REPRESENTASI MASKULINITAS PADA IKLAN MINUMAN
ENERGI M-150 VERSI “HERO” DI TELEVISI
SKRIPSI
Oleh:
LEGA MARETA PANDUWINATA
NPM. 0743010011
Kepada
YAYASAN KEJUANGAN PANGLIMA BESAR SUDIRMAN
FAKULTAS ILMU POLITIK DAN SOSIAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
REPRESENTASI MASKULINITAS PADA IKLAN MINUMAN ENERGI M-150
VERSI “HERO” DI TELEVISI
Disusun Oleh :
LEGA MARETA PANDUWINATA 0743010011
Telah disetujui untukmengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Yuli Candrasari, S.Sos, M.Si NPT. 3 7107 94 0027 1
Mengetahui,
DEKAN
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Akhir yang diberi judul “Representasi Maskulinitas Pada Iklan M-150 versi ‘Hero’ di
Televisi”.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Ibu Yuli
Candrasari selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan serta dorongan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Proposal Penelitian ini. Pada Kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Dra.Hj.Suparwati Msi. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito S.Sos Msi, selaku kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.
3. Almarhum Bapak, karena kasih sayangmu selalu menjadi motivasi langkah hidup
penulis.
4. Ibu, atas doa, ridho, nasehat dan dukungan, serta kasih sayang yang selalu
mendorong penulis untuk tetap semangat, terima kasih.
5. Kakakku, Mas Tatag atas kasih sayang, doa dan dorongan untuk terus maju,
terima kasih.
6. Tyok, atas doa, dukungan dan kasih sayang untuk mendukung penulis
menyelesaikan Proposal Penelian ini, terima kasih.
7. Bu Yuli dan Pak Banu sekeluarga, penulis tidak dapat berjalan sejauh ini kalau
bukan karena kalian, terima kasih.
8. Debby, Soffi, Rizka, Kiki, Ovi, dan teman-teman Ilmu Komunikasi angkatan
2007 semua, Love you all
9. Sahabat-sahabat yang penulis yang tidak dapat di sebutkan satu persatu terima
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Proposal
Penelitian ini. Untuk itu diharapkan kritik dan saran yang dapat membangun
semangat penulis dalam menyusun penyusunan proposal ini.
Surabaya, Maret 2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….….…i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI…………..……….………..…ii
1.1. Latar Belakang Masalah………..1
1.2. Perumusan Masalah………...8
1.3. Tujuan Penelitian……….…8
1.4. Manfaat Penelitian………...8
BAB II KAJIAN PUSTAKA……….9
2.1. Landasan Teori……….9
2.1.1. Periklanan………9
2.1.2. Televisi Sebagai Media Iklan……….11
2.1.3. Pendekatan Semiotik Dalam Iklan Televisi………...12
2.1.4. Analisis Semiotika……….14
2.1.5. Representasi………...16
2.1.6. Manfaat Warna Dalam Iklan………..20
2.1.7. Identitas Maskulinitas………22
2.2 Kerangka Berpikir………..28
BAB III METODE PENELITIAN……….29
3.1. Metode Penelitian………..29
3.2. Kerangka Konseptual……….30
3.2.1. Corpus………30
3.2.2. Definisi oprasional Konsep………30
3.2.2.1.Representasi………...30
3.3. Teknik Pengumpulan Data……….………35
3.4. Tekik Analisis Data………35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………37
4.1 Gambaran Objek Penelitian………...37
4.2 Gambaran Umum Iklan Minuman Energi M150 versi Hero di Televisi...38
4.3 Penyajian Data………...39
4.4 Analisis Data………..40
4.4.1 Paradigma dan Sintagma Pada Level Realitas, Level Representasi, dan Level Ideologi……….40
4.4.1.1Scene 1………...40
4.4.1.2Scene 2………...42
4.4.1.3Scene 3………...44
4.4.1.4Scene 4………...47
4.4.1.5Scene 5………...50
4.4.1.6Scene 6………...52
4.4.1.7Scene 7………...55
4.5 Interpretasi Keseluruhan………58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...64
5.1 Kesimpulan………64
5.2 Saran………..64
DAFTAR PUSTAKA………...66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Tampilan Scene 1………40
Gambar 4.2 Tampilan Scene 2………....42
Gambar 4.3 Tampilan Scene 3………44
Gambar 4.4 Tampilan Scene 4………47
Gambar 4.5 Tampilan Scene 5………50
Gambar 4.6 Tampilan Scene 6………52
DAFTAR LAMPIRAN
ABSTRAKSI
Lega Mareta, Iklan Minuman Energi M-150 Dengan Tema “Hero”, Tentang Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Minuman Energi M-150 Dengan Tema “Hero” di Televisi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi maskulinitas dalam iklan Minuman Energi M-150 Versi “Hero” di televisi.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah periklanan, semiotik, representasi, analisis John Fiske semiotika dalam iklan, dan respon psikologi warna.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sedangkan unit analisis yang digunakan yaitu semua tanda berupa gambar, tulisan, dan warna yang menjadi latar belakang dalam iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” di televisi, yang kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan level realitas, level representasi dan level ideologi. Selanjutnya data tersebut akan dianalisis berdasarkan semiotika John Fiske dan data dari hasil penelitian ini kemudian digunakan untuk mengetahui representasi maskulinitas dalam iklan Minuman Energii M-150 versi “Hero” di televisi tersebut ke dalam sistem tanda komunikasi yang berupa gambar-gambar, tulisan, warna dan suara yang terdapat dalam iklan tersebut.
Dari data yang diperoleh, dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan teori maka akan dapat disimpulkan bahwa iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” ini sarat akan pesan berupa pandangan akan nilai-nilai maskulinitas dan dapat menambah wawasan bagi pemirsa yang melihat iklan tersebut tentang konsep-konsep tentang maskulinitas.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Kemajuan kehidupan sosial masyarakat saat ini tidak lepas dari semakin
pesatnya perkembangan teknologi dan informasi. Arus teknologi dan informasi yang
terjadi secara dinamis, membuat khalayak sadar betul akan pentingnya hal tersebut dalam
dinamika kehidupan. Tidak dapat dipungkiri bahwa arus teknologi dan informasi sangat
berpengaruh terhadap apa yang akan terjadi dalam kehidupan masyarakat baik untuk
sekarang maupun masa yang akan datang. Dan sangat besar kemungkinan bagi khalayak
untuk terus-menerus mendapat terpaan informasi, terlebih dari media massa.
Seperti yang kita ketahui, proses komunikasi (penyampaian pesan atau
informasi) bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Cara penyampaiannya
pun juga bermacam-macam,mulai dari tatap muka, melalui surat, telepon atau media
massa seperti radio, televisi bahkan internet sekalipun. Dari berbagai cara berkomunikasi
yang ada, bentuk komunikasi yang melibatkan media massa dinilai cukup efektif jika
dilihat dari proses penyampaiaannya. Hal ini dikarenakan selain mampu menyampaikan
pesan atau informasi dengan baik dan menyeluruh, media massa juga terbukti memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi khalayak.
Iklan adalah suatu bentuk proses penyampaian pesan atau informasi kepada
sebagian atau seluruh khalayak mengenai penawaran suatu produk atau jasa dengan
menggunakan media. Menurut Wahyu Wibowo (2003 : 5 ) iklan atau periklanan
Iklan dikatakan baik apabila iklan tersebut memiliki etika dalam penyajiannya,
baik etika dalam beriklan maupun etika dilihat dari sudut pandang bisnis. Etika iklan
secara sehat (baik) mencakup tiga aspek penting yakni etis, estetis dan artistik. Dilihat
dari aspek etisnya, iklan yang disajikan (baik pesan melalui gambar maupun narasi) harus
memperhatikan etika dan norma-norma sosial yang berlaku dan berkembang di
masyarakat.
Sedangkan dari aspek estetis, iklan tersebut sedapat mungin membuutuhkan
apresiasi masyarakat terhadap apa yang disebut dengan nilai-nilai keindahan. Dengan
kata lain, iklan dapat mempengaruhi pola pikir dan pandangan khalayak akan sesuatu
yang berujung pada perubahan sikap secara sosial kultural. Untuk aspek artistik, iklan
yang disajikan sebaiknya mampu mempresentasikan pesan atau informas yang ingin
disampaikanoleh produsen (pengiklan) secara optimal. Sehingga akan berakibat pada
terbentuknya kesan atau imej positif pada khalayak sasaran yang dituju, lain halnya
dengan etika bisnis, seperti yang disampaikan oleh (Sumartono, 2002 : 134) bahwa
materi atau isi pesan yang disajikan dalam iklan harus mengandung atau berisi tentang
informasi yang jelas, akurat, faktual dan lengkap sesuai dengan kenyataan dari produk
atau jasa yang ditawarkannya.
Perkembangan iklan atau periklanan (advertising) di ruang lingkup masyarakat
beberapa tahun terakhir telah memunculkan berbagai persoalan sosial kultural
menyangkut tanda (sign) yang digunakan, citra (image) yang ditampilkan, informasi
(pesan) yang disampaikan, makna yang diperoleh, serta bagaimana pengaruhnya terhadap
persepsi, pemahaman, dan tingkah laku masyarakat. Apakah sebuah iklan benar-benar
sendiri dianggap sebagai sebuah cerminan dari produk yang diiklankan, namun hal
tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Seringkali iklan terperangkap di dalam skema permainan tanda (free play of
sign), dalam rangka menciptakan citra palsu sebuah produk yang seringkali mengabaikan
bagian integral, substansial atau fungsional produk tersebut. Akan tetapi melalui
kemampuan retorika sebuah iklan, citra-citra tersebut justru menjadi model rujukan
dalam mempresentasikan produk.
Suatu iklan juga didasarkan pada konsep segmen-segmen yang akan dituju.
Definisi dari segmen itu sendiri adalah kelompok masyarakat tertentu yang menjadi
sasaran penjualan suatu produk. Segmen harus diketahui dan ditentukan oleh pengiklan
agar tidak salah sasaran. Dengan kata lain, iklan tersebut efektif dalam menyampaikan
pesan atau informasi produk seperti yang dikehndaki oleh pengiklan.adapun tujuan
penggunaan segmentasi pasar adalah untuk memungkinkan pengiklan merancang bauran
pemasaran yang lebih tepat dalam menjawab kebutuhan para konsumen pada segmen
pasar tertentu. Satu segmen pasar terdiri dari individu kelompok atau organisasi dengan
satu atau lebih karakteristik serupa.
Televisi merupakan salah satu bentuk media yang sering digunakan untuk
beriklan. Hal ini dikarenakan televisi memiliki keunggulan dibanding dengan media lain.
Televisi mempunyai segmentasi pasar yang lebih luas daripada media cetak atau radio.
Audiens yang heterogen dan jangkauan yang luas membuat para pengiklan lebih tertarik
menggunakan media ini. Selain itu televisi mempunyai erbedaan yang mendasar
dibanding media lain, dimana televisi memadukan antara audio (seperti yang dimilai
Media televisi dan iklan terbukti sebagai media komunikasi yang paling efektif
dan efisien dalam menyampaikan informasi mengenai suatu produk (www.kunci.com).
Televisi dan iklan memiliki korelasi timbal balik yang saling menguntungkan. Di satu sisi
televisi sangat diuntungkan dengan makin banyaknya iklan yang masuk, terutama segi
finansial dan citra televisi itu sendiri. Sedangkan pengiklan sebgai pembuat iklan juga
diuntungkan, karena melalui media televisi, produk yang diiklankan akan lebih cepat atau
jauh lebih dikenal oleh khalayak, khususnya pemirsa televisi. pengiklan juga
diuntungkan, karena melalui media televisi, produk yang diiklankan akan lebih cepat
dikenal oleh khalayak, khususnya pemirsa televisi. Pengiklan juga dituntut untuk
responsif dalam membaca situasi dan kondisi yang berkembang saat ini.oleh karena itu
pengiklan harus mampu mengemas iklan secara aktual dan bervariatif agar daat menarik
simpati khalayak,
Industrialisasi dan komersialisasi besar-besaran terhadap iklan di Indnesia telah
menjadi trennegatif dalam beberapa tahun terakhir, dengan mengesampingkan norma,
etika dan adat istiadat yang ada, para pembuat iklan dan media massa sendiri terkesan
tidak mau tahu dengan dampak yang ditimbulkan dari iklan yang ditayangan. Barbagai
tindak pelanggaran yang disertai kontroversi, menjadi bukti konkrit terpuruknya dunia
periklanan di Indonesia. Apa yang dilakukan semata-mata demi kepentingan pihak-pihak
gtertentu dan mengabaikan kepentingan lain yang menyangkut khalayak luas.
Salah satu aspek yang seringkali di eksploitasi adalah aspek maskulinitas.
Media telah berperan aktif dalam mengekspresikan langsung realitas sosial tentang
laki-laki. Media telah melakukan penggambaran atas definisi laki-laki dalam wacana
mandiri, mengambil keputusan, agresif dan mempunyai jiwa kompetisi. Dalam media
diperlihatkan bahwa laki-laki dengan penekanan sikap-sikap di atas yang diterima di
masyarakat dan sesuatu yang sepantasnya ada sebagai laki-laki. Nilai-nilai maskulinitas
laki-laki kini telah dijadikan komoditas dan disebarluaskan.
Sifat kelelakian berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Maskulinitas itu sendiri
dikonstruksi oleh kebudayaan. Konsep maskulinitas dalam budaya Timur seperti di
Indonesia dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Ketika seorang anak laki-laki lahir ke
dunia, maka telah dibebankan beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga
terhadapnya. Berbagai aturan dan atribut budaya telah diterima melalui beragam media
yaitu ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, buku bacaan,
petuah dan filosofi hidup. Hal-hal sepele yang terjadi sehari-hari selama berpuluh tahun
yang bersumber dari norma-norma budaya telah membentuk suatu pencitraan diri dalam
kehidupan seorang laki-laki. Kondisi ini dapat dilihat dari selera dan cara berpakaian,
penampilan, bentuk aktivitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan, ekspresi
verbal maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai (Vigorito & Curry,
1998: 1).
Konsep maskulinitas yang telah diterima melalui nilai-nilai dan norma-norma
budaya masyarakat serta disebarluaskan oleh media secara berkesinambungan juga
dipergunakan oleh para produsen dalam melakatkan produk-produk mereka pada citra
maskulinitas atau yang bersifat mendukung dan menambah nilai maskulinitas.
Singkatnya dapat diartikan bahwa maskulinitas sebagai komoditas dipergunakan
produsen dengan memberikan janji-janji sebuah solusi bahwa maskulinitas bagi laki-laki
produsen membantu dan memberi dukungan pada masyarakat untuk mendapatkan
ciri-ciri maskulin dengan tujuan akhir adalah keuntungan bagi produsen atas produk tersebut.
Hal tersebut terlihat pada iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” di televisi.
Pada iklan tersebut, menggambarkan tentang seorang pria yang terlihat jantan yang
menaiki sepeda motor membawa setumpuk kotak-kotak kayu berisi buah untuk
diantarkan ke penjual buah-buahan di pasar. Saat dia menerima uang hasil dari
mengantarkan buah itu, ternya uangnya terlalu banyak dan mengembalikannya kepada
pemilik kios buah. Setelah dia selesai dengan pekerjaannya sebagai pengantar buah,
laki-laki itu mencari uang tambahandengan melakukan adegan ekstrim menggunakan sepeda
motornya melompati beberapa mobil bahkan dia jatuh dari sepeda motornya. Dari uang
hasil jerih payahnya sehari itu, sebagian diguanakn untuk membeli seikat bunga. Saat tiba
dirumah laki-laki itu melihat seorang wanita yang sedang berbaring di tempat tidur yang
ternyata adalah ibunya. Sang ibu yang sedang sakit digendong dari tempat tidurnya
menuju meja makan yang telah dipersiapkan kejutan. Sang ibu terlihat terharu melihat
kejutan dari sang anak, sementara itu sang istri mengintip di belakangnya dengan
senyumannya terlihat seperti sang istri bangga dengan apa yang telah dilakukan
suaminya. Kemudian sang istri memberi minuman energi M-150 kepada suaminya.
Secara garis besar peneliti melihat ada aspek yang menonjol dari iklan tersebut, yaitu
menempatkan aspek maskulinitas dari sudut pandang yang berbeda sebagai point of view
dari produk iklan yang ditampilkan.
Aspek maskulinitas yang ditunjukkan pada iklan minuman energi untuk pria
umumnya menampilkan kejantanan pria seperti menonjolkan kekuatan, ketangguhan dan
iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” ini maskulinitas yang ditonjolkan bukan
hanya kekuatan yang dimiliki pria, tetapi menonjolkan bagaimana laki-laki juga dapat
berpikir rasional, mempunyai rasa kejujuran, mencintai keluarga, serta berbakti kepada
orang tua.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengungkap makna di balik
iklan tersebut dengan melakukan peneliitian menggunakan teori yang sesuai dengan
objek penelitian. Peneliti menganggap iklan tersebut layak untuk diteliti lebih mendalam
mengingat aspek maskulinitas kini sudah berkembang lebih luas. Apa yang ditampilkan
oleh iklan mencerminkan sebuah pesan dari produk bahwa sisi menarik dari maskulinitas
tidak hanya dilihat dari seberapa gagahnya seorang pria saat beraktifitas dan
mengeluarkan keringat atau seberapa kuatnya pria dalam mengengkat beban berat
melainkan bagaimana laki-laki berpikir secara rasional untuk keluarga. Melihat begitu
menariknya tanda-tanda yang terkandung dalam iklan tersebut, maka jalan terbaik untuk
mengamati dan mempresentasikan ada dengan menggunakan analisis semiotik
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang dapat
dikemukakan adalah:
“Bagaimana Maskulinitas dalam Iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero”di
8
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Representasi Maskulinitas dalam Iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” di Televisi.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atas wawasan serta bahan
referensi bagi mahasiswa komunikasi pada jenis penelitian semiotik iklan, pada
seluruh mahasiswa pada umumnya. Sehingga dapat diaplikasikan untuk
perkembangan ilmu komunikasi.
2. Kegunaan Praktis
Diharapakan dapat menjadi kerangka acuan bagi pihak produsen dan pengiklan agar
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Periklanan
Media periklanan merupakan metode komunikasi umum yang membawa pesan
periklanan, yaitu televisi, majalah, surat kabar dan sebagainya. Sarana (vehicles) adalah
program siar khusus atau pilihan posisi cetak dimana iklan dipasang (Shimp, 2003 : 504)
Periklanan adalah fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang ingin
maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian
pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu bonafiditas perusahaan
terletak pada seberapa besar dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Disamping itu,
iklan merupakanjendela kamar dari sebuah perusahaan. Keberadaannya
menghubunghkan perusahaan dengan masyarakat, khususnya konsumen.
Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran,
yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran
(Kotler, 1991:416). Menurut Liliweri (1991 : 20), kegiatan komunikasi adalah penciptaan
interaksi perorangan dengan menggunakan tanda-tanda tegas.
Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup
dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi
komunikasi, rekayasa unsur pesan sangan tergantung dari siapa khalayak sasaran yang
diuju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Sementara
itu, periklanan menurut kamus istilah periklanan Indonesia adalah pesan yang dibayar
bertujuan membujuk konsumen untuk melakukan tindak membeli atau mengubah
perilakunya (Nuradi, 1996 : 4).
Iklan pada dasarnya adalah produk kebudayaan masa. Produk kebudayaan
masyarakat industri yang ditandai oleh produksi dan konsumsi masal. Kepraktisan dan
pemuasan jangka pendek antara lain merupakan nilai-nilai kebudayaan massa (Jefkins,
1996 : 27). Artinya massa dipandang tidak lebih sebgai konsumen. Hubungan antara
produsen dan konsumen adalah hubungan komersial semata saja. Interaksinya, tidak ada
fungsi lain selain manipulasi kesadaran, selera dan perilaku konsumen.
Iklan merupakan cara efektif untuk menyebarkan pesan, apakah itu bertujuan
membangun referensi merek atau mengedukasi masyarakat. Iklan lebih diarahkan untuk
membujuk orang supaya membeli. Iklan memiliki empat fungsi utama yaitu: informative,
persuading, reminding dan entertainment. Empat fungsi iklan tersebut dimanfaatkan
sedemikian rupa oleh sang creator iklan (dalam hal ini advertizing agency dan PH, atas
kesepakatan ide dengan pengiklan) untuk menciptakan pesan yang menarik. Sehingga tak
jarang creator iklan baik itu iklan versi cetak dan elektronik (yang ada di radio dan
televise) menggunakan ide-ide nakal, unik dan membuat orang penasaran.
Iklan sebagai salah satu bentuk manifestasi budaya pop, tidak semata-mata
bertujuan menawarkan dan mempengaruhi pada (calon) konsumen untuk membeli
produk-produk barang atau jasa, melainkann juga turut menanamkan nilai-nilai tertentu
yang secara latent atau semua tersirat di didalamnya. Hamelink (1983) menyatakan
bahwa iklan merekayasa kebutuhan dan menciptakan ketergantungan psikologis (Deddy
Mulyana dan Idi Subady Ibrahim, 1997:158). Dalam menyampaikan pesannya selalu
2.1.2 Televisi Sebagai Media Iklan
Pada dasarnya media televisi bersifat hanya sekilas dan penyampai pesannya
dibatasi oleh durasi (jam, menit, detik). Pesan dari televisi tidak dapat diulang kecuali
bila direkam. Pesan di media televisi memiliki kelebihan tersendiri karena tidak hanya
dapat didengar tetapi juga dapat dilihat dalam gambar yang bergerak (audio visual).
Televisi merupakan media yang paling disukai oleh para pengiklan. Hal tersebut
disebabkan keistimewaan televise mempunyai unsur audio visual sehingga para
pengiklan percaya bahwa televisi mampu menambah daya tarik iklan disbanding media
lain. Televisi diyakini mengingatkan khalayak sasaran terhadap pesan yang disampaikan
(Kasali,1992:172)
Penggunaan dalam mengkampanyekan iklan mempunyai kemampuan dalam
membangun citra, iklan televisi mempunyai cangkupan, jangkauan, repetisi yang tinggi
dan dapat menampilkan pesan multimedia (suara, gambar, dan animasi) yang dapat
mempertajam ingatan (Suryanto, 2005 : 4-5).
Penggunaan televisi sebagai media beriklan bukanlah sebuah ruang kosong
yang hampa makna, tetapi merupakan sederet penanda (signifiers) yang membawa
bersama sederet penanda atau makna (signifieds). Menyangkut gaya hidup, karakter
manusia, nilai kepemimpinan, hingga wajah realitas sosial.
2.1.3 Pendekatan Semiotik Dalam Iklan Televisi
Pertukaran makna memfokuskan pada bagaimana sebuah pesan atau teks
Ini berhubungan dengan peranan teks dalam budaya kita dan seringkali menimbulkan
kegagalan komunikasi karena pemahaman berbeda-beda antara pengirim pesan dan
penerima pesan. Namun yang ingin dicapai adalah signifikasinya bukan pada kejelasan
pesan yang disampaikan. Pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks (iklan) dan
budaya ini dinamakan pendekatan semiotic. Teks dilihat sebagai sistem tanda yang
terkodekan. John Fiske (1991) bahwa teks televisi bersifat ambigu, media tersebut
bersifat polisemik (penuh kode dan tanda)(Bruto, 2000:47).
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang menunjuk pada ilmu yang
sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa, sedangkan semiotik lazim
dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari bahasa Yunani semion yang
berarti “tanda” atau “sign” dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari
sistem tanda seperti bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.
Semiotik adalah teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda dan
simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan
informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal
yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indra yang kita miliki ketika tanda-tanda
tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau
pesan secara tertulis disetiap kegiatan dan perilaku manusia. Tanda dapat diartikan sebgai
perangkat yang dipakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini ditengah manusia dan
bersama manusia.
Secara terminologis, semiotik dapat diartikan sebgai ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebgai tanda (Eco
dengan iklan di televisi pesan dibangun dengantidak semata-mata, rangkaian gambar
dalam iklan adalah gsmbar bergerak yang dapat menciptakan imajinasi dan sistem
perbedaan.
Menurut Fiske, analisis semiotik pada film (iklan) dapat dibagi menjadi
beberapa level :
(1) Level Realitas, pada level ini realitas dapat dilihat pada kostum pemain, tatarias,
lingkungan, gesture, ekspresi, suara, perilaku, ucapan dan sebgainya sebgai kode
budaya yang dtangkap melalui kode-kode teknis.
(2) Level Representasi, meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, suara casting
(3) Level ideologi, meliputi suatu kesatuan dan penerimaan sosial seperti kelas, patriarki,
gender.
Pada semiotik film (iklan) model linguistic menggenaralisasikan secara kasar
bahwa dalil-dalil dalam film (iklan) sama dengan bahasa tulis seperti, frame sebgai kata,
shot sebgai paragraf. Dan squence sebagai bab Unit analisis sebuah film (iklan) adalah
shot yang dibatasi oleh cut dan camera movement. Shot adalh hasil pengambilan gambar
pada saat kamera mulai menyala (on) hingga padam (off). Scene adalah kumpulan atau
rangkaian beberapa shot hingga membentuk adegan tertentu (Atmaja,et,al, 2007:49).
Penerapan semiotik pada iklan televisi. harus memperhatikan aspek medium
televisi yang berfungsi sebgai tanda yaitu jenis pengambilan kamera (shot) dan kerja
kamera. Dengan cara tersebut peneliti bisa memakai shot apa saja yang muncul dan
bagaimana maknanya, ada banyak istilah dalam pengambilan gambar, secara umum ada
Selain shot dan camera work, suara juga penting untuk diperhatikan. Suara
meliputi sound effect dan musik. Televisi sebgai media audio visual tidak hanya
mengandung unsur visual tetapi juga suara, karena suara merupakan aspek kenyataan
hidup. Suara keras, menghentak, lemah, memiliki makna yang berbbeda-beda. Setiap
suara mengekspresikan sesuatu yang unik.(Tino Saroengalo, Dongeng Sebuah Produksi
Film, 2008).
2.1.4 Analisis Semiotika
Untuk melihat representasi maskulinitas pada media massa maka akan
digunakan analisis semiotik. Istilah semiotik dapat diartikan sebagai tanda, yakni sesuatu
atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dan dapat mewakili sesuatu yang
lain. Tanda dapat diartikan sebgai perangkat yang dipakai dalam upaya mencari jalan di
dunia ini, ditengah manusia dan bersama manusia, secara estimologis, istilah semiotik
berasal dari kata yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan
sebgai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat
dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16 dalam Sobur, 2004 :95)
Secra terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebgai ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco,
1976:6 dalam Sobur, 2004 :95). Pengertian lain juga dikemukakan Van Zoest yang
mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengan
cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya
Sedangkan menurut John Fiske semiotika adalah studi tentang tanda dan ara
tanda-tanda itu bekerja. Semiotika memiliki tiga bidang studi utama, yaitu:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara
tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu
terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan
hanya bisa dipahami dalam arti manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda.studi ini mencakup cara berbagai
kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk
mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri
(John Fiske, 2007:06).
2.1.5 Representasi
Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu
yang diluar diriya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, Yasraf Amir, 2006 :24).
Represetasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda
(www.kunci.or.id). Adapun definisi lain dari representasi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Online (www.kbbi.or.id), adalah perbuatan mewakili; keadaan yang diwakili;
apa yang mewakili; perwakilan.
Melalui representasi. Ide-ide ideologi dan abstrak mendapat bentuk abstraknya.
melalui system penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan
sebgainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.
Representasi adalah berhubungan dengan stereotype, tetapi tidak sekadar
menyangkut hal ini. Lebih penting lagi penggambaran ini tidak hanya berkenaan dengan
tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (nilai)
dibalik tampilan fisik (Burton, 2000 : 41). Representasi juga merupakan cara media
menampilkan seseorang, kelompok atau gagasan tertentu.
Eriyanto menyatakan bahwa ada dua hal yang berkaitan dengan representasi,
yakni:
(1) apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebgaimana
mestinya, apa adanya ataukah diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi
adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau
kelompok tertentu. Hanya citra buruk saja yang dutampilkan sementara citra atau sisi
yang baik luput dari penampilan.
(2) bagaimana representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, eksentuasi, dan
bantuan foto macam apa seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan
dalam program. Eriyanto lebih lanjut menambahkan bahwa persoalan utama dalam
representasi adalah bagaimana relaita atau objek ditampilkan.
Dengan mengutip pernyataan John Fiske, Eriyanto menyebut bahwa objek,
peristiwa, kelompok, gagasan, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi
media, levelpertama, peristiwa yang ditandakan (encode) sebgai realitas. Bagaimana
peristiwa tersebut dikonstruksikan sebagai realitas oleh media, dalam bahasa gambar
dan ekspresi. Realitas disiini selalu siap ditandakan, ketika kita menganggap,
mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas.
Pada level kedua ketika kita memandang sesuatu sebagai sebuah realitas, yang
kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana realitas tersebut digambarkan. Di sini
digunakan perangkat secara teknis, dalam bahasa tulis alat teknis tersebut adalah kata,
kalimat atau proposisi, grafik dan sebagainya. Dalam bahasa gambar (televisi) alat itu
berupa kamera, pencahayaan, editing, atau alat musik yang ditransmisikan sebagai
kode-kode representasi yang bisa berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting,
casting, dan sebgainya. Pemakaian kata-kata, kalimat atau proposisi tertentu misalnya
membawa makna tertentu ketika diterima khalayak.
Pada level ketiga bagaimana peristiwa tersebut diorganisir kedalam
konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi
dihubungkan dan diorganisir kedalam koheresi sosial. Seperti kelas sosial, kepercayaan
dominan yang ada dalam masyarakat (patriaki, materialisme, kapitalisme, dan
sebagainya). Kemungkinan menggunakan ideologi tersebut, misalnya dalam peristiwa
pemerkosaan bagaimana peristiwatersebut digambarkan.
Dalam ideologi yang dipenuhi ideologi patriaki, kode representasi yang muncul
misalnya digambarkan dengan tanda posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan. Dalam representasi seringkali terjadi mis-representasi, yakni ketidakbenaran
penggambaran, kesalahan penggambaran. Mis-representasi merupakan penggambaran
seseorang, kelompok atau pendapat, gagasan secara buruk, tidak sebagaimana mestinya.
Penggambaran ini seringkali dilakukan media pada kelompok yang dianggap
mis-representasi terjadi juga proses marjinalisasi pada kelompok tertentu, misalnya
perempuan digambarkan sebagai pihak yang tidak berani, kurang inisiatif, tidak rasional,
dan emosian. Di sini perempuan tidak digambarkan sebgaimana mestinya. Ddalam
marjinalisasi ini beberapa praktik bahasa sebagai strategi wacana yakni,
Pertama, penghalusan (eufimisme) penggunaan kata atau kalimat untuk
memperhals suatu makna pada objek misalnya penyebutan alat kelamin dengan istilah
yang dianggap lebih santun, namun eufisme digunakan juga untuk memarjinalkan
misalnya perempuan dianggap sebagai makhluk yang indah, menawan, wajahnya bagai
bulan purnama padahal penyebutan ini sebagai objek.
Kedua, pemakaian bahasa kasar (disfemisme), merupakan kebalikan dari
eufimisme, yakni realitas menjadi kasar. Jika eufisme digunakan untuk masyarakat atas
maka defimisme digunakan untuk masyarakat atas maka defimisme digunakan untuk
masyarakat bawah. Dalam marjinalisasi pada kelompok perempuan maka penggunaan
istilah perempuan nakal, penggoda, perusak rumah tangga, perempuan murahan, sebagai
bentuk memarjinalkan perempuan sebagai sumber petaka.
Ketiga, labelisasi, dalam bentuk ini maka perangkat bahasa digunakan oleh
kelompok kelas atas untuk menyudutkan lawan-lawannya. Labeling adalah penggunaan
kata-kata yang ofesif kepada individu, kelompok, atau kegiatan. Istilah perusak rumah
tangga, penggoda, perempuan nakal digunakan untuk memberi stigma pada perempuan
yang dianggap tidak bermoral, pelabelan ini bukan hanya membuat kelompok ini menjadi
buruk tetapi juga memberi kesempatan kepada mereka yang memproduksinya untuk
Keempat, stereotype adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan
sifat-sifat negatif atau positif (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat
tindakan. Stereotype merupakan praktik representasi yang menggambarkan sesuatu
dengan penuh prasangka, konotasi negatif dan bersifat subyektif. Stereotype yang
menempatkan suatu kelompok lebih baik dan kelompok lain lebih buruk, menjadikan
representasi yang memihak hal ini terjadi karena faktor-faktor dominan yang masih
melekat pada para pengelola media yakni latar belakang pendidikan, budaya dan agama
yang mempengaruhi pola pikiran mereka dalam memproduksi pesan. Latar belakang ini
menghasilkan pola pikir yang memihak dan dengan sendirinya produk pesan yang
subyektif (Eriyanto, 2002 : 113)
2.1.6 Manfaat Warna Dalam Iklan
Warna memiliki kemampuan untuk mengasumsikan banyak hal pada para
pembeli prospektif. Termasuk kualitas, rasa, serta kemampuan produk untuk memuaskan
beragam kebutuhan psikologis. Berbagai penelitian telah mendokumentasikan peran
penting bahwa warna berperan dalam mempengaruhi panca indra kita. Strategi
pemanfaatan warna dalam kemasan cukup efektif karena warna mempengaruhi dapat
mempengaruhi orang secara emosional. Sebagai contoh, apa yang disebut panjang
gelombang tinggi warna kuning, coklat serta hijau, mengarah pada nilai perangsangan
yang kuat. Serta menyebabkan kegembiraan suasana hati (mood). Warna-warna tersebut
dapat diartikan sebagai berikut:
1. Kuning : Pemecah perhatian yang baik bagi para konsumen. Berarti energik, aktif dan
2. Merah : Seringkali digambarkan dalam pengertian aktif, merangsang. Energik dan
penuh vitalitas.
3. Oranye : Oranye adalah warna rasa yang kerap diasoiasikan dengan makanan.
4. Hijau : Berkonotasi kekayaan, kesehatan ketenangan dan ketentraman
5. Ungu : Dikonotasikan sebgai warna yang berarti kelembutan, berduka, kesedihan,
rasa takut, rasa bersalah menjadi pemikat bagi emosi negatif.
6. Biru : Mengarah pada kesegaran dan rasa dingin, keamanan dan kebersihan.
7. Putih : Menandakan kemurnian, kebersihan serta kehalusan. Sebagai tambahan bagi
dampak emosional yang dibawa oleh warna dalam kemasan, elegan, dan prestise bisa
ditambahkan pada produk dengan menggunakan permukaan yang reflektif yang
mengkilap serta berbagai skema warna yang menggunakan hitam dan putih, perak
dan emas (Shimp, 2003 : 308)
Adapun bentuk pemaknaan lain dari warna yang diambil dari sumber yang lain
seperti dibawah ini :
1. Kuning: Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidak jujuran, Pengecut (untuk budaya Barat),
pengkhianatan, pencerahan dan intelektualitas. Kuning adalah warna keramat dalam
agama Hindu. Kuning adalah warna yang hangat.
2.Oranye: Energy, Keseimbangan, Kehangantan. Menekankan sebuah produk yang tidak
3.Merah: Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya, berpendirian, dinamis,
dan percaya diri. Warna Merah kadang berubah arti jika dikombinasikan dengan warna
lain. Merah dikombinakan dengan Hijau, maka akan menjadi simbol Natal. Merah jika
dikombinasikan denga Putih, akan mempunyai arti ‘bahagia’ di budaya Oriental. Bisa
berarti berani dan semangat yang berkobar-kobar. Singkatnya secara umum
berhubungan dengan perasaan yang meledak-ledak. Warna merah mudah menarik
perhatian dan meningkatkan nafsu.
4.Biru: Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Tehnologi, Kebersihan, Keteraturan,
Damai, menyejukkan, spiritualitas, kontemplasi, misteri, dan kesabaran.
5. Hijau: Alami, Sehat, Keberuntungan, Pembaharuan, pertumbuhan, kesuburan,
harmoni, optimisme, kebebasan, dan keseimbangan
6. Ungu atau Jingga: Spiritual, Misteri, Kebangsawanan, Transformasi, Kekasaran,
Keangkuhan, Ramah, Romantis, dan Mandiri.
7. Coklat: Tanah/Bumi, Reliability, Comfort, Daya Tahan, Stabilitas, Bobot, Kestabilan
dan Keanggunan.
8.Hitam: Ketakutan, Power, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Seksualitas, Kesedihan,
Keanggunan, dan Independen, Berwibawa, Penyendiri, Disiplin, dan Berkemauan
keras.
9. Putih: Warna suci dan bersih, natural, kosong, tak berwarna, netral, awal baru,
kemurnian dan kesucian. Warna yang sangat bisa dipadukan dengan warna apapun.
10.Abu Abu: Intelek, Masa Depan (kayak warna Milenium), Kesederhanaan, Kesedihan
(www.selimutmaya.com)
2.1.7 Identitas Maskulinitas
Beruntung atau tidak beruntung, laki-laki selalu dianggap menempati posisi
lebih tinggi daripada perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki
lebih sempurna daripada perempuan, dan yang mengharuskan laki-laki dan permpuan
bertindaj sehari-hari menurut garis tradisi sedemikian rupa sehingga perempuan berada
dalam posisi “pelengkap” laki-laki, semuanya berakar pada budaya patriarki. Juliet
Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu term “the law of father” yang
masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya.
Lain halnya yang dijelaskan oleh Heidi Hartmann (1992) salah seorang
feminis sosial diman patriarki adalah relasi hirarki antara laki-laki dan perempuan dimana
lakilak lebih domnan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki
adalah suatu relasi hierarkis semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai
landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan
menurut Nancy Chodorow (1992), perbedaan fisik ecara sistematis mendorong laki-laki
untuk menolak feminitas untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan
memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki
Identitas jenis kelamin merupakan soal pilihan. Orang meyakini bahwa
dirinyalah pria atau wanita, namun terdapat perbedaan derajat yang mencolok tentang
persepsi individu terhadap diri mereka sendiri sebagi pemilik sejumlah ciri-ciri maskulin
dan feminin. Orang yang sangat maskulin adalah orang yang menganggap dirinya
memiliki ciri-ciri minat, kegemaran dan ketrampilan bermasyarakat secara khusus
dikaitkan dengan sifat kejantanan. Dalam kehidupan sosialnya, laki-laki dibentuk untuk
tumbuh menjadi makhluk yang kuat dan keras, bahkan kata-kata maskulin sangat dekat
artinya dengan kata otot (musele). Laki-laki tidak dirpekenankan untuk menangis,
berkeluh kesah atau menunjukkan sikap-sikap lemah lembut yang identik dengan
perempuan. Mereka dituntut untuk memenuhi apa yang disebut dengan “manhood” atau
kode etik laki-laki (maskulinitas). Sedari kecil laki-laki diberikan hak istimewa oleh
masyarakat, mereka didahulukan dalam banyak hal dan diberikan kebebasan nuntuk
melakukan apa saja yang bagi perempuan itu dilarang dan itu dianggap sebagai suatu
kewajaran. Mereka diajarkan bahwa mereka adalah makhluk yang lebih berkuasa
dibandingkan lawan jenisnya, dituntut untuk selalu tampil kuat, tidak terlihat lemah
(www.indomedia.com)
Maskulinitas adalah karakteristik tubuh laki-laki yang gagah, jantan, keras dan
kuat sehingga bertanggung jawab dalam memimpin berpolitik dan urusan sejenisnya
yang mengambarkan superioritas laki-laki dalam segenap aspek kehidupan sehari-hari.
Maskulinitas seringkali dimaknai dengan mengacu pada ciri-ciri yang melekat pada
laki-laki. Maka mucul imaji maskulinitas seperti tubuh yang berotot, penuh lelehan keringat,
perkasa, pemberani, petualang, dan sebgainya. Maskulinitas juga diidentikkan dengan
acapkali disejajarkan dengan aktivitas olahraga dan jiwa spportifitas
(www.layarperak.com).
Sedangkan Menurut Beynon (Nasir 2007) Maskulinitas dapat dikelompokkan
dalam delapan kategori yaitu:
1. No Sissy Stuff: Seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik
yang berasosiasi dengan perempuan.
2. Be a Big Wheel: Maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan
pengaguman dari orang lain. Seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran, dan
status yang sangat lelaki. Atau dalam masyarakat Jawa: seorang laki-laki dikatakan
sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan),
kukiro (burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau kesaktian).
3. Be a Sturdy Oak. kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian.
Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak
menunjukkan emosi, dan tidak memunjukkan kelemahannya.
4. Give em Hell: Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus
mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya.
5. New man as nurturer: Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak,
misalnya, untuk mengurus anak, melibatkan peran penuh laki-laki dalam arena
domestik.
6. New man as narcissist: laki-laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup
dengan produk-produk komersial properti, mobil, pakaian atau artefak personal yang
membuatnya tampak sukses.
7. Sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism, laki-laki membangun
kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum, juga sex
dan hubungan dengan para perempuan, mementingkan leisure time,
bersenang-senang, menikmati hidup bebas seperti apa adanya bersama teman-temannya,
bersenang-senang, menyumpah, menonton sepak bola, minum bir, dan membuat
lelucon-lelucon yang diangap merendahkan perempuan.
8. Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin
yang ada di tahun 1980-an, bahkan mungkin sama Laki-laki metroseksual adalah
orang-orang yang peduli dengan gaya hidup yang teratur, menyukai detail, dan
cenderung perfeksionis.
Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan
perempuan di atas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut
Zimmerman yang dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender (yaitu
perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak melekat
dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu.
Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan
yang tepat adalah diaktifkan secara situasional. Dalam arti seseorang melaksanakan peran
jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan
perempuan sejauh orang mengakui perilakunya. Sehingga ada kemungkinan orang
identitas jenis kelamin dimana perilaku tersebut tidak diaki sebgaai perilaku laki-laki dan
perempuan yang tepat. Tidak jarang, pembagian kerja dalam rumah tangga yang
tampaknya tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan
seimbang baik oleh laki-laki maupun perempuan dalam situasi tersebut karena laki-laki
dan perempuan menerima dan menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk
berperan menurut jenis kelmain di rumah tangga.
Maskulinitas juga dapat dimaknai dengan mengacu pada watak yang melekat
pada laki-laki seperti jantan, perkasa, agresif, rasional, dan dominan. Maskulinitas sendiri
bukan merupakan sebuah pembberian dari Tuhan dan sudah dimiliki sejak lahir
melainkan sebuah konstruksi sosial budaya yang melekatkan ciri maskulinias pada sosok
laki-laki. Maskullinitas dapat diartikan bukan sebagai keadaan biologis seperti seks yaitu
laki-laki berpenis dan perempuan tidak berpenis namun sebgai bagian dari gender yang
merupakan bentuk pengkategorian laki-laki dan perempuan dalam identitas, relasi dan
peran dalam kehidupan sosial. Seperti pendapat Harding (1968) dan Siva (1989),
feminitas dan maskulinitas sebagai sebuah konsep nilai yang kontradiktif pada dasarnya
dapat saling dipertukarkan, artinya, feminitas tidak mesti hanya dimili oleh kaum
perempuan dan maskulinitas tidak semata-mata milik kaum laki-laki (Fakih, 2001 :101).
Namun karena pemahaman gender telah dilegitimasi melalui nilai-nilai dan norma-norma
budaya masyarakat maka citra ideal telah dilekatkan pada laki-laki dengan cirinmaskulin
dan perempuan dengan ciri feminin. Selain itu, stereotip maskulinitas senantiasa
dilekatkan pada kaum laki-laki dalam bentuk konsepsi sifat-sifat yang selalu bermakna
(Kasiyan,2008 : 52) singkatnya maskulinitas telah disepakatai secara sosial sebagai citra
ideal bagi kaum laki-laki dan kemudian diwariskan dalam masyarakat.
Dalam peran tradisional pria harus jadi seorang pemimpin, baik dirumah
maupun masyarakat luas. Helen Andelin mengemukakan wanita harus mematuhi suami
mereka dan menikamti perlindungan yang diberikan. Pria harus menjadi kepala keluarga
yang tidak boleh digugat, istri harus menerima suami sebagai pemimpin mendukung dan
mematuhinya (Sears et al, 1991:218)
2.2 Kerangka berpikir
Televisi merupakan media massa elektronik yang menyajikan berbagai macam
informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan penalaran masyarakat dan juga dapat
memberikan hiburan yang luas kepada kepada khalayak, bukan hanya melalui film atau
acara-acara televisi lainnya, melainkan juga iklan-iklan yang ditayangkan, dikemas
semenarik dan sekreatif mungkin, sehingga iklan-iklan tersebut tidak hanya memiliki
tujuan memberikan informasi tentang sebuah produk atau jasa, melainkan juga dapat
memberikan hiburan.
Peneliti tertarik untuk meneliti iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” yang
ditayangkan di televisi. Karena menurut analisis peneliti terdapat aspek maskulinitas
yang ditonjolkan dalam iklan tersebut. Dalam iklan ini, sebagian besar menampilkan sisi
maskulin seorang pra dengan memperlihatkan gambar laki-laki yang jantan. Namun disisi
28
Laki-laki berjiwa maskulin dalam iklan ini digambarkan berbeda dari
konsep-konsep maskulin pada umumnya. Maskulinitas laki-laki selalu digambarakan dengan otot
dan kekuatannya.saja. namun, di iklam M-150 versi “Hero” ini laki-laki maskulin
digambarkan dengan laki-laki yang jujur dan mempunyai perasaan yang tulus serta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif kualitatif dengan
menggunakan analisis semiotik, untuk mempresentasikan penggambaran iklan pada
media elektronik yaitu televisi, yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini adalah
iklan produk Minuman Energi M-150 versi “Hero” di media televise.
Alasan digunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan beberapa faktor
pertimbangan, yang pertama yaitu metode deskriptif kualitatif, akan lebih mudah
menyesuaikan bila dalam penelitian kenyataan ganda, kedua metode deskriptif kualitatif
menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti, dan yang ketiga adalah metode
deskriptif kualitatif lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Maelong, 2002:5)
Selain itu pada dasarnya pendekatan semiotik bersifat kualitatif interpretative,
yaitu suatu metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan lambing teks sebagai
objek kajian, serta bagaimana menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda dan teks
tersebut (Christomy dan Yuwono, 2004: 99).
Untuk menginterpretasikan objek penelitian dari iklan Minuman Energi M-150
versi “Hero” terlebih dahulu harus diketahui sistem tanda dan gambar yang terdapat
dalam penelitian ini. Karena itulah, penelitian menggunakan pendekatan semiotic untuk
3.2 Kerangka Konseptual
3.2.1. Corpus
Di dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah
yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan oleh
analisis kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan
behwa unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang
lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin, baik homogen pada taraf waktu
(sincrony) (Kurniawan 2007:70).
Corpus merupakan sampel terbatas pada penelitian kualitatif yang bersifat
homogen, tetapi sebagai analisa, corpus bersifat terbuka pasa konteks yang beraneka
ragam, sehingga memungkinkan memahami berbagai aspek dari sebuah teks pesan.
Corpus bertujuan khusus digunakan untuk menganalisa semiotik dan analisa wacana.
Pada penelitian kualitatif memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya
interpretasi-interpretasi alternatif.
Corpus dalam penelitian ini adlah seluruh adegan yang dibagi menjadi beberapa
scene dalam iklan M-150 versi “Hero” dan scene-scene tersebut berkaitan dan
dihubungkan representasi Maskulinitas.
3.2.2 Definisi Operasional Konsep
3.2.2.1 Representasi
Representasi adalah konsep yang mempuyai beberapa pengertian. Ia adalah
proses sosial dari representing. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk
konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang konkret. Jadi
pandangan-pandangan hidup kita tentang laki-laki, anak-anak atau perempuan misalnya, akan dengan
mudah terlihat dari cara kita memberi adiah ulang tahun kepada teman-teman kita yang
laki-laki, perempuan dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan hidup kita terhadap
cinta, perang dan lain-lain akan tampak pada hal-hal yang praktis juga. Representasi
adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan
yang tersedia dialog, tulisan, film, fotografi, an sebaginya. Secara ringkas, representasi
adalah produk makna melalui bahasa (www.kunci.co.id).
3.2.2.2 Maskulinitas
Maskulinitas adalah karakteristik tubuh laki-laki yang gagah, jantan, keras dan
kuat sehingga bertanggung jawab dalam memimpin berpolitik dan urusan sejenisnya
yang mengambarkan superioritas laki-laki dalam segenap aspek kehidupan sehari-hari.
Maskulinitas seringkali dimaknai dengan mengacu pada ciri-ciri yang melekat pada
laki-laki. Maka mucul imaji maskulinitas seperti tubuh yang berotot, penuh lelehan keringat,
perkasa, pemberani, petualang, dan sebgainya.
Maskulinitas juga diidentikkan dengan mobilitas, gerak, gairah berkompetisi
dan bertanding. Stereotipe maskulinitas lantas acapkali disejajarkan dengan aktivitas
olahraga dan jiwa sportifitas (www.layarperak.com).
Sedangkan menurut Barker (Nasir :2007:1) maskulinitas merupakan
sebuah konstruksi kelakian terhadap laki-laki , laki-laki tidak dilahirkan begitu saja
dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaannya.
Elemen yang tampak dalam iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” di
Televisi berkaitan dengan analisis pertama pada penelitian yaitu paradigma dan sintagma.
Paradigma adalah sekumpulan asosiasi dari sign tersebut yang merupakan anggota dari
kategori-kategori yang didefinisikan, tetapi tiap-tiap sign tersebut memiliki makna yang
berbeda-beda. Sedangkan sintagma adalah kombinasi dari signs yang berinteraksi sesuai
dengan yang kita inginkan yang membentuk sebuah makna secara keseluruhan dan
biasaya disebut sebagai rantai (chain) (Fiske, 1994:5).
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis yang bersifat tekstual dengan
membaca sebuah kode, tanda dan lambang dengan menggunakan pendekatan John Fiske,
the codes of television. Adapun tanda-tanda yang akan muncul dalam iklan Minuman
Energi M-150 versi “Hero” akan dikombinasikan menjadi kode-kode, baik itu eksplisit
maupun impisit yang akan disampaikan kepada audiens. Dari kode yang tampak sebagai
indikator untuk menentukan batasan tentang maskulinitas pada pria yang ada di iklan
Minuman Energy M-150 versi “Hero” , peneliti memilih kode-kode televisi sebagai
berikut untuk menentukan unit analisis, yaitu:
1. kostum dan Riasan (make-up)
2. Latar (setting)
3. Karakter (character)
4. Ekspresi wajah (ekspression)
5. Konflik (conflict)
Unit analisis dari iklan Minuman Energi M-150 versi”Hero” dibagi menjadi tiga
level yaitu:
Level ini menjelaskan bagaimana suatu peristiwa dikonstruksikan sebagai realitas
oleh media. Yang berhubungan dengan kode-kode sosial antara lain, penampilan
(appearance), kostum (dress), lingkungan (environment), kelakuan (behavior), dialog
(speech), gerakan (gesture), ekspresi (ekspression), suara (sound) di dalam iklan
Minuman Energi M-150 versi “Hero”.
2. Level Representasi (representation)
Disini peneliti menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis, alat
tulis itu adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik dan sebagainya. Level ini berhubungan
dengan kode-kode sosial antara lain, kamera (camera), pencahayaan (lighting), perevisian
(editing). Musik (music), suara (sound) di dalam iklan Minuman Energi M-150 versi
“Hero”.
3. Level ideologi (ideology)
Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam
koheresi sosial, atu kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat seperti
individualism (individual), patriachy (patriarki), class (kelas), tepatnya materialism
(materialisme), capitalism (kapitalisme), dan lain sebagainya.
. Berdasarkan pembagian tiga level oleh John Fiske diatas yang nantinya
juga akan dianalisis dengan kode yang ditinjau oleh Barthes, yakni kode hermeunik, kode
semik, kode simbolik, kode proaretik dan kode gnomik atau kultural yang merupakan
aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut
konsep Barthes, pancastruktural yang erat hubungannya dengan mitologis atau mitos
maskulinitas dengan kejujuran, tanggung jawab serta mempunyai rasa kasih sayang
dalam iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” di Televisi.
3.2.3.1 Tanda
Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda
itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang
menggunakannya. Tanda adalah konstrksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam arti
manusia yang mengggunakannya. Pada bagian ini dapat dikategorikan dalam level
realitas yang meliputi kostum pemain, tatarias, lingkungan, gesture, ekspresi, suara,
perilaku, ucapan dan sebgainya sebgai kode budaya yang ditangkap melalui kode-kode
teknis.
3.2.3.2 Kode
Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagi kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya
untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
Pada saat dilakukan analisa dapat dimasukkan kedalam level representasi yang meliputi
kerja kamera, pencahayaan, editing, suara. Casting.
3.2.3.3 Kebudayaan
Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung
(John Fiske, 2007 :06). Apabila dianalisa kedalam level ideologi, tentu dikaitkan dengan
suatu kesatuan dan penerimaan sosial seperti kelas, patriarki, gender.
3.3 Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data di dalam penelitian iklan Minuman Energi M-150
versi “Hero” di televisi berasal dari data primer dan sekunder
1. Data primer
Data berupa corpus dan data berupa iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero”
yang ditayangkan di televisi.
2. Data Sekunder
Data sekunder berasal dari bahan referensi seperti buku dan internetdengan
obyek kajian
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis Data yang dignakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif, datan yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan warna. Hal ini
disebabkan adanya penerapan metode kualitatif, menjadi kunci jawaban terhadap apa
yang akan diteliti.
Penelitian yang akan digunakan peneliti ini merupakan penelitian dengan
menggunakan metode semiotik, dengan studi semiotik peneliti dapat memakai gambar
dan pesan yang terdapat pada iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero”. Serta
36
“Hero” akan di interpretasikan dengan cara mengidentifikasikan tanda-tanda yang
terdapat dalam setiap bentuk penggambaran iklan tersebut.
Tanda dan gambar pada iklan Minuman Energi M-150 versi “Hero” yang
ditayangkan di televisi adalah corpus. Dalam penelitian ini tanda dan gambar yang ada
dalam iklan ini dimaknai dengan menggunakan model semiotik John Fiske, dimana
dikategorikan menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi.
Data yang diperoleh akan diinterpretasikan dan dianalisis berdasarkan kajian dan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Objek Penelitian
4.1.1. Sejarah M-150
Minuman Energi M-150 diperkenalkan pada tahun 1991 oleh PT. Osotspa,
Thailand. Dari Survey yang dilakukan oleh Indocommercial (1998) didapat
perkembangan konsumsi masyarakat terhadap minuman energi di Indonesia adalah
69,07% Karena perusahaan lokal belum mampu memenuhi permintaan pasar maka PT
M150 Indonesia mengimport minuman ini dari Thailand. Perusahaan ini berlokasi di Jl.
H. R. Rasuna Said, Gedung Setiabudi Jakarta
Minuman Energi M-150 sebagai salah satu produk minuman yang mengandung
energi seperti multivitamin B, vitamin C dan zat non gizi (stimulan dan flavouring) yang
bila dikonsumsi dapat membantu metabolisme tubuh, menambah tenaga dan
membangkitkan stamina tubuh.
Target konsumen M-150 adalah laki-laki yang ingin mempuyai badan yang
selalu fit dalam melakukan pekerjaan. Karena dulu slogan dari M150 adalah “Bisa!” yang
berarti dengan meminum M150 kita bisa melakukan pekerjaan dengan kuat dan enteng.
Kini setelah muncul iklan baru, slogan M150 berubah menjadi “Every Body Can Be A
4.2 Gambaran Umum Iklan Minuman Energi M150 Versi “Hero” di Televisi
Dalam Iklan Minuman Energi M-150 ini digambarkan seorang laki-laki dewasa
yang mengendarai sepeda motor dengan suasana di sudut kota, dengan
bangunan-bangunan tua yang klasik. Di kota itu diperlihatkan juga suatu pasar tradisional dimana
laki-laki tersebut bekerja mengantarkan kotak berisi buah kepada salah satu pedagang di
pasar tersebut. Setelah menaruh kotak buah untuk pedagang buah, laki-laki tersebut
diberi upah, dari sudut ini nampak kejujuran dari laki-laki itu, karena dia mengembalikan
upah yang kelebihan, sang pedagang buah terlihat salut kepada laki-laki ini saat dia
melihat kepergiannya.
Pekerjaan sang laki-laki tidak hanya itu, setelah melakukan pekerjaan sebagai
pengantar buah, dia mencari tambahan uang dengan bekerja ekstrim dengan melompati
beberapa mobil dengan menggunakan sepeda motor yang dimilikinya, bahkan sampai
terjatuh di tanah. Sebagian uang yang didapat pada hari itu dibelikannya seikat bunga,
yang dia beli di seorang anak kecil.
Setelah sampai dirumah, dia masuk ke kamar ibunya yang sedang sakit. Sang
ibu tersenyum melihat anak laki-lakinya datang. Kemudian, laki-laki tersebut
menggendong ibunya yang sedang sakit menuju meja yang telah dipersiapkan kejutan
kecil untuk ibunya, berupa makanan-makanan, bunga yang tadi dia beli, dan lilin-lilin
yang menghiasi sehingga meja itu terlihat romantis. Di belakangnya terlihat seorang
wanita cantik yaitu istrinya yang sedang tersenyum melihat apa yang telah dilakukan
suaminya untuk ibunya. Kemudian sang laki-laki melihat istrinya itu dan mendatanginya.
Ternyata sang istri sudah mempersiapkan Minuman M150 dan laki-laki tersebut langsung
Dengan memberikan minuman energi M150, laki-laki dapat menjalani
kehidupan yang penuh perjuangan demi membahagiakan keluarganya. Itulah sepotong
pesan yang hendak disampaikan tiap-tiap adegan dalam Minuman Energi M150 tersebut.
Namun, secara garis besar peneliti melihat ada aspek penting yang sangat menonjol pada
iklan tersebut, yakni bagaimana media (pengiklan) menempatkan aspek komoditas objek
iklan(dalam hal ini laki-laki yang ada dalam iklan) yang dikaitkan dengan pencitraan
nilai-nilai maskulinitas dari sudut pandang yang berbeda sebagai point of view dari
produk iklan yang ditampilkan.
4.3 Penyajian Data
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada adegan iklan Minuman Energi
M150 versi “Hero” di televisi selanjutnya akan diinterpretasikan dan dianalisis
berdasarkan semiotik dari metode milik John Fiske untuk mengetahui makna yang ada
dalam korpusnya.
John Fiske membagi tiga level dalam menganalisa penyajian data yakni level
realitas, level representasi dan level ideologi. Berdasar atas apa yang di kemukakan oleh
Fiske, Level Realitas terdiri dari penampilan, kostum, meke up, setting, dan gesture.
Level Representasi terdiri dari Shot (pengambilan gambar), lighting atau pencahayaan
dan Sound atau musik, dan yang terakhir adalah Level Ideologi yang membahas
4.4 Analisis Data
4.4.1 Paradikma Dan Sintagma Pada Level Realitas, Level Representasi ,Dan Level
Ideologi.
4.4.1.1 Scene 1
Gambar 4.2 Tampilan visual dalam scene 1
Analisis :
1. Level Realitas
Laki-laki pengendara motor di scene 1 diatas terlihat sedang menoleh untuk
melihat lukisan laki-laki berbaju biru dengan bawahan hitam yang mengangkat
perempuan berambut panjang yang terlihat lemah. Pada gambar diatas, memang
menampakkan sebagian tubuh saja, yaitu bagian tangan sampai kepala, sementara
kepalanya menghadap ke arah lukisan di tembok.Untuk busana, laki-laki pada gambar
menggunakan jaket kulit berwarna hitam dan helm berwarna hitam bervariasi kacamata
diatas kepalanya. Warna yang digunakan oleh laki-laki tersebut adalah hitam, apabila
dikaitkan dengan aspek maskulinitas, warna hitam yang dipakai oleh laki-laki tersebut
menunjukkan suatu power, penyendiri, disiplin, kewibawaan, dan berkemauan keras
Lingkungan atau setting pada scene 1, terlihat latar belakang tembok tua
berwarna kecoklatan yang disitu terdapat lukisan pria memakai baju biru dengan celana
hitam membopong seorang wanita berambut panjang memakai baju berwarna coklat.
Gambar tersebut sangat berkaitan dengan aspek maskulinitas, karena gambar tersebut
merupakan suatu simbol yang menunjukkan bagaimana laki-laki dapat membantu
perempuan yang lemah. Dan dapat memberi inspirasi bagaimana seharusnya laki-laki
bertindak sebagai seorang yang gentle terhadap perempuan.
2. Level Representasi
Pada scene1, pengambilan gambar pada scene ini adalah medium close-up,
karena pengambilan gambar yang terlihat dari kepala sampai dengan dada saja, dan
membelakangi objek utama Pengambilan gambar dengan tehnik ini dimaksudkan agar
gambar yang terdapat ada tembok dapat terlihat jelas.
Tehnik pencahayaan lebih diarahkan pada gambar lukisan di tembok. teknik
pencahaan yang digunakan tetap alami agar tidak terkesan berlebihan dalam memaknai
lukisan di tembok. Karena bagaimanapun juga objek utama pada iklan ini adalah laki-laki
pengendara motor.
Pada scene ini, efek suara yang dimunculkan hanya back sound lagu Hero
Tempo (beat) dari lagu ini sangat pas yaitu dengan alunan yang mellow, lirik dalam scene
ini berbunyi “there’s a hero if you look inside your heart, you don’t have to be afraid of
what you are” yang artinya ada seorang pahlawan jika kau melihat di dalam dirimu, kau
dalam iklan tersebut adalah seorang yang memiliki jiwa pahlawan dalam dirinya dan
tidak perlu diragukan lagi.
3. Level Ideologi
Level ideologi pada scene ini lebih menitik beratkan pada aspek pencitraan pada
lukisan yang dilihat oleh tokoh utama di iklan ini. Lukisan yang terdapat pada tembok
adalah lukisan yang menggambarkan seorang laki-laki dewasa dengan busana kemeja
biru muda dengan celana panjang hitam sedang membopong seorang wanita berambut
panjang tanpa busana yang terlihat lemah. Apabila di kaitkan dengan budaya, laki-laki
selalu menjadi simbol kekuatan, yang bisa menjadi penolong bagi wanita dan posisi
wanita selalu dibawah laki-laki. Obyek utama dalam iklan ini, yaitu laki-laki yang
mengendarai motor.
4.4.1.2 Scene 2