• Tidak ada hasil yang ditemukan

Participative Communication On Center For Family Empowerment Program (Case Study In Rw 05 Situgede Village, West Bogor, Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Participative Communication On Center For Family Empowerment Program (Case Study In Rw 05 Situgede Village, West Bogor, Bogor)"

Copied!
368
0
0

Teks penuh

(1)

IMANI SATRIANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Studi Kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Imani Satriani

(3)

FAMILY EMPOWERMENT PROGRAM (Case Study in RW 05 Situgede Village, West Bogor, Bogor). Under direction of PUDJI MULJONO and RICHARD W.E. LUMINTANG

Empowerment occurred if individuals or communities were assigned to discuss their daily need, especially in education and health matter. And also the topics are focused in political and economic issues. Empowerment program in alleviating poverty and improving the quality of human resources, promoted by Center for Human Resources Development (P2SDM), LPPM IPB, cooperated with Damandiri Post Family Empowerment (POSDAYA) program. This particular cooperation leading to develop Posdaya poverty community at different level, such are village, hamlet and RW. The objectives of study were: to analyze the role of companion, community leader in Posdaya activities, the participatory communication, its impact to community as well and respons communities. The research was a constructivist paradigm, located in RW 05 Situgede village, West Bogor, Bogor. The research was conducted in April 18 to May 25, 2011. The study result was the P2SDM-IPB companion as well as consultant task always coodinated by Posdaya Kenanga. The Situgede village, especially RW 05 had several ultimate tasks, included: cadres supervising, training and motivating. Internal involvement Posdaya Kenanga leaders were: providing insight, advice, criticism and building ideas for sustainability activities. The participatory communication occurred in Posdaya Kenanga were: access, heteroglasia, poliponi, dialogue and carnival. Benefit of cadres were: information and knowledge sharing, problem solving and familiarity relationship. Refers to participatory communication among cadres, they could work optimally as well as equaly right to submit opinions, suggestions, and criticism. As a result, their responsibility increased.

(4)

PEMBERDAYAAN KELUARGA (Studi Kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor). Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan RICHARD W.E. LUMINTANG.

Program pemberdayaan dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dikembangkan oleh Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (P2SDM) LPPM IPB bekerjasama dengan Yayasan Damandiri adalah membangun dan mengembangkan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) di wilayah-wilayah yang memiliki kantong kemiskinan baik tingkat desa, dusun dan RW. Penelitian Komunikasi partisipatif yang dilakukan mengenai peran pendamping, perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat serta dampak komunikasi partisipatif menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivisme yang dilakukan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran pendamping, perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat dalam kegiatan Posdaya, menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya, menganalisis dampak komunikasi partisipatif dalam kegiatan Posdaya bagi masyarakat serta menganalisis respons masyarakat terhadap kehadiran Posdaya.

Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran yang dominan dalam kegiatan Posdaya Kenanga adalah peran dari pendamping yakni pihak P2SDM LPPM IPB yang selalu melakukan koordinasi dengan pengurus Posdaya Kenanga. Peran dari pihak P2SDM LPPM IPB adalah sebagai pendamping dan konsultan. Ketika terjadi permasalahan, hambatan di dalam Posdaya Kenanga koordinator maupun kader melakukan konsultasi untuk penyelesaiannya. Pendampingan yang dilakukan bersifat tidak terikat dan tidak lepas, tetapi kontrol selalu dilakukan terhadap Posdaya Kenanga. Perangkat Kelurahan Situgede sebagai institusi pemerintahan, memiliki peran dalam kegiatan Posdaya Kenanga RW 05 antara lain pembinaan kader, pelatihan para kader serta memotivasi kader. Pembinaan yang dilakukan oleh pihak kelurahan terhadap kegiatan Posdaya Kenanga adalah penyampaian informasi, monitoring kegiatan, dan membantu penyelesaian masalah. Dan peran keterlibatan tokoh masyarakat dalam Posdaya Kenanga adalah sebagai penasehat seperti memberikan pandangan-pandangan, saran, kritikan, dan ide-ide yang membangun untuk keberlangsungan kegiatan Posdaya Kenanga.

(5)

sesama kader. Melalui dialog terjadi saling menghargai dan saling memiliki kegiatan dalam Posdaya Kenanga sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab sesama kader untuk menyelesaikan permasalahan. Konsep karnaval pada Posdaya Kenanga dilakukan oleh bidang kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.

(6)
(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

IMANI SATRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Bogor).

Nama : Imani Satriani

NIM : I352090091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini ialah komunikasi partisipatif, dengan judul Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Studi Kasus di RW 05 Kelurahan Situgede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor).

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si dan Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan serta arahan dengan penuh kesabaran sejak awal penyusunan proposal penelitian, selama di lapangan dan penulisan hingga proses penyelesaian tesis ini. Dalam

kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, M.S. selaku penguji luar komisi yang telah

memberikan koreksi, saran dan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini.

Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Salikan S.Pd selaku Koordinator Posdaya Kenanga serta kader Posdaya Kenanga, masyarakat dan perangkat Kelurahan Situgede, yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian di lapangan. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Lia Mulyawati, A.Md dengan keramahan dan ketulusannya telah memberikan pelayanan administratif. Untuk segala dukungan selama proses belajar dan untuk kebersamaan yang selalu dan semoga tetap terjalin dengan baik dari teman-teman di KMP 2009, 2008 dan 2007 (Ageng Rara Cindoswari, Asmawati, Denta Mandra, Rahmah Awaliah, Rofi’ah, Sardi Duryatmo, Sigit Pamungkas, Susy Hartati, Yogaprasta Adinugraha, Ibu Sitti Aminah dan Ibu Retno Sri Hartati Mulyandari) penulis sampaikan terima kasih. Semangat, kebaikan dan keakraban dari Dini Valdiani, S.Sos., Dwi Retno Hapsari, S.P., dan Leonard Dharmawan, S.P., penulis sampaikan terima kasih.

Teriring doa, salam dan terima kasih untuk Ayah dan Ibu atas segala doa yang terucap bagi keberhasilan penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Afrizal, S.E., Sukmawati, S.Pd., Khairanis, S.P., Dian Dovianto, S.P., Annisa Safira Callysta dan seluruh keluarga atas doa, pengertian, motivasi dan kasih sayangnya.

Saran dan kritik terhadap tesis ini penulis harapkan sehingga sarat makna dan manfaat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 20 Juli 1987 dari ayah Makmur Al Gamar dan Ibu Zulbaidah. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus SMA Negeri 15 Palembang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sriwijaya melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis merupakan satu-satunya mahasiswa Fakultas Pertanian yang mendapatkan beasiswa dari PT Bank Central Asia Tbk selama 3 semester pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis memenangi Lomba Fotografi tingkat Fakultas Pertanian sebagai juara II dengan tema Hari Kartini.

(12)

xii

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 7

Kegunaan Penelitian ... 7

TINJAUAN TEORITIS ... 9

Komunikasi ... 9

Komunikasi Pembangunan ... 12

Komunikasi Partisipatif ... 15

Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan ... 20

Habermas dan Ruang Publik ... 24

Peran-Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan ... 26

Pemerintah Kelurahan ... 29

Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) ... 31

Hasil Penelitian yang Relevan ... 34

KERANGKA PEMIKIRAN ... 36

METODE PENELITIAN... 39

Paradigma Penelitian ... 39

Desain Penelitian ... 39

Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

Penentuan Subyek Penelitian ... 42

Data dan Metode Pengumpulan Data ... 45

Teknik Analisis Data ... 48

Kredibilitas dan Dependabilitas (Reliabilitas) Penelitian ... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

Gambaran Umum Wilayah ... 51

Keadaan Penduduk ... 53

Mata Pencaharian ... 53

Keagamaan ... 55

Pendidikan ... 55

Kesehatan ... 57

Perhubungan dan Komunikasi ... 57

(13)

xiii

Sekilas Posdaya Kenanga RW 05 di Kelurahan Situgede ... 67

Jenis Kegiatan dalam Posdaya Kenanga RW 05 Kelurahan Situgede ... 70

Peran Pendamping, Perangkat Kelurahan dan Tokoh Masyarakat dalam Kegiatan Posdaya Kenanga 05 Situgede ... 85

Peran Pendamping ... 85

Peran Perangkat Kelurahan ... 95

Peran Tokoh Masyarakat ... 99

Ikhtisar ... 100

Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) ... ……… 103

Memiliki Akses yang Sama ... 118

Munculnya Heteroglasia ... 120

Terjadinya Poliponi ... 123

Komunikasi Melalui Dialog ... 125

Adanya Karnaval ... 127

Ikhtisar ... 129

Dampak Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) ... 133

Berbagi Informasi dan Pengetahuan ... 134

Permasalahan Diselesaikan Secara Bersama ... 136

Terjadinya Keakraban Sesama Kader ... 137

Ikhtisar ... 142

Respons Masyarakat terhadap Kehadiran Posdaya di RW 05 Kelurahan Situgede ... 143

Papan Nama Posdaya Kenanga ... 144

Dibukanya PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) ... 145

Kunjungan Pemda Palu Sulawesi Tengah ... 146

Ikhtisar ... 150

SIMPULAN DAN SARAN ... 155

Simpulan ... 155

Saran ... 156

DAFTAR PUSTAKA ... 157

(14)

xiv

1 Orbitrasi (jarak dari pusat pemerintahan) serta waktu tempuh ... 52

2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kepala keluarga Tahun 2010 ... 53

3 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kelurahan Situgede Tahun 2010 ... 54

4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Kelurahan Situgede Tahun 2010 ... 56

5 Jumlah sarana pendidikan di Kelurahan Situgede Tahun 2010 ... 56

6 Jumlah sarana kesehatan di Kelurahan Situgede Tahun 2010 ... 57

7 Akses secara teoritis dan hasil temuan lapang ... 120

8 Heteroglasia secara teoritis dan hasil temuan lapang... 123

9 Poliponi secara teoritis dan hasil temuan lapang ... 125

10 Komunikasi dialog secara teoritis dan hasil temuan lapang ... 127

11 Karnaval secara teoritis dan hasil temuan lapang ... 129

12 Matriks komunikasi partisipatif pada Posdaya Kenanga ... 131

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kegiatan penelitian ... 38

2 Proses analisis data ... 49

3 Struktur pengurus RW 05 Siaga ... 62

4 Susunan pengurus Posdaya Kenanga RW 05 Situgede ... 68

5 Struktur organisasi kelompok wanita tani Sawargi ... 80

6 Posisi tempat duduk peserta rapat ... 111

7 Keberagaman kader di Posdaya Kenanga ... 120

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta administrasi Kota Bogor dan Situgede ... 163

2 Peta adminstrasi Kelurahan Situgede ... 164

3 Peta administrasi wilayah RW 05 Situgede ... 165

4 Jadwal penelitian ... 167

5 Metoda pengumpulan data dan informasi penelitian ... 168

6 Catatan harian penelitian ... 169

7 Inisial Informan ... 179

8 Aktivitas PAUD Kenanga ... 180

9 Aktivitas Posyandu Kenanga ... 181

10 Aktivitas Posbindu Lansia ... 184

11 Proses pembuatan dodol talas ... 186

12 Usaha budidaya jamur tiram ... 189

13 Hasil kerajinan anyaman ... 191

14 Surat keterangan Kelurahan Situgede ... 192

15 Surat keterangan koordinator Posdaya Kenanga 05 Situgede ... 193

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setelah beberapa dekade pembangunan pertanian di Indonesia, ternyata pembangunan belum mampu meningkatkan harkat, martabat dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menjadi penyebabnya adalah: (1) Pembangunan itu hanya mengutamakan pertumbuhan, mengejar target dan jarang memperhatikan faktor manusia sebagai subyek dan (2) Tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Golongan yang diuntungkan adalah mereka yang dekat dengan elit kekuasaan atau mereka yang secara sosial ekonomi mampu meraih kesempatan yang ada.

Pendekatan komunikasi yang dijalankan pemerintah dalam program-program pembangunan selama ini dirasakan bersifat top down, komunikasi yang dilakukan bersifat searah linier dimana tidak ada mekanisme untuk memberikan umpan balik (feedback) dari masyarakat. Masyarakat seringkali hanya dijadikan sebagai obyek bukan subyek dalam pembangunan. Masyarakat diwajibkan terhimpun dalam kelompok yang dibentuk dan dikontrol oleh pemerintah, sehingga kelompok sulit sekali mandiri karena pengelolaannya harus mengikuti petunjuk pemerintah. Akibatnya kelompok biasa bekerja dengan instruksi dari atas dan hampir tidak memiliki peluang terlibat pada proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka.

Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif ini, semua pihak diundang untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horizontal, interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Kegiatan komunikasi bukan

kegiatan memberi dan menerima melainkan “berbagi” dan “berdialog.”

(18)

Selama ini, keterlibatan masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan sosial. Dengan kondisi ini, peran-peran serta

masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program, masyarakat

tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus

menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar.” Partisipasi menjadi bentuk yang pasif (Midgley, 1986 dalam Prijono dan Pranaka,1996).

Pemerintah pada tahun 2006 menyatakan bahwa pembangunan, utamanya pembangunan manusia dan keluarga, tidak saja menjadi tanggung jawab dan monopoli pemerintah, tetapi memerlukan kerja sama dan partisipasi masyarakat luas. Hal ini berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan manusia yang secara tidak langsung berkontribusi dalam meningkatkan indeks pembangunan manusia (Human Development Index).

Menurut United Nations Development Programme (UNDP), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan bagi penduduk, kebebasan untuk hidup lebih sehat, lebih berpendidikan, dan dapat menikmati standar hidup yang layak. Laporan Pembangunan Manusia 2010 yang dikeluarkan UNDP menunjukkan bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 108 dari 169 negara yang tercatat. IPM merupakan indeks komposit yang mencakup kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi (pendapatan)1.

Upaya dalam pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, salah satunya yaitu program pemberdayaan yang saat ini tengah dikembangkan oleh Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (P2SDM) LPPM IPB bekerjasama dengan Yayasan Damandiri adalah membangun dan mengembangkan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) di wilayah-wilayah yang memiliki kantong kemiskinan baik tingkat desa, dusun atau RW. Menurut Suyono dan Haryanto (2009), Posdaya sebagai forum silaturahmi, advokasi, komunikasi, informasi, edukasi dan sekaligus bisa dikembangkan menjadi wadah koordinasi kegiatan penguatan fungsi-fungsi keluarga secara terpadu. Penguatan fungsi-fungsi utama tersebut diharapkan setiap keluarga mampu membangun dirinya menjadi keluarga

(19)

sejahtera, keluarga yang mandiri dan keluarga yang mampu menghadapi tantangan masa depan dengan lebih baik.

Posdaya merupakan gagasan baru guna menyambut anjuran pemerintah untuk membangun sumberdaya manusia melalui partisipasi keluarga secara aktif. Proses pemberdayaan itu diprioritaskan pada peningkatan kemampuan keluarga untuk bekerja keras mengentaskan kebodohan, kemalasan dan kemiskinan dalam arti yang luas. Sasaran kegiatan yang dituju adalah terselenggaranya upaya bersama agar setiap keluarga mempunyai kemampuan melaksanakan delapan fungsi keluarga. Dalam rangka pelaksanaan Millenium Development Goals (MDGs), pengembangan fungsi keluarga tersebut diarahkan kepada lima prioritas sasaran utama, yaitu komitmen pada pimpinan dan sesepuh tingkat desa dan pendukuhan, kecamatan dan kabupaten, pengembangan fungsi keagamaan, fungsi KB dan kesehatan, fungsi pendidikan, fungsi kewirausahaan dan fungsi lingkungan hidup yang memberi makna terhadap kehidupan keluarga yang bahagia dan sejahtera (Muljono et al. 2010a). Sasaran akhir Posdaya adalah membentuk manusia-manusia yang bermutu dan sejahtera. Posdaya menggunakan keluarga sebagai ujung tombak untuk memperbaiki pendidikan, kesehatan, lingkungan dan ekonomi masyarakat dengan pilar keswadayaan dan kemandirian sebagai semangat kerjanya. Hal ini dikarenakan keluarga adalah lembaga utama, yang terdekat dan paling akrab dengan setiap anggotanya. Keluarga merupakan anggota terkecil dalam masyarakat. Kondisi keluarga merupakan cerminan kekuatan masyarakat, bangsa dan negara. Posdaya mewadahi kegiatan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat dengan inti kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan dan ekonomi.

Pembentukan forum pemberdayaan keluarga yang dikenal dengan Posdaya didirikan pada tahun 2006. Jumlah Posdaya yang sudah dibentuk di Indonesia pada saat ini sekitar 5.155 Posdaya, dimana sebanyak 53 Posdaya di antaranya telah terbentuk di sekitar Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi2. Posdaya sebagai sebuah gagasan pemberdayaan dari, oleh dan untuk masyarakat adalah sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang mengimplementasikan nilai-nilai kegotongroyongan di masyarakat. Posdaya adalah sebuah gerakan dengan ciri

(20)

khas “buttom-up programme,” kemandirian dan pemanfaatan sumberdaya serta

potensi lokal sebagai sumber segala solusi. Pihak “luar” hanya berperan sebagai

fasilitator, mediator dan pembangkit gagasan.

Kota Bogor masih dihadapkan pada masalah besarnya jumlah warga miskin yang berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010 jumlah warga miskin Kota Bogor mencapai 42.328 Rumah Tangga. Berbagai kegiatan yang dilakukan pada tahun 2010 telah menurunkan KK miskin sebanyak 1.452 keluarga miskin, atau 3,43% dari 42.328 KK, dengan jumlah terbanyak ada di Kecamatan Bogor Barat yang mencapai 358 KK3. Salah satu wilayah di Kota Bogor yang mendapatkan kesempatan melaksanakan program percontohan Institut Pertanian Bogor dalam rangka peningkatan Indeks Pembangunan Manusia adalah RW 05 Kelurahan Situgede Kecamatan Bogor Barat.

Berdasarkan Surat Keputusan Lurah Situgede No.147/96/V/2010 tertanggal 21 Mei 2010 RW 05 Kelurahan Situgede telah siap melaksanakan kegiatan Posdaya di lingkungan mereka. Kelurahan Situgede RW 05 menjadi salah satu wilayah pelaksana program Posdaya yang berada di lingkar kampus IPB dan siap mempraktekkan kegiatan Posdaya di lingkungan mereka, Posdaya Kelurahan Situgede RW 05 dinamakan Posdaya Kenanga. Program Posdaya di Kelurahan Situgede RW 05 ini mencakup empat bidang yaitu bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang ekonomi, dan bidang lingkungan hidup.

Bidang kesehatan yakni peran aktif dalam Posyandu (menangani 37 balita dan 2 ibu hamil), pembentukan Posbindu Lansia (menangani 75 lansia), penyuluhan kesehatan reproduksi remaja dan narkoba, pengukuran tensi darah dan timbangan untuk lansia, serta penyuluhan dan penanganan gizi buruk; bidang pendidikan melalui program kejar paket bagi pelajar drop out,

perpustakaan “Kenanga” warga, PAUD Nurul Yaqin (terdapat 50 murid dan 4 tenaga pengajar), pengembangan MI, dan TPA/TK; bidang ekonomi yaitu lembaga keuangan mikro dengan modal awal sebesar 1 juta, pelatihan budidaya pertanian, perikanan, tanaman hias, pengolahan makanan ringan, kelompok usaha pengolahan limbah rumah tangga, home industy (dodol talas, keripik talas, rumah jamur), kelompok wanita terampil (KWT Sawargi dan KWT Jamur Tiram) serta kelompok usahatani (jamur tiram dan tanaman hias); dan untuk bidang

(21)

lingkungan melakukan upaya pengelolaan sampah menjadi kompos, penanggulangan sampah atau limbah plastik menjadi tas atau kerajinan tangan, menggerakkan kerja bakti kebersihan, PSN (pemberantasan sarang nyamuk), biopori, briket sampah, dan memulai pemilahan sampah organik dan non organik di RT masing-masing.

Program Posdaya diperlukan partisipasi seluruh lapisan masyarakat. Partisipasi dalam hal mengemukakan pendapat, harapan, yang ingin dicapai dalam program Posdaya yang ada di lingkungannya. Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat penting keberhasilan suatu pembangunan. Partisipasi ini dapat diartikan sebagai proses keterlibatan masyarakat lokal yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar RW 05 Kelurahan Situgede yang terlibat dalam kegiatan Posdaya dengan tujuan agar dapat meningkatkan potensi diri dan mampu meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu cara agar masyarakat berpartisipasi dalam program tersebut yaitu program harus selaras dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Keikutsertaan masyarakat dalam program Posdaya harus dapat menumbuhkan rasa memiliki, sehingga program tersebut menjadi berkelanjutan. Partisipasi ini bukan hanya pengerahan tenaga masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pembangunan tetapi mengajak masyarakat untuk mau menyumbangkan pikiran, ide dan kreativitasnya. Masyarakat bukan menjadi obyek pembangunan yang menjadi ketergantungan dan tidak mandiri, melainkan sebagai subyek pembangunan yang perlu proses belajar untuk memperbaiki kehidupannya, memiliki kemampuan dan keterampilan untuk memanfaatkan kesempatan tersebut sehingga dapat mengatasi kesulitan hidup dan menjadi masyarakat yang mandiri. Partisipasi di sini baik dari perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasi pembangunan.

(22)

Tanpa adanya partisipasi yang baik dari masyarakat maka kegiatan yang sudah dirancang sedemikian rupa tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dari pelaksanaan program. Untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam program Posdaya, diperlukan suatu komunikasi partisipatif yang baik dimana terjadi komunikasi timbal balik antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan Posdaya dengan masyarakat.

Komunikasi dalam kegiatan Posdaya sangat diperlukan agar apa yang diinginkan baik oleh P2SDM LPPM IPB maupun masyarakat dalam pelaksanaan Posdaya dapat tercapai. Dengan komunikasi partisipatif yang dilakukan peran pendamping, perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat diharapkan dapat menghilangkan berbagai hambatan, terutama dalam hal tukar-menukar informasi maupun berbagai ketimpangan dalam pelaksanaan Posdaya. Oleh karena itu, sejauh mana komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Posdaya perlu dikaji. Hal lain yang menarik adalah karena Posdaya merupakan program pemberdayaan yang melibatkan institusi pendidikan dalam hal ini P2SDM LPPM IPB dan hingga saat ini penelitian atau kajian yang secara spesifik membahas tentang komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Posdaya belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut dan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirasakan perlu untuk melakukan penelitian lebih mendalam agar program Posdaya dapat lebih dikembangkan lagi.

Perumusan Masalah

(23)

pembangunan sehingga masyarakat menjadi tidak ketergantungan pada pihak lain.

Secara ringkas tujuan program Posdaya adalah menyegarkan modal sosial seperti hidup gotong-royong dalam masyarakat untuk membantu pemberdayaan keluarga; ikut memelihara lembaga sosial kemasyarakatan yang terkecil dan memberi kesempatan kepada setiap keluarga untuk memberi atau menerima pembaharuan yang dapat dipergunakan dalam proses pembangunan keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Keberhasilan program Posdaya sangat ditentukan oleh pendamping, perangkat kelurahan, dan tokoh masyarakat sebagai pelaksana program serta komunikasi partisipatif yang digunakan dalam program Posdaya. Berkaitan hal itu, maka dirasa perlu mengkaji mengenai peran pendamping, perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat serta komunikasi partisipatif yang terjadi dalam program Posdaya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan di antaranya:

1. Bagaimana peran pendamping, perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat dalam kegiatan Posdaya?

2. Bagaimana komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya? 3. Bagaimana dampak komunikasi partisipatif dalam kegiatan Posdaya? 4. Bagaimana respons masyarakat terhadap kehadiran Posdaya?

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis peran pendamping, perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat dalam kegiatan Posdaya.

2. Menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya. 3. Menganalisis dampak komunikasi partisipatif dalam kegiatan Posdaya. 4. Menganalisis respons masyarakat terhadap kehadiran Posdaya.

Kegunaan Penelitian

(24)

1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran dan pemahaman pengembangan ilmu tentang komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Posdaya dan kajian komunikasi pembangunan lainnya.

(25)

TINJAUAN TEORITIS

Komunikasi

Akar kata komunikasi adalah communication, dari kata dasar communis,

yang berarti kesamaan dalam suatu hal. Dahulu, orang menyatakan komunikasi sebagai proses mengirim dan menerima informasi. Saat ini, kata berbagi informasi lebih dekat dengan arti sebenarnya dari komunikasi. Komunikasi lebih berarti dua orang berbagi informasi bersama dari pada seseorang memberi informasi dan orang lain menerima (Lubis et al., 2009). Pengertian komunikasi secara etimologis berasal dari perkataan latin “communication”. Istilah ini

bersumber dari perkataan ”communis” yang berarti sama; sama disini

maksudnya sama makna atau sama arti. Jadi, komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 1993).

Menurut Devito (2011), komunikasi mengacu kepada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. West dan Turner (2009) menawarkan definisi komunikasi sebagai proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka.

Menurut Leeuwis (2009), komunikasi merupakan sebuah proses penting yang digunakan oleh manusia dalam pertukaran pengalaman dan ide, dan hal itu menjadi pemicu penting bagi penyampaian pengetahuan dan persepsi dari berbagai jenis (misalkan pembelajaran). Karena itu, komunikasi merupakan unsur inti dalam perubahan strategi untuk mendorong perubahan. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa komunikasi, yaitu suatu pernyataan manusia, baik secara perorangan maupun berkelompok, yang bersifat umum dengan menggunakan lambang-lambang yang berarti, maka tampak bahwa dengan perkembangan objek tertentu akan memerlukan komunikasi yang lebih spesifik. Misalnya, komunikasi pembangunan, komunikasi politik, komunikasi antar budaya, dan sebagainya.

(26)

dapat disimpulkan bahwa tujuan komunikasi yakni, memberi tahu atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion) atau perilaku (behavior) (Effendy, 2000).

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah cara penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Proses komunikasi dikategorikan dalam dua perspektif yaitu proses komunikasi dalam perspektif psikologis dan mekanistis. Proses komunikasi dalam perspektif psikologis merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri komunikator ketika berniat akan menyampaikan suatu pesan kepada komunikan. Adapun pesan komunikasi yang disampaikan terdiri dari dua aspek yaitu isi pesan berupa pikiran dan lambang berupa bahasa. Dengan kata lain, proses pengemasan pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator dalam bahasa komunikasi, kemudian disampaikan kepada komunikan sebagai penerima (Effendy, 1993).

Proses komunikasi dalam perspektif mekanistis merupakan cara yang berlangsung ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan. Proses komunikasi ini bersifat kompleks, sebab bersifat situasional saat komunikasi berlangsung. Proses komunikasi dalam perspektif mekanistis diklasifikasikan dalam proses komunikasi secara primer dan sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan lambang sebagai media. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat sebagai media (Effendy, 1993).

Memahami model penyampaian komunikasi berarti memahami kondisi penerima pesan atau komunikan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemberian informasi atau pesan. Banyak model komunikasi yang telah diungkapkan oleh para ahli komunikasi salah satunya dikemukakan dalam model Berlo (1960), yaitu :

a) Sumber

(27)

b) Pesan

Pesan adalah sesuatu yang disampaikan oleh sumber kepada penerima dengan kata lain sebagian produk fisik aktual dari komunikator-komunikan. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa informasi pesan, hiburan, informasi, inovasi, nasehat atau propaganda. Agar komunikasi berjalan efektif maka pesan yang disampaikan harus memenuhi persyaratan kode atau bahasa pesan, kesesuaian isi pesan dengan tujuan komunikasi, pemilihan serta pengaturan bahasa dan isi pesan.

c) Saluran

Saluran adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai saluran atau media, misalnya dalam komunikasi antarpribadi panca indera dianggap sebagai media komunikasi. Selain indera manusia, ada juga saluran komunikasi seperti telepon, surat dan telegram yang digolongkan sebagai media komunikasi antarpribadi.

d) Komunikan

Komunikan sering disebut juga sebagai penerima pesan. Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri dari satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, organisasi dan lain sebagainya. Penerima adalah elemen penting dalam proses komunikasi, karena unsur atau komponen inilah yang menjadi sasaran komunikasi. Jika suatu pesan tidak diterima oleh penerima akan menimbulkan berbagai macam masalah yang seringkali menuntut perubahan, baik dari sumber, pesan ataupun media.

Adapun tujuan komunikasi menurut Effendy (1993), adalah a) mengubah sikap (to change the attitude), b) mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion), c) mengubah perilaku (to change the behavior) dan d) mengubah masyarakat (to change the society). Sedangkan fungsi komunikasi itu sendiri adalah a) menginformasikan (to inform), b) mendidik (to educate), c) menghibur (to entertain) dan d) mempengaruhi (to influence).

(28)

pembangunan, (4) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan usaha secara efisien di bidang usaha yang dapat memberi manfaat dalam batas waktu yang tidak tertentu, (5) mewujudkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.

Dalam suatu organisasi kerja, komunikasi menjalankan beberapa fungsi yaitu: (1) komunikasi menyampaikan informasi dan pengetahuan dari orang yang satu ke orang yang lain sehingga dapat terjadi tindakan kerjasama. (2) Komunikasi membantu mendorong dan mengarahkan orang-orang untuk melakukan sesuatu. (3) komunikasi membantu dalam membentuk sikap dan menanamkan kepercayaan untuk mengajak, meyakinkan dan mempengaruhi perilaku. (4) komunikasi membantu memperkenalkan pegawai-pegawai dengan lingkungan fisik dan sosial mereka (Moekijat, 1993).

Komunikasi Pembangunan

Komunikasi pembangunan telah menjadi multi-fase, multi-dimensi dan partisipatif, dan harus dilihat dalam konteks sosial-politik, ekonomi dan budaya agar relevan untuk masyarakat yang dituju. Pada intinya, komunikasi pembangunan adalah tentang pengembangan masyarakat. Millennium Development Goals (MDGs) harus diatasi dan dinilai dari perspektif rakyat. Oleh karena itu penting untuk memulai dari perspektif masyarakat lokal dan bekerja sama dengan organisasi (PBB, pemerintah, LSM, masyarakat dan sektor swasta, dan masyarakat sipil) yang telah mengembangkan kepercayaan di dalam masyarakat.

Dalam praktek dan dalam pandangan secara global dan pemisahan komunikasi untuk pembangunan menjadi lebih penting dalam konteks abad ke 21, mengingat politik, ekonomi dan komunikasi lanskap baru berlangsung. Namun, komunikasi untuk pengembangan teknologi tidak boleh didorong. Hal ini harus didasarkan pada isu-isu sosial dan keprihatinan masyarakat. Fasilitator merupakan sebagai teknologi dan alat dalam komunikasi pembangunan. Sebaliknya, budaya merupakan pusat pengembangan dan perlu penekanan yang lebih besar dalam komunikasi untuk program pembangunan.

(29)

komunikasi yang berciri konvergen. Agar program yang akan dilaksanakan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Menurut Effendy (2001), komunikasi pembangunan merupakan proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khlayak guna mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat. Komunikasi pembangunan ini merupakan suatu strategi yang menekankan pada perlunya sosialisasi pembangunan kepada seluruh para pelaku pembangunan daerah dan masyarakat secara umum melalui berbagai media strategis.

Berdasarkan pernyataan Rosario-Braid dalam Nasution (2002) menyebutkan bahwa komunikasi pembangunan adalah elemen dari proses manajemen dalam keseluruhan perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan. Dalam pengertian yang lebih luas, komunikasi pembangunan diartikan sebagai identifikasi dan pemanfaatan keahlian dalam proses pembangunan dalam meningkatkan partisipasi untuk mencapai keuntungan yang diinginkan pada level yang paling rendah.

Hal ini seiring dengan pendapat Nasution (2002), yang membedakan komunikasi dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, komunikasi pembangunan adalah suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik (peran dan fungsi komunikasi) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedangkan dalam arti sempit, komunikasi pembangunan adalah segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat. Komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses menyeluruh, termasuk pemahaman terhadap khalayak serta kebutuhan-kebutuhannya, perencanaan komunikasi disekitar strategi-strategi yang terpilih, pembuatan pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan balik terhadap pesan-pesan itu dan bukan hanya kegiatan langsung satu arah dari komunikator kepada penerima yang pasif.

(30)

telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya adalah visi kesisteman dalam arti luas (Eriyanto, 1996; Brocklesby dan Cummings, 1995

dalam Sumardjo, 1999).

Menurut Mills dalam Mardikanto (1987), mengemukakan adanya empat peranan komunikasi di dalam proses pembangunan, yaitu :

1. Menerangkan atau menunjukkan kepada masyarakat tentang identitas dirinya sendiri.

2. Memberikan aspirasi terhadap anggota masyarakat.

3. Menunjukkan teknik-teknik atau alternatif yang dapat dilakukan.

4. Menerangkan tentang alternatif yang dirasakan paling tepat oleh masyarakatnya untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapi.

Menurut Widjaja A.W dan Hawab, serta Asyik (1987) dalam Dilla (2007), mereka mengartikan komunikasi pembangunan sebagai komunikasi yang berisi pesan-pesan (message) pembangunan. Komunikasi pembangunan ini ada pada segala macam tingkatan, dari seorang petani sampai pejabat, pemerintah dan negara, termasuk juga di dalamnya dapat berbentuk pembicaraan kelompok, musyawarah pada lembaga resmi siaran dan lain-lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan suatu inovasi yang diterima oleh masyarakat melalui proses komunikasi.

Sebagai proses perubahan dan pembaharuan masyarakat, pembangunan membutuhkan kontribusi komunikasi, baik sebagai bagian dari kegiatan masyarakat maupun sebagai ilmu yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Banyak proses pembangunan tidak mecapai sasarannya hanya karena rendahnya frekuensi informasi dan komunikasi kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan tingkat partisipasi yang memadai. Padahal partisipasi masyarakat sangat diperlukan bagi usaha pencapaian tujuan pembangunan (Dilla, 2007).

(31)

inovasi tersebut ke sistem sosial yang lebih luas. Ringkasnya komunikasi sangat bermanfaat untuk pembangunan (Lubis et al., 2009).

Komunikasi Partisipatif

Komunikasi partisipatif mulai berkembang pada akhir 1980an serta awal 1990an, ketika sejumlah peneliti atau ilmuwan bekerja dalam perspektif ini, di antaranya adalah Servaes (1991), Modi (1991) dan White et al. (1994) dalam

Mefalopulos (2003). Servaes (1991) membahas secara terbuka kebutuhan untuk paradigma baru dalam komunikasi untuk pengembangan dan Melkote (1991) membahas alternatif paradigma, paradigma baru yang menjadi kebutuhan, yaitu model komunikasi partisipatif. Para peneliti atau ilmuwan memfokuskan pada aliran komunikasi horizontal, jauh dari komunikasi yang sebelumnya bersifat top-down yang pada dasarnya membayangkan sebuah pengirim, pesan dan penerima. Akan tetapi untuk komunikasi horizontal penekanan lebih pada pengguna dan berorientasi pendekatan bottom-up untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (Servaes et al., 1996). Partisipasi juga memunculkan pertanyaan akan isu kekuasaan dan pemberdayaan mengasumsikan lebih tinggi relevansinya.

Permasalahan yang dihadapi membantu untuk menentukan tujuan komunikasi yang strategis. Dimulai dari mengkomunikasikan informasi yang benar atau relevan dengan khalayak tertentu, serta mengartikulasikan proses tindakan kolektif dan refleksi oleh para pemangku kepentingan yang relevan. Pusat perhatian dari komunikasi partisipatif adalah pemberdayaan masyarakat oleh keterlibatan aktif mereka dalam identifikasi masalah, pengembangan solusi dan pelaksanaan strategi. Model partisipatif adalah pendekatan dialogis dan horizontal untuk komunikasi dan pembangunan (Tufte & Mefalopulos, 2009). Dialog yang bersifat bebas dan terbuka merupakan prinsip inti dari komunikasi partisipatif. Paulo Freire mendefinisikan dialog sebagai "pertemuan antara masyarakat untuk memberikan suara yang mengatasnamakan dunia.”

(32)

Model komunikasi yang dibutuhkan adalah model yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaktif (interaktif model). Komunikasi dua arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini terjadi komunikasi umpan balik (feedback) gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respon balik terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian, komunikasi berlangsung dalam proses dua arah (two-way) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical proses), sedangkan setiap partisipan memiliki peran ganda, di mana pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai

receiver, terus seperti itu sebaliknya (Bungin, 2008).

Dalam komunikasi dua arah bukan hanya pesan yang diperhatikan tetapi juga arusnya yang dua arah. Kalau pesan yang dipentingkan, maka yang keluar hanya perintah, pengarahan atau petunjuk yang tanpa diskusi atau komunikasi sekalipun. Tetapi arusnya yang diutamakan dalam komunikasi dua arah, maka yang terjadi adalah alternatif pendapat, saran dan cara pemecahan yang timbul dari keinginan bersama. Menurut Hamijoyo (2005), model ini disebut model konvergensi komunikasi, model ini berlandaskan konsepsi komunikasi sosial sebagai suatu proses dialog dua arah dalam upaya mencapai saling pengertian dan kesepakatan antara dua individu atau dua kelompok atau lebih, dan bukan satu orang atau satu kelompok yang berkuasa atau berwibawa memaksakan kekuasaan atau kewibawaannya kepada orang lain. Proses dialog dua arah menurut Effendy (2000), selalu lebih baik dari pada monologis. Proses komunikasi dialogis menunjukkan terjadinya interaksi dimana mereka yang terlibat dalam komunikasi berupaya untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati.

(33)

tinggi dengan permasalahan, kebutuhan dan kondisi nyata di lapangan. Selain itu keterlibatan masyarakat dalam perencanaan akan membuat masyarakat merasa ikut memiliki, karena ikut menentukan program, sehingga ikut merasa bertanggung jawab akan keberhasilannya. Lebih dari itu, melalui cara ini masyarakat juga memperoleh kesempatan untuk belajar dan mengasah diri agar lebih memiliki kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi dan mempunyai kemampuan merancang masa depannya sendiri (Soetomo, 2011).

Mengacu pada konsep pengembangan wilayah serta pola pendekatan komunikasi top-down dan buttom-up, Sumardjo (1999) juga mengemukakan bahwa model komunikasi pembangunan yang dinilai layak untuk dikembangkan adalah model komunikasi “interaktif” yang menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran (exchange theory).

Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi pihak atas (pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat) dalam program pembangunan wilayah setempat. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjalin integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi (dan permasalahan) lingkungan setempat. Pendekatan tersebut lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih luas.

Model komunikasi partisipatif, di sisi lain mengubah pandangan dalam kerangka keragaman. Ini menekankan pentingnya identitas budaya masyarakat lokal dan demokratisasi dan partisipasi di semua tingkat-internasional, nasional, lokal dan individu. Menurut Freire (1983) semua orang baik secara individual dan kolektif memiliki hak untuk berbicara. “Berbicara bukan hak istimewa dari beberapa orang, namun hak setiap manusia.“

(34)

menyelidiki masalah dan peluang dan akhirnya mencapai konsensus tentang perubahan dimaksud antara semua pemangku kepentingan (Mefalopulos, 2003).

Komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Rahim (2004), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan

karnaval.

Pertama, Heteroglasia: Konsep ini menunjukkan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda-beda dengan berbagai variasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik ditingkat nasional-lokal, makro-mikro, public-privat, teknis-ideologis, dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut terdapat berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan berbagai peserta yang berbeda. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan yang sama, tetapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya.

Tantangan bagi komunikasi pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan heteroglasia, bagaimana menempatkan konsep tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi dan kelompok yang berbeda-beda atau variasi pandangan tentang pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari partisipasi.

(35)

dialog tidak memiliki kedaulatan ego, dia musti membangun suatu kesadaran diri (sosial). Kesadaran dirinya tergantung pada seberapa aktif kesadaran sosial yang lain juga dimunculkan.

Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip seperti meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar dan subjek lain yang ada dalam dunia. Dia secara diam berbicara dengan mereka, dan dalam proses tersebut menguji secara kritis ideologi mereka sendiri. Meskipun demikian hanya sedikit orang yang dapat melakukan meditasi seperti ini. Bagi sebagian orang lain, hal ini harus dipelajari dan itu dapat dipraktekkan apabila situasi komunikasi di desain untuk menstimuli proses tersebut. Salah satu jalan untuk mendorong meditasi tersebut dalam komunikasi pembangunan adalah dengan menstrukturkan situasi-situasi komunikasi untuk meditasi tertentu dan untuk mengkostruksikan suatu pesan yang dapat menstimuli suatu dialogi internal.

Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain, atau suara lain, sebagai subyek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai obyek komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan atau disatukan dengan suara orang lain.

Ketiga, Poliponi adalah bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana suara-suara yang tidak menyatu atau terpisah dan meningkat menjadi terbuka, memperjelas satu sama lain, dan tidak menutupi satu sama lain. Itu adalah suatu bentuk ideal dari komunikasi partisipatif dimana keberbedaan suara-suara disadari secara kolektif dengan menghubungkan berbagai perlakuan konstruksi umum komunitas. Kesatuan poliponi bukan sesuatu yang diperkenalkan dari luar tetapi terbangun dari suatu proses dialog sehingga otonomi suatu suara selalu diartikulasikan dengan yang lain, mendirikan ikatan saling ketergantungan yang saling menguatkan.

(36)

bermain secara berdampingan, masing-masing saling mengartikulasikan dan mengisi. Orang-orang hidup dengan karnaval sebelum dan selama mereka hidup dengan pembangunan. Bahasa dan gaya dari komunikasi karnaval selalu berdasarkan pengalaman khalayak yang tidak dimediasi, menggunakan kosakata yang umum, fantastik, dan berbau pengalaman dari mereka.

Komunikasi Partisipatif dalam Pemberdayaan

Untuk memperbaiki kondisi dunia, terutama kondisi negara-negara Eropa Barat dan negara dunia ketiga, Amerika Serikat berinisiatif memunculkan program bantuan ekonomi bertitel Marshall Plan. Bantuan itu mencakup dukungan modal, teknologi, program-program pembangunan dan tenaga ahli. Tujuannya adalah untuk mempercepat peningkatan dan pertumbuhan ekonomi negara penerima bantuan, tentu saja dengan mekanisme pengaturan strategi sesuai proposal negara donor. Sejak itu, dimulailah penerapan paradigma pembangunan yang mempunyai karakter vertical top-down (pola pembangunan ditransferkan begitu saja dari negara donor kepada negara penerima bantuan), bertumpu pada investasi modal asing, dan dijalankan sesuai dengan program dan rencana proyek negara-negara maju, dan diterapkannya teori trickle-down effect atau efek tetesan ke bawah, yang asumsinya manfaat program-program intervensi sosial di negara-negara Dunia Ketiga akan menetes ke bawah kepada setiap orang, mulai dari mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi paling atas yang pertama-tama mengakses pesan-pesan kemajuan atas dukungan kemampuan ekonomi mereka dan selanjutnya diteruskan kepada mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah.

(37)

Paradigma Lama Komunikasi Vertical Top-Down

Kondisi yang mensubordinasikan Indonesia dan negara-negara dunia ketiga dalam situasi global dunia, maupun subordinasi rakyat berhadapan dengan pemegang kekuasaan negara dalam konteks situasi Indonesia sangat dilestarikan oleh pola-pola komunikasi. Oleh karena itu, digunakanlah pendekatan komunikasi pembangunan, yakni disiplin ilmu dan praktikum komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan komunikasi untuk perubahan sosial yang berencana, untuk meningkatkan “pembangunan manusiawi”, yang berarti komunikasi dilakukan dengan tujuan untuk menghapuskan kemiskinan, pengangguran dan ketidakadilan (Nasution, 2002).

Salah satu kajian penting dalam pendekatan komunikasi pembangunan adalah permasalahan betapa rendahnya partisipasi rakyat dalam proses pembangunan akibat minimalnya kesempatan terjadinya komunikasi yang adil dan seimbang antara rakyat dan pembuat keputusan negara dalam menentukan jalannya proses pembangunan. Keprihatinan ini dicerminkan oleh proses pembangunan yang tidak selalu mengutamakan kepentingan dan partisipasi rakyat, melainkan lebih berorientasi pada kepentingan politis (stabilitas, status quo, kekuasaan), akumulasi modal dan pertambahan keuntungan elit ekonomi, maupun superioritas.

Paradigma lama komunikasi pembangunan menekankan pada proses komunikasi manusia yang dalam model komunikasi linier konvensional. Model ini merupakan gambaran proses komunikasi yang berlangsung secara linier (searah) dari sumber kepada penerima melalui media (sumber-pesan-media-penerima). Model linier-konvensional tersebut dapat pula tergambarkan secara vertikal mengingat struktur stratifikasi sosial masyarakat terbagi menurut kelas atas, menengah dan bawah.

(38)

pembangunan, sesuai format pesan tersebut, karena pola pikirnya telah berhasil diubah lewat proses komunikasi itu.

Kelemahan paradigma lama ini, terletak pada diabaikannya aspek struktural dari proses pembangunan (Oepen, 1988). Bahkan, penekanannya pada kecanggihan teknologi komunikasi (terutama media massa), yang begitu diyakini mampu membawa perubahan psikologis individu dan sosial, dengan serta merta menggusur kemungkinan diperhatikan dan dikembangkannya model-model tradisional komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) dan komunikasi kelompok (group communication), yang pada kenyataannya masih sangat menentukan keberhasilan komunikasi dalam masyarakat di Indonesia.

Kritik terhadap paradigma lama tersebut secara kritis dirumuskan dalam imperialisme “budaya” atau imperialisme “media,” yaitu pandangan bahwa media dapat membantu “modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal. Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapitalisme dan karena prosesnya “imperialistis” serta dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan khususnya Amerika Serikat (McQuail, 1994).

Paradigma Baru Komunikasi Partisipatif (Horisontal)

Rogers (1989) memproklamasikan usangnya Paradigma Lama Komunikasi Pembangunan, yang segera disusul pemunculan tesis-tesis baru tentang perombakan komunikasi pembangunan. Untuk itu dibutuhkan strategi pembangunan yang lebih mandiri dan adil bagi masyarakat lapisan bawah secara terdesentralisasi yang sama sekali berbeda dengan model “top-down.

(39)

komunikasi dalam pembangunan di Indonesia, yang lebih berciri partisipatif (horizontal).

Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif-horisontal tersebut dimunculkanlah kembali (revitalisasi) konsep komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), media rakyat (folk media), komunikasi kelompok (group communication) dan model komunikasi dua tahap (two-step flow communication). Selain itu, oleh karena ikatan kultural di banyak daerah, masyarakat Indonesia masih mengakui kharisma agen perubahan atau opinion leader (pemuka pendapat dalam masyarakat seperti kyai, guru, kadus, pemuka adat dsb.) sebagai aktor penting dalam proses komunikasi masyarakat (Oepen, 1988). Akan tetapi, pentingnya peranan opinion leader tidak bisa diartikan sebagai “penguasa baru” melainkan hanyalah sosok

panutan yang menjadi jembatan perantara diadakannya perubahan pola komunikasi lama yang vertikal dan tergantung media menuju pola komunikasi yang horizontal yang sepenuhnya mengandalkan demokratisasi dan partisipasi rakyat.

Dalam paradigma komunikasi partisipatif (horizontal) ini, semua rakyat diundang untuk lebih berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horizontal, interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Dalam proses komunikasi, tidak hanya ada sumber atau penerima saja. Sumber juga penerima, penerima juga sumber dalam kedudukan yang sama dan dalam level yang sederajat. Karena itu kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan “berbagi” atau “berdialog.” Isi komunikasi bukan lagi “pesan” yang dirancang oleh sumber dari atas, melainkan fakta, kejadian, masalah, kebutuhan yang dimodifikasikan menjadi “tema.” Tema inilah yang disoroti, dibicarakan dan dianalisa. Semua suara didengar dan diperhatikan untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Maka yang terlibat dalam model komunikasi ini bukan lagi “sumber dan penerima” melainkan “partisipan” yang satu dengan yang lain.

(40)

masyarakat tidak pernah sadar atau berdaya untuk menilainya dahulu dari sudut kepentingan dan keuntungan mereka sehingga seringkali kebijakan pembangunan yang sesungguhnya lebih menguntungkan penguasa modal dan kekuasaan pemerintahan tidak mereka ketahui dan tinggal mereka laksanakan saja. Maka, pembebasan rakyat dari “budaya bisu” berarti menggalakkan upaya apa saja untuk membantu rakyat memunculkan kesadarannya terhadap apa saja yang dilaksanakan oleh negara ini, agar senantiasa bisa berorientasi pada kepentingan rakyat. Untuk itu dibutuhkan proses pendidikan politik yang intentis, yang membuat rakyat sadar akan hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan, tidak sekedar menjadi pelaksana, melainkan menjadi penentu segenap proses lahirnya kebijakan sampai pelaksanaan sebuah kebijakan.

Paradigma komunikasi partisipatif (horizontal) memungkinkan lahirnya harapan baru akan semakin intensifnya upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia menuju situasi yang lebih demokratis, berdaya, merdeka sepenuhnya, dalam kerangka civil society. Namun yang perlu diingat, perintisan komunikasi partisipatif tidak dimulai dari tingkatan struktur atas yang hanya menjangkau aspek hukum dan perundangan, sistem pemerintahan dan niat baik elit penguasa, melainkan perlu dirintis sejak dari kehidupan sehari-hari dan persoalan sederhana dalam masyarakat itu sendiri.

Habermas dan Ruang Publik

Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik. Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas deskripsi historis tersebut diperluas Habermas untuk merumuskan konsep ideal partisipasi publik di dalam masyarakat demokratis dewasa ini.

(41)

proses pembentukan opini melalui debat kritis rasional. Habermas menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan di dalam masyarakat kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama melalui kehadiran fisik partisipan haruslah dilampaui, yakni warga negara yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik di dalam proses deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara virtual. Proses komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya adalah sebuah prinsip demokrasi yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara dengan kesempatan yang sama tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya. Proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai didalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang di dalam debat rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik.

Menurut Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, dari pada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi, dan opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene bukanlah opini publik sama sekali. Ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar di dalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang di mana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan membenarkan ketidakadilan tertentu.

Menurut Habermas, masyarakat memiliki 3 jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing. Kepentingan teknis, adalah kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Karena sifatnya yang sangat instrumental dengan tugas kerja yang konkret, pada dasarnya adalah kepentingan yang “teknis.” Kepentingan yang kedua adalah interaksi. Karena kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup,

Habermas menamakannya kepentingan “praktis.” Ia mencakup kebutuhan

(42)

cenderung pada distribusi kekuasaan, namun pada saat yang sama, kita juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris.”

Masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini. Pertentangan antar kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep Ruang Publik. Baginya, Ruang Publik adalah wahana di mana setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Ruang Publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara yang ideal. Situasi yang ideal ini, adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Situasi ideal, kebenaran tidak menjadi obyek dari kepentingan tersembunyi dan permainan, melainkan muncul lewat argumentasi.

Ruang publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam ruang publik. Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Hanya melalui ruang publik inilah, dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi (Hardiman, 2009).

Peran-Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan

Prinsip dasar dari kegiatan pendampingan adalah egaliter atau kesederajatan kedudukan. Dengan demikian hubungan yang terjalin antara fasilitator dan komunitas (masyarakat) adalah berupa kemitraan (partnership). Artinya adalah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

(43)

mengelola sumber daya, memecahkan persoalan kehidupan bersama-sama serta mendorong tumbuhnya keberanian komunitas untuk mengungkapkan realitas yang meminggirkan dan melakukan aksi untuk merombaknya.

Beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat. Dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan sebagai “enabler” atau “organizer” atau “educator.” Peranan ini bergerak dari satu ke lainnya, sehingga ia memiliki peranan ganda. Oleh karena itu, tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist” (Nasdian, 2003).

Ife (1995), membagi menjadi empat kategori seorang fasilitator dalam pengembangan masyarakat sebagai berikut:

Peran Fasilitatif

Proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri: bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas.

Peran Pendidik

(44)

dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dan fasilitator adalah menertibkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasikan), dan memberikan pelatihan kepada partisipan.

Konteks seorang fasilitator mesti mampu menjawab bagaimana dia membutuhkan kesadaran (consciousness). Menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari.

Peneliti Fasilitator

Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian, guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti dari survei-survei, menggunakan dan meneliti data sensus, mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuesioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik.

Peran Teknikal

(45)

prasarana desa. Untuk maksud tersebut, seorang fasilitator teknik harus memiliki tiga macam keterampilan, yaitu:

a. Keterampilan untuk memberdayakan masyarakat, termasuk peningkatan kapasitas teknis dan manajerial. Hal termasuk keterampilan untuk menerapkan prosedur dan metode yang mendorong peningkatan tingkat pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan pengalihan ilmu sosial dengan uraian tugas.

b. Keterampilan teknis, termasuk keterampilan dalam bidang teknis sipil yang umum maupun keterampilan dalam pembangunan jenis prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat.

c. Keterampilan untuk menilai dan meningkatkan kemandirian teknis.

Pemerintah Kelurahan

Gambar

Gambar 1 Alur Kegiatan Penelitian
Gambar 2  Proses Analisis Data
Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut  Mata Pencaharian di Kelurahan Situgede
Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan Situgede
+7

Referensi

Dokumen terkait