PENGANGGARAN DAERAH BERBASIS LINGKUNGAN
(STUDI KASUS KOTA BEKASI)
SUWARLI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Pengalokasian Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
ABSTRACT
SUWARLI, Landuse Change Dynamics and Green Open Space (GOS) Allocation Strategy Based on Environmentally Sound Regional Budgeting (A Case Study of Bekasi City). Under the direction of SANTUN R.P. SITORUS, WIDIATMAKA, EKA INTAN K.PUTRI. and KHOLIL.
Marginalization issue of Green Open Space (GOS) with a high level of land conversion from vegetative or agriculture land to built l a n d in urban area shows that there is no commitment of regional government on a sustainable urban development. Political commitment on the regional government is indicated among others by the weak support of green regional budgeting (APBD) related to GOS. The research was conducted in Bekasi City. The purpose of this research was to determine a model of environmentally sound regional budgeting policy strategy related for allocation of public GOS by using a hard systems and a soft systems approaches. The former was conducted by landuse changes analysis with the factors influencing them, by designing a regional budgeting based on GOS allocating model structure by using a dynamic system approach by formulating the direction policy using focus group discussion (FGD) and analytical hierarchy process (AHP). The results of landuse change analysis showed that there was an increase in built land area from 5.5% (1,157.77 ha) in 1989 to 70.7% (14,879.85 ha) in 2009. The determinants of landuse changes in GOS were population, educational facilities, markets,
supermarkets, settlements, industries, restaurants, hotels, and inns (R2 = 99.6%). The
dynamic model was designed three scenarios of GOS allocating policy strategy (pessimism, moderate, and optimism) with an early simulation in 2010. The optimism scenario was considered as being capable of accommodating the fulfillment of city GOS need really on an assumption of considerable long multiyears budgeting so that in 2030 the target of 20% public GOS would be achieved. The results of analysis by AHP and FGD approaches showed that alternatives were on 2 main policies, namely: agriculture/GOS infrastructure development and GOS land acquirement. The priorities of policies emphasized the importance of commitment to green budgeting with tight control, particularly tax disincentive and tightening of building license.
RINGKASAN
SUWARLI, Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Pengalokasian Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi). Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS, WIDIATMAKA, EKA INTAN K.PUTRI dan KHOLIL.
Isu marjinalisasi ruang terbuka hijau (RTH) yang dikonversi secara tidak proporsional menjadi ruang terbangun (RTB) merupakan indikasi rendahnya komitmen politik penganggaran tata ruang. Terbatasnya ketersediaan jasa RTH
di perkotaan merupakan isu lingkungan karena memiliki aspek-aspek the
commons di dalamnya. Pemerintah bertanggungjawab melindungi Common-Pool
Resources (CPRs) dari tindakan overuse. Solusi yang ditawarkan untuk
menangani pengelolaan CPRs khususnya ketersediaan RTH publik kota, diantaranya adalah pengadaan lahan dan subsidi oleh pemerintah.
Berdasarkan ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, alokasi RTH suatu kawasan perkotaan adalah 30 persen dari luas kota, 20 persen diantaranya menjadi tanggungjawab pemerintah untuk mendanai RTH Publik. Tuntutan komitmen politik penganggaran merupakan amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Amanat tersebut antara lain adalah diperkenalkannya instrumen penganggaran berbasis lingkungan hidup (pasal 42-45). Penganggaran berbasis
lingkungan (Green Budgeting) adalah aktivitas perencanaan penganggaran
lingkungan yang menjadi kewajiban pemerintah dan parlemen mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
Pilihan mengendalikan konversi RTH dengan pendekatan regulasi insentif dan disinsentif tidak mudah dilaksanakan, dan diperlukan dukungan
stakeholders dalam mengawal penganggaran RTH dalam perspektif green
budgeting RTH. Dalam konteks keterbatasan anggaran, metode pendekatan
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Medium Term
Expenditure Framework (MTEF) dapat dijadikan teknik pendekatan
penganggaran dalam APBD.
Kota Bekasi sampai dengan saat ini memiliki RTH publik seluas 771 ha (3,7%), sedangkan laju penurunan lahan RTH rata-rata 5-7% per tahun. Kondisi tersebut tidak didukung dan diimbangi kinerja kebijakan pengalokasian RTH yang optimal. Kinerja program pengelolaan RTH selama periode tahun 2005-2009 rata-rata hanya mendapatkan porsi 0,07% dari penerimaan APBD atau tidak lebih dari 1 milyar (Bappeda, 2008; Dinas LH, 2009). Esensi permasalahan yang terjadi di Kota Bekasi adalah alih fungsi lahan yang cepat tanpa diikuti kinerja penganggaran atas kewajiban daerah memenuhi 20 persen RTH publik kotanya. Dalam upaya memberikan arahan kebijakan, maka penelitian model
strategi green budgeting RTH di Kota Bekasi penting dilakukan. Penelitian ini
memiliki nilai strategis karena kebijakan pendanaan lingkungan saat ini merupakan salah satu indikator keberhasilan kinerja pemerintah daerah dalam
pengelolaan lingkungan (good environment governance). Tujuan penelitian ini
adalah untuk
1)
Menganalisis dinamika dan pola perubahan penggunaanlahan di Kota Bekasi
,
2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhiperubahan penggunaan lahan RTH
, 3)
Mendisain struktur model pengalokasianMerumuskan arahan kebijakan dan strategi pengalokasian RTH berbasis
penganggaran daerah (green budgeting RTH).
Penelitian model strategi pengalokasian RTH berdasarkan penganggaran
daerah, memanfaatkan pendekatan hard systems dan soft systems. Pendekatan
pertama dilakukan melalui analisis spasial dan analisis regresi terhadap perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, hal ini kemudian dilanjutkan dengan mendisain struktur model pengalokasian RTH
berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH), dengan pendekatan
sistem dinamik. Sementara pendekatan kedua dilakukan melalui survei
preferensi stakeholders untuk merumuskan arahan prioritas kebijakan. Metode
yang digunakan adalah analytical hierarchy process (AHP) dan teknik focus
group discussion (FGD). Data pendukung diperoleh dari BPS, BPLH, Bappeda,
DPPKAD, Dinas Kependudukan, Dinas Tata Ruang, dan Dinas Perekonomian Rakyat pada Pemerintah Kota Bekasi. Data spasial diperoleh dari Bakosurtanal,
Bapeda Kota Bekasi dan analisis citra satelit. Survei preferensi stakeholders
dilakukan terhadap 15 respoden dari instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan DPRD Kota Bekasi.
Hasil analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) terhadap penggunaan lahan tahun 1989 menunjukkan permukiman/ruang terbangun (RTB) di Kota Bekasi hanya sebesar 5,5 persen (1.157,77 ha), dan sisanya adalah lahan RTH hampir 94 persen (19.785 ha). Pada perkembangan selanjutnya tahun 2000 pertumbuhan kelompok lahan terbangun naik hampir 10 kali lipat dari 5,5 persen menjadi 51,8 persen (10.894,64 ha), tahun 2005 menjadi sebesar 61 persen (12.884,19 ha) dan tahun 2009 bertambah menjadi 70,7 persen (14.879,85 ha).
Hasil analisis regresi berganda terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, menunjukkan bahwa model ini cukup mampu
mengambarkan keragaman dari variable dependent, dengan R2 sebesar 99,6%.
Hasil uji parsial terhadap variabel-variabel independent yang terpilih
menunjukkan bahwa hanya variabel penduduk yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan pada selang kepercayaan 90%. Faktor penduduk dengan jumlah yang besar dan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) yang tinggi, merupakan faktor yang berpengaruh kuat terhadap perubahan penggunaan lahan bervegetasi.
Model dinamik merancang tiga skenario strategi kebijakan yaitu pesimis,
moderat, dan optimis. Skenario pesimis pada fraksi Green Budgeting RTH
diasumsikan sebesar 0.50% dari penerimaan APBD Kota Bekasi, skenario moderat 2% dan optimis 3% sedangkan kondisi eksisting/aktualnya adalah 0.07%. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) pada ketiga skenario adalah pesimis sebesar 3.75%, moderat sebesar 3.5% dan optimis sebesar 3%, sedangkan aktualnya 4%.
Hasil simulasi skenario optimis, menunjukkan terjadi peningkatan jumlah
penduduk selama periode tahun simulasi yaitu dari 2,376,842 jiwa (2010)
menjadi 3,889,540 jiwa (2030). Intervensi green budgeting RTH cukup signifikan
dari Rp. 47.252.106.219 (2010) meningkat menjadi Rp. 498.277.894.342 (2030).
