GAMBARAN OPTIMISME DALAM HUBUNGAN
ROMANTIS PADA
MALE TO FEMALE
TRANSGENDER
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
YOHANTI VIOMANNA SIMANJORANG
101301109
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sesungguhnya skripsi saya yang berjudul :
Gambaran Optimsime Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female Transgender
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian – bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 29 April 2014,
iv
Yohanti Viomanna Simanjorang dan Juliana I Saragih, M.Psi, Psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada male to female transgender. Hambatan terbesar dalam hubungan romantis
maleto female transgender dan pria ini adalah tidak adanya legalitas pernikahan yang membuat tujuan akhir hubungan romantis mereka menjadi tidak jelas. Hal ini mengakibatkan para male to female transgender ini rentan sekali untuk tidak dapat mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Namun fenomena di lapangan menunjukkan ada waria yang memiliki optimisme dalam hubungan romantisnya. Optimisme dalam hubungan romantis akan menghasilkan kepuasan dalam hubungan, berkurangnya konflik, serta hubungan yang bertahan lama (Butler, Gross, McGonigal, Richards, & Srivastava, 2006)
Penelitian ini dilakukan terhadap 2 orang subjek. Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik snow-ball sampling. Data diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada subjek yang semenjak kecil dibesarkan dengan dukungan dan kasih sayang orangtuanya mampu mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Subjek yang optimis juga menerima
perceived support dari pasangannya yang semakin mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Optimisme subjek dalam hubungan romantisnya menghasilkan kepuasan dalam hubungan romantis, konflik yang berkurang, serta hubungan yang bertahan lama. Sebaliknya, subjek yang semenjak kecil mendapatkan physical dan sexual abuse serta neglect dari ayahnya sulit mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya, sehingga subjek merasa kurang puas terhadap hubungannya, dan tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan hubungan romantisnya.
Optimism In Romantic Relationship Of Male To Female Transgender Yohanti Viomanna Simanjorang and Juliana I Saragih, M.Psi, Psikolog
ABSTRACK
This research is a descriptive qualitative study aimed to look at the description of optimism in a romantic relationship of male to female transgender. The biggest hurdle in a romantic relationship between male to female transgender and men is no legalitation for their marriage, which is makes the final destination of their romantic relationship becomes unclear. It makes these transgenders are vulnerable to not be able to develop optimism in a romantic relationship. But there is a phenomenon in the field showed that some male to female transgenders have optimism in their romantic relationships. Optimism in a romantic relationship will result in relationship satisfaction, reduced conflict, and enduring relationships (Butler, Gross, McGonigal, Richards, & Srivastava, 2006)
The research was conducted on 2 subjects. The sampling procedure is done by using a snow-ball sampling technique. The data obtained through interviews using an interview guide. The results of this research indicate that the subject who was brought up as a child with her parents' support and affection was able to develop optimism in a romantic relationship. Subject who optimistic also received perceived support from her partner and develop optimism in her romantic relationship. Subject’s optimism in romantic relationship affected satisfaction in romantic relationships, reduce conflict, and enduring relationship. In contrast, subject who grown up with physical and sexual abuse and neglect of her father was difficult to develop optimism in her romantic relationship, so that the subject felt less satisfied with the relationship, and do not has the desire to maintain the romantic relationship.
vi
senantiasa memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada peneliti sehingga dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Optimisme Dalam Hubungan
Romantis Pada Male To Female Transgender ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan yang baik ini, dengan segala kerendahan hati peneliti
ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dra. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara
2. Kakak Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, Psikolog selaku Dosen
Pembimbing yang dengan sabar telah membimbing peneliti hingga skripsi
ini dapat terselesaikan. Terimakasih buat waktu, saran dan kritik yang
telah kakak berikan selama ini.
3. Ibu Eka Ervika, M.Si, Psikolog selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah memberi restu dan dukungan kepada peneliti untuk
menyelesaikan skripsi penelitian ini, dan atas kesabaran beliau untuk
memberikan bimbingan akademik selama peneliti menuntut ilmu di
Fakultas Psikologi ini.
4. Kedua orang tuaku tercinta, yang telah memberikan segenap cinta kasih
tak bersyarat dengan berbagai cara di sepanjang rentang kehidupanku,
5. Alm.Amangboru dan Bou, untuk segala doa dan kasih sayang yang
diberikan selama ini. Terima kasih untuk segalanya.
6. Saudara-saudaraku Yohanna Violita, Yohannes Viotua, Yohansens
Viovaldi, dan Yohanson Vioriski. Terima kasih untuk cinta yang kalian
tunjukkan dengan berbagai cara. Terima kasih untuk kehidupan yang lebih
berwarna
7. Segenap keluarga besar Op. D. Simanjorang dan Op. J. Silaban untuk doa,
dukungan, dan perhatian yang tiada henti kepada peneliti. Peneliti
diajarkan banyak hal tentang arti dan pentingnya keluarga. Terima kasih.
8. Angkatan duabelas PS. Sola Gratia SMAN 1 Medan, terimakasih telah
menjadi saudara sekaligus sahabat dalam berbagai suasana. Terimakasih
untuk kasih persaudaraan yang tak pernah terputus. Untuk kesekian
kalinya, I love you, dubs!
9. Gadis-gadis setempe, Putri Mayritza, Vivian Felicia, dan Irene Anastasya
yang entah kenapa Tuhan kirimkan padaku. Terimakasih untuk empat
tahun yang penuh warna dan cerita. Semoga persahabatan ini tetap
langgeng hingga empat kali empat puluh tahun berikutnya. Ayok, kemana
lagi kita?
10. Angkatan 2010 Fakultas Psikologi USU, terima kasih untuk masa – masa
kuliah yang penuh kebarbaran (terutama ibu-ibu komplek). Entah kenapa
tiba-tiba kita sudah tua saja dan harus terdepak satu per satu dari kampus.
viii
untuk segala pengetahuan yang peneliti dapatkan selama masa
perkuliahan, semoga ilmu-ilmu tersebut dapat diterapkan untuk
kesejahteraan orang banyak. Amin.
12. Last but not least, untuk kak Riri dan kak Carissa, terima kasih sudah mau
berbagi, terimakasih sudah mau membantu. Semoga kehidupan semakin
baik kedepannya, sukses untuk segala rencana yang kalian rancang.
Akhir kata, peneliti ,menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik akan menjadi bahan masukan bagi peneliti.
Semoga skripsi ini pada akhirnya dapat memberi manfaat pada semua pihak.
Terimakasih.
Medan, April 2014,
Yohanti Viomanna Simanjorang
DAFTAR ISI
COVER...i
LEMBAR PENGESAHAN...ii
LEMBAR PERNYATAAN...iii
ABSTRAK………..iv
ABSTRACK……...………v
KATA PENGANTAR………...………...vi
DAFTAR ISI...ix
DAFTAR TABEL...xi
DAFTAR LAMPIRAN...xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 8
C. TUJUAN PENELITIAN... 9
D. MANFAAT PENELITIAN ... 9
1. Manfaat Teoritis ... 9
2. Manfaat Praktis ... 9
E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 9
BAB II LANDASAN TEORI A. OPTIMISME ... 11
1. Definisi Optimisme ... 11
2. Perkembangan Optimisme pada Individu ... 12
3. Karakteristik Individu Optimis dan Individu Pesimis ... 14
4. Optimisme dalam Hubungan Romantis ... 16
x
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Menjadi Transgender ... 21
3. Ciri- Ciri Transgender ... 23
D. OPTIMISME DALAM HUBUNGAN ROMANTIS PADA TRANSGENDER ... 25
E. KERANGKA BERPIKIR ... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. PENDEKATAN KUALITATIF ... 29
B. SUBJEK PENELITIAN ... 30
1. Karakteristik Subjek ... 30
2. Jumlah Subjek ... 30
3. Prosedur Pengambilan Subjek ... 30
4. Lokasi Penelitian... 31
C. METODE PENGAMBILAN DATA ... 31
D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA ... 31
E. KREDIBILITAS PENELITIAN ... 32
F. PROSEDUR PENELITIAN ... 33
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. ANALISA DATA ... 38
1. Subjek 1 ... 38
2. Subjek 2 ... 78
B. PEMBAHASAN ... 122
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 132
B. SARAN ... 134
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Deskripsi Umum Subjek 1...38
Tabel 2 : Jadwal Wawancara Subjek 1...39
Tabel 3 : Deskripsi Umum Subjek 2...78
Tabel 4 : Jadwal Wawancara Subjek 2...78
xii Lampiran 1 : Pedoman Wawancara
Gambaran Optimisme Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female Transgender
Yohanti Viomanna Simanjorang dan Juliana I Saragih, M.Psi, Psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada male to female transgender. Hambatan terbesar dalam hubungan romantis
maleto female transgender dan pria ini adalah tidak adanya legalitas pernikahan yang membuat tujuan akhir hubungan romantis mereka menjadi tidak jelas. Hal ini mengakibatkan para male to female transgender ini rentan sekali untuk tidak dapat mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Namun fenomena di lapangan menunjukkan ada waria yang memiliki optimisme dalam hubungan romantisnya. Optimisme dalam hubungan romantis akan menghasilkan kepuasan dalam hubungan, berkurangnya konflik, serta hubungan yang bertahan lama (Butler, Gross, McGonigal, Richards, & Srivastava, 2006)
Penelitian ini dilakukan terhadap 2 orang subjek. Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik snow-ball sampling. Data diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada subjek yang semenjak kecil dibesarkan dengan dukungan dan kasih sayang orangtuanya mampu mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Subjek yang optimis juga menerima
perceived support dari pasangannya yang semakin mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Optimisme subjek dalam hubungan romantisnya menghasilkan kepuasan dalam hubungan romantis, konflik yang berkurang, serta hubungan yang bertahan lama. Sebaliknya, subjek yang semenjak kecil mendapatkan physical dan sexual abuse serta neglect dari ayahnya sulit mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya, sehingga subjek merasa kurang puas terhadap hubungannya, dan tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan hubungan romantisnya.
v
ABSTRACK
This research is a descriptive qualitative study aimed to look at the description of optimism in a romantic relationship of male to female transgender. The biggest hurdle in a romantic relationship between male to female transgender and men is no legalitation for their marriage, which is makes the final destination of their romantic relationship becomes unclear. It makes these transgenders are vulnerable to not be able to develop optimism in a romantic relationship. But there is a phenomenon in the field showed that some male to female transgenders have optimism in their romantic relationships. Optimism in a romantic relationship will result in relationship satisfaction, reduced conflict, and enduring relationships (Butler, Gross, McGonigal, Richards, & Srivastava, 2006)
The research was conducted on 2 subjects. The sampling procedure is done by using a snow-ball sampling technique. The data obtained through interviews using an interview guide. The results of this research indicate that the subject who was brought up as a child with her parents' support and affection was able to develop optimism in a romantic relationship. Subject who optimistic also received perceived support from her partner and develop optimism in her romantic relationship. Subject’s optimism in romantic relationship affected satisfaction in romantic relationships, reduce conflict, and enduring relationship. In contrast, subject who grown up with physical and sexual abuse and neglect of her father was difficult to develop optimism in her romantic relationship, so that the subject felt less satisfied with the relationship, and do not has the desire to maintain the romantic relationship.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada umumnya, cinta merupakan kebutuhan mendasar setiap individu.
Individu membutuhkan cinta di setiap rentang kehidupannya. Menurut Horney
(dalam Hall, Loehlin & Manosevitz, 1985), semenjak lahir setiap orang sudah
membutuhkan cinta, dan jika cinta ini tercukupi, maka pada masa dewasa individu
tersebut akan dapat bertahan pada situasi yang sulit. Pada masa awal kehidupan,
cinta yang diperoleh individu biasanya dari orang-orang terdekat misalnya ibu,
tetapi ketika beranjak dewasa, cinta ini diperoleh dari orang-orang dalam
pergaulannya misalnya pasangan (Erickson dalam Papalia, Olds & Feldman,
2001).
Erickson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001), menjelaskan pada masa
dewasa muda, individu berada pada tahapan keintiman melawan isolasi, artinya
seorang individu dewasa harus menemukan pasangan agar bisa melakukan
kegiatan intim, bukan hanya intim secara seksual, tapi juga intim dalam berbagi
sumber daya ekonomi, kegiatan rutin, tanggung jawab, dan tujuan masa depan.
Pada masa dewasa, kebutuhan akan cinta dari pasangan didapatkan
melalui hubungan romantis. Hubungan romantis atau berpacaran merupakan
proses dimana ada dua orang bertemu dan beraktivitas bersama untuk saling
Pada dasarnya terdapat dua peran gender, maskulin dan feminim.
Meskipun demikian, tidak semua orang memiliki gender yang kongruen dengan
seks orang tersebut. (Lahey, 2007). Orang-orang ini biasanya disebut transgender,
dan terdapat dua jenis transgender yang dikenal, yaitu Female to Male (FtM)
transgender, dan Male to Female (MtF) Transgender (IOM,2011). Di Indonesia,
biasanya Male to Female (MtF) transgender disebut waria. Menurut Departemen
Kesehatan, diperkirakan terdapat sekitar 20.960 hingga 35.300 waria di Indonesia
pada tahun 2006 (STBP, 2007).
Male to Female Transgender merupakan pria yang memiliki identitas
gender layaknya seorang wanita (Nadia, 2005). Male to female transgender tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dimana ada dorongan
dalam dirinya yang meyakini bahwa dia terjebak dalam tubuh yang salah
(Koeswinarno, 2004). Cass (dalam Baker 2007) juga mengungkapkan bahwa
seperti halnya homoseksual, kaum Male to female transgender melewati
tahap-tahap yang panjang sebelum akhirnya meyakini bahwa dirinya adalah seorang
male to female transgender. Setelah yakin, beberapa male to female transgender
ini kemudian melakukan coming out.
Banyak faktor yang kemudian menyebabkan individu untuk mejadi
seorang male to female transgender. Nevid, Ratus, dan Greene (1994)
menyebutkan bahwa faktor biologis seperti hormon, faktor behavioristik yang
berkaitan dengan penguatan yang salah yang diberikan oleh keluarga atau orang
3
berlaku mempengaruhi perubahan identitas gender seorang pria sampai akhirnya
dia menjadi male to female transgender.
“kalo dari kecil aku udah biasa, maksudnya gini aku udah senang peralatan perempuan sejak kecil make-up gitu, dan orangtua, abang-abangku juga mendukung… keluarga dukung, tidak pernah terjadi kekerasan atau penekanan-penekanan ga pernah… masa kecil aku waktu aku TK, kelas 1-2 SD yang benar-benar aku itu pure perempuan, rambut panjang pake baju cewek dan itu ke sekolah…..orangtuaku menganggap aku adalah perempuan dan seperti itulah yang diajarkan, justru kalau aku main bermain mainan laki-laki itu dibilang jangan itu mainan laki-laki gitu.” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013)
Secara orientasi seksual, seorang transgender bisa saja merupakan seorang
heteroseksual, homoseksual, bahkan biseksual (IOM, 2011). Pada seorang male to female transgender yang merasa di dalam tubuhnya adalah jiwa seorang
perempuan, mereka tidak membatasi ketertarikan seksual hanya pada pria saja.
Sebagian male to female transgender memiliki ketertarikan pada wanita (Bailey, 2003). Male to female transgender yang memiliki ketertarikan terhadap wanita ini secara pribadi menganggap bahwa mereka adalah pasangan lesbian bukan
pasangan heteroseksual. Sementara pada male to female transgender yang memiliki ketertarikan seksual pada pria, menganggap mereka adalah pasangan
heteroseksual bukan pasangan gay (IOM, 2011). Pada penelitian ini, peneliti
berfokus pada male to female transgender yang memiliki ketertarikan seksual pada pria dikarenakan adanya stigma masyarakat terhadap pasangan ini, dan tidak
adanya legalisasi terhadap pernikahan mereka yang kemudian menjadi masalah
karena pernikahan merupakan tujuan akhir dari hubungan romantis.
transgender tersebut juga memenuhi kebutuhannya akan cinta ini melalui
hubungan romantis. Santore (dalam Muryani & Putra 2012) menyebutkan bahwa
hubungan romantis merupakan hubungan yang di dalamnya harus perkembangan
diri secara bersama-sama serta ikatan yang kuat satu sama lain. Hubungan
romantis seperti ini terjadi tidak hanya pada pasangan heteroseksual secara
gender, namun juga pada pasangan yang telah mengalami perubahan gender.
Beck dan Beck-Gernsheim (dalam Muryani dan Putra, 2012) menyatakan
bahwa hubungan romantis atau berpacaran merupakan bentuk dukungan sosial
bagi individu. Jadi pada saat individu merasakan kecemasan, mereka dapat
mencari perlindungan diri melalui komitmen dalam hubungan romantis.
Hubungan romantis menjadi bentuk dukungan sosial pada male to female transgender karena seperti yang kita ketahui, di Indonesia waria masih
mendapatkan diskriminasi dari berbagai aspek. Diskriminasi tersebut mencakup
kebebasan mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan, mendapatkan dokumen
kewarganegaraan, dan pekerjaan hingga akhirnya kebanyakan mereka menjadi
pekerja seks yang mengakibatkan mereka sering terpapar dengan kekerasan dan
eksploitasi seksual (Oetomo, dalam Unesco 2011).
Jika ditinjau secara seksual, pasangan male to female transgender dan pria merupakan pasangan homoseksual. Sementara di Indonesia sendiri pasangan
homoseksual masih dianggap tabu oleh masyarakat. Karena jika ditinjau dari
norma agama dan norma sosial yang berkembang di Indonesia, pasangan normal
pada dasarnya merujuk pada dua jenis kelamin yang berbeda. Sehingga pasangan
5
mendapat stigma dari masyarakat. Sehingga saat mereka berpacaran, mereka tidak
dapat secara bebas mengekspresikan kasih sayang mereka seperti pasangan
heteroseksual (Oetomo, 2001).
“dia laki-laki, aku waria yakan, jadi kalo di tempat umum akupun nutup-nutupin dirilah supaya dia jangan malu gitu supaya menjaga dia takutnya nanti orang bilang masa dia pacaran sama bencong kan. Dia nya sih gak masalah, akunya aja yang segan, gimana kan…” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013)
Menurut Rice dan DeGenova (2005), hubungan romantis merupakan
proses pemilihan pasangan hidup, dimana tujuan akhir berpacaran tersebut adalah
pernikahan. Pada kaum male to female transgender yang homoseksual,
pernikahan tentu saja tidak bisa dicapai karena adanya hukum negara dan agama
yang menentang pernikahan sejenis (Oetomo, 2001).
“ yah artinya aku nyalahin negara, kalau kita lebih menyalahkan agama juga terkadang tidak, tidak fair gitu ya. Kenapa ya negara tidak apa ya tidak membuat warga negaranya lebih sejahtera, lebih bahagia, dan lain sebagainya seperti itu. Dengan keputusan warga negaranya gitu, contohnya kayak aku, izinkanlah aku menikah seperti ini walaupun catatan sipil gitu, tapi ya aku juga tidak mau apa dikatakan sebagai warga negara yang sangat egois mementingkan kepentinganku dengan aku yang notabene perempuan secara sosial bukan perempuan biologis, tapi ya itu tadi paling tidak kebahagiaan orang adalah kebahagiaanku ”
(Komunikasi Personal, 25 Juni 2013)
Saat menjalani proses pacaran, pasangan tidak dapat terlepas dari
masalah-masalah yang mungkin dapat menghambat keberhasilan berpacaran. (DeGenova,
2008) menyatakan beberapa masalah yang dihadapi oleh pasangan antara lain
adalah kecemburuan dan ketidaksetiaan terhadap pasangan serta kekerasan dalam
(1998) mendapati bahwa pada male to female transgender, kecemburuan dan
ketakutan akan ketidaksetiaan pasangan terhadap dirinya lebih dikarenakan
keadaannya yang bukan perempuan secara utuh. Mereka memiliki kecemasan
tersendiri bahwa pasangannya akan lebih tertarik pada wanita secara biologis,
daripada mereka yang male to female transgender. Belum lagi masalah kekerasan yang mereka dapati saat berpacaran, beberapa male to female transgender malah
dieksploitasi oleh pasangannya sendiri untuk menjadi penjaja seks agar dapat
menghasilkan uang untuk pasangannya (Oetomo dalam Unesco, 2011). Penelitian
yang dilakukan oleh Heintz & Melendez (dalam Eyler & Witten, 2012) juga
menyatakan bahwa 41% dari respondennya yang merupakan pasangan gay
dipaksa untuk melakukan hubungan seks oleh pasangannya, 21% menerima
kekerasan fisik dan 32% menerima kekerasan verbal.
Sementara itu, pasangan male to female transgender dan pria straight ini walaupun memiliki masalah-masalah seperti layaknya pasangan heteroseksual,
mereka mengalami stress yang lebih berat karena harus menghadapi stigma
sosial dan marjinalisasi terhadap hubungan romantis mereka (Green, 2004).
Pasangan yang bukan pasangan heteroseksual biasanya mendapatkan
diskriminasi. Tekanan yang mereka dapatkan dari masyarakat tersebut membuat
pasangan ini biasanya gagal mempertahankan hubungan dalam jangka panjang
(Mills,et al. 2004).
Menjalin hubungan romantis menjadi wadah bagi individu untuk
mengembangkan kepribadian (DeGenova, 2008). Hal ini bisa dicapai jika
7
dalam hubungan romantis yaitu adanya optimisme pada individu (Butler, Gross,
McGonigal, Richard, dan Srivastava, 2006).
Optimisme merupakan pandangan yang positif dalam diri seseorang
mengenai masa depannya. Orang-orang yang optimis biasanya tidak menghindari
keadaan atau masalah-masalah yang datang kepadanya. Dengan adanya
optimisme, seseorang akan memiliki kecenderungan untuk bertahan di bawah
situasi yang penuh tekanan dan berfokus untuk memecahkan masalah yang
dihadapi (Carver , Scheier & Weintraub, dalam Snyder,2002).
Selligman (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya optimisme sudah
berkembang semenjak kecil. Saat masih kecil, perkembangan optimisme sangat
dipengaruhi oleh peran orangtua. Saat orangtua mampu mendorong anak untuk
tidak mudah berputus asa dan selalu mengakui nilai-nilai positif pada anak, maka
anak akan mengembangkan sikap yang optimis. Selain itu, pengakuan individu
dan penilaian bahwa dirinya berharga juga akan mengembangkan sikap optimis
pada dirinya.
Menurut Angelo & Srivastava (2009), optimisme bersifat global, yang
berarti optimisme dimanifestasikan dalam berbagai situasi dan domain kehidupan
manusia, salah satunya adalah hubungan romantis atau berpacaran.
Dalam hubungan romantis atau berpacaran, optimisme dianggap
merupakan hasil dari proses saling menjaga dan meningkatkan dukungan, dan
biasanya dimanifestasikan dalam bentuk perceived support. Perceived support
“ aku nganggap ini orang beda, ini orang lain daripada yang lain gitu kan, karena selama aku mengenal laki-laki selain dari dia menganggap bahwa biasa gitu kan waria ngapain eh..eh.. dipacarin gitu. Tapi sama dia aku menemukan kalau aku memang diperlakukan pure perempuan….. biasa kalo laki-laki ketemu transgender atau waria pasti pikirannya adalah jadi aset, aset bulanan gitulah ya, kalo dia enggak kita sama-sama support cari kerja untuk hidup kita” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013)
Optimisme dalam berpacaran akan membuat hubungan romantis menjadi
lebih bahagia dan dapat bertahan dalam jangka panjang. Optimisme memberikan
kepuasan dalam hubungan dan mengurangi adanya konflik tak terselesaikan
dalam hubungan karena pasangan yakin bahwa konflik tersebut merupakan
masalah yang memang harus mereka lewati untuk membuat hubungan mereka
menjadi lebih matang yang kemudian akan menghasilkan hubungan yang lebih
bertahan lama (Srivastava, dkk., 2006).
Melalui pemaparan diatas, dengan adanya diskriminasi yang didapatkan
oleh male to female transgender tersebut dari lingkungannya, masalah dalam hubungan yang dihadapi oleh male to female transgender dan pasangannya,
adanya stigma dan marjinalisasi dari masyarakat terhadap pasangan male to female transgender dan pria, serta adanya larangan untuk menikah pada pasangan
tersebut, peneliti ingin melihat bagaimanakah gambaran optimisme dalam
hubungan romantis pada waria yang berpacaran dengan pria tersebut?
B. RUMUSAN MASALAH
Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran optimisme dalam hubungan romantis waria
9
2. Bagaimana efek yang dihasilkan oleh optimisme dalam hubungan
romantis waria?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data yang dapat
menjelaskan mengenai gambaran optimisme dalam hubungan romantis
pada male to female transgender yang berpasangan dengan pria.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi
perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi klinis
mengenai gambaran optimisme yang berkaitan dengan hubungan
romantis atau berpacaran pada male to female transgender, serta untuk
menambah pengetahuan dan menjadi bahan referensi untuk penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberi pengetahuan baru bagi masyarakat
terutama bagi para male to female transgender agar dapat
mengembangkan optimisme dalam diri yang kemudian akan memberikan
dampak positif dalam hubungan sosial terutama hubungan romantis.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian
terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan
pembuatan paradigma penelitian.
BAB III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, subjek
penelitian, teknik pengambilan subjek, teknik pengumpulan data, alat
bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.
BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum
subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data –data
penelitian dari teori yang relevan
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil
penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk
penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A. OPTIMISME
1. Definisi Optimisme
Carver dan Scheier (dalam Snyder, 2003) menyatakan bahwa
optimisme merupakan pandangan seseorang mengenai masa depannya.
Pandangan ini tentu saja pandangan positif tentang hasil yang akan
diperoleh di masa depan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Carr (2005)
yang mengungkapkan konsep mengenai dispositional optimism, yaitu
sebuah harapan yang menyeluruh dimana akan terjadi lebih banyak
hal-hal baik di masa depan dibandingkan hal yang buruk. Lebih lanjut
Carver, Scheier & Weintraub (dalam Snyder,2002) menyatakan bahwa
optimisme terkait dengan kecenderungan untuk berfokus pada
pemecahan masalah ketika terjadi situasi dibawah tekanan, dan untuk
tidak menghindar serta menolak dari masalah yang dihadapi.
Selligman (2006) mengungkapkan konsep learned helplessness
yaitu respon yang pasif dan kecenderungan untuk bereaksi menghindar
serta meyakini bahwa apa yang diperbuat tidak berarti apa-apa pada
situasi yang berat. Dan adanya konsep explanatory style mengenai
bagaimana kita menjelaskan kepada diri kita sendiri kenapa situasi
tersebut dapat terjadi. Maka, individu dengan explanatory style yang
Melalui penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahwa optimisme
merupakan keyakinan akan mendapatkan hasil yang baik di masa
depan dan kemampuan untuk dapat bertahan menghadapi masalah
yang ada.
2. Perkembangan Optimisme pada Individu
Selligman (2006) mengungkapkan bahwa optimisme berkembang
semenjak kecil melalui peran orang tua. Kesehatan mental orang tua,
modelling dan reward yang diberikan orang tua saat anak mengembangkan sikap optimis akan membentuk optimisme pada anak.
Saat anak mengalami kegagalan, peran orang tua untuk menanamkan
nilai bahwa kegagalan tersebut dikarenakan faktor dari luar bukannya
dari dalam diri anak sangat diperlukan. Saat anak mengalami
kegagalan, orangtua harus mampu mendorong anak untuk tidak
berputus asa dan tetap tekun dalam menggapai keinginannya. Individu
optimis lebih mungkin muncul dari keluarga dimana orangtua tidak
memiliki depresi.
Pada keluarga yang memiliki trauma atau kesehatan mental yang
buruk, anak cenderung tumbuh menjadi individu yang pesimis.
Oangtua yang sering mengkritik kegagalan anak juga akan
mengembangkan anak tersebut menjadi pesimis. Anak juga akan
menjadi individu yang pesimis saat mengalami abuse atau penolakan
13
tumbuh menjadi individu yang depresi. Hal ini bisa diatasi jika mereka
memiliki hubungan yang dapat mendukung mereka (Selligman, 2006).
Optimisme pada masa dewasa biasanya ditandai dengan
pencapaian prestasi yang memuaskan, baik di sekolah maupun di
tempat bekerja. Selain itu, individu dewasa yang optimis juga memiliki
kehidupan keluarga yang baik. Orang-orang optimis juga memiliki
ikatan sosial yang baik dengan orang lain, dan lebih toleransi dengan
orang lain (Selligman, 2006).
Carver, Scheier, dan Segerstrom (2010), menyatakan bahwa
optimisme dalam diri seseorang juga dipengaruhi oleh kegagalan masa
lalu. Biasanya individu yang melihat kegagalannya dalam sudut
pandang negatif akan cenderung menghambat optimisme dalam
dirinya.
Lebih lanjut, Carver., dkk (2010) menyatakan bahwa dukungan
sosial mampu mengembangkan optimisme dalam diri seorang
individu. Saat individu dapat merasakan dukungan dari orang – orang,
dia akan lebih yakin untuk dapat bertahan dalam situasi – situasi sulit.
Saat dukungan sosial ini tidak dapat dirasakan oleh individu, maka hal
ini akan menghambat perkembangan optimisme dalam diri individu.
Optimisme yang berkembang dalam diri seseorang akan
memengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka. Conversano,
kehidupannya sehingga cenderung terbebas dari gangguan- gangguan
mental. Bukan hanya gangguan mental, individu yang optimis juga
cenderung lebih sehat secara fisik karena optimisme mampu
meningkatkan kekebalan sistem imun sehingga individu lebih mampu
untuk bertahan dari penyakit - penyakit fisik.
Selain berpengaruh terhadap kesehatan mental dan kesehatan fisik,
optimisme juga berpengaruh pada kehidupan sosial individu tersebut.
Individu optimis kemudian mampu menjalin hubungan sosial yang
sehat bukan hanya hubungan sosial secara umum, juga hubungan
sosial yang lebih intim, misalnya dalam hubungan romantis (Carver,
dkk., 2010)
Intinya adalah, optimisme terbentuk melalui penilaian individu
mengenai apakah dirinya bernilai atau tidak. Perasaan bernilai berasal
dari pengakuan individu terhadap dirinya dan dukungan dan
penghargaan dari orang lain (Selligman, 2006).
3. Karakteristik Individu Optimis dan Individu Pesimis
Individu yang optimis dan individu pesimis biasanya menampilkan
perbedaan baik dari cara berfikir maupun bertingkah laku. Perbedaan
ini lebih lanjut dikemukakan oleh Carver dan Scheier (dalam Snyder,
2002) sebagai berikut :
a. Individu yang optimis selalu mengharapkan hasil yang baik akan
terjadi pada mereka meskipun keadaan terlihat sulit. Pada situasi
15
bertekun walaupun kemajuan terasa lambat dan percaya bahwa
kesulitan tersebut dapat diatasi, dan berfokus untuk perencanaan di
masa depannya dan tidak mau terlarut pada masa lampau yang
menyakitkan. Individu optimis juga biasanya memiliki
perasaan-perasaan yang positif. Individu pesimis memperkirakan akan
terjadi hal buruk pada mereka, selalu merasa ragu-ragu dan
cenderung berfokus pada kejadian-kejadian tidak menyenangkan di
masa lalu. Individu yang pesimis biasanya memiliki perasaan
negatif terkait keyakinan tersebut misalnya cemas, marah, sedih,
putus asa dan merasa bersalah.
b. Saat menghadapi masalah, individu optimis menggunakan strategi
problem-focused coping dimana mereka aktif dan berfokus untuk
memecahkan masalah dan dapat mengontrol masalah dengan
menggunakan berbagai cara, mampu hal-hal buruk yang terjadi
pada mereka, melihat sisi baik dari peristiwa tersebut, dan
mendapatkan pelajaran dari situasi yang buruk. Berbeda dengan
individu optimis, saat dihadapkan dengan masalah individu pesimis
menggunakan emotional-focused coping dimana mereka berfokus pada emosi mereka dan lebih memilih untuk menghindari masalah
yang ada baik dengan tidur, makan, dan mabuk-mabukan, dan
menyangkal kenyataan bahwa mereka sedang terlibat dalam situasi
4. Optimisme dalam Hubungan Romantis
Carver, Scheier, dan Segerstrom (2010) menyatakan bahwa
optimisme merupakan sumber daya yang baik dalam hubungan, baik
hubungan secara luas maupun hubungan yang lebih intim misalnya
hubungan romantis. Hal ini dikarenakan bahwa orang akan lebih
menyukai orang lain yang dapat mengungkapkan harapan-harapan
yang positif tentang masa depan, dan cenderung menolak orang yang
memiliki keyakinan negatif. Selain itu, orang optimis cenderung
melihat segala sesuatu dalam pandangan positif, sehingga akan lebih
puas dalam hubungannya meskipun hubungan tersebut tidak sempurna.
Angelo & Srivasta (2009) menyatakan bahwa oprimisme bersifat
global yang artinya optimisme dimanifestasikan dalam berbagai
keyakinan, waktu, situasi dan domain kehidupan. Optimisme secara
global juga dikaitkan dengan hasil interaksi sosial yang positif. Salah
satunya adalah hubungan romantis atau berpacaran. Di dalam
hubungan berpacaran, optimisme dibangun oleh adanya perceived support. Perceived support adalah keyakinan bahwa pasangan dapat
memberikan bantuan dukungan dan kenyamanan saat diperlukan.
Selain itu, perceived support juga merupakan keyakinan yang persisten
dan stabil mengenai perilaku pasangan di masa depan.
Di dalam hubungan romantis, optimisme mempengaruhi kualitas
dukungan yang diberikan dan diterima seorang individu (Angelo &
17
pasangannya dapat memberikan dukungan yang positif, dan mereka
akan mampu menyelesaikan konflik mereka dengan baik. Maka jika
individu merupakan individu yang optimis, maka hal itu akan terlihat
dalam hubungan romantis, dan pasangan cenderung menunjukkan
perceived support saat berpasangan dengan individu optimis, dan
perceived support ini nantinya akan mengembangkan optimisme
individu dalam hubungan romantis tersebut.
Optmisme dalam hubungan romantis akan menghasilkan efek
yang positif berupa kepuasan yang lebih baik dalam hubungan bukan
hanya kepuasan pada individu, melainkan juga kepuasan pada
pasangan. Selain itu optimisme juga mengurangi kecenderungan
terjadinya konflik yang tak terselesaikan dalam hubungan. Guerrero,
Andersen, and Afifi (2001) mendefinisikan konflik dalam hubungan
romantis sebagai ketidak sesuaian antara dua orang yang meyakini
bahwa mereka memiliki tujuan yang berbeda. Berkurangnya konflik
dalam hubungan romantis terjadi karena individu optimis cenderung
menggunakan problem-focused coping saat menghadapi masalah, sehingga individu optimis dan pasangannya dapat menyelesaikan
konflik mereka dengan berdiskusi secara terbuka ( Carver, Scheier, dan
Segerstrom, 2010). Pada akhirnya, karena adanya kepuasan dan
kemampuan menangani konflik yang baik, hubungan dapat bertahan
B. HUBUNGAN ROMANTIS
1. Definisi Hubungan Romantis
DeGenova (2008) mengungkapkan bahwa hubungan romantis atau
berpacaran adalah proses dimana ada dua orang bertemu dan
beraktivitas bersama untuk saling mengenal satu sama lain.
Lebih lanjut, Hurlock (1998) menyatakan bahwa dalam hubungan
romantis terjadi proses memilih pasangan hidup merupakan salah satu
tugas perkembangan individu saat dia memasuki masa dewasa awal.
Hal ini juga disebutkan oleh Erickson (dalam Papalia, Olds &
Feldman, 2001) bahwa individu yang memasuki masa dewasa akan
berusaha untuk membangun keintiman dengan orang lain, sebab
apabila individu gagal membangun keintiman, maka individu tersebut
akan terisolasi dengan lingkungannya.
Saxton (dalam Bowman & Spainer, 1978) menggambarkan
hubungan romantis sebagai sebuah istilah yang digunakan masyarakat
untuk menggambarkan sebuah perencanaan kegiatan, termasuk di
dalamnya adalah melakukan aktifitas bersama antar dua orang yang
biasanya belum menikah dan berjenis kelamin berbeda.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa
hubungan romantis adalah proses dimana dua orang individu
beraktivitas dan berkomitmen untuk bersama dan membangun
19
2. Kepuasan dalam Hubungan Romantis
Kepuasan dalam hubungan romantis adalah evaluasi interpersonal
mengenai sisi positif pasangan, dan apakah pasangan memberikan
ketertarikan dalam hubungan (Bunk & Rusbult,1993). Myers & Diane
(dalam Harvey & Pauwels,1999) menyatakan bahwa individu yang
merasakan kepuasan dalam hubungan romantisnya akan lebih bahagia,
lebih sehat dan dapat hidup lebih lama. Lebih lanjut, Miller dan Tedder
(2011) mengemukakan beberapa indikator untuk melihat apakah
kepuasan dalam hubungan romantis sudah tercapai, yaitu:
a.Good quality of communication
Di dalam hubungan yang pasangannya dapat saling
berinteraksi secara santai dan menyenangkan serta saat pasangan
tersebut dapat menjadi pendengar yang baik, maka hubungan
tersebut akan memuaskan masing-masing pasangan komunikasi
yang baik juga nantinya akan membuat mereka dapat menangani
konflik dengan baik.
b.Conflict resolution
Pada hubungan yang memuaskan atau berhasil, konflik
biasanya dihadapi dengan komunikasi yang terbuka dan
membangun. Konflik akan diselesaikan dengan persetujuan dari
kedua belah pihak dan memberikan pelajaran kepada pasangan.
konflik akan membuat masing-masing pasangan lebih dapat
terbuka dan mengemukakan pendapat sehingga kebutuhan dan
keinginan masing-masing dapat terpenuhi.
c. Affection
Dengan adanya afeksi dalam hubungan, masing-masing
pasangan akan membuat berbagai cara agar pasangannya dapat
tetap nyaman berada di dekatnya. Maka dengan membuat pasangan
bahagia, afeksi tersebut dapat dirasakan oleh pasangan
masing-masing.
d.Relational certainty/security
Di dalam hubungan yang memuaskan, pasangan akan
saling berbagi pandangan mengenai masa depan mereka bersama,
dan adanya keinginan masing-masing pasangan untuk tetap
bersama di masa depan dan adanya ketidakinginan untuk berpisah
sehingga hubungan biasanya bertahan lebih lama.
C. TRANSGENDER
1. Definisi Transgender
Transgender adalah istilah yang merujuk pada orang-orang yang
menampilkan identitas gender yang berbeda dengan jenis kelamin
bawaan lahirnya ataupun orang- orang yang mengekspresikan peran
gendernya berbeda secara signifikan dengan seperti apa gender
21
to male transgender (FtM), dan male to female transgender (MtF)
(IOM, 2011). Di Indonesia, male to female transgender ini lebih akrab disebut dengan waria (STBP,2007).
Dalam DSM IV-TR (2004), gangguan identitas gender pada masa
dewasa dimanifestasikan dengan adanya keinginan yang kuat untuk
melakukan peran seks lain (dalam hal ini, pria memiliki keinginan
untuk melakukan peran seks sebagai perempuan), atau mendapatkan
penampilan seks yang berbeda dengan manipulasi hormon dan operasi.
Perroto dan Culkin (1993) juga menungkapkan bahwa transgender
adalah individu yang merasakan adanya ketidaksesuaian fisik dan
gendernya. Biasanya orang-orang ini merasa adanya perbedaan
persepsinya mengenai jenis kelaminnya pada masa kanak-kanak dan
pada masa kini
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa male to female transgender adalah individu dengan seks sebagai seorang
laki-laki, akan tetapi memiliki identitas gender sebagai seorang perempuan
yang ditampilkan dengan melakukan peran gender sebagai seorang
wanita.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Menjadi Transgender
Banyak faktor yang berkaitan yang pada akhirnya membuat
seorang laki-laki secara fisik merasakan dan meyakini bahwa dirinya
dilahirkan atau dikenal dengan teori congenital dimana abnormalitas
seksual seseorang bukan merupakan pengaruh dari luar. Nacke (dalam
Nadia, 2005) menyatakan bahwa seseorang mengalami gejala
keabnormalan seksualitas saat sudah menginjak usia dewasa,
karenanya gejala abnormalitas ini tidak hanya terjadi karena pengaruh
lingkungan (acquired) melainkan juga adanya faktor genetik
(congenital) yang sudah ada sejak lama dalam diri seseorang.
Sementara itu Davidson, Kring, dan Neale (2004) mengemukakan
beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki gangguan
identitas gender, seperti :
a. Faktor biologis
Gangguan identitas gender seperti yang dialami oleh para
transgender ini dipengaruhi oleh hormon-hormon dalam tubuh
mereka. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang
mempengaruhi neuron otak dan berkontribusi terhadap
masukulinisasi otak yang terjadi pada area, seperti hipotalamus.
Penelitian yang dilakukan oleh McGinley (dalam Davidson, Kring,
& Neale, 2004) menemukan bahwa anak laki-laki yang pada masa
perkembangan fetalnya tidak dapat menghasilkan hormon yang
membentuk penis dan skrotum secara sempurna kemudian tumbuh
sebagai perempuan. Yalom, Green, & Fisk (dalam Davidson, dkk.,
2004) juga menemukan bahwa anak lelaki yang ibunya pada masa
23
kemudian cenderung kurang atletis, tidak menyukai permainan
yang keras atau berguling-guling dibandingkan teman-teman
laki-lakinya.
b. Faktor sosial dan psikologis.
Reinforcement selama masa pertumbuhan yang diberikan
oleh pengasuh dan orangtua akan mempengaruhi perkembangan
identitas gender anak. Misalnya ibu yang sering mendandani anak
lelakinya dengan pakaian perempuan dan memuji anaknya bahwa
anaknya terlihat lebih lucu dan menggemaskan. Reinforcement
yang salah yang diberikan oleh lingkungan terhadap anak
memberikan kontribusi yang besar terhadap konflik antara anatomi
seks dan identitas gender mereka (Zuckerman & Green, dalam
Davidson, dkk., 2004).
3. Ciri- Ciri Transgender
Dalam DSM IV TR, gangguan identitas gender biasanya dapat dilihat
melalui ciri-ciri sebagai berikut :
a. Adanya identitas yang kuat dan menetap terhadap gender lawan
jenis.
Pada anak-anak, terdapat beberapa ciri, yaitu :
1. Berulangkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau
memaksakan dirinya sebagai lawan jenis
3. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau
terus-menerus berfantasi menjadi lawan jenis;
4. Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip
lawan jenis;
5. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis
Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti, keinginan
untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis,
ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa
emosinya adalah tipikal lawan jenis.
b. Adanya ketidaknyamanan terhadap seks atau adanya rasa
ketidaksesuaian terhadap peran gender seks tersebut
1. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya :
- Pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa
penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu; tidak menyukai
permainan yang biasanya dimainkan anak laki-laki.
- Pada anak perempuan, menolak untuk membuang air kecil
dengan cara duduk; memiliki keyakinan bahwa penis akan tumbuh;
merasa tidak suka dengan payudara yang membesar dan
menstruasi; merasa benci atau tidak suka terhadap pakaian
perempuan yang konvensional.
2. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal
diantaranya : keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik
25
operasi; yakin bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang
salah.
c. Gangguan ini tidak bersamaan dengan kondisi fisik interseks
d. Gangguan ini secara klinis menyebabkan distress yang signifikan
atau kekurangan dalam hubungan sosial, pekerjaan, atau area
keberfungsian yang penting lainnya.
D. OPTIMISME DALAM HUBUNGAN ROMANTIS PADA MALE TO
FEMALE TRANSGENDER
Optimisme merupakan keyakinan seorang individu untuk
mendapatkan hasil yang positif mengenai sesuatu tujuan di masa depan,
dimana individu tersebut dapat bertahan menghadapi masalah yang terjadi
dan meyakini bahwa akan ada hasil positif yang didapatkan melalui
masalah tersebut (Carver &Scheier, 1985).
Optimisme pada seseorang terbentuk dari dukungan dan
penghargaan orang lain dan keyakinan individu itu sendiri bahwa dirinya
bernilai (Selligman, 2006). Optimisme memberikan dampat positif dalam
berbagai domain kehidupan seseorang, salah satunya dalam hubungan
romantis (Angelo & Srivastava, 2009). Dalam hubungan romantis,
optimisme merupakan salah satu sumber daya yang penting (Carver,
Scheier, & Segerstorm, 2010), dan berkembang saat individu mendapatkan
dukungan pada saat dibutuhkan, dan yakin bahwa perilaku pasangannya
ini akan persisten di masa depan (Srivastava, dkk., 2006).
Hubungan romantis merupakan salah satu tugas perkembangan
individu yang telah memasuki masa dewasa awal (Hurlock, 1998), tak
terkecuali pada male to female transgender. Male to female transgender
yang memasuki masa dewasa awal akan membina hubungan romantis
sebagai salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan akan cinta seperti
individu dewasa lainnya.
Male to female transgender yang menjalin hubungan romantis
dengan pria secara seksual merupakan pasangan homoseksual. Di
Indonesia, hal tersebut dianggap melanggar norma agama, sehingga
biasanya pasangan tersebut dimarjinalkan dan diberi stigma oleh
masyarakat (Oetomo, 2001). Peraturan negara dan agama juga tidak
memperbolehkan pasangan ini untuk menikah. Padahal hubungan romantis
atau berpacaran adalah proses seseorang menyeleksi pasangan hidupnya
sebelum akhirnya menikah (DeGenova, 2008) dan menikah adalah tugas
perkembangan yang harus dilalui oleh tiap individu yang sudah mencapai
tahap dewasa awal (Hurlock, 1980). Hal ini menjadi stress dan masalah
tersendiri bagitransgender tersebut (Green, 2004). Tidak adanya dukungan
sosial terhadap hubungan romantis mereka akan memengaruhi optimisme
dalam hubungan romantis male to female transgender dan pria ini.
Pada hubungan romantis, optimisme diasosiasikan dengan hasil
27
hubungan yang dapat bertahan lama, berkurangnya konflik yang tak
terselesaikan, dan kemudian menghasilkan hubungan yang memuaskan
(Srivasta, dkk., 2006). Ada beberapa indikator yang menunjukkan
kepuasan dalam hubungan romantis. Miller dan Tedder (2011)
mengungkapkan bahwa komunikasi yang baik dengan pasangan,
penanganan konflik yang baik, adanya afeksi yang dapat dirasakan
masing-masing pasangan, serta keinginan untuk terus bersama dan
mencapai tujuan di masa depan juga akan membuat hubungan terasa lebih
memuaskan.
Menurut Miller dan Tedder (2011) hubungan yang memuaskan
juga akan terlihat jika adanya tujuan bersama mengenai masa depan pada
pasangan. Dan biasanya tujuan akhir dari pasangan yang menjalin
hubungan romantis adalah menikah. Sementara di Indonesia tidak ada
legalisasi pernikahan terhadap pasangan male to female transgender dan
pria ini. Fenomena ini memunculkan pertanyaan peneliti bagaimana
gambaran optimisme seorang male to female transgender terhadap
hubungan romantisnya sementara hubungan tersebut mendapatkan stigma
dan marjinalisasi dari masyarakat dan adanya tentangan hukum negara dan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. PENDEKATAN KUALITATIF
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang lebih luas
serta mendalam berkaitan dengan bagaimana gambaran optimisme pada male to female transgender yang menjalin hubungan romantis dengan pria dan
bagaimana efek yang dihasilkan optimisme dalam hubungan romantis
tersebut. Adanya norma di masyarakat Indonesia yang melarang hubungan
sesama jenis sehingga male to female transgender yang menjalin hubungan romantis ini mendapatkan stigma dan mengalami marjinalisasi dari
masyarakat.
Bogdan dan Taylor (dikutip Moleong, 2006) mendefinisikan metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2007), dimana
melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti dapat memperoleh
pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti sehingga
dapat melihat permasalahan dengan lebih mendalam.
Dalam penelitian mengenