• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. DISAIN MODEL STRATEGI PENGALOKASIAN RTH BERBASIS

6.2. Simulasi Model Strategi Pengalokasian RTH Berbasis

Budgeting

Model dinamik strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting

dibangun melalui logika hubungan dan interaksi antar komponen terkait. Komponen-komponen tersebut antara lain meliputi pertumbuhan penduduk, luas

lahan RTH, tingkat kenyamanan kota yang diukur dengan Temperature Humidity

Index (THI) dan pertambahan lahan permukiman terbangun serta penganggaran

daerah berbasis lingkungan (APBD hijau/green budgeting RTH). Keterkaitan

antar komponen tersebut dikelompokkan ke dalam sub-sub model yaitu: (1)

penduduk, (2) penggunaan lahan RTH, (3) green Budgeting RTH. Pada Gambar

14 terdahulu disajikan konstruksi ketiga sub-model yaitu sub model penduduk,

green budgeting RTH dan lahan RTH.

Perkembangan jumlah penduduk sangat menentukan perubahan penggunaan lahan RTHmenjadi terbangun melalui perkembangan lahan permukiman dan industri, perdagangan dan jasa di perkotaan. Dinamika perkembangan luas lahan permukiman menentukan laju pertambahan lahan terbangun. Tingginya konversi lahan pertanian tersebut memarginalisasi lahan RTH di kawasan perkotaan. Penurunan lahan RTH kota akan mempengaruhi kualitas lingkungan dengan indikator kenyamanan lingkungan yang diukur dari fluktuasi nilai THI/suhu kota.

Dinamika tingkat kualitas lingkungan kota berpengaruh terhadap dinamika penduduk melalui tingkat harapan hidup masyarakat. Pada sisi lain, penurunan

budgeting RTH. Kebijakan yang disadari dan dinilai oleh semua pihak karena kurangnya komitmen politik pro lingkungan terhadap penganggaran daerahnya

(APBD Hijau khususnya penganggaran RTH/ green budgeting RTH).

6.2.1. Sub Model Penduduk

Komponen variabel penduduk merupakan unsur penting yang

dipertimbangkan dalam setiap perencanaan pembangunan. Pertimbangan untuk memasukkan variabel penduduk disebabkan karena fenomena kecenderungan pertumbuhan penduduk yang selalu bertambah, permintaan lahan terbangun tinggi sementara luas lahan perkotaan tetap, yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan sistem karena suboptimalisasi RTH Kota. Jumlah penduduk akan terus meningkat, karena pada kondisi normal (tidak ada bencana alam) pertumbuhan penduduk mengikuti kurva eksponensial (Enger dan Badley 2000).

Penduduk merupakan obyek sekaligus subyek pembangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu, perkembangan dan perubahan yang berkaitan dengan kependudukan seyogyanya teridentifikasi dengan baik sebagai bahan dalam merumuskan kebijakan pembangunan. Basis data yang kurang baik dalam hal pencatatan data kependudukan berimplikasi sangat luas terutama terkait dengan arahan program dan kegiatan pembangunan. Berdasarkan hasil kajian, maka variabel penduduk yang digunakan dalam rangka pembangunan model sistem ini tertera pada Tabel 32.

Tabel 32 Variabel penduduk yang digunakan dalam pemodelan strategi

pengalokasian RTH berbasis green budgeting

NO VARIABEL FORMULASI SATUAN

1 Jumlah Kematian 2% (laju kematian) x jumlah penduduk Jiwa 2 Jumlah Kelahiran 0,86% (laju kelahiran) x jumlah penduduk Jiwa 3 Jumlah Emigrasi 1,34% (laju emigrasi) x jumlah penduduk Jiwa 4 Jumlah Imigrasi 4% (laju imigrasi) x jumlah penduduk Jiwa

5 Penambahan Penduduk

(jml kelahiran-jml kematian)+(jml imigrasi-jml

emigrasi) Jiwa

6 Jumlah Penduduk =2.001.899.(2005) penduduk awal + penambahan penduduk Jiwa 7 Kepadatan Penduduk jumlah penduduk / luas Kota Bekasi jiwa/Ha 8 Indeks Angka Harapan Hidup (74,52) Angka Harapan hidup rata-rata penduduk Tahun

Komponen penduduk dalam model ini dianggap sebagai suatu level

(akumulasi) yang bisa bertambah dan berkurang karena dinamika angka kelahiran dan kematian. Dinamika aliran yang menyebabkan bertambah atau

berkurangnya suatu level disebut flow atau rate. Pada model ini faktor kelahiran

dan migrasi masuk (inmigration) adalah unsur rate penambah. Rate pengurang

jumlah penduduk disebabkan oleh faktor kematian dan migrasi keluar

(outmigration). Konstruksi sub model penduduk disajikan pada Gambar 32.

Gambar 32 Flow diagram sub model penduduk

Keterangan:

FR_EMIGRASI = Proporsi jumlah orang yang migrasi ke luar wilayah

FR_IMIGRASI = Fraksi Imigrasi per tahun

FR_FERTILITAS = Angka Kelahiran Pertahun

FR_KEMATIAN = Angka Kematian pertahun

FR_RATA2_UMUR_ HHP = Angka Harapan hidup rata-rata penduduk

FR_LS_WIL = Luas Wilayah Kota Bekasi

LJ_EMIGRASI = Laju penduduk yang pindah ke luar kawasan pertahun

LJ_IMIGRASI = Laju pertambahan penduduk karena imgrasi per tahun

LJ_KELAHIRAN = Laju pertambahan penduduk karena kelahiran pertahun

LJ_KEMATIAN = Laju kematian penduduk di Kota Bekasi

LJ_KPDTN_PDDK = Tingkat kepadatan penduduk kota Bekasi

PERTMBHN_PNDDK = Pertambahan penduduk dari beberapa faktor

NET_PERTAMBAHAN_ALAMI = Jumlah pertambahan penduduk alami

PERTMBHAN_PDDK = Angka pertambahan penduduk pertahun

PENGRNGAN_PDDK = Angka pengurangan penduduk pertahun

Faktor penambah jumlah penduduk di Kota Bekasi didominasi oleh

besarnya laju migrasi masuk (inmigration) yaitu rata-rata sebesar empat persen

per tahun bahkan pada wilayah kecamatan yang berada di pusat pemerintahan dapat mencapai lebih dari empat persen, sementara itu, kelahiran alamiah hanya menyumbang 0,86 persen. Berkembangnya Kota Bekasi menjadi kota metropolitan baru dengan interaksi wilayah ke ibu kota yang cukup tinggi

mengindikasikan ciri sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Output hasil

simulasi pada Sub Model Penduduk Kota Bekasi cenderung meningkat secara linear. Berdasarkan hasil simulasi terjadi peningkatan jumlah penduduk di Kota Bekasi pada tahun awal simulasi (2005) dari 2.001.899 jiwa meningkat menjadi

4.723.169,36 jiwa pada tahun akhir simulasi (2030). Output perubahan jumlah

penduduk Kota Bekasi selama periode 20 tahun simulasi ditunjukkan pada Gambar 33 dan Tabel 33.

0 1 Ja n 2 0 0 5 0 1 Ja n 2 0 1 0 0 1 Ja n 2 0 1 5 0 1 Ja n 2 0 2 0 0 1 Ja n 2 0 2 5 0 1 Ja n 2 0 3 0 2 . 0 0 0 . 0 0 0 2 . 5 0 0 . 0 0 0 3 . 0 0 0 . 0 0 0 3 . 5 0 0 . 0 0 0 4 . 0 0 0 . 0 0 0 4 . 5 0 0 . 0 0 0 P D D K _ E X T

Gambar 33 Grafik hasil simulasi jumlah penduduk periode 2005-2030 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk memperlihatkan kecenderungan

pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial pada

tahun simulasi 2005 sampai 2030. Kontribusi terbesar yang menyumbang pertumbuhan penduduk di Kota Bekasi berasal dari fraksi imigrasi rata-rata sebesar 4 persen.

Laju tingkat kelahiran dan laju kematian menyumbang 0,86 persen dan 2 persen. Model penduduk pada akhir tahun simulasi menekan lahan yang dimiliki Kota Bekasi selauas 21.049 ha bila pembangunan dilakukan secara horisontal, karena semakin bertambahnya lahan permukiman terbangun dari 14.817 ha (2005) menjadi 18.831 ha (2030). Hasil simulasi pertumbuhan penduduk disajikan pada Tabel 33.

Tabel 33 Jumlah penduduk (jiwa) Kota Bekasi selama periode tahun simulasi

T ime PDDK_ EXT LHN PMKRT B EXT

0 1 Ja n 2 0 0 5 0 1 Ja n 2 0 1 0 0 1 Ja n 2 0 1 5 0 1 Ja n 2 0 2 0 0 1 Ja n 2 0 2 5 0 1 Ja n 2 0 3 0 2 . 0 0 1 . 8 8 9 , 0 0 2 . 3 7 6 . 8 3 0 , 7 9 2 . 8 2 1 . 9 9 6 , 9 2 3 . 3 5 0 . 5 4 0 , 0 0 3 . 9 7 8 . 0 7 6 , 0 2 4 . 7 2 3 . 1 4 5 , 7 6 1 4 . 8 1 7 , 0 0 1 4 . 3 8 9 , 1 4 1 4 . 6 0 5 , 7 2 1 5 . 4 2 3 , 5 3 1 6 . 8 2 8 , 3 4 1 8 . 8 3 1 , 9 6

Keterangan : Pddk ext = jumlah penduduk eksisting atau aktual yang diprediksi, LHN PMK-RTB EXT = lahan permukiman atau ruang terbangun (RTB) eksisting

Jumlah penduduk hasil prediksi simulasi pada tahun 2009 sebanyak 2.296.101 jiwa atau kurang lebih 2,3 juta jiwa (simulasi dengan interval waktu 1 tahun) dan tahun 2010 bertambah menjadi 2.367.830 jiwa (simulasi ini menggunakan interval waktu 5 tahun). Data hasil simulasi model tersebut tidak jauh berbeda dengan data eksisting atau data terakhir penduduk Kota Bekasi tahun 2009 berjumlah 2.319.518 jiwa hasil sensus penduduk tahun 2010 (Susenas BPS, 2010). Dengan demikian unjuk kerja sub model penduduk

memiliki tingkat keakurasian yang hampir sama dengan model dunia nyata (real

world).

6.2.2. Sub Model Lahan RTH

Pada sub-model lahan RTH yang selanjutnya disebut sebagai sub-model RTH, variabel yang ditentukan sebagai variabel level terdiri dari luas lahan RTH, kelembaban dan suhu. Sebagaimana diuraikan sebelumnya semakin bertambahnya jumlah penduduk maka akan semakin tinggi kebutuhan lahan untuk dikonversi menjadi lahan terbangun sehingga memarjinalisasikan lahan RTH. Perubahan lahan RTH menjadi lahan terbangun (RTB) suatu wilayah kota mengakibatkan perubahan pada suatu tatanan lanskap perkotaan. Pemanfaatan ruang kota yang tidak sesuai dengan peruntukannya secara biofisik dapat mengakibatkan terganggunya kelestarian lingkungan kota.

RTH merupakan komponen lanskap yang dapat berperan dalam mengendalikan terjadinya degradasi lingkungan. Salah satu bentuk degradasi lingkungan yang dapat ditimbulkan dengan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau di wilayah kota adalah meningkatnya suhu kota. Pada dasarnya ruang terbuka hijau mempunyai banyak fungsi, khususnya yang berkaitan dengan aspek lingkungan. Salah satu fungsi ruang terbuka hijau adalah kemampuannya

dalam menurunkan suhu (Effendy, 2007), yang terkait pula dengan kemampuannya dalam mengendalikan iklim perkotaan.

Semakin luas proporsi RTH di suatu wilayah kota, maka iklim menjadi relatif lebih nyaman, dan sebaliknya, apabila luas RTH kota berkurang maka akan terjadi peningkatan suhu udara di dalam kota. Turunnya tingkat kenyamanan ditandai dengan semakin meningkatnya suhu kota. Oleh sebab itu, dalam penataan ruang kota, masalah kenyamanan perlu diperhitungkan melalui optimalisasi kinerja RTH sehingga diharapkan dapat menjamin kualitas lingkungan kota.

Per-definisi, kenyamanan adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Kondisi lingkungan disebut nyaman apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif dan usaha pengaturan suhu tubuh berada pada level minimum (Effendy, 2007; Wardhani, 2006). Kenyamanan kota secara

kuantitatif dinyatakan dengan Temperature Humidity Index (THI). THI

dipengaruhi oleh suhu udara dan kelembaban relatif. Jika suhu udara dan kelembaban relatif diketahui, maka nilai THI untuk kenyamanan suatu kota dapat ditentukan. Nilai THI dapat ditentukan dari suhu udara dan kelembaban udara

(RH) dengan persamaan (Nieuwolt, 1975): THI = 0,8Ta + RHxTa/500, dimana Ta

= Suhu udara (0C) dan RH = Kelembaban relatif udara (%). Rumus auxiliary THI

dalam sub model lahan RTH dipadankan menjadi THI =

(Suhu_thd_RTH*0,8)+(RH_Thd_RTH*Suhu_thd_RTH)/500.

Tingkat kenyamanan lebih didasarkan pada keterkaitan antara RTH dengan suhu udara dan kelembaban (RH). Faktor-faktor lain seperti angin, radiasi matahari, curah hujan, polusi udara akibat padatnya kendaraan dan lainnya yang berpengaruh pada kenyamanan tidak dimasukkan dalam model ini. Suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan data kelembaban dan suhu rata- rata tahunan di Kota Bekasi. Data awal lahan terbangun atau RTB dan lahan RTH dalam model ini menggunakan data BPS Kota Bekasi tahun 2005 dengan laju penurunan 7 persen per tahun berdasarkan perhitungan asumsi rata-rata perkembangan perubahan lahan yang terjadi di Kota Bekasi. Formulasi perhitungan nilai simulasi sub-model pada sistem ini disajikan pada Tabel 34.

Tabel 34 Formulasi sub sistem lahan RTH

NO VARIABEL FORMULASI NILAI SATUAN

1 RTH publik proporsional Persentase RTH publik 20% 4.209,8 Ha

2 Kelembaban (RH) Fix 70 Persen

3 Suhu Fix 29 Celsius

4 Laju penurunan RH Fix 0,01 Persen/tahun

5 Laju pertambahan suhu Fix 0,01 Persen/tahun

6 Lahan terbangun RTB Fix tahun 2005 (data BPS Kota Bekasi) 14.817 Ha

7 Alokasi RTB dikehendaki Fix 16.839,2 ha

8 Laju penurunan RTH Fix 7 Persen

9 Laju belanja RTH

Persentase dari nilai pendapatan APBD

(BPLH Kota Bekasi 2010) 0,07 Persen

10 Lahan RTH Fix tahun 2005 4.998 ha

Output hasil simulasi pada sub-model lahan RTH (Tabel 35) cenderung

menurun, berbanding terbalik dengan suhu udara yang naik secara linear. Berdasarkan hasil simulasi, terjadi penurunan jumlah lahan RTH pada tahun awal simulasi (2005) dari 4.998 ha atau 23,7% dari luas lahan di Kota Bekasi menjadi 1.295 ha (6%), diikuti peningkatan suhu udara sebesar 0,9°C dari 29,24°C menjadi 30,21°C (2030) dan penurunan kelembaban dari 70,83% menjadi 70,17%.

Tabel 35 Data simulasi Lahan RTH, kelembaban (RH), suhu terhadap RTH dan THI

Time RTH_EXT RH_THD_RTH_EXT SUHU_THDP_RTH_EXT THI _EXT

01 Jan 2005 01 Jan 2010 01 Jan 2015 01 Jan 2020 01 Jan 2025 01 Jan 2030 4. 998, 00 3. 627, 39 2. 672, 96 2. 015, 73 1. 574, 38 1. 295, 20 70, 83 70, 57 70, 40 70, 29 70, 21 70, 17 29, 24 29, 35 29, 50 29, 70 29, 94 30, 21 27, 54 27, 63 27, 76 27, 94 28, 16 28, 40

Keterangan :RTH ext = luas lahan RTH eksisting atau aktual yang diprediksi, RH-THD-RTH EXT = kelembaban udara terhadap RTH eksisting, SUHU-THD-RTH EXT= suhu terhadap RTH

Dampak dari meningkatnya suhu udara dan berkurangnya kelembaban berimplikasi pada berkurangnya tingkat kenyamanan yang diukur dari

bertambahnya nilai THI dari 27,54

°C

meningkat menjadi 28,40

°C

(2030). Hasil

prediksi model Output perubahan lahan RTH Kota Bekasi secara visual dilihat

0 1 Ja n 2 0 0 5 0 1 Ja n 2 0 1 0 0 1 Ja n 2 0 1 5 0 1 Ja n 2 0 2 0 0 1 Ja n 2 0 2 5 0 1 Ja n 2 0 3 0 2 . 0 0 0 3 . 0 0 0 4 . 0 0 0 5 . 0 0 0 R T H _ E X T

Gambar 34 Grafik Lahan RTH di Kota Bekasi

Kondisi visualisasi grafik di atas memperlihatkan bahwa tanpa intervensi kebijakan penganggaran yang optimal maka lahan RTH semakin menyusut pada akhir tahun simulasi. Pada tahun 2005 penggunaan lahan bervegetasi RTH masih sekitar 4.998 ha atau kurang lebih 24 persen dari luas Kota Bekasi (21.049 ha), kemudian tahun 2010 sudah menyusut menjadi 3.627 ha (17%) dari luas wilayah. Artinya selama kurun waktu tersebut sudah terjadi peningkatan konversi lahan RTH menjadi RTB seluas 1.371 ha. Sebagian besar berubah fungsi menjadi permukiman teratur (perumahan) skala besar. Diduga jika kecepatan alih fungsi lahan tetap tidak ada intervensi kebijakan (atau kebijakan penganggaran RTH hanya 0,07 persen dari APBD), maka pada tahun 2030 atau lima belas tahun mendatang lahan RTH hanya tersisa 6 persen atau berkurang sebesar 3.703 ha. Diagram alir model keterkaitan lahan RTH (sub model RTH), dan suhu disajikan pada Gambar 35.

Keterangan:

FR_PERTMBHN_SUHU = Angka pertambahan suhu pertahun FR_PNRN_SUHU = Angka penurunan suhu pertahun FR_SUHU_AWAL = Angka suhu awal di kota Bekasi FR_ALKSI_RTH_THDP_LHN =Angka alokasi rth terhadap lahan FR_NJOP_PER_HA = Nilai NJOP tanah per Ha FR_PNBHN_RTH = Angka penambahan rth pertahun FR_PNRN_RTH = Angka penurunan rth pertahun LJ_PRTMBHN_SUHU = Jumlah pertambahan suhu pertahun LJ_PNRN_SUHU = Jumlah penurunan suhu pertahun LJ_PNBHN_RTH = Jumlah penambahan RTH pertahun LJ_PNRN_RTH = Jumlah penurunan RTH pertahun

NET_SUHU = Selisih laju pertumbuhan suhu dikurangi laju penurunan suhu RASIO_RTH_THDP_ALKSI = Jumlah rasio RTH terhadap alokasi

SUHU_THDP_RTH = Suhu dipengaruhi oleh RTH

LAHAN_YG_DPRLH = Jumlah lahan yang diperoleh berdasarkan anggaran APBD

Menurunnya proporsi luas RTH mempunyai potensi besar mengurangi tingkat kenyamanan yang diukur dari semakin bertambahnya THI. Dengan istilah lain bertambahnya luasan RTH membuat turunnya nilai suhu terhadap RTH dan

dapat meredam fenomena UHI (Urban Heat Island). Dalam kondisi tanpa

pembatas atau tanpa intervensi kebijakan yang signifikan (kebijakan penganggaran RTH yang hanya 0,07 persen dari APBD seperti saat ini) dengan

model ini dapat diprediksi bahwa suhu udara bertambah sebesar 0,90C pada

akhir tahun simulasi. Terjadinya sub-optimalisasi RTH merupakan bentuk-bentuk penyebab meningkatnya nilai THI di kawasan perkotaan.

Peningkatan suhu udara dan berkurangnya kelembaban berimplikasi pada tingkat kenyamanan yang ditunjukkan dengan bertambahnya nilai THI. Pada akhir tahun simulasi terlihat bahwa tingkat kenyamanan yang dihasilkan masih berada dibawah nilai ideal yang dinginkan. Tingkat kenyamanan yang ideal yang dalam hal ini dinyatakan dengan THI di daerah tropis berada pada nilai THI = 19- 23 (nyaman), THI = 23-26 (sedang) sedangkan pada nilai THI > 26, kondisi berada dalam keadaan tidak nyaman (Wardhani, 2006). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Nieuwolt (1975) yang mengaitkan hubungan THI dan

kenyamanan populasi, yang menyimpulkan THI antara 21-24 0C adalah nyaman,

THI antara 25-27 0C adalah agak nyaman dan THI > 27 0C adalah tidak nyaman

di wilayah penelitian sudah di atas nilai kenyamanan sejak 2005 dimana lahan RTH masih tersedia seluas 23,7 ha yang seyogyanya dipertahankan minimal 30 ha.

Pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, di mana setiap pengurangan 50 persen RTH menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0,4 hingga 1,8

derajat celcius (Effendy, 2007). Hasil penelitian di Jakarta juga membuktikan

perbedaan suhu 2-4 derajat celcius di sekitar kawasan teduh RTH dengan yang

tidak ada RTH (Purnomohadi, 1995). Hasil simulasi membuktikan penurunan RTH seluas 3.703 ha atau lebih dari 50 persen dari 4.998 Ha (2005) menjadi

1.295 ha (2030) menaikkan suhu sebesar 0,90C. Kondisi simulasi model

keterkaitan ini merupakan fakta yang terprediksi dari hasil penelitian hubungan RTH dengan suhu udara di Jabotabek oleh Effendy (2007). Penelitian yang

berjudul ‘Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau Dengan Urban Heat Island Wilayah

Jabotabek’ tersebut menyimpulkan bahwa pengurangan 50 persen RTH

menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0,4 hingga 1,8 0C, sedangkan

penambahan RTH 50 persen hanya menurunkan suhu udara sebesar 0,2 hingga

0,5 0C. Kesimpulan yang diperoleh sama, yaitu modifikasi RTH menjadi RTB

merupakan salah satu penyebab utama terjadinya fenomena UHI (Lo, et al.,

1997). Perubahan penggunaan lahan (land use change) dari RTH menjadi RTB

menjadi penyebab terjadinya pemanasan secara lokal hingga regional (Yamashita dan Sekine, 1991).

Bukti empirik ini memberi kesadaran bahwa pentingnya mempertahankan RTH, khususnya pada kawasan perkotaan di Kota Bekasi yang semakin menyusut. Diperlukan upaya-upaya sadar dan komitmen politik penganggaran lingkungan, khususnya yang terkait belanja pengadaan lahan RTH. Peran besar terhadap komitmen ini terletak pada kewenangan eksekutif dan legislatif daerah

memformulasi APBD pro-lingkungan atau APBD Hijau (Green Budgeting).

Dukungan pentingnya penganggaran berbasis lingkungan ini juga perlu dibangun dan dikontrol oleh masyarakat, disamping kewajibannya menyediakan 10 persen

lahan RTH privat. Harapan stakeholders terhadap upaya pengelolaan RTH Kota

Bekasi adalah kualitas lingkungan yang terjamin, adanya partisipasi stakeholders

6.2.3. Sub ModelEkonomi (Green BudgetingRTH)

Sub-sistem kegiatan penganggaran hijau RTH atau Sub-sistem Ekonomi

(Green Budgeting RTH) merupakan sub-sistem yang berkaitan dengan aktivitas

penganggaran daerah terhadap program belanja RTH dalam APBD. Gambaran

sektor Green Budgeting RTH pada model ini dibangun oleh level pendapatan

APBD dengan flow rate kenaikan pendapatan, belanja RTH dan Lahan RTH

yang diperoleh. Fraksinya meliputii persentase belanja RTH terhadap

pendapatan APBD Kota dan fraksi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) per hektar lahan tidak terbangun.

Perhitungan pendapatan daerah Kota Bekasi diperoleh dari penjumlahan multiwaktu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), serta pendapatan lain yang sah. Berdasarkan hasil kajian, maka variabel sub-sistem

ekonomi (Green Budgeting RTH) yang digunakan dalam pemodelan sistem ini

tertera pada Tabel 36.

Tabel 36 Variabel ekonomi (Green Budgeting RTH) yang digunakan dalam

pemodelan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting

NO. VARIABEL DEFINISI SUMBER

1 Jumlah pendapatan daerah

jumlah pendapatan daerah yang masuk dalam APBD Kota Bekasi

Bapeda Kota Bekasi

2 Kebutuhan lahan RTH Kebutuhan 20 % lahan RTH publik di Kota Bekasi

Perhitungan data eksisting/kecenderungan 3 Jumlah belanja RTH Persentase jumlah belanja RTH terhadap

pendapatan daerah/APBD di Kota Bekasi

Asumsi professional

4 Tingkat pertumbuhan pendapatan daerah/APBD

Kenaikan rata-rata pertahun APBD (15%) Asumsi

RPJM/kecenderungan 5 Penambahan belanja RTH penambahan rata-rata belanja RTH per

tahun

Asumsi professional

6 Jumlah lahan RTH Belanja RTH berdasarkan NJOP Asumsi professional

7 Harga NJOP Nilai harga lahan RTHrata-rata per meter Asumsi professional

8 Laju pengurangan APBD Presentase penurunan dari pendapatan PBB dan BPHTB

Asumsi professional

Output hasil simulasi terjadi peningkatan penerimaan APBD dengan asumsi

kenaikan 15%/tahun (amanat RPJMD Kota Bekasi) dari Rp. 800.336.241.563

(2005), menjadi Rp. 23.627.058.160.558 (2030), diikuti pula kenaikan 0,07%

kinerja Green Budgeting RTH dari APBD yaitu sebesar Rp. 560.235.369 (2005)

menjadi Rp. 16.538.940.712 (2030). Lahan yang diperoleh pertahun sangat tidak signifikan dengan besarnya penerimaan APBD tahun berjalan. Sebagai gambaran pada APBD 2010 diprediksi sebesar 1,6 trilyun lebih tetapi kinerja pengalokasian RTH kota hanya sebesar 1 milyar, sehingga lahan yang

dialokasikan untuk penambahan RTH publik hanya mendapatkan lahan seluas 0,5 ha.

Realisasi penerimaan APBD tahun 2005 – 2008 (Tabel 22 terdahulu) sampai dengan realisasi akhir tahun 2010 sebesar 1,6 trilyun lebih dan rencana target pendapatan tahun 2011 sebesar 1,8 trilyun lebih (DPPKAD, 2010), kecenderungannya meningkat 10-15 % pertahun bahkan mencapai 18%. Bila

dibandingkan akurasi prediksi simulasi model Green Budgeting RTH pada APBD

tahun 2010 dengan realisasi penerimaan APBD aktual 2010 tersebut,

perbedaannya relatif mendekati real world seperti tertera pada Tabel 37.

Tabel 37 Prediksi penerimaan APBD dan kinerja green budgeting RTH (Rp)

Time APBD_EXT GB_RTH_EXT LHN_YG_DPRLH_EXT

01 Jan 2005 01 Jan 2010 01 Jan 2015 01 Jan 2020 01 Jan 2025 01 Jan 2030 800. 336. 241. 563, 00 1. 575. 070. 207. 332, 80 3. 099. 754. 864. 508, 54 6. 100. 350. 432. 197, 70 12. 005. 554. 317. 120, 10 23. 627. 058. 160. 558, 30 560. 235. 369, 09 1. 102. 549. 145, 13 2. 169. 828. 405, 16 4. 270. 245. 302, 54 8. 403. 888. 021, 98 16. 538. 940. 712, 39 0, 28 0, 55 1, 08 2, 14 4, 20 8, 27

Ket: lahan yg diprlh ext= lahan yang diperoleh eksisting yang diprediksi

Kinerja green budgeting RTH Kota Bekasi sampai dengan akhir simulai

tahun 2030 tahun dimana penerimaan APBD sudah mencapai 23 trilyun lebih tetapi lahan yang diperoleh hanya 8 ha. Hal ini memperlihatkan komitmen politik penganggaran yang lemah dalam mendukung upaya perbaikan lingkungan dari sektor pengembangan RTH publik. Simulasi visualisasi kecenderungannya naik tetapi tidak signifikan seperti ditunjukkan pada Gambar 36.

0 1 Ja n 2 0 0 5 0 1 Ja n 2 0 1 0 0 1 Ja n 2 0 1 5 0 1 Ja n 2 0 2 0 0 1 Ja n 2 0 2 5 0 1 Ja n 2 0 3 0 0 5 . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 1 0 . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 1 5 . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 G B _ R T H _ E X T

Gambar 36 Grafik hasil simulasi Green Budgeting RTH periode 2005-2030

Kenaikan grafik Green Budgeting RTH di atas belum memperlihatkan

kinerja RTH kota yang maksimal apabila dibandingkan nilai susutnya lahan RTH

sebesar 7 persen per tahun, karena penganggaran green budgeting sebesar

RTH bahkan makin menyusut. Penganggaran daerah berbasis lingkungan sebagai kompensasi terhadap pembayaran jasa lingkungan hidup dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sangat kecil. Rata-rata penganggaran APBD selama ini kurang lebih Rp. 5 milyar untuk belanja pengelola lingkungan hidup (Tabel 24 terdahulu) dari target kurang lebih Rp.1,23 Trilyun total APBD 2008. Bahkan belanja RTH pada tahun 2005 hanya Rp 500.000,00 atau 0,07 persen dari APBD tahun 2005. Berikut disajikan Gambar 37 konstruksi sub model pada sub sistem

green budgeting RTH.

Gambar 37 Flow diagram submodel green budgeting RTH

Sub model green budgeting RTH merupakan pencerminan stimulus

kebijakan penganggaran faktual. Dengan fakta sub model tersebut dapat menjadi faktor pengungkit berjalannya sistem secara keseluruhan dan berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat intervensi simulasi model yang lebih baik sebagai arahan memotivasi tingginya komitmen penganggaran atau berjalannya politik tata ruang secara optimal.

Disadari kecilnya anggaran menunjukkan bahwa dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2008-2013 yang mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan belum mewarnai politik anggaran. Persoalan lingkungan yang terkait belanja RTH belum dianggap menjadi prioritas. Kinerja pengelolaan RTH di Kota Bekasi belum memperlihatkan upaya optimal memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Demikan halnya dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan

SUB MODEL RTH

SUB MODEL GREEN BUDGETING RTH

LJ_PNMBHN_RTH FR_PNBHN_RTH LAHAN_YG_DIPRLH LJ_PNRN_RTH N_BUDGETING_RTH LJ_NAIK_PNDPTN FR_PERSEN_NAIK_PDPTN RTH FR_PNRN_RTH APBD FR_PERSEN_BLNJA_RTH R_NJOP_PER_HA

Perkotaan diamanatkan pada Pasal 20 ayat (2) bahwa Pendanaan penataan RTHKP Kabupaten/Kota bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, partisipasi swadaya masyarakat dan/atau swasta, serta sumber pendanaan lainnya yang sah dan tidak mengikat.

Berkenaan dengan anggaran pro lingkungan Kota Bekasi atau APBD hijau sesuai amanat kedua peraturan tersebut di atas dapat diukur dari komparasi