Nilai kenyamanan yang diukur dengan THI yang dihasilkan dari 27,630C (2010)
menjadi 27,600C (2030). Kondisi ini berbeda jika simulasi model tanpa intervensi
kebijakan dimana THI sebesar 27,630C (2010) menjadi 28,400C. Sekenario optimis
dengan kinerja green budgeting yang makin baik menambah luas RTH dari 3.627
kelembaban udara (RH) naik dari semula 70,57 % (2010) menjadi 70,63 %
(2030). Kenaikan kelembaban udara diikuti turunnya suhu yang semula 29,350C
(2010) menjadi 29,320C (2030). Fakta turunnya suhu sebesar 0,030C akibat
bertambahnya luasan lahan RTH dari 3.627 ha (2010) menjadi 4.874 ha (2030). Hasil simulasi terhadap kondisi aktual/eksisting diprediksi terjadi penurunan luas lahan RTH dari 4.998 ha (2005) menjadi 1.295 ha. Berkurangnya RTH lebih dari
50% tersebut diikuti peningkatan suhu udara sebesar 0,90C dari 29,24 °C
menjadi 30,21°C.
Kesimpulan dari hasil simulasi yang diperoleh pada ketiga skenario, maka skenario optimis merupakan skenario yang tepat digunakan sebagai strategi pengalokasian RTH berdasarkan penganggaran daerah berbasis lingkungan. Skenario tersebut mampu mengakomodasi terpenuhinya kebutuhan 20% RTH publik pada tahun 2030, apabila skenario belanja RTH sudah dimulai tahun 2010. Target 20 tahun pembangunan lingkungan khususnya RTH seyogyanya menjadi acuan dalam RTRW Kota Bekasi 2010-2030.
Hasil analisis dengan pendekatan AHP dan FGD menunjukkan alternatif kebijakan diprioritaskan pada 2 kebijakan utama, yaitu: kebijakan pembangunan infrastruktur pertanian/RTH (bobot 0,192), dan kebijakan pengadaan lahan RTH (bobot 0,185). Prioritas kebijakan tersebut menekankan pentingnya komitmen
penganggaran hijau (green budgeting) disertai pengendalian yang tinggi
khususnya disinsentif pajak dan pengetatan ijin membangun.
Strategi kebijakan melalui tahapan refungsionalisasi kawasan sempadan situ, saluran irigasi, sempadan sungai, daerah kawasan lindung resapan air, revitalisasi taman-taman kota dan RTH di jalan protokoler serta lahan fasos-fasum. Pilihan strategi kebijakan kedua dan seterusnya yaitu pengadaan lahan sebagai kawasan lindung, pengadaan lapangan olah raga untuk kegiatan kreatif/prestasi dan rekreatif serta wahana interaksi sosial warga termasuk
pencanangan program one village one play ground. Langkah berikutnya adalah
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PENGANGGARAN DAERAH BERBASIS LINGKUNGAN
(STUDI KASUS KOTA BEKASI)
SUWARLI
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
DOKTOR
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(Studi Kasus Kota Bekasi)
Nama Mahasiswa : Suwarli
NRP : P 062074174
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Ketua
Dr Ir Widiatmaka, DEA
Anggota
Dr Ir Kholil, M.Kom
Anggota
Dr Ir Eka Intan K. Putri, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr Ir Cecep Kusmana, MS.
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Dan Strategi Pengalokasian Ruang
Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Studi
Kasus di Kota Bekasi) dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah ini diharapkan dapat
memberikan masukan dan informasi berupa arahan kebijakan strategi
pengalokasian RTH dalam penganggaran daerah berbasis lingkungan (green
budgeting).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus.,
sebagai ketua komisi pembimbing, Dr Ir Widiatmaka, DEA., Dr Ir Eka Intan K.P,
MSc. dan Dr Ir Kholil, M.Kom, masing-masing sebagai anggota komisi, atas
bimbingannya dalam penyusunan disertasi ini. Demikian juga kepada Dr Ir
Dahrul Syah, MSc., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Prof.Dr Ir
Cecep Kusmana MS., selaku Ketua Program Studi PSL . Ucapan terima kasih
yang sama juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr Ir Surjono H. Sutjahjo, MS.,
Prof. Dr Ir I Made Nengah Suradjaya dan Dr Ir Nurisjah, sebagai penguji pada
sidang luar komisi pada ujian prelim, serta Prof. Dr Marimin, MSc., Dr Ir Ernan
Rustiadi, MSc., Dr Ir Nurisjah dan Dr Ir Syaiful Anwar sebagai penguji luar
komisi pada ujian tertutup.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kota
Bekasi yang telah memberi kesempatan studi program S3 SPs IPB. Hal yang
sama diucapkan terima kasih kepada para kepala dinas, anggota Komisi C dan
unsur pimpinan DPRD Kota Bekasi serta LSM/stakeholders pemerhati
lingkungan yang berpartisipasi selama proses penelitian ini. Selanjutnya,
ucapan terima kasih ditujukan kepada keluarga penulis sendiri atas motivasi dan
sarannya dalam proses penulisan yang cukup melelahkan tetapi membuahkan
karya yang monumental bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangannya, untuk
itu kritik dan saran, penulis harapkan dari semua pihak guna penyempurnaan
disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Penulis dilahirkan di Bekasi Jawa barat pada tanggal 10 Mei 1965,
sebagai putra ke empat dari sembilan bersaudara pasangan H.D. Saidi dan Alm.
Hj. Sukarni. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pada SMA Negeri 1
Bekasi pada tahun 1984, kemudian menyelesaikan pendidikan S1 pada Sekolah
Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tahun 1990 dan meraih gelar
Magister Ilmu Pemerintahan di Universitas Setyagama Jakarta tahun 2000.
Sejak Februari 2008 penulis memulai pendidikan S3 pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Saat
ini penulis adalah pegawai negeri dan menjabat sebagai Kepala Dinas
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
1.5. Kerangka Pemikiran ... 8
1.6. Kebaruan (Novelty) ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14
2.1. Penggunaan Lahan dan Tutupan Lahan ... 14
2.2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan ... 16
2.3. Fungsi dan Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Penataan Ruang ... 19
2.4. Penganggaran Berbasis Lingkungan Sebagai Perangkat Manajemen Lingkungan ... 35
2.5. Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Green Budgeting) ... 42
2.6. Pendekatan Sistem ... 53
2.7. Proses Hirarki Analisis ... 59
2.8. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu Tentang Kajian Lahan dan RTH ... 62
III. METODE PENELITIAN ... 65
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 65
3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 65
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 66
3.4. Rancangan Penelitian ... 67
3.4.1. Terminologi ... 70
3.4.2. Kajian Pola Perubahan Penggunaan Lahan ... 71
3.4.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan RTH (RTH) ... 73
3.4.4. Penyusunan Disain Model Pengalokasian RTH Berbasis Penganggaran Daerah (green budgeting RTH). ... 78
3.4.4.1.1 Analisis Kebutuhan (Need Analysis) ... 79
3.4.4.1.2 Formulasi Permasalahan ... 80
3.4.4.1.3 Identifikasi ... 80
3.4.4.1.4 Konseptualisasi Sistem ... 81
3.4.4.1.5 Perumusan Model ... 86
3.4.4.1.6 Analisis Perilaku Model ... 86
3.4.4.1.7 Pengujian Model ... 86
3.4.5. Prioritas Kebijakan Strategi Green Budgeting RTH ... 88
IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN ... 92
4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Ruang Makro ... 92
4.2. Administrasi Pemerintahan ... 95
4.3. Kondisi Fisik Dasar ... 96
4.4. Kependudukan ... 97
4.5. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Penggunaan Lahan/Land Use ... 99
4.5.1. Kawasan Lindung ... 99
4.5.2. Kawasan Budidaya ... 103
4.6. Perekonomian Daerah ... 105
4.7. Perizinan ... 108
4.8. Keuangan Daerah ... 109
V. ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN ... 113
5.1. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan ... 113
5.2. Pola Perubahan Penggunaan Lahan... 122
5.3. Arahan Pengembangan RTH Kota Bekasi ... 124
5.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan ... 131
VI. DISAIN MODEL STRATEGI PENGALOKASIAN RTH BERBASIS PENGANGGARAN DAERAH... 135
6.1. Identifikasi Sistem Kawasan Perkotaan ... 135
6.2. Simulasi Model Strategi Pengalokasian RTH Berbasis Green Budgeting ... 137
6.3. Pengujian Model ... 152
6.4. Skenario intervensi model ... 155
6.5. Analisis Model Strategi Green Budgeting RTH ... 164
3.4.4.2 Analisis Kebijakan Pengalokasian RTH Berbasis Green Budgeting ... 87
6.4.1. Skenario Pesimis ... 160
6.4.2. Skenario Moderat ... 162
VII.ARAHAN KEBIJAKAN GREEN BUDGETING RTH ... 168
7.1. Prioritas Kebijakan Berdasarkan Pendapat Stakeholders ... 168
7.2. Analisis Prioritas Kebijakan Strategi Pengalokasian RTH ... 173
7.3. Arahan Rekomendasi Kebijakan ... 176
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 197
8.1. Kesimpulan ... 197
8.2. Saran ... 198
DAFTAR PUSTAKA... 200
1.
Luas rencana pemanfaatan ruang Kota Bekasi tahun 2000-2010……… 82.
Dinamika luasan RTH Kawasan Jabotabek……….. 173.
Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk………. 244.
Skala banding secara berpasangan……… 605.
Skala perbandingan dalam mengekspresikan pendapat………. 616.
Rangkuman hasil penelitian terdahulu (review jurnal)……….. 637.
Peubah dan sumber data……….. 668.
Kriteria stakeholders, instansi, dan jumlah responden………. 679.
Matriks rangkuman tujuan, jenis data, parameter, teknik analisis data dan output……….. 6910.
Matriks variabel regresi dan definisinya……….. 7711.
Pertimbangan kebijakan makro terhadap RTRW Kota Bekasi……… 9312.
Perkembangan jumlah penduduk Kota Bekasi (2005-2008)………... 9813.
Rencana kawasan lindung Kota Bekasi 2000-2010………. 9914.
Identifikasi ketersediaan RTH Publik di Kota Bekasi……….. 10115.
Rencana pengembangan RTH di Kota Bekasi……… 10216.
Penggunaan lahan terbangun dan lahan RTH menurut kecamatan tahun 2001-2009……….. 10317.
Pembagian BWK dan arahan pengembangan tiap Sub BWK……….. 10418.
Angka agregatif PDRB per kapita Kota Bekasi tahun 2005-2008………… 10719.
Distribusi PDRB Kota Bekasi Tahun 2005-2008 (%) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000………... 10720.
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam unit rumah………. 10821.
Banyaknya perusahaan yang mendapatkan SIUP tahun 2004-2008…….. 10922.
Realisasi penerimaan APBD Kota Bekasi tahun 2004-2008……… 10923.
Anggaran pengelolaan lingkungan hidup………. 11024.
Produk hukum terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup……….. 11125.
Kelompok lahan RTH tahun 1989………. 11426.
Luas jenis penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 1989-2009……….. 12027.
Jenis dan luas lahan RTH per kecamatan di Kota Bekasi tahun 2009………. 12628.
Lahan terbangun dan lahan lainnya berdasarkan kecamatan tahun 2009………. 12730.
Data analisis regresi………. 13131.
Dependent Variable: lahan RTH……… 13232.
Variabel penduduk yang digunakan dalam pemodelan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting……… 13833.
Jumlah penduduk (jiwa) Kota Bekasi selama periode tahun simulasi……. 14134.
Formulasi sub sistem lahan RTH………... 14335.
Data simulasi Lahan RTH, kelembaban (RH), suhu terhadap RTH dan THI………. 14336.
Variabel ekonomi (Green Budgeting RTH) yang digunakan dalam pemodelan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting………. 14737.
Prediksi penerimaan APBD dan kinerja green budgeting RTH (Rp)…….. 14838.
Rasio angaran pengelolaan LH, sampah dan RTH……… 15039.
Data validasi model berdasarkan perkembangan jumlah penduduk……… 15340.
Data validasi model berdasarkan perubahan lahan RTH……….. 15341.
Data validasi model green budgeting RTH aktual di Kota Bekasi………... 15442.
Skenario intervensi parameter model……….. 15643.
Asumsi dukungan anggaran kebijakan pengendalian penduduk…………. 15744.
Harga terendah dan tertinggi NJOP per kecamatan……….. 15945.
Prediksi simulasi target pendapatan APBD antar skenario………... 16046.
Hasil simulasi dengan menggunakan skenario pesimis……… 16147.
Hasil simulasi dengan menggunakan skenario moderat……… 16248.
Hasil simulasi dengan menggunakan skenario optimis………. 16449.
Perbandingan prediksi penduduk antar skenario……… 16650.
Perbandingan prediksi lahan permukiman terbangun antar skenario……. 16651.
Skala prioritas aspek tujuan……… 17052.
Skala prioritas kriteria untuk aspek pendapatan pajak……….. 17053.
Skala prioritas kriteria untuk aspek belanja RTH dengan MTEF………….. 17154.
Skala prioritas stakeholders untuk peningkatan pajak………... 17155.
Skala prioritas stakeholders untuk pengurangan pajak………. 17256.
Skala prioritas stakeholders untuk program mempertahankan RTH eksisting………... 17257.
Skala prioritas stakeholders untuk penambahan luas RTH……….. 17358.
Perbandingan fakta kondisi aktual lahan bervegetasi RTH dengan arahan draft RTRW 2010-2030 ……….………….179DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.
Kerangka pemikiran penelitian ... 112.
Klasifikasi fungsi Ruang Terbuka Hijau ... 223.
Perbandingan luas RTH perkapita pada beberapa kota besar dunia ... 294.
Spektrum biaya lingkungan ... 395.
Kerangka cakupan akuntansi lingkungan... 396.
Klasifikasi instrumen ekonomi lingkungan... 417.
Tahapan pemodelan pendekatan sistem ... 548.
Jenis-jenis model ... 569.
Tahap-tahap pembuatan simulasi model ... 5810.
Bagan alir penelitian ... 6811.
Tahapan pengelolaan RTH kota dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik ... 7812.
Rancangan integratif dari diagram sebab-akibat sistem green budgeting RTH ... 8113.
Flow diagram sub model penduduk, green budgeting RTH dan lahan RTH ... 8214.
Diagram input-output strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting... 8515.
Bagan alir tahapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah ... 9016.
Struktur hierarki strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting) dalam pengalokasian RTH. ... 9117.
Luas wilayah menurut kecamatan ... 9618.
Kawasan lindung (resapan air) Karang Kitri dan area tangkapan air di sekitar Mall Metropolitan/Pintu Toll Bekasi Barat... 10019.
Kondisi RTH pada area sempadan situ dan sungai di Kota Bekasi yang terpenetrasi oleh kegiatan terbangun ... 10120.
Kondisi lahan RTH pada area kawasan pertanian di Kota Bekasi yang terpenetrasi oleh kegiatan terbangun ... 10521.
LPE Kota Bekasi Tahun 2005-2006 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ... 10622.
Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 1989 ... 11523.
Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2000 ... 11624.
Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2005 ... 11726.
Persentase tutupan lahan Kota Bekasi tahun 2000 ... 11927.
Persentase tutupan lahan Kota Bekasi tahun 2005 ... 11928.
Persentase tutupan lahan Kota Bekasi tahun 2009 ... 12029.
Dinamika perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi... 12130.
Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2009 ... 12531.
Peta arahan pengembangan RTH Kota Bekasi ... 12832.
Flow diagram sub model penduduk ... 13933.
Grafik hasil simulasi jumlah penduduk periode 2005-2030 ... 14034.
Grafik Lahan RTH di Kota Bekasi ... 14435.
Flow diagram submodel lahan RTH ... 14436.
Grafik hasil simulasi Green Budgeting RTH periode 2005-2030 ... 14837.
Flow diagram submodel green budgeting RTH ... 14938.
Grafik perbandingan penduduk aktual dan penduduk hasil simulasi ... 15339.
Grafik perbandingan RTH aktual dan RTH hasil simulasi ... 15440.
Grafik perbandingan green budgeting RTH aktual dan simulasi ... 15441.
Grafik hasil simulasi skenario pesimis ... 16142.
Grafik hasil simulasi green budgeting RTH dengan lahan RTH ... 16243.
Grafik hasil simulasi skenario optimis ... 16344.
Grafik perbandingan hasil simulasi gabungan ... 16545.
Rincian alternatif kebijakan ... 17446.
Struktur hirarki strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting... 17547.
Diagram alir model konseptual kebijakan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting ... 17648.
Skema arahan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting... 17849.
Bagan alir tahapan MTEF dalamgreen budgeting RTH ... 188Lampiran Halaman
1.
Glossary dan Definisi ... 2082.
Simpangan pemanfaatan kawasan Ruang Terbuka Hijau ... 2123.
Perubahan penggunaan lahan 1989-2000 Kota Bekasi ... 2124.
Perubahan penggunaan lahan 2000-2005 Kota Bekasi ... 2135.
Perubahan penggunaan lahan 2005-2009 Kota Bekasi ... 2136.
Lahan RTH tahun 1989 ... 2137.
Lahan RTH tahun 2000 ... 2148.
Lahan RTH tahun 2005 ... 2149.
Lahan RTH tahun 2009 ... 21410.
Lahan terbangun dan lainnya tahun 1989 ... 21511.
Lahan terbangun dan lainnya tahun 2000 ... 21512.
Lahan lahan terbangun dan lainnya tahun 2005 ... 21513.
Lahan lahan terbangun dan lainnya tahun 2009 ... 21614.
Hasil perhitungan regresi berganda ... 21615.
Hierarki AHP ... 21716.
Standar kebutuhan lahan terbangun m2 per jiwa ... 21817.
Tabel luas lahan sawah menurut frekuensi penanaman dan hasil produksi (ton/tahun) tahun 2008 ... 21918.
Tabel luas pemanfaatan lahan untuk taman/jalur hijau kota per- kecamatan di Kota Bekasi tahun 2009 ... 22019.
Tabel realisasi kegiatan penghijauan tahun 2009 ... 22120.
Tabel luas lahan sawah menurut kecamatan dan jenis pengairan (ha) tahun 2008 ... 22221.
Inventarisasi situ di Kota Bekasi tahun 2009 ... 22222.
Alternatif Simulasi Kebijakan Model ... 22323.
Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin 2009 ... 22324.
Penambahan lahan RTH pada skenario aktual, pesismis dan moderat ... 22425.
Potensi definitif penerimaan PBB dan BPHTB se Jabotabek ... 22426.
Format formulir MTEF pada Rencana Kerja dan Anggaran SKPD ... 22527.
Kerangka acuan kerja good governance (Yunus, 2005) ... 22529.
Selang Kenyamanan beberapa negara ... 22630.
Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) dan RTH ... 22731.
Matrik RPJMD Kota Bekasi ... 22832.
Equations Sistem Dinamik ... 229I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Membangun kawasan perkotaan seringkali berhadapan dengan cepat
tumbuhnya penduduk tanpa diimbangi oleh kesiapan dan konsistensi dalam
penataan ruang. Pemerintah kota senantiasa berhadapan dengan manajemen
tambal sulam dalam membangun struktur dan pola ruang kotanya. Manajemen
tersebut dipengaruhi tidak saja oleh karena persoalan tekanan pertumbuhan
penduduk yang tinggi, tetapi juga keinginan memaksimalkan angka laju
pertumbuhan ekonomi (LPE) daerah dengan memarjinalisasi lahan RTH sebagai
fungsi kawasan lindung kota. Akibatnya timbul inkonsistensi tata kelola ruang
berdimensi jangka panjang. Mengabaikan tingginya konversi lahan
pertanian/lahan RTH lainnya menjadi ruang terbangun (RTB) dan cenderung
mengancam keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Pembangunan yang pesat di Kota Bekasi baik pada sektor perumahan,
industri padat teknologi, pusat perbelanjaan mewah, dan sentra perkantoran
merupakan instrumen yang mewadahi kepentingan sektor ekonomi.
Permasalahannya, hal ini dikerjakan dengan mengkonversi lahan pertanian
secara besar-besaran. Fenomena ini menunjukkan cara-cara yang salah dalam
mengelola ekosistem sumber daya lingkungan kota.
Kerusakan lingkungan hidup sering menjadi taruhan dari pesatnya
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Paradigma ini berorientasi atau prioritas
utamanya menciptakan pertumbuhan dan mekanisme pasar menjadi pijakan
pembangunan (Sitorus, 2009). Orientasi pembangunan ekonomi dengan alasan
memfasilitasi tingginya pertumbuhan penduduk juga menjadi pemicu dan alat
penekan terjadinya deviasi atau simpangan pemanfaatan ruang yang tidak
menguntungkan secara ekologis.
Penyimpangan struktur dan pemanfaatan ruang dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) umumnya terjadi karena tekanan tingginya
pertumbuhan penduduk, terutama akibat arus urbanisasi (Dardak, 2006a).
Perkembangan spasial yang tidak terkendali tersebut bukan berarti kota tidak
mempunyai konsep tata ruang/tata spasialnya. Formulasi tata spasial dan
lapangan, karena permasalahan yang berkaitan dengan aplikasi peraturan tidak
dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen (Yunus, 2005).
Fakta penyimpangan tata spasial terjadi pada dokumen Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi. Hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun
2005 terhadap Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2000 tentang RTRW Kota
Bekasi menyimpulkan bahwa telah terjadi simpangan besar dalam hal struktur
dan pola pemanfaatan ruang kota. Diketahui bahwa penyimpangan struktur dan
pola pemanfaatan ruang tersebut termasuk ke dalam Tipologi III yaitu kondisi
RTRW absah, simpangan besar, dan faktor eksternal berubah. Tipologi hasil
peninjauan tersebut didasarkan pada ketentuan Kepmenkimpraswil No.
327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Peninjauan Kembali RTRW Kota (Bappeda
Kota Bekasi, 2008).
Konsekuensi terjadinya simpangan besar khususnya terhadap pola
pemanfaatan ruang, umumnya berakibat kepada sub optimalisasi RTH atau
memarjinalkan lahan bervegetasi. Menurunnya kuantitas RTH, dari aspek
ekologi, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti
banjir, tingginya polusi udara, rendahnya kualitas air tanah, dan kebisingan.
Kondisi tersebut, dari aspek ekonomi dan sosial juga dapat menurunkan tingkat
produktivitas atau kontra produktif masyarakat akibat stres. Biaya kesehatan
berkorelasi positif terhadap peningkatan environmental stress, sehingga biaya ini
dapat dijadikan proxy terjadinya penurunan kualitas lingkungan (Putri, 2009).
Polusi udara yang berlebihan menyebabkan kelainan genetik, menurunkan
tingkat kecerdasan anak-anak dan tingkat harapan hidup masyarakat dan
fenomena perilaku sosial yang destruktif seperti vandalisme dan kriminalitas
(Dardak, 2006a). Hal ini terjadi karena terbatasnya akses ruang publik sebagai
sarana interaksi sosial dan pelepas ketegangan psikis.
Perencanaan tata ruang dalam konteks pengalokasian RTH dilakukan
dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi
budidaya dan fungsi lindung sebagaimana amanat UU No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Ketidakmampuan menyeimbangkan kedua fungsi
tersebut menunjukan lemahnya komitmen politik tata ruang. Kegagalan politik
tata ruang dapat diukur dari kurangnya keinginan untuk membiayai program RTH
(green budgeting RTH), lemahnya kekuasaan menindak, melarang, dan
perijinan. RTRW sering hanya dilihat pemerintah sebatas formalitas yang
didokumentasikan sebagai peraturan daerah guna memenuhi ketentuan atau
aturan di atasnya.
Konsep pemanfaatan ruang dalam undang-undang tersebut adalah upaya
untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata
ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
Menurut Djakapermana (2008) belum sepenuhnya rencana tata ruang dijadikan
usaha preventif dalam proses pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Euphoria Otonomi Daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan PAD
yg bersifat jangka pendek (dibanding peningkatan PDRB dalam jangka panjang),
serta keinginan mengembangkan infrastruktur regional secara sendiri-sendiri
yang menjadi tidak efisien.
Dengan demikian ada dua kekuatan yang memarjinalisasi program
keberlanjutan RTH kota. Pertama, faktor teknis yaitu keseriusan pemerintah
menjaga konsistensi manajemen pengelolaan RTH. Kedua, faktor nonteknis,
kepedulian stakeholders mengendalikan arahan pemanfaatan RTH dan tekanan
permintaan ekonomi pasar terhadap politik tata ruang, termasuk dukungan politik
penganggaran RTH (green budgeting RTH). Pilihan mengendalikan konversi
RTH dengan pendekatan regulasi insentif dan disinsentif bagi kawasan
perkotaan tidaklah mudah bagi pemerintah kota, tetapi persoalan penatagunaan
lahan juga tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Oleh
karena itu, pemerintah harus mampu melakukan regulasi termasuk dalam hal
belanja program tata ruangnya.
Sebagai gambaran, lahan pertanian dan perkebunan tentunya tidak akan
dapat dipertahankan masyarakat karena nilai pajak tanah perkotaan yang tinggi
dan tidak sebanding dengan hasil panen mereka. Masyarakat pemilik lahan
seringkali memilih menjual lahan karena harga tanah yang tinggi dapat dijadikan
sebagai modal usaha lain. Dengan kondisi seperti ini, tidak ada pilihan lain,
pemerintah berkewajiban membeli lahan tersebut sebagai upaya
mempertahankan ruang terbuka hijau. Dalam teori penatagunaan lahan
(Widiatmaka dan Hardjowigeno, 2007), sekurang-kurangnya tanah atau lahan
mempunyai tiga jenis nilai (rent) yaitu Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas
tanah), Locational Rent (aksesibilitas lokasi tanah) dan Environment Rent (tanah
menjadi barang langka sebagai akibat dari tingginya permintaan lahan dan
hak-hak akses atas lahan, yang menjadi kendala dalam pemanfaatannya (Rustiadi,
et al. 2007).
Idealnya, pengendalian lahan oleh pemerintah harus mampu
mengoptimalkan pemanfaatan ketiga jenis rent tersebut sekalipun pada kawasan
perkotaan. Dalam kondisi lahan RTHyang semakin menyusut, diupayakan agar
pemerintah menguasai/mengalokasikan dana untuk pengadaan lahan bagi
kebutuhan RTH publik. Program-program penganggaran RTH saat ini belum
secara optimal dimasukkan dalam penganggaran tahunan daerah (APBD) dan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Bekasi.
Dalam konteks keterbatasan anggaran, pemerintah daerah dapat
melakukan pendekatan Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Medium
Term Expenditure Framework (MTEF) yang secara partisipatif disepakati
bersama antara eksekutif dan legislatif daerah (DPRD) Kota Bekasi.
Undang-undang tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan bahwa peran daerah
menjadi sangat penting sebagai ujung tombak pelaksanaan pembangunan,
dimana pendanaan lingkungan hidup menjadi salah satu kewenangan yang
diserahkan kepada Pemerintah Daerah demi mendukung upaya penerapan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (UU No. 32 tahun 2004a).
Kota Bekasi baru memiliki RTH publik seluas 778 ha (3,7%), sedangkan
laju penurunan lahan RTH rata-rata 5-7% pertahun tidak diimbangi kinerja
pengelolaan RTH yang optimal. Kinerja program pengelolaan RTH selama
periode tahun 2005-2009 rata-rata hanya mendapatkan porsi 0,07% dari
penerimaan APBD atau tidak lebih dari 1 milyar (Bappeda, 2010; Dinas LH,
2009). Esensi permasalahan yang terjadi di Kota Bekasi adalah alih fungsi
lahan yang cepat tanpa diikuti kinerja dukungan penganggaran atas kewajiban
daerah memenuhi 20 persen RTH publik kotanya.
Dalam upaya memberikan arahan kebijakan, maka penelitian dinamika
perubahan penggunaan lahan dan strategi pengalokasian RTH berdasarkan
penganggaran daerah berbasis lingkungan di Kota Bekasi penting dilakukan.
Diharapkan, hasil penelitian ini bernilai strategis, karena kebijakan pendanaan
pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan (Good Environment
Governance).
1.2. Perumusan Masalah
Disadari bahwa penduduk Kota Bekasi memiliki kebutuhan yang sangat
mendasar untuk lingkungan udara yang sehat, ketersediaan air tanah, dan ruang
sebagai sarana berinteraksi sosial. Oleh karena itu, diperlukan ruang untuk
mewadahinya yang sering disebut RTH yang juga berperan sebagai ruang publik
kota (public space). Perubahan penggunaan lahan yang cepat di Kota Bekasi
telah menggusur RTH menjadi ruang terbangun (RTB) tanpa pengendalian yang
maksimal sehingga memarjinalkan konsep kota hijau (green city) sebagai suatu
sistem ekologi kota yang utuh. Dampak marjinalisasi pengelolaan RTH kota
secara luas dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu dampak ekologi dan
dampak sosial-ekonomi (Briassoulis 1999). Fenomena konversi lahan yang cepat
dengan memarjinalisasi RTH, menyebabkan secara ekologis sulit bagi Kota
Bekasi untuk dapat mewujudkan atau mempertahankan kawasan lindung
sebagai area untuk kelestarian hidrologis, pengembangan keanekaragaman
hayati, area penciptaan iklim mikro dan reduktor polutan kota.
Sebagai gambaran, pada Lampiran 2 disajikan simpangan pemanfaatan
ruang kawasan terbuka hijau yang terjadi pada tahun 2005 dibandingkan dengan
apa yang direncanakan berdasarkan RTRW tahun 2000–2010. Berdasarkan
arahan RTRW tersebut, beberapa jenis RTH seperti rencana kawasan
pertamanan dan penyediaan lapangan olah raga pada setiap wilayah kecamatan
tetapi faktanya tidak dapat direalisasikan bahkan lahan yang ada dikonversi
menjadi ruang terbangun (RTB). Demikian pula dengan lahan pertanian yang
seyogyanya dipertahankan pada dua kecamatan yaitu Bantargebang dan
Jatisampurna, sebagian telah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun terutama oleh
permukiman skala besar.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Kota Bekasi belum memiliki rencana target luasan 20 persen RTH publik
yang ditetapkan secara jelas baik lokasi maupun mekanisme pencapaiannya,
sehingga diduga sulit merealisasikan kewajiban pemerintah tersebut tanpa
2. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang berupa regulasi penerbitan izin
diduga tidak konsisten dengan arahan RTRW, disamping lemahnya
dukungan penganggaran daerah (green budgeting RTH) sehingga sulit
memproteksi kepemilikan RTH privat untuk kepentingan publik di kawasan
perkotaan.
3. Program-program penganggaran daerah berbasis lingkungan, khususnya
pengelolaan RTH kota saat ini belum secara optimal dimasukkan dalam
penganggaran tahunan daerah (APBD) melalui pendekatan Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM/MTEF). Jika tidak dilakukan
pengendalian bersama seluruh stakeholders, maka simpangan besar ini
menjadi ancaman terhadap ekologi kota.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap dukungan sumber
pembiayaan dari APBD hijau (green budgeting). Pentingnya APBD
hijau/penganggaran hijau (green budgeting), merupakan amanat Undang-undang
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup
(PPLH) dalam hal ini upaya untuk mempertahankan dan memenuhi kawasan
RTH sebagai bagian dari ekosistem kota.
Dari uraian pokok permasalahan di atas, maka disusun pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana dinamika dan pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi di
Kota Bekasi selama 20 tahun terakhir (1989 sampai dengan 2009)?
2. Faktor-faktor penting apa yang mempengaruhi dinamika perubahan
penggunaan lahan dari yang tadinya lahan terbuka menjadi lahan/ruang
terbangun (RTB)?
3. Bagaimana mendisain model untuk memprediksi pola interaksi antara
pertumbuhan penduduk (aspek sosial), perubahan pengunaan lahan RTH
(aspek ekologi) dan penganggaran RTH pada APBD/Green Budgeting RTH
(aspek ekonomi) dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pengelolaan RTH
Kota Bekasi?
4. Bagaimana arahan prioritas strategi kebijakan pengalokasian RTH
berdasarkan penganggaran daerah berbasis lingkungan/APBD hijau (Green
Budgeting RTH)?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut diperlukan kajian ilmiah
dipecahkan. Setiap kajian yang dilakukan terkait satu sama lain sebagai satu
kesatuan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui dinamika dan pola perubahan penggunaan lahan di Kota
Bekasi.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
bervegetasi.
3. Mendisain struktur model pengalokasian RTH berbasis penganggaran
daerah (green budgeting RTH).
4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengalokasian RTH berbasis
penganggaran daerah (green budgeting RTH).
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu
lingkungan berupa konsep model penataan ruang terbuka hijau kota untuk
mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan
sosial. Hasil akhir penelitian merupakan sebuah pengkayaan dan formula yang
optimal bagi penataan ruang yang bersifat partisipatif di Kota Bekasi baik masa
kini dan yang akan datang. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
manfaat dan sumbangsih bagi praktisi kebijakan. Secara rinci manfaat dari
penelitian ini adalah:
a. Bagi stakeholders, sebagai pedoman keterlibatan peran aktif masyarakat
dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian RTH kota serta
komitmen politik penganggaran daerah berbasis lingkungan (green
budgeting).
b. Bagi pemerintah Kota Bekasi, sebagai masukan dalam menyusun kebijakan
manajemen penataan RTH dan mencegah marjinalisasi pengelolaan RTH
yang berakibat terjadinya degradasi lingkungan kota.
c. Memberi sumbangan pada ilmu pengetahuan di bidang manajemen
pengelolaan RTH berkelanjutan, khususnya strategi penganggaran daerah
1.5. Kerangka Pemikiran
Rencana tata ruang kota bukan sekedar kumpulan prosedur dan peta yang
hanya disimpan dalam file dokumen daerah (Miller, 1986) melainkan bersifat
dinamis dan memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai.
Inkonsistensi kebijakan pemerintah dan lemahnya dukungan politik tata ruang
dicerminkan dari program penganggaran tata ruang dalam APBD. Tekanan
penduduk yang tinggi membutuhkan utilitas kota yang cepat, tepat dan
proporsional, sehingga fungsi kawasan lindung kota tetap menjamin kualitas kota
(livable city) . Masalah tersebut timbul salah satunya karena belum adanya
disain kebijakan partisipatif sebagai mekanisme atau alat kontrol masyarakat
terhadap belanja daerah (APBD) yang mendukung arahan program RTH Kota.
Strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting) dalam
pemanfaatan pengendalian ruang terbuka hijau kota merupakan salah satu alat
kebijakan yang perlu dikembangkan. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi tahun
2000-2010, Kota Bekasi mempunyai luas lahan 21.049 hektar, seperti tertera
pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas rencana pemanfaatan ruang Kota Bekasi tahun 2000-2010
Jenis Pemanfaatan Luas
ha %
Kawasan Terbangun 16.228,78 77,10
1. Perdagangan dan Jasa 736,73 3,50
2. Pemerintahan dan Bangunan Umum 195,11 0,93
3. Perumahan 11.299,00 53,68
4. Industri 631,47 3,00
5. Pendidikan 210.49 1,00
6. Jaringan Prasarana Perkotaan 3.157,35 15,00
Kawasan Tidak Terbangun 4.820,22 22,90
1. Pertamanan 1.052,45 5,00
2. Lapangan Olah Raga 210,49 1,00
3. Jalur Hijau 2.643,75 12,56
4. Pemakaman 282,06 1,34
5. Pertanian 631,47 3,00
Kota Bekasi 21.049,00 100,00
Arahan penggunaan lahan dalam RTRW dimaksudkan agar terjadi
pemanfaatan ruang yang efektif sesuai dengan arah pembangunan secara
keseluruhan, Dari luasan tersebut, 16.228,78 hektar (77%) diantaranya
direncanakan akan digunakan untuk berbagai kegiatan sektor pembangunan
perkotaan seperti perdagangan dan jasa, industri, permukiman dan sarana
umum kota, sementara sisanya seluas 4.820,22 hektar (23%) akan digunakan
sebagai lahan RTH (Bapeda Kota Bekasi, 2008). Faktanya, rencana
pemanfaatan kawasan tidak terbangun atau penggunaan lahan RTH tersebut
menjadi tidak konsisten dalam pengelolaan pembangunan. Luasan RTH
pertamanan yang direncanakan 1.052 ha (5%), dalam kenyataanya (Lampiran
19), hanya memiliki luas hutan kota dan taman kota sekitar 56.380 m2 atau 5,6
ha (0,28%). Hal tersebut belum sejalan dengan ketentuan PP No. 63 tahun 2002
tentang Hutan Kota yang menetapkan bahwa paling sedikit persentase luas
hutan kota sekitar 10 persen dari wilayah perkotaan.
Kawasan hijau berupa jalur hijau di sepanjang jalur sungai/situ, jalan utama
kota dan jalur kereta api kondisinya sebagian besar sudah terpenetrasi oleh
kegiatan terbangun. Konversi lahan akan terus meningkat manakala pemerintah
tidak segera menganggarkan belanja daerahnya bagi kepentingan RTH publik.
Hal ini karena dari 22,9 atau 23 persen lahan tidak terbangun tersebut sebagian
besar masih berupa kebun campuran yang dimiliki oleh warga masyarakat
(Private Property).
Pemerintah Kota Bekasi belum terlambat menata sumberdaya lahannya.
Oleh karena itu, perlu didisain bentuk wajah kota dengan konsep kota ramah
lingkungan yang memilki minimal RTH Publik 20 persen. Kondisi wajah kota
yang perencanaannya berbasis kecenderungan (trend driven) yakni meniru kota
lain yang dianggap lebih baik hampir terjadi di semua kota yang sedang tumbuh
berkembang. Konsep pendekatan perencanaan ini terjadi akibat
ketidakmampuan membaca potensi dan visi kota. Menurut Rustiadi (2010b)
pendekatan yang demikian bukan pendekatan yang ideal untuk jangka panjang.
Idealnya, model pendekatan adalah yang berbasis tujuan (goal driven) dan
berbasis visi (vision driven planning). Faktanya, saat ini setiap kota didandani
dengan tampilan serba megah seperti gedung pencakar langit, pabrik yang terus
berderap setiap detik, dan pusat perbelanjaan yang tidak peka lingkungan
(Yustika, 2006). Akibatnya, timbul persoalan kualitas lingkungan udara perkotaan
Pemerintah daerah seakan tidak memiliki kekuasaan mempola kotanya
sendiri dan pemerintah juga tidak lagi sebagai penentu tunggal untuk mendisain
wajah kotanya. Kekuatan pasar (market mechanism) biasanya mengatur operasi
bisnisnya berdasarkan aspek keuntungan ekonomi. Semakin besar penggunaan
lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, semakin akan terus diintroduksi. Pada
saat ini pembangunan kota-kota di Indonesia seluruhnya berwatak profitopolis
yakni wajah kota dikendalikan motif laba dan yang menjadi sutradara adalah
pemilik modal, penulis skenarionya adalah pejabat daerah yang rela didikte atau
dibayar murah pemilik modal (Yustika, 2004). Watak profitopolis inilah yang
menjadi sumber terbesar proses peminggiran petani, khususnya tercermin dalam
proses penyempitan lahan.
Kota Bekasi ditetapkan sebagai salah satu kawasan andalan Provinsi Jawa
Barat yaitu kawasan dengan sektor unggulan industri, pariwisata, perdagangan
dan jasa, pendidikan dan pengetahuan (Bapeda Kota Bekasi, 2008). Posisi Kota
Bekasi tentunya memiliki pengaruh terhadap wilayah eksternalnya sebagai pusat
pertumbuhan dan pemacu kegiatan ekonomi di sekitarnya. Bila ditinjau dari
kebijakan tata ruang wilayah makro yang tertuang baik dalam RTRWN, RTRW
Provinsi, maupun RTRW Kawasan Tertentu Jabotabek dan kedudukannya
sebagai penyeimbang (counter magnet) ibukota negara, maka berbagai
kebijakan, rencana dan program pembangunan di Kota Bekasi mengikuti arahan
rencana besar tersebut.
Pada akhirnya karakteristik bagian wilayah kota-kota kecamatan di Kota
Bekasi akan menampilkan diri sebagai kota metropolitan dengan intensitas
interaksi dan mobilitas yang cukup tinggi. Kuatnya fenomena urbanisasi
menyebabkan pertumbuhan penduduk sulit dikendalikan pada wilayah tersebut.
Perkembangan penduduk terjadi karena faktor-faktor alamiah dalam demografi
yaitu meningkatnya natalitas atau tingkat kelahiran dan makin menurunnya
mortalitas atau tingkat kematian, dan juga terjadi karena aliran urbanisasi yang
luar biasa. Lonjakan Laju Pertambahan Penduduk (LPP) yang terjadi di Kota
Bekasi hanya 30 persen saja yang disebabkan oleh LPP alaminya, sedangkan
70 persen sisanya berasal dari migrasi (BPS Kota Bekasi, 2008).
Selama kurun waktu 11 tahun terakhir (periode tahun 1997 – 2008) tercatat
rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,14 persen, artinya mengalami
2008 tercatat sebesar 2.238.717 jiwa (Bappeda Kota Bekasi, 2009), data
terakhir penduduk Kota Bekasi tahun 2009 berjumlah 2.319.518 jiwa (BPS,
2010). Pada tahun 2000 tercatat kepadatan penduduk Kota Bekasi sebesar
7.904 jiwa/km2, sedangkan pada tahun 2007 kepadatan penduduknya sebesar
10.184 jiwa/km2. Dengan demikian pertumbuhan kepadatan penduduk Kota
Bekasi rata-rata adalah sebesar 3,85 persen.
Pengamatan kepadatan yang bervariasi menunjukkan bahwa lokasi yang
mempunyai kepadatan yang tinggi berada di bagian pusat Kota Bekasi karena
memiliki aksesibilitas yang baik. Peningkatan jumlah populasi secara langsung
akan memberi efek berantai pada peningkatan kebutuhan terhadap infrastruktur
pada masing-masing wilayah kecamatan baik transportasi, pemukiman,
ketersediaan air bersih, sumber energi, maupun kebutuhan terhadap layanan
dasar (pendidikan dan kesehatan) dan lain-lain. Konseptualisasi kerangka
[image:31.595.109.509.346.711.2]pemikiran ini disajikan pada Gambar 1
.
Upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan yang demikian
besar cenderung mengabaikan aspek-aspek keberlanjutan pembangunan, terkait
dengan keberadaan RTH kota sebagai penyangga masa depan kehidupan.
Pertumbuhan penduduk menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks dan
dinamis. Bertambahnya jumlah penduduk di suatu wilayah mengandung
konsekuensi terhadap fungsi-fungsi utilitas kota. Kebutuhan yang tinggi atas
utilitas kota tersebut berdampak atau menekan fungsi kawasan lindung dan
bertambahnya kawasan budidaya. Persoalan ini menjadi semakin kompleks bila
arahan fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak direncanakan
secara proporsional dalam RTRW dan didukung dengan komitmen politik
penganggaran. Oleh karena itu pendekatan model sistem dinamik untuk
mengidentifikasi keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan kebutuhan
lahan bervegetasi, penganggaran hijau RTH, perumahan dan sarana lainnya
sebagai ruang terbangun (RTB) menjadi penting.
Kualitas hidup masyarakat kota, meliputi aspek fisik (ecology) seperti
terjaminnya kualitas udara, air, dan tanah. Terpenuhinya aspek sosial budaya
dan ekonomi seperti tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan
kebutuhan sosial budaya, termasuk keberlanjutan sumberdaya alam untuk
investasi. Kearifan atas kebijakan RTH menjadi penting untuk menjaga kualitas
lahan kota yang semakin terdesak dengan tingginya konversi lahan RTH menjadi
RTB.
Sejak RTRW Kota Bekasi 2000-2010 disahkan sebagai Peraturan Daerah
No. 4 Tahun 2000, belum ada strategi kebijakan penganggaran daerah berbasis
lingkungan multiwaktu terkait arahan pencapaian target RTH kota, baik
berkenaan dengan program pengadaan lahan, dukungan anggaran melalui
pendekatan insentif atau pengendalian dari sisi pendekatan disinsentif serta
peraturan lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan RTRW.
Deviasi tata ruang Kota Bekasi merupakan masalah hilir dari persoalan pokok
(hulu) inkonsistensi perijinan dan dukungan penganggaran APBD berbasis
lingkungan dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Penelitian ini dimaksudkan
memberikan kontribusi dalam pengembangan kawasan perkotaan secara
berkelanjutan (urban sustainability) melalui instrumen strategi penganggaran
1.6. Kebaruan (Novelty)
Dalam penelitian ini unsur kebaruan (novelty) mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Memadukan model kebijakan strategi pengalokasian RTH berbasis green
budgeting secara terintegrasi antara pendekatan sistem model dinamik (hard
system) dengan soft system (AHP) serta pendekatan analisis spasial yang
dapat merancang future scenario kebutuhan RTH kota.
2. Konsep pemikiran baru bahwa alokasi dan arahan pengelolaan RTH kota
diikuti dengan disain strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan
(green budgeting RTH) melalui pendekatan MTEF (Medium Term
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan dan Tutupan Lahan
Lahan (land) merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah,
air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya
terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2009). Dalam hal ini lahan juga
mengandung pengertian ruang atau tempat. Pemaknaan kalimat ruang terbuka
hijau (RTH) dimaksudkan sebagai tempat atau lahan bervegetasi. Pengertian
lahan tidak dapat terlepas dari pengertian tanah, terutama dari bentuk tanah
yang dipandang sebagai ruang di muka bumi. Oleh karena itu pengertian lahan
ada yang sepadan dengan pengertian ruang terbuka (land), dan ada yang
sepadan dengan pengertian tanah (soil).
Lahan mempunyai fungsi baik secara ekologis sebagai muka bumi
(biophere), tempat di mana ada kehidupan, namun lahan juga memiliki fungsi
sosial ekonomi yang dipandang sebagai sarana produksi, benda
kekayaan/bernilai ekonomi, maupun mempunyai fungsi sosial untuk kepentingan
masyarakat umum. Penjelasan secara rinci penggunaan lahan (land use)
melibatkan fungsi dan kegunaan pengelolaan suatu lahan oleh populasi manusia
lokal yang secara langsung berhubungan dengan lahan, memanfaatkan
sumberdayanya atau melakukan penggarapan atas lahan tersebut (FAO, 1996).
Penggunaan lahan diartikan sebagai perwujudan fisik obyek-obyek yang
menutupi lahan dan terkait dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan
(Lillesand dan Kiefer 1994).
Definisi yang lebih lugas makna penggunaan lahan adalah setiap bentuk
campur tangan intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Sitorus, 2004a). Dalam
konteks pembangunan kawasan perkotaan, tutupan lahan dapat berbeda
maknanya dengan konsep penggunaan lahan. Intervensi manusia terhadap
lahan bukan secara langsung dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup tetapi
difungsikan sebagai aktivitas investasi, usaha perdagangan dan jasa atau
sebagai kawasan pemukiman/tempat tinggal.
Upaya perencanaan penggunaan lahan (land use planning) sangat penting
(Sitorus, 1989) untuk mengetahui optimasi daya dukung dan manfaat lahan
Analisis ini menghasilkan tingkat optimasi pemanfaatan lahan dan sebagai
masukan untuk proses kebijakan pelaksanaan pemanfaatan ruang. Manfaat
mendasar evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai tingkat kesesuaian
lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi
konsekuensi-konsekuensi nilai ekonominya (Sitorus, 2004b).
Penggunaan lahan merupakan cermin dari intensitas manipulasi terhadap
atribut biofisik suatu lahan (tutupan lahan), sedangkan manipulasi lahan
diterjemahkan sebagai “untuk apa suatu lahan dikelola” (Turner lI, et al., 1995).
Sementara land cover adalah wujud fisik obyek-obyek yang menutupi lahan
tanpa ada kaitannya dengan kegiatan manusia (Lillesand dan Kiefer 1987).
Perubahan tutupan lahan diartikan sebagai ukuran kuantitatif atas bertambah
atau berkurangnya perubahan besaran suatu jenis penggunaan lahan atau
tutupan lahan.
Pengukuran perubahan tutupan lahan tergantung pada level ruang (spatial)
yakni semakin detil level spasialnya semakin besar luas perubahan penggunaan
lahan yang dapat dicatat dan direkam (Briassoulis, 1999). Analisis perubahan
tutupan lahan didasarkan atas pertanyaan faktor apa saja yang mendorong
perubahan penggunaan lahan dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan
atau ekologi, ekonomi, dan sosial. Demikan halnya dengan analisis perubahan
penggunaan lahan didasari atas pertanyaan seberapa besar luasan yang
berubah, lokasi peruntukan, dan kesesuaian lahan.
Umumnya ada 2 kelompok besar sistem penggunaan lahan yaitu,
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian (Arsyad,
2006). Penggunaan lahan pertanian yang sifatnya bervegetasi (RTH) misalnya
adalah hutan kota, taman kota, tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan
produksi, hutan lindung, dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian
antara lain adalah penggunaan lahan perkantoran, perdagangan, kawasan
industri, perumahan, pertambangan, dan sebagainya. Perubahan penggunaan
lahan pada kawasan perkotaan merupakan persoalan yang kompleks dan rumit,
khususnya terkait dengan konsep ruang terbuka publik. Tanpa kemauan politik
tata ruang maka kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) kota akan termarjinalkan.
Kondisi tersebut secara ekologi membuat keberlanjutan daya dukung
2.2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Dalam menganalisis perubahan lahan, terminologi perubahan penggunaan
lahan diartikan (secara kuantitatif) sebagai perubahan besaran (bertambah atau
berkurangnya) suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan menjadi penggunaan
lahan atau tutupan lahan lain. Perlu dicatat bahwa pendeteksian dan pengukuran
perubahan tergantung pada level ruang yakni semakin tinggi detil level
spasialnya, semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat
dan direkam (Briassoulis, 1999). Aktivitas perubahan penggunaan lahan
umumnya digolongkan ke dalam kategori: (a) konversi, yaitu perubahan dari satu
jenis penggunaan/tutupan ke jenis penggunaan/tutupan lainnya, dan (b)
modifikasi, yaitu penggunaan atau perubahan pada lahan tertentu tanpa
mengubah secara keseluruhan fungsi atau jenis lahan tersebut, seperti
mempertinggi intensitas pemanfaatan atau perubahan dari hutan alami menjadi
tempat rekreasi (tanpa mengubah kondisi tutupan). Pendapat lain menyatakan
bahwa terdapat 4 tipologi kualitatif dari perubahan penggunaan lahan, yaitu :
intensifikasi, ekstensifikasi, marjinalisasi, dan pengabaian (Jones dan Clark,
1997). RTH Kota umumnya berada dalam tipologi termarjinalisasi dan hal ini
merupakan kenyataan rendahnya politik penganggaran tata ruang dalam
membangun lingkungan kota nyaman.
Fokus analisis perubahan penggunaan lahan terletak pada 2 pertanyaan
yang saling berkaitan yaitu: (1) Faktor apa yang mendorong atau menyebabkan
perubahan penggunaan lahan? dan (2) Bagaimana atau apa dampak dari
perubahan penggunaan lahan tersebut baik secara ekologi maupun
sosial-ekonomi? Faktor-faktor pendorong perubahan penggunaan lahan biasanya
terbagi dalam 2 kategori, yaitu kondisi bio-fisik dan kondisi sosial-ekonomi.
Faktor bio-fisik melibatkan karakteristik dan proses ekologi alamiah seperti
cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses geomorfik, erupsi
vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan ketersediaan sumber
daya alam. Faktor sosial-ekonomi melibatkan persoalan demografi, sosial,
ekonomi, politik, dan kelembagaan, serta proses-proses yang terjadi di dalamnya
seperti perubahan penduduk, perubahan struktur industri, perubahan teknologi,
kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Faktor bio-fisik biasanya tidak
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara langsung, kebanyakan
mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut. Keputusan
pengelola terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor yang mendorong
perubahan yang berkaitan dengan aktifitas manusia.
Dalam kajian analisis perubahan penggunaan lahan RTH Kota,
pemanfaatan teknologi penginderaan jauh merupakan sarana yang tepat (Jaya,
2002). Teknologi ini mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat, dan
akurat dengan cakupan wilayah yang luas. Analisis spasial merupakan proses
ekstraksi atau membuat informasi mengenai feature geografi melalui peramalan
dan pendugaan serta penyelesaian masalah. Perhitungan klasifikasi perubahan
penggunaan lahan hasil analisis dimaksudkan untuk mengetahui proporsi jumlah
ruang terbuka hijau (RTH) yang tersedia dan areal ruang terbangun (RTB) serta
penyebarannya.
Hasil interpretasi citra landsat digolongkan menjadi beberapa kelas
penggunaan lahan yaitu lahan RTH (kebun campuran, sawah, padang
rumput/semak), badan air, jalan, dan lahan terbangun. Sebagai perbandingan,
analisis data sekunder yang disajikan pada Tabel 2 merupakan hasil penelitian
analisis citra landsat terhadap dinamika luasan RTH kawasan Jabotabek.
Tabel 2 Dinamika luasan RTH Kawasan Jabotabek
Kabupaten / Kota
Luas Ruang Terbuka Hijau (ha) Luas Wilayah
(ha)
1972 1983 1992 2000 2004
Kab. Bogor 269.145 264.479 260.178 230.324 234.945 279.382
Bogor 10.401 9.885 8.06 5.587 4.912 11.342
Kab. Bekasi 66.843 62.53 83.28 71.892 77.904 126.736
Bekasi 16.414 15.836 14.618 8.977 7.24 22.683
Depok 16.78 18.09 17.533 12.935 9.78 19.991
Kab. Tengerang 62.427 77.551 82.739 60.687 66.601 112.612
Tangerang 9.997 8.219 8.468 5.053 3,82 18.538
DKI Jakarta 32.709 20.012 17.956 10.19 7.166 63.533
Sumber : Agrissantika, et al. (2007)
Tabel 2 tersebut menggambarkan bahwa di wilayah Kota Bekasi, luasan
RTH pada tahun 2004 adalah 7.240 ha. Lahan RTH tersebut berkisar kurang
lebih 34 persen dari luas wilayah yang seluas 21.049 ha. Berdasarkan kajian
pendugaan kebutuhan luas hutan kota dengan pendekatan kebutuhan oksigen
menggunakan metode Gerakis yang telah dimodifikasi dengan kondisi dan
karakteristik Kota Bekasi, pada tahun 2009 luas lahan kota yang diperlukan
berdasarkan pendekatan ketersedian air pada tahun 2009 luas lahan kota yang
diperlukan adalah seluas 11.550 ha (Panie, 2009). Dari kedua pendekatan
tersebut sekurang-kurangnya lahan RTHpaling tidak memiliki proporsi 50 persen
dari total luas Kota Bekasi.
Dalam kajian analisis perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi pada
penelitian ini akan dijelaskan interaksi dan pendugaan antar sub sistem dengan
pendekatan sistem dinamis. Sub sistem tersebut antara lain sub komponen
sistem ekonomi (dalam hal ini kebijakan penganggaran dari pendapatan dan
belanja daerah terhadap RTH/green budgeting RTH), aspek ekologi (Lahan
bervegetasi) dan aspek sosial (kependudukan). Bertambahnya luasan fisik kota
membawa konsekuensi berkurangnya luasan RTH. Sementara itu, pertumbuhan
penduduk dan aktivitas ekonomi, pada gilirannya akan memacu perubahan
penggunaan lahan terbangun dan menekan lahan bervegetasi. Bekerjanya
mekanisme pasar akan menyebabkan sebidang lahan yang memiliki kualitas
bagus atau jarak relatif dekat dengan pusat pertumbuhan akan dapat berubah
penggunaannya sesuai dengan nilai sewa lahan yang lebih tinggi.
Dampak perubahan penggunaan lahan secara luas dikategorikan dalam
dua hal, yaitu dampak ekologi dan dampak sosial-ekonomi (Briassoulis, 1999).
Dampak perubahan ekologi dan sosial-ekonomi tersebut memiliki hubungan
yang sangat dekat dan saling mempengaruhi (feedback). Dampak ekologi
mempengaruhi dampak sosial-ekonomi dan begitu pula sebaliknya, yang kedua
kembali mempengaruhi dampak ekologi. Dalam penelitian ini, faktor-faktor sosial
ekonomi dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab campur tangan manusia
yang berdampak kepada perubahan penggunaan lahan seperti perubahan
penggunaan lahan untuk permukiman, perindustrian, perdagangan, dan bentuk
intervensi kawasan budidaya yang berakibat memarginalkan fungsi kawasan
lindung, khususnya terkait pengalokasian RTH publik kota sebagai suatu sistem
ekologi yang utuh.
Beragam disiplin ilmu menjelaskan hubungan antara manusia dan sistem
ekologinya, terutama tentang keseimbangan penggunaan lahan dan manusia.
Teori keseimbangan ekologi (ecological equilibrium), memfokuskan perhatian
atas suatu lahan atau wilayah pada empat faktor, yaitu: penduduk, sumberdaya,
teknologi, dan kelembagaan yang secara konstan berada dalam keadaan
merupakan hasil dari perubahan dan distribusi penduduk, inovasi teknologi dan
restrukturisasi ekonomi, kebijakan dan organisasi sosial. Secara matematis,
elemen dasar teori keseimbangan ekologi ini dapat ditulis sebagai I=PAT
(Cocosis, 1991). Teori yang menghubungkan antara dampak ekologi (I = Impact)
dengan penduduk (P = Population), kesejahteraan/kemakmuran (A = Affluence),
dan teknologi (T = Technology).
2.3. Fungsi dan Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Penataan Ruang
Penduduk kota memiliki kebutuhan yang sangat mendasar untuk
berinteraksi sosial dan memerlukan ruang untuk mewadahinya yang sering
disebut sebagai public space (ruang publik). Salah satu kebutuhan mendasar
dari ruang publik bagi masyarakat khususnya di kawasan perkotaan adalah
ruang terbuka hijau (Green Open Space). Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan
adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan
yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi)
guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat
memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Dardak,
2006b). Sementara itu, ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka
yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa
permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai
wadah titik genangan air.
Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari
ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan,
tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung