• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN OPSI BUDI DAYA PADI SAWAH TADAH

HUJAN ADAPTIF KEKERINGAN: STUDI KASUS

KABUPATEN SUBANG

LIDYA ELIDA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Lidya Elida

(4)
(5)

ABSTRAK

LIDYA ELIDA. Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang. Dibimbing oleh RIZALDI BOER.

Kejadian iklim ekstrim, khususnya kekeringan sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan hasil padi sawah tadah hujan di Indonesia. Kondisi ini dapat berdampak pada ketahanan pangan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alternatif teknologi budi daya padi sawah tadah hujan adaptif terhadap kekeringan di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Opsi teknologi budi daya ditentukan melalui survei Sistem Usaha Tani (SUT) serta penggunaan model simulasi DSSAT (Decision Support System for Agro-technology Transfer). Data masukan model terdiri dari data iklim harian 21 tahun (1991-2011), data fisik dan kimia tanah, data genetik varietas padi IR 64, serta data teknologi budi daya padi sawah tadah hujan. Opsi teknologi budi daya yang diuji ialah pengelolaan tanah (pemupukan) dan pengelolaan tanaman (varietas dan waktu tanam). Simulasi dilakukan menurut waktu tanam dari Januari sampai Desember dengan selang tanam 15 harian. Hasil survei menunjukkan bahwa masalah iklim utama yang dihadapi petani padi sawah tadah hujan ialah kekeringan. Hasil simulasi menunjukkan opsi utama untuk mengatasi masalah kekeringan ialah dengan mengatur waktu tanam yang dikombinasikan dengan penggunaan teknologi budi daya yang tepat (pemupukan berimbang). Secara umum waktu tanam padi sawah tadah hujan untuk penanaman musim hujan (Oktober-April) dapat mencapai hasil hampir 6.0 ton/ha, sedangkan pada penanaman musim kemarau (Mei-September) bisa lebih rendah dari 1.0 ton/ha. Penggunaan indeks SST Nino 34 diperlukan untuk melihat fenomena ENSO yang berpengaruh terhadap hasil padi dan keragaman hujan. Sehingga petani dapat mengatur masuknya waktu tanam yang tepat sesuai dengan prakiraan musim untuk mengatasi masalah kekeringan tersebut. Disamping itu, teknologi pemupukan yang dianjurkan ialah penggunaan pupuk anorganik 300 kg/ha dan organik 5 ton/ha dengan jarak tanam 40 × 40 cm, hasil yang dicapai dengan waktu tanam dan teknologi ini melebihi 5 ton/ha dengan nilai B/C rasio mencapai 1.76.

(6)

ABSTRACT

LIDYA ELIDA. Option Valuation of Rainfed Lowland Rice Adaptive Drought: Study Case in Subang. Supervised by RIZALDI BOER.

Extreme climate events, particularly drought significantly affectproduction of rainfed lowland rice in Indonesia. This might affect food security. This study aims to assess alternative technologies or crop management strategies of rainfed lowland rice more adaptive to drought in Subang, West Java. Technology options and strategies are determined through surveis and crop simulation models of DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer). Input data for the model consists of a 21-year daily climate data (1991-2011), soil physic and chemical properties, genetic data of IR 64 rice varieties and rice cultivation technologies. The cultivation technology options being tested included soil management (fertilization) and crop management (varieties and planting time). Simulations was carried out according to the time of planting from January to December with 15 days interval. The results of field survei confirmed that the main problem in rainfed rice at Subang District was drought. The simulation results showed that the main options to address drought was to set appropriate planting time with the use of proper cultivation technology (balanced fertilizers). In general, the appropriate time for rainfed lowland rice planting was rainy season (October-April) the yield can reach 6.0 ton/ha, while dry season (May-September can be lower than 1.0 ton/ha. The use of SST Nino 34 index to see the phenomenon of ENSO which affecting rice yield variance of rain. So that farmers can appropriate started of planting time based on seasonal climate forecast to solve the drought problem. The recommended amount of fertilizer for the rainfed lowland rice at Subang was 300 kg/ha of inorganic fertilizer and 5 tons/ha of organic fertilizer with planting space of 40 × 40 cm. The use of this technology resulted in yield of more than 5 ton/ha with B/C ratio of about 1.76.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

PENILAIAN OPSI BUDI DAYA PADI SAWAH TADAH

HUJAN ADAPTIF KEKERINGAN: STUDI KASUS

KABUPATEN SUBANG

LIDYA ELIDA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang

Nama : Lidya Elida NIM : G24090020

Disetujui oleh

Prof Dr Rizaldi Boer, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah

subhanahu wa ta’ala dengan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang”. Penulisan skripsi ini sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Secara garis besar, materi yang ada dalam skripsi ini adalah analisis sistem usaha tani yang ada di Kabupaten Subang dan memberikan opsi-opsi upaya yang bisa dilakukan oleh petani padi sawah tadah hujan dalam menghadapi berbagai dampak iklim ekstrim (terutama kekeringan) yang dapat mempengaruhi sistem pertanian setempat. Hasil yang diperoleh berupa pendugaan hasil padi dengan berbagai perlakuan teknologi budi daya untuk dilihat pengaruh perlakuan budi daya mana yang menghasilkan hasil yang paling optimum serta penentuan waktu tanam yang tepat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rizaldi Boer, MS selaku pembimbing tugas akhir dan Bapak Adi Rahman, MSi yang telah banyak memberi saran terkait tugas akhir ini. Terimaksih pula penulis ucapkan kepada Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi Ibu Dr Ir Tania June, MSc yang juga berstatus sebagai pembimbing akademik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah Suid Sofyan, SH, ibu Ida Royani, kakak Listya Atika SHut, adik Linda Pertiwi dan M. Lukman Adeba, serta seluruh keluarga besar penulis, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan pada keluarga besar GFM 46 yang telah memberikan masa-masa kuliah yang menyenangkan selama tiga tahun belakangan ini, Dwi, Winda, Nita, Normi, Ika Far, Wayan (The Cibantengers), Noya, Sunte, Bang Hifdy, Wengky, Abang

Nowa, Bambang, Ima, Zia, Didi, Iip, Dissa, Mba‟ Dien, Teh Risa, Alin, Silvi,

Ocha, Muha, Edo, Ian, Tommy, Ika Pur, Eka Fay, Risna, Teh Rini, Enda, May, Rikson, Dhungka, Dodik, Ervan, Sholah, Gaseh, Halimah, dan Hanifah.

Serta terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut membantu kelancaran penelitian sampai dengan penulisan karya ilmiah ini, baik secara keilmuan, materi dan spiritual.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kondisi Umum Wilayah Subang. Jawa Barat 2

Sistem Usaha Tani 2

Pola Tanam dan Waktu Tanam Tanaman Pangan 3

Ancaman Iklim Ekstrim Pada Sektor Pertanian Padi 3 Model Simulasi Tanaman DSSAT (The Decision Support System for

Agrotechnology Transfer) 4

METODE 4

Tempat dan Waktu Penelitian 4

Data/Bahan 5

Alat 5

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Karakterisistik Iklim di Wilayah Kajian 9

Hasil Survei Karakteristik Sistem Usaha Tani (SUT) di Kabupaten Subang 9 Hasil Simulasi Model DSSAT untuk Pendugaan Potensi Hasil Padi 14 Analisis Strategi Risiko Kekeringan Padi Sawah Tadah Hujan 21

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

(13)

DAFTAR TABEL

1 Kombinasi Perlakuan Teknologi Budi daya Padi Sawah Tadah Hujan yang digunakan sebagai Faktor Manajemen dalam Model Simulasi

DSSAT 7

2 Tanggal Tanam Optimum Setiap Perlakuan Budi Daya di Kabupaten

Subang 17

3 Rata-rata dan Simpangan Baku Hasil Tanaman Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakukan Jarak Tanam dan Pemupukan 17 4 Hasil Model Regresi Fungsi Produksi Terhadap Benih dan Pupuk

Urea 19

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Tahapan Analisis 6

2 Curah Hujan Rata-Rata Tahun 1991-2011 di Stasiun Sukamandi,

Kabupaten Subang 9

3 Hasil Survei Pola Tanam dan Waktu Tanam Petani di Kabupaten

Subang 10

4 Rata-Rata Hasil Tanaman Petani Sawah Tadah Hujan di Kabupaten

Subang Berdasarkan Hasil Survei 10

5 Hasil Survei Persentase Kekeringan dan Curah Hujan Tahun 2006,

2007 dan 2012 di Kabupaten Subang 11

6 Keragaman Iklim yang Dirasakan Petani di Kabupaten Subang 12 7 Penerimaan Informasi Iklim oleh Petani di Kabupaten Subang 13 8 Upaya Adaptasi yang Dilakukan Petani di Kabupaten Subang 13 9 Grafik Pola Hasil Produksi Simulasi dan Observasi 14 10 Grafik Hubungan Hasil Produksi Simulasi dan Observasi 14 11 Rata-rata Hasil Simulasi Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai

Perlakukan dan Waktu Tanam 15

12 Sebaran Distribusi Hasil Simulasi Tanggal Tanam Optimum Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakuan Budi Daya 18 13 Hubungan B/C Rasio dan Simulasi Hasil Optimum Padi Sawah

Tadah Hujan di Kabupaten Subang 21

14 Tahun-Tahun El Nino dan La Nina periode 1991-2011 22 15 Perbandingan Hasil Simulasi Padi dengan Anomali Nino 34 Periode

1991 2011 22

16 Hubungan Curah Hujan dengan Anomali SST Nino 34 Periode

1997-1999 23

17 Peluang Hasil Padi di Atas Rata-Rata Untuk Tiap Tanggal Tanam

Periode 1991-2011 24

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner Sistem Usaha Tani 30

2 Langkah-langkah simulasi hasil tanaman dengan menggunakan

DSSAT 35

3 Profil data fisik dan kimia tanah di Kabupaten Subang (diperoleh dari Balai Penelitian Tanah (Balittanah), Litbang Pertanian) 35 4 Data Pengaturan Manajemen Penanaman (Planting Management) 36 5 Dokumentasi Survei Kondisi Padi Sawah Tadah Hujan di Kabupaten

Subang 37

6 Data Perbandingan Hasil Produksi Padi Pada Berbagai Perlakuan

Budi daya 38

7 Data Hasil Distribusi Sebaran Tanggal Tanam Optimum Untuk

Setiap Perlakuan Budi daya 38

8 Rincian Biaya (Cost) Usaha Tani Padi Sawah Tadah Hujan Untuk

Setiap Perlakuan Budi daya 39

9 Data Hasil Analisis Benefit Cost Ratio (B/C Rasio) Pada Setiap

Perlakuan Alternatif Budi Daya 40

10 Pengelompokan tahun-tahun Normal, El Nino dan La Nina berdasarkan indeks ONI yang diperbarui tanggal 5 September 2012

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kejadian iklim ekstrim yang dominan terjadi di Indonesia diantaranya ialah banjir dan kekeringan. Kegagalan panen tanaman padi sawah akibat kejadian iklim ekstrim ini dapat mencapa 2 juta ton (Boer et al. 2003). Kejadian iklim ekstrim di Indonesia seringkali berasosiasi dengan fenomena ENSO (El Nino Southern Osilation). Kejadian El Nino (periode hangat ENSO) secara signifikan dapat mengurangi curah hujan pada musim kemarau. Akibatnya, selama periode El Nino musim kemarau cenderung lebih panjang dengan tinggi hujan jauh di bawah normal. Pengaruh ENSO terhadap keragaman hujan kuat hampir di semua wilayah Indonesia, kecuali di sebagian wilayah Sumatera (Boer et al. 2009). Kejadian El Nino dapat menjadi pemicu penurunan hasil padi, akibat meningkatnya luas areal tanam yang mengalami puso akibat kekeringan.

Kabupaten Subang, merupakan wilayah yang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat, sekaligus pula sebagai penyumbang hasil padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang tahun 2010, luas lahan sawah di Kabupaten Subang tahun 2010 mencapai 84,928 ha atau sekitar 41.39% dari total luas wilayah Subang dan sekitar 7,290 ha merupakan lahan sawah tadah hujan. Kegagalan panen akibat kejadian kekeringan seringkali melanda padi sawah di Kabupaten Subang khususnya padi sawah tadah hujan. Disamping itu hasil tanaman juga cenderung menurun dari tahun ke tahun. Oleh karena itu diperlukan alternatif strategi budi daya yang dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dan lebih adaptif terhadap kekeringan.

Untuk menentukan bentuk teknologi budi daya dengan daya hasil lebih tinggi dan lebih adaptif kekeringan, perlu memahami karakteristik kejadian iklim ekstrim (kekeringan) dan pola tanam yang digunakan. Oleh karena itu kajian terkait penentuan waktu tanam yang tepat, serta pemilihan teknologi budi daya yang optimal seperti aplikasi pemupukan, jarak tanam, dan pemilihan varietas perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

Tujuan Penelitian

1 Mengkaji Sistem Usaha Tani (SUT) padi padi sawah tadah hujan di Kabupaten Subang, Jawa Barat

2 Menyusun strategi budi daya padi sawah tadah hujan adaptif kekeringan daya hasil lebih tinggi

Manfaat Penelitian

(17)

2

Ruang Lingkup Penelitian

Kajian ini meliputi survei sistem usaha tani padi sawah tadah hujan untuk memahami karaketeristik SUT dan pemasalahannya (iklim, organisme penganggu tanaman dan lain lain) serta analisis simulasi tanaman untuk mengkaji beberapa alternatif teknologi budi daya yang lebih adaptif kekeringan dengan daya hasil yang lebih tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Wilayah Subang. Jawa Barat

Kabupaten Subang berada di kawasan utara Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah seluas 205,176 ha atau 6.34 % dari luas Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini terletak di antara 107º 31' - 107º 54' Bujur Timur dan 6º 11' - 6º 49' Lintang Selatan. Sekitar 80.80% wilayah Kabupaten Subang memiliki tingkat kemiringan 0° - 17°, 10.64% dengan tingkat kemiringan 18° - 45° sedangkan sisanya (8.56%) memiliki kemiringan di atas 45 °. Berdasarkan tipe iklim Oldeman, Kabupaten Subang memiliki tipe iklim C dan D. Curah hujan pada wilayah ini menunjukkan pola monsoon, yaitu suatu pola curah hujan dimana terdapat periode kering dan periode hujan. Periode hujan terjadi sekitar November-April, sementara Mei-Oktober dijumpai periode kering. Dengan iklim yang demikian, serta ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai, menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian.

Sistem Usaha Tani

Suratiyah (2006) menyatakan bahwa usaha tani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani untuk menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi (alam, tenaga, dan modal) seefektif dan seefisien mungkin dengan memilih teknik budi daya yang tepat. Teknik budi daya merupakan usaha petani dalam memilih varietas tanaman, cara pemupukan, pengelolaan air, perlindungan tanaman dan cara panen untuk menunjang keberhasilan (Zandstra et al. 1981). Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah (lahan) dan lingkungan alam sekitarnya seperti ketersediaan air, suhu dan lain-lain.

1 Faktor Iklim

Faktor iklim sangat penting terkait dengan komoditas yang diusahakan dalam usaha tani. Tiap daerah memiliki iklim yang berbeda sehingga komoditas yang ditanam harus disesuaikan dengan iklim dimana komoditas tersebut akan ditanam. Iklim juga berpengaruh pada cara mengusahakan serta teknologi yang cocok dengan iklim tersebut.

2 Faktor Tanah

(18)

3 Pola Tanam dan Waktu Tanam Tanaman Pangan

Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun waktu tertentu. Pola tanam di daerah tropis seperti Indonesia, biasanya disusun selama 1 tahun dengan memperhatikan curah hujan (terutama pada daerah/lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan). Penentuan pola tanam sangat dipengaruhi ketersediaan air dan keadaan lingkungan seperti kondisi fisik kimia tanah. Kassam et al. (1978) menjelaskan bahwa di daerah tropis, kendala utama yang membatasi musim tanam di sawah tadah hujan adalah ketersediaan air. Penentuan pola tanam akan berbeda untuk wilayah yang mengalami defisit air tinggi dengan wilayah yang dapat menambah kebutuhan air (irigasi) jika terjadi kekeringan.

Lamanya lahan sawah tadah hujan dapat dibudidayakan (growing season) bergantung pada lama musim, jumlah dan distribusi hujan. Kegagalan panen di suatu daerah sering disebabkan oleh curah hujan yang sangat berfluaktif, dimana pada saat tanaman membutuhkan air, curah hujan menurun drastis atau hujan terlalu tinggi sehingga menimbulkan banjir. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi budi daya padi sawah tadah hujan yang disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Lima contoh model pola tanam yang biasa dilakukan petani di Indonesia (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2012) yaitu:

1 Padi – Padi – Padi padi sawah tadah hujan, karena keragaman dari awal musim hujan. Awal musim hujan yang mundur dari biasanya sementara petani sudah terlanjur melakukan penanaman akibat terjadinya hujan tipuan (false rain) dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Saat ini BMKG menggunakan curah hujan 10 harian (dekade) untuk menentukan awal musim hujan. Awal musim hujan dimulai pada dekade dimana tinggi hujan minimal mencapai 50 mm dan dekade berikutnya juga melebihi 50 mm. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Baradas (1984), dimana pananaman padi dimulai bila curah hujan dalam dekad awal dan dekad berikutnya telah mencapai 50 mm. Irasal et al. (1989) menyatakan bahwa waktu tanam yang baik untuk padi ialah apabila curah hujan dekad awal lebih besar dari 55 mm dan dekad berikutnya melebihi 70 mm.

Ancaman Iklim Ekstrim Pada Sektor Pertanian Padi

(19)

4

tersedianya air irigasi. Oleh karena itu penentuan waktu tanam yang tepat merupakan salah satu strategi utama untuk menghindari kondisi ini.

Model Simulasi Tanaman DSSAT (The Decision Support System for Agrotechnology Transfer)

Model Simulasi tanaman, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan waktu tanam dan teknik budi daya yang optimal pada pertanian tadah hujan. Model simulasi tanaman dapat mengkuantifikasikan interaksi antara lingkungan (tanah), unsur cuaca dan tanaman, sehingga sering digunakan untuk mengetahui pengaruh variabilitas iklim terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diduga dari hasil lahan. Salah satu model simulasi yang sedang dikembangkan oleh para ilmuan IBSNAT (International Benchmark Site Network for Agrotechnology Transfer) dari Universitas Hawaii USA, ialah program DSSAT (The Decision Support System for Agrotechnology Transfer; Jones etal. 2003). Program DSSAT memiliki beberapa model simulasi untuk beberapa tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, gandum dan tanaman pangan utama lainnya. Kemampuan DSSAT dalam mensimulasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada berbagai teknologi budi daya dan kondisi iklim dapat membantu kita untuk mengevaluasi bagaimana dampak perubahan waktu tanam, input (pupuk, varietas dan jarak tanam) terhadap hasil pada berbagai kondisi iklim yang diberikan.

Penggunaan DSSAT untuk tujuan kajian analisis risiko iklim pada tananam pangan sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Bahrun (2005) menggunakan DSSAT untuk mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung pada kondisi air terbatas di Kabupaten Majene Sulawesi Barat. Rouw (2008) menggunakan DSSAT untuk mengkaji dampak keragaman curah hujan terhadap produksi padi sawah dan menyusun alternatif strategi budi daya yang dapat mengurangi risiko keragaman curah hujan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa DSSAT cukup efektif untuk digunakan dalam mengevaluasi teknologi budi daya pada berbagai kondisi iklim.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

(20)

5 Data/Bahan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1 Data koordinat lintang dan bujur dari stasiun iklim wilayah Sukamandi-Subang, data iklim harian meliputi nilai radiasi matahari (MJ/m2 day), nilai

maksimum dan minimum suhu udara (˚C), dan curah hujan (mm) selama 21

tahun (1991-2011) yang diperoleh dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat), Litbang Pertanian.

2 Profil data fisik dan kimia tanah di Kabupaten Subang (Lampiran 1) yang dibutuhkan (diperoleh dari Balai Penelitian Tanah/Balittanah), Litbang Pertanian).

3 Data manajemen penanaman dan data hasil observasi meliputi tanggal penanaman, kondisi dan jenis tanah wilayah kajian, kepadatan tanaman, jarak tanam, kedalaman tanam, varietas tanaman, irigasi, kebiasaan budi daya petani dan praktek pemupukan. Data ini dibutuhkan baik sebagai parameter input dalam model tanaman DSSAT (Lampiran 2). Serta data harga komoditas pertanian dibutuhkan untuk analisis Benefit Cost Rasio (Lampiran 8 dan 9). 4 Data ENSO untuk mengetahui perubahan kondisi ENSO terutama nilai

Anomali SST Nino 34 yang bisa diperoleh dari situs http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.Indices/.nino/.EXTENDED/.NINO 34/

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat komputer yang dilengkapi software DSSAT v4.5 (The Decision Support System for Agrotechnology Transfer) untuk menjalankan model simulasi tanaman (crop model), software Minitab 15, serta software Microsoft Office (Word dan Excel) 2007. Microsoft Excel dilengkapi program Crystal Ball sehingga dapat digunakan untuk menentukan bentuk sebaran waktu tanam optimum.

Prosedur Analisis Data

(21)

6

Survei Teknologi Budi Daya untuk Mengetahui Karakteristik SUT di Kabupaten Subang

Data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh melalui teknik wawancara (survei) dan dipandu dengan kuisioner terstruktur (Lampiran 1). Survei dan wawancara dilakukan terhadap 35 responden petani padi sawah tadah hujan beberapa kecamatan di Kabupaten Subang. Survei sistem usaha tani dimaksudkan untuk memahami model pola tanam, varietas yang digunakan, pemupukan, irigasi dan kejadian kekeringan yang dihadapi oleh petani di lokasi penelitian. Survei dilakukan di satu titik stasiun wilayah Kabupaten Subang yang didasarkan pada sentra komoditi padi dan palawija. Pengambilan responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Stratifikasi sampel berdasarkan golongan sistem pengairan yaitu irigasi teknis dan non-teknis (tadah hujan).

Informasi yang dikumpulkan melalui survei meliputi:

a Sumberdaya Pertanian: Bentuk informasi ini antara lain meliputi status kepemilikan lahan, jadwal pergiliran tanaman per tahun (pola tanam), hasil, sumber air di musim kemarau dan musim hujan, varietas, penggunaan pupuk dan informasi penunjang lainnya.

b Masalah Iklim: Kejadian bencana iklim yang diidentifikasi adalah kekeringan dan banjir. Informasi yang diperlukan antara lain frekuensi dan distribusi waktu kejadian.

(22)

7 Pola tanam mencakup waktu tanam, intensitas tanam dan rotasi tanaman yang biasa dilakukan petani selama satu tahun. Hasil survei kemudian ditabulasi sesuai kebutuhan untuk pengolahan data. Sebagian satuan data yang tidak sama dilakukan konversi. Pengolahan data umumnya ditujukan untuk melihat persentase responden terhadap kondisi atau permasalahan tertentu. Selanjutnya persentase responden ini digunakan sebagai acuan pengambilan kesimpulan untuk permasalahan tertentu, terutama ditujukan untuk melengkapi mengenai informasi karakteristik usaha tani di Kabupaten Subang.

Penilaian Teknologi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan yang Optimum

Teknologi budi daya yang dievaluasi dengan DSSAT ialah irigasi, pemupukan (organik dan anorganik) dan jarak tanam (kepadatan tanamanan), sedangkan perlakuan lainnya diasumsikan tidak berubah. Pemupukan terdiri dari tiga perlakuan yaitu tanpa pemupukan, setengah dari tingkat pemupukan rekomendasi, dan sama dengan pemupukan rekomendasi. Jarak tanam juga terdiri dari tiga perlakukan yaitu 25 × 25 cm, 30 × 30 cm dan 40 × 40 cm. Jadi total perlakukan ada 9 kombinasi (Tabel 1). Dosis pupuk rekomendasi ditetapkan berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga penelitian pertanian. Validasi model DSSAT dilakukan dengan menggunakan data observasi dari survei yang dilakukan terhadap 35 petani responden. DSSAT dijalankan dengan menggunakan waktu tanam mulai dari 1 Januari sampai akhir Desember dengan interval 15 harian. Langkah-langkah simulasi hasil tanaman dengan menggunakan DSSAT disajikan pada Lampiran 2.

Penentuan periode waktu tanam optimum dilakukan berdasarkan pada hasil analisis sebaran waktu tamam optimum. Waktu tanam optimum dari setiap tahun simulasi untuk setiap kombinasi teknologi yang ditunjukkan oleh Tabel 1 ditetapkan dengan menggunakan pendekatan analisis regresi Fourier yang dikembangkan oleh Boer dan Wahab (2007) sebagai berikut:

Tabel 1 Kombinasi Perlakuan Teknologi Budi daya Padi Sawah Tadah Hujan yang digunakan sebagai Faktor Manajemen dalam Model Simulasi DSSAT

Jarak Tanam (cm) Dosis Pupuk Anorganik (kg/ha)

0 (1) 300 (2) 150 (3)

25 x 25 (a) 1a 2a 3a

30 x 30 (b) 1b 2b 3b

(23)

8

Yt : Hasil tanaman padi waktu tanam-t

Koefisen a0 merepresentasikan rata-rata hasil tahunan dan hasil tanaman

maksimum (Ymaks) diestimasi dari a0 + hasil maksimum dari Ct, dimana:

Waktu tanam pada saat Ymaks untuk setiap tahun simulasi dan perlakuan ditetapkan

sebaran statistiknya. Periode penanaman optimum ditetapkan berdasarkan sebaran ini yaitu tanggal tanam yang berada dalam selang peluang 10% dan 90%.

Teknologi budi daya yang optimal ditetapkan berdasarkan analisis ratio antara biaya dan keuntungan (BCR) dengan menggunakan rumus berikut (Gettingen 1982):

� = �

Keterangan: BCR = Benefit Cost Ratio Benefit = Penghasilan bersih

Cost = Total Biaya

Selanjutnya persamaan untuk menduga potensi hasil tanaman padi sawah tadah hujan berdasarkan teknologi budi daya yang digunakan, disusun dengan menggunakan fungsi produksi berikut (Soekartawi 2003):

Log Y = log(a) + b1log(X1)+ b2 log(X2)+ … + bn log(Xn) + error

Dimana X1, X2, .., Xn teknologi budi daya yang digunakan (e.g. dosis pupuk, jarak

tanam dst) dan a, b1, b2, …, bn adalah koefisien persamaan yang menunjukkan

besar pengaruh dari teknologi budi daya terhadap hasil. Uji nyata untuk koefisien fungsi produksi dilakukan dengan menggunakan Uji-t (Walpole 1990). Hipotesa yang diuji ialah:

H0 : faktor produksi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi (bi = 0)

H1 : faktor produksi berpengaruh nyata terhadap hasil produksi (bi≠ 0)

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t, dimana Thit = bi/SE(bi),

dan SE(bi) ialah simpangan baku perubah , dimana bbi. Apabila

Thit > Ttab = tolak H0

Thit < Ttab = terima H0

Penentuan Strategi Budi daya Adaptif Kekeringan dengan Daya Hasil Tinggi

(24)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisistik Iklim di Wilayah Kajian

Stasiun iklim Sukamandi yang digunakan dalam analisis berada pada ketinggian ± 50 m dpl dan terletak diantara 06° 21.001' LS - 107° 39.142' BT. Rata-rata curah hujan tahunan sekitar 1344 mm dan memiliki satu puncak musim hujan (pola monsoon) yaitu sekitar bulan Januari dan Februari. Musim hujan berlangsung lebih kurang 5 bulan yaitu antara bulan Novermber sampai Maret dan Musim Kemarau antara bulan April sampai Oktober (Gambar 2). Rata-rata suhu maksimum sekitar 29.1°C dan suhu minimum sekitar 22.7°C serta radiasi matahari sekitar 15.1 MJ/m2/hari.

Hasil Survei Karakteristik Sistem Usaha Tani (SUT) di Kabupaten Subang

SUT Padi Sawah Tadah Hujan

Survei SUT di Kabupaten Subang menunjukkan sebagian besar petani responden di beberapa kecamatan Kabupaten Subang merupakan petani pemilik dan mengusahakan sendiri lahannya untuk pertanaman pangan. Sebagian kecil petani ada sebagai penyewa atau maro. Maro ialah petani yang menggarap sawah orang lain dan hasilnya dibagi dua dengan pemilik lahan. Luas lahan yang dimiliki sebagian besar petani responden umumnya kurang dari 1 ha, hanya sekitar 35% yang lebih besar dari 1 ha.

(25)

10

sebanyak 68% petani melakukan pola tanam dengan tiga kali tanam dalam satu tahun berupa padi-padi-palawija dan sisanya melakukan dua kali tanam dalam satu tahun yaitu padi-padi (Gambar 3).

Petani dengan pola tanam padi-padi-palawija, sebagian besar biasanya memulai penanaman padi pertama saat awal musim hujan yaitu awal bulan November dan persiapan dilakukan pada bulan Oktober, sehingga pada awal musim hujan penanaman telah siap (Gambar 3). Penanaman padi kedua dapat dilaksanakan pada bulan Februari saat musim hujan belum berakhir sehingga pada saat musim kemarau Juni hingga Oktober air hujan masih cukup tersedia untuk penanaman palawija. Namun ada juga beberapa petani responden di beberapa kecamatan melakukan penanaman padi pertama bulan Januari, dan kedua pada bulan Mei sehingga saat menjelang panen tanaman sering mengalami defisit air (kekeringan) sehingga hasil tanaman menurun.

Hasil survei menunjukkan jenis palawija yang banyak ditanam adalah jagung dan ubi-ubian. Rata-rata hasil tanaman padi dari 35 petani pada musim tanam pertama lebih tinggi dibanding pada musim tanam kedua (Gambar 4). Hasil padi untuk musim tanam pertama (MT 1) ialah sekitar 4.2 ton/ha sedangkan untuk MT 2 hanya sekitar 3.0 t/ha. Padi MT 2 umumnya mengalami cekaman

Gambar 4 Rata-Rata Hasil Tanaman Petani Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Subang Berdasarkan Hasil Survei

Padi

Musim Tanam 1 Musim Tanam 2 Musim Tanam 3

(26)

11 kekeringan sehingga banyak bulir-bulir padi yang kosong. Untuk palawija (jagung), hasil dapat mencapai 5.0 ton/ha.

Kegiatan usaha tani padi dapat dibagi ke dalam 5 tahapan, yaitu persemaian, pengolahan, penanaman, pemeliharaan (penyiangan, pemupukan, penyemprotan) dan panen (Balitbang 2007). Hasil survei menunjukkan petani di Kabupaten Subang lebih banyak menanam padi varietas IR 64, Ciherang dan Situ Bagendit. Penanaman padi pada MT 1 umumnya menggunakan varietas berumur panjang sekitar 110-120 hari (IR 64 dan Ciherang), sedangkan untuk MT 2 menggunakan varietas yang berumur pendek, diantaranya Situ Bagendit. Pupuk yang digunakan ialah Urea, TSP, dan KCL. Dosis pupuk yang diberikan petani di Kabupaten Subang bervariasi. Dosis rekomendasi yang dikeluarkan Dinas Pertanian Kabupaten Subang ialah 300 kg/ha pupuk anorganik dan 5 ton/ha untuk pupuk organik. Jarak tanam padi yang digunakan petani di Kabupaten Subang cukup beragam, yakni berdasarkan metode SRI pada jarak 25 × 25 cm, 30 × 30 cm, dan 40×40 cm. Namun sebagian besar petani sawah tadah hujan di Kabupaten Subang menggunakan jarak tanam 25 × 25 cm, artinya menggunakan benih yang lebih banyak dibanding jarak tanam lainnya. Pelaksanaan kegiatan pengolahan lahan, umumnya sudah menggunakan traktor, karena selain menghemat waktu, pengolahan tanah dengan menggunakan traktor juga menghemat biaya dibanding menggunakan tenaga ternak.

Kejadian Iklim Ekstrim dan Dampaknya pada SUT

Kejadian iklim ekstrim yang sering terjadi di Kabupaten Subang ialah kekeringan, khususnya bagi petani padi sawah tadah hujan. Survei menunjukkan bahwa sekitar 80 % petani mengalami kegagalan panen yang disebabkan oleh kejadian kekeringan. Petani di Kabupaten Subang jarang mengalami kejadian banjir, kalaupun pernah terjadi tidak berdampak terlalu besar terhadap hasil pertanian mereka. Sebagian besar petani sawah tadah hujan di Kabupaten Subang mengalami kejadian kekeringan tahun 2006, 2007 dan 2012 dan yang terparah ialah pada tahun 2012 (Gambar 5). Hampir seluruh petani mengalami kekeringan pada tahun 2012, dimana suhu relatif tinggi dan lama kemarau lebih panjang.

Analisis terhadap data hujan tahun 2006, 2007 dan 2012 menunjukkan hujan pada tahun tersebut jauh lebih rendah dibanding rata-rata (Gambar 5). Petani

Gambar 5 Hasil Survei Persentase Kekeringan dan Curah Hujan Tahun 2006, 2007 dan 2012 di Kabupaten Subang

0

(27)

12

mulai mengalami kekeringan dari bulan Mei dan kemudian persentase petani yang mengalami kekeringan meningkat jumlahnya pada bulan Juli, Agustus dan September. Hasil ini mengindikasikan bahwa kondisi hujan pada bulan Juli-September sangat penting dalam mendukung kegiatan usaha tani petani padi tadah hujan di Kabupaten Subang. Apabila hujan pada bulan ini jauh di bawah normal maka dapat dipastikan kejadian kekeringan pada petani sawah tadah hujan akan meluas. Menurut Oldeman (1975) curah hujan bulanan yang memungkinkan untuk ditanami padi ialah bila rata-rata curah hujannya lebih dari 100 mm/bulan. Gambar 5 menunjukkan curah hujan pada bulan ini kurang dari 50 mm, sementara curah hujan rata-rata (normal) sekitar 50 mm. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa curah hujan bulanan di atas 50 mm masih cukup baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi tadah hujan di Kabupaten Subang.

Persepsi Petani terhadap Keragaman Iklim dan Prakiraan Musim

Pemanasan global akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diperkirakan akan memicu terjadinya perubahan iklim global. Perubahan iklim global yang terjadi diantaranya meningkatnya kejadian iklim ekstrim (Solomon 2007). Terjadinya penyimpangan iklim yang ekstrim pada musim atau tahun tertentu dari normal akan semakin sering terjadi dan ini akan berdampak besar pada usaha tani. Kegagalan panen akibat kejadian iklim ekstrim akan semakin sering terjadi.

Berdasarkan hasil survei, sebagian besar petani menyatakan bahwa kondisi iklim saat ini khususnya hujan semakin tidak menentu dan suhu udara dirasakan semakin meningkat (Gambar 6). Petani menyatakan bahwa musim hujan semakin sulit diprediksi. Umumnya petani masih tetap berpedoman pada sistem prakiraan tradisional yang di turunkan oleh nenek moyang petani terdahulu yakni membaca pergerakan bintang dan gejala alam lainnya. Misalnya adanya guntur yang menggelegar pada akhir musim kemarau digunakan sebagai tanda akan mulai musim hujan. Diakui oleh petani bahwa sistem prakiraan tradisional sedikit membantu petani meskipun banyak juga yang tidak tepat. Informasi prakiraan yang dikeluarkan BMKG belum banyak yang digunakan, dan sebagian petani masih lebih percaya kepada prakiraan tradisional. Secara umum sebagian besar petani dalam menentukan waktu tanam hanya berdasarkan pengalaman mereka tahun-tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan informasi iklim yang disosialisasikan oleh penyuluh, kelompok tani atau pemerintah daerah setempat (Gambar 7).

Gambar 6 Keragaman Iklim yang Dirasakan Petani di Kabupaten Subang

31%

8%

61% Suhu meningkat

Tidak Tahu

(28)

13

Upaya Adaptasi yang dilakukan Petani

Mundurnya awal musim hujan, merupakan salah satu masalah yang dihadapi petani padi sawah tadah hujan. Bibit di persemaian yang sudah siap dipindahkan ke lapangan seringkali tidak dapat dilakukan karena musim hujan belum masuk. Petani seringkali terlanjur menyiapkan persemaian terlalu cepat

karena tertipu oleh terjadinya hujan tipuan atau „false rain‟. False rain ialah

hujan yang terjadi satu atau beberapa kali berturut-turut pada awal musim hujan yang dianggap sebagai pertanda sudah masuk musim hujan (Boer et al. 2007). Namun demikian setelah itu diikuti oleh hari tidak hujan yang panjang. Hujan yang terjadi awal September memicu petani untuk mulai menanam karena berasumsi MH sudah mulai padahal belum, sehingga pertumbuhan awal terganggu (Boer et al. 2007). Hal ini akan berakibat pada kegagalan panen atau mendapatkan hasil yang rendah karena kualitas bibit yang buruk (MH mundur sehingga bibit tersimpan terlalu lama).

Salah satu upaya petani yang dilakukan untuk mengatasi ini ialah dengan menerapkan sistem gogo rancah. Benih langsung ditanam pada lahan dan benih akan tumbuh apabila kondisi air tanah sudah cukup basah yaitu setelah musim hujan benar-benar masuk. Bentuk Adaptasi lain ialah dengan menerapkan sistem semai kering, dimana semai dipersiapkan di tegalan jadi saat hujan sudah masuk petani bisa langsung tanam tanpa harus menyiapkan persemaian di sawahnya.

Disamping itu, upaya adaptasi yang dilakukan petani sawah tadah hujan saat terjadi kekeringan, khususnya di musim kemarau ialah dengan membuat embung atau kolam dan bersama-sama membuat sumur bor/pompa (Gambar 8). Namun masih ada beberapa petani yang tidak melakukan upaya apapun untuk mengatasi bencana kekeringan yang terjadi. Disamping itu, pengadaan air dengan memanfaatkan air tanah atau mengangkut air dari sumbernya dari permukaan rendah ke lahan yang akan diairi atau lebih dikenal dengan pompa irigasi biasanya dilakukan petani secara bersama-sama. Namun demikian, pemanfaatan teknologi ini membutuhkan biaya cukup besar, khususnya untuk pembuatan sumur

Gambar 7 Penerimaan Informasi Iklim oleh Petani di Kabupaten Subang

63%

11%

26% Pengalaman

Kelompok Tani Keduanya

Gambar 8 Upaya Adaptasi yang Dilakukan Petani di Kabupaten Subang

(29)

14

bor/pompa. Oleh karena itu, kebanyakan petani secara individu lebih memilih membuat kolam sebagai sumber air alternatif karena biaya pembuatannya sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan pembuatan sumur bor/pompa (Gambar 8).

Hasil Simulasi Model DSSAT untuk Pendugaan Potensi Hasil Padi

Validasi Simulasi Model DSSAT

Hasil validasi model simulasi DSSAT menunjukkan bahwa model cukup mampu untuk mensimulasi hasil tanaman yang mengikuti data observasi (Gambar 9). Hasil padi dari 35 petani sawah tadah hujan yang melakukan penanaman dari November 2011 – Januari 2012 tidak jauh berbeda dengan hasil dari luaran DSSAT (Gambar 12). Koefisien determinasi (R2) persamaan hubungan antara hasil observasi dengan hasil luaran DSSAT mencapai 0.697 atau koefisien korelasi sekitar 0,83 (Gambar 10). Perbedaan hasil antara observasi dengan luaran DSSAT disebabkan karena faktor pembatas pertumbuhan pada model DSSAT hanya dibatasi faktor ketersediaan pupuk nitrogen dan air saja sementara yang dari petani juga masuk faktor pembatas lain seperti pupuk P dan K serta lainnya. Dalam analisis validasi ini, model DSSAT dijalankan dengan menggunakan pemupukan dosis 200 kg/ha untuk pupuk anorganik (urea), pupuk organik berupa pupuk kandang dengan dosis 5 ton/ha, jarak tanam 30 × 30 cm.

Gambar 10 Grafik Hubungan Hasil Produksi Simulasi dan Observasi 2

(30)

15 Keragaman Hasil Padi Menurut Waktu Tanam Pada Berbagai Perlakuan Budi Daya penanaman musim kemarau bisa lebih rendah dari 1.0 ton/ha. Penanaman musim hujan mulai dari Oktober sampai April memberikan hasil tinggi karena kebutuhan air tanaman selalu terpenuhi, dimana curah hujan pada bulan-bulan ini umumnya di atas 50 mm, sementara penanaman musim kemarau yaitu Mei-September tidak demikian dimana curah hujan selalu lebih rendah dari 50 mm (lihat Gambar 3). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Zandstra et al. (1981) bahwa kebutuhan air tanaman padi tadah hujan pada bulan ke-1 lebih besar 50 mm, pada bulan ke-2 lebih besar dari 100 mm dan pada bulan ke-3 curah hujan lebih besar dari 40 mm.

Gambar 11 Rata-rata Hasil Simulasi Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakukan dan Waktu Tanam

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

H

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

H

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

H

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

H

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

H

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

H

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

H

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

H

108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360

(31)

16

Lebih lanjut, hasil analisis juga menunjukkan bahwa peningkatan pemberian pupuk dari 150 sampai 300 kg/ha pada penanaman musim kemarau hanya meningkatkan hasil sedikit tidak sebesar pada penanaman musim hujan (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa pada kondisi air yang terbatas, pemberian pupuk yang lebih tinggi tidak disarankan. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rouw (2008) terhadap padi sawah di Kabupaten Merauke, Papua. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh bahwa penambahan pupuk anorganik pada semua kombinasi perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil padi sawah akan turun pada dosis pupuk yang lebih tinggi.

Jarak tanam juga mempengaruhi hasil. Gambar 11 menunjukkan bahwa secara keseluruhan penanaman padi dengan jarak tanam 40 × 40 cm memberikan hasil lebih tinggi dibanding yang lain. Disamping itu juga terlihat adanya kecenderungan bahwa pemberian pupuk yang terlalu tinggi apabila jarak tanam tidak terlalu rapat akan menurunkan hasil tanaman. Pengaturan jarak tanam pada dasarnya menentukan lingkungan tumbuh tanaman yang baik, mempengaruhi kompetisi antar dan dalam tanaman sehingga tanaman memiliki kemampuan optimal memanfaatkan faktor lingkungannya sesuai karakter morfologi dan fisiologi (Harjadi 1984). Apabila pemberian pupuk yang tinggi tidak disertai populasi tanaman yang tinggi dapat menurunkan hasil tanaman karena dapat menganggu keseimbangan unsur hara dalam tanah dan menurunkan efiesiensi penggunaan unsur hara. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan pemberian pupuk dan kerapatan tanam persatuan luas dapat memberikan sumbangan kepada peningkatan hasil tanaman tersebut sampai pada batas kerapatan tanam dan dosis pupuk tertentu.

Penelitian lapangan yang telah dilakukan Yetti & Ardian (2010), pengaruh jarak tanam akan mempengaruhi gabah kering. Semakin lebar jarak tanam mengahasilkan berat gabah kering yang semakin meningkat. Jarak tanam yang rapat, tingkat saling menaungi antar daun tanaman cenderung meningkat, sehingga penerimaan sinar matahari tidak optimal. Tesar (1984) menyatakan bahwa tingkat laju asimilasi bersih sangat dipengaruhi oleh penyebaran sinar matahari pada tajuk tanaman, adanya daun yang saling menaungi akan dapat mengurangi laju asimilasi bersih. Salah satu cara untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik adalah dengan mengatur jarak tanam yang lebih lebar, karena persaingan dalam memperoleh unsur hara, air dan sinar matahari di antara tanaman menjadi lebih rendah. Masdar et al. (2006) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh pada jarak tanam yang rapat dapat mengakibatkan stres pada vigor sehingga menyebabkan perkembangan anakan menjadi terhambat. Lin et al. (2009) menyatakan jarak tanam yang lebar dapat memperbaiki total penangkapan cahaya oleh tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji. Hal ini yang diperkirakan meyebabkan jarak tanam 40 × 40 cm memberikan hasil padi yang lebih tinggi dibanding jarak tanam yang lain. Rata-rata dan simpangan baku hasil tanaman padi sawah tadah hujan pada berbagai perlakukan Jarak tanam dan pemupukan serta musim tanam dapat dilihat pada Tabel 2.

(32)

17 12. Dengan menggunakan definisi bawah waktu tanam optimum ialah tanggal tanam yang berada antara 10% dan 90% dari data sebaran maka periode waktu tanam optimum untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 3.

Mengacu pada Gambar 12 dan Tabel 3 diperoleh beberapa alternatif waktu penanaman padi sawah tadah hujan di Kabupaten Subang. Hasil analisis ini menunjukkan adanya indikasi bahwa dosis pupuk dan jarak tanam mempengaruhi waktu tanam optimum. Untuk budi daya tanpa penggunaan pupuk, waktu tanam sedikit lebih awal dibanding budi daya dengan penggunaan pupuk urea (dosis 150 kg/ha dan 300 kg/ha). Selang waktu tanam optimum untuk budi daya tanaman dengan menggunakan pupuk urea juga lebih panjang jika dibandingkan dengan yang tanpa pupuk urea. Secara umum, waktu tanam optimum ialah antara Julian day 310 (awal November) dan 380 (pertengahan Jaunari). Kondisi iklim rata-rata yang diterima tanaman selama periode tanam untuk waktu tanam optimum tersebut ialah radiasi surya 15.1 MJ/m2/hari, suhu udara 25.4 – 30.7 °C dan curah hujan 50 - 100 mm/bulan (Gambar 2). Kondisi iklim ini dapat merepresentasikan kondisi iklim yang ideal bagi tanaman padi sawah tadah hujan.

Secara keseluruhan diperoleh bahwa perlakuan teknologi budi daya 2c dapat meningkatkan hasil padi sawah tadah hujan yang umumnya berkisar antara 3 – 4 ton/ha (Setiobudi & Suprihatno 1996). Hasil rata-rata tertinggi dicapai untuk Tabel 3 Rata-rata dan Simpangan Baku Hasil Tanaman Padi Sawah Tadah Hujan

Pada Berbagai Perlakukan Jarak Tanam dan Pemupukan Jarak

Tanam

Musim Tanam

Pemupukan (Urea)

0 kg/ha 150 kg/ha 300 kg/ha Rerata Stdev Rerata Stdev Rerata Stdev 25 × 25 cm MH 2.61 0.28 4.37 0.60 3.78 0.37

MK 1.55 0.31 2.70 0.41 2.63 0.26 30 × 30 cm MH 2.67 0.25 4.41 0.60 3.95 0.31 MK 1.66 0.43 2.93 0.45 2.69 0.26 40 × 40 cm MH 2.75 0.23 4.62 0.48 4.06 0.36 MK 1.68 0.37 3.09 0.50 2.81 0.26 Catatan: MH, musim hujan dan MK, musim kemarau

Tabel 2 Tanggal Tanam Optimum Setiap Perlakuan Budi Daya di Kabupaten Subang

(33)

18

penanaman padi pada awal tanam bulan November-Desember (Julian Date 329-356) dengan jarak tanam 40 × 40 cm dengan pemberian tanpa pupuk anorganik, dosis pupuk anorganik rekomedasi, dan dosis pupuk anorganik ½ rekomendasi berkisar 2.4 – 4.12 ton/ha (Lampiran 6). Pengaruh pemberian pupuk organik 5 ton/ha dan anorganik sebesar 300 kg/ha sesuai rekomendasi pada tanaman padi menunjukkan hasil simulasi produksi tertinggi. Peranan pupuk kandang dalam peningkatan hasil tanaman telah banyak dibuktikan, salah satunya penelitian yang dilakukan Iqbal (2008), aplikasi pupuk kandang sebanyak 5 ton/ha nyata meningkatkan jumlah gabah dan jumlah gabah beras padi dibandingkan kontrol. Pupuk anorganik (urea) merupakan jenis pupuk kimia yang mengandung Nitrogen (N) berkadar tinggi. Unsur hara Nitrogen yang terkandung dalam pupuk urea ini sangat besar kegunaannya bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, seperti daun tanaman banyak mengandung butir hijau daun (chlorophyll) yang memiliki peranan sangat penting dalam proses fotosintesis. Pengaruh lainnya yaitu dapat mempercepat pertumbuhan tanaman (jumlah anakan) dan menambah kandungan protein tanaman. Hal ini lah yang menyebabkan penggunaan pupuk organik (kandang) dan anorganik (urea) sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, yang kemudian dapat meningkatkan hasil.

Model Pendugaan Hasil

Model untuk pendugaan hasil padi sawah tadah hujan ini menggunakan metode fungsi produksi. Model pendugaan hasil menggunakan persamaan regresi linear berganda, yaitu suatu teknik statistical yang digunakan untuk menganalisis variabel mana yang memberikan pengaruh terbaik diantara beberapa variabel Gambar 12 Sebaran Distribusi Hasil Simulasi Tanggal Tanam Optimum Padi Sawah Tadah

(34)

19 independen (faktor-faktor penentu hasil) terhadap peubah dependen (produksi padi) (Soekarwati 1991). Faktor-faktor hasil yang merupakan variabel bebas dalam usaha tani padi sawah tadah hujan adalah benih (X1) dan pupuk

anorganik/urea (X2) dan curah hujan (X3). Pengaruh pupuk organik tidak

dimasukkan pada persamaan regresi, karena jumlah pupuk organik yang diberikan pada masing-masing perlakuan budi daya adalah sama, sehingga pengaruhnya terhadap produksi dianggap tidak berpengaruh nyata. Tanggal tanam yang digunakan pada model pendugaan hasil padi sawah tadah hujan ini adalah untuk tanggal pananaman 15 Agustus – 15 April. Sehingga untuk pananaman padi selain bulan tersebut, model pendugaan hasil ini tidak layak digunakan.

Merujuk pada Gambar 12, dapat dilihat dengan jelas bahwa keragaman hasil padi sawah tadah hujan dipengaruhi oleh bentuk perlakuan dan musim tanam. Dengan menggunakan fungsi pendugaan hasil ditemukan bahwa hasil tanaman padi sawah tadah hujan (ton/ha) dapat diduga berdasarkan besar jarak tanam (X1 =

kg benih/ha), pemberian pupuk (X2 = kg urea/ha), dan hujan yang diterima selama

musim tanam (X3= mm). Bentuk persamaan untuk pendugaan hasil ialah sebagai

berikut:

Ln Y = 3.14 – 0.0484 Ln X1 + 0.0052 Ln X2 + 0.0095 Ln X3; R2=75.6%

Dimana Hasil model regresi untuk usaha tani padi sawah tadah hujan diketahui bahwa nilai P-value sebesar 0.000 lebih kecil dari taraf nyata 5%, sehingga berdasarkan uji-F dapat diambil kesimpulan bahwa tolak H0 artinya benih (jarak tanam), pupuk anorganik (urea) dan jumlah curah hujan bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil padi. Berdasarkan analisis regresi diperoleh koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.756 (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 75.6% benih (jarak tanam), pupuk anorganik (urea) dan curah hujan dapat menjelaskan keragaman hasil padi.

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa benih (X1) mempunyai hubungan

negatif terhadap produksi padi. Artinya setiap kenaikan 1% benih akan menurunkan produksi padi sebesar 0.0484%, hal ini menunjukkan penggunaan benih melebihi dari anjuran. Penggunaan benih ini berhubungan dengan pengaruh jarak tanam pada perlakuan budi daya. Hasil simulasi model tanaman DSSAT perlakuan 2c yaitu penggunaan jarak tanam 40 × 40 cm membutuhkan jumlah bibit yang lebih sedikit dibanding jarak tanam 25 × 25 cm, sehingga memperoleh hasil padi yang optimum. Jika dilihat dari nilai statistik X1 (benih), nilai P-value

(35)

20

lebih kecil pada taraf α 5%,menunjukkan bahwa benih berpengaruh nyata

terhadap hasil tanaman padi.

Faktor penentu hasil padi pada variabel jumlah pupuk anorganik (urea) yang digunakan untuk keperluan analisis lebih menitik beratkan kepada pencapaian realisasi pemupukan rekomendasi yang disarankan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Subang. Hasil persamaan regresi pada model fungsi produksi yang diperoleh terlihat bahwa pupuk anorganik (urea) secara statistik berpengaruh nyata terhadap hasil padi, dalam taraf α 5% dengan nilai P-value sebesar 0.001 (Tabel 4). Pupuk urea memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0.0052 yang berarti kenaikan 1% pupuk urea, maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.0052%. Pengaruh variabel pupuk urea (X2) memiliki hubungan

positif terhadap produksi padi, artinya penggunaan jumlah pupuk anorganik (urea) rekomendasi akan meningkatkan hasil produksi padi. Pemupukan yang dilandaskan pada rekomendasi akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimal karena unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan tersedia dalam jumlah yang cukup yang berpengaruh kepada pencapaian hasil padi sawah tadah hujan yang tinggi.

Berdasarkan hasil regresi dapat diketahui bahwa variasi curah hujan (X3)

memiliki hubungan positif dengan hasil padi. Nilai koefisien curah hujan adalah 0.0095 menunjukkan bahwa setiap peningkatan jumlah curah hujan 1% akan meningkatkan hasil sebesar 0.0095%. Jika dilihat dari nilai P-value variabel curah hujan yang lebih besar dari taraf nyata 5% menunjukkan bahwa curah hujan berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah tadah hujan di Kabupaten Subang untuk tanggal tanam antara bulan Agustus-April. Hal ini menjelaskan bahwa keragaman curah hujan mempengaruhi hasil padi sawah tadah hujan. Penilaian Benefit Cost Rasio (B/C Rasio) pada Berbagai Perlakuan Budi Daya

Benefit Cost Rasio merupakan salah satu metode kelayakan atau keuntungan suatu teknologi, dalam hal ini penggunaan teknologi budi daya terhadap hasil produksi tanaman padi. Keuntungan (benefit) diperoleh dari produksi simulasi yang dihasilkan dikalikan dengan harga gabah (Estiningtyas 2011). Sedangkan komponen biaya (cost) yang dikeluarkan petani antara lain adalah untuk benih, pupuk, obat-obatan pembasmi hama dan penyakit serta herbisida, upah tenaga kerja mulai dari persiapan lahan hingga panen, sewa traktor, sewa lahan, dan sebagainya.

(36)

21 Jika dibandingkan dengan nilai B/C rasio pada perlakuan jumlah pupuk yang sama tetapi dengan jarak tanam yang berbeda, terlihat bahwa nilai B/C rasio mengalami penurunan seiring dengan semakin rapatnya jarak tanam yang dilakukan. Hal ini disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk alternatif budi daya pada jarak tanam yang lebih rapat tidak sebanding dengan produksi padi yang dihasilkan pada perlakuan budi daya tersebut

Biaya atau Cost yang dikeluarkan untuk setiap perlakuan budi daya diperlihatkan pada tabel di Lampiran 8 dan Lampiran 9. Perlakuan budi daya yang memiliki

cost lebih besar adalah pada perlakuan yang menggunakan pupuk anorganik (urea), seperti pada perlakuan 2c menggunakan lebih banyak pupuk anorganik (urea), sedangkan pada perlakuan budi daya 3c menggunakan ½ jumlah pupuk rekomendasi dengan jarak tanam yang sama. Namun akan mempengaruhi hasil padi yang diperoleh, dimana hasil produksi dengan alternatif budi daya 2c akan lebih tinggi dibanding perlakuan budi daya 3c. Pengeluaran biaya tertinggi ialah jika dilakukan budi daya pada jarak tanam 25 × 25 cm dengan penggunaan pupuk anorganik (urea). Biaya yang lebih tinggi ini disebabkan pengeluaran jumlah benih yang digunakan (pengaruh jarak tanam) tinggi serta akan berpengaruh pada jumlah tenaga kerja yang diperlukan. Secara keseluruhan nilai B/C rasio yang diperoleh dari hasil analisis terlihat bahwa hampir semua perlakuan budi daya yang dilakukan menunjukkan nilan B/C rasio positif (B/C > 1). Hanya satu perlakuan budi daya yang memiliki nilai B/C rasio negatif (B/C < 1), yaitu pada perlakuan jarak tanam 25 × 25 cm dan tanpa penggunaan pupuk urea. Sehingga perlakuan budi daya ini tidak memberikan keuntungan apapun (tidak layak digunakan).

Analisis Strategi Risiko Kekeringan Padi Sawah Tadah Hujan

Hubungan Hasil Padi dengan Fenomena ENSO

Fenomena ENSO (El Nino dan La Nina) yang terjadi selama periode tahun 1991-2011 ditunjukkan oleh Gambar 14, diketahui bahwa tahun El Nino terjadi pada 1991, 1994, 1997, 2002, 2004, 2006, dan 2009. Hal ini sesuai dengan pengelompokkan tahun-tahun Normal, El Nino, dan La Nina berdasarkan indeks ONI (Oceanic Nino Index) yang disajikan pada Lampiran 10. Gambar 14 dan tabel pada Lampiran 10 selanjutnya diacu untuk analisis penentuan periode El

Gambar 13 Hubungan B/C Rasio dan Simulasi Hasil Optimum Padi Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Subang

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50

(37)

22

Nino maupun La Nina. Periode El Nino dan La Nina yang digunakan untuk melihat pengaruh fenomena ENSO (SST Nino 34) terhadap hasil padi adalah tahun 1997-1999.

Kejadian kekeringan di Indonesia pada umumnya berkaitan dengan fenomena El Nino. Kejadian El Nino dapat meyebabkan anomali hasil padi, yaitu penyimpangan hasil dari hasil rata-rata. Hubungan antara hasil padi dengan fenomena ENSO (terutama SST Nino 34) ditunjukkan oleh Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15 diketahui bahwa hasil padi dipengaruhi oleh fenomena ENSO, terutama saat terjadi El Nino kuat tahun 1997-1998. Selama periode tersebut (1997-1998) padi mengalami penurunan hasil dari hasil rata-rata (1991-2011). Sementara kejadian La Nina pada tahun 1998-1999 menyebabkan hasil padi sama dengan hasil padi rata-rata, bahkan penanaman pada bulan-bulan tertentu padi mengalami peningkatan hasil di atas rata-rata. Selanjutnya, periode tahun 1997-1999 digunakan untuk analisis penentuan bulan-bulan kering dan karakteristik curah hujan sebagai indikator penyebab iklim ekstrim (kekeringan).

Karakteristik ENSO dan hubungannya dengan curah hujan

Curah hujan sebagai unsur iklim yang sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air selama pertanaman, sehingga fluktuasi penurunan curah hujan Gambar 15 Perbandingan Hasil Simulasi Padi dengan Anomali Nino 34 Periode

1991 2011

Gambar 14 Tahun-Tahun El Nino dan La Nina periode 1991-2011 -3

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(38)

23 selama pertumbuhan tanaman akan mempengaruhi keragaman hasil tanaman. Berdasarkan gambaran pola curah hujan stasiun Sukamandi, Kabupaten Subang (Gambar 2), diketahui bahwa daerah tersebut termasuk dalam pola monsunal dengan satu puncak hujan. Aldrian dan Susanto (2003) memaparkan bahwa El Nino dan La-Nina di daerah dengan pola hujan monsun kuat pengaruhnya, pada daerah berpola equatorial pengaruhnya lemah, sedangkan pada daerah berpola lokal tidak jelas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kejadian El Nino dan La-Nina kuat pengaruhnya terhadap keragaman curah hujan di Kabupaten Subang.

Karakteristik ENSO (terutama kejadian El Nino) dinyatakan dengan kondisi curah hujan menyimpang dari kondisi normalnya. Gambar 16 terlihat bahwa saat terjadi El Nino kuat tahun 1997-1998, curah hujan di Kabupaten Subang berada di bawah normal (dibawah rata-rata jangka panjangnya). Hadi et al.

(2003) memaparkan bahwa dampak El Nino di wilayah Indonesia yang utama adalah memperparah atau memperpanjang musim kering. Tingkat atau keragaman data curah hujan sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO yang ditunjukkan oleh nilai SST Nino 34 (Gambar 16).

Kondisi curah hujan pada tahun-tahun El Nino dapat dikategorikan sebagai anomali iklim (Gambar 16), yang dicirikan oleh mundurnya awal musim hujan atau periode kering terjadi lebih awal dan pola distribusi curah hujan yang menyimpang dari kondisi normal terutama pada bulan-bulan di musim hujan (mulai bulan Oktober). Permulaan musim hujan pada keadaan normal dimulai bulan Oktober atau awal November, sedangkan pada tahun El Nino (1997-1998) musim hujan baru mulai pada bulan Desember atau Januari tahun berikutnya (Gambar 16). Penurunan jumlah curah hujan secara drastis pada periode bulan Mei-Oktober (bulan kering) menyebabkan pertumbuhan tanaman padi menjadi terhambat karena kekurangan air. Hal ini lah yang menyebabkan hasil padi pada penanaman bulan tersebut menurun dari hasil padi rata-rata (Gambar 15) dan jangka waktu tanam petani menjadi lebih pendek.

Berbeda dengan kejadian El Nino, pada saat terjadi La Nina, musim hujan akan datang lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih lama, sehingga waktu Gambar 16 Hubungan Curah Hujan dengan Anomali SST Nino 34 Periode 1997-1999

(39)

24

tanam padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun. Hal ini lah yang menyebabkan pentingnya penggunaan indeks ENSO untuk memprakirakan masuknya awal musim hujan. Sehingga petani dapat menentukan waktu dan pola tanam yang tepat untuk meningkatkan hasil padi.

Strategi Risiko Kekeringan Padi Sawah Tadah Hujan

Hasil survei menyatakan bahwa kegagalan panen akibat kekeringan menempati urutan pertama (sekitar 80% responden) di Kabupaten Subang. Berdasarkan nilai indeks ENSO (SST Nino 34) pada Gambar 14 diketahui bahwa terjadi 7 tahun El Nino selama periode 1991-2011. Selama kejadian El Nino ini meyebabkan terjadinya penurunan hasil padi sawah tadah hujan. Penyebab penurunan hasil padi tersebut adalah: 1) El Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman padi pada MH, menjadi mundur dari biasanya. Akibatnya tanaman padi kedua mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi karena hujan sudah mengalami penurunan yang besar. 2) El Nino menyebabkan hujan pada musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. 3) El Nino menyebabkan awal musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua mengalami cekaman kekeringan. Kekeringan sering terjadi antara bulan Mei-Oktober dengan puncaknya bulan Juli-September.

Peluang untuk memperoleh hasil padi di atas rata-rata diperlihatkan pada Gambar 17, dimana permulaan penanaman pada tanggal tanam yang berbeda menghasilkan peluang yang berbeda pula. Peluang 100% (hasil padi optimum) tercapai jika penanaman padi dimulai antara bulan November-Februari (Gambar 17). Penurunan hasil padi di atas rata-rata terjadi jika penanaman dilakukan setelah bulan Februari, bahkan penanaman padi pada bulan April-Agustus akan menyebakan gagal panen akibat kekeringan. Nilai peluang masing-masing tanggal tanam ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menghindari penurunan hasil padi akibat kekeringan.

Gambar 18 menunjukkan bahwa penurunan hasil padi telah terjadi jika penanaman dilakukan pada tanggal 1 April periode 1991-2011, yang artinya penanaman setelah tanggal tersebut produksi padi akan semakin menurun akibat cekaman kekeringan. Penurunan hasil padi tertinggi terjadi jika penanaman

(40)

25 dilakukan antara bulan Juli-Agustus. Lebih lanjut, penanaman padi setelah bulan Agustus tingkat penurunan hasil akan semakin berkurang karena pasokan air (curah hujan) yang dibutuhkan masih bisa terpenuhi pada bulan-bulan selanjutnya.

Pola dan jumlah curah hujan akan sangat menentukan hasil padi sawah tadah hujan, karena kebutuhan air sebagian besar sawah disuplai dari embung atau kolam permanen yang biasanya dibuat oleh petani di samping lahan sawah mereka, dimana sumber airnya hanya bergantung pada hujan. Mundurnya permulaan musim hujan disiasati dengan berbagai cara oleh petani di Kabupaten Subang, seperti memanfaatkan embung, air tanah dengan pompa, atau menyedot air dari saluran primer/sekunder, guna memajukan tanam padi untuk mengejar musim tanam yang terlambat. Hal tersebut dilakukan oleh petani yang memiliki sumber dana untuk pengadaan air di musim kering atau secara berkelompok petani bersama-sama mebuat sumur pantek atau sumur pompa di lahan sawah mereka.

Alternatif lainnya yang bisa dilakukan petani sawah tadah hujan adalah dengan mengatur pola tanam dan waktu tanam yang tepat agar terhindar dari kejadian kekeringan. Petani dapat melakukan permulaan penanaman padi pertama pada awal musim hujan antara akhir bulan Oktober sampai Desember, karena pada bulan-bulan tersebut jumlah curah hujan masih terpenuhi untuk pertumbuhan tanaman padi. Pengaturan pola tanam bila terjadi El Nino adalah dengan memundurkan waktu tanam padi atau mengganti dengan tanaman palawija. Petani disarankan untuk mempercepat pelaksanaan masa tanam padi musim tanam kedua (setelah panen padi musim tanam pertama biasanya petani akan menunda penanaman selanjutnya 1-2 bulan), dimana biasanya petani melakukan penanaman antara bulan April-Juni yang berakibat pada saat masa pertumbuhan padi dan panen akan mengalami kekurangan air akibat kekeringan. Sementara itu, Balitklimat (2006) juga memberikan sejumlah saran untuk mengantisipasi penyimpangan iklim terutama kekeringan, diantaranya penghematan dan efisiensi

Gambar 18 Perbandingan Beberapa Tanggal Tanam yang Menunjukkan Penurunan Hasil Padi (Bulan Kering) Periode 1991-2011

(41)

26

penggunaan air, peningkatan jumlah penampungan air hujan, pemanfaatan air permukaan dan air tanah, dan penyesuaian pola dan jenis tanaman dengan ketersediaan air.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil survei menunjukkan bahwa sebesar 65% petani melakukan awal tanam pada bulan November dan sisanya bulan Januari. Rata-rata hasil padi petani sawah tadah hujan di Kabupaten Subang untuk tanaman padi pada musim tanam pertama (4.3 ton/ha) lebih tinggi dibanding produksi padi pada musim kedua (2.5 ton/ha). Hasil survei dan wawancara dengan 35 petani sawah tadah hujan diketahui sekitar 80% dari kegagalan panen disebabkan oleh kejadian kekeringan antara bulan Mei-Oktober. Beberapa petani di Kabupaten Subang telah melakukan tindakan atau upaya adaptasi untuk mengatasi defisit air akibat kekeringan pada lahan sawah mereka, seperti membuat embung atau kolam dan bersama-sama membuat sumur bor/pompa di wilayah mereka.

Curah hujan bulanan di atas 50 mm masih cukup baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi tadah hujan di Kabupaten Subang. Hasil analisis keragaman hasil padi (simulasi model tanaman DSSAT) menurut waktu tanam menunjukkan penanaman musim hujan (Oktober-April) dapat mencapai hampir 6.0 ton/ha, sedangkan pada penanaman musim kemarau (Mei-September) bisa lebih rendah dari 1.0 ton/ha. Kondisi air yang terbatas, pemberian pupuk yang lebih tinggi tidak disarankan, serta apabila jarak tanam tidak terlalu rapat akan menurunkan hasil tanaman. Peningkatan pemberian pupuk dan kerapatan tanam persatuan luas dapat memberikan sumbangan kepada peningkatan hasil tanaman tersebut sampai pada batas kerapatan tanam dan dosis pupuk tertentu.

Keragaman curah hujan dan anomali hasil padi erat kaitannya dengan fenomena ENSO (SST Nino 34). Saat terjadi El Nino padi mengalami penurunan hasil dari hasil padi rata-rata. Sementara kejadian La Nina menyebabkan hasil padi sama dengan hasil padi rata-rata, bahkan penanaman pada bulan-bulan tertentu padi mengalami peningkatan hasil di atas rata-rata. Kondisi curah hujan pada tahun-tahun El Nino dicirikan oleh mundurnya awal musim hujan atau periode kering terjadi lebih awal dan pola distribusi curah hujan yang menyimpang dari kondisi normal terutama pada bulan-bulan di musim hujan. Sementara saat terjadi La Nina, musim hujan akan datang lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih lama, sehingga waktu tanam padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun.

Saran

Gambar

Grafik Pola Hasil Produksi Simulasi dan Observasi
Gambar 1  Diagram Tahapan Analisis
Gambar 3  Hasil Survei Pola Tanam dan Waktu Tanam Petani di Kabupaten
Gambar 5  Hasil Survei Persentase Kekeringan dan Curah Hujan Tahun 2006,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berpedoman pada Perpres RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah beserta turunannya serta dokumen pengadaan dan Berdasarkan Berita Acara Hasil

Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian dengan judul Pengaruh Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Bank Syariah Mandiri

Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dananya kepada pihak nasabah yang membutuhkan dana. Pembiayaan sangat bermanfaat bagi bank syariah,

Bagi yang ingin melihat jurnal-jurnal ilmiah lain, yang diterbitkan oleh Minda Masagi Press, badan penerbitan milik ASPENSI (Asosiasi Sarjana Pendidikan Sejarah Indonesia) di

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitri Nurhayati (2012) terhadap peserta didik kelas VIII SMP menunjukkan bahwa LKS dengan pendekatan open ended baik untuk

Menimbang bahwa setentang Majelis hakim tingkat pertama telah keliru mengadili dan mempertimbangkan perkara a quo karena dalam pertimbangannya menyatakan terbukti

the writer fin ally completed this study report entitled “The Effectiveness of Word Wall Str ategy to Enhance Students’ Vocabulary Mastery of Text” as a partial fulfilment

Studi pendahuluan dilakukan untuk memperoleh data jumlah pendengar aktif pada acara CBL school show , bentuk program yang telah berjalan, permasalahan yang