• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characterization and Expression of Tomato infectious chlorosis virus Coat Protein Gene in Escherichia coli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Characterization and Expression of Tomato infectious chlorosis virus Coat Protein Gene in Escherichia coli"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

FITRIANINGRUM KURNIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Karakterisasi Dan Ekspresi Gen Coat Protein Tomato infectious chlorosis virus Pada Escherichia coli adalah karya saya sendiri, dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

FITRIANINGRUM KURNIAWATI. Characterization and Expression of

Tomato infectious chlorosis virus Coat Protein Gene in Escherichia coli. Supervised by GEDE SUASTIKA and GIYANTO.

Tomato infectious chlorosis virus (TICV) is a member of Crinivirus genus. TICV infects tomato crop in Garut and Cipanas, West Java Indonesia. Tomato initially showed bright interveinal yellowing symptoms. The coat protein gene (CP-TICV) was amplified by RT-PCR from total RNA extracted from infected tomato leaves and the amplified fragment was cloned and completely sequenced. The fragment was subsequently subcloned into the pET-21b expression vector. The recombinant plasmid was transformed to Escherichia coli strain BL21(DE3)pLysS to express the coat protein. The coat protein fused to a 6xhistag, was purified by affinity chromatography using a NiNTA spin column. The identity of the purified protein was confirmed by SDS-PAGE. In this experiment, 792 bp of CP-TICV gene of TICV virus has been successfully cloned, sequenced, and expressed in E. coli. Based on nucleotide sequences alignment analysis, TICV-Indonesia strain showed 100% identity to TICV –Spain strain and 99% identity to North America, France, and California strains and based on amino acid sequences alignment analysis, TICV-Indonesia strain showed 100% identity to TICV –Spain, North America, France strains and 99.2% identity to California strain. CP-TICV showed over expressed in E. coli when it is induced with 1 mM IPTG and incubated at 37oC. Purified CP-TICV-Histag recombinants protein sized 29 kDa based on SDS-PAGE analysis.

(6)
(7)

RINGKASAN

FITRIANINGRUM KURNIAWATI. Karakterisasi dan Ekspresi Gen Coat

Protein Tomato infectious chlorosis virus pada Escherichia coli. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA dan GIYANTO.

Penyakit klorosis pada tanaman tomat telah ditemukan di Indonesia. Penyebab penyakit klorosis ini adalah Tomato infectious chlorosis virus (TICV) anggota dari genus Crinivirus (famili Closteroviridae). Pada tanaman tomat, infeksi TICV menyebabkan berbagai gejala antara lain: klorosis antar tulang daun (interveinal yellowing), nekrotik, daun rapuh, ukuran buah mengecil, dan proses pemasakan buah terganggu. Deteksi virus dapat dilakukan dengan reverse transcription–polymerase chain reaction (RT-PCR) dan dengan pendekatan serologi yaitu enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), tissue blot immunosorbent assay (TBIA), dan dot blot immunosorbent assay (DIBA). Antiserum merupakan komponen utama dalam uji serologi, namun demikian antiserum terhadap TICV belum tersedia di Indonesia. Usaha penyediaan antiserum bermanfaat sebagai sarana dalam mendeteksi TICV. Ekspresi gen coat

protein (CP) TICV pada Escherichia coli menjanjikan tersedianya antigen dalam jumlah yang cukup untuk produksi antiserum.

Penelitian ini bertujuan untuk: mendeteksi penyakit klorosis yang disebabkan oleh TICV dengan RT-PCR, mengarakterisasi gen CP-TICV isolat Indonesia dan melakukan ekspresi gen CP-TICV pada bakteri E. coli. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret 2009 – April 2011 di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Biokimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Tanaman sumber virus dikumpulkan dari tanaman bergejala klorosis di sentra produksi tomat Cikajang-Garut dan Cipanas-Cianjur, Jawa Barat. Untuk mengarakterisasi gen CP-TICV dilakukan ekstraksi RNA total dengan Qiagen Rneasy plant mini kits. RNA hasil ekstraksi digunakan sebagai cetakan dalam sintesis complementary (c)DNA melalui reaksi RT. cDNA hasil RT digunakan sebagai cetakan dalam reaksi PCR menggunakan primer spesifik. Hasil PCR langsung dirunut nukleotidanya di PT. Macrogen Incorporation-Korea Selatan. Runutan nukleotida tersebut dianalisis dengan program Basic Local Alignment Search Tools (BLAST). Gen CP-TICV disisipkan ke dalam vektor ekspresi pET-21b pada situs pemotongan BamHI dan

(8)

diketahui berukuran 792 bp. Berdasarkan hasil analisis alignment two sequence

runutan nukleotida gen CP tersebut, TICV isolat Indonesia mempunyai kemiripan 100% dengan TICV isolat Spanyol, dan 99% dengan isolat Amerika Utara, Perancis, dan California. Sedangkan berdasarkan hasil analisis alignment two sequence runutan asam amino protein CP tersebut, TICV isolat Indonesia mempunyai kemiripan 100% dengan Spanyol, Amerika Utara, dan perancis, serta 99.2% dengan California. Ekspresi gen CP-TICV berhasil dilakukan pada E. coli

dengan menginduksinya menggunakan 1 mM IPTG pada 37 oC selama semalam. Protein CP-TICV berhasil dipurifikasi dengan NiNTA spin column dan melalui analisis SDS-PAGE CP-TICV diketahui berukuran 29 kDa.

(9)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

KARAKTERISASI DAN EKSPRESI GEN COAT PROTEIN

Tomato infectious chlorosis virus PADA Escherichia coli

FITRIANINGRUM KURNIAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Karakterisasi dan Ekspresi Gen Coat Protein

Tomato infectious chlorosis virus pada Escherichia coli

Nama Mahasiswa : FITRIANINGRUM KURNIAWATI

NIM : A352080051

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc Dr. Ir. Giyanto, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur alkhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah

Subhanahuwata’ala karena berkat dan rahmat-Nya sehingga tesis yang berjudul

”Karakterisasi dan Ekspresi Gen Coat Protein Tomato infectious chlorosis virus

pada Escherichia coli” dapat terselesaikan.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir.

Gede Suastika, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Giyanto, M.Si

selaku anggota komisi pembimbing, atas segala kesabaran, bimbingan, nasihat,

kritik, dan sarannya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc selaku

Ketua program studi Fitopatologi dan semua dosen Departemen Proteksi Tanaman

IPB atas ilmu yang bermanfaat. Terimaksih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir.

Tri Asmira Damayanti, M. Agr selaku dosen penguji tamu.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Kelompok Peneliti

(Kelti) Biokimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan

Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-BIOGEN) Dr. I Made Samudera, yang telah

memberikan ijin kepada penulis untuk mengerjakan penelitian di Laboratorium

Biokimia BB-BIOGEN, dan kepada Dr. Ir. Tri Puji Priyatno M.Sc, Dr. Ifa

Manzila, M.Si terimakasih atas bimbingan, arahan, dan masukan selama penulis

mengerjakan penelitian di BB-BIOGEN.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada

teman-teman Laboratorium Virologi, Pak Edi, Mbak Tuti Susanti Legiastuti, S.Si,

Ibu Dr. Ifa Manzila, M. Si, Irwan Lakani M. Si, Ibu Dra. Rita Noveriza, M. Sc,

Budi Sri Utami SP, Devi Agustina M. Si, Mbak Damayanti SP, Mbak

Miftachurohmah SP, Aceu SP, Mbak Melinda SP, Mbak Dwi S.Si, dan Adik-adik

mahasiswa S1. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman

seperjuangan PS Entomologi-Fitopatologi 2008 (Kak Linda M. Si, Kak Nilda M.

Si, Mas Tri M. Si, Wawan M.Si, Kak Kiki SP, Mia M. Si, Yani M. Si, Bang Dedi

M. Si, Pak Aser, Pak Gatot, Kak Nela M. Si, Kak Rika M. Si, dan Umbu SP),

teman-teman Fito 2007 (Eva M. Si, Donna M. Si, Teh Rika M. Si, dan Bruce M.

(16)

Secara khusus penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih

kepada yang tercinta ayahanda dan ibunda atas segala pengertian, dorongan, dan

doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan, serta

kepada bapak dan ibu mertua terimakasih atas doa dan semangatnya. Ungkapan

terima kasih juga disampaikan kepada suami Bangun Sulistyobudi, ST dan ananda

tersayang Ayazid Iqbal Budialbani atas segala semangat, pengertian, kasih

sayang, motivasi dan inspirasi selama penulis menempuh studi.

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Bogor, Januari 2012

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo, Jawa Tengah pada tanggal 28 Juni 1983

dari pasangan Bapak Kumpul Hermawan dan ibu Tri Budiarsi. Penulis

merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Sukoharjo dan pada tahun

yang sama masuk Institut Pertanian Bogor, Departemen Proteksi Tanaman

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2005 penulis

mendapat gelar Sarjana Pertanian. Tahun 2005-2007 penulis bekerja di

perusahaan tanaman hias CV. Salsabiila Nursery Cipanas-Cianjur Jawa Barat.

Tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program

Magister Sains di Program Pascasarjana IPB dengan biaya dari orangtua. Selama

melaksanakan studi, penulis aktif di forum wacana Ento-Fito sebagai bendahara.

