• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Fungsi dan Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Penataan Ruang

Penduduk kota memiliki kebutuhan yang sangat mendasar untuk berinteraksi sosial dan memerlukan ruang untuk mewadahinya yang sering

disebut sebagai public space (ruang publik). Salah satu kebutuhan mendasar

dari ruang publik bagi masyarakat khususnya di kawasan perkotaan adalah

ruang terbuka hijau (Green Open Space). Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan

adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan

yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Dardak, 2006b). Sementara itu, ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka

yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa

permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai wadah titik genangan air.

Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-

ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan,

tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya

diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk

RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan

fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan

pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah (Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian – IPB, 2005).

Pengertian RTH secara detil adalah (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan pada berbagai strata dari mulai semak sampai pohon berkayu; (2) lahan terbuka tanpa bangunan yang memiliki bentuk, ukuran dan batas geografis di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan

(perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai penciri utama dan

tumbuhan penutup lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Purnomohadi, 1995).

Secara umum ruang terbuka (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang

terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau (Dardak, 2006b). Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Sementara itu dari segi fungsi, RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi.

Fungsi bio-ekologis (fisik) memberi jaminan tersedianya sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), produsen oksigen, penyerap air hujan, dan pengatur

iklim mikro. Hasil penelitian keterkaitan RTH dengan Urban Heat Island (UHI)

kawasan Jabotabek, membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH. Pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, di mana setiap pengurangan 50 persen RTH menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0,4 hingga 1,8

derajat celcius (Effendy, 2007). Hasil penelitian di Jakarta juga membuktikan

perbedaan suhu 2-4 derajat celcius di sekitar kawasan teduh RTH dengan yang

tidak ada RTH (Purnomohadi, 1995).

Manfaat RTH baik langsung maupun tidak langsung sebagian besar dihasilkan dari fungsi bio-ekologis RTH. Manfaat tanaman bagi kehidupan

(biotik), penghasil O2 dan penyerap CO2 serta polutan lainnya menjadikan udara

bersih bagi kenyamanan dan kesehatan. Manfaat lain adalah sebagai ameliorasi iklim sehingga menjadi sejuk karena dapat mempengaruhi suhu dan kelembaban udara serta pergerakan angin.

Dari sudut pandang ekologi, fenomena perubahan suatu lingkungan dapat menyebabkan perubahan ekosistem secara kompleks. Sub-sub sistem pembentuk mata rantai ekosistem seperti flora dan fauna dalam suatu lingkungan akan berkurang bahkan punah bila habitat aslinya dirubah bentuk. Ruang terbuka hijau sebagai salah satu dari elemen-elemen pembentuk kota disamping sebagai paru-paru kota juga memiliki peran yang sangat penting sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat baik formal maupun informal, individu atau kelompok.

Fungsi sosial, ekonomi dan budaya tercermin sebagai media komunikasi warga, ekspresi budaya lokal, tempat rekreasi, pendidikan dan penelitian (Purnomohadi, 2006). Dari sudut pandang ekonomi, ruang terbuka hijau sering kali tidak direncanakan secara optimal, karena hanya berupa ruang yang tersisa

(left over space) atau lahan yang belum digunakan (idle land). Ruang Terbuka

Hijau yang menjanjikan keuntungan ekonomis seperti tempat rekreasi atau ekowisata dapat dikelola dengan berbagai area permainan yang dapat mengundang keinginan masyarakat menikmati bentang alam.

Fungsi estetis RTH bisa menjadi terapi kesehatan jiwa dari aktivitas dan rutinitas warga kota yang dinamis, karena RTH dapat meningkatkan kenyamanan dan memperindah lingkungan. RTH publik kota pada hakekatnya adalah ruang yang dapat dimasuki dan digunakan oleh siapa saja tanpa ada syarat untuk memasukinya. Sebagai wilayah milik publik, ruang terbuka hijau kota akan digunakan oleh seluruh warga kota secara “bebas” dan “adil” tanpa membedakan satu warga dengan warga yang lainnya.

Dalam konteks kebebasan memanfaatkan aktivitas bersama dapat dikatakan bahwa RTH sebagai bagian dari ruang publik adalah ruang nirsekat. Keberadaannya harus memperlihatkan keberpihakan bagi warga kota. Oleh karena itu, pengadaan RTH publik merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan.

