• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediction of the Onset of Rainy Seasons in South Sulawesi Province Using Sea Surface Temperature Anomaly Data.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prediction of the Onset of Rainy Seasons in South Sulawesi Province Using Sea Surface Temperature Anomaly Data."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PROVINSI

SULAWESI SELATAN MENGGUNAKAN DATA

ANOMALI SUHU MUKA LAUT

ALIMATUL RAHIM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prediksi Awal Musim Hujan Di Provinsi Sulawesi Selatan Menggunakan Data Anomali Suhu Muka Lautadalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

(3)

RINGKASAN

ALIMATUL RAHIM. Prediksi Awal Musim Hujan di Provinsi Sulawesi Selatan Menggunakan Data Anomali Suhu Muka Laut.Dibimbing Oleh RINI HIDAYATI dan AKHMAD FAQIH.

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi padi nasional dengan menyumbangkan 7% dari total produksi padi nasional. Peningkatan produksi padi sangat tergantung pada ketersediaan air. Sering kali kebutuhan air selalu dikaitkan dengan kejadian awal musim hujan, karena apabila kejadian awal musim hujan maju atau mundur maka akan mempengaruhi ketersediaan air dan jadwal tanam. Terkait dengan hal tersebut, untuk mengurangi kerugian petani dan menjaga tingkat stabilitas pangan di Indonesia, maka dicari suatu cara atau metode yang akurat dalam memprediksi awal musim hujan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara AMH Sulawesi Selatan dengan AnoSML kawasan Pasifik dan Perairan Sulawesi, menentukan domain prediktor SML yang mempengaruhi awal musim hujan di wilayah Sulawesi Selatan dan menyusun model prediksi awal musim hujan di wilayah Sulawesi Selatan berdasarkan data anomali suhu muka laut di Kawasan Pasifik dan Perairan Sulawesi.

Penelitian dilakukan menggunakan data curah hujan harian observasi selama 30 tahun (1980-2010) di Provinsi Sulawesi Selatan yang bersumber dari stasiun/pos hujan, data anomali suhu muka laut (AnoSML) pada empat domain, yaitu : SML kawasan Nino 3, kawasan Nino 3.4, kawasan Nino 4 dan perairan Sulawesi. Analisis data dilakukan secara bertahap yaitu dimulai dengan pemeriksaan data hujan harian observasi dan pemilihan stasiun/pos hujan yang akan digunakan dalam penyusunan model prediksi awal musim. Kemudian penentuan awal musim hujan dilakukan dengan menyusun data hujan harian menjadi data lima harian (pentad) dengan mentode Moron (2008). Hasil perhitungan awal musim hujan dilanjutkan dengan analisis PCA dimana PC yang dihasilkan digunakan untuk membuat analisis cluster (kelompok) stasiun hujan. Data AnoSML pada 4 domain yang digunakan adalah data bulan AnoSML pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September selama 30 tahun yang digunakan untuk menyusun analisis korelasi antara awal musim hujan pada masing-masing cluster terhadap data AnoSML. Tahap selanjutnya adalah penyusunan model regresi antara awal musim hujan pada tiap cluster dan anomali suhu muka laut, serta verifikasi model regresi yang telah diperoleh.

(4)

atau tanggal 5 Oktober. Hasil analisis komponen utama terhadap nilai AMH diperoleh 6 (enam) komponen utama (PC) yang menjelaskan keragaman data ± 80%. Berdasarkan hasil pengelompokan PC menggunakan analisis cluster, di wilayah penelitian diperoleh tiga cluster (kelompok) stasiun/pos hujan. Pada Cluster 1 terdapat 13 stasiun/pos hujan yang tersebar pada 9 (sembilan) kabupaten yaitu Kabupaten Bantaeng, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Luwu, Maros, Pinrang, Soppeng dan Wajo. Pada Cluster 2 terdapat 10 stasiun/pos hujan yang tersebar di Kabupaten Barru, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Luwu, Makassar, Maros, Soppeng, Takalar dan Wajo. Pada Cluster 3 terdiri dari 12 stasiun/pos hujan yang tersebar di Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Gowa, Luwu, Maros, Pangkep, Pinrang, Soppeng, Takalar.

Nilai rata-rata AMH pada tiap cluster di Sulawesi Selatan memiliki nilai yang berbeda. Pada cluster 1 nilai rata-rata kejadian AMH jatuh pada JD ke-344 (10 Desember) dengan nilai simpangan baku yang diperoleh sebesar 30. Pada Cluster 2, nilai rata-rata AMH jatuh pada JD ke-318 (14 November) dengan nilai simpangan baku yang diperoleh lebih kecil dari nilai simpangan baku pada Cluster 1 yaitu sebesar 16. Pada Cluster 3, nilai simpangan baku yang diperoleh cukup bagus jika dibandingkan dengan nilai simpangan baku yang diperoleh dari Cluster 1 dan Cluster 2. Pada Cluster 3 diperoleh nilai simpangan baku sebesar 7 dengan nilai rata-rata AMH jatuh pada JD ke-403 (7 Februari).

Kejadian AMH di Sulawesi Selatan sangat dipengaruhi oleh kejadian El-Nino dan La-Nina. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa pada tahun-tahun El-El-Nino (1982, 1991 dan 1997), kejadian AMH mundur ditahun berikutnya (cluster 1 dan 3), sedangkan pada tahun-tahun La-Nina (1988, 1996 dan 1998) kejadian AMH maju dari normalnya (cluster 1 dan 2).

Distribusi spasial korelasi pada Cluster 1 dan 2 menunjukkan adanya hubungan korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% antara AMH wilayah Sulawesi Selatan dengan AnoSML bulan Juni, Juli Agustus dan September (JJAS) kawasan Pasifik dan wilayah perairan Sulawesi. Pada Cluster 3, tidak terdapat korelasi nyata pada semua wilayah domain penelitian.

Domain prediktor kawasan Pasifik (grid dengan koordinat: 148oBB, 12oLS) memiliki pengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap kejadian AMH wilayah Sulawesi Selatan dibandingkan dengan domain yang lain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,82.Domain wilayah Perairan Sulawesi yang memiliki pengaruh terhadap AMH di wilayah Sulawesi Selatan. Pernyataan ini dikuatkan dengan grid yang mempengaruhi AMH di Cluster 1 dan 3, yaitu grid 128oBT, 2oLU dan 126oBT, 2oLU koordinat merupakan wilayah Perairan Sulawesi. Walaupun demikian, AMH tiap cluster di wilayah Sulawesi Selatan memiliki tingkat hubungan dan sensifitas yang berbeda-beda terhadap AnoSML kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi.

(5)

Sulawesi Province Using Sea Surface Temperature Anomaly Data. Under supervision of RINI HIDAYATI and AKHMAD FAQIH.

The Province of South Sulawesi is one of the centers for national paddy production with 7% contribution from total paddy production in national level. The increasing of paddy production depends on the water availability. Moreover, the water availability is always associated with the onset of rainy seasons, because if an area has the forward or backward of onset of rainy season, it will influence the water availability and crop calendar. In order to onset of rainy seasons, to reduce the farmer’s loss and to protect the food stability level in Indonesia, it needs to identified the areas which have the sensitivity for the onset of rainy season’s variability to climate control factors like ENSO and IOD. This research has been conducted to study the correlation between onset of rainy seasons (AMH) in South Sulawesi and sea surface temperature anomaly (AnoSML) in Pacific Ocean and Sulawesi Sea, to determine the domain of sea surface temperature predictor which has influence the onset of rainy seasons in South Sulawesi and to develop the onset of rainy season model prediction in South Sulawesi based on the sea surface temperature anomaly in Pacific Ocean and Sulawesi Sea.

This research has been conducted using daily rainfall data during 30 years (1980-2010) from rainfall stations in South Sulawesi, sea surface temperature anomaly data for 4 domains i.e. Nino 3 region, Nino 3.4, Nino 4 and Sulawesi Sea on June, July, August and September (JJAS) during 30 years. The first analysis of data was conducted with the examination of observation daily rainfall data and selection of rainfall stations which are used for the development of the rainy season onset prediction model. Further analysis was conducted to determine the onset of rainy seasons using Moron’s method (five days of daily rainfall data/pentad analysis). The result of pentad analysis was used to calculate Principle Component Analysis (PCA) which was used to determine the cluster of rainfall stations. The correlation analysis was then calculated between the onset rainy seasons on each cluster and AnoSML data on JJAS. The last analysis was conducted for development of onset rainfall season model prediction and verification of the model.

(6)

Takalar.

The average of AMH at each cluster in South Sulawesi has different value. On cluster 1, the average of AMH is on 344th Julian Date (JD) or on 10 December with the standard deviation is 30. On Cluster 2, the average of AMH is on 318th JD or on 14 November with standard deviation value is smaller than in Cluster 1 (standard deviation=16). On Cluster 3, the standard deviation value is the higher than Cluster 1 and Cluster 2. This result showed that Cluster 3 has a high sensitivity to ENSO events.

The spatial distribution of correlation on Cluster 1 and 2 showed the significant correlation at 95% confidence level between AMH in South Sulawesi and AnoSML in Pacific Ocean and Sulawesi Sea on June, July, August and September (JJAS). On Cluster 3, the significant correlation only found on June which is concentrated on East Indonesia, whereas there was no significant correlation with Pacific Ocean and Sulawesi Sea on July, August and September.

The domain predictor in Pacific Ocean (coordinate: 148oW, 12oS) has more significant influence at 95% confidence level to AMH in South Sulawesi than other domains. This result was showed with the highest correlation value (0.82). The domain of Sulawesi Sea has the influence to AMH in South Sulawesi. This statement is strengthened by grid which has influence AMH on Cluster 2 and 3 i.e. grid 28oBT, 2oLU and 126oBT, 2oLU (grid of Sulawesi Sea). Moreover, AMH on each cluster in South Sulawesi has different correlation level and sensitivity to AnoSML in Pacific Ocean and Sulawesi Sea.

Based on the verification of onset prediction model using four years data (2006, 2007, 2008, and 2009) on each cluster, the result showed that the smallest error (RMSE) found on the Cluster 3 with RMSE=3, while RMSE for Cluster 1 and Cluster 2 respectively is 16 and 29. This showed that linear regression model is good enough to used for predict the AMH on Cluster 3 which has a small standard deviation.

(7)

@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PROVINSI

SULAWESI SELATAN MENGGUNAKAN

DATA ANOMALI SUHU MUKA LAUT

ALIMATUL RAHIM

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(9)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(10)
(11)

PRAKATA

Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih yang sangat besar penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr.Akhmad Faqih, S.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang banyak memberikan arahan, bimbingan, dan berbagai masukan dalam penyusunan, pengolahan serta hasil dari penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua tercinta H. La Ipandja dan Hj. Wa Djamria, Kakak dan Adik-adikku serta semua keluarga yang senantiasa mendoakan, memberikan dorongan dan semangat kepada penulis, Istri tersayang; Mamenun atas cinta, kasih sayang, dan semangat yang sangat luar biasa besar kepada penulis, staf dan rekan – rekan program pasca sarjana Klimatologi Terapan – IPB

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Klimatologi Terapan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Prediksi Awal Musim Hujan di Provinsi Sulawesi Selatan Menggunakan Data Anomali Suhu Permukaan Laut.Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan bagi para pemangku kepentingan di Provinsi Sulawesi Selatan terutama kepada para petani dalam menentukan awal musim hujan.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna sehingga masih membutuhkan untuk tambahan masukan, saran, kritik maupun perbaikan yang membangun sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh orang lain dan masyarakat umum. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk khalayak luas.

Bogor, Juni 2013

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiv 

DAFTAR GAMBAR ... xv 

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi 

1.  PENDAHULUAN ... 1 

Latar Belakang 1  Tujuan Penelitian 2  Luaran Penelitian 2  Manfaat Penelitian 2  2.  TINJAUAN PUSTAKA ... 3 

Keragaman Iklim Indonesia 3  Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Meridional 3  Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Zonal 5  El Nino Southern Oscillation Index (ENSO) 5  Dipole Mode (DM) 6  Pengaruh Suhu Muka Laut (SML) 7  Definisi Awal Musim Hujan (AMH) 8  Aplikasi dan Perkembangan Model Prediksi AMH 9  Kondisi Lokasi Penelitian 10  3.  METODOLOGI ... 12 

Lokasi 12  Data dan Alat 12  Prosedur Pengolahan Data 13  Pemeriksaan dan Pemilihan Stasiun/Pos Hujan 13  Penentuan Awal Musim Hujan 14  Perhitungan Principal Component Analysis (PCA) 14  Analisis Kelompok (Cluster) 15  Analisis Korelasi dan Regresi 16  Pemilihan Model 16  Verifikasi Model 16  Penanggalan Julian Date (JD) 17  4.  HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19 

Pemilihan Stasiun/Pos Hujan 19 

(13)

Analisis Kelompok (Cluster) 20 

Pola AMH Cluster 1 23 

Pola AMH Cluster 2 25 

Pola AMH Cluster 3 25 

Korelasi AMH dengan Anomali SML 26 

Peta Korelasi Cluster 1 28 

Peta Korelasi Cluster 2 29 

Peta Korelasi Cluster 3 31 

Penyusunan Model Prediksi AMH di Sulawesi Selatan 32 

Model prediksi AMH 32 

Pemilihan Model Prediksi AMH Terbaik 33 

Verifikasi Hasil Model Prediksi 34 

5.  SIMPULAN DAN SARAN ... 37 

Simpulan 37 

Saran 37 

(14)

DAFTAR TABEL

4.1 Pengelompokan stasiun/pos hujan berdasarkan hasil analisis

cluster awal musim hujan di Provinsi Sulawesi Selatan 22 4.2 Nilai parameter distribusi AMH (simpangan baku dan rata-rata)

pada masing-masing cluster 24 4.3 Grid AnoSML terpilih berdasarkan nilai korelasi nyata 33

(15)

DAFTAR GAMBAR

2.1 (a).Sel Hadley dan (b). Sirkulasi Meridional (Sirkulasi Hadley) 4

2.2 Daerah-daerah Muson 5

2.4 Skema Sirkulasi Walker sepanjang ekuator pada kondisi non-ENSO.Suhu muka laut sepanjang barat-timur (zonal) sepanjang

ekuator dapat dilihat pada panel bawah. 6

2.5 Pola spasial anomali suhu permukaan laut (SML) dan medan

angin permukaan pada saat Dipole Mode. 7 2.6 Tiga wilayah iklim Indonesia berdasarkan hasil Double

Corelation Method (metode korelasi berganda). Wilayah A (garis tebal) wilayah muson selatan, wilayah B (garis putus-putus-titik) wilayah semi-muson, wilayah C (garis putus-putus) wilayah anti

muson. 10 2.7 Pola puncak musim pada wilayah hujan A. Garis tebal

menunjukkan siklus hujan tahunan, sedangkan garis putus-putus menunjukkan simpangan baku (standard deviation) di atas dan di

bawah rata-rata. 11

3.1 Sebaran stasiun/pos hujan wilayah Sulawesi Selatan 12

3.2 Wilayah domain penelitian 13

4.1 Peta sebaran stasiun terpilih dengan persentase data >70%. 19 4.2 Rata-rata awal musim hujan pada setiap stasiun/pos hujan. 20 4.3 Hasil analisis cluster kejadian AMH Sulawesi Selatan 21

4.4 Cluster AMH Sulawesi Selatan 23

4.5 Pola AMH Cluster 1 24

4.7 Pola AMH Cluster 3 26

4.8 Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH Cluster 1 27 4.9 Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH pada Cluster 2 27 4.10 Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH pada Cluster 3 27 4.12 Distribusi korelasi nyata AMH dengan AnoSML pada Cluster 2 30 4.13 Distribusi korelasi nyata AMH dengan AnoSML pada Cluster 3 32 4.14 Nilai RMSE dan perbandingan antara kejadian AMH Observasi

dengan AMH Model pada Cluster 1 35

4.15 Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan

AMH Model pada Cluster 2. 36

4.16 Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penanggalan Julian Date (JD) 41

2. Daftar Stasiun/Pos Hujan di Provinsi Sulawesi Selatan 42 3. Daftar Stasiun/Pos Hujan terpilih yang memiliki ketersediaan data

diatas 70 % 47

4. Awal Musim Hujan (AMH) pada stasiun/pos hujan terpilih 49

5. Hasil komponen utama (PCA) AMH 51

6. Scaree Plot Kelompok Stasiun/Pos Hujan 52

7. Pola curah hujan bulanan dimasing-masing cluster 52

(17)

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Letak geografis Indonesia yang berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera India, dan benua Asia-Australia menyebabkan iklim Indonesia dipengaruhi oleh kedua benua dan kedua samudera tersebut. Salah satu parameter hubungan keterkaitan antara atmosfer dengan lautan adalah suhu muka laut yang berperan besar dalam pembentukan uap air di atmosfer dan pembentukan awan hingga terjadinya hujan. Penyimpangan nilai suhu muka laut dari nilai normalnya dapat menjadi salah satu indikator keragaman iklim , khususnya curah hujan di Indonesia. Keragaman curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh tiga wilayah Anomali Suhu Muka Laut (AnoSML); yaitu di bagian barat dan timur Samudera India (Indian Ocean Dipole Mode, IODM), di kawasan Pasifik Tropis bagian tengah dan timur, dan di perairanIndonesia (Swarinoto et al. 2009).

Penelitian dengan memanfaatkan data AnoSML di Samudera Pasifik dan pengaruhnya terhadap variabilitas curah hujan telah banyak dilakukan (misal: Aldrian et al. (2006), Boer (2003), Phillips et al. (1998), dan Chiew et al. (1998)). Dalam studi-studi tersebut ditunjukkan bahwa kenaikan dan penurunan suhu muka laut di Samudera Pasifik yang diasosiasikan dengan El Nino dan La Nina mempunyai korelasi kuat dengan varibilitas curah hujan. Di Indonesia, pada tahun-tahun El Nino curah hujan akan mengalami penurunan yang cukup drastis sehingga terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Sebaliknya pada tahun-tahun La Nina, dimana curah hujan berlimpah, sehingga pada tahun-tahun tersebut terjadi curah hujan yang cukup tinggi.

Kondisi suhu muka laut di wilayah Indonesia merupakan hal yang penting untuk mengetahui keragaman distribusi hujan. Hubungan ini telah diidentifikasi dan diselidiki oleh Aldrian and Susanto (2003). Selanjutnya, Aldrian et al. (2004) melakukan simulasi dengan modeling yang menunjukkan bahwa suhu permukaan laut di wilayah Indonesia menentukan kegiatan konvektif dan proses penguapan di seluruh wilayah Indonesia.

Hubungan antara AnoSML Kawasan Pasifik dan AnoSML perairan Indonesia terhadap penentuan awal musim hujan (AMH) dan panjang musim telah dianalisis oleh Swarinoto et al. (2009). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa AnoSML Indonesia sangat berperan terhadap maju-mundur awal dan panjang pendek musim hujan di Provinsi Ambon. Demikian halnya dengan AnoSML Nino 3.4 mempunyai pengaruh nyata terhadap awal musim hujan dan panjang periode musim hujan di Provinsi Ambon. Di Sulawesi, anomali curah hujan di sejumlah stasiun mempunyai korelasi nyata terhadap AnoSML Nino 3 pada musim kemarau dan beberapa stasiun lainnya berkorelasi nyata pada musim hujan. Umumnya wilayah yang curah hujannya berkorelasi nyata tersebut terletak agak jauh dari garis khatulistiwa baik di bagian selatan maupun utara ekuator (Gunawan et al. 2003).

(18)

Sering kali kebutuhan air dibidang pertanian selalu dikaitkan dengan kejadian awal musim hujan, karena apabila kejadian awal musim hujan maju atau mundur maka akan mempengaruhi ketersediaan air dan jadwal tanam. Hubungan keterkaitan ini mendorong adanya sistem prediksi iklim sehingga kejadian awal musim hujan dapat diketahui. Kemajuan sistem prediksi iklim global telah banyak dikembangkan, namun hasilnya tidak dapat langsung diaplikasikan untuk skala regional sehingga perlu dikembangkan model prediksi iklim musiman yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Terkait dengan hal tersebut, maka perlu dicari suatu cara atau metode yang akurat dalam menentukan awal musim hujan dan kemungkinan hubungannya dengan AnoSML di kawasan Pasifik dan perairan sekitarnya. Melalui penelitian ini, diharapkan hubungan antara AMH dan AnoSML dikedua wilayah tersebut dapat diketahui, sehingga kejadian AMH di wilayah Sulawesi Selatan dapat diprediksi dengan akurat.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari hubungan antara AMH Sulawesi Selatan dengan AnoSML kawasan Pasifik dan Perairan Sulawesi.

2. Mengidentifikasi domain prediktor AnoSML yang mempengaruhi awal musim hujan di wilayah Sulawesi Selatan.

3. Menyusun model prediksi awal musim berdasarkan data AnoSML di sekitar Kawasan Pasifik dan Perairan Sulawesi.

Luaran Penelitian

Luaran dari penelitian ini adalah: (1) informasi awal musim hujan di Provinsi Sulawesi Selatan menggunakan kriteria Moron et al. (2008a); dan (2) model prediksi awal musim hujan di Provinsi Sulawesi Selatan menggunakan data AnoSML kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi.

Manfaat Penelitian

(19)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Keragaman Iklim Indonesia

Wilayah Indonesia mempunyai letak geografis yang strategis, Indonesia berada di wilayah khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia, dan di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Kondisi tersebut, menyebabkan curah hujan Indonesia memiliki keragaman yang cukup tinggi.Keragaman curah hujan Indonesia ini dipengaruhi oleh fenomena sirkulasi atmosfer baik global, regional maupun lokal. Menurut Bayong (2004), sirkulasi atmosfer yang terjadi di Indonesia terdiri dari tiga sirkulasi, yaitu sirkulasi atmosfer meridional (Sirkulasi Hadley1) yang ditandai dengan adanya sifat monsunal, sirkulasi atmosfer zonal (Sirkulasi Walker2) yang antara lain diindikasikan oleh fenomena El Nino Southern Oscilation (ENSO) dan Dipole Mode (DM), serta sirkulasi atmosfer lokal (konveksi). Ketiga sirkulasi yang terjadi di wilayah Indonesia tersebut dapat berlangsung secara bersamaan atau berlainan antar wilayah.Akibat pengaruh sirkulasi atmosfer terhadap keragaman curah hujan Indonesia tersebut, pada akhirnya juga mempengaruhi kejadian awal musim hujan dan musim kemarau yang berbeda-beda baik dari segi waktu maupun wilayah di Indonesia.

Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Meridional

Pada dasarnya, sirkulasi meridional terbentuk karena adanya udara naik di ekuator (proses konvergensi udara) yang berasal dari belahan bumi utara dan selatan dan turun di wilayah kutub (Bayong et al. 2002).Adanya udara naik tersebut menyebabkan hujan di daerah tropis, dimana hujan lebat ini terjadi di sepanjang pita daerah konvergensi intertropis yang bergerak ke sebelah utara dan ke sebelah selatan ekuator mengikuti gerakan matahari. Daerah konvergensi intertropis merupakan sumber energi yang menggerakkan sirkulasi atmosfer tropis melalui panas laten kondensasi yang dilepaskan (Gambar 1). Sebagian energi panas ini di bagian atas konvergensi intertropis dibawa ke arah kutub sebagai energi potensial yang diubah menjadi energi panas terutama oleh subsidensi di sekitar lintang 300 pada kedua belahan bumi utara dan selatan (Bayong et al. 2002). Sirkulasi atmosfer meridional ini antara lain ditandai dengan adanya sifat monsunal (muson).

1

Nama Sirkulasi Hadley diambil dari nama George Hadley (meteorologist berkebangsaan Inggris) atas jasanya dalam mengemukakan teori pertukaran angin akibat perbedaaan tekanan.

2

(20)

(a) (b)

Gambar 2.1 (a).Sel Hadley dan (b). Sirkulasi Meridional (Sirkulasi Hadley) (sumber :http://www.cco.gov.co)

Kejadian muson merupakan salah satu fenomena atmosfer global yang mempengaruhi awal musim di wilayah Indonesia.Muson adalah angin yang disebabkan oleh adanya perbedaan sifat fisis antara lautan dan daratan, dimana arahnya berbalik secara musiman (minimal 3 bulan). Pembalikan tersebut membutuhkkan gaya gradien tekanan yang disebabkan oleh beda tekanan atmosfer. Hasil beda fisis lautan dan daratan menyebabkan lautan lebih lambat panas jika ada radiasi matahari dan lebih lambat dingin jika tidak ada radiasi matahari. Pergerakan semu matahari dapat membalikkan arah gaya gradient tekanan dari daratan ke lautan menghasilkan perubahan arah angin musiman atau muson sehingga beda panas utara-selatan yang sangat penting diperkirakan antara benua Asia dan Samudera Hindia. Untuk wilayah Indonesia, angin muson ditimbulkan oleh pola tekanan di benua Asia dan Australia.Jika angin berhembus dari arah barat laut (Northwest) atau menuju pantai (daratan), maka di Indonesia terjadi periode musim hujan.Sebaliknya jika berhembus dari arah tenggara (Southeast) atau menuju lepas pantai (lautan), maka di Indonesia terjadi musim kemarau (Bayong et al. 2002).

(21)

Gambar 2.2 Daerah-daerah Muson (dimodifikasi dari Ramage 1971)

Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Zonal

El Nino Southern Oscillation Index (ENSO)

Sirkulasi Zonal merupakan sirkulasi vertikal (Wyrtki 1975) yang sangat besar, diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu muka laut antara bagian timur dengan bagian barat ekuatorial Pasifik.Interaksi ini ditandai dengan kenaikan udara di sekitar pasifik bagian barat dekat benua maritim Indonesia dan penurunan udara di samudera pasifik bagian Timur lepas pantai Amerika Selatan (Gambar 2.3).Intensitas sirkulasi ini dikendalikan oleh variasi Suhu Muka Laut (SML) di samudera pasifik bagian Timur dan bagian Barat.Pada kondisi normal, sirkulasi zonal diketahui berada di atas Benua Maritim Indonesia (BMI) yang dikenal sebagai wilayah konvergensi (Bayong 1999).

(22)

Gambar 2.3 Skema Sirkulasi Walker sepanjang ekuator pada kondisi non-ENSO.Suhu muka laut sepanjang barat-timur (zonal) sepanjang ekuator dapat dilihat pada panel bawah (dimodifikasi dari Wyrtki 1982).

Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga mempengaruhi masuknya awal musim kemarau atau akhir musim hujan yang tergantung pada waktu pembentukan, lama dan intensitasnya.Dari data yang tercatat, saat tahun-tahun ENSO mengakibatkan musim kemarau lebih panjang dan musim hujan lebih pendek. Pada umumnya pada periode El-Nino awal musim hujan di wilayah yang bertipe iklim muson mengalami keterlambatan, sebaliknya pada saat berlangsungya fenomena La-Nina, akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur. Dampak kekeringan tahun ENSO di Indonesia tercatat hampir dirasakan seluruh Indonesia kecuali untuk beberapa tempat yang pengaruh ekuatorialnya lebih kuat (Boer 2003).Pengaruh ENSO terutama pada tahun El Nino dan La Nina mempunyai pengaruh terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia (Hamada et al. 2002).

Dipole Mode (DM)

Fenomena lain yang turut mempengaruhi keragaman iklim Indonesia adalah Dipole Mode (DM). Kejadian DM ditandai dengan adanya anomali SML yang lebih dingin dari normalnya yang muncul di pantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur), sementara di Samudera Hindia bagian barat terjadi

pemanasan dari biasanya. Suatu indeks sederhana telah digunakan Saji et al. (1999) untuk menganalisis kejadian DM tersebut.Indeks ini berupa

(23)

Samudera Hindia bagian barat (50o – 70o BT, 10o LS – 10o LU) dan Samudera Hindia bagian timur (90o – 110o BT, 10o LS).

Gambar 2.4 Pola spasial anomali suhu permukaan laut (SML) dan medan angin permukaan pada saat Dipole Mode (dimodifikasi dari Saji et al. 1999).

Siklus DM menurut Saji et al. (1999) (Gambar 2.4) diawali dengan munculnya anomali SML negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei-Juni, bersamaan dengan itu terjadi anomali angin tenggara yang lemah disekitar Jawa dan Sumatera. Selanjutnya pada bulan Juli-Agustus, anomali negatif SML terus menguat dan cakupannya meluas sampai ke ekuator di sepanjang pantai Jawa hingga pantai barat Sumatera, sementara itu mulai muncul pula anomali positif SML di Samudera Hindia bagian barat. Adanya dua kutub di Samudera Hindia ekuator ini, semakin memperkuat anomali angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat sumatera.Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober, dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember.

Pengaruh Suhu Muka Laut (SML)

Pada skala yang lebih besar, hubungan antara lautan dan atmosfir di Kawasan Pasifik dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation (ENSO).ENSO berkaitan dengan kejadian curah hujan yang terjadi antar tahun.Kejadian ENSO merupakan periode panas pada bagian barat ekuatorial dari Samudera Pasifik yang berpengaruh terhadap iklim global pada skala waktu beberapa tahun sampai sepuluh tahun (Amarasekera et al. 1997).

ENSO teridentifikasi memberikan pengaruh terhadap pertanian di Zimbabwe, dimana terdapat korelasi kuat antara SML Nino 3 terhadap pola pertanian gandum. Tahun-tahun dimana anomali SML bernilai Positif (El Nino), maka curah hujan dan produksi gandum di Zimbabwe berada di bawah nilai rata-rata, namun sebaliknya jika SML bernilai negatif (La Nina) maka curah hujan dan produksi gandum berada di atas rata-rata (Phillips et al. 1998).

(24)

Mediterania memiliki korelasi yang nyata dengan curah hujan di Mauritania Utara.

ENSO juga mempengaruhi variabilitas curah hujan di wilayah Indonesia. Menurut Aldrian et al. (2006), ENSO mempengaruhi curah hujan di wilayah Maluku terutama pada bulan Juni. Selain itu, ENSO juga mempengaruhi curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan pada bulan Juli sampai November. Pengaruh ini akan sangat sensitif pada tahun-tahun kejadian El Nino dan La Nina. Wilayah yang paling sensitif dipengaruhi oleh ENSO adalah wilayah Maluku, dimana wilayah ini menerima efek ENSO lebih lama yaitu mulai dari bulan Juni sampai bulan Desember.

Kebutuhan data suhu muka laut pada saat ini sangat penting untuk peramalan cuaca. Curah hujan yang tinggi di Indonesia sejak pertengahan tahun 2010 sampai akhir tahun 2010, disebabkan karena fenomena tingginya SML di perairan Indonesia. Salah satu penyebab tingginya SML di perairan Indonesia antara lain karena terjadinya fenomena varibilitas iklim La Nina di Samudera Pasifik. La Nina merupakan kondisi suhu dimana permukaan laut di Kawasan Pasifik lebih rendah dari Kawasan Darwin Australia. Selain itu World Meteorological Organization (WMO) pada akhir tahun 2010 juga secara resmi telah merilis hasil analisis suhu muka laut daratan dan lautan, dan menyatakan bahwa tahun 2010 adalah tahun terpanas yang tercatat dalam sejarah observasi cuaca dan iklim.

Definisi Awal Musim Hujan (AMH)

Awal musim hujan (AMH) dapat dijelaskan oleh sebaran penerima curah hujan menurut waktu yang terjadi pada suatu tempat. Kondisi klimatologis akan dijadikan sebagai ciri atau indikator AMH, sehingga dapat ditetapkan definisi yang tepat. Salah satu definisi AMH di wilayah Indonesia didasarkan pada ketentuan yang dibuat oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yaitu awal musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Sebaliknya awal musim kemarau ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian kurang dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya.

(25)

Aplikasi dan Perkembangan Model Prediksi AMH

Pemanfaatan informasi awal musim hujan pada suatu wilayah sangat dibutuhkan, terutama pada bidang pertanian. Pada proses pertumbuhan fisiologi tanaman hingga dihasilkan produksi tanaman, informasi awal musim hujan menjadi input utama dalam manajemen penanaman, baik dalam perencanaan pola tanaman, pengairan, pemberian pupuk, pengendalian hama dan seterusnya. Sehingga dengan adanya informasi awal musim hujan diharapkan resiko gagal panen akibat pengaruh iklim dapat dikurangi.

Pengembangan model prediksi AMH untuk wilayah Indonesia telah banyak dilakukan dengan menggunakan beragam metode. Penelitian Hamada et al. (2002) menggunakan analisis statistika dengan menghitung curah hujan lima harian (pentad) dari stasiun hujan di Indonesia dan kaitannya dengan ENSO. Penentuan pentad dalam satu tahun dilakukan dengan membagi menjadi 73 pentad, dimana pentad pertama (pentad 1) dimulai dari tanggal 30 Juni hingga 4 Juli dan pentad terakhir (pentad 73) antara tanggal 25 Juni hingga 29 Juni tahun berikutnya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh ENSO terutama pada tahun El Nino dan La Nina terhadap kejadian awal musim dan variablitias hujan di wilayah Indonesia.Untuk wilayah Sulawesi, lamanya hujan dan jumlah curah hujan pada musim hujan lebih kecil pada tahun El Nino dibandingkan La Nina. Pada tahun El Nino, awal musim hujan terlambat selama 4 pentad (lima harian) dibandingkan rata-ratanya, yaitu menjadi pentad 33 atau awal bulan Desember, sedangkan musim hujannya lebih pendek 10 pentad dibandingkan rata-ratanya (Hamada et al. 2002). Pada tahun La-Nina, awal musim hujan dimulai pada pentad 28 (tengah bulan Nopember) dan berakhir pada pentad 54 (Akhir Maret).

Prediksi AMH lainnya dikembangkan oleh Moron et al. (2008a) menggunakan analisis pentad (lima harian) sejumlah 40 mm untuk wilayah Indonesia menggunakan data Global Summary of the Day (GSOD) dan CMAP. Struktur awal musim hujan mengindikasikan terdapat keterlambatan datangnya awal musim hujan di bagian barat Indonesia dengan loadingEmphrical Ortogonal Function (EOF) yang cukup tinggi pada pola muson, menurun dengan lemah hingga bagian selatan Indonesia. Nilai skill yang diperoleh cukup tinggi dari wilayah selatan Sumatera, Kalimantan dan Timor, yaitu >0.5 dan meningkat hingga 0.8.

(26)

Kondisi Lokasi Penelitian

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki luas 4.666.453 hektar atau sekitar 31 % dari luas wilayah Sulawesi, dan sekitar 3 % dari luas wilayah Indonesia (BPS, 2005) yang terdiri dari 23 kabupaten dan kota. Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan berbatasan dengan Sulawesi Barat pada bagian Utara, Selat Makassar di bagian Barat, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di bagian timur dan Laut Flores pada bagian Selatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aldrian dan Susanto (2003) tentang pengelompokan 3 (tiga) wilayah curah hujan di Indonesia dengan menggunakan rentang data curah hujan bulanan antara tahun 1961-1993 (32 tahun), menyatakan bahwa Sulawesi Selatan secara umum masuk dalam kategori wilayah A (Gambar 2.5). Wilayah A dipengaruhi oleh iklim muson3 dan mendapat pengaruh kuat dari 2 (dua) muson yaitu muson basah yang bergerak dari barat ke timur (NW) pada bulan November sampai bulan Maret (NDJFM), dan muson kering yang bergerak dari timur ke selatan (SE) pada bulan Mei sampai bulan September (MJJAS). Masih pada penelitian yang sama, pada bulan JJA (Juni-Juli-Agustus) dan SON (September-Oktober-Nopember), curah hujan di wilayah A memiliki korelasi positif dengan pengaruh SML lokal (Laut Timor) dan berkorelasi positif juga dengan pengaruh zona konvergen pasifik selatan (SPCZ), namun berkorelasi negatif dengan El-nino Southern Osilation (ENSO). Pola hujan di wilayah A mempunyai satu puncak musim hujan (DJF) dan satu puncak musim kemarau (JJA) yang ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.5 Tiga wilayah iklim Indonesia berdasarkan hasil Double Corelation Method (metode korelasi berganda). Wilayah A (garis tebal) wilayah muson selatan, wilayah B (garis putus-putus-titik) wilayah semi-muson, wilayah C (garis putus-putus) wilayah anti muson (dimodifikasi dari Aldrian & Susanto 2003).

3

(27)

Gambar 2.6 Pola puncak musim pada wilayah hujan A. Garis tebal menunjukkan siklus hujan tahunan, sedangkan garis putus-putus menunjukkan simpangan baku (standard deviation) di atas dan di bawah rata-rata (dimodifikasi dari Aldrian & Susanto 2003).

Menurut BMKG (2011), awal musim hujan pada daerah Zona Musim (ZOM) di Indonesia akan jatuh pada bulan September 2011. Selanjutnya prakiraan BMKG menyebutkan bahwa prospek awal musim hujan 2011/2012 dari 220 ZOM, diprakirakan masuk pada sekitar dasarian I – III September 2011 termasuk ZOM di Sulawesi. Prediksi ini didasarkan pada pemantauan 3 (tiga) faktor pemicu curah hujan di Indonesia yaitu wilayah sebelah timur Indonesia (Pasifik ekuator), wilayah sebelah barat Indonesia (Samudera Hindia) dan wilayah Indonesia (lokal).

(28)

3.

METODOLOGI

Lokasi

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Klimatologi - Institut Pertanian Bogor (IPB). Seluruh rangkaian penelitian meliputi studi pustaka atau literatur, pengumpulan data penelitian, pengolahan data dan penulisan tesis. Lokasi penelitian meliputi seluruh kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 28 kabupaten/kota yang diwakili oleh 208 pos hujan permukaan. Gambaran spasial sebaran stasiun/pos hujan di wilayah Sulawesi Selatan ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Sebaran stasiun/pos hujan wilayah Sulawesi Selatan

Data dan Alat

(29)

Data penelitian yang digunakan adalah data Anomali Suhu Muka Laut (AnoSML) periode Juni, Juli, Agustus, September (JJAS) dimana pada periode tersebut merupakan periode musim kemarau. Data AnoSML diperoleh dari institusi National Oceanic & Atmospheric Administration (NOAA) National Climatic Data Center (NCDC) ERSST V.3b (Smith et al. 2008 dan Xue et al. 2003) (http://www.iridl.ldeo.columbia.edu). Series data yang digunakan adalah periode 30 tahun dari tahun 1981 – 2010 skala bulanan, dengan resolusi spasial 2ox 2o.

Data Anomali Suhu Muka Laut (AnoSML) yang digunakan terdiri dari 4 (empat) domain yaitu : (1) Perairan Sulawesi terletak pada 4o LU – 10o LS dan 114o – 128o BT (pengambilan koordinat tersebut dilakukan untuk mencakup wilayah perairan secara keseluruhan); (2) Kawasan Nino 3; terletak pada 5o LU – 5o LS dan 90o – 150o BB; (3) Kawasan Nino 3.4; terletak pada 5o LU – 5o LS dan 120o – 170o BB; dan (4) Kawasan Nino 4; terletak pada 5o LU – 5o LS dan 160o BT – 150o BB.

Wilayah domain yang digunakan dalam analisis, masing-masing ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Wilayah domain penelitian

Data sekunder lainnya adalah data curah hujan harian seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 208pos hujan dengan periode pengamatan selama 30 tahun (1981-2010) (sumber: BMKG). Periode data tahun 1981 – 2009 digunakan untuk membuat analisis awal musim serta penyusunan model prediksi awal musim.

Prosedur Pengolahan Data

Pemeriksaan dan Pemilihan Stasiun/Pos Hujan

Pemilihan stasiun hujan ditujukan untuk menentukan stasiun – stasiun pada wilayah studi yang akan digunakan untuk menentukan awal musim. Pemilihan stasiun hujan dilakukan melalui tahapan (Gambar 33) yaitu:

(30)

mengetahui sebaran stasiun hujan secara spasial, dan pemeriksaan data time series hujan baik pada stasiun tertentu maupun terhadap stasiun hujan lainnya. b. Langkah kedua dilakukan untuk memperoleh persentase ketersediaan

(coverage data) data di setiap stasiun pada periode 1981-2009. Persentase yang digunakan adalah lebih dari 70% untuk dapat merepresentasikan kondisi hujan pada tiap stasiun periode harian. Time series data yang kurang lengkap dapat diterima untuk analisis hujan bulanan dengan ketersediaan data sedikitnya 70% (Rudolf 2005).

Penentuan Awal Musim Hujan

1. Penyusunan data lima harian

Penyusunan data lima harian (pentad) dilakukan pada stasiun terpilih yang mempunyai persentase ketersediaan data lebih dari 70%, yang diikuti dengan penyusunan data curah hujan dasarian selama 30 hari secara berturut-turut dengan periode 29 tahun (1981-2009). Perhitungan ini ditujukan untuk menghindari kejadian “hujan palsu” dimana jumlah curah hujan selama lima hari tidak mencapai 40 mm. Perhitungan pentad dimulai dari tanggal 1 Agutus karena pada bulan Agustus sampai September merupakan awal musim kemarau di Indonesia (Aldrian & Susanto 2003).

2. Penentuan Awal Musim Hujan

Penentuan awal musim hujan dalam penelitian ini dilakukan dengan kriteria Moron et al. (2008a). Berdasarkan kriteria ini, penentuan awal musim hujan dihitung berdasarkan akumulasi curah hujan harian selama 5 hari (pentad) yang jumlahnya minimal 40 mm (CH Pentad ≥ 40 mm) (syarat pertama), dan tidak diikuti oleh jumlah curah hujan dasarian (10 hari) kurang dari 5 mm selama 30 hari (syarat kedua). Sebagai contoh, perhitungan awal musim hujan di mulai dari tanggal 1 Agustus sampai 5 Agustus, jumlah curah hujan di atas 40 mm (syarat pertama terpenuhi), kemudian menghitung jumlah curah hujan dasarian pertama yaitu dari tanggal 1 Agustus sampai 10 Agustus yang jumlahnya tidak kurang dari 5 mm dan diikuti oleh dasarian berikutnya dari tanggal 2 Agustus sampai 11 Agustus selama 30 hari (syarat kedua terpenuhi), maka tanggal 1 Agustus ditetapkan sebagai awal musim hujan. Jika salah satu dari dua syarat tersebut tidak terpernuhi maka perhitungan awal musim hujan dilanjutkan pada tanggal 2 Agustus dengan syarat yang sama dengan perhitungan awal musim hujan untuk tanggal 1 Agustus. Perhitungan ini dilakukan pada setiap pos hujan di lokasi penelitian yang berjumlah 45 pos hujan.

Perhitungan Principal Component Analysis (PCA)

(31)

... ... … (1)

Variabel baru um menunjukkan jumlah maksimum variasi dengan sebelumnya dengan menghitung eigenvector. Sehingga komponen utama dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

… (2)

Elemen eigenvector adalah bobot aij dan biasanya disebut loading. Elemen diagonal matriks Sy varian-covarian matrik komponen utama sering disebut sebagai eigenvalue. Eigenvalue adalah variasi yang dijelaskan oleh komponen utama. Posisi data awal observasi pada sistem koordinat baru komponen utama disebut skor dan dihitung sebagai kombinasi linear antara data awal (asli) dan nilai bobot aij. Sebagai contoh, bila skor untuk rth sample pada kth komponen utama maka dapat dihitung dengan :

… … (3)

Analisis Kelompok (Cluster)

Analisis kelompok merupakan bagian dari analisis multivariate (peubah ganda) yang mempunyai tujuan untuk mengelompokan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Setiap objek pada kelompok yang sama memiliki tingkat kedekatan dan kesamaan antara satu dengan yang lainya (Everitt & Dunn 1998). Kelompok-kelompok yang terbentuk memiliki homogenitas internal dan heterogenitas eksternal yang tinggi. Langkah pertama adalah perhitungan sifat kesamaan antar seluruh pasangan objek, kemudian dilakukan perhitungan peringkat antar kelompok menggunakan sifat kemiripannya, dan akhirnya dibuat sebuah pohon hirarki yang ditampilkan oleh dendogram (Trauth 2006). Kesamaan antar dua objek dihitung menggunakan persamaan Euclidian distance (Jarak Euclidian), dimana persamaan ini merupakan persamaan yang paling sederhana dalam menentukan jarak terpendek antar dua objek dalam suatu kumpulan data Multivariate. Euclidian distance ditentukan menggunakan persamaan (Trauth 2006):

∆ … (4) Banyaknya cluster ditentukan dengan plot jarak antar data. Teknik untuk menghitung jarak dalam metode ini menggunakan metode Ward’s dimana dihitung jumlah kuadrat antar dua kelompok untuk seluruh variable. Persamaan Ward’s adalah sebagai berikut :

(32)

Dimana : W = Jarak G = Kelompok Besar g = Objek (Kelompok Kecil)

Analisis Korelasi dan Regresi

Analisis korelasi digunakan untuk melihat kuat tidaknya hubungan peubah respon (x) dan peubah prediktor (y). Korelasi antar dua peubah diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien korelasi (r).

∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑ ...(6)

dengan x = data anomali suhu muka laut pada masing-masing domain, y = data awal musim hujan pada tiap cluster.

Model persamaan regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dan dapat dinyatakan dalam bentuk suatu fungsi, misalnya Y=f(X). Bentuk persamaan sederhana regresi linier yaitu:

, …(7)

dimana (a) dan (b) merupakan parameter-parameter yang harus diestimasi, (a) menunjukkan intersep Y populasi, sedangkan (b) menunjukkan koefisien kemiringan populasi. Pada umumnya model regresi terdiri dari suatu himpunan asumsi-asumsi tentang distribusi galat (error) , dan hubungan antara X dan Y. X merupakan variabel bebas (independent variabel) dengan nilai harapan (expected value) sama dengan nol dan ragam = , untuk semua nilai X. Selain itu, X dianggap konstan dari contoh ke contoh dan Y merupakan fungsi linier Xi.

Pemilihan Model

Pemilihan model prediksi AMH dilakukan setelah diperoleh beberapa model persamaan yang telah dibangun. Pemilihan ini bertujuan untuk mendapatkan model terbaik dari model-model yang telah diperoleh. Pemilihan model prediksi AMH dilakukan berdasarkan nilai korelasi tertinggi yang diperoleh pada model prediksi AMH dengan Anomali suhu muka laut pada masing-masing domain wilayah perairan.

Verifikasi Model

(33)

testing (independent data) dan menghasilkan sejumlah (n) nilai RMSE, dihitung menggunakan persamaan:

∑ … (8)

Dimana :

Yoi = Observasi pada period ke-i (i = 1,2, . . .n) Ypi = Hasil prakiraan pada period ke-I (i=1,2,. . .n) n = Panjang periode prakiraan

Semakin kecil nilai RMSE mengindikasikan model memiliki tingkat kesalahan prediksi (error) yang kecil. Beberapa alasan penting dilakukan verifikasi model untuk:

• Memonitor kualitas prediksi, seberapa akurat model prediksi dan kaitannya dengan waktu ke depan

• Meningkatkan kualitas prediksi, sebagai langkah lanjutan dalam menemukan kesalahan hasil prediksi

• Membandingkan kualitas prediksi dari model lainnya.

Penanggalan Julian Date (JD)

(34)
(35)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan Stasiun/Pos Hujan

Secara keseluruhan, jumlah total stasiun/pos hujan di Provinsi Sulawesi Selatan berjumlah 208 stasiun (Gambar 3.1; Lampiran 2). Namun, dalam analisis berikutnya dilakukan pemilihan stasiun/pos hujan dengan memeriksa ketersediaan data hujan harian observasi di setiap stasiun/pos hujan dengan periode pengamatan 29 tahun (1981-2009). Berdasarkan hasil pemeriksaan dan persentase ketersediaan data observasi sebesar 70%-100%, diperoleh sebanyak 45 stasiun terpilih untuk digunakan pada analisis selanjutnya (Lampiran 3).Sebaran stasiun/pos hujan terpilih yang digunakan untuk analisis lanjutan secara spasial ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Peta sebaran stasiun terpilih dengan persentase data >70%.

Penentuan Awal Musim Hujan (AMH)

(36)

menggunakan pendekatan agronomi, dimana awal musim hujan ditentukan apabila jumlah curah hujan lima hari (pentad) lebih atau sama dengan 40 mm dan tidak diikuti dengan jumlah curah hujan selama 10 hari (dasarian) di bawah 5 mm selama 30 hari. Perhitungan kriteria ini dilakukan pada semua stasiun/pos hujan terpilih (ketersediaan data curah hujan harian diatas 70%) sebanyak 45 stasiun/pos hujan. Perhitungan pentad di mulai dari tanggal 1 Agutus karena pada bulan Agustus sampai September merupakan puncak musim kering di wilayah Sulawesi Selatan (Aldrian & Susanto 2003).

Berdasarkan hasil perhitungan AMH diperoleh bahwa setiap stasiun/pos hujan di wilayah Sulawesi Selatan memiliki awal musim hujan yang beragam (Gambar 4.2). Rata-rata AMH untuk seluruh stasiun/pos hujan jatuh pada Julian Date (JD) ke-348 atau tanggal 14 Desember. Stasiun/pos hujan yang memiliki nilai AMH pada JD yang paling tinggi atau awal musim hujan jatuh pada tahun berikutnya dari awal perhitungan AMH (1 Agustus) adalah Stasiun BPP. Panincong (PNCG) Kabupaten Soppeng (koordinat: 119 BT, 14 LS) dengan nilai JD ke-473 atau tanggal 18 April. Stasiun/pos hujan yang memiliki nilai JD paling kecil adalah stasiun BPP. Keera (KERA) Kabupaten Wajo (koordinat: 120 BT, 3 LS) dengan nilai JD ke-278 atau tanggal 5 Oktober. AMH untuk setiap stasiun terpilih ditunjukkan pada Lampiran 4.

Gambar 4.2 Rata-rata awal musim hujan pada setiap stasiun/pos hujan.

Tahapan selanjutnya setelah menentukan AMH pada tiap stasiun adalah melakukan Analisis Komponen Utama (PCA). Tujuan melakukan analisis komponen utama adalah menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya sehingga terbentuk variabel baru yang tidak saling berkorelasi. Pemilihan komponen utama ditentukan oleh nilai cumulative yang dapat menjelaskan keragaman data ± 80% (Boer et al, 1996). Hasil analisis komponen utama terhadap nilai AMH diperoleh 6 (enam) komponen utama yang menjelaskan keragaman data ± 80% (Lampiran 5).

Analisis Kelompok (Cluster)

(37)

ditunjukkan pada Gambar 4.3. Hasil scree plot kelompok stasiun/pos hujan berdasarkan analisis cluster dapat dilihat pada Lampiran 6. Stasiun/pos hujan yang masuk ke dalam masing-masing kelompok cluster ditunjukkan pada Tabel 4.1.

37

Gambar 4.3 Hasil analisis cluster kejadian AMH Sulawesi Selatan

Berdasarkan Tabel 4.1, diperoleh bahwa pada Cluster 1 terdapat 13 stasiun/pos hujan yang tersebar pada Kabupaten Bantaeng, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Luwu, Maros, Pinrang, Soppeng dan Wajo. Pada Cluster 2 terdapat 10 stasiun/pos hujan yang terletak di Kabupaten Barru, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Luwu, Makassar, Maros, Soppeng, Takalar dan Wajo. Pada Cluster 3 terdiri dari 12 stasiun/pos hujan yang terdapat di Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Gowa, Luwu, Maros, Pangkep, Pinrang, Soppeng, Takalar. Hasil analisis spasial berdasarkan tiga kelas cluster yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 4.4.

(38)

Tabel 4.1 Pengelompokan stasiun/pos hujan berdasarkan hasil analisis cluster awal musim hujan di Provinsi Sulawesi Selatan

No ID.

22 PNKG Panakukkang Makassar 2 45 PTLG Pattalasang Takalar 3

(39)

Gambar 4.4 Cluster AMH Sulawesi Selatan

Berdasarkan Gambar 4.4 dapat ditunjukkan sebaran wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang masuk dalam Cluster 1, 2 dan 3. Wilayah yang masuk dalam Cluster 1 mempunyai pola hujan bulanan yang berbeda dengan pola hujan Cluster 2 dan Cluster 3.

Pola AMH Cluster 1

(40)

Tabel 4.2 Nilai parameter distribusi AMH (simpangan baku dan rata-rata) pada

Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa pada tahun-tahun El-Nino (1982, 1991 dan 1997) secara berturut-turut kejadian AMH jatuh pada JD ke-387 (22 Januari), 400 (4 Februari) dan 399 (3 Februari). Hal ini mengindikasikan bahwa jika terjadi El-Nino maka kejadian AMH akan mundur pada tahun berikutnya. Kejadian sebaliknya terjadi pada tahun-tahun La-Nina (1988, 1996 dan 1998), hasil rata-rata AMH secara berurut-turut terjadi pada JD ke-292 (19 Oktober), 306 (2 November) dan 282 (9 Oktober). Hal ini mengindikasikan bahwa kejadian El-Nino akan menyebabkan AMH maju dari normalnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Hamada et al. (2002) bahwa kejadian El-Nino tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi mempengaruhi juga lamanya periode musim kemarau sehingga mengakibatkan awal musim hujan mundur dari normalnya. Kejadian berkebalikan dengan tahun-tahun La-Nina dimana pada tahun-tahun tersebut wilayah Indonesia secara umum memperoleh curah hujan yang berlimpah. Tingginya curah hujan disebabkan oleh adanya pergerakan kolam air laut hangat yang memasuki perairan Indonesia sehingga memicu aktivitas konveksi.

1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008

AM

H (J

D)

(41)

Pola AMH Cluster 2

Pada Cluster 2, nilai rata-rata AMH jatuh pada JD ke-318 (14 November) dengan nilai simpangan baku yang diperoleh lebih kecil dari nilai simpangan baku pada Cluster 1 yaitu sebesar 16 (Tabel 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa kejadian AMH pada Cluster 2 dapat terjadi pada tanggal 30 Oktober sampai dengan 29 November.

Pola AMH pada Cluster 2 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar kejadian AMH tiap tahun selama periode 29 tahun cukup beragam. Kejadian AMH pada tahun-tahun El-Nino menunjukkan bahwa AMH jatuh pada tahun yang sama dengan perhitungan awal musim hujan. Pada kejadian El-Nino tahun 1982, AMH yang terjadi jatuh pada JD ke-347 (13 Desember), sedangkan pada tahun 1991 dan tahun 1997 secara berturut-turut AMH jatuh pada JD ke-329 (25 November) dan JD ke-344 (10 Desember). Kejadian AMH yang juga jatuh pada JD ke-344 (10 Desember) terjadi pada tahun 1993. Jika dibandingkan dengan kejadian El-Nino pada tahun yang sama di Cluster 1, menunjukkan bahwa pengaruh El-Nino pada Cluster 2 tidak mengakibatkan AMH jatuh pada tahun berikutnya. Pada tahun-tahun La-Nina (1988, 1996 dan 1998) secara berturut-turut kejadian AMH jatuh JD ke-296 (23 Oktober), 295 (22 Oktober) dan 312 (8 November).

Gambar 4.6 Pola AMH Cluster 2

Pola AMH Cluster 3

Pada nilai parameter distribusi AMH di Cluster 3 (Tabel 4.5) menunjukkan bahwa nilai simpangan baku yang diperoleh cukup bagus jika dibandingkan dengan nilai simpangan baku yang diperoleh dari Cluster 1 dan Cluster 2. Pada Cluster 3 diperoleh nilai simpangan baku sebesar 7 dengan nilai rata-rata AMH jatuh pada JD ke-403 (7 Februari). Hal ini mengindikasikan bahwa AMH pada Cluster 3 dapat terjadi pada tanggal 1 Februari sampai dengan tanggal 13 Februari.

Pola AMH pada Cluster 3 ditunjukkan oleh Gambar 4.7 dimana perbedaan kejadian AMH antara tahun El-Nino dan La-Nina tidak terlalu signifikan. Pada tahun-tahun El-Nino (1982, 1991 dan 1997) diperoleh secara berturut-turut

y = 0.530x + 310.0

1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008

(42)

kejadian AMH jatuh pada JD ke-411 (15 Februari), 404 (8 Februari) dan 402 (6 Februari). Selain itu terdapat beberapa tahun yang kejadian AMH jatuh pada nilai JD yang tinggi yaitu tahun 1994 dengan nilai JD ke-413 (17 Februari) dan tahun 2000 dengan nilai JD ke-412 (16 Februari). Pada tahun-tahun La-Nina (1988, 1996 dan 1998) diperoleh secara berturut-turut kejadian AMH jatuh pada JD ke-396 (31 Januari), dan JD ke-405 (9 Februari) untuk tahun 1996 dan 1998.

Gambar 4.7 Pola AMH Cluster 3

Korelasi AMH dengan Anomali SML

Tahapan korelasi AMH dengan grid anomali suhu muka laut (AnoSML) pada bulan Juni-Juli-Agustus-September (JJAS) di domain wilayah penelitian diawali dengan menghitung rata-rata, maksimum dan minimum AMH stasiun/pos hujan yang terdapat pada tiap cluster. Hasil rata-rata diperoleh nilai AMH sebanyak 29 untuk setiap stasiun/pos hujan selama 29 tahun (1981-2009).Pada pembentukan model prediksi AMH, selanjutnya digunakan hasil rata-rata AMH sebagai prediktan (y) dan nilai AnoSML pada tiap grid di domain wilayah penelitian sebagai prediktor (x). Selain nilai rata-rata AMH, juga diperoleh nilai maksimum dan minimum AMH pada tiap cluster, dimana nilai maksimum menunjukkan datangnya AMH terjadi paling lambat (dapat terjadi pada tahun berikutnya), Nilai minimum menunjukkan datangnya AMH terjadi paling cepat. Nilai rata-rata, maksimum dan minimum AMH pada Cluster 1, 2 dan 3 berturut-turut ditunjukkan pada Gambar 4.8, 4.9 dan 4.10.

y = -0.126x + 404.6

300 350 400 450

1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008

AM

H (J

D)

(43)

Gambar 4.8 Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH Cluster 1

Gambar 4.9 Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH pada Cluster 2

Gambar 4.10 Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH pada Cluster 3

Secara umum, hasil rata-rata AMH pada Cluster 1 (Gambar 4.8) terjadi pada rentang JD ke-315 sampai 358 atau dari tanggal 11 November sampai 24 Desember, dengan kata lain bahwa AMH jatuh di tahun yang sama dengan

(44)

dan Stasiun Doping (DPNG), koordinat: 120o 5’ BT, 4o 0’ LS yang memiliki nilai rata-rata AMH jatuh pada tahun berikutnya. Secara berturut-turut nilai rata-rata AMH kedua stasiun tersebut jatuh pada JD ke-395 (30 Januari) dan 369 (4 Januari). Nilai maksimun AMH yang tertinggi pada Cluster 1 terdapat pada Stasiun Bontouse (BNTS), koordinat: 120o 0’ BT, 4o 0’LS dengan nilai JD ke-480 (25 April) sedangkan nilai minimum AMH terdapat pada Stasiun Batukaropa (BTKP), koordinat: 120o 3’BT, 5o 7’LS dengan nilai JD ke-231 (19 Agustus).

Hasil rata-rata AMH pada Cluster 2 (Gambar 4.9) berkisar pada rentang JD ke-278 sampai 334 atau dari tanggal 5 Oktober sampai 30 November. Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata AMH semua stasiun/pos hujan pada Cluster2 jatuh pada tahun yang sama dengan perhitungan AMH (1 Agustus, JD ke-213). Adapun nilai maksimum AMH pada Cluster 2 terdapat pada Stasiun Bone-Bone (BNBN), koordinat: 120o 8’BT, 2o 10’LS dengan nilai JD ke-492 (7 Mei) sedangkan nilai minimum AMH terdapat pada Stasiun Bulo-Bulo (BLBL), koordinat: 120o 2’BT, 5o 6’LS dengan nilai JD ke-229 (17 Agustus).

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada Cluster 3 (Gambar 4.10) dimana semua stasiun/pos hujan memiliki nilai rata-rata AMH jatuh pada tahun berikutnya. Nilai rata-rata AMH yang diperoleh berkisar antara JD ke-370 (5 Januari) sampai pada JD ke-470 (15 April). Nilai AMH maksimum dan minimum terdapat pada Stasiun Tana Kongkong (TNKK), koordinat: 120o 3’ BT 5o9’LS .Nilai AMH maksimum dan minimum secara berturut-turut jatuh pada JD ke-511 (26 Mei) dan JD ke-238 (26 Agustus).

Analisis berikutnya adalah memetakan nilai korelasi secara spasial untuk melihat sebaran/distribusi korelasi antara AMH wilayah Sulawesi Selatan dengan AnoSML pada masing-masing domain wilayah penelitian. Nilai korelasi yang signifikan ditentukan dengan melakukan uji nyata pada selang kepercayaan 95%.

Peta Korelasi Cluster 1

Hasil korelasi AMH dengan AnoSML di Cluster 1 ditunjukkan pada Gambar 4.11. Pada bulan Juni, nilai korelasi nyata dengan nilai r berkisar antara 0,3 sampai 0,7 terkonsentrasi pada kawasan Nino 4, Nino 3,4 dan semakin meningkat pada bulan September hingga mencapai kawasan Nino 3. Untuk wilayah perairan Sulawesi, korelasi nyata pada bulan Juni dimana nilai korelasi berkisar antara 0,3 sampai 0,07 sampai bulan September yang terkosentrasi pada laut Arafuru, laut Banda sampai pada perairan Sulawesi. Uraian diatas menjelaskan bahwa perairan Sulawesi (lokal) dan Pasifik (ENSO) mempunyai kontribusi nyata terhadap kejadian AMH di wilayah Sulawesi Selatan. Kejadian AMH di Cluster 1 dimulai dari wilayah Sulawesi Selatan bagian barat yang meliputi wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Kota Palopo pada bulan Juni sampai Juli, kemudian berlanjut pada bulan Agustus sampai September meliputi Kabupaten Pinrang bagian barat, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Wajo.

(45)

merupakan tahun kejadian El Nino. Hal yang berbeda terjadi untuk tahun La Nina dimana kejadian AMH maju terjadi pada tahun 1981 (25 Oktober), 1986 (21 November), 1988 (19 Oktober), 1996 (2 November), 1998 (9 Oktober), 2003 (17 November dan 2008 (1 November).

Berdasarkan analisa data klimatologi diperoleh bahwa pola curah hujan di Cluster 1 merupakan pola lokal (Lampiran 7a). Pola hujan lokal dapat dipengaruhi oleh adanya Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air hangat dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melalui laut Indonesia. Alindo mengalir terutama melalui Selat Makassar dengan sebagian kecil mengalir melalui Laut Maluku.Massa air hangat tersebut mendorong terjadinya arus konveksi di sebagian wilayah Sulawesi Selatan pada bulan Mei-Juli (Aldrian & Susanto 2003). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana puncak curah hujan pada Cluster 1 terjadi pada bulan Mei.

Gambar 4.11 Distribusi korelasi nyata AMH dengan AnoSML pada Cluster 1

Peta Korelasi Cluster 2

(46)

Pasifik. Untuk wilayah perairan Sulawesi, korelasi tidak nyata pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, dimana nilai r hanya berkisar antara -0,01 sampai -0,03. Namun pada bulan September terjadi peningkatan korelasi yang nyata di sebagian wilayah Cluster 2 dengan nilai r berkisar antara -0,03 sampai -0,06 yang terkosentrasi pada daerah Sulawesi Selatan bagian utara. Hal yang sama juga terdapat korelasi nyata dengan nilai r berkisar antara 0,03 sampai 0,06 pada bulan Juni, Juli Agustus dan semakin menguat pada bulan September yang terkonsentrasi pada wilayah Pantai Barat Sumatera dimana terdapat pengaruh AnoSML Samudera Hindia (IOD).

Gambar 4.12 Distribusi korelasi nyata AMH dengan AnoSML pada Cluster 2

(47)

yaitu tahun 1984 (30 Oktober), 1988 (23 Oktober), 1989 (25 Oktober), 1992 (27 Oktober), 1996 (22 Oktober), 1999 (28 Oktober dan 2008 (6 November). Hal ini sesuai dengan penelitian Hamada et al. (2002) yang menyatakan bahwa pada tahun-tahun El Nino di wilayah Sulawesi Selatan akan menyebabkan kejadian AMH mundur dari normalnya yaitu terjadi pada awal bulan Desember, sedangkan pada tahun-tahun La Nina kejadian AMH akan maju dari normalnya yaitu terjadi akhir bulan Oktober.

Korelasi nyata AMH Cluster 2 pada bulan Juni, Juli, Agustus dan menguat pada bulan September pada wilayah pantai barat Sumatera yang dipengaruhi oleh AnoSML Samudera Hindia (IOD). Hal ini disebabkan karena adanya siklus IOD yang diawali dengan munculnya AnoSML negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei – Juni.Bersamaan dengan itu, terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Selanjutnya pada bulan Juli – Agustus, anomali negatif SML terus menguat dan cakupannya meluas sampai ke ekuator di sepanjang pantai selatan Jawa hingga pantai barat Sumatera, sementara itu mulai muncul pula anomali positif SML di Samudera Hindia bagian barat. Adanya dua kutub di Samudera Hindia ekuator ini, semakin memperkuat anomali angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera.Siklus ini menguat pada bulan September dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober, dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November – Desember (Saji et al. 1999).

Peta Korelasi Cluster 3

Hasil korelasi AMH dengan AnoSML di Cluster 3 ditunjukkan pada Gambar 4.13. Secara umum pada Cluster 3, menunjukkan bahwa pada AnoSML pada semua bulan JJAS didomain penelitian memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Perbedaaan pengaruh tersebut sangat baik digunakan sebagai model prediksi karena dapat diketahui time lag (jeda waktu) yang dibutuhkan oleh kenaikan AnoSML terhadap kejadian AMH di Provinsi Sulawesi Selatan. Dibandingkan dengan peta korelasi pada Cluster 1 dan 2, pada Cluster 3 terlihat korelasi nyata antara AMH dengan AnoSML dengan nilai r yang berkisar antara 0,3 sampai 0,4 terjadi pada perairan Sulawesi, namun korelasi tersebut hanya terjadi pada bulan Juni, dan semakin melemah korelasinya pada bulan Juli, Agustus dan September. Demikian halnya dengan korelasi AMH dengan AnoSML pada kawasan Samudera pasifik dan Hindia, dimana pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September mempunyai korelasi yang rendah dan tidak nyata dengan nilai r berkisar antara 0,1 sampai 0,3. .

(48)

Gambar 4.13 Distribusi korelasi nyata AMH dengan AnoSML pada Cluster 3

Penyusunan Model Prediksi AMH di Sulawesi Selatan

Model prediksi AMH

(49)

Tabel 4.3 Grid AnoSML terpilih berdasarkan nilai korelasi nyata

*) Uji nyata pada selang kepercayaan 95 %

Tabel 4.3 menunjukkan nilai korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% antara rata-rata AMH tiap cluster dengan grid AnoSML bulan JJAS domain wilayah penelitian. Pada Cluster 1, secara umum menunjukkan bahwa hampir semua domain wilayah penelitian berkorelasi nyata pada selang kepercayaan 95% dengan kejadian AMH. Untuk kawasan Pasifik yang meliputi kawasan Nino 3, Nino 3.4 dan Nino 4 diperoleh nilai korelasi nyata terhadap AnoSML bulan Juli dengan nilai korelasi (r) secara berturut-turut sebesar 0,65 pada grid koordinat 146oBB, 0oLS (Nino 3 dan Nino 3.4) dan 0,64 pada grid koordinat 152oBB, 0oLS. Untuk wilayah perairan Sulawesi diperoleh korelasi nyata terhadap AnoSML bulan Agustus dengan nilai korelasi (r) sebesar -0,78 pada grid koordinat 128oBT, 2oLU.

Pada Cluster 2, semua domain wilayah penelitian mempunyai korelasi nyata dengan AnoSML bulan September dengan nilai korelasi (r) secara berturut-turut sebesar 0,82 pada grid koordinat: 148oBB, 12oLS (Nino 3 dan Nino 3.4), nilai r = 0,81 pada grid koordinat 150oBB, 12oLS (Nino 4) dan nilai r = -0.63 pada grid koordinat 128o BT, 2o LU (perairan Sulawesi). Hal yang sama juga terjadi pada Cluster 3 dimana semua domain wilayah penelitian berkorelasi terhadap AnoSML bulan Juni namun korelasi nyata (r = -0,48) hanya terjadi pada wilayah perairan Sulawesi dengan grid koordinat: 126oBT,2oLU (Tabel 4.3).

Pemilihan Model Prediksi AMH Terbaik

(50)

model prediksi AMH dengan nilai korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% untuk mewakili masing-masing cluster (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Model prediksi terbaik antara AMH dengan AnoSML

Cluster AnoSML

*) Uji nyata pada selang kepercayaan 95 %

Berdasarkan Tabel 4.4, diperoleh model prediksi AMH pada Cluster 1, 2 dan 3 dengan nilai korelasi berturut-turut -0,78, 0,82 dan -0,48 yang siginifikan pada selang kepercayaan 95% (nilai p < 0,05). Pada Cluster 1 diperoleh model prediksi dengan nilai korelasi tertinggi pada bulan Agustus, terletak pada grid dengan koordinat 128oBT, 2oLU. Model prediksi pada Cluster 1 menyatakan bahwa setiap kenaikan 1oC AnoSML akan menyebabkan kejadian AMH maju selama 59 hari dari JD ke-346 (12 Januari). Untuk Cluster 2 model prediksi terbaik terjadi pada bulan September dengan nilai korelasi (r) = 0.815 terletak pada grid dengan koordinat 148o BB, 12oLS. Model prediksi Cluster2 menyatakan bahwa setiap kenaikan 1oC AnoSML akan menyebabkan kejadian AMH mundur selama 42 hari dari JD ke-309 (5 Nopember). Pada Cluster 3 model prediksi AMH terbaik jatuh pada bulan Juni terletak pada grid dengan koordinat 126oBT, 2oLU. Model prediksi Cluster 3 menyatakan bahwa setiap kenaikan 1oC AnoSML akan menyebabkan kejadian AMH maju selama 15 hari dari JD ke-405 (9 Februari).

Verifikasi Hasil Model Prediksi

(51)

Gambar 4.14 Nilai RMSE dan perbandingan antara kejadian AMH Observasi dengan AMH Model pada Cluster 1

Kejadian AMH Observasi dan AMH Model pada Cluster 1 ditampilkan pada Gambar 4.14. Kejadian AMH Model mendekati AMH Observasi terjadi pada tahun 2006, 2007 dan 2009. Pada tahun 2006 diperoleh selisih kejadian AMH Observasi dan AMH Model hanya terpaut 3 hari, dimana kejadian AMH Observasi jatuh pada JD ke-358 atau tanggal 24 Desember sedangkan kejadian AMH Model jatuh pada JD ke-361 atau tanggal 27 Desember. Pada tahun 2007 kejadian AMH Observasi jatuh pada JD ke-342 atau tanggal 8 Desember sedangkan AMH Model jatuh pada JD ke-340 atau tanggal 6 Desember, dengan kata lain selisih kejadian AMH yang dihasilkan oleh keduanya hanya terpaut 2 hari. Demikian pula untuk tahun 2009, selisih kejadian AMH Observasi hanya terpaut 3 hari dengan kejadian AMH Model, dimana kejadian AMH Observasi jatuh pada JD ke-324 atau tanggal 20 November sedangkan AMH Model jatuh pada JD ke-327 atau tanggal 23 November. Selisih kejadian AMH yang cukup jauh terjadi pada tahun 2008 yaitu selama 20 hari. Kejadian AMH Observasi jatuh pada JD ke-305 atau tanggal 1 November sedangkan AMH Model jatuh pada JD Ke-325 atau tanggal 21 November. Karena selisih kejadian AMH Observasi dan AMH Model pada Cluster 1 relatif kecil sehingga diperoleh Nilai RMSE sebesar 13.

Pada Cluster 2, seperti pada Gambar 4.15 terlihat bahwa grafik AMH Model relatif berada dibawah dari grafik AMH Observasi, namun pada tahun 2009 grafik AMH Model yang dihasilkan berada diatas dari AMH Observasi. Hal ini dapat dipahami karena pada tahun 2006, 2007 dan 2008 kejadian AMH Observasi secara beturut-turut jatuh pada JD ke-341 (7 Desember), 328 (24 November) dan 310 (6 November), hasil ini jauh diatas dari kejadian AMH Model yang jatuh pada JD ke-304 (31 Oktober), 288 (15 Oktober) dan 275 (2 Oktober) ditahun yang sama. Namun hasil yang berbeda terjadi pada tahun 2009, dimana selisih kejadian AMH Observasi dengan AMH Model hanya terpaut 4 hari. Kejadian AMH Observasi jatuh pada JD ke-322 (18 November) sedangkan kejadian AMH Model jatuh pada JD ke-326 (22 November). Hasil perhitungan nilai RMSE pada Cluster2 diperoleh nilai sebesar 29.

2006 2007 2008 2009

AMH Obs. 358 342 305 324

AMH Model 361 340 325 327

(52)

Gambar 4.15 Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan AMH Model pada Cluster 2.

Gambar 4.16 Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan AMH Model pada Cluster 3

Hasil RMSE yang cukup bagus diperlihatkan pada Cluster 3 (Gambar 4.16). Dibandingkan dengan nilai RMSE pada Cluster 1 dan 2, nilai RMSE Cluster 3 lebih kecil yaitu 3. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa model prediksi Cluster3 memiliki ketepatan lebih baik dalam memprediksi kejadian AMH dibandingkan dengan model prediksi pada Cluster 1 dan 2. Grafik kejadian AMH Observasi dengan AMH Model memperlihatkan pola yang sama dan saling berdekatan satu sama lain. Hal ini dapat dipahami karena kejadian AMH Observasi tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 secara berturut-turut jatuh pada JD ke-394 (29 Januari), 396 (31 Januari), 408 (12 Februari), 403 (7 Februari). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kejadian AMH Model yang jatuh pada JD ke-397 (1 Februari), 398 (2 Februari), 406 (10 Februari) dan 400 (4 Februari).

2006 2007 2008 2009

AMH Obs. 341 328 310 322

AMH Model 304 288 275 326

200

AMH Obs. 394 396 408 403

AMH Model 397 398 406 400

(53)

5.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Awal musim hujan di wilayah Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh interaksi Laut-Atmosfir di kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi, meskipun besar pengaruh di tiap wilayah berbeda-berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan hasil korelasi AMH di wilayah Sulawesi Selatan dengan AnoSML dikawasan Pasifik (5o LU – 5o LS, 160o BT – 150o BB) dan AnoSML Perairan Sulawesi (4o LU – 10o LS, 114o – 128o BT).

2. Domain prediktor kawasan pasifik (grid dengan koordinat : 148BB, 12 LS) memiliki pengaruh yang kuat terhadap kejadian AMH wilayah Sulawesi Selatan dibandingkan dengan domain yang lain, dimana nilai korelasi (r) sebesar 0,82. Domain wilayah Perairan Sulawesi memiliki pengaruh yang dominan terhadap AMH di wilayah Sulawesi Selatan. Pernyataan ini dapat dikuatkan dengan grid yang mempengaruhi AMH di Cluster 1 dan Cluster 3 merupakan wilayah Perairan Sulawesi.

3. Berdasarkan verifikasi hasil model prediksi selama empat tahun diperoleh bahwa nilai RMSE yang paling kecil terdapat pada Cluster 3 dengan nilai RMSE sebesar 3, sedangkan nilai RMSE pada Cluster 1 dan Cluster 2 diperoleh nilai RMSE secara berturut-turut sebesar 16 dan 29.

Saran

Gambar

Gambar 2.1 (a).Sel Hadley dan (b). Sirkulasi Meridional (Sirkulasi Hadley)
Gambar 2.2  Daerah-daerah Muson (dimodifikasi dari Ramage 1971)
Gambar 2.3 Skema Sirkulasi Walker sepanjang ekuator pada kondisi non-
Gambar 2.6 Pola puncak musim pada wilayah hujan A. Garis tebal menunjukkan siklus hujan tahunan, sedangkan garis putus-putus menunjukkan simpangan baku (standard deviation) di atas dan di bawah rata-rata (dimodifikasi dari Aldrian & Susanto 2003)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa peningkatan produksi keripik pare ke depan lebih menjanjikan dari pada keripik sayur lainnya, disamping pula ada

Keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan sekolah perempuan desa Sumberejo terihat dari penerapan setelah melakukan srangkaian kegaiatan dan materi yang berkaitan

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kecepatan mentansmisikan data dari clent ke server initiator antara single link interface dan double

Pada parameter TSS, dosis koagulan yang rendah akan menghasilkan penurunan konsentrasi TSS yang rendah pula sedangkan dosis yang tepat akan memberikan hasil yang

,engingatkan kembali ke&#34;ada ibu tentang &#34;ers/nal $ygiene &#34;ada balita  dengan membiasakan kebiasaan 9u9i tangan setela$ melakukan aktiitas?.

 Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas

Pada tahun 2011 AMH Provinsi DKI Jakarta mencapai 99,15 persen lebih tinggi dari rata-rata AMH nasional (92,99%), dengan AMH tertinggi terdapat di Kota Jakarta Pusat (99,53%)