Penulis menjadi asisten dosen penyakit kelapa sawit program D3 IPB

(2009-2010). Tahun 2009 penulis mengikuti seminar internasional Perhimpunan

Fitopatologi Indonesia di Universitas Hassanudin – Makassar, dan pada tahun

yang sama penulis menikah dengan Bangun Sulistyobudi, ST dan dikaruniai satu

(18)
(19)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Tingkat kesamaan isolat TICV dari beberapa negara

berdasarkan perunutan nukleotida... 29 2. Tingkat kesamaan isolat TICV dari beberapa negara

(20)
(21)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Partikel TICV berbentuk seperti benang memanjang

(filamentous) dan lentur... 5

2. Organisasi genom TICV... 6

3. Vektor ekspresi pET-21b... 12

4. Gejala penyakit klorosis di lapangan... 26

5. Deteksi RT-PCR TICV dan ToCV dengan primer spesifik pada tanaman tomat yang bergejala klorosis... 27

6. Amplifikasi gen CP-TICV... 28

7. Hasil Alignment nukleotida antara genom TICV- Indonesia dengan genom TICV yang terdapat pada Genbank ... 30

8. Hasil Alignment asam amino antara genom TICV- Indonesia dengan genom TICV yang terdapat pada Genbank ...... 31

9. Pohon filogenetik berdasarkan runutan nukleotida (A) dan asam amino (B) gen protein selubung isolat TICV-Indonesia 32 10. Hasil elektroforesis 1% gel agarose A) pemotongan plasmid rekombinan pET-21b-CP, B) hasil PCR koloni tunggal E. coli rekombinan... 33

11. Optimasi ekspresi protein CP TICV pada beberapa suhu 35

12. Analisis SDS-PAGE ekspresi CP-TICV pada bakteri E. coli strain BL21(DE3)pLysS yang diinduksi dengan IPTG dan yang tidak diinduksi IPTG... 36

(22)
(23)
(24)
(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill. ) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting di Indonesia. Tomat mempunyai kandungan

zat gizi yang banyak, seperti vitamin A, C, karbohidrat, lemak, protein, dan

kalsium. Selain kaya kandungan gizinya, tomat juga mengandung likopen yang

berfungsi sebagai antioksidan, mengobati gangguan pencernaan, memulihkan

fungsi lever dan mencegah penggumpalan dan pembekuan darah (Astawan 2008).

Penyakit klorosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang tomat.

Penyakit klorosis sudah banyak dilaporkan menyerang tanaman tomat di berbagai

negara. Di Indonesia, penyakit ini telah ditemukan di beberapa sentra produksi

tomat, seperti di Garut, Cianjur, Bogor, Magelang, dan Yogyakarta (Fitriasari

2010; Hartono & Wijonarko 2007). Penyakit klorosis disebabkan oleh Tomato infectious chlorosis virus (TICV) (Dalmon et al. 2005; Tsai et al. 2004). TICV merupakan anggota dari genus Crinivirus (famili Closteroviridae) (Wisler et al. 1996; Li et al. 1998; Jacquemond et al. 2008).

Gejala serangan TICV pada tanaman tomat ditunjukan oleh klorosis pada

bagian antara tulang daun (interveinal yellowing). Jika gejala klorosis sangat parah, daun akan mengalami nekrotik (kematian jaringan) dan menjadi rapuh,

serta ukuran buah menjadi lebih kecil, mudah gugur dan proses pemasakan

terganggu sehingga hasil panen menurun (Wisler et al. 1998a; Wisler et al. 1998b; Vaira et al. 2002).

TICV ditularkan dari satu tanaman ke tanaman lainnya oleh serangga

vektor Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae) yang dikenal dengan nama kutu kebul. Penularan dapat terjadi secara cepat ke seluruh areal pertanaman

karena serangga vektor bersifat aktif. TICV ditularkan oleh serangga vektor

secara semipersisten (Duffus et al. 1994; Wintermantel 2004).

Sampai saat ini deteksi TICV dapat dilakukan dengan pendekatan

(26)

2

yang mahal. Selain RT-PCR, pendekatan serologi enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), tissue blot immunosorbent assay (TBIA), dan dot blot immunosorbent assay (DIBA) juga diterapkan untuk deteksi virus tanaman karena lebih murah namun tetap cepat. Deteksi secara serologi ini memerlukan

antiserum. Antiserum TICV belum tersedia di Indonesia, sehingga menyulitkan

dalam mendeteksi virus ini. Usaha ke arah penyediaan antiserum akan sangat

bermanfaat sebagai sarana dalam mendeteksi TICV.

Secara konvensional, siapan virus murni digunakan sebagai antigen dalam

produksi antiserum. Untuk mendapatkan siapan virus murni diperlukan titer virus

yang tinggi pada jaringan tanaman sumber virus. Syarat ini tidak dapat dipenuhi

oleh TICV dalam jaringan tanaman tomat. TICV adalah virus yang

penyebarannnya di dalam tanaman inang terbatas pada jaringan floem, oleh

karena itu konsentrasi partikelnya sangat rendah dalam keseluruhan jaringan

tanaman. Penyebaran yang terbatas pada jaringan floem ini menyebabkan TICV

sangat sulit untuk diekstraksi agar mendapatkan jumlah yang memadai.

Kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler telah menyediakan

metode ekspresi suatu gen tertentu yang disisipkan dalam vektor ekspresi

(plasmid) pada Escherichia coli. Ekspresi gen CP TICV pada E. coli menjanjikan tersedianya immunogen dalam jumlah yang cukup untuk produksi antiserum.

Keunggulan penyediaan antiserum dengan metode ini antara lain: protein yang

dihasilkan bersifat spesifik sehingga tidak bereaksi terhadap protein tanaman,

dapat tersedia antigen dalam jumlah yang mencukupi setiap saat apabila

diperlukan untuk produksi antiserum, (Cotillon et al. 2005). Melihat keunggulan diatas maka diperlukan suatu metode untuk dapat mengekspresikan gen CP TICV

yang akan digunakan sebagai antigen dalam produksi antiserum. Ketersediaan

antiserum yang mencukupi sangat diperlukan untuk mewujudkan pendeteksian

TICV yang cepat dan akurat yang akhirnya sangat menentukan tindakan

(27)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk mendeteksi

penyakit klorosis yang disebabkan oleh TICV dengan RT-PCR, mengarakterisasi

(28)
(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Tomato infectious chlorosis virus (TICV)

Tomato infectious chlorosis virus (TICV) pertama kali ditemukan pada tahun 1993 di daerah Irvine Orange, California. Pengamatan pertama kali

dilakukan oleh Bill Glover (Crops Production Service-Riverside menunjukkan

adanya gejala serangan TICV pada pertanaman tomat). Tanaman yang sakit ini

menunjukkan gejala menguning pada bagian di antara tulang daun (interveinal yellowing) dan nekrosis. Survei untuk mengetahui kejadian penyakit yang disebabkan oleh TICV dilakukan di daerah dekat Irvine dan sebelah selatan Irvine

pada musim semi tahun 1994. Survei penyakit ini dilakukan kembali di Orange,

San Diego dan Carlsbad. Pada bulan Juli 1994 Dr. Bryce Falk menemukan gejala

serangan TICV yang sama pada pertanaman tomat di daerah Yolo, California

(pertanian organik Universitas California). TICV diisolasi dari pertanaman tomat

di lapang dan rumah kaca di kampus Davis. Penyakit kemudian ditemukan di

pembibitan tomat komersial rumah kaca, 15 mil dari Davis bagian utara dan

California Tengah (daerah San Benito) (Duffus et al. 1996). Penyakit ini menyebar dan menimbulkan kerugian yang sangat besar di Negara penghasil

tomat seperti Yunani (Dovas et al. 2002), Italia dan Jepang (Hartono et al. 2003), Taiwan (Tsai et al. 2004) dan Spanyol (Font et al. 2004).

Survei lapang terhadap penyakit ini telah dilakukan di Indonesia pada

tahun 2005 sampai awal 2006, yaitu di daerah Magelang, Jawa Tengah dan

Purwakarta, Jawa Barat. Penyakit yang disebabkan TICV ini sering disebut

dengan penyakit ungu oleh petani di Magelang. Rata-rata intensitas penyakit ini di

Magelang mencapi 30% sampai 80% (Hartono dan Wijonarko 2007). Serangan

TICV telah ditemukan di dataran tinggi di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut,

Jawa Barat (Fitriasari 2010).

TICV adalah salah satu anggota Genus Crinivirus. Crinivirus berasal dari kata ‘crinis’ (Bahasa Latin, yang artinya rambut) yang berarti ‘virus yang partikelnya tampak seperti benang yang sangat panjang’. Virion terdiri atas

(30)

5

dengan simetri helix. Menurut Wisler et al. (1996) partikel virus TICV, yang dilihat pada siapan murni hasil ekstraksi tanaman tomat sakit, berbentuk seperti

benang (threadlike), memanjang (filamentous), dan lentur (flexuous). Partikel TICV memiliki panjang 850 – 900 nm (Duffus et al. 1996, Liu et al. 2000).

Gambar 1 Partikel TICV berbentuk seperti benang (threadlike), memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu 2000).

Genom TICV bersegmen (segmented). TICV mempunyai dua genom (bipartite), positif sense. Single stranded (ss) RNA, yaitu RNA 1 (7.8 kb) dan RNA 2 (7.4 kb). Pada RNA genom tersebut terdapat beberapa open reading frame

(ORF) yang menyandi beberapa protein struktural dan non struktural. RNA 1

mengandung ORF yang mengkode dua jenis protein yang terlibat dalam replikasi

virus, sedangkan RNA 2 mengandung ORF untuk sebuah protein kecil yang

hidrofobik (small hydrophobic protein), heat shock protein 70 homologue

(HSP70h), sebuah protein berukuran sekitar 60 kDa, dan dua jenis protein mantel

(31)

Gambar 2 Organisasi genom TICV (Wintermantel et al. 2009).

Infeksi TICV pada tanaman tomat menyebabkan daun-daun tomat

klorosis, yaitu menguning di antara tulang daun (interveinal yellowing) yang berasosiasi dengan berkurangnya kemampuan fotosintesisnya. Pada

perkembangan selanjutnya daun-daun menjadi rapuh (leaf brittleness), mengalami nekrotik pada beberapa bagian dan warna bagian yang nekrotik menjadi merah

keunguan (bronzing), kebugaran (vigor) tanaman menjadi sangat berkurang, dan apabila menghasilkan buah maka ukurannya jauh lebih kecil dari normal dan

proses pematangannya terganggu, serta mudah gugur (early senescence) sehingga sangat menurunkan bahkan meniadakan nilai ekonomi tanaman yang terinfeksi

(Duffus et al. 1996; Dalmon et al. 2005).

TICV tidak dapat ditularkan secara mekanis, tetapi dapat ditularkan

dengan serangga vektor (kutu kebul rumah kaca (Trialeurodes vaporariorum

Westwood.) (Hemiptera: Aleyrodidae)) secara semipersisten. Berdasarkan

ketidakmampuan virus tumbuhan melakukan sirkulasi dalam vektor, virus

semipersisten sama non-persisten. Sebaliknya, berdasarkan kemampuan

penularannya virus semipersisten lebih menyerupai virus persisten, yaitu

membutuhkan waktu yang relative lama. Menurut Wisler et al. (1998a) TICV memiliki periode persistensi selama 4 hari. Periode makan akuisisi di atas 48 jam.

TICV dapat ditularkan dengan waktu yang terbatas antara 1-9 hari tergantung dari

virusnya.

TICV memiliki inang yang luas. TICV mampu menyerang 26 spesies dari

(32)

7

yang meliputi: famili Solanaceae (Tomat (Lycopersicon esculentum Mill., tomatillo (Physalis ixocarpa Brot.), Physalisalkekengi L., P. floridana. Rybd., P.

wrightii Gray., dan kentang (Solanum tuberosum L.), Nicotiana benthamiana

Domin., N. clevelandii Gray., N. glauca Graham., petunia (Petunia hybrida

Vilm.)) ; Chenopodiaceae (Chenopodium capitatum L., C. murale L.) ; Compositae (artichoke (Cynara scolymus L.), Cynara scolymus L., lettuce (Lactuca sativa L.), Picris echioides L., Senecio vulgaris L., Sonchus oleraceus

L., Zinnia elegans Jacq) ; Cruciferae (Capsella bursa-pastoris (L.) Medic)) ; Geraniaceae (Erodium cicutarium (L.)L’Her., Geranium dissectum L.) ; Leguminosae (Trifolium subterraneum L.) ; Malvaceae ( Anoda cristata (L.) Schlecht.) ; Umbelliferae (Conium maculatum L.) (Duffus et al. 1996; Wisler et al. 1996; Li et ai. 1998).

Deteksi TICV pada tomat sangat diperlukan dalam strategi pengendalian.

Seiring dengan pesatnya kemajuan pada bidang bioteknologi, metode deteksi

virus tumbuhan juga berkembang sangat cepat. Teknik RT-PCR dikembangkan

untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA hasil transkripsi yang terdapat

dalam jumlah sangat sedikit di dalam sel. Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan

dengan menggunakan RNA sebagai cetakan, maka terlebih dahulu dilakukan

proses transkripsi balik (reverse transcription) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini

sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum

dilakukan kloning dan analisis, maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun

penyakit genetik (Yuwono 2006).

Teknik RT-PCR memerlukam enzim transkriptase balik (reverse transcriptase). Enzim transkriptase balik adalah enzim DNA polymerase yang menggunakan molekul RNA sebagai cetakan untuk menyintesis molekul DNA

(cDNA) yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Beberapa enzim

(33)

mampu menyintesis cDNA sampai sepanjang 10 kb, sedangkan Tth DNA polymerase mampu menyintesis cDNA sampai sepanjang 1-2 kb (Yuwono 2006).

Teknik deteksi TICV dengan RT-PCR telah dilakukan oleh para peneliti

menggunakan beberapa primer. Hartono & Wijonarko (2007) dan Jaquemond

(2008) telah melakukan deteksi TICV dengan teknik RT-PCR menggunakan

primer HSP-70 h, Fitriasari (2010) mendeteksi TICV dengan primer CP, serta

Andini (2011) dan Nurulita (2011) dengan primer CPm.

Teknik serologi juga merupakan salah satu cara deteksi dan identifikasi

suatu patogen dalam suatu inang. Teknik serologi dengan hibridisasi dot blot

menggunakan label digoxigenin TICV probe cRNA, ELISA (Enzyme linked immunosorbent assay), western blot telah dikembangkan dan digunakan untuk mendeteksi TICV pada tanaman tembakau (Nicotiana clevelandii), Physalis wrightii, dan tomat di laboratorium (Duffus et al. 1996; Wisler 1996, dan Li et al. 1998). Uji serologi merupakan pengujian berdasarkan sifat protein suatu virus.

Pada dasarnya uji serologi adalah suatu uji yang memerlukan antigen dan

antibodi, yang kemudian reaksi akan terjadi antara antigen dan antibodi dalam

suatu substrat (Bos 1994 ; Wahyuni 2005).

Prinsip dari uji serologi adalah reaksi spesifik antara antibodi dengan

antigen yang membentuk kompleks antigen-antibodi. Antibodi yang digunakan

dalam teknik serologi untuk deteksi virus tanaman diperoleh melalui penyuntikan

hewan (imunisasi) dengan antigen yang berasal dari hasil pemurnian virus. Darah

hewan yang sudah mengandung antibodi terhadap virus yang disuntikkan tersebut

kemudian akan diproses lebih lanjut untuk memperoleh antiserum yang spesifik

terhadap virus yang bersangkutan. Adanya kompleks antigen-antibodi dapat

diperhatikan dengan pengujian in vitro. Teknik serologi yang lazim digunakan untuk diagnosis virus tumbuhan didasarkan pada interaksi antigen-antibodi yang

berupa ikatan primer, yaitu ELISA, DIBA, TBIA atau ikatan sekunder yaitu uji

(34)

9

Kloning

Salah satu teknologi DNA rekombinan yang dikembangkan saat ini adalah

kloning gen. Menurut Glick & Pasternak (2003) kloning gen adalah sejumlah

eksperimen yang bertujuan memindahkan DNA dari satu organism ke organism

lain. Eksperimen DNA rekombinan secara umum meliputi: (1) ekstraksi DNA

sisipan dari organisme donor, (2) pemotongan dan penyambungan secara

enzimatis ke DNA vektor untuk membentuk molekul DNA rekombinan baru, (3)

pemindahan hasil konstruksi vektor kloning-DNA sisipan ke dalam suatu sel

inang dan pemeliharaan di dalam sel tersebut, dan (4) penyeleksian sel-sel inang

yang membawa konstruksi DNA.

Prinsip dari ekstraksi DNA dalam proses kloning adalah menghancurkan

dinding sel, baik secara mekanis atau enzimatis; melisis sel dengan

menambahkan deterjen (seperti: SDS; membersihkan debris sel menggunakan

pelarut organik fenol dan chloroform-isoamilalkohol; dan mengendapkan DNA

dari lisat jernih dengan menambahkan etanol dan garam natrium (Old & Primrose

2003).

DNA sisipan dan DNA vektor dipotong menjadi fragmen linear.

Pemotongan DNA merupakan kerja enzim restriksi yang bersifat spesifik

sehingga menghasilkan DNA dengan potongan unik, baik berujung tumpul

(blunt-end) ataupun lancip (sticky-end). Bakteri menghasilkan enzim yang menghancurkan DNA fag sebelum fag ini sempat mengadakan replikasi dan

mengarahkan sintesis partikel fag baru. DNA bakteri sendiri terlindung dari

enzim ini, hal ini dikarenakan DNA mempunyai gugus metil tambahan yang

menghalangi kerja degradatif enzim. Enzim-enzim degradatif ini disebut

endonuklease restriksi dan disintesis oleh banyak spesies bakteri. Jenis-jenis

enzim restriksi antara lain: Hindlll, Kpnl, Sacl, BamHl, spel, BstXl, EcoRl, EcoV,Notl, Xhol, Nsil, Xbal dan Apal (Brown 2003; Glick & Pasternak 2003). Penyambungan DNA sisipan dengan DNA vektor dilakukan oleh enzim ligase.

Konstruksi DNA sisipan-vektor plasmid ditransfer ke sel inang melalui

proses transformasi. Prinsip transformasi adalah membuat suatu kondisi yang

(35)

asing masuk kedalam sel melalui membran sel dari lingkungannya (sel

kompeten). Sel kompeten dibuat dengan menurunkan suhu pertumbuhan sel

beberapa lama, lalu memberikan kejutan panas. Kemungkinan DNA asing masuk

kedalam sel menjadi lebih besar jika pada lingkungannya terdapat ion-ion divalen

Ca2+ dan Mg2+. Suatu inang yang baik hendaknya memenuhi prasyarat:

pertumbuhan cepat, non patogenik, mampu menangkap molekul DNA dan stabil

dalam kultur memiliki enzim yang sesuai untuk replikasi vektor rekombinan,

mempunyai informasi genetik selengkap mungkin, dan mempunyai genotip

spesifik untuk efektifitas hasil kloning (Glick & Pasternak 2003)

Sistem inang E.coli popular digunakan. Galur E.coli DH5α adalah E.coli

yang dimutasi pada bagian lacZ (lacZ∆M15) sehingga dapat dimanfaatkan

sebagai penseleksi transforman, Jika galur ini ditransformasikan oleh plasmid

yang membawa daerah regulator operon lac yaitu gen penyandi ß-galaktosidase-

dan suatu segmen pendek DNA penyadi ujung animo terminal plasmid tersebut

berkombinasi dengan produk ß-galaktosidase tidak lengkap yang dihasilkan galur

lacZ∆M15, menghasilkan ß-galaktosidase yang fungsional. Peristiwa

penggabungan potongan protein lacZ menjadi lacZ fungsional ini disebut

komplementasi-α. Enzim ß-galaktosidase fungsional ini dapat diinduksi oleh

IPTG. Fenotip ini dapat diamati sebagai warna biru yang dihasilkan dari reaksi

dengan substrat kromogenik X-gal (5-bromo-4chloro-3indoly-ß-D-galactoside).

Telah dirancang tepat pada bagian hilir lacZ suatu multiple cloning region atau

multiple cloning sites (MCS), yaitu suatu daerah sempit sebagai situs penyisipan suatu fragmen DNA. Jika DNA terklon pada daerah tersebut, maka aktivitas

fungsional lacZ di plasmid terganggu, sehingga tidak dihasilkan ß-galaktosidase

yang fungsional, akibat substrat tidak bereaksi menghasilkan warna biru. Prinsip

seleksi koloni biru putih bermanfaat untuk membedakan transforman dengan

koloni lainya (Glick & Pasternak 2003). Seleksi transforman hanya

menggambarkan masuk tidaknya konstruksi DNA ke dalam inang. Untuk

membedakan rekombinasi yaitu koloni yang membawa konstruksi DNA dengan

plasmid non rekombinasi perlu dilakukan uji ekspresi klon gen pada media

(36)

11

Keberhasilan transformasi dipengaruhi oleh: jenis plasmid yang

digunakan, suhu, jumlah dan ukuran DNA, lama perlakuan, adanya enzim

nuclease pada sel inang, lama dan cara pemberiannya kejutan panas, spesifitas

panas, kekuatan ion, konformasi dan konsentrasi DNA. Untuk menghindari

religasi vektor plasmid maka alkalin fosfatase dapat digunakan sehingga tidak

muncul transforman yang tidak mengandung insert (Glick & Pasternak 2003).

Ekspresi Gen

Proses ekspresi gen merupakan proses transformasi informasi genetik

melalui transkripsi dan translasi, untuk pembentukan protein atau enzim. Protein

dan enzim sangat penting dalam proses metabolisme, sehingga ekspresi gen

sebenarnya merupakan proses pengendalian metabolisme oleh gen (Jusuf 2009).

Secara umum dikenal dua sistem regulasi ekspresi gen, yaitu regulasi positif

dan negatif. Regulasi ekspresi gen melibatkan suatu operon lac. Operon lac adalah

operon yang dibutuhkan dalam transpor dan metabolisme dari laktosa di E.coli. Operon ini diregulasi oleh berbagai faktor seperti adanya glukosa dan laktosa. Gen

struktural pada operan lac tersebut baru akan aktif bila ada induksi dari laktosa.

Sistem regulasinya terjadi pada tahapan transkripsinya karena energi yang

diperlukan akan menjadi lebih sedikit dan efisien. Bila tidak ada laktosa, gen lacI

akan menghasilkan protein represor yang mengikat operator lac dan mencegah

terjadinya transkripsi karena enzim RNA polimerase tidak lagi dapat melekat di

situs tersebut. Akan tetapi, saat laktosa ditambahkan ke dalam mediumnya,

represor LacI akan terlepas karena terikat pada alolaktosa lalu transkripsi ketiga

gen struktural akan berjalan (Kimball 2006).

Setiap protein rekombinan yang diekspresikan pada E. coli dapat mengganggu dalam fungsi sel secara normal, dan bahkan ada yang beracun bagi

bakteri. Vektor plasmid sebagai pembawa DNA sisipan adalah molekul DNA

yang telah terkarakterisasi dengan baik, yang memungkinkan introduksi molekul

DNA rekombinan ke sel inang yang sesuai, serta memungkinkan bertahan stabil

(37)

sebagai elemen ekstra kromosomal, (2) penanda seleksi, biasanya merupakan

gen-gen penyandi resistensi terhadap senyawa toksik, seperti antibiotik, dan (3)

situs-situs enzim restriksi unik sebagai situs kloning sisipan DNA. Plasmid yang

berkualitas tinggi biasanya berukuran kecil, berbentuk sirkular, dan mempunyai

banyak jumlah kopi (Glick & Pasternak 2003).

Salah satu pendekatan untuk mengendalikan ekspresi adalah dengan

menggunakan vektor ekspresi yang mengandung T7 lac promoter (Studier et al. 1990). Sistem pET adalah alat ekspresi protein yang kuat, karena dapat mengatur

ekspresi protein dengan T7 / T7 lac promoter, pLysS atau host pLysS E (Novagen

2003). Vektor pET-21b merupakan vektor ekspresi yang memiliki promoter T7,

yang semakin optimal dengan adanya elemen operator yang mengandung runutan

operator lac yang mampu meningkatkan ikatan repressor lac dan memastikan rendahnya represi promoter T7.

pET-21b berukuran sekitar 5.4 kb yang memiliki promoter T7, lacO,

synthetic ribosome-binding site (RBS), ATG (start codon), runutan 6xhis-tag,

multiple cloning site (MCS) dan stop codons (Gambar 5). Vektor ini memiliki situs yang resisten terhadap ampisilin. Plasmid pET-21b dapat ditransformasi

dalam sel E. coli BL21(DE3)pLysS. Ekspresi protein diinduksi dengan penambahan isopropyl-thio-D-galactoside (IPTG).

(38)

13

Vektor pET-21b menghasilkan 6xhis-tag pada ujung C dari protein yang

terekspresi. His-tag ini memudahkan dalam proses purifikasi karena afinitasnya

terhadap resin nickel-nitrilotriacetic (Ni-NTA) (Qiagen 2003). pET-21b mempunyai kelebihan antara lain: mampu mengatur transkripsi gen target, hanya

membutuhkan induser dengan konsentrasi yang kecil untuk dapat

mengekspresikan gen target, dan hampir semua sel dari gen target terekspresi

(Novagen 2003).

Menurut Glick & Pasternak (2003), penyisipan gen dalam suatu vektor

tidak memberikan jaminan bahwa gen yang bersangkutan akan diekspresikan.

Proses-proses dalam ekspresi suatu protein antara lain: (1) transkripsi, (2)

translasi, (3) proses proteolitik dan degradasi, (4) lokalisasi seluler, (5) pelipatan

protein, dan (6) pertumbuhan sel.

Laju ekspresi gen asing sangat tergantung pada karakteristik organisme

inang yang digunakan. Pada umumnya produksi protein rekombinan masih

menggunakan E.coli sebagai inang. Keunggulan produksi protein rekombinan dengan E. coli adalah produksi cepat dan murah, informasi genetik, karakteristik biologi molekuler, biokimia, dan fisiologinya paling banyak diketahui dan diteliti.

Namun demikian, penggunaan sistem inang dengan E. coli mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain: (1) Sinyal transkripsi dan translasi

spesies lain tidak dikenali dengan baik oleh inang E. coli, sehingga ekspresi gen-gen heterolog di E. coli lemah, (2) sulit mempelajari fungsi gen-gen dengan lintasan metabolic dan pengaturan yang tidak terdapat di E. coli, seperti degradasi hidrokarbon, dan (3) kemungkinan toksisitas dari produk-produk gen-gen

heterolog terhadap sel E. coli. Selain hal-hal tersebut di atas, ada masalah serius pada ekspresi protein rekombinan pada E. coli, yaitu degradasi protein produk secara cepat dan seringkali protein rekombinan terakumulasi dalam sel inang

dalam bentuk agregat kompak, bersifat inaktif tak larut, yang disebut badan

inklusi (inclusion bodies). Hal ini terjadi akibat keterbatasan E. coli membentuk struktur tiga dimensi protein secara benar dalam proses pelipatan pasca translasi

(Glick & Pasternak 2003).

(39)

chlorotic yellow virus (CCYV), Fajardo et al. (2007) Grapevine leafroll associated virus 3 (GLRaV-3), Abouzid et al. (2002) terhadap empat

Begomovirus, yaitu Bean golden mosaic virus (BGMV) isolat Brazil, Cabbage leaf curl virus (CabLCV), Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV), dan Tomato mottle virus (ToMV), Cotillon et al. (2005) Cucurbit yellow stunting disorder crinivirus (CYSDV), dan Nickel et al. (2004) Apple stem grooving virus

(ASGV). Keunggulan penyediaan antibodi dengan metode ini antara lain: protein

yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga tidak bereaksi terhadap protein

tanaman, dapat tersedia antigen dalam jumlah yang mencukupi setiap saat apabila

(40)
(41)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium

Biokimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber

Daya Genetik Pertanian (BB-BIOGEN) sejak Maret 2009 hingga April 2011.

Tanaman Sumber Virus

Koleksi dan Pengumpulan Tanaman Sakit. Koleksi dan pengumpulan

tanaman sakit dilakukan di sentra produksi tomat di Cikajang-Garut (pada

ketinggian 1287 m dpl), Cipanas-Cianjur (1225 m dpl). Pengamatan ditujukan

terhadap tanaman tomat yang bergejala klorosis, yaitu klorosis diantara tulang

daun, daun berwarna keunguan dan nekrotik, serta mudah rapuh. Tanaman tomat

yang menunjukkan gejala tersebut kemudian diambil bagian pucuk daun yang

berkembang penuh, dan ditempatkan di dalam coolbox agar daun tersebut tetap segar sampai di laboratorium sebelum diberi perlakuan lebih lanjut. Keberadaan

TICV pada sampel daun yang diambil dipastikan melalui metode RT-PCR.

Deteksi TICV dan ToCV dengan RT-PCR. Sebanyak 0.1 g jaringan daun

tomat didinginkan dengan nitrogen cair, kemudian dilumatkan dengan mortar

sampai menjadi tepung halus dan RNA total diekstraksi menggunakan RNeasy Plant Mini Kits (Qiagen). RNA hasil ekstraksi disintesis menjadi cDNA dengan menggunakan teknik RT. Reaksi RT dibuat dengan total volume 10 µl yang

mengandung 2 µl RNA total, 1 µl buffer RT 10X, 0,35 µl 50 mM DTT

(dithiothreitol), 2 µl 10 mM dNTP (deoksiribonukleotida triphosphat), 0,35 µl M-MuLV Rev, 0,35 µl RNase inhibitor, 0,75 µl oligo (dT), dan 3,2 µl H2O. Reaksi

RT dilakukan dalam sebuah Automated Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus pada suhu 25ºC selama 5 menit, 42ºC selama 60 menit, dan 70ºC selama 15 menit. Siapan

cDNA hasil RT digunakan sebagai template dalam reaksi PCR. Reaktan PCR

dengan total volume 25 µl terdiri atas 1 µl masing-masing primer spesifik ToCV

(42)

5’-16

AATTAAAAGCTTTTAGCAACCAGTTATCGATGCAAG-3’ dan ToCV-CP

F-Bam no ATG: 5’-AATTAAGGATCCGAGAACGATGCTGTTAC-3’) dan

spesifik TICV (TICV–CP F-Bam no ATG (

5’-AATTAAGGATCCGAAAACTTATCTGGTAATGCAAAC-3’ dan TICV–CP

R-Hind 5’-AATTAAAAGCTTTTAGCATGGGTGTTTCATATCAGCC-3’), 2,5

µl buffer PCR 10X + Mg2+, 0,5 µl 10 mM dNTP, 2,5 µl sucrose cresol 10X, 0,3 µl

Taq DNA polymerase, 14,2 µl H2O, dan 1 µl DNA template. PCR dilakukan pada Automated Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA). Proses ini didahului dengan denaturasi awal pada 94ºC selama 4 menit,

dilanjutkan dengan 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada 94ºC selama 1

menit, penempelan primer (annealing) pada 55ºC selama 1 menit, dan pemanjangan (Extension) pada 72ºC selama 2 menit, dan diikuti pemanjangan akhir pada 72ºC selama 10 menit. Amplikon hasil PCR dielektroforesis dengan

1% agarose gel yang mengandung ethidium bromida (EtBr) dan TAE bufer dengan voltase 50V selama 60 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan

Transluminator UV dan didokumentasikan dengan kamera digital.

Karakterisasi Gen CP TICV

Ekstraksi RNA Total. Ekstraksi RNA total dilakukan dengan

menggunakan RNeasy Plant Mini Kits (Qiagen) dan dikerjakan sesuai dengan protokol yang diberikan (Qiagen 2003). Sebanyak 0.1 g daun tomat yang

didinginkan dengan nitrogen cair dilumatkan sampai menjadi tepung halus dengan

menggunakan mortar steril. Hasil gerusan dimasukkan dalam tabung mikro 2 ml

dan ditambahkan buffer ekstraksi (RLT) yang mengandung 1% merkaptoetanol.

Setelah divortek 1 menit, sampel diinkubasi pada suhu 56 °C selama 10 menit,

kemudian dimasukkan ke dalam QIA shredder spin column yang ditempatkan pada tabung koleksi 2 ml dan disentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 2

menit. Selanjutnya supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan

ditambah dengan 0.5 volume etanol 96% (± 225 µl), lalu dimasukan ke dalam

RNeasy mini column pink di dalam tabung koleksi 2 ml. Setelah disentrifugasi

dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 detik, mini column dicuci dua kali

dengan 700 µl buffer RW1 dan 500 µl bufer RPE serta disentrifugasi dengan

(43)

dibuang dan mini column diletakan balik dalam tabung koleksi untuk dikeringkan

dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 2 menit. RNA

total yang terikat dalam mini column dielusi dengan 40 µl RNAse free water ke dalam Rneasy dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 1 menit

dalam tabung mikro yang baru setelah didiamkan selama 10 menit.

Sintesis complementary (c) DNA. RNA hasil ekstraksi disintesis menjadi cDNA dengan menggunakan teknik Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Reaktan RT-PCR dibuat dengan total volume 10 µl yang mengandung 2 µl RNA total, 1 µl buffer RT 10X, 0,35 µl 50 mM DTT

(dithiothreitol), 2 µl 10 mM dNTP (deoksiribonukleotida triphosphat), 0,35 µl M-MuLV Rev, 0,35 µl RNase inhibitor, 0,75 µl oligo (dT), dan 3,2 µl H2O.

Komponen-komponen tersebut digunakan untuk satu kali reaksi RT. Reaksi RT

dilakukan dalam sebuah Automated Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus pada suhu 25ºC selama 5 menit, 42ºC selama 60 menit, dan 70ºC selama 15 menit. Siapan

cDNA hasil RT digunakan sebagai template dalam reaksi PCR.

Amplifikasi Gen CP-TICV dengan PCR. Reaktan PCR dengan total

volume 25 µl terdiri atas 1 µl masing-masing primer, 2,5 µl buffer PCR 10X +

Mg2+, 0,5 µl 10 mM dNTP, 2,5 µl sucrose cresol 10X, 0,3 µl Taq DNA polymerase, 14,2 µl H2O, dan 1 µl cDNA. PCR dilakukan pada Automated Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA). Proses ini didahului dengan denaturasi awal pada 94ºC selama 4 menit,

dilanjutkan dengan 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada 94ºC selama 1

menit, penempelan primer (annealing) pada 55ºC selama 1 menit, dan pemanjangan (Extension) pada 72ºC selama 2 menit. Khusus untuk siklus terakhir ditambahkan 10 menit pada 72ºC untuk sintesis poliadenalin (poli A) yang

diperlukan kloning ke dalam T-A cloning vector (pGEMT-Easy (Promega)), dan siklus berakhir pada suhu 4ºC. Produk PCR dielektroforesis dalam 1% agarose gel

(44)

18

Perunutan Nukleotida dan Asam Amino Gen CP-TICV. Sebanyak

50µl PCR sampel yang positif mengandung CP-TICV dikirim ke PT. Macrogen

Incorporation (Korea Selatan). Hasil perunutan nukleotida dan asam amino

kemudian digunakan untuk analisis kesejajaran dengan runutan nukleotida dan

asam amino TICV yang telah dipublikasikan di GenBank dengan program BLAST (Basic Local Alignment Search Tools) (NCBI 2010). Analisis filogenetika dilakukan menggunakan program PHYLIP versi 3.6 (University of Washington).

Sebelum dianalisis, runutan nukleotida semua isolat yang terpilih dimodifikasi

dengan software Clustal X 1.83 untuk menyamakan format runutannya. Matrik jarak genetika dihitung dengan menggunakan matrik parameter dalam program

komputer DNA ML dan untuk runutan asam amino CP menggunakan ProML.

Pohon filogenetika digambarkan dengan program DRAWTREE dalam paket

program PHYLIP. Analisis boostrap dengan 1000 ulangan dilakukan

menggunakan program SEQBOOT dan konsensus pohon filogenetika dibuat

dengan program CONSENSE. Pohon filogenetik digambarkan dengan program

Mega 4 dalam paket program PHYLIP.

Ekspresi Gen CP-TICV pada E. coli strain BL21(DE3)pLysS

Kloning CP-TICV. Kloning gen CP-TICV telah dilakukan di Jepang

(kerjasama dengan Utsunomiya University). Hasilnya plasmid pGEM-CP yang

ditransformasi ke dalam E.coli strain DH5α.

Konstruksi Vektor Ekspresi. Ekpresi gen CP-TICV dalam pET-21b(+)

dilakukan dengan menggunakan promoter T7. Gen CP-TICV disisipkan pada

tempat pemotongan BamHI/HindIII yang terletak antara promoter T7 pada ujung depan setelah start kodon dan 6xhis-tag pada ujung belakang sebelum stop kodon

dari pET-21b(+) sehingga terbentuk pET21-CP.

Persiapan Kompeten Sel E. coli strain BL21(DE3)pLysS. Stok E. coli

strain BL21(DE3)pLysS dalam gliserol digores pada media LB agar yang

mengandung antibiotik Ampisilin 50 µg/ml dan Kloramfenikol 20 µg/ml,

kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C semalam. Satu kultur biakan E. coli

(45)

kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C semalam. Sekitar 2 ml kultur semalam

tersebutdiambil dan dipindahkan ke dalam 40 ml media A (LB, MgSO47H2O 10

mM, gukosa 0.2%), lalu diinkubasi selama 2 jam. Setelah 2 jam kultur bakteri

dipindahkan ke tabung Falcon steril dan diinkubasi dalam es selama 10 menit.

Sentrifugasi biakan yang berada pada tabung Falcon dengan kecepatan 4000 rpm,

selama 15 menit pada suhu 4 °C. Supernatan dibuang dan diambil peletnya. Pelet

diresuspensi dengan 2.5 ml media B (LB, glyserol 36%, PEG 7000 12%, dan

MgSO47H2O 12 mM). Siapan bakteri tersebut kemudian dipindahpisahkan

masing-masing 100 µl ke tabung eppendorf 1.5 ml dan disimpan di freezer -80 °C sampai digunakan untuk transformasi (Nishimura et al. 2003).

Transformasi. Sebelum dilakukan transformasi terlebih dahulu dilakukan

ligasi antara fragmen CP-TICV dengan vektor ekspresi pET-21b(+) (Novagen,

Germany) yang masing-masing telah dipotong dengan enzim restriksi BamH1 dan HindIII. Ligasi dilakukan dalam volume 10 µl yang terdiri dari plasmid pET-21b 2 µl, CP-TICV 2 µl, buffer T4 DNA ligase 2x sebanyak 5 µl, dan T4 DNA

ligase 1 µl (3 U/µl). Kemudian diinkubasi pada suhu 4oC selama 16 jam.

Transformasi dilakukan dengan mencampur 10 µl hasil ligasi dengan 100 µl sel

kompeten BL21(DE3)pLySs. Terhadap siapan ini berturut-turut dilakukan

diinkubasi dalam es batu selama 20 menit, heat shock pada suhu 42 °C selama 1 menit, didinginkan dalam es batu selama 2 menit, ditambahkan 500 µl LB cair,

dan diinkubasi dengan dishaker pada suhu 37 °C selama 4 jam, kemudian

disentrifuse 12000 rpm 1 menit, supernatan dibuang, pelet dan LB yang masih

tersisa sampai 100 µl dihomogenasi, dan terakhir ditumbuhkan dalam media LB

agar yang telah diberi ampisilin 50 µg/ml dan kloramfenikol 20 µg/ml.

(Sambrook & Russel 2001).

Konfirmasi Transforman. Untuk mengonfirmasi transforman yang

membawa plasmid pET21-CP maka transforman ditumbuhkan pada media LB

cair yang mengandung 50 μg/ml ampisilin dan 20 μg/ml kloramfenikol. Sel dari

biakan yang berumur 18 jam dipanen dan diisolasi palsmidnya dengan metode

alkalin lisis (Sambrook & Russel 2001). Plasmid pET21-CP dipotong dengan

(46)

20

Isolasi Plasmid dengan Metode Alkalin Lisis. Satu koloni bakteri

diinokulasi ke dalam 10 ml LB dan diinkubasi semalam pada suhu 37 °C,

kemudian dipindahkan ke tabung eppendorf 1.5 ml dan disentrifugasi 12.000 rpm

pada 4 °C selama 2 menit. Setelah itu supernatan dibuang. Resuspensi pelet

dengan 100 µl larutan I (50 mM glukosa, 10 mM EDTA, 25 mM Tris pH 8.0, 2

mg/ml lisozyme (ditambahkan saat akan digunakan)), kemudian divortex,

ditambahkan 200 µl larutan II (0.2 M NaOH, 1% SDS dibuat saat akan

digunakan), divortex, ditambahkan 150 µl larutan III (3 M NaOAc pH 4.8),

tabungnya dibolak-balik agar bercampur, disentrifuse 12.000 rpm selama 5 menit.

Supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 300 µl phenol

kloroform, vortex, sentrifuse 12.000 rpm 5 menit. Larutan yang paling atas

dipindahkan ke tabung yang baru, kemudian ditambahkan etanol absolut 2 x

volume, sentrifuse 12.000 rpm selama 20 menit, supernatan dibuang, dicuci

dengan 800 µl etanol 70%, vortex, disentrifuse 12.000 rpm 5 menit, supernatan

dibuang, pelet dikering-anginkan, kemudian diresuspensi dengan 30 µl buffer TE

atau ddH2 O (Sambrook & Russel 2001).

Koloni PCR. Satu klon transforman diambil dengan tusuk gigi, kemudian

dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah diisi dengan ddH2O 10 µl,

kemudian diinkubasi pada suhu 95 °C selama 10 menit, setelah itu dimasukkan ke

dalam komponen PCR. Koloni tersebut digunakan sebagai templatenya. Reaktan

PCR dilakukan dengan volume total 12.5 µl, terdiri dari 2.5 µl buffer PCR (500

mM KCl; 100 mM Tris-HCl, pH 9; 1% Triton X-100), dan 0.3 µl taq DNA

polymerase, H2O 7.2 µl, dNTP 10 mM 0.5 µl, primer forward TICV – CP

AATTAAGGATCCGAAAACTTATCTGGTAATGCAAAC dan primer reverse

TICV – CP AATTAAAAGCTTTTAGCATGGGTGTTTCATATCAGCC

masing-masing 1 µl. Reaksi PCR dilakukan dengan Perkin Elmer 480

Thermocycler dan dikondisikan untuk denaturasi inisiasi pada 94 °C selama 4

menit, kemudian dilanjutkan 30 siklus yang terdiri dari denaturasi 94 °C selama

1 menit, penempelan primer (annealing) pada suhu 55 °C selama 1 menit, pemanjangan pada suhu 72 °C selama 2 menit, dan diikuti pemanjangan akhir

pada suhu 72 °C selama 10 menit. Hasil koloni PCR dielektroforesis pada gel

(47)

selama 30 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan Transluminator UV

dan didokumentasikan dengan kamera digital.

Pemotongan pET-21CP dengan Enzim Restriksi. Plasmid pET 21-b(+)

dipisahkan dengan insertnya (CP-TICV) dengan menggunakan enzim restriksi

BamHI dan HindIII dengan komposisi 1 µl plasmid pET 21-CP, 1 µl enzim restriksi BamHI dan HindIII, 1 µl buffer 2, dan dd H2O 7 µl. Larutan tersebut

diinkubasi 37 °C selama 3 jam. Hasil pemotongan dengan enzim restriksi

dielektroforesis pada gel agarose 1% dalam TAE buffer yang mengandung EtBr

dengan voltase 90 V selama 30 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan

dengan Transluminator UV dan didokumentasikan dengan kamera digital. Purifikasi Protein CP-TICV

Kultur Ekspresi. E.coli strain BL21 (DE3)pLysS yang membawa plasmid rekombinan pET21-CP diinokulasi ke dalam 3 ml media LB yang mengandung

50 μg/ml ampisilin dan 20 μg/ml kloramfenikol. Biakan diinkubasi di dalam

orbital shaker (75 rpm) pada suhu 37 oC semalam. Kemudian sebanyak 100 μl biakan di inokulasikan ke dalam 10 ml media LB yang mengandung antibiotik

dan diinkubasikan di dalam orbital shaker (75 rpm) pada suhu 37 oC. Setelah pertumbuhan bakteri mencapai OD600 0.5 (kira-kira 5-6 jam), biakan diinduksi

dengan 1 mM IPTG dan diinkubasikan semalam. Sel bakteri yang

mengekpresikan protein rekombinan dipanen dengan sentrifugasi (12.000 rpm,

4oC, 15 menit) dan dilisis dengan buffer B-7M Urea 300 µl dan turbonuclease 3

Unit/ml kultur (0.4 µl) (Nacalai, Japan). Sel hasil lisis disentrifugasi dengan

kecepatan 12.000 rpm pada suhu 4oC selama 15 menit. Protein rekombinan yang

ada dalam supernatan (soluble protein) dan pelet (insoluble protein) dianalisis dengan analisis SDS-PAGE.

Purifikasi dengan NiNTA Spin Column pada Kondisi Denaturasi. Sel dicairkan selama 15 menit dan diresusupensi dengan 300 µl buffer B-7M urea dan

ditambahkan dengan 0.4 µl turbonuclease (Nacalai, Japan), kemudian sel

diinkubasi dengan agitasi selama 15 menit pada suhu 20oC. Lysate disentrifugasi

pada 12000 rpm selama 30 menit pada suhu ruang, supernatan diambil.

(48)

22

menit. 600 µl supernatan jernih yang mengandung protein 6xHis-tagged diambil

dan dimasukkan pada Ni-NTA spin column (Qiagen). Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1600 rpm selama 5 menit dan diambil bawahnya, dimasukkan

ke tabung mikro untuk dianalisis SDS-PAGE. Kemudian Ni-NTA spin column

dicuci dengan 600 µl buffer C, disentrifugasi 2900 rpm selama 2 menit, dilakukan

sebanyak dua kali. Kemudian protein dimurnikan (elusi) dua kali dengan

menambahkan 200 µl buffer E, disentrifugasi 2900 rpm selama 2 menit dan hasil

elusi disimpan pada -20 oC sampai digunakan untuk analisis SDS-PAGE.

Analisis SDS-PAGE. Setelah diperoleh protein murni, dilakukan analisis

SDS-PAGE (Laemmli 1970). Sebanyak 10.000 µl separating gel 12,5% 0.375 M

tris pH 8.8 dibuat dengan mencampur akuades 3355 µl, tris HCl 1.5 M pH 8.8

2500 µl, SDS 10% 100 µl, acrylamide/bis 4000 µl, amonium persulfat (APS) 10%

35 µl, dan temed (Merck) 10 µl, kemudian dipipet pada cetakan gel. Setelah

separating gel membeku maka stacking gel 4% 0.125 M tris pH 6.8 dibuat dengan

mencampur akuades 3027.5 µl, tris HCl 0.5 M pH 6.8 1250 µl, SDS 10% 50 µl,

acrylamide/bis 650 µl, APS 10% 17.5 µl, dan temed (Merck) 5 µl, kemudian

dipipet dan diletakkan diatas separating gel yang sudah membeku dan stacking

gel ditunggu sampai membeku. Setelah stacking gel membeku, dipindahkan ke

dalam alat elektroforesis. Sebanyak 10 µl marker protein (Fermentas) dan 60 µl

(30 µl hasil purifikasi + 30 µl loading buffer (Sigma)) didenaturasi pada suhu 95

o

C selama 10 menit. Sekitar 10 µl marker dipipet dan dimasukkan ke dalam gel

yang diletakkan pada alat elektroforesis, sedangkan untuk hasil purifikasi yang

telah dicampur dengan loading buffer diambil 15 µl dan dimasukkan ke dalam gel

yang diletakkan pada alat elektroforesis.

Elektroforesis dilakukan dengan Biorad power pac 300 selama 2 jam

dengan voltase 150 V. Kemudian gel hasil elektroforesis dilepas dari cetakannya

dan dimasukkan ke dalam larutan staining (coomassie brilliant blue R-250, metanol, asam asetat glasial) dan dishaker semalaman, setelah itu dicuci dengan

(49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

TICV Isolat Indonesia

Penyakit klorosis saat ini sudah ditemukan di Indonesia. Pertama kali

ditemukan di sentra pertanaman tomat di Magelang, Jawa Tengah dan

Purwakarta, Jawa Barat (Hartono & Wijonarko 2007). Berdasarkan hasil survei

Fitriasari (2010), penyakit klorosis telah ditemukan menyerang areal pertanaman

tomat di daerah Bogor, Cianjur, dan Garut dengan persentase kejadian penyakit

yang berbeda-beda.

Koleksi dan pengumpulan tanaman bergejala klorosis yang dilakukan di

daerah Cipanas-Cianjur dan Cikajang-Garut Jawa Barat berhasil mendapatkan

tanaman tomat yang terinfeksi TICV. Varietas tanaman tomat yang ditanam

antara lain: Synta, Marta, dan Warani. Menurut pengamatan di lapangan, semua

varietas yang ditanam oleh petani di Cikajang-Garut dan Cipanas dapat

menunjukkan gejala klorosis akibat infeksi TICV. Hal ini menunjukkan bahwa

varietas yang ditanam diwilayah tersebut rentan terhadap TICV. Selain varietas

yang ditanam rentan, sistem pertanaman yang dilakukan oleh petani adalah

monokultur, sehingga menyebabkan tingkat serangan TICV yang tinggi, karena

sumber inokulumnya selalu ada.

Adanya serangga vektor TICV T. vaporariorum memperluas penyebaran virus ini dari satu tanaman ke tanaman yang lain.Populasi T. vaporariorum sangat tinggi pada musim kemarau sehingga penyebaran virus terjadi secara meluas dan

merata pada pertanaman tomat, hal ini sesuai dengan penelitian Fitriasari (2010).

Korelasi antara penyebaran penyakit klorosis dengan populasi kutukebul

T. vaporariorum juga telah dibuktikan dalam penelitian Navas-Castillo et al. (2000) yang menyatakan bahwa tingkat kejadian penyakit klorosis di lapangan

berkorelasi positif dengan tingkat populasi kutukebul. Budidaya tanaman tomat di

Indonesia selalu mendapatkan cekaman infeksi TICV karena varietas tanaman

yang ditanam rentan, sehingga petani terancam menanggung kerugian.

Gejala penyakit klorosis di lapangan ditunjukkan adanya warna kuning

(50)

24

terbawah, kemudian berkembang cepat secara merata ke daun-daun bagian

atasnya (Gambar 4 A dan D). Pada serangan klorosis yang parah akan

menyebabkan daun menjadi rapuh dan berubah warna menjadi ungu keabu-abuan

(bronzing) (Gambar 4 E) dan lama kelamaan daun mengalami nekrotik (Gambar 4 B dan F). Hal ini menyebabkan proses fotosintesis terganggu sehingga ukuran

buah mengecil dan mengakibatkan penurunan produksi (Gambar 4 C) (Wisler et al. 1998).

Walaupun gejala klorosis yang disebabkan TICV ini sangat khas pada

tanaman tomat, namun pada kondisi lingkungan tertentu gejala klorosis mirip

dengan gejala kekurangan unsur hara tertentu (Duffus et al. 1994). Selain sering dikacaukan dengan gejala kekurangan unsur hara tertentu, gejala penyakit klorosis

pada tanaman tomat di lapangan, juga dapat sama dengan gejala yang disebabkan

oleh virus lain yang sering berasosiasi dengan TICV di lapangan. Virus ini adalah

Tomato chlorosis virus (ToCV) yang juga merupakan anggota dari genus

Crinivirus. Pada pengamatan di lapangan, ToCV juga telah ditemukan, akan tetapi gejala penyakit klorosis yang disebabkan oleh TICV maupun ToCV dilapangan

tidak dapat dibedakan. Sehingga untuk memastikan penyebab penyakit klorosis

pada tomat di lapangan dilakukan deteksi RT-PCR dengan primer yang spesifik.

Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan diagnosis yang kemudian

mengakibatkan kesalahan dalam tindakan pengendalian, maka diperlukan metode

(51)

Gambar 4 Gejala penyakit klorosis di lapangan, A dan D: interveinal yellowing, B dan F: nekrotik, C: produksi buah menurun, dan E: bronzing.

Gejala penyakit yang disebabkan oleh TICV maupun ToCV tidak dapat

dibedakan (Dovas et al. 2002). Namun, jika dilakukan deteksi melalui deteksi molekuler dengan menggunakan metode RT-PCR, maka akan diperoleh hasil

yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, setelah dilakukan amplifikasi,

ternyata panjang fragmen DNA TICV lebih panjang daripada panjang fragmen

DNA ToCV (Gambar 5). Deteksi RT-PCR menggunakan primer spesifik ToCV

berhasil mendapatkan fragmen DNA ToCV yang berukuran 700 bp dan dengan

primer spesifik TICV berhasil mendapatkan fragmen DNA TICV yang berukuran

792 bp (Gambar 5). Teknik RT-PCR merupakan modifikasi dari teknik PCR.

Metode RT-PCR merupakan metode yang sangat sensitif karena dapat mendeteksi

virus pada konsentrasi rendah (Ram et al. 2005).

A B C

(52)

26

Gambar 5 Deteksi RT-PCR TICV dan ToCV dengan primer spesifik pada tanaman tomat yang bergejala klorosis. Lajur M = 1kb DNA ladder (Fermentas), lajur 3 dan 6 = ToCV berukuran 700 bp, lajur 8 = TICV berukuran 792 bp.

Karakterisasi Gen CP-TICV

Amplifikasi Gen CP-TICV

Gen CP-TICV isolat Cipanas (lajur 3 dan 4) dan Cikajang (lajur 2)

berhasil diamplifikasi menggunakan sepasang primer spesifik TICV. Produk

PCR berukuran 792 bp yang disajikan dalam Gambar 7, sesuai dengan hasil

penelitian Orillio & Navas-Castillo (2009). Fragmen gen CP-TICV isolat Cipanas

hasil PCR selanjutnya digunakan dalam perunutan nukleotida dan asam amino,

serta digunakan untuk kloning dan ekspresi gen .

750 bp 1000 bp

792 bp

M 1 2 3 4 5 6

5

M 1 2 3 4 6 7 8

792 bp 700 bp

5

M 1 2 3 4 6 7 8

(53)

Gambar 6 Amplifikasi Gen CP-TICV berhasil mendapatkan fragmen DNA yang berukuran sekitar 792 bp menggunakan pasangan primer spesifik terhadap daun tomat yang sakit dari Cipanas (lajur 3 dan 4)), dan Cikajang (lajur 2 dan 4). Lajur 1 adalah 1 kb DNA ladder (Fermentas).

Metode deteksi virus yang akurat dan banyak dikembangkan saat ini

adalah berdasarkan pendekatan molekuler. Teknik PCR merupakan cara cepat

untuk mengamplifikasi DNA secara invitro. Identifikasi virus dengan teknik PCR didasarkan pada sifat primer yang spesifik (Sambrook et al. 1989).

Perunutan Nukleotida dan Asam Amino Gen CP-TICV

Hasil perunutan menunjukkan kualitas yang sangat baik dan tidak ada

sequencing error berdasarkan analisis alignment two sequences

(http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/). Analisis kekerabatan TICV isolat Indonesia yang

dibandingkan dengan empat sikuen gen CP-TICV pada Genbank

(http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/) menunjukkan hubungan tingkat kesamaan yang

tinggi (99-100%) (Tabel 1). Isolat TICV Indonesia memiliki hubungan

kekerabatan yang dekat dengan isolat lainnya dari beberapa negara. Isolat TICV

Indonesia memiliki kesamaan dan dapat dikatakan merupakan strain yang sama

dengan isolat Spanyol (100%). Jika dibandingkan dengan tiga isolat lainnya yaitu

isolat Amerika Utara, Perancis dan California tingkat kesamaan juga masih sangat

tinggi (99%). Fauquet et al. (2005) menyatakan bahwa apabila terdapat persamaan runutan nukleotida dari gen CP antara satu virus dengan virus yang

lain dengan nilai lebih dari 90%, maka virus-virus tersebut merupakan spesies

virus yang sama. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa isolat

virus yang menyerang sejumlah pertanaman tomat di beberapa negara termasuk

Indonesia adalah spesies yang sama. Homologi yang tinggi menunjukkan bahwa

runutan CP-TICV isolat Indonesia dan negara lain masih conserved dan terdapat kemungkinan bahwa isolat-isolat TICV dari berbagai negara mempunyai epitope

yang relatif homogen, sehingga antiserum yang dihasilkan akan dapat mendeteksi

seluruh isolat tersebut.

(54)

28

menunjukkan tidak terjadi mutasi pada isolat TICV Indonesia jika dibandingkan

dengan isolat Spanyol. Perbedaan runutan hanya terjadi dengan tiga isolat lainnya

(Amerika Utara, Perancis, dan Caifornia) (Gambar 7). Terjemahan sikuen

nukleotida ke asam amino antara semua sikuen menunjukkan bahwa TICV

Indonesia hanya mempunyai perbedaan dua asam amino (posisi ke-10 dan ke-69)

dengan TICV asal California (kesamaan 99.2%) sedangkan dengan isolat lainnya

tidak terjadi perbedaan (kesamaan 100%) (Gambar 8) dan (Tabel 2). Dengan

demikian terjadi mutasi tak bermakna pada isolat USA Amerika Utara dan Isolat

Perancis karena mutasi nukleotida yang terjadi pada triplet kodon tidak

menyebabkan perubahan pada asam amino.

Tabel 1 Tingkat kesamaan isolat TICV dari beberapa negara berdasarkan perunutan nukleotida

Asal Isolat No Aksesi

Tingkat Kesamaan (%)

Indonesia Amerika

Utara Spanyol Perancis California

Indonesia - -

Amerika Utara FJ542306 99 -

Spanyol FJ542305 100 99 -

Perancis EU625351 99 99 99 -

California FJ815441 99 99 99 99 -

TICVIndonesia 1 ATGGAAAACTTATCTGGTAATGCAAACTATGATGAAACTAACACCAGTCGTGTGAACTCT

TICVSpanyol 1 ATGGAAAACTTATCTGGTAATGCAAACTATGATGAAACTAACACCAGTCGTGTGAACTCT

TICVAmerut 1 ATGGAAAACTTATCTGGTAATGCAAACTATGATGAAACTAACACCAGTCGTGTAAACTCT

TICVPerancis 1 ATGGAAAACTTATCTGGTAATGCAAACTATGATGAAACTAACACCAGTCGTGTAAACTCT

TICVCalifornia 1 ATGGAAAACTTATCTGGTAATGCAAACTTTGATGAAACTAACACCAGTCGTGTAAACTCT

TICVIndonesia 61 GATGGAATTGGAAGTCACATGGAGCATGATGATGATGACAGGTCAGTCAACGGACCTCCA

TICVSpanyol 61 GATGGAATTGGAAGTCACATGGAGCATGATGATGATGACAGGTCAGTCAACGGACCTCCA

TICVAmerut 61 GATGGAATTGGAAGTCACATGGAGCATGATGATGATGACAGGTCAGTCAACGGACCTCCA

TICVPerancis 61 GATGGAATTGGAAGTCACATGGAGCATGATGATGATGACAGGTCAGTCAACGGACCTCCA

TICVCalifornia 61 GATGGAATTGGAAGTCACATGGAGCATGATGATGATGACAGGTCAGTCAACGGACCTCCA

TICVIndonesia 121 AGTGATGAGATAAACAATCATACTACGAGATCTGTTCATGGTAGAGATCACACGTCAGGT

TICVSpanyol 121 AGTGATGAGATAAACAATCATACTACGAGATCTGTTCATGGTAGAGATCACACGTCAGGT

TICVAmerut 121 AGTGATGAGATAAACAATCATACTACGAGATCTGTTCATGGTAGAGATCACACGTCAGGT

TICVPerancis 121 AGTGATGAGATAAACAATCATACTACGAGATCTGTTCATGGTAGAGATCACACGTCAGGT

TICVCalifornia 121 AGTGATGAGATAAACAATCATACTACGAGATCTGTTCATGGTAGAGATCACACGTCAGGT

TICVIndonesia 181 AATATAGGAGATTACTCAAAAGCTGACTTGAATAGAATTATGGTCAAAGTCAGTAGACCG

TICVSpanyol 181 AATATAGGAGATTACTCAAAAGCTGACTTGAATAGAATTATGGTCAAAGTCAGTAGACCG

TICVAmerut 181 AATATAGGAGATTACTCAAAAGCTGACTTGAATAGAATTATGGTCAAGGTCAGTAGACCG

TICVPerancis 181 AATATAGGAGATTACTCAAAAGCTGACTTGAATAGAATTATGGTCAAGGTCAGTAGACCG

TICVCalifornia 181 AATATAGGAGATTACTCAAAAGCTGACTTGAGTAGAATTATGGTCAAGGTCAGTAGACCG

TICVIndonesia 241 GATGCTATGAGTGAATCCGATAGTAACTTGTATAAAGAGGTGATTGTTGAATATCTGAAA

TICVSpanyol 241 GATGCTATGAGTGAATCCGATAGTAACTTGTATAAAGAGGTGATTGTTGAATATCTGAAA

TICVAmerut 241 GATGCTATGAGTGAATCCGATAGTAACTTGTATAAAGAGGTGATTGTTGAATATCTGAAA

TICVPerancis 241 GATGCTATGAGTGAATCCGATAGTAACTTGTATAAAGAGGTGATTGTTGAATATCTGAAA

TICVCalifornia 241 GATGCTATGAGTGAATCCGATAGTAACTTGTATAAAGAGGTGATTGTTGAATATCTGAAA

TICVIndonesia 301 AACAATTGTACTGGAGGTGCGGAACCGGATAAAGTTTTAGTGGTTGCATTTTTTGTTGCA

Gambar

Gambar  2  Organisasi genom TICV (Wintermantel et al. 2009).
Gambar  4 Gejala penyakit klorosis di lapangan, A dan D: interveinal yellowing,
Gambar  5 Deteksi RT-PCR TICV dan ToCV dengan primer spesifik pada
Tabel 1  Tingkat kesamaan isolat TICV dari beberapa negara berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian besar responden adarah laki-raki dengan usia 25-32. Diharapkan banyak masukan untuk penyempurnaan desain websrte ini. Respon Konsumen Terhadap Desain Bisnk

Dengan mengamati resep pada buku, siswa dapat menganalisis satuan berat baku yang digunakan dengan benar.. Dengan mengamati video menimbang berat benda, siswa dapat

Dengan memahami hal tersebut para orang tua dan anak-anak diharapkan akan lebih bisa memilah waktu untuk bermain game online dan bisa memilih konten permainan yang sesuai

Dari petani padi yang berbagai etnis tersebut, hanya terdapat 2 (dua) etnis petani padi yang masih menggunakan Sistem Kerja yang berbasis gotong royong, seperti Etnis Banjar

Perjalanan yang panjang dan melelahkan untuk menghindari kejaran dan intaian tentara Belanda merupakan tekanan yang paling berat bagi Teuku Umar dan Cut Nyak

Dengan didasarkan pada studi literatur dan pembahasan, maka peran intermediasi sosial dengan memperguna- kan dana-dana sosial yang sesuai dalam perpektif islam yaitu zakat, infaq,

Hubungan Indonesia-Australia Pasca Insiden Penyadapan; Endah Tri Yuli Hastuti, 090910101057; 2014: 55 halaman; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh