• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

5.3. Arahan Pengembangan RTH Kota Bekasi

Kondisi RTH akan semakin menyusut terus manakala Pemerintah Kota Bekasi belum memiliki konsep yang jelas dalam menargetkan RTH publiknya. Demikian juga mengenai arahan pencapaian waktu, lokasi dan mekanisme pembiayaannya. Program penambahan luasan RTH merupakan sebuah upaya memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan dan meredam dampak perubahan

iklim mikro. Mempertahankan building coverage seketat mungkin dan

mengurangi kebijakan alih fungsi lahan dari ruang terbuka menjadi terbangun merupakan pilihan tepat, namun sering tidak konsisten. Pencanangan program interaktif satu taman kota atau hutan kota pada satu kecamatan di Kota Bekasi menjadi pilihan yang perlu didukung dengan komitmen anggaran.

Langkah awal bagi upaya tersebut adalah dengan melakukan pemetaan ketersediaan RTH pada masing-masing kecamatan melalui analisis citra ALOS (resolusi 10m) tahun 2009. Hasilnya didapatkan proporsi 20 persen area RTH yang dijadikan target lokasi dan prediksi penganggaran berdasarkan rata-rata

Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Gambar 30 merupakan peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2009.

Gambar 30 Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2009

Komitmen tersebut dimulai dari kesadaran pentingnya menata kawasan perkotaan yang dapat memainkan fungsinya terhadap dampak perubahan iklim. RTH perkotaan sebagai penyeimbang ekologi dapat meminimalisasi pencemaran udara dan perubahan suhu udara kota. Di sisi lain RTH perkotaan juga berperan sebagai areal resapan yang dapat mengurangi ancaman banjir, identitas kota dan sarana rekreasi serta area olahraga bagi warga.

Aturan RTH minimal 30 persen kemudian menjadi komitmen Pemerintah Indonesia dengan dicantumkannya angka tersebut dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penekanan amanat penganggaran ada pada UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 42-45 mengenai pentingnya amanat anggaran berbasis lingkungan hidup

(green budgeting), dimana ada kewajiban pemerintah dan parlemen

mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.

Berdasarkan hasil analisis SIG tahun 2009 dibangun struktur penggunaan lahan yang meliputi: 1) Kelompok bervegetasi RTH seluas 5.728,88 ha (27,2%) terdiri dari Kebun Campuran, Padang Rumput / Alang-alang, Sawah Irigasi, Sawah Tadah Hujan, Semak Belukar, dan Tegalan / Ladang ; 2) Kelompok lahan

terbangun (RTB) seluas 14.879,85 ha (70,7%) terdiri dari industri dan

permukiman/bangunan; 3) Kelompok lain-lain terdiri dari tubuh air dan tanah terbuka seluas 440,27 ha (2,1%). Gambaran luas lahan RTH disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 Jenis dan luas lahan RTH per kecamatan di Kota Bekasi tahun 2009

Kecamatan Kebun Campuran (ha) Padang Rumput / Alang-alang (ha) Sawah Irigasi (ha) Sawah Tadah Hujan (ha) Semak Belukar (ha) Tegalan / Ladang (ha) Jumlah (ha) Bantar Gebang 367,32 21,75 0,00 236,46 57,01 127,73 810,27 Bekasi Barat 4,49 76,19 0,00 0,00 0,00 130,30 210,97 Bekasi Selatan 37,19 1,55 0,00 0,00 5,71 189,41 233,86 Bekasi Timur 15,78 107,21 0,00 16,90 20,61 84,95 245,44 Bekasi Utara 4,62 83,16 212,67 0,00 31,29 144,32 476,07 Jatiasih 271,11 25,10 0,00 16,59 0,00 482,73 795,53 Jatisampurna 434,79 44,79 0,00 0,00 0,00 431,25 910,84 Medansatria 0,00 210,75 181,48 0,00 13,65 7,50 413,38 Mustika Jaya 344,34 158,95 0,00 255,52 0,00 253,01 1.011,82 Pondok Melati 55,07 0,00 0,00 0,00 0,00 152,14 207,21 Pondokgede 125,98 2,68 0,00 0,00 0,00 33,19 161,85 Rawa Lumbu 79,65 59,98 0,00 6,84 0,00 105,16 251,64 Jumlah 1.740,33 792,12 394,15 532,31 128,28 2.141,70 5.728,88

Tanah terbuka adalah tanah kosong yang telah dipersiapkan untuk menjadi lahan terbangun. Polanya di awali dari lahan sawah atau semak belukar atau

lahan pertanian lainnya kemudian dibuka tutupan lahan RTH tetapi tidak langsung menjadi RTB. Lahan tersebut dibiarkan terbuka terkadang sampai menjadi alang-alang. Dalam jangka waktu tertentu direncanakan oleh pengembang perumahan untuk dibangun kawasan permukiman skala besar. Muncul dampak negatif pembangunan kota yang berkelanjutan yang dikenal

Nimby Syndrome, akibat pengembangan wilayah di pusat kota (DKI) yang pesat.

Akibat aksesibilitas spasial yang baik dengan pusat pertumbuhan tersebut, pengembangan bergeser ke Kota Bekasi tanpa dikawal dengan perencanaan spasial yang matang.

Konsep lahan terbangun dalam penelitian ini adalah lahan permukiman yang terdiri dari bangunan perumahan, pusat perbelajaan, industri dan sarana serta prasarana kota lainnya berdasarkan penciri dari interpretasi ALOS tahun 2009. Pada Tabel 28 disajikan data lahan terbangun (RTB) yang dijadikan lahan komersial, baik untuk bangunan permukiman teratur maupun yang tidak teratur. Pemukiman teratur skala besar biasanya dibangun oleh para pengembang dan pemukiman tidak teratur adalah bangunan warga masyarakat yang sudah menempati lahan secara turun menurun.

Tabel 28 Lahan terbangun dan lahan lainnya berdasarkan kecamatan tahun 2009

No Kecamatan Permukiman/RTB (ha) Lahan Terbuka (ha) Tubuh Air (ha) Jumlah (ha)

1 Bantar Gebang 1.127,26 99,50 23,98 1.250,73 2 Bekasi Barat 1.205,68 0,00 1,34 1.207,03 3 Bekasi Selatan 1.358,53 0,00 4,61 1.363,14 4 Bekasi Timur 1.060,39 0,00 19,17 1.079,56 5 Bekasi Utara 1.503,13 22,26 15,54 1.540,93 6 Jatiasih 1.751,89 25,06 2,52 1.779,47 7 Jatisampurna 967,68 0,00 6,48 974,16 8 Medansatria 832,85 79,06 9,71 921,62 9 Mustika Jaya 1.402,04 81,80 1,34 1.485,18 10 Pondok Melati 983,92 7,86 0,00 991,79 11 Pondokgede 1.321,70 0,00 0,45 1.322,15 12 Rawalumbu 1.364,78 0,00 39,59 1.404,36 Jumlah 14.879,85 315,55 124,72 15.320,12

Beberapa wilayah yang masih memiliki lahan RTH lebih dari atau di atas 500 ha adalah Kecamatan Jatiasih, Kecamatan Mustika Jaya, Kecamatan

Jatisampurna dan Kecamatan Bantar Gebang. Wilayah yang masih memiliki lahan sawah tadah hujan berdasarkan Tabel 27 adalah Kecamatan Bantargebang (236,46 ha), Jatiasih (16,90 ha), Mustika Jaya (255,52 ha) dan Rawa Lumbu (6,84 ha). Perlu peta arahan pengembangan RTH Kota sebagaimana disajikan pada Gambar 31

Gambar 31 Peta arahan pengembangan RTH Kota Bekasi

Wilayah yang masih memiliki sawah irigasi teknis ada di dua kecamatan

saat peneliti ke lapangan bulan Februari 2011 sedang dilakukan penggurugan lahan yang akan dirubah menjadi permukiman atau lahan terbangun skala besar. Kecamatan Bantargebang, Jatisampurna dan Kecamatan Mustika Jaya merupakan wilayah yang berpotensi untuk dijadikan area kawasan lindung hutan kota, karena proporsi lahan RTH masih cukup luas, menempati posisi teratas yakni sebesar 810.27 ha, 910,84 ha dan 1.011,82 ha. Pada Tabel 29 disajikan proporsi RTH publik per kecamatan dan kebutuhan alokasi anggaran untuk pengadaan lahan jika diasumsikan harga NJOP rata-rata Rp. 200.000,00,- per meter persegi. Asumsi ini didasarkan pada data NJOP untuk lahan RTH tahun

2010 berkisar Rp. 70.000/m2 berada pada wilayah kecamatan dengan

kepadatan penduduk rendah sampai dengan harga Rp. 394.000/m2 berada pada

wilayah kepadatan penduduk tinggi (DPPKAD Kota Bekasi, 2010). Pada wilayah kecamatan dengan penduduk kepadatan tinggi jumlah proporsi RTH sedikit dan sulit untuk memenuhi 20% RTH publik.

Tabel 29 Kebutuhan anggaran pengadaan lahan berdasarkan proporsi RTH

Alokasi penambahan luas RTH tersebut hanya tersebar di beberapa lokasi wilayah kecamatan. Kecamatan yang memiliki proporsi RTH publik kurang dari 20 % adalah kecamatan Bekasi Barat dengan selisih (-72,63 ha), Bekasi Selatan (-85,54 ha), Bekasi Timur (-19,56 ha), Pondok Melati (-32,59 ha), Pondok Gede (-134,95 ha), dan Rawa Lumbu (-79,56 ha). Semakin berkurangnya RTH pada

Kecamatan Jumlah Lahan (Ha) Proporsi RTH Publik 20% Luas Kecamatan Kebutuhan Anggaran berdasarkan NJOP Rp. 200,000.00 RTH Eksisting 2009 Selisih RTH dari Proporsi 20% Bantar Gebang 2.061 412,20 824.400.000.000 810,27 398,07 Bekasi Barat 1.418 283,60 567.200.000.000 210,97 -72,63 Bekasi Selatan 1.597 319,40 638.800.000.000 233,86 -85,54 Bekasi Timur 1.325 265,00 530.000.000.000 245,44 -19,56 Bekasi Utara 2.017 403,40 806.800.000.000 476,07 72,67 Jatiasih 2.575 515,00 1.030.000.000.000 795,53 280,53 Jatisampurna 1.885 377,00 754.000.000.000 910,84 533,84 Medan Satria 1.335 267,00 534.000.000.000 413,38 146,38 Mustika Jaya 2.497 499,40 998.800.000.000 1.011,82 512,42 Pondok Melati 1.199 239,80 479.600.000.000 207,21 -32,59 Pondok Gede 1.484 296,80 593.600.000.000 161,85 -134,95 Rawalumbu 1.656 331,20 662.400.000.000 251,64 -79,56 Jumlah 21.049 4.209,80 8.419.600.000.000 5.728,88

wilayah tersebut salah satunya diakibatkan dari pertumbuhan penduduk yang tinggi berdasarkan analisis penyebaran penduduk per-wilayah kecamatan.

Konsentrasi jumlah penduduk dengan penyebaran tertinggi pada Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 12,77 persen (240.456 jiwa), Bekasi Barat 12,10 persen (227.810 jiwa), Pondokgede 12,08 persen (227.415 jiwa) dan terendah di Kecamatan Jati Sampurna sebesar 3,50 persen (65.816 jiwa) dan data terakhir penduduk Kota Bekasi tahun 2009 berjumlah 2.319.518 jiwa (BPS,

2010). Kecamatan-kecamatan tersebut direkomendasikan untuk

mempertahankan RTH privat dan pengembangan kawasan terbangunan yang bersifat vertikal. Kecamatan lainnya seperti Jatisampurna, Bantargebang, Jatiasih, Mustika Jaya, Medan Satria dan Bekasi Utara masih berpotensi untuk penambahan RTH publik kota.

Pemerintah Kota Bekasi harus memiliki target yang jelas dalam upaya mencapai RTH idealnya. Sebagaimana dengan target RTRW DKI seluas 13,94%, Pemerintah Provinsi DKI mengalokasikan Rp. 356,7 miliar pada APBD 2009. Dana tersebut antara lain akan digunakan untuk pengadaan lahan dengan target penambahan RTH seluas 67,2 ha. Luas RTH di Jakarta saat ini baru 6.800 ha (9,6%), atau berarti masih kurang 2.745 ha. Bila harga tanah dengan NJOP Rp 500.000 per meter persegi, maka dibutuhkan dana sekitar Rp 13,725 triliun. Dengan analogi tersebut, maka berdasarkan analisis sebagaimana disajikan pada Tabel 29, Pemerintah Kota Bekasi membutuhkan dana sebesar Rp. 8.419 triliun (dikurangi RTH publik yang ada sebesar 771 ha menjadi kurang lebih 6-7 trilyun rupiah ) jika NJOP diasumsikan sebesar Rp. 200.000 per meter persegi.

Strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting) khususnya

RTH publik terkait alokasi waktu dalam APBD dapat dilakukan dengan pendekatan model dinamik.

Diharapkan alternatif pengadaan lahan bukan satu-satunya strategi kebijakan dalam mempertahankan target RTH publik 20%. Pengawasan perizinan secara ketat, sanksi administratif bagi yang melanggar serta audit lingkungan secara berkala dan konsisten serta melakukan moratorium perizinan bangunan komersial diharapkan merupakan jalan keluar yang dapat membantu.

5.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan

Data yang digunakan adalah data Bekasi Dalam Angka tahun 2003-2009 (BPS, 2003-2009). Pertimbangan menganalisis dengan data tersebut karena secara formal terdapat legalitas lahan yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Bekasi dan sebagai bahan kebijakan yang searah dari historis data. Rangkuman data untuk analisis regresi disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Data analisis regresi

TAHUN Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 2009 6044 2319518 2052 18755 1391 748 20 2008 6346 2238717 1993 18209 1351 726 19 2007 7269 2143804 1934 17663 1311 702 18 2006 7651 2071444 1876 17134 1273 681 17 2005 8053 2001899 1820 16620 1236 660 17 2004 8557 1914316 1755 16022 1192 637 16 2003 8892 1845005 1692 15446 1150 614 15 Keterangan:

Y = Lahan RTH (tahun 2003-2009, satuandalam ha)

X1 = Jumlah Penduduk (tahun 2003-2009, satuandalam jiwa)

X2 = Jumlah Sarana Pendidikan (tahun 2003-2009, satuandalam unit)

X3 = Jumlah Pemukiman (tahun 2003-2009, satuandalam unit)

X4 = Jumlah Industri (tahun 2003-2009, satuandalam unit)

X5 = Jumlah Restoran (tahun 2003-2009, satuandalam unit)

X6 = Jumlah Hotel & Penginapan (tahun 2003-2009, satuandalam unit)

Hasil analisis perubahan penggunaan lahan RTH (Lampiran 14), menunjukkan bahwa model ini cukup mampu mengambarkan keragaman dari

variable dependent, dengan R2 sebesar 99,6%. Hasil analisis uji parsial terhadap

variabel-variabel independent yang terpilih dapat diketahui bahwa hanya variabel

penduduk yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan pada taraf alpha 10% dan selang kepercayaan 90%. Hasil analisis regresi berganda tertera pada Tabel 31.

Tabel 31 Dependent Variable: lahan RTH

Model fungsi hubungan kausal antara lahan RTH tahun 2003-2009 di Kota Bekasi

adalah sebagai berikut:

RTH =

16213,549

- 0,0

17

Penduduk + 1

4

,

178

P

endidikan+46,534Hotel

Hasil model regresi berganda tersebut adalah sebagai berikut :

Hanya faktor penduduk yang berpengaruh terhadap perubahan lahan RTH dengan (P-Value=0,052<0,10) signifikan pada taraf alpha 10%. Nilai koefisien penduduk sebesar -0,017, artinya setiap peningkatan satu orang penduduk akan

mengurangi lahan RTH sebesar 0,017 ha atau sebaliknya. Variabel penduduk

dengan nilai beta yang relatif kecil (0,017), tetapi dampaknya besar terhadap Y. Hal ini karena jumlah penduduk yang relatif besar yaitu 2.319.518 jiwa (BPS Kota Bekasi, 2010) dan laju pertumbuhan penduduk (LPP) tinggi sebesar 4,1% pada periode 1997–2008 (Bappeda Kota Bekasi, 2008), mengakibatkan tekanan konversi RTH juga tinggi.

Penduduk yang hidup dsalam konsentrasi-konsenterasi lingkungan kehidupan memerlukan 3 (tiga) kebutuhan utama (Sitorus, 2011) yaitu: 1). Tempat berlindung dari hujan dan panas (permukiman). 2). Tempat kegiatan usaha untuk mencari nafkah. 3). Tempat pemenuhan kebutuhan akan : pendidikan, kesehatan, peribadatan, pemakaman, TPA, perbelanjaan, rekreasi dan sebagainya. Dalam suatu perencanaan pengembangan wilayah ketiga

komponen kebutuhan utama tersebut perlu dianalisis secara terintegrasi.

Peningkatan jumlah penduduk secara langsung memberi efek berantai pada kebutuhan infrastruktur kota. Kebutuhan tersebut meliputi sarana dan prasarana transportasi, pemukiman, ketersediaan air bersih, sumber energi,

maupun kebutuhan terhadap layanan dasar (pendidikan dan kesehatan) dan lain-lain. Berdasarkan standar kebutuhan lahan per jiwa, maka direncanakan pengembangan wilayah yang terpadu. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03- 1733-2004 V.2 tentang Tata Cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan mengatur rencana kebutuhan tersebut. Kebutuhan lahan untuk hunian

adalah luas lantai per orang dewasa diperlukan seluas 9,6 m2 dan per anak

seluas 4,8 m2. Kebutuhan lahan pendidikan untuk gedung taman kanak-kanak

luas 500 m2, SD dan SMP sekitar 1000 m2 dan SMU seluas 3000 m2. Kebutuhan

lahan sarana kesehatan berkisar 500-4000 m2 demikian juga untuk kegiatan

perniagaan diperlukan luas 100-30.000 m2. Kebutuhan luas lahan tersebut diukur

berdasarkan standar m2/jiwa seperti tertera pada Lampiran 16. Upaya untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan yang demikian besar, cenderung mengabaikan aspek-aspek keberlanjutan pembangunan, khususnya dalam kaitannya dengan perhatian terhadap keberadaan RTH kota sebagai penyangga masa depan kehidupan.

Perkembangan dan perubahan yang berkaitan dengan kependudukan diidentifikasi dengan baik sebagai bahan dalam merumuskan kebijakan pembangunan. Basis data yang kurang baik dalam hal pencatatan data kependudukan berimplikasi sangat luas terutama terkait dengan arahan pembangunan. Perhatian terhadap aspek kependudukan menjadi faktor penting untuk dipertimbangkan dalam setiap perencanaan wilayah (Tarigan, 2008). Kecenderungan pertumbuhan penduduk yang selalu bertambah dan diikuti permintaan lahan terbangun untuk hunian yang tinggi, membawa konsekuensi spasial yang kompleks bagi kehidupan kota. Jumlah penduduk akan terus meningkat, karena pada kondisi normal (tidak ada bencana alam) pertumbuhan penduduk mengikuti kurva eksponensial (Enger dan Badley 2000). Kondisi ini yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan proporsi kawasan lindung dan kawasan budidaya karena adanya pengabaian dan marjinalisasi terhadap pengelolaan RTH.

Pemerintah kota umumnya tidak optimal memonitor secara ketat mengenai RTH kotanya sehingga lahan-lahan terbuka yang masih tersisa selalu dimanfaatkan untuk pembangunan gedung-gedung. Akibat yang nyata

berdampak pada meningkatnya suhu udara yang luar biasa (urban heat island)

dan tidak berfungsinya paru-paru kota dan paru-paru manusia akan merasakan akibatnya pula (Yunus, 2005).

Pada prinsipnya pembangunan di kawasan perkotaan dikelola untuk

mewujudkan apa yang disebut sebagai livable city. Makna dari kota yang

berkelanjutan memiliki agenda pembangunan hijau (green agenda) bukan untuk

dirusak menjadi kota yang buruk dan tidak sehat. Tata kelola pemerintahan kota

yang mampu merealisaikan apa yang dimaksud sustainable city digambarkan

oleh Yunus (2005) sebagai praktek good governance (GG). Kerangka acuan

kerja praktis tata kelola pemerintahan yang baik tersebut meliputi tujuh dimensi keberlanjutan sebagaimana tertera pada Lampiran 29.

VI. DISAIN MODEL STRATEGI PENGALOKASIAN RTH