multifungsi militer dalam orientasinya terhadap struktur

dan fungsi sistem politik Indonesia.

Periode Rezim pemerintahan Orde Lama merupakan fondasi bagi perjuangan militer

dalam panggung pertahanan dan politik. Pada periode awalnya ketika sistem pemerintahan

parlementer mereka termarginalkan oleh elit pemerintahan sipil begitu pula dengan kepala

negara, Soekarno. Akibatnya pada akhir periode ini terjadi pergeseran dari marginalisasi

militer dalam politik memasuki era baru yaitu berkuasanya militer dalam sistem politik

Indonesia. Penguatan kepentingan ini terjadi dengan tumbangnya politisi sipil terutama

kehidupan partai politik dan keterpurukan ekonomi. Disamping itu juga bergesernya aliansi

kepentingan presiden dengan parpol terutama PKI ke arah aliansi dengan militer terutama

setelah jatuhnya PKI akibat Kudetanya yang gagal.

Periode ke dua adalah ketika rezim pemerintahan Orde Baru muncul pada tahun 1966.

Periode inilah yang menjadi periode keemasan multifungsi ABRI dengan doktrin Dwifungsi

ABRI tersebut. Hampir semua kelembagaan trias politica terkendali dan diduduki oleh

militer. Peran aliansi diantara presiden Soeharto dengan militer sangat mendominasi sistem

politik Indonesia ini selama kurun waktu 32 tahun.

Kehadiran Orde Baru ditopang eksistensi kalangan militer Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ABRI), khususnya Angkatan Darat (AD) dengan tokoh utamanya

(17)

 

Soekarno telah memberikan mandat pemulihan keamanan, yang dikenal dengan Supersemar

(Surat Perintah 11 Maret). Desain politik Orde Baru merupakan desain politik yang

didalamnya memberikan peluang amat dominan bagi militer untuk intervensi ke segala sektor

kehidupan, terutama sektor birokrasi dan politik. Militer masuk ke wilayah politik praktis

secara terang-terangan lewat Golongan Karya (Golkar). sejarah Golkar dimulai dengan

penugasan anggota-anggota ABRI, khususnya Angkatan Darat dalam lembaga pemerintahan

dan lembaga perwakilan.5

Pada masa Orde baru Dwifungsi hadir dalam dua wajah yaitu Dwifungsi teritorial dan

struktural. Dwifungsi teritorial terwujud dalam bentuk struktur birokrasi sipil dan militer

yang hirarkis dan pararel dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan sampai

kelurahan/ desa. Mendagri adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab

kepada presiden. Pararel dengan hirarki birokrasi sipil adalah hirarki militer dari

Dephankam/Mabes TNI, Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. Menhankam dan

Panglima TNI adalah pengendali utama hirarkhi militer yang bertanggungjawab pada

presiden. Militer juga terlibat dalam pengendalian pemerintahan di tingkat kabupaten dengan

tampil dalam Muspida yang terdiri dari Bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan Kepala

Pengadilan. Di kecamatan juga ada Muspika yang memberi ruang bagi Danramil dan

Kapolsek untuk ikut mengontrol pemerintah dan rakyat.

Dwifungsi skruktural hadir dalam bentuk kekaryaan TNI/Polri atau keterlibatan

mereka dalam jabatan sipil. Hampir semua jabatan sipil yang strategis dimasuki militer baikdi

wilayah eksekutif (dari gubernur sampai dengan lurah/ kepala desa) maupun legislatif (MPR,

DPR sampai DPRD II). Sebagai contoh dari Dwi Fungsi ABRI adalah pada jabatan Wakil

Gubernur Timor-timur adalah Kolonel Infantri Suryo Prabowo, Bupati covalima Kolonel

Infantri Herman Sediono. Dalam birokrasi sipil terdapat pula Ditjen Depdagri, Ditsospol dan

       5 

(18)

Kantor Sospol sebagai aparat intelejen sipil dan aparat ideologis untuk melakukan

indoktrinasi kepada masyarakat dan regulasi terhadap aktivitas politik dan sosial. Dwifungsi

ABRI tidak hanya merambah bidang politik dan kemasyarakatan, tapi juga sampai bidang

ekonomi. Salah satu bentuk konkretnya berupa "premanisme". Dwifungsi menjadi ancaman

serius bagi demokratisasi keamanan dan bahkan stabilitas sosial-politik. Kerangka analisis ini

bertolak belakang dengan ideologisasi Dwifungsi ABRI yang justru mengandaikan ABRI

sebagai stabilisator dan dinamisator. Meski pada masa Orde Baru stabilitas nasional relatif

mapan, tapi bersifat semu karena diikuti dengan matinya demokrasi, merajalelanya

kekerasan, dan kuatnya supremasi militer, sementara elemen-elemen sipil dalam posisi

lemah.6

I.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang

akan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini adalah: “Bagaimana sejarah awal militer

Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam politik Indonesia”.

I.3. Batasan masalah

Mengingat dalam suatu penelitian perlu adanya eksplorasi khusus agar penelitian

yang dilakukan tidak mengambang dari materi, maka perlu adanya pembatasan masalah

dalam penelitian. untuk itu peneliti akan membatasi masalah penelitiannya pada masa

Demokrasi liberal dan Demokrasi terpimpin dari tahun 1950 sampai tahun 1966, karena masa

ini merupakan tonggak sejarah penting keterlibatan militer dalam dunia politik, mulai dari

masa demokrasi terpimpin (1950-1959), dimana pada masa ini militer memainkan

peranannya dalam memadamkan gerakan-gerakan separatisme lokal sampai keluarnya

doktrin dwifungsi ABRI pada tahun 1958 dan pada masa demokrasi liberal (1959-1966)

       6 

(19)

 

terjadi gerakan 30/S PKI dan keluarnya Supersemar dan lahirnya rezim Orde baru yang

merupakan masa keemasan militer dalam kancah dunia politik.

I.4. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ialah pernyataan mengenai apa yang hendak kita capai7.

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah:

1. Mendeskripsikan sejarah terbentuknya militer beserta kelembagaannya.

2. Mendeskripsikan keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

3. Menganalisis sejarah awal militer Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk

terlibat dalam politik Indonesia.

I.5. Manfaat penelitian

1. Bagi masyarakat/praktisi, penelitian diharapkan mampu menambah pengetahuan

ataupun informasi tentang bagaimana sejarah awal militer Indonesia bisa

mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam politik Indonesia.

2. Bagi Ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan

kajian dan sumbangan pemikiran terutama tentang keterlibatan militer dalam

politik Indonesia

3. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berfikir serta kemampuan

penulis untuk menulis karya ilmiah dan juga dapat menambah pengetahuan

penulis mengenai masalah yang diteliti.

I.6. Kerangka teori

Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, kontruksi, defenisi, dan proposisi untuk

menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan

antar konsep. Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan diteliti biasanya bertolak       

7 

(20)

dari teori-teori yang sudah ada, kemudian penelitian sebaiknya dilakukan tahap demi tahap

secara ilmiah agar nantinya dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang ilmiah. Salah satu

unsur yang paling penting peranannya dalam observasi adalah menyusun kerangka teori.

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori

sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti akan menyoroti

masalah yang telah di pilih8. Kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

I.6.1 Batasan Militer

Militer dapat diartikan sebagai kelompok yang memegang senjata dan merupakan

organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara dari ancaman luar negri

maupun dalam negri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung

tinggi supremasi sipil.

Militer juga dapat didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang diberi wewenang oleh

Negara untuk menggunakan kekuatan termasuk menggunakan senjata, dalam

mempertahankan bangsanya ataupun untuk menyerang Negara lain. Militer biasanya terdiri

atas para prajurit atau serdadu. Kata lain yang sangat erat dengan militer adalah militerisme,

yang artinya kurang lebih perilaku tegas, kaku, agresif dan otoriter, walaupun pelakunya bisa

saja seorang pemimpin sipil. Karena lingkungan tugasnya terutama di medan perang, militer

memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin. Dalam kehidupan militer

dituntut adanya hirarki yang jelas dan para atasan harus mampu bertindak tegas dan berani

karena yang dipimpin adalah pasukan bersenjata.9

       8

 Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1987, hlm.40  9 

(21)

 

Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda

pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Pelmutter membatasi konsep militer hanya

kepada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi

dan orientasi yang bersifat politik tidak memandang kapangkatan, apakah perwira tinggi,

menengah atau pertama10. Kemudian Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa

personal militer, lembaga militer, atau hanya perwira senior.11

Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri seperti Letjen TNI (Purn)

Sayidiman Suryahardiprojo12 mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata

yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara.

Sedangkan Hardito membatasi pihak militer ditekankan pada perwira professional.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatan bahwa pengertian

militer secara universal adalah institusi bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang

pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu

yang menduduki posisi dalam organisasi militer.

I.6.2 Orientasi militer

Tipe-tipe orientasi militer berbeda di setiap negara, tergantung bagaimana pihak

militer dalam pemerintahan, selain itu juga tergantung sistem politik yang dianut negara

tersebut. Setiap negara mempunyai karakteristik sendiri terhadap tipe-tipe orientasi

militernya, menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara

       10 

Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000, hal.25

11

Elliot A. Cohan. “Civil Millitary Relation in Contemporary World”, Dikutip oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh

Internasional dalam Hubungan Sipil Militer, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru

Hubungan Sipil Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999

12 

Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan-Sipil Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah yang disajikan

(22)

modren, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang di

lembagakan, yakni: 13

1. Militer profesional

Militer profesional adalah militer yang memegang teguh fungsi pertahanan-kemanan,

mempunyai keahlian dalam menggunakan senjata, setia pada negara bukan pada pemerintah

atau komandan, punya jiwa korsa yang kuat, dan punya etika militer yang kuat. Etika ini

mementingkan ketertiban, hirarkhi dan pembagian tugas serta pengakuan atas nation-state

sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Negara yang kuat jika ada kekuatan militer yang

kuat, tetapi kekuatan militer ini adalah perangkat negara. Dalam tubuh militer tidak perlu ada

demokrasi, misalnya dalam bentuk perdebatan terbuka antara komandan dan prajurit.

Seorang ilmuan politik Amerika, Samuel P. Huntington berpandangan bahwa

perubahan korps perwira militer dari bentuk “penakluk” (warrior) menjadi kelompok

profesional ditandai dengan bergesernya nilai dari “tentara pencari keuntungan” menjadi

“tentara karena panggilan suci” contohnya pengabdian kepada Negara. Huntington

memberikan elaborasi tentang tumbuhnya profesionalisme militer, menurutnya memiliki tiga

ciri sebagai berikut : 14

1. Keahlian, Suatu kekuatan militer memerlukan pengetahuan yang mendukung

untuk mampu mengorganisir, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya baik

dalam keadaan perang maupun damai.

2. Tanggung jawab sosial yang khusus, Seorang perwira militer disamping memiliki

nilai-nilai moral yang tinggi yang terpisah dari insentif ekonomi juga mempunyai

       13 Amos Perlmutter, Ibid, hal.141 14

(23)

 

tanggung jawab pokok kepada negara. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat itu

seorang perwira seolah-olah “milik pribadi” komandannya dan harus setia

kepadanya. Pada masa profesionalisme seorang perwira berhak mengoreksi

komandannya jika sang komandan bertentangan dengan kepentingan negara

(national interest).

3. Karakter koorporasi (corporate character) yang melahirkan rasa esprit de corps

yang kuat, Berbeda dengan kelompok profesional yang lain, korps perwira militer

merupakan suatu “birokrasi profesional” yang anggota-anggotanya mengabdi

pada birokrasi negara, tapi sebagai suatu satuan dalam birokrasi negara korps

perwira merupakan unit sosial yang otonom, yang memiliki kemandirian dalam

birokrasi, lembaga pendidikan, jurnal, asosiasi, kebiasaan, dan tradisi.

Ketiga ciri tadi melahirkan yang Huntington sebut dengan “The Military Mind” yang

menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Inti The Military Mind adalah suatu ideologi

yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Huntington

menganggap intervensi militer dalam politik sebagai tanda adanya pembusukan politik

(political decay). Bagi Huntington, yang menekankan pembangunan politik melalui lembaga-lembaga politik, intervensi militer paling banyak dapat diterima jika merupakan suatu periode

transisi dalam usaha menciptakan lembaga-lembaga politik yang kuat.

Selain itu Amos Perlmutter mengetengahkan bahwa disamping kondisi-kondisi yang

telah dikemukakan oleh Huntington, ideologi, profesionalisme keterampilan, dan semangat

koorporasi terdapat pula kondisi lain yang ikut mendukug kelanjutan tentara profesional,

kondisi pertama adalah semakin kuatnya negara sekuler, yakni negara yang yang bebas dari

dominasi agama , kelas, dan kasta sehingga rekruitmen perwira militer tidak mengalami

stagnasi karena persaingan primordial. Sehubungan dengan kondisi pertama maka kondisi

(24)

dan keterampilan tanpa disangkut pautkan dengan latar belakang primordialnya. Permutter

melihat bahwa model tentara profesional lebih mungkin dicapai pada negara yang

berkebudayaan homogen dan sekuler ketimbang negara yang majemuk dan tradisional.

2. Militer praetorian

Militer pretorian adalah militer yang lebih suka berpolitik atau menjalankan aktivitas

ekonomi, ketimbang mengurusi pertahanan. Militer aktif yang jadi menteri, parlemen, kepala

daerah, atau menjalankan bisnis adalah militer pretorian, alias militer yang tidak punya etika

profesional. Sebagai contoh, seorang kolonel aktif yang jadi bupati akan mempunyai

tanggungjawab ganda, yang satu ke publik dan yang lain ke jenderal yang lebih tinggi.

Sehingga untuk memberhentikan bupati bermasalah, harus memperoleh izin dari panglima

TNI. Seorang tentara tetap boleh menjadi pejabat politik, tetapi ia harus lepas identitas

militernya sampai di titik nol atau sampai tidak lagi berhubungan dengan komando dan

organisasi militer.

Samuel P. Huntington mengemukakan Militer pretorian yaitu militer melakukan

politisasi di seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya, bahkan akhir dari ujung

politisasi yang dilakukannya menciptakan atau membangun masyarkat praetorianisme,

sehingga lembaga-lembaga politik menjadi tidak efektif baik dalam mensikapi perubahan

ataupun dalam upaya-upaya merumuskan kebijakan serta pada tindakan-tindakan politik.

Pada aspek sistem politik, partai-partai politik yang terdapat tidak memiliki prosedural dan

otoritas dalam pemecahan konflik-konflik, yang biasanya selalu memunculkan pragmentasi

kekuasaan. Pragmentasi ini oleh Huntington dibagi ke dalam tiga jenis pragmentasi rezim

(25)

 

Praetorian yang oligarkis adalah kaum militer bekerja sama dengan pemilik tanah

yang luas dan pemimpin-pemimpin agama, dan di luar mereka hampir-hampir tidak ada

organisasi yang diperbolehkan berkembang. Adapun mengenai pretorian radikal sering lahir

dari pretorian yang oligarkis, pelopornya adalah perwira-perwira reformis dan nasionalistis

yang berasal dari golongan menengah, yang mendambakan modernisasi dan pembangunan

ekonomi. Aliansi kaum militer pretorian radikal dibangun dengan kelompok-kelompok

profesi dan intelektual serta kadang dengan kaum buruh. Pretorian radikal ini yang

melahirkan pemerintahan korporatis. Bentuk ketiga pretorian yang bersifat populis, umumnya

didukung oleh buruh, mahasiswa dan kelompok menengah. Namun dalam bentuk ketiga,

Huntington melihat suatu paradoks dimana kaum militer akan menjadi penjaga yang

konservatif dari rezim populis untuk pada akhirnya menggulingkan dan merebut

kekuasaannya.

3. Militer revolusioner professional

Militer revolusioner professional mempunyai pola intervensi illegal, namun tidak

seperti tentara pretorian yang melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan

kelompok-kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi tentara

revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang illegal yang beroprasi secara

sembunyi, dan dilancarkan untuk mendukung kelompok revolusioner yang sudah ada yang

secara terang-terangan berusaha mengambil alih kekuasaan dengan bantuan dan dukungan

kelembagaan secara besar-besaran.

Tentara revolusioner pretorian bukanlah hasil dari keahlian militer, melainkan

pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Tentara revolusioner tidak mengenal

(26)

bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara revolusi tidak ada

pembatasan jumlah tentaranya.

I.6.3 Batasan Sipil

Istilah sipil dalam bahasa inggris ” civilian” yakni person not sarving with armed

forces (seorang yang berkerja diluar profesi angkatan bersenjata). Cohan mendefenisikan

pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan

negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai masyarakat politik yang diwakili partai

politik. Sayidiman Suryahardiprojo memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua

lapisan masyarakat.15

Dari berbagai pengertian diatas maka dibuat pengertian secara universal bahwa

istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi yang berada diluar organisasi

militer. Dalam kajian pengertian sipil dibatasi pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa

orientasi analisis dalam kajian ini adalah praktek-praktek politik kedua belah pihak dalam

memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan

integrasi diantara masyarakat yang mempunyai tujuan untuk memeperoleh kekuasaan dalam

suatu negara.

I.6.4 Pola hubungan Sipil Militer

Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung.

Secara kultur yang dibangun dalam dunia milter memang menjadikan setiap perwira militer

memiliki keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang

dibangun dalam dunia militer juga memberikan semangat juang yang berbeda dibandingkan

kalangan sipil. Faktor-faktor pendukung itu antara lain adalah networking yang dibangun oleh

       15 

(27)

 

setiap perwira cukup baik. Networking itu dibangun dari berbagai momen seperti latihan

militer bersama, pendidikan militer bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di negara

yang berbeda. Perwira tinggi militer yang memiliki jaringan yang kuat dapat melakukan

koordinasi bahkan bantuan dukungan jaringannya di negara lain. Selain networking, faktor

pendukung lainnya adalah sistem kepemimpinan yang dibangun dalam dunia militer. Setiap

perwira militer sudah dilatih kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai

memimpin satu angkatan secara keseluruhan. Kultur itu membuat pengalaman seorang

perwira militer benar-benar terlatih sejak dini. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang juga

sangat mempengaruhi kualitas seorang perwira militer yang siap memimpin negara antara

lain pendidikan berkualitas yang dididik dengan orang-orang berkualitas bahkan dari

kalangan sipil yang memenuhi kriteria terbaik seperti Guru Besar.

Masuknya militer masuk dalam dunia politik membuat kalangan sipil memikirkan untuk

melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak terjadi kudeta yang bisa mengancam

kekuasaan sipil. Oleh karena itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil yang bisa mengontrol

militer dengan sebaik-baiknya.

Tiga model kontrol sipil (Eric Nordinger, Soldiers in Politics) antara lain:16

1. Model Tradisional

Merupakan model kontrol sipil di negara monarki. Bentuk pemerintahan sipil

tradisional ini sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad

ke-18 di Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga

elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan

pandangannya hampir sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan

       16 

(28)

bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk menentang raja karena

raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan

menentang raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan sosial mereka yang

sangat bergantung kepada raja. Dalam model ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil

dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan statusnya

sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap

sebagai golongan amatir. Model ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika

pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama dibandingkan status dan kekayaan

warisan.

2. Model Liberal

Model Liberal mendasarkan pada diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer.

Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu, militer

diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer

dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan

depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk melakukan

apapun terhadap militer. Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada

beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus menghormati kehormatan

militer, keahlian, dan otonomi, serta harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak

boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi menyusupkan ide-ide politik

bahkan menggunakan militer untuk kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya

memiliki banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten

(29)

 

3. Model Panetrasi

merupakan suatu model kontrol sipil yang melakukan penebaran ide-ide politik

terhadap perwira militer yang masuk dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan

militer adalah satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu negara yang

menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan melalui dua

struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk dalam

partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai

politik sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran

militer. Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi sebatas faksi.

Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis. Apabila model ini diterapkan, ia

akan sangat memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan tertentu,

pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko yang cukup tinggi. Sama seperti

model liberal, dalam model panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok

sipil mengganggu wilayah otonom militer.

I.6.5 Kekuasaan

Kekuasaan dapat diartikan sebagai sebuah kewenangan yang didapatkan oleh

seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan

yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh

ataupun kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau

kelompok lain sesuai dengan keinginan dari. Kekuasaan merupakan kemampuan

memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang

mempengaruhi.

Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan

(30)

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang

kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan

untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi

perintah atau secara tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg

tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah.

Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Kekuasaan adalah gejala

yang selalu ada dalam proses politik, Politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.17

Sedangkan untuk menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat pada

kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa

Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota (polis). Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerap

dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan)

tidak akan terjadi, misalnya, Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa

mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang

melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan

politik.

Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan

untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang

diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentian mobil di jalan tidak berarti

dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu

Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak

sesuai dengan mandat peraturan yang ia jalankan maka dia telah menyalahgunakan

wewenangnya, dan untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi. Sedangkan kekuasaan

politik tidak berdasar dari UU tetapi harus dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku

sehingga bisa tetap menjadi kekuasaan yang konstitusional       

17

(31)

  I.7. Metode penelitian

I.7.1 Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, metode penelitian deskriptif

dapat diartikan sebagai sebuah proses pemecahan suatu permasalahan yang diselidiki dengan

menggambarkan maupun menerangkan keadaan sebuah objek ataupun subjek penelitian

seseorang, lembaga, maupun masyarakat dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak

sebagaimana adanya.18

I.7.2 Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan metode library research atau studi pustaka yaitu dengan cara menghimpun

buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen dari berbagai sumber dan tempat serta

hal-hal lain yang menunjang dan juga melakukan berdiskusi dengan berbagai pihak.

I.8. Sistematika penulisan BAB I: PENDAHULUAN

BAB ini Dibagi atas 7 bagian, antara lain: Latar belakang masalah, Rumusan masalah,

Tujuan dan mamfaat penelitian, Kerangka teori, Metodologi penelitian, dan

Sistematika penulisan.

BAB II : GAMBARAN UMUM MILITER INDONESIA

Bab ini akan menggambarkan secara umum tentang militer Indonesia, mulai dari

sejarah awal berdiri sampai kelembagaannya.

BAB III: SEJARAH KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

       18 

(32)

Pada BAB ini berisikan tentang analisis data yang diperoleh, dimana tujuannya adalah

untuk mengetahui bagaimana awalnya militer Indonesia bisa terlibat dalam politik

Indonesia.

BAB IV: PENUTUP

BAB ini merupakan bagian akhir dari penelitian, adapun isi dari bab ini diantaranya:

kesimpulan dan saran yang berdasarkan atas hasil analisis data yang telah dilakukan

(33)

  BAB II

GAMBARAN UMUM MILITER INDONESIA

II.1 Sejarah lahirnya TNI

Pada awal revolusi, Pemerintah Indonesia tidak membentuk tentara resmi. Elemen

pembentukan BKR, TKR, TRI hingga TNI dibangun dengan tiga unsur utama yang

masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda yakni mantan anggota KNIL, mantan anggota

PETA, dan laskar rakyat. 19.

II.1.1 Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL)

Dalam masa sebelum revolusi, peranan kaum pribumi dalam dinas militer tidaklah

terlalu menonjol, orang-orang indonesia masuk kedalam dinas ketentaraan kolonial tidak

lebih sebagai prajurit atau perwira rendahan, ini dimungkinkan khususnya setelah

Berakhirnya perang Jawa, dimana dengan cara licik perlawanan Pangeran Diponegoro

diakhiri. Perang yang berlangsung dari 1825-1830 tersebut telah membuat Belanda menerima

pelajaran penting, Hindia Belanda harus memiliki pasukan yang menjaga keamanan dan

ketertiban Hindia Belanda. Gubernur Jenderal saat itu, Van Den Bosch segera membentuk

pasukan bernama Oost Indische Leger (Tentara Hindia Timur), Belanda mengontrak

orang mantan serdadu disersi dari eropa seperti Jerman, Belgia, Swiss, Perancis serta

orang-orang Afrika barat (Ghana) untuk dijadikan serdadu yang handal di wilayah jajahan hindia

timur20. Pada tahun 1836, raja Willem I memberikan predikat koninklijk untuk kesatuan

tentara hindia timur ini, namun predikat tersebut tidak pernah digunakan selama satu abad.

Kemudian pada tahun 1933 barulah nama pasukan tersebut diubah menjadi Koninklijk

       19

 Budi Susanto, SJ. ABRI, Siasat Kebudayaan 1945-1995, Yogyakarta, Kanisius, 1995, Hal.15  20 

(34)

Nederlandsche Indische Leger (KNIL) yang beranggotakan serdadu belanda, tentara bayaran dan sewaan dari negara lain serta warga pribumi (Indonesia) yang ditugaskan di wilayah

hindia timur (Indonesia) pada zaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)21. Orang

Indonesia menyebutnya tentara kompeni atau kumpeni. Agar pribumi tidak memiliki

persatuan, maka Belanda membagi KNIL pribumi berdasarkan suku; Suku Jawa, Sunda,

Ambon dan Manado. Selain itu bangsa pribumi juga tidak pernah menempati pangkat

tertinggi, mereka selalu ditempatkan dalam pangkat terendah.

Dalam tubuh KNIL, kehidupan sosial tentara pribumi hidup lebih mirip sebagai

orang belanda ketimbang bangsa pribumi, untuk wilayah jawa rekruitmen prajurit yang

berasal dari wilayah pinggiran kekuasaan mengakibatkan lebih mudahnya para prajurit ini

untuk memilih afiliasi kebudayaan kebelanda ketimbang sebagai pribumi, mareka juga tidak

bisa menyamai status golongan priyayi karena tidak memiliki status askriptif sebagai priyayi.

Persentuhan dengan masyarakat pribumi hampir tidak pernah terjadi karena kehidupan sosial

sehari-harinya hanya berkisar diseputar barak. Dan dalam dinas ketentaraan, pergaulan antara

tentara eropa dan pribumi juga dipisahkan22.

Jumlah tentara pribumi dalam dinas KNIL tidaklah begitu besar. Hal ini bisa dilihat

dalam tabel berikut yang memberikan gambaran keadaan KNIL tahun 1939 beberapa saat

sebelum meletusnya perang dunia ke II.

Tabel 1

Keanggotaan KNIL pada akhir kolonialisme23

       21 

Paul Van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hal 3  22

 Ibid. hal 5  23 

(35)

 

Keterangan Opsir Opsir rendah dan serdadu

Jumlah seluruhnya 3.202 72.943 76.145

Sumber: Djajusman, Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL), Bandung: Angkasa, 1978, hlm. 33.

Jumlah tentara eropa selalu lebih banyak dibandingkan tentara pribumi, minimnya

jumlah pribumi yang berada dalam dinas ketentaraan dapat dijelaskan sebagai berikut, Hanya

2,31% perwira pribumi yang berada di dinas ketentaraan. Di tingkat perwira rendahan dan

serdadu jumlahnya 6,17%, sementara secara keseluruhan jumlah pribumi dalam dinas

ketentaraan Hindia Belanda hanya sekitar 6%. orang pribumi yang masuk dinas kemiliteran

umumnya adalah sekumpulan budak yang peranannya dalam ilmu kemiliteran sangat rendah

atau hampir tidak ada. Perlu diketahui bahwa tentara pribumi yang mengabdi kepada

penguasa pribumi sendiri ternyata sangat sedikit tercatat dalam sejarah. Dalam struktur

(36)

semata-mata berfungsi sebagai tentara, melainkan orang-orang sipil yang bias memegang

jabatan militer sewaktu-waktu bila diperlukan24.

Kedudukan sebagai militer dalam arti tertentu memang dihormati, khususnya oleh

kalangan eropa. Akan tetapi, penghormatan ini sepenuhnya atas keberanian mareka sebagai

prajurit. Sementara secara social, kehadiran mareka ditolak dalam pergaulan masyarakat,

hanya perwira-perwira tinggi yang mendapatkan status social yang cukup tinggi dan

mendapatkan kesempatan untuk kawin dengan sesama golongan eropa25. KNIL saat itu

dianggap rendah oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Mereka disebut Kompeni, sosok

tentara bayaran yang rela mengkhianati bangsa sendiri. Tetapi orang-orang yang terdaftar

sebagai anggota KNIL tak begitu ambil pusing, karena bayaran yang didapat oleh serdadu

KNIL sangat besar artinya bagi mereka. Kelak keanggotaan mereka selama menjadi KNIL

sangat bermanfaat terhadap proses berdirinya TNI. Tokoh-tokoh KNIL yang akhirnya

mengukir sejarah dalam pembentukan TNI adalah A.H Nasution, Oerip Sumoharjo, dan

Alex Kawilarang.

II.1.2 Pembela Tanah Air (PETA)

Kebijakan pemerintahan militer Jepang dalam memobilisasi penduduk pribumi untuk

menunjang kepentingan perangnya telah menciptakan sendi-sendi yang memungkinkan

bangkitnya satu golongan sosial dalam masyarakat, yaitu pemuda. Inilah bagian terbesar dari

masa-rakyat yang paling militan. Pengertian pemuda adalah mareka yang berusia antara

14-19 tahun. Dalam status sosial lokal, usia ini adalah usia yang berada dalam batas ambang,

usia yang belum mandiri(bekerja), dan relatif bebas. Di jawa pada tahun 1940 ada sekitar 5

juta orang pemuda yang sebagian besar dari mereka tidak berpendidikan, hanya 1789 pemuda

       24

 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram,(Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal.112 25 

(37)

 

yang tamat sekolah dengan taraf SLTA dan 637 mahasiswa. Para pemuda inilah yang

menjadi sasaran pemerintah militer jepang untuk kepentingan memenangkan perang. Pemuda

menjadi sebutan yang bermakna ketika itu, sehingga Ben Anderson seorang pengkaji politik

Indonesia mengatakan,…”kata pemuda, yang dulu biasa saja dengan cepat memperoleh

pancaran cahaya yang menakutkan dan kejam, pemuda tiba-tiba menjadi kekuatan

revolusioner pada saat-saat gawat itu”26

Ketika Jepang mulai menduduki wilayah nusantara pada tahun 1942. Jepang

mendirikan Pembela Tanah Air (PETA) Untuk mempertahankan tanah jajahannya. Tentara

Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di

Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada

tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh

Panglima Tentara Ke-16.

Pembentukan PETA berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan

(kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi

permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan

perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang

kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. hal ini merupakan strategi Jepang

untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul

pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. sebagaimana berita

yang dimuat pada koran “Asia Raya” pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan

sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA),

Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U.

Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela

       26 

(38)

bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan adanya

peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh

golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang

berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera

tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan

sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).

Pendirian PETA didasarkan pada maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang

diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Osamu Seirei

No 44, 3 Oktober 1943 berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela

Pulau Jawa dengan status27 :

1. Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli

2. Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang

3. Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun,

langsung dibawah Panglima Tentara Jepang

4. Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang

berkewajiban mempertahankan wilayahnya (syuu)

5. Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu

PETA memperoleh pendidikan dasar infanteri dan indoktrinisasi ala samurai untuk

menanamkan semangat yang tinggi orang-orang Indonesia diangkat menjadi komandan

pleton dan kompi, bahkan jabatan komandan batalyonpun diisi oleh orang-orang Indonesia

dari golongan elit, komandan batalyon diangkat oleh pertama-tama tidak karena kualitas

potensial mareka sebagai pemimpin militer melainkan berdasarkan pertimbangan politik.

       27 

(39)

 

Kebanyakan dari mareka adalah pimpinan politik yang berpengaruh, sehingga pengangkatan

mareka ke posisi militer yang lebih tinggi diharapkan akan mendorong keinginan para

pemuda dari daerah asal mareka untuk menjadi anggota pasukan itu28.

Barangkali yang mendapat latihan hampir sama baiknya dengan PETA adalah

HEIHO, yakni sebuah pasukan pembantu kecil yang dibentuk pada akhir 1942 dan terutama

digunakan untuk tugas-tugas penjagaan, komandan-komandannya seluruhnya terdiri dari

opsir-opsir jepang. Kaum nasionalis dibawah pimpinan soekarno dan masjumi memiliki

pasukan para militer mareka masing-masing, yakni barisan pelopor dan hizbullah. Disamping

itu terdapat sejumlah besar organisasi pemuda umumnya, seinendan (barisan pemuda) dan

anggota-anggotanya semuanya berasal dari lapisan, atau gakutai yang terdiri dari

murid-murid sekolah menengah saja. Pemuda-pemuda itu tidak hanya mendapat latihan militer,

tetapi pada diri mareka juga ditanamkan perasaan yang sangat anti sekutu yang dengan cepat

berkembang menjadi suatu nasionalisme radikal.

Tentara PETA memiliki peran besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa

tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto

dan Jendral Besar Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan

perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari

pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara

Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI.

II.1.3 Laskar Rakyat

Sebagian besar dari mareka yang berkecimpung dalam revolusi kemerdekaan adalah

mareka yang dalam masa-masa sebelumnya memang merupakan “aktivis’ gerakan

       28Hendri F. Isnaeni, Kontroversi 

(40)

kemerdekaan pada saat revolusi kemerdekaan dicetuskan, mareka telah menjadi politisi

profesional. Marekalah yang dianggak memiliki kemampuan untuk mengendalikan revolusi

dan pada umumnya mareka pernah mendapatkan pendidikan belanda.

Sebaliknya, bagian terbesar dari mareka yang terlibat dalam revolusi adalah para

pemuda. Pemuda inilah yang kemudian mengorganisasikan diri menjadi cikal bakal tentara

indonesia. Jurang sosial antara pemuda yang dilatih oleh jepang dengan golongan elit yang

mendapatkan pendidikan belanda sangatlah besar. Semenjak tahun 1920-an dan tahun

1930-an pemimpin pemerintah1930-an y1930-ang telah terjun kedalam pergerak1930-an nasinal keb1930-anyak1930-an dat1930-ang

dari kalangan urban yang merupakan kelompok elit yang mengenyam pendidikan belanda.

Sedangkan para komandan tentara senior hanya mengenal dan dibesarkan dalam dalam

lingkungan kebudayaan tradisional dan berpendidikan rendah dan hanya sedikit yang

menguasai bahasa belanda. Maka tidak mengherankan pada masa-masa revolusi ada

pertentangan diam-diam antara kaum tentara dengan politisi sipil. Pertentangan ini tidak ada

ubahnya dengan perbadaan pendapat antara “rasionalisme” politik yang dipegang oleh para

politisi sipil dengan “spirit” perjuangan yang senantiasa ditiup-tiupkan oleh pihak militer29.

Namun para pemimpintentara sendiri juga menyadari bahwa mareka tidak siap untuk

melancarkan suatu revolusi sosial bersenjata dalam skala yang luas. Kebanyakan dari mareka

memilki kesadaran identitas yang tipis dengan masa-rakyat di desa-desa dan tidak berminat

untuk mengerahkan revolusi melawan belanda menjadi revolusi sosial yang sesungguhnya.

Pada umumnya mareka lebih tertarik pada kemungkinan-kemungkinan bahwa karir mareka

akan memberikan mobilitas sosial daripada penggalangan potensi untuk melakukan

perubahan sosial.

       29 

(41)

 

Tetara yang dibentuk dalam revolusi kemerdekaan Indonesia bukanlah tentara rakyat

yang umum dikenal dalam studi-studi perbadingan militer. Tentara Indoesia sesungguhnya

tidak berdiri dalam susunan ideologi yang cukup solid seperti yang tampak dalam gerilyawan

rakyat pada umumnya dan juga tidak melibatkan massa dalam jumlah besar seperti masa

petani atau buruh. Elemen-elemen penyusun tentarapun sangat majemuk, Tentara indonesia

pada masa revolusi ini terdiri dari para eks-KNIL, anggota-anggota PETA yang mendapatkan

pendidikan dari jepang dan laskar-laskar perjuangan lokal yang dibentuk baik atas dasar

agama maupun kesukuan30. Mengingat susunan yang tidak homogen ini maka kemudian

timbul gesekan-gesekan yang memunculkan konflik.

Para perwira eks-KNIL adalah mareka yang mendapatkan pendidikan militer secara

professional dan banyak berhimpun di Markas Besar angkatan Bersenjata. Hal ini tentu saja

menimbulkan keinginan yang kuat bagi mereka untuk mengorganisir tentara yang

professional seperti yang pernah mareka dapatkan ketika masih tergabung didalam KNIL.

dari segi usia mareka adalah orang-orang dewasa yang seumur dengan para elit politik sipil

sehingga mareka sangat fasih berbahasa belanda dan memakai kebudayaan belanda dalam

kehidupan sehari-hari. Sebaliknya tentara PETA yang mendapatkan pendidikan jepang pada

umumnya pangkat tertinggi yang pernah mareka capai adalah komandan pleton, sebagian

besar dari mareka adalah para pemuda yang berpendidikan rendah dan hidup dalam lingkup

kebudayaan tradisional, mareka berbeda dari para perwira eks-KNIL baik dalam jenjang

kepangkatan, pendidikan, pengalaman militer dan kebudayaan.

Sementara itu, bagian terbesar yang mengisi tentara republik adalah laskar-laskar

perjuangan. Mareka adalah para pemuda yang sama sekali tidak pernah mendapatkan

pendidikan militer sebelumnya. laskar-laskar inipun didalamnya sangat majemuk, sebagian

       30 

(42)

dari mareka memiliki latar belakang keagamaan yang kuat dan atas dasar itu membentuk

laskar perjuangan hizbullah, sementara di lain pihak ada yang mendasarkan diri pada

ideology sosialis seperti Pesindo(Pemuda Sosialis Indonesia). Selain itu banyak organisasi

yang beranggotakan pemuda-pemuda daerah walaupun identitas nasional mareka tidak

diragukan.

Hisbullah Sabilillah

Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari

peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Kurun 1943-1945 hampir semua

pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah

Hizbullah-Sabilillah. Pada kurun waktu tersebut kegiatan Pondok Pesantren adalah berlatih perang dan

olah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial,

pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru

ngaji. Peran kiai dalam perang kemerdekaan tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah

saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah

Air). Tercatat dari enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir separuh komandannya adalah

para kiai. Patut diketahui, Hizbullah dan Sabilillah adalah laskar rakyat paling kuat yang

pernah hidup di bumi Indonesia. Meskipun dalam sejarah, keberadaan laskar tersebut

disisihkan. Buktinya, perjuangan mereka tidak ditemukan dalam museum-museum.

Dikarenakan para laskar ini seringkali berselisih paham dengan pemerintah Soekarno yang

tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan Sekutu dan Belanda ketika itu.

Laskar Hizbullah sendiri dibentuk atas anjuran Masjoemi pada 21 Juli 1945. Selain

untuk dipertahanan Pulau Jawa, organisasi ini juga ditujukan untuk membela dan

menyebarkan Islam. Pedoman llmu yang ditentukan oleh Masjoemi, sedang pimpinannya

(43)

 

madrasah. Dalam kongres Masjoemi. pada 7 dan 8 November 1945, diputuskan untuk

membentuk suatu badan perjuangan lain, Sabilillah. Pimpinannya terdiri dari K.H Masjkoer,

Wondoamiseno, H. Hasjim dan Soelio Adikoesoemo. Pria di bawah usia 35 tahun menjadi

anggota Hisbullah, sedang yang berumur di atasnya masuk Sabilillah. Organisasi untuk

pemuda adalah GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).

GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia)

GPII menempatkan diri sebagai organisasi yang bisa menerima pemuda dari semua

kalangan Islam. Bahkan dalam perkembangannya karena sebelum ada GPII sudah ada

organisasi pemuda Islam yang mengkhususkan diri dalam perjuangan kelasykaran, yaitu

Hizbullah. maka pada tanggal 5 Oktober 1945 diadakan kesepakatan untuk menggandengkan

penyebutan GPII dengan Hizbullah. GPII garis miring atau dalam kurung Hizbullah.

Dari saat berdirinya sampai dipaksa membubarkan diri oleh pemerintah yaitu pada

tanggal 10 Juni 1963 Presiden Soekarno membubarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia

(GPII) dengan KEPPRES RI NO. 139/1963 yang menyatakan organisasi GPII termasuk

bagian-bagiannya/cabang-cabang/ranting-rantingnya diseluruh wilayah Indonesia sebagai

organisasi terlarang dan diperintahkan untuk menyatakan pembubaran organisasi GPII dalam

waktu 30 hari sejak tanggal tersebut. Sampai sekarang ini keppres tersebut belum pernah

dicabut dan beberapa tokohnya ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim orde lama tanpa ada

proses pengadilan.

BPRI(Barisan Pemberontak Republik Indonesia)

BPRI berpusat di Surabaya sedang kegiatannya terutama bertumpu pada

pemimpinnya, Bung Tomo. yang sangat populer berkat pidato-pidato radionya yang

bersemangat dan membakar. Ideologi mereka yang ekstrim-revolusioner diterima oleh

masyarakat luas termasuk pengikut Masjoemi. Pada kenyataannya, berkat agitasi massanya

(44)

Perkembangannya yang cepat menimbulkan juga kekacauan organisasi seiring dengan

kecondongan anarki mereka.

II.2. Pembentukan tentara nasional

Pada saat Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17

Agustus 1945, negara Indonesia tidak mempunyai pemerintahan dan juga tentara. Segera

sesudah proklamasi, pemerintah yang dibentuk Soekarno-Hatta menciptakan aparatur

pemerintahan namun hampir tidak memperhatikan masalah pertahanan negara. Pada saat

yang sama, jutaan pemuda yang telah dimobilisir selama periode pendudukan Jepang tidak

sabar menunggu untuk turut serta berperan, Namun setelah mereka menyadari bahwa mereka

tidak akan mendapatkan perintah atau mandat dari pemerintah yang sangat diharapkan, maka

para pemuda itu mengambil prakarsa dan inisiatif sendiri untuk menciptakan alat pertahanan

bagi negara Republik Indonesia yang baru lahir31.

Dalam hal ini para pemuda turun tangan untuk mengisi kekosongan suatu alat

pertahanan dengan cara membentuk organisasi-organisasi perjuangan yang bernama

“lasykar”32, namun mereka tidak mempunyai senjata, tidak terlatih, tidak berdisiplin dan

tidak memiliki pimpinan yang berpengalaman. Selain itu, mereka seringkali berselisih paham

dengan pemerintahan Soekarno dan tidak mau menerima perintah dari pimpinan nasional

yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan-pasukan Sekutu dan

Belanda, kemudian yang berusaha menekan semangat mereka untuk bertindak. Oleh sebab

itu, pemerintah harus menciptakan sebuah pasukan bersenjata yang dapat membantu

menegakkan kekuasaannya di dalam negeri. Pada prinsipnya sudah diakui perlunya sebuah

tentara : dalam kabinet ada portepel untuk pertahanan. Namun, karena ada kemungkinan

       31 

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwi Fungsi ABRI. (LP3ES. 1986). hlm. 10  32 

(45)

 

bahwa tentara pendukung Jepang akan berkeberatan mengingat pihak Jepang secara resmi

masih bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban umum, maka Soekarno tidak

mengangkat seorang Menteri Pertahanan.

II.2.1 Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Pada tanggal 22 Agustus 1945 PPKI mengumumkan terbentuknya sebuah “Badan

Penolong Keluarga Korban Perang” yang secara keorganisasian mencakup sebuah Badan

Keamanan Rakyat (BKR). Di dalam undang-undang pembentukannya, fungsi BKR secara

samar-samar disebutkan sebagai “memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat dan

badan-badan negara yang bersangkutan”33.

Dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda mantan PETA,

Heiho, dan pemuda lainnya untuk sementara waktu bergabung dan bekerja di dalam BKR dan

bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan jika telah datang

waktunya34. Tidak semua para pemuda setuju dengan pembentukan BKR. Golongan yang

menghendaki dibentuknya sebuah tentara kebangsaan, tidak bersedia memasuki BKR yang

mereka anggap tidak dapat memenuhi aspirasi mereka. Golongan ini membentuk semacam

badan perjuangan dengan nama yang beragam. Mereka pada umumnya berasal dari golongan

yang sudah membentuk organisasi-organisasi pada zaman Jepang, baik legal maupun ilegal.

BKR dapat dikatakan tidak pernah digunakan sebagai alat untuk menghentikan

berbagai kegiatan kaum pemuda yang tidak disetujui oleh pemerintah. Bahkan seandainya

BKR diperintahkan untuk menumpas organisasi-organisasi yang tidak mau diatur, maka hal

itu akan menimbulkan protes umum dari kelompok generasi muda kaum nasionalis.

Hambatan paling besar bagi BKR untuk mencapai tingkat efisiensi militer yang lebih tinggi

       33

 T.B. Simatupang, Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, (Jajasan Pustaka Militer, 1954), hlm. 55. 34 

(46)

adalah tidak adanya sebuah komando terpusat yang dapat mengangkat anggota-anggota korps

perwira. Seringkali kesatuan-kesatuan memilih komandan mereka sendiri sehingga akibatnya

kedudukan komandan itu tidak lebih dari sebagai primus inter pares (yang pertama di antara

sesama)35.

Walaupun secara resmi BKR adalah aparat untuk menjaga keamanan setempat,

namun karena desakan situasi pada waktu itu, maka BKR mempelopori usaha

perebutan-perebutan senjata dari tangan tentara Jepang36. Badan-badan perjuangan di luar BKR pun

juga melakukan hal yang sama. Karena itu sebelum tentara resmi dalam bentuk Tentara

Keamanan Rakyat (TKR) dilahirkan, kedua organisasi tersebut sesungguhnya telah mulai

melakukan tugas militer bagi Negara Republik Indonesia dalam rangka usaha menegakkan

kedaulatannya.

II.2.1.1. Pembubaran Tentara PETA dan Hubungannya Dengan Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Tentara PETA lahir pada masa pendudukan Jepang dengan bantuann dari pihak

Jepang. Para pemimpin Republik Indonesia ketika itu mengkhawatirkan bahwa PETA dapat

dicap atau dijuluki sebagai satuan tentara Jepang, sehingga pemerintah Republik Indonesia

lebih memilih kebijakan membubarkan PETA terlebih dahulu untuk kemudian pada 23

Agustus 1945 mengundang kembali mantan prajurit PETA bersama golongan pemuda

lainnya dalam menyusun suatu Badan Keamanan Rakyat37.

PETA pada hakikatnya merupakan suatu organisasi ketentaraan yang lengkap dan

komplit yang dipersiapkan pada masa damai maupun untuk masa perang. Susunan

       35 

Ulf Sundhaussen. Ibid, hlm. 12.  36 

Amrin Imran dkk, Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat (Jakarta : Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1971), hlm. 3.

37 

Referensi

Dokumen terkait

Sebelah kanan punggung tikus dibalut dengan hidrogel yang ditutupi dengan kasa steril, sebelah kiri adalah luka yang hanya dibalut kasa steril (kontrol). b) Pengamatan hari

Buatlah sebuah Automata Hingga Deterministik dengan simbol input a,b, yang hanya dapat menerima untai karakter yang mengandung sejumlah b yang habis dibagi 3. Buatlah sebuah

Tujuan penelitian ini adalah (1) Meningkatkan kerja sama dengan model pembelajaran kooperatif tipe team games tournament (TGT) pada mata pelajaran matematika materi pechan semester

proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata.... Komunikasi Ruang

Di dalam keutamaan ini tercakup kekuatan (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2) kebersyukuran (gratitude) atas segala hal yang baik, (3)

There are three peculiarities in moral development during adolescence, namely: (a) Adolescence have realized that the right or wrong is on the judgment of justice or wisdom, not on

Berdasarkan mean perbedaan tingkat prokrastinasi akademik menunjukkan nilai mean mahasiswa perempuan adalah 53,38 dan laki-laki 58,98 yaitu pada rentang 47,25 sampai dengan 67,5

Panitia Pengadaan Pekerjaan Jasa Konsultansi adalah satu Panitia yang terdiri dari pegawai-pegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa