• Tidak ada hasil yang ditemukan

Collaborative Development of Mount. Ciremai National Park: An Action Research

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Collaborative Development of Mount. Ciremai National Park: An Action Research"

Copied!
313
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KOLABORASI TAMAN

NASIONAL GUNUNG CIREMAI: KAJIAN

MELALUI RISET AKSI

ARIF ALIADI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

ABSTRACT

ARIF ALIADI. Collaborative Development of Mount. Ciremai National Park: An Action Research. Under the direction of RINEKSO SOEKMADI and HERRY PURNOMO.

(4)

RINGKASAN

ARIF ALIADI. Pengembangan Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi. Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI dan HERRY PURNOMO.

Konflik dalam pengelolaan Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai terjadi ketika masyarakat di sekitar TN Gunung Ciremai kehilangan akses untuk mengelola kebun campuran (agroforest) yang sudah mereka kembangkan sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya menjadi Taman Nasional pada bulan Oktober 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004. Sebanyak 26 desa di sekitar Gunung Ciremai yang termasuk dalam Kabupaten Kuningan, sebelumnya telah membuat kesepakatan dengan Perhutani yang menyatakan bahwa obyek kerjasama adalah lahan di hutan lindung dengan total luas 8.645 hektar. Lahan tersebut dapat dikelola dengan pola agroforestri. Perubahan status dari hutan lindung menjadi Taman Nasional membuat kesepakatan yang dibuat menjadi tidak berlaku lagi.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konflik yang terjadi dan proses penyelesaian yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut, serta mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Penelitian dilakukan mulai dari bulan September 2006 sampai September 2010.

Metode Riset Aksi (Action Research) dilakukan untuk mengumpulkan data dan dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis konflik (Moore, 1996) dan analisis kemungkinan kolaborasi (Borrini-Fayerabend, 1996) digunakan untuk menggambarkan sejauh mana kolaborasi sudah dikembangkan.

Proses penyelesaian konflik yang dilakukan melalui 8 tahap yaitu investigasi, analisis stakeholder, persiapan negosiasi, mendiskusikan pilihan-pilihan skenario, negosiasi, pro-aktif dalam menanggapi hasil negosiasi, konsolidasi setelah negosiasi dilakukan, dan internalisasi hasil negosiasi. Proses penyelesaian konflik yang dilakukan berhasil mengubah sikap konfrontatif para pihak menjadi kolaboratif. Sikap ini menjadi landasan yang kuat bagi pengembangan strategi kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.

(5)

© Hak cipta milik Arif Aliadi, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

(6)

PENGEMBANGAN KOLABORASI TAMAN

NASIONAL GUNUNG CIREMAI: KAJIAN

MELALUI RISET AKSI

ARIF ALIADI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Makalah : Pengembangan Kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi

Nama : Arif Aliadi

NIM : E051050191

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi M.Sc.F.

Ketua Anggota Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp.

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2006 ini adalah kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. dan Bapak Dr. Ir. Herry Punomo, M.Comp. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sanusi K. Wijaya, Bapak Usep Sumirat, saudara Rachmat Firmansyah dan kawan-kawan dari LSM Kanopi dan Para Penggiat PHBM di Kabupaten Kuningan, yang telah membantu selama pengumpulan data.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 1967 dari ayah Ali Moertolo dan ibu Isminah. Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2005, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2011.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Taman Nasional ... 8

Aktivitas Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Taman Nasional ... 9

Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional ... 12

Solusi Yang Dilakukan ... 13

Kesenjangan antara Konflik dan Solusi ... 15

Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif ... 16

METODOLOGI ... 19

Kerangka Pemikiran ... 19

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

Metode ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

Hasil Penelitian ... 42

Siklus 1: Konflik dan Penyelesaiannya ... 42

Siklus 2: Strategi Kolaborasi ... 59

Pembahasan ... 71

Metode Riset Aksi ... 71

Jenis Konflik ... 75

Proses Penyelesaian Konflik ... 81

Tingkat Kolaborasi ... 87

Pengelolaan TN Gunung Ciremai di Masa Depan ... 90

SIMPULAN DAN SARAN ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Permasalahan Taman Nasional ... 1

2. Kegiatan yang Dilarang dan Boleh Dilakukan di Taman Nasional ... 11

3. Tipologi Partisipasi Masyarakat ... 22

4. Perbedaan Riset Aksi dengan Penelitian Formal Kuantitatif ... 37

5. Prosedur Kerja Riset Aksi Yang Dilakukan ... 38

6. Tahapan Terjadinya Konflik dalam Penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai ... 49

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Permasalahan ... 6

2. Tahapan Konflik ... 24

3. Desain Kolaborasi ... 29

4. Skema Manajemen Kolaboratif ………. 31

5. Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai ... 33

6. Spiral Action Research Yang Digunakan ... 35

7. Contoh Matriks Klasifikasi Stakeholder Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan ... 40

8. Siklus 1: Konflik dan Penyelesaiannya ... 43

9. Klasifikasi Para Pihak di Kabupaten Kuningan Berdasarkan Tingkat Kepentingan Pelibatan (importance) dan Pengaruh (influence) ... 54

10. Siklus 2: Strategi Kolaborasi ... 59

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Profil Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat (LPI PHBM) ... 99

2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.424/Menhut-II/2004 ... 100

3. Desa-desa di Sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai yang sudah membuat Kesepakatan dengan Perhutani KPH Kuningan ... 103

4. Peta Taman Nasional Gunung Ciremai ... 104

5. Notulensi Pertemuan LPI tanggal 25 Oktober 2004 ... 105

6. Informasi tentang Taman Nasional dan Hutan Lindung ... 108

7. Proses Usulan Kawasan Konservasi menurut Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2002 tanggal 15 Maret 2001 jo No. SK. 48/Kpts-II/2004 tanggal 23 Januari 2004 ... 110

8. Materi Dialog Taman Nasional Gunung Ciremai ... 111

9. Catatan Pertemuan dengan Kepala Sub-Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi, Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. 112 10. Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala BKSDA Jabar II tanggal 14 Desember 2004 ... 114

11. Catatan Pertemuan antara Peneliti bersama sebagian Anggota LPI PHBM dengan Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut ... 118

12. Kronologis Peristiwa dalam Perubahan Status Hutan Lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai ... 120

13. Bahan Rapat tanggal 8 Oktober 2004 ... 124

14. Surat Para Penggiat PHBM Kuningan tanggal 5 Februari 2005 ... 125

15. Daftar Stakeholder Yang Terkait dengan TN Gunung Ciremai ... 132

16. Nota Kesepakatan Bersama antara BKSDA Jabar II dengan Pemerintah Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai ... 134

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan taman nasional di Indonesia masih belum berhasil membuat kehidupan masyarakat di sekitarnya menjadi lebih baik. Jarang sekali ada kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat langsung dari keberadaan taman nasional. Mungkin di beberapa taman nasional, masyarakat masih bisa mengambil hasil hutan non-kayu dari dalam kawasan, namun mereka harus bersedia membayar sejumlah kompensasi kepada petugas kawasan atau mereka akan disebut sebagai pencuri, perambah, dan berbagai cap negatif lain.

Keadaan ini membuat eksistensi taman nasional terancam. Effendi (2000) menyebutkan beberapa ancaman yang disebabkan oleh manusia di kawasan taman nasional di seluruh Indonesia. Bentuk-bentuk ancaman yang dilaporkan adalah pemukiman, perladangan, pertambangan, penggembalaan ternak, penggunaan lahan untuk bertani, tumpang tindih peruntukan, penebangan pohon, pengambilan hasil hutan non kayu, penangkapan ikan, perburuan, pengambilan biota laut, dan penebangan mangrove. Suporahardjo (2003) memberikan contoh permasalahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional (Tabel 1).

Tabel 1. Permasalahan Taman Nasional

Nama Taman Nasional Jenis Permasalah Volume

1. TN Gunung Halimun

Pemukiman liar Kebakaran Hutan PETI

Penebangan Liar Penyerobotan lahan

59 ha 42 ha 3 ha 47,75 ha 621,84 ha 2. TN Ujung Kulon Pemukiman liar

Perladangan liar

2188,27 ha 1143,37 ha

3. TN Kerinci Seblat Pemukiman liar 1665 ha

5. TN Kutai Pemukiman dan perladangan liar 4977 ha

Sumber: Suporahardjo (2003)

(16)

Amerika Selatan menemukan bahwa 86% dari semua kawasan konservasi telah dihuni oleh manusia yang melakukan aktivitas ekonomi. Keadaan demikianlah yang menyebabkan terjadinya banyak kasus di taman nasional. Machlis dan Technell (1985) dalam

Hasil penelitian di atas juga diperkuat dengan penelitian oleh IUCN. Wells et.al. (1992) menyebutkan di dalam bukunya, bahwa pada awal tahun 1980-an, ada suatu studi yang dilakukan oleh IUCN (1984) yang meringkas jenis-jenis ancaman yang dihadapi oleh 43 kawasan konservasi yang paling terancam di dunia. Sepuluh ancaman terbesar adalah tidak memadainya sumberdaya untuk pengelolaan, perambahan, perubahan dalam tata air atau pembangunan dam, perburuan, adjacent land development, pembangunan internal yang tidak sesuai (misalnya jalan), pertambangan dan sumberdaya berpotensi tinggi, konflik ternak, kegiatan militer, dan kegiatan kehutanan.

McNeely (1989) melaporkan bahwa dari 100 taman nasional yang diteliti di seluruh dunia, terdapat 1611 ancaman spesifik terhadap taman nasional, dimana 95% di antaranya terjadi di negara berkembang. Sepuluh ancaman yang paling berbahaya adalah pemindahan satwa liar yang ilegal, kurang memadainya manajemen personalia, penebangan pohon/vegetasi, erosi tanah, sikap-sikap lokal, konflik atas lahan, api, human harrasment of animals, kerusakan/kehilangan habitat, dan vegetation trampling.

Permasalahan yang diungkap dimuka menunjukkan tidak adanya dukungan dari masyarakat, khususnya masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan konservasi. Tanpa dukungan masyarakat, petugas kawasan konservasi bekerja sendiri mengamankan kawasannya. Dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan fasilitas, maka tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin keamanan kawasan konservasi. Ancaman akan semakin besar.

(17)

pelindung), jeruk, dan salak. Keberadaan “Napu” sudah ada sebelum terjadinya penetapan TN Kelimutu. Agroforest “Napu” merupakan pola usaha tani yang tidak bertentangan dengan defisini dan tujuan pengelolaan taman nasional. Selanjutnya Muda (2005) menjelaskan bahwa agroforest “Napu” memberi keuntungan secara ekologis, ekonomis maupun sosial.

Manfaat agroforestri juga diungkapkan oleh Aliadi dan Kaswinto (2000) yang menyatakan bahwa manfaat agroforestri tumbuhan obat yang dikembangkan di zona rehabilitasi TN Meru Betiri Jawa Timur sesuai dengan fungsi-fungsi taman nasional, yaitu fungsi taman nasional, yaitu (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (b) pengawetan plasma nutfah, dan (c) pelestarian pemanfaatan keragaman hayati.

Permasalahan muncul ketika agroforestri yang telah dikembangkan oleh masyarakat di kawasan taman nasional tidak dapat diakomodir dalam pengelolaan taman nasional. Hal ini terjadi di TN Gunung Ciremai.

Kawasan hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai pada tanggal 19 Oktober 2004, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 ha, yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Pada awalnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 419/Kpts-II/1999, fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas 15.518,23 Ha yang terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka serta merupakan gunung tertinggi di Propinsi Jawa Barat (3.078 m) ialah hutan lindung (7.748,75 Ha), hutan produksi (2.690,48 Ha), hutan produksi terbatas (4.943,62 Ha) dan areal penggunaan lain (135,38 Ha). Kemudian, pada tahun 2003 berubah menjadi hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003.

(18)

tangga miskin dan menengah memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pengelolaan lahan PHBM, terlihat dari nilai persentase luasan asset lahan sebesar 39 % (rumah tangga miskin) dan 35 % (rumah tangga menengah). Kondisi ini terjadi dikarenakan keberadaan nilai asset lahan pribadi yang minin serta tidak mencukupi kebutuhan livelihood rumah tangga, akibatnya kelompok rumah tangga miskin dan menengah memiliki ketergantungan akan lahan PHBM. Untuk kelompok ruman tangga miskin, sebanyak 62 % pendapatan rumah tangga berasal dari hasil lahan seperti : padi gogo, melinjo, cengkeh dan kopi. Sedangkan untuk kelompok rumah tangga menengah, sebanyak 34 % pendapatan rumah tangga diperoleh dari hasil lahan, seperti : padi gogo, cengkeh, dan melinjo. Sumber pendapatan dari lahan merupakan hasil dari pola agroforestri yang dikembangkan masyarakat di dalam kawasan Gunung Ciremai, sebelum kawasan tsb. ditetapkan sebagai Taman Nasional.

Perumusan Masalah

Perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 424/Menhut-II/2004, telah menyebabkan hilangnya akses masyarakat untuk mengelola kebun campuran yang telah dikembangkan sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya. Ketika status Gunung Ciremai masih hutan lindung dan dikelola oleh Perhutani, masyarakat telah membuat kesepakatan kerjasama dengan Perhutani yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK). Sampai tahun 2004, sudah ada 26 desa di sekitar Gunung Ciremai yang membuat NKB yang menyatakan bahwa wilayah hutan lindung yang termasuk dalam wilayah administrasi desa adalah obyek kerjasama. Total luas hutan lindung yang menjadi obyek kerjasama mencapai 8.645 hektar. Di antara 26 desa tersebut, 8 desa di antaranya telah membuat NPK yang merupakan perjanjian yang lebih detail antara lain mengatur bentuk pemanfaatan hutan lindung berupa agroforest atau kebun campuran.

(19)

(PHBM). Perubahan status kawasan dari hutan lindung menjadi Taman Nasional berimplikasi pada perubahan pengelola hutan. Hutan lindung dikelola oleh Perhutani sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor kehutanan. Sedangkan Taman Nasional dikelola oleh Balai Taman Nasional yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan.

Perubahan status kawasan hutan dan pengelola telah membuat masyarakat yang tinggal di 26 desa sekitar TN Gunung Ciremai menjadi resah dan bertanya-tanya. Keresahan dan pertanyaan yang paling banyak diutarakan adalah apakah PHBM yang selama ini dilakukan, dianggap merusak hutan sehingga pola pengelolaannya harus diganti dengan sistem Taman Nasional? Mengapa tidak ada proses evaluasi terlebih dahulu terhadap PHBM sebelum pola Taman Nasional ditetapkan sebagai pengganti ?

Masyarakat juga kuatir bahwa mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil dari tanaman yang mereka telah tanam sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya menjadi Taman Nasional. Kekuatiran mereka semakin besar ketika sejumlah pertanyaan tidak ada penjelasan atau jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:

• Kalau misalnya pengelolaan TN Gunung Ciremai tidak bisa menerima

PHBM sebagai pola pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, pola apakah yang bisa mengakomodir kepentingan masyarakat untuk tetap dapat memperoleh akses dan manfaat dari kawasan TN Gunung Ciremai ?

• Bagaimana bentuk kemitraan dan kesepakatan kerjasama yang akan dikembangkan antara masyarakat dengan pengelola TN Gunung Ciremai?

Keresahan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab menimbulkan ketidak pastian bagi masyarakat. Apabila ketidak pastian ini dibiarkan berlarut-larut bisa berakibat fatal karena menimbulkan sejumlah resiko. Resiko yang akan terjadi antara lain munculnya konflik secara terbuka maupun tersembunyi. Apabila resiko ini dibiarkan terjadi, maka taman nasional akan rusak.

(20)

Aktifitas masyarakat di dalam kawasan taman nasional

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aktifitas masyarakat di dalam kawasan

taman nasional

Teori-teori konservasi dan kaitannya dengan aktifitas masyarakat di dalam

kawasan taman nasional

Hal-hal yang boleh dan dilarang menurut peraturan perundangan konservasi

Hal-hal yang boleh dan dilarang menurut teori-teori konservasi

Penerapan konservasi di Indonesia mengacu pada peraturan perundangan dan paragima konservasi konvensional, dimana penetapan dan pengelolaan taman nasional tidak mempertimbangkan aktifitas masyarakat yang telah dilakukan sebelum penetapan taman nasional

Muncul ketidak jelasan bagi masyarakat mengenai hak-hak masyarakat dalam memanfaatkan lahan yang

sudah diakses sebelum penetapan taman nasional

Masyarakat kehilangan akses untuk memanfaatkan sumberdaya hutan di dalam kawasan taman nasional

Resiko-resiko yang akan muncul

Konflik terbuka, misal perambahan, penebangan kayu, pemungutan hasil hutan

non kayu, protes dengan demo, tindak kekerasan seperti merusak pos jaga, dll.

Konflik tersembunyi, misal masyarakat “menerima” taman nasional tapi melakukan berbagai aksi penolakan diam-diam seperti memindahkan pal batas, “mematikan” bibit

pohon untuk rehabilitasi, melakukan suap

Akibat: Taman Nasional rusak, keanekaragaman hayati terancam

(21)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) mengembangkan proses penyelesaian konflik, dan (b) mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat member gambaran tentang konflik yang terjadi dan cara penyelesaian konflik melalui kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Gambaran tentang strategi kolaborasi yang dikembangkan, baik desain kolaborasi maupun tahapan membangun kolaborasi diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola taman nasional lain di Indonesia yang sedang menghadapi konflik.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional

Sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan (1999) menetapkan kebijaksanaan pembangunan dan pengelolaan taman nasional sebagai berikut:

1. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayti dan ekosistemnya.

2. Taman Nasional dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

3. Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan. Zona inti adalah bagian dari kawasan Taman Nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman Nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan pengunjung, dan zona lain adalah zona di luar tertentu seperti zona rimba dan zona pemanfaatan tradisional.

4. Kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di dalam kawasan taman nasional meliputi penelitian dan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak mengurangi fungsi pokok dari kawasan taman nasional tersebut. 5. Kegiatan pariwisata dan rekreasi dapat dikembangkan secara terbatas pada

(23)

koperasi selama jangka waktu tiga puluh tahun untuk penyediaan sarana dan prasarana pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional berdasarkan Rencana Pengelolaan Pariwisata Alam Taman Nasional.

6. Pembangunan dan pengelolaan taman nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan serta saling terkait dan menunjang dengan kepentingan pembangunan wilayah di sekitarnya (Integrated Conservation and Development Program), sehingga mampu menjamin upaya konservasi sumber daya alam hayati dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung. 7. Kewenangan pembangunan dan pengelolaan di dalam kawasan Taman

Nasional sepenuhnya berada dalam tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan. Sementara itu kegiatan pembangunan dan pengelolaan di luar kawasan taman nasional dan berkaitan dengan kepentingan masyarakat berada dalam tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Dinas/Instansi terkait.

Aktifitas yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Taman Nasional

Masyarakat boleh melakukan aktifitas di taman nasional sepanjang sesuai dengan tujuan umum yang dijelaskan dalam PP 68 1998 Pasal 3, yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Selanjutnya, aktifitas masyarakat yang dilakukan juga harus sesuai dengan fungsi taman nasional yang dijelaskan dalam PP 68 1998 Pasal 4 yaitu,

a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya;

c. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

(24)

kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

Lebih lanjut dijelaskan tentang pemanfaatan apa saja yang boleh dilakukan. Dalam UU No. 5 tahun 1990 Pasal 26 yang boleh dilakukan adalah pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Selanjutnya UU No. 5 tahun 1990 Pasal 31 menambahkan kegiatan lain yang boleh dilakukan di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam yaitu kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam dan harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan. Khusus untuk kegiatan wisata, UU No. 5 tahun 1990 Pasal 34 (3) menjelaskan bahwa di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.

Di sisi lain, ada pula kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan taman nasional, seperti disebutkan dalam UU No. 5 tahun 1990 Pasal 33, yaitu:

1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

2. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

(25)

Secara lebih detail, kegiatan yang boleh dilakukan dan dilarang di dalam kawasan taman nasional diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (Tabel 2).

Tabel 2. Kegiatan yang dilarang dan boleh dilakukan di Taman Nasional

No. Kegiatan Dilarang/ tidak Keterangan

1 Menanam t anaman

3 Pemukiman dilarang

4 Penebangan pohon unt uk komersial

dilarang PP 68 t hn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2)

5 Pengambilan herba dan kayu bakar

(26)

Konflik Pemanfaatan Lahan di Kawasan Taman Nasional

Fazriyas (1998) menyebutkan bahwa program penanganan perladangan di dalam kawasan TN Kerinci Seblat melalui relokasi para peladang kurang berhasil karena petani peladang yang direlokasi banyak kembali menggarap lahan di dalam kawasan TN Kerinci Seblat. Mereka menggarap lahan menjadi kebun/ladang dan bahkan menjadi pemukiman, sehingga mengakibatkan sering terjadinya benturan antara pengelola TN Kerinci Seblat dengan masyarakat. Beberapa alasan petani kembali menggarap lahan di dalam kawasan adalah:

• Petani merasa terpaksa untuk melakukan perladangan karena tidak memiliki lahan usaha tani di luar TN Kerinci Seblat. Kalaupun ada sangat kecil.

• Menganggap bahwa lahan tersebut telah lama digarap oleh para orang

tua (warisan) sebelum adanya TN Kerinci Seblat.

• Lahan yang dikelola telah jadi milik karena ladang dibeli dari pihak

lain.

• Untuk menambah pendapatan keluarga

Permasalahan yang diakibatkan oleh keberadaan penduduk sekitar kawasan menurut Soekmadi (1995) dalam

Selanjutnya Soekmadi (1995)

Prabandari (2001) biasanya berupa (a) pemukiman penduduk di dalam kawasan, (b) penggunaan kawasan untuk kepentingan lain, (c) penggembalaan ternak dalam kawasan, dan (d) pengambilan/perburuan hasil hutan secara tidak terkendali.

dalam

(27)

masyarakat adat, (b) penyerobotan lahan, (c) penebangan liar, (d) perladangan berpindah, (e) kebakaran, (f) pembangunan jalan, dan (g) pencabutan pal batas.

Mulyani (1997) menyatakan bahwa hambatan paling serius dalam pendirian suatu taman nasional dan kawasan konservasi pada umumnya adalah timbulnya konflik dengan penduduk lokal karena penduduk lokal yang umumnya tergolong miskin kehilangan akses atas sumberdaya hutan yang sebelumnya menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih-lebih bila pemilikan tanah di dalam kawasan dikuasai oleh pemilikan adat (suku). Undang-undang, peraturan, kegiatan patroli atau penataan batas seringkali bukan merupakan penghalang bagi penduduk untuk melakukan aktifitasnya di dalam kawasan.

Mulyani (1997) dalam penelitiannya di TN Siberut menyatakan bahwa sebanyak 73.33% responden telah mengetahui TN Siberut, namun kebanyakan (90.09%) tidak tahu tujuan taman nasional. Mereka beranggapan bahwa hutan yang sekarang statusnya menjadi taman nasional adalah merupakan hutan nenek moyang mereka yang boleh dimanfaatkan untuk kepentingan hidup (56.67%), merupakan tempat mata pencaharian mereka (36.67%) misal untuk mengumpulkan rotan, dan mempunyai fungsi perlindungan dan tata air (6.67%). Oleh karena itu tidak heran apabila hampir semua responden (96.67%) mengatakan perlu memelihara hutan untuk kelangsungan hidup mereka. Dan apabila dilihat dari segi preferensi masyarakat, maka sebanyak 80% responden tidak mengingkan untuk meninggalkan tempat tinggalnya saat ini, walaupun sudah menjadi taman nasional.

Solusi yang Dilakukan

Solusi yang dikembangkan di beberapa taman nasional pada umumnya bertujuan untuk mengalihkan tekanan masyarakat terhadap taman nasional atau mengurangi ketergantungan masyarakat ke dalam taman nasional.

(28)

mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya hutan di kawasan konservasi, dengan cara meningkatkan kesejahteraan ekonominya.

Muda (2005) memberi contoh solusi atas konflik di TN Kelimutu, yaitu (a) sosialisasi akan keberadaan dan fungsi taman nasional, (b) koordinasi dengan instansi terkait lainnya, (c) penyuluhan, (d) diselesaikan dengan sumpah adat dan pelaku membuat surat pernyataan, (e) pal batas ditanam kembali, (f) pembongkaran pondok milik petani, dan (g) barang temuan diselamatkan untuk diselesaikan lebih lanjut melalui proses hukum.

Sementara itu, solusi yang dilakukan oleh pengelola TN Kerinci Seblat menurut Fazriyas (1998) adalah relokasi petani ke luar taman nasional. Namun mereka kembali lagi berladang di TN Kerinci Seblat.

Solusi lain dilakukan melalui pendekatan ICDP (Integrated Conservation and Development Program). Menurut oleh Wells, Hanah dan Brandon (1992) komponen utama ICDP terdiri atas tiga, yaitu (a) pengelolaan taman nasional (inventarisasi dan monitoring sumberdaya biologi, patroli, penyediaan fasilitas, infrastruktur, penelitian, pendidikan konservasi), (b) kawasan penyangga (kegiatan yang mendatangkan keuntungan biologi dan sosial ekonomi), dan (c) pembangunan sosial ekonomi masyarakat sekitar taman nasional (meningkatkan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja baru, penyediaan sumberdaya lain atau pelayanan sosial dan pengembangan wisata alam, pembangunan sarana jalan untuk penyediaan akses pasar.

(29)

Mustafa (2002) menyatakan bahwa tercapainya resolusi konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi salah satunya ditandai dengan terbukanya ruang atau akses kepada komunitas-komunitas lokal di sekitar kawasan, atau dibukanya ruang partisipasi yang mengarah pada perbaikan taraf hidup komunitas. Adanya pengakuan hak kelola masyarakat untuk ikut mengelola kawasan bisa diukur dengan dilibatkannya kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam pengelolaan kawasan yang dalam perjalanan waktu jumlah individu dan kelompoknya semakin membesar.

Mustafa (2002) memberi contoh resolusi konflik yang dilakukan di TN Meru Betiri Jawa Timur melalui kesepakatan aturan main yang diatur dalam perjanjian kerjasama antara pengelola TN Meru Betiri dengan masyarakat lokal. Kesepakatan tsb. cukup ditaati oleh masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh (a) pendekatan yang digunakan untuk tercapainya norma-norma kontrak adalah partisipatif dengan melibatkan beragam stakeholders, (b) adanya harapan manfaat ke depan dari semua stakeholders yang terlibat dalam kesepakatan tersebut untuk mencapai kondisi yang lebih baik jika norma-norma kontrak tersebut bisa tercapai, dan (c) adanya program pemberdayaan dari pihak pendamping yang berupaya agar tujuan membantu kehidupan ekonomi masyarakat miskin dan tujuan konservasi kepentingan ekologis yang berdimensi jangka panjang bisa berjalan selaras.

Suraji (2003) yang melakukan penelitian Taman Hutan Raya Gunung Betung Lampung menyatakan bahwa keberadaan kebun campur dalam kawasan hutan tidak semata-mata kesalahan masyarakat, sebab masyarakat sudah ada sebelum berbagai kebijakan terhadap kawasan diberlakukan. Kenyatan bahwa Register 19 adalah Taman Hutan Raya perlu dijaga kelestariannya. Pembatasan areal lahan garapan dengan kepastian ijin pengelolaan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mempengaruhi pola perencanaan lahan yang dilakukan.

Kesenjangan antara Konflik dengan Solusi

(30)

kepentingan adat, pembukaan jalan, dsb. Salah satu konflik yang menarik untuk menjadi masalah penelitian adalah konflik pemanfaatan lahan untuk kepentingan perladangan dalam rangka membangun agroforestri. Banyak contoh agroforestri yang dikemukakan menunjukkan adanya kesejalanan antara praktek agroforestri dengan asas-asas konservasi. Di sisi lain, pengembangan agroforestri menghadapi kendala ketidak jelasan hak akses, kelola, dan kontrol terhadap agroforestri yang dikembangkan. Oleh karena ketidak jelasan hak-hak tsb. menyangkut masalah tenurial system, maka solusi utama yang harus dikembangkan adalah memperjelas hak-hak tsb.

Sayangnya, masih sedikit sekali contoh-contoh penyelesaian konflik atas lahan di taman nasional, melalui penyusunan kesepakatan kerjasama yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat dan pengelola taman nasional. Pada umumnya solusi yang dilakukan adalah melalui pengembangan kegiatan ekonomi di luar taman nasional atau di zona penyangga yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap taman nasional.

Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif

Wulandari dan Djatmiko (2005) menyatakan ada tiga hal yang melatari munculnya kebutuhan untuk bermitra, bekerja sama atau berkolaborasi dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia, yaitu:

1. Pengelolaan taman nasional yang cenderung soliter telah menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan. Rata-rata pengelola di lapangan menjustifikasi buruknya prestasi pengelolaan kawasan dengan alasan keterbatasaan dan kekurangan sumberdaya (man, money, materials, methods) sehingga sangat tidak mungkin untuk membangun dan mengoperasikan sebuah bentuk pengelolaan yang ideal. Dari alasan ini, muncul kebutuhan dari pengelola untuk membangun jaringan kerjasama agar kendala kekurangan sumberdaya tersebut dapat diatasi melalui kontribusi pihak-pihak lain.

(31)

untuk memperjuangkan harapan-harapannya, yang pada akhirnya direspon oleh pengelola dengan membuka ruang-ruang akses dan peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Dari situasi ini kebutuhan tentang kemitraan atau kolaborasi mulai dirasakan manfaatnya karena dapat menjadi alat peredam konflik.

3. Falsafah pengetahuan pengelolaan sumberdaya alam menyebutkan bahwa informasi dan pengetahuan sumberdaya ekosistem tidak didominasi oleh satu pihak saja tetapi tersebar di berbagai pihak. Pengetahuan ini terutama dimiliki oleh masyarakat yang telah lama hidup di dalam dan di sekitar kawasan, para professional yang membawa pesan-pesan ilmiahnya, pengelola yang telah berpengalaman tentang masalah-masala pengelolaan, dan lain-lain. Idealnya, dalam sebuah manajemen sumberdaya alam, kelengkapan informasi dan pengetahuan tentang aset dan aspek-aspek lain yang mempengaruhinya adalah sangat vital, sehingga perlu ada proses penggabungan pengetahuan yang hanya bisa dicapai dengan cara mengajak para pihak pemegang pengetahuan untuk sama-sama terlibat dalam pengelolaan. Selain itu, sumberdaya alam selalu menjadi property yang disengketakan karena banyak pihak yang bergantung pada kemanfaatannya.

4. Pengetahuan dan teori pengelolaan sumberdaya milik publik sangat memesankan pentingnya kemitraan, walaupun bentuknya nanti akan bermacam-macam, tergantung situasi dan kondisi setiap lapangan yang berbeda-beda. Posisi konflik di dalam pengetahuan tersebut tidak lebih dari sekedar implikasi atas tidak terpraktekkannya pesan-pesan pengetahuan tentang keharusan untuk bekerjasama antar pemegang pengetahuan dan pemangku kepentingan.

(32)

aset untuk memperbaiki perjalanan selanjutnya. Sementara dimensi politik mengharuskan segala keputusan yang diambil dalam kerangka pengelolaan adaptif didasari oleh kesepakatan-kesepakatan banyak pihak yang terlibat melalui analisis bersama terhadap berbagai faktor dan gejala-gejala baru yang muncul. Dimensi politik juga menjaga agar tidak ada kesenjangan antara unsur-unsur legal dengan situasi aktualnya.

Sebenarnya gagasan, inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah berjalan sebelum tahun 2005. Dalam Saresehan Nasional Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia yang diadakan pada bulan Agustus 2005, telah diidentifikasi 47 gagasan, inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional yang terdistribusi pada 37 kawasan Taman Nasional (Nugroho, 2005).

Sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah memulai inisiatif Taman Nasional Model, dengan kolaborasi sebagai salah satu komponen utama dari Taman Nasional Model (Fathoni, 2005). Namun demikian, kolaborasi dalam pengelolaan taman nasional masih dianggap tidak optimal karena alasan-alasan (1) belum terencana secara komprehensif walaupun telah tersusun Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif, (2) kolaborasi yang efektif dan efisien dalam pengelolaan Taman Nasional belum dipahami oleh pengelola maupun para pihak yang lain, (3) belum didasarkan pada collaborative planning sehingga setiap pihak berpikir dan bekerja berdasarkan institusinya masing-masing, (4) sumberdaya yang meliputi “4m” yaitu man (sumberdaya manusia), money (anggaran/dana), material (peralatan), dan method (metode/cara) selain belum memadai juga sangat tidak terintegrasi dengan baik . Perlu digaris bawahi bahwa sumberdaya yang dibutuhkan tersebut tidak seluruhnya dimiliki oleh Departemen Kehutanan, tetapi tersebar di berbagai pihak seperti LSM, penyandang dana, Pemerintah Daerah, dan bahkan swasta. Oleh karena itu kemitraan atau kolaborasi adalah keniscayaan dalam inisiasi Taman Nasional Model (Fathoni, 2005).

(33)

METODOLOGI

Kerangka Pemikiran

Secara konseptual, konservasi dapat dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu (1) Romantic-trancendental Conservation Ethic, (2) Resource Conservation Ethic, dan (3) Evolutionary-Ecological Land Ethic (Noss dan Cooperrider,1994).

Konsep Konservasi

Romantic-trancendental Conservation Ethic. Konsep ini berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Beberapa tokoh yang mengembangkan konsep ini adalah Ralph Waldo, Henry David Thoreau, dan John Muir. Menurut konsep ini, alam diciptakan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi semata, tetapi alam juga mempunyai fungsi religius, yaitu untuk pencucian jiwa. Pendapat ini telah mendapat dukungan dari beberapa kelompok masyarakat dan mereka telah membentuk organisasi, yaitu Sierra Club.

Resource Conservation Ethic. Konsep ini berkembang pada pergantian abad ke-19 menjadi abad 20. Tokohnya adalah Gifford Pinchot. Pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah utilitarian, artinya alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian sumberdaya alam berfungsi sebagai bahan baku untuk menjalankan perekonomian. Dari konsep ini berkembang ilmu ekonomi sumberdaya alam. Menurut Pinchot:

- Konservasi adalah penggunaan semberdaya alam yang sebaik-baiknya untuk sebanyak-banyaknya orang dan dalam jangka waktu yang selama mungkin

- Konservasi pada akhirnya ditujukan untuk pembangunan

- Konservasi menekankan pemerataan, yaitu pembagian sumberdaya alam yang adil bagi konsumen, baik masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang, termasuk efisiensi dan meminimalkan limbah.

- Praktek konservasi diarahkan kepada pemanfaatan multi-guna (multiple-use) dalam pemanfaatan sumberdaya tanah dan air.

(34)

sedangkan kelompok Pinchot menginginkan pemanfaatan sumberdaya alam tetapi terbatas.

Evolutionary-Ecological Land Ethic. Konsep ini mulai berkembang sejak tahun 1949, ketika Aldo Leopold mempublikasikan “A Sand County Almanac”. Sebenarnya Leopold termasuik penganut konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic. Tetapi dalam perkembangannya, Leopold merasa bahwa konsep tersebut kurang memadai dan kurang ilmiah. Pendapat seperti itu muncul setelah Leopold melihat bahwa dalam ilmu ekologi dan evolusi, alam tidaklah sesederhana yang dibayangkan, melainkan sangat rumit dan di dalamnya terjadi interaksi yang sangat padu. Menurut konsep ini equilebrium tidak ada, yang ada adalah keseimbangan dinamis atau non-equilibrium. Selain itu alam juga menyangkut dimensi waktu yang sangat panjang, karena alam merupakan hasil dari proses evolusi. Dari konsep ini berkembang ilmu conservation biology, economic dan ecological-anthropology.

Bagi Indonesia konsep yang paling berpengaruh pada awal pembentukan kawasan lindung adalah konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic, yang salah satu tokohnya adalah John Muir. Dia mempengaruhi pandangan konservasi sebagian orang-orang Eropa, termasuk bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia.

(35)

Tema Kongres adalah Parks and Sustainable Development. Peserta yang hadir dalam Kongres cukup berimbang, artinya proporsi peserta dari negara maju seimbang dengan peserta dari negara berkembang. Hal ini sangat mendukung bagi munculnya pemikiran baru yang mendorong lahirnya konsep konservasi yang mungkin sesuai untuk negara berkembang. Walaupun demikian perbedaan pendapat tetap terjadi, antara kelompok Environmentalist dengan kelompok International Conservationitst.

Kelompok Environmentalist adalah kelompok yang mempertahankan konsep konservasi lama. Mereka tetap menghendaki agar Taman Nasional merupakan tempat yang dilindungi untuk kepentingan rekreasi, pendidikan, dan tempat untuk merenungkan nilai-nilai dasar kehidupan manusia. Dengan demikian manajemen Taman Nasional diarahkan untuk kepentingan tersebut. Seandainya timbul dampak positif berupa perlindungan tata air dan tanah dari erosi, maka hal tersebut tidak dimasukkan menjadi bagian dari manajemen kawasan.

Kelompok International Conservationists merupakan kelompok yang menginginkan agar Taman Nasional dapat memberikan sumbangannya terhadap masyarakat lokal, karena keberadaan suatu Taman Nasional sesungguhnya tergantung dari dukungan masyarakat lokal. Dengan demikian seharusnya keberadaan masyarakat lokal menjadi salah satu bahan yang dipertimbangkan dalam penyusunan manajemen Taman Nasional. Oleh karena itu kelompok ini menginginkan pendekatan multiple-use approach, dengan penerapan sistem zonasi, misalnya zona inti dan zona penyangga.

(36)

Tabel 3. Tipologi Partisipasi Masyarakat

Masyarakat diberi t ahu apa yang sedang at au sudah t erj adi. Inf ormasi disampaikan oleh pengelola proyek at au pengelola kawasan t anpa memberi kesempat an bagi masyarakat unt uk menanggapi. Inf ormasi hanya disebarkan kepada pihak luar yang prof essional . 2 Par t i ci pat i on i n

Inf or mat i on Gi vi ng

Masyarakat dit anya oleh penelit i at au pengl elola proyek dengan menggunakan kuesioner. Masyarakat t idak diberi kesempat an unt uk memeriksa hasil kaj ian, apalagi mempengaruhi hasil kaj ian.

3 Par t i ci pat i on by Consul t at i on

Masyarakat diaj ak berkonsult asi. Pihak luar mendengarkan pendapat masyarakat , t et api pi hak luarlah yang mendef inisikan masalah dan sol usi dengan sedikit memasukkan pandangan dari masyarakat . Proses konsult asi t idak memberi ruang unt uk proses pengambilan keput usan dan pihak luar t idak memiliki kewaj iban unt uk menj amin dit erimanya masukan dari masyarakat .

4 Par t i ci pat i on f or Mat er i al

Incent i ves

Masyarakat berpart isipasi dengan berkont ribusi sesuat u, misalnya t enaga kerj a, unt uk memperol eh sesuat u bisa berupa uang, makanan dll .

5 Funct i onal Par t i ci pat i on

Masyarakat berpart isipasi dengan membent uk kelompok unt uk mencapai t uj uan t ert ent u yang berhubungan dengan proyek, dan bisa dif asilit asi oleh pihak l uar sepert i organisasi sosial. Ket erlibat an masyarakat bel um t ent u di mulai dari t ahap

perencanaan proyek t et api bisa ket ika proyek sudah berj alan at au set elah keput usan t ent ang proyek t elah dibuat . Kelompok masyarakat seringkali t ergant ung pada f asilit at or dari l uar t et api cenderung akan menj adi mandiri.

6 Int er act i ve Par t i ci pat i on

Masyarakat t erlibat dalam analisis bersama yang akan beruj ung pada penyusunan rencana aksi dan

pembent ukan kelompok baru at au memperkuat kelompok yang sudah ada. Part isipasi t ingkat ini melibat kan met ode mult i -disiplin dan mengakomodir berbagai pandangan dan menggunakan syst em

pembelaj aran yang sist emat is dan t erst rukt ur. Pada t ingkat ini, kelompok t elah berperan dalam

pengambilan keput usan.

7 Sel f -Mobi l i zat i on Masyarakat berpart isipasi dengan mengambil

(37)

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam memberikan peluang bagi masyarkat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Taman Nasional. Dalam Pasal 35 PP No. 28 tahun 2011 tentang Pemanfaatan Taman Nasional disebutkan pada ayat (1) bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemanfaatan tradisional. Pada ayat (2) disebutkan yang dimaksud dengan pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.

Selanjutnya dalam Pasal 49 tentang Pemberdayaan Masyarakat disebutkan pada ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan KSA atau KPA. Pada ayat (3) disebutkan bahwa Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui (a) pengembangan desa konservasi, (b) pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam; dan (c). fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.

Pengertian konflik (Fuad & Maskanah, 2000) adalah benturan yang terjadi antara dua pihak/lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya. Menurut Fisher et al. (2001), konflik adalah hubungan antara dua pihak/lebih (individu/kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Berdasar kedua pengertian ini, dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia dan konflik sangatlah sulit untuk dipisahkan.

Konflik

Menurut Moore (1996), ada 5 jenis konflik berdasarkan sumber penyebab, yaitu:

(38)

2. Konflik struktural : konflik yang terjadi karena adanya pola perilaku atau interaksi yang destruktif; kontrol, kepemilikan atau distribusi atas sumberdaya yang timpang; kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara; faktor-faktor geografi, fisik atau lingkungan yang menghalangi kerjasama; kendala waktu.

3. Konflik kepentingan: konflik yang terjadi karena adanya kompetisi yang dirasakan/nyata atas kepentingan substansi (isi); kepentingan tata cara; kepentingan psikologis.

4. Konflik hubungan: konflik yang terjadi karena adanya emosi-emosi yang kuat; salah persepsi atau stereotipe; kurang/salah komunikasi; perilaku negatif yang berulang-ulang.

5. Konflik data: konflik terjadi karena kurang/salah informasi; perbedaaan pandangan tentang apa yang relevan; perbedaaan interpretasi atas data; perbedaan prosedur penilaian.

Selain dari jenis konflik, maka konflik juga bisa dilihat dari proses terbentuknya konflik (Doucet, 2006). Tahapan Yang Dilalui Konflik

Formation (pembentukan)

Eskalation (eskalasi/peningkatan)  Endurance (bertahan)

Improvement (perbaikan)  Settlement/resolution

Reconstrution and reconciliation

endurance

improvemment / de-escalat ion escalat ion

set t lement / resol ut ion

Format ion reconst ruct ion and

Reconciliat ion

(39)

Masing-masing tahapan tahapan konflik secara rinci oleh Doucet (1996: hal 12-18) dijelaskan secara jelas dan ringkas. Pada tahap pertama di dalam perkembangan konflik, berkaitan dengan kemunculan suatu konflik, yaitu bergerak dari konflik tersembunyi berkembang menjadi konflik mencuat lalu menjadi konflik terbuka. Dan pada saat inilah konflik mulai kelihatan wujudnya.

Jika keberadaan mekanisme kelembagaan yang tersedia tak mampu merespon secara konstruktif dan para pihak yang berkonflik telah sampai pada titik dimana sikap permusuhan telah diekspresikan secara terbuka, maka eskalasi konflik akan terus meningkat. Dan konflik ini akan bertahan dalam jangka waktu tertentu atau konflik mungkin akan berlarut-larut dan berkepanjangan karena perbedaaan telah berpindah pada suatu kondisi perang terbuka, kekerasan menjadi bagian yang diakui pada tahap konflik ini, proses negosiasi telah mengalami jalan buntu.

(40)

Sering pada tahap perbaikan atau deeskalasi ini dicapai beberapa kali, tetapi kadang tidak dapat berkelanjutan dan konflik segera memasuki kembali pada tahap bertahan (endurance), upaya penyelesaian konflik menjadi buntu atau macet lagi.

Di dalam penyelesaian konflik (settlement or resolution), para pihak yang bersengketa mulai mengarah ke perubahan perilaku dan sikap. Perubahan perilaku seperti para pihak mengakhiri kekerasan secara langsung dan tidak terlalu ngotot terhadap beberapa tujuan mereka demi pencapaian kepentingan yang lain. Walaupun perasaan permusuhan, ketakutan dan kecurigaan, persepsi ketidakadilan dan ketidasetaraan yang bersifat struktural yang melandasi terjadinya konflik mungkin masih tersisa. Pada tahap ini mungkin akan ditemukan solusi yang kompromistik, yang nantinya dapat menjadi landasan untuk mendapatkan solusi kolaborasi yang lebih sejati, tetapi mungkin juga tidak, karena penyelesaian (settlement) merupakan suatu cara mencapai suatu kesepakatan tentang aspek khusus dari konflik dari pada untuk mencapai kesapakatan atas konflik secara keseluruhan.

Sebaliknya penyelesaian konflik (conflict resolution), adalah suatu jalan keluar yang menyeluruh, dimana sumber penyebab yang utama dari konflik dihilangkan agar supaya tidak menjadi laten, seperti elemen-elemen sisa yang mungkin akan memicu terjadi kembali kekerasan. Ada 7 dimensi dari penyelesaian konflik sejati, yaitu (Doucet, 1996: hal 16):

1. completeness— isu-isu dalam konflik dilenyapkan atau penting untuk menghentikannya;

2. acceptability---jalan keluar dapat diterima oleh seluruh pihak, tidak hanya satu atau kelompok elit;

3. self –supporting—tidak cukup ada sangsi dari pihak ketiga untuk memelihara kesapakatan;

4. satisfactory—seluruh pihak memandang jalan keluar sesuai dengan sistem nilai mereka;

(41)

6. innovative—solusi baru yang ditetapkan positif dan mengabsahkan hubungan baru antara para pihak;

7. uncoerced—kesepakatan yang telah dicapai tanpa pemaksaan oleh kekuatan dari luar.

Reconstruction dan reconciliation ini merupakan dua komponen paling penting dari tahap pasca kesepakatan. Rekontruksi dan rekonsiliasi adalah dua proses yang saling berkaitan dan saling mendukung. Melalui dua proses tersebut, pelaksanaan kesapakatan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk bekerja bersama dalam aksi konkrit.

Rekonstruksi lebih bersifat fisik (perbaikan infrastruktur, membangun kembali rumah sakit, sekolahan, pabrik, perbaikan pasokan air), ekonomi (pelatihan, pekerjaan, pendapatan, reformasi agraria), politik (penetapan kewenangan sipil, kekuatan polisi dan pengadilan yang mandiri, reformasi konstitusi dan pemilihan umum), dan sosial (mengintegraikan kembali rakyat yang menjadi korban perang, pemukiman kembali pengungsi, mengurangi mobillisasi tentara). Keberhasilan pelaksanaan rekontruksi ni adalah penting untuk membangun kembali masyarakat yang dirobek oleh perang dan untuk membantu kelancaran proses rekonsiliasi dalam jangka panjang.

Rekonsiliasi dapat digambarkan sebagai perbaikan hubungan antara orang, selain juga antara orang dan lingkungan. Ini harus diingatkan bahwa proses ini dapat menjadi sulit, butuh waktu yang sangat lama dan mensyaratkan rasa sensitif yang besar serta dorongan.

Berbagai konflik yang terjadi memerlukan penyelesaian agar kawasan konservasi dapat dikelola dengan baik, sehingga tujuan pengelolaan dapat tercapai. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara atau proses.

Negosiasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan konflik. Menurut Fisher (1995), ada tiga fase penting dari proses membangun konsensus, yaitu: pre-negosiasi, negosiasi dan pelaksanaan (or post-negosiasi), yaitu:

(42)

 perwakilan

 menyusun aturan main dan agenda bersama  pencarian fakta bersama

2. Fase Negosiasi

 menemukan pilihan yang saling menguntungkan  mengemas kesepakatan

 memproduksi kesepakatan

 mengikat para pihak untuk berkomitmen  Ratifikasi

3. Fase Pelaksanaan atau Pasca Negosiasi

 mencari keterkaitan kesepakatan dengan kebijakan formal. Dalam hal ini coba dikaji adakah kendala untuk melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui, terutama dari sisi kebijakan yang ada;

 Monitoring

 menegosiasikan kembali jika diperlukan

Means, Cynthia, Nielsen dan Vitoonviriyasakltorn (2002) Konflik dan Kolaborasi

dalam

Selanjutnya Means et.al. (2002) menyatakan bahwa memulai manajemen kolaboratif mensyaratkan agar konflik dapat diidentifikasi dan ditanggapi.

(43)

Pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian problem dan penyelesaian konflik (Straus, 2002). Sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi-pihak.

Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama (Gray, 1989).

Kolaborasi

Ada empat desain kolaborasi yaitu (1) perencanaan yang apresiatif; (2) strategi secara kolektif, (3) dialog, dan (4) menegosiasikan penyelesaian (Gray; 1989).

Hasil yang diharapkan

Pertukaran informasi Kesepakatan bersama

Perencanaan yang

- Kemitraan swasta – komunitas

- Usaha bersama (joint venture)

(44)

Untuk desain perencanaan yang apresiatif, tujuannya adalah meningkatkan penyelidikan bersama atas problem yang terjadi. Dalam perencanaan ini belum dibebani harapan adanya kesepakatan yang secara eksplisit akan dicapai. Kerja Utama dalam perencanaan ini adalah melakukan eksplorasi dan analisis bersama secara mendalam atas problemnya. Perencanaan ini mendorong penyelidikan bersama oleh para pihak yang bersengketa dalam konteks problem dan saling ketergantungan. Dari sini diharapkan akan muncul secara ideal bersama sehingga meningkatkan kesadaran tentang suatu ranah problem dan memperoleh suatu nilai bersama untuk basis perencanaan masa depan. Perencanaan ini dapat juga menjadi perangsang munculnya inisiatif-inisiatif baru untuk dijadikan agenda yang harus dinegesiasikan untuk diselesaikan. Untuk menghasilkan perencanaan yang apresiatif ini dapat menggunakan berbagai cara seperti search conference/future gathering (sejenis lokakarya dengan menyelidiki masa depan yang diinginkan), community gathering (mengumpulkan informasi bersama komunitas).

Strategi kolektif biasanya dimotivasi untuk berbagi visi, dapat merupakan tindak lanjut dari perencanaan apresiatif dengan menciptakan kesepakatan khusus yang ditujukan untuk mengatasi problem atau untuk merealisasikan visi. Strategi kolektif ini dapa dalam bentuk kemitraan atau joint venture.

(45)

Penyelesaian yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang bersengketa ini dimotiviasi oleh keinginan menyelesaikan konflik dan harapan membangun kesepakatan bersama. Untuk kasus sengketa pengelolaan sumberdaya alam, isu-isu apa saja yang perlu diselesaikan dan dinegosiasikan, misalnya masalah status kepemilikan atas tanah, berbagai peraturan kebijakan yang perlu dicabut dan direvisi. Pilihan cara-cara penyelesaian sengketa melalui peradilan, musyawarah, jalur politik atau strategi kolaborasi.

Istilah Collaborative Management atau Manajemen Kolaboratif digunakan oleh Borrini-Fayerabend (1996) untuk menggambarkan suatu situasi dimana keterlibatan beberapa (atau semua) stakeholder dalam kegiatan manajemen melalui cara yang substansial. Lebih spesifik lagi, dalam proses manajemen kolaboratif, pengelola kawasan yang dilindungi mengembangkan kemitraan (partnership) dengan stakeholder lain yang relevan, terutama masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Dalam proses kerjasama itu dapat terjadi beberapa kemungkinan, seperti terlihat pada Gambar 4.

Manajemen Kolaboratif

Pengawasan penuh ol eh pengel ol a

Kerj asama dal am mengont rol ant ara pengel ol a dengan st akehol der

Pengawasan penuh ol eh st akehol der

Manaj emen Kol aborat if pada suat u kawasan konservasi

Proses konsul t asi Mencari konsensus

Berbagi ot orit as dan t anggung st akehol der yang

l ain

Tidak ada kont ribusi dari

pengel ol a

Meningkat nya harapan st akehol der

Meningkat nya kont ribusi, komit men, dan ‘ akunt abil it as’ st akehol der

Gambar 4. Skema Manajemen Kolaboratif (Borrini-Feyerabend, 1996)

(46)

1. pengelola kawasan yang dilindungi mengabaikan kapasitas stakeholder dan meminimalkan hubungan mereka dengan kawasan, atau

2. memberi informasi kepada stakeholder tentang isu-isu yang relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau

3. secara aktif berkonsultasi dengan stakeholder tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat, atau

4. mencari kesepakatan tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat, atau

5. membuka peluang negosiasi dengan stakeholder yang terbuka (dan pada gilirannya membuka kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan), atau

6. berbagi otoritas dan tanggung jawab dengan stakeholder secara formal, misalnya melibatkan mereka dalam Management Board, atau

7. melimpahkan sebagian atau semua otoritas dan tanggung jawab kepada satu atau beberapa stakeholder.

Lokasi dan Waktu Penelitian

(47)

i

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung

Ciremai

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah action research (Riset Aksi). Pengertian action research dikutip dari Dick (1997) adalah suatu proses dimana terjadinya suatu perubahan dan meningkatnya pemahaman terhadap situasi yang berubah, dapat dicapai dalam waktu yang sama. Riset Aksi biasanya digambarkan sebagai siklus, dengan aksi dan refleksi kritis yang terjadi secara bergantian. Refleksi digunakan untuk mengkaji Aksi terdahulu dan menyusun rencana untuk siklus berikutnya.

Riset Aksi digunakan dalam situasi tertentu. Dick (1997) menyarankan bahwa Riset Aksi dapat digunakan ketika situasi di lokasi penelitian sangat dinamis sehingga membutuhkan tanggapan yang cepat atau dengan kata lain, penelitian juga harus responsive terhadap dinamika atau perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, penelitian juga dituntut untuk memiliki fleksibilitas yang tinggi.

(48)

Riset Aksi biasanya dilakukan oleh sekelompok orang, walaupun kadang-kadang juga dilakukan oleh individu, namun keduanya sama-sama bertujuan untuk memperbaiki suatu praktek atau kegiatan untuk melakukan suatu perubahan.

Riset Aksi yang dilaksanakan di Kabupaten Kuningan melibatkan LPI PHBM (Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), yaitu organisasi multi-pihak dan terdiri atas berbagai instansi pemerintah Kabupaten Kuningan, perwakilan petani, LSM, Perhutani KPH Kuningan, serta individu pemerhati lingkungan (Lampiran 1). LPI PHBM adalah organisasi yang lahir pada waktu terjadi konflik antara masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Negara, dengan Perhutani KPH Kuningan. LPI PHBM berperan untuk memfasilitasi proses negosiasi antara masyarakat dengan Perhutani. Mereka juga berperan mendorong kebijakan Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mengalokasikan dana untuk pengembangan PHBM.

Dalam konflik perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, LPI PHBM mengalami perpecahan, dan sebagian anggota bergabung dalam wadah yang disebut Para Penggiat PHBM. Mereka adalah perwakilan petani, individu dan LSM yang peduli terhadap masyarakat yang terkena dampak negative dari perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, dan ingin mencari solusi.

LPI PHBM maupun Para Penggiat PHBM adalah pihak-pihak atau mitra yang dilibatkan dalam Riset Aksi. Mereka menjalankan beberapa peran. Menurut Dick (1997) ada 7 bentuk peran yang dijalankan oleh mitra, yaitu (a) peran sebagai informan untuk menyediakan data, (b) peran sebagai interpreter untuk menginterpretasikan data, (c) peran sebagai perencana dan pengambil keputusan, (d) peran sebagai pelaksana, (e) peran sebagai fasilitator, (f) peran sebagai peneliti dan asisten peneliti yang merancang penelitian, (g) peran sebagai resipien yang berarti mitra hanya diinformasikan hasil penelitian dan implikasinya.

(49)

Aksi atau tindakan, melakukan Monitoring, refleksi dan kembali menyusun rencana untuk siklus berikutnya (siklus “Action Research Spiral” ini dipaparkan oleh Kemmis and McTaggart, 1988a).

Gambar 6. Spiral Action Research yang digunakan [diadaptasi dari Kemmis and McTaggart, 1988a]

Siklus Riset Aksi dijelaskan oleh Kemmis and McTaggart (1988a) terdiri atas Refleksi, Perencanaan, Aksi, dan Monitoring, dan selanjutnya ke siklus berikutnya untuk melakukan Refleksi. Pengertian dari setiap langkah di dalam satu siklus Riset Aksi adalah:

• Refleksi adalah upaya untuk memahami masalah dan mengkritisi apa yang

sudah terjadi. Menigkatnya pemahaman yang muncul akibat proses refleksi kritis kemudian digunakan untuk merancang langkah selanjutnya (Dick, 2000).

• Rencana merupakan kegiatan untuk merespon masalah yang dihadapi

berupa langkah-langkah yang akan dilakukan

• Melakukan aksi atau tindakan merupakan pelaksanaan dari rencana yang

dilakukan, dan di dalamnya juga termasuk hasil dari tindakan

• Melakukan monitoring merupakan upaya untuk menilai dampak dari

(50)

terjadi perubahan, maka perbaikan apa yang harus dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik ? (Ferrance, 2000).

Lebih jauh lagi, Dick (2000) menyatakan bahwa Riset Aksi cenderung untuk:

• Siklus – langkah-langkah yang sama cenderung berulang, dalam urutan

yang sama

• Partisipatif – klien dan informan terlibat sebagai mitra, atau paling tidak

sebagai partisipan aktif, dalam proses penelitian

• Kualitatif – lebih sering menggunakan cerita daripada angka dan

• Reflektif – refleksi kritis terhadap proses dan outcomes adalah bagian

penting dari setiap siklus

Menurut Uhlmann (1995), Riset Aksi berbeda dengan riset lainnya. Riset Aksi lebih mementingkan perubahan. Untuk bisa terjadi perubahan diperlukan partisipasi dari orang-orang yang terlibat pada situasi yang ingin diubah atau yang akan terkena dampak dari suatu keadaan. Partisipasi dalam Riset Aksi sangat penting karena:

• Stakeholder lebih mengenal situasi sehingga mereka dapat

mengidentifikasi isu yang mereka hadapi secara jelas

• Mereka mengetahui sejarah dan dapat menceritakan apa yang sudah dicoba dan apa yang bisa diterima secara kultural

• Mereka mampu melakukan aksi dan mengevaluasi aksi dan solusi yang dihasilkan sesuai dengan lingkungan yang mereka hadapi.

• Mereka akan tetap berada di lokasi penelitian, setelah Riset selesai dilakukan dan mereka sanggup melakukan perbaikan karena mereka akan belajar bagaimana mengatasi masalah sepanjang waktu.

• Mereka juga akan membangun hubungan atau relasi yang lebih baik sepanjang waktu, yang juga akan membantu mereka dalam mencapai kemajuan dari Aksi yang mereka lakukan

(51)

Tabel 4. Perbedaan Riset Aksi dengan Penelitian Formal Kuantitatif

Riset Aksi Penelitian Formal

Tujuannya memecahkan persoalan lokal dengan populasi yang terbatas.

Tidak memerlukan pelatihan formal yang ketat.

Dilakukan untuk mengetahui atau mengkoreksi problem lokal yang dihadapi.

Kurang ketat (rigorous) Biasanya tidak bebas nilai.

Mengembangkan atau menguji teori dan menghasilkan pengetahuan yang dapat digeneralisasi bagi populasi yang lebih besar.

Memerlukan pelatihan formal yang sangat ketat.

Dilakukan untuk meneliti isu-isu yang relative besar.

Lazimnya dilakukan oleh peneliti yang tidak terlibat langsung dalam penelitian.

Lebih ketat (rigorous). Seringkali bebas nilai

Peran Peneliti

Peneliti memiliki beberapa peran dalam riset aksi. Pertama, peneliti berperan sebagai fasilitator. Menurut Roger (1994), akar kata fasilitasi adalah “facilitation” yang mempunyai arti “membuat sesuatu menjadi mudah”. Dari segi proses, facilitation didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang membantu pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memperbaiki cara mereka bekerja bersama. Sedangkan sebagai keahlian, facilitation adalah keahlian mengelola suatu pertemuan (a meeting management skill). Oleh karena itu, facilitation juga dikatakan sebagai cara membantu kelompok bekerja bersama di dalam pertemuan.

Peran kedua adalah peran untuk meningkatkan kapasitas. Hal ini dilakukan dengan memberi informasi tentang kerangka teori yang bisa digunakan untuk membantu proses penyelesaian konflik. Salah satu contohnya adalah analisis stakeholder. Peneliti member informasi tentang teori analisis stakeholder dan juga memfasilitasi proses analisis stakeholder, sesuai dengan teori yang diberikan.

(52)

Prosedur Kerja Riset Aksi

Prosedur kerja Riset Aksi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi (a) pengumpulan data, (b) memfasilitasi proses diskusi, (c) melakukan komunikasi dengan pengambil keputusan untuk bernegosiasi, (d) melakukan mediasi pada proses negosiasi, (e) melakukan dokumentasi proses, (f) menyusun hasil Riset Aksi dan (g) melakukan analisis atau pembahasan terhadap hasil Riset Aksi.

Tabel 5. Prosedur Kerja Riset Aksi

Prosedur Kerja Keterangan

Pengumpulan Data

Diskusi informal dilakukan sepanjang Riset Aksi dilakukan. Diskusi informal bisa dilakukan dengan cara kunjungan silaturahmi ke rumah atau terlibat dalam “obrolan” kelompok tertentu. Tujuannya untuk membangun hubungan dan kepercayaan stakeholder

terhadap peneliti, serta mengumpulkan informasi yang tidak bisa diperoleh dari diskusi formal.

Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk memperoleh informasi yang spesifik, dengan peserta diskusi yang spesifik juga. Peserta FGD terbatas, tidak lebih dari 10 orang agar efektif.

Tujuan kunjungan ke desa adalah untuk memahami kepentingan dan pandangan masyarakat lokal terhadap perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.

Memfasilitasi proses diskusi

diskusi untuk melakukan refleksi, menyusun rencana, menggali pendapat para pihak dan mempersiapkan negosiasi,

Berkomunikasi dengan pejabat Departemen Kehutanan

Komunikasi bisa dilakukan secara informal, terutama untuk menentukan jadwal dan agenda pertemuan. Setelah itu ditindak lanjuti dengan mengadakan pertemuan. Peneliti berkomunikasi dengan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II, Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi, Direktur Kawasan Konservasi, Kepala Biro Hukum Departemen Kehutanan, serta Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.

Melakukan mediasi Yang dilakuan peneliti adalah memfasilitasi persiapan negosiasi, memfasilitasi pertemuan dengan Departemen Kehutanan, memfasilitasi perumusan hasil negosiasi

Melakukan

dokumentasi proses

Mencatat dan mengumpulkan semua dokumen yang dihasilkan selama Riset Aksi berlangsung.

Menyusun hasil Riset Aksi secara sistematis

Informasi yang diperoleh dari hasil dokumentasi proses disusun secara sistematis berdasarkan siklus Riset Aksi.

Melakukan analisis berdasarkan kerangka teori yang ada

(53)

Analisis Stakeholder

Analisis parapihak merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan parapihak dari basis kedudukan, hubungan, dan kepentingan parapihak tersebut terhadap suatu masalah atau sumberdaya (Ramirez, 2003). Analisis ini telah banyak digunakan pada berbagai bidang yang mencakup bisnis, hubungan internasional, penyusunan kebijakan, penelitian partisipatif, ekologi dan pengelolaan sumberdaya alam.

Menurut Bisset (1998) dalam Ramirez (2003) yang dimaksud dengan parapihak (stakeholders) adalah individu yang berkepentingan dan mempunyai perhatian terhadap sesuatu. Sedangkan Freeman (1984) mendefinisikan parapihak sebagai kelompok atau individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan suatu korporasi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Röling dan Wagemakers (1998) menawarkan definisi yang lebih tepat: parapihak adalah pemanfaat dan pengelola sumberdaya alam. Secara umum dapat dinyatakan bahwa parapihak adalah merujuk pada kelompok atau institusi yang berkepentingan atau yang berperan aktif dalam suatu sistem. Parapihak yang berkepentingan inilah yang seharusnya diakomodasikan kepentingannya dalam penyusunan suatu sistem, termasuk didalamnya penyusunan sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui kepentingan dan peran parapihak ini adalah yang disebut sebagai analisis parapihak (stakeholders analysis).

Terdapat beberapa manfaat ang diperoleh dari analisis parapihak. Beberapa manfaat tersebut adalah (Röling and Wagemakers 1998):

a. Untuk mengetahui pola interaksi empirik yang ada b. Dapat dianalisis untuk peningkatan model intervensi c. Sebagai alat untuk pengambilan keputusan, dan d. Sebagai alat untuk memprediksikan konflik.

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Permasalahan
Tabel 2.  Kegiatan yang dilarang dan boleh dilakukan di Taman Nasional
Tabel 3.  Tipologi Partisipasi Masyarakat
Gambar 3.  Desain Kolaborasi (Gray, 1989)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan Jaringan Pipa Air Minum Desa Mulya Abadi Kecamatan Muara Belido. ( HPS =

Setelah melakukan penelitian di SMK PGRI 1 Tambun Selatan mengenai sistem informasi pengolahan nilai, maka dihasilkan sebuah aplikasi yang merupakan bentuk dari

Konsep pada proyek ini adalah merancangan produk batik dengan menambahkan teknik sulam yang bersumber ide bahari dan lingkungan Raja Ampat sebagai sumber motif kedaerahan

3 U većini slučajeva, povećanje temperature dovodi do molekulskih vibracija koje vode k smanjenju vrijednosti konstante stabilnosti kompleksa i kidanju

manjkom elektronske gustoće. Kationi, kao ioni pozitivnog naboja, imaju pozitivan iznos ESP- a redovito po cijeloj izoplohi. Osim kationa, u neutralnim molekulama mogu postojati

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan larutan limbah bubuk teh hitam hingga konsentrasi tanin 0,25% dalam pengasinan telur itik Pegagan dapat mempertahankan

Dalam fiqih terdapat perbedaan pendapat tentang menikahi wanita hamil di luar nikah, Pendapat yang pertama yaitu Menurut mazhab Al- Syafi’i bahwa zina tidak

Pelayanan okupasi terapi di Rumah Sakit Jiwa cenderung berubah-ubah. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan, akan tetapi secara umum proses intervensi itu melalui 3