Walaupun secara ekologis penting untuk mempertahankan ekosistem lingkungan kotanya, hak untuk mendapatkan ruang terbuka hijau bagi warga kota seringkali berbenturan dengan kepentingan pemodal dan penguasa. Kepentingan ini diperlihatkan antara lain melalui perubahan taman taman kota, lapangan olahraga, atau alun-alun pemerintahan di setiap wilayah

desa/kecamatan menjadi pusat belanja, perkantoran, sarana pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Alasan pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan daerah (ekonomi), menjadi alat penekan atas keberadaan RTH yang semakin dimarjinalisasikan. Inilah yang dimaksud dengan kegagalan politik tata ruang. Berhubung daya tampung ruang yang digunakan tidak mencukupi lagi, maka kebijakan yang terjadi adalah ruang yang semestinya digunakan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem lingkungan mulai dimanfaatkan menjadi tempat aktifitas perekonomian dan permukiman. Intervensi kebijakan dengan segala peraturannya mengakibatkan RTH yang juga berfungsi sosial sebagai tempat warga masyarakat berinteraksi menjadi hilang bahkan berubah fungsinya.

Fungsi RTH baik publik maupun privat dapat dikelompokkan kedalam fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik),

yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi (Nurisjah, et al., 2005),

sebagaimana tertera pada Gambar 2.

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006).

Gambar 2 Klasifikasi fungsi Ruang Terbuka Hijau

Wilayah Perkotaan

Ruang Terbangun

Ruang Terbuka

Ruang Terbuka

Hijau (RTH)

Ruang Terbuka

Non-Hijau

Fungsi

Intrinsik

Fungsi

Ekstrinsik

Fungsi

Ekologis

Fungsi

Ekonomi

Fungsi

Arsitektural

Fungsi

Sosial

Wilayah perkotaan seyogyanya mendisain kebutuhan ruang terbuka yang proporsional bagi kepentingan publik. Hasil penelitian Hardiman (2008) tentang peran pembangunan ruang terbuka publik sebagai bagian dari ruang terbuka

hijau di Pantai Kamali Buton, menunjukkan bahwa kesepakatan stakeholders

akan makna penting kebutuhan fisiologis atas ruang terbuka publik menjadi nilai penentu terjaganya kemauan politik tata ruang akan ekosistem bersama. Jargon Kota Bau Bau Buton : ”Boloma karo Sumanomo Lipu” yang artinya ”mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi” dipampang di beberapa lokasi ruang terbuka hijau.

Ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang terbuka publik memiliki karakter

penting (Hardiman, 2008) yakni: memiliki makna (meaningful) artinya menjaga

kelestarian antar-generasi, memiliki nilai keberlanjutan yang diwariskan bagi kepentingan generasi berikutnya. RTH sebagai ruang terbuka publik dapat mengakomodir kebutuhan para pengguna dalam melakukan kegiatan

(responsive) dan dapat menerima berbagai kegiatan masyarakat tanpa ada

diskriminasi (democratic) sebagai ruang nirsekat. Pemaknaan ruang nirsekat

lebih diapresiasi sebagai wadah berkumpul masyarakat untuk menikmati kohesi sosialnya. Pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan warganya sebagai mahluk sosial untuk pentingnya keberadaan ruang terbuka tersebut.

Moral tata ruang kota dengan fenomena perubahan tata guna lahannya sangat rentan terhadap intervensi penguasa atas nama regulasi. Kenyataan yang terlihat sekarang adalah telah terjadinya diskomposisi bahkan termasuk alun-alun kota yang masih mempunyai nilai-nilai tatanan budaya sebagai ruang bertemunya warga masyarakat dengan pemimpinnya berubah menjadi ruang urban yang modernis.

Ruang terbuka hijau kota menjadi ajang permainan ekonomi bagi penguasa dan pengusaha, dan kejadian tersebut sama sekali tidak bisa dikendalikan lagi, cepat atau lambat akan menggeser fungsi ruang terbuka hijau, sehingga membuat bagian dari paru-paru kota itu semakin tidak seimbang. Pengalaman sejarah terhadap perkembangan kawasan perkotaan yang memarjinalkan konsep ruang terbuka hijau sebagai ruang terbuka publik senantiasa berulang terjadi.

Demikian pentingnya ruang terbuka hijau, sehingga dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam Pasal 29 dikemukakan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit adalah 30 persen dari luas wilayah kota dan proporsi ruang terbuka hijau publik yang wajib disediakan pemerintah kota paling sedikit adalah 20 persen dari wilayah kota.

Dalam upaya mencapai target 30 persen dari jumlah luas wilayah kota, ruang perkotaan diklasifikasi terlebih dahulu menjadi dua yaitu ruang terbangun (RTB) dan ruang terbuka. RTH dari ruang terbuka memiliki potensi lebih besar menjadi RTH publik kota, diupayakan dapat dicapai proporsi 20 persen. Sebaliknya pada RTB terdapat proporsi 10 persen untuk disediakan sebagai RTH privat. Proporsi 30 persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi, keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Kewajiban pemerintah adalah menyediakan 20 persen lahan RTHuntuk kepentingan umum. Penentuan luas RTH dapat juga dihitung berdasarkan jumlah penduduk dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita (Inmendagri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan), seperti tertera pada Tabel 3.

Tabel 3 Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk

No

Unit Lingkungan

(Jiwa)

Tipe RTH

Luas Minimal/ Unit (m2)

Luas Minimal/ Kapita

(m2)

Lokasi

1 250 Taman RT 250 1 di tengah lingkungan

RT

2 2.500 Taman RW 1.250 0,5 di pusat kegiatan

RW 3 30.000 Taman Kelurahan 9.000 0,3 dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan 4 120.000 Taman Kecamatan 24.000 0,2 dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan Pemakaman Disesuaikan 1,2 Tersebar

5 480.000

Taman Kota 144.000 0,3 di pusat wilayah/kota

Hutan Kota Disesuaikan 4 di dalam kawasan pinggiran

fungsi tertentu kebutuhan

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006).

Peluang pemenuhan 20 persen merupakan kedudukan penting RTH Kota sehingga dapat diwujudkan kawasan konservasi kota untuk kelestarian hidrologis, pengembangan keanekaragaman hayati, area penciptaan iklim mikro dan reduktor polutan kota, area rekreasi masyarakat kota, sebagai TPU, sebagai pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan dan merupakan pengaman SDA baik alami, buatan maupun aspek-aspek historis kota (Purnomohadi, 2006).

Target luas lahan sebesar 20 persen dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan multiwaktu. Penataan ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam pembentukan ruang- ruang terbuka hijau terutama RTH di perkotaan. Perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan dan rawan bencana. Wilayah Kota Bekasi yang relatif datar perlu melakukan penyelamatan kawasan situ-situ kota dan pengembangan hutan kota sebagai daerah resapan air yang berperan penting manakala terjadi banjir. Kawasan yang direncanakan bagi kebutuhan rekreasional warga seperti taman kota, lapangan olah raga, alun-alun kota dan sebagainya, juga perlu dikembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau.

Penyediaan RTH berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu. RTH kategori ini meliputi jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan situ, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

Pemanfaatan ruang pada blok atau kawasan tertentu merupakan pengaturan detil yang memperlihatkan keterkaitan antar-blok kawasan strategis sehingga terjaga keseimbangan utilitas kota. Inilah yang dikenal dengan

Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). Oleh sebab itu, kedudukan RTH dalam RDTR Kota menjadi penting (Purnomohadi, 2006) yaitu :

1). Merupakan penyeimbang antara area terbangun dan non terbangun pada setiap blok (publik dan privat).

2). Merupakan area yang memiliki berbagai fungsi seperti edaphis (tempat hidup satwa dan jasad renik), hidrologis (keseimbangan dan kelestarian tanah dan air), klimatologis (terciptanya iklim mikro sebagai efek proses fotosintesis dan respirasi RTH), fungsi protektif dari gangguan angin, bunyi dan sinar terik matahari. Fungsi higienis sebagai penyaring polutan baik dari udara maupun air, serta fungsi lainnya baik sosial ekonomi, estetis dan edukatif.

3). Merupakan pembatas dan pengaman kawasan strategis 4). Identitas/ciri lingkungan.

2.3.1.

Pendekatan Pewilayahan Ruang Terbuka Hijau

Pendekatan pewilayahan ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dan lain lain. Dalam perspektif pewilayahan ekonomi, penataan RTH dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong

menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan

sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Tingginya frekuensi bencana banjir di perkotaan dewasa ini diduga juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan

tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga

dapat menurunkan tingkat produktivitas. Terbatasnya daerah resapan ini karena konsep pewilayahan ekonomi tidak memperhatikan keterkaitan dengan kondisi ekologis kota.

Dalam perspektif pewilayahan sosial-budaya, keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai area alun-alun kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya. Isue yang terjadi secara sosial, bahwa tingginya tingkat kriminalitas

dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat perkotaan.

Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan ruang terbuka hijau, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan. Dalam perspektif pewilayahan administratif, struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. Secara hirarkis, struktur pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka hijau publik dalam perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya.

Pada unit lingkungan terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga tingkat metropolitan, unsur RTH yang relevan perlu disediakan. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional.

Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.

Dari perspektif biaya atau program, rencana tata ruang kota bukan sekedar

kumpulan prosedur dan peta yang hanya disimpan dalam file dokumen daerah

(Miller, 2001) tetapi dinamis memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai. Terjadinya simpangan besar tata ruang kota merupakan akibat dari inkonsistensi kebijakan pemerintah dan gagalnya kekuatan politik atas tata ruang. Kekuatan politik atas tata ruang dapat dicerminkan sebagai keterlambatan program tata ruang dalam mengatasi kebutuhan utilitas kota atas tekanan penduduk yang tinggi, sehingga memarjinalkan daerah kawasan lindung atau ruang terbuka hijau.

Dana pada dasarnya merupakan kendala yang sulit diatasi. Namun

demikian, apabila stakeholders memiliki kesadaran atas kecenderungan

meningkatnya pencemaran udara, maka dana bukan menjadi masalah lagi. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan di DKI Jakarta tercatat ada 4,1 juta kendaraan (roda empat, tiga dan dua). Jika semua pemilik kendaraan memiliki kesadaran membayar resiko lingkungan sebesar Rp 1.000,-/kendaraan/tahun, maka jumlah dana yang tersedia sebesar Rp 4,1 milyar setiap tahunnya (Waryono, 1990).

2.3.2. Pertumbuhan Penduduk dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota

Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari jumlah penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari jumlah penduduk nasional pada tahun 2015 (Dardak, 2006a). Fenomena pertumbuhan penduduk tersebut memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga perlu mendapat perhatian khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan ruang-ruang terbuka publik.

Kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35 persen pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10 persen pada saat ini. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen memiliki rasio

RTH per kapita sekitar 7,08 m2 (Dardak, 2006b).

Kepmen PU No. 378 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang

dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa, sedangkan untuk penyangga

lingkungan kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa. Secara keseluruhan kebutuhan akan

RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa (Purnomohadi, 2006), agar dapat

memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi ekosistem, dan pencipta iklim mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (sosial- ekomomi), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap kota (estetika).

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diperkirakan jumlah kebutuhan RTH Kota Bekasi yang jumlah penduduknya sebesar 2.143.804 jiwa (BPS Kota

Bekasi, 2008) adalah (2.143.804 jiwa x 17,3 m2/jiwa) seluas 3.709 ha atau

sekitar 18 persen dari total 21.049 ha luas wilayah Kota Bekasi. Bila berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen, maka kebutuhan RTH di Kota Bekasi sebesar 6.314 ha, dan sebesar 4.210 ha (20%) wajib dipenuhi pemerintah daerah sebagai RTH publik.

Seperti halnya Bekasi, seyogyanya Jakarta dapat memetakan diri sebagai kota yang ramah lingkungan. Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) belum disiapkan secara terintegrasi terkait perencanaan penganggaran hijau RTH sehingga target pencapaian RTH seringkali direvisi dalam RTRW DKI. Sebagai gambaran dibawah ini diilustrasikan kebijakan pemerintah di berbagai negara terhadap pencapaian proporsi RTH Kawasan Perkotaan. Jakarta sebagai Ibukota Negara yang berkembang seperti terlihat pada Gambar 3, memperlihatkan tingkat perubahan penggunaan lahan yang begitu pesat mengalahkan kota-kota tua seperti London dan Paris.

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006).

Gambar 3 Perbandingan luas RTH perkapita pada beberapa kota besar dunia

RTH per kapita di Jakarta relatif masih lebih tinggi dari Tokyo, namun sebagai kota dari sebuah negara yang sedang berkembang kondisi ini cukup

memprihatinkan. Cerita sukses bisa dilihat dalam kasus Kota Curitiba di Brazil yang dalam 30 tahun berkembang dari kota kumuh menjadi kota yang paling diminati. Curitiba merupakan kota yang penduduknya tumbuh sangat pesat dari 150.000 jiwa pada tahun 1950-an menjadi kota dengan penduduk 1,6 juta jiwa pada tahun 2005 (Dardak, 2006a).

Pada awal 1970-an Curitiba mengalami banyak masalah tipikal seperti permukiman kumuh, kemacetan lalulintas yang sangat buruk, pedagang kaki lima di segala penjuru, penduduk miskin dengan literasi kurang dari 50 persen, ruang kota yang terlalu padat, banjir dan ruang terbuka yang sangat terbatas

hanya 1 m2per kapita. Saat ini Curitiba telah berkembang menjadi kota yang

nyaman dengan 17 taman-taman baru, dimana tingkat ruang terbuka hijaunya

meningkat dari 1 m2 menjadi 55 m2 per kapita, yang merupakan angka yang

sangat tinggi untuk suatu kota. Tingkat pendapatan penduduknya pun saat ini telah menyamai pendapatan rata-rata penduduk Brazil.

Issue berkaitan dengan ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan

beberapa permasalahan perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup, yang dapat membawa dampak perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif, serta timbulnya bencana banjir dan longsor (Dardak, 2006a). Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Pentingnya fungsi tanaman di area ruang terbuka publik di daerah tropis lembab antara lain untuk perlindungan terhadap

panas terik matahari. Selain itu, untuk memproduksi O2, mengurangi debu yang

meliputi kota (urban dust dome), mengurangi panas lingkungan (untuk foto

sintesis menyerap panas matahari satu persen, pohon berdaun lebat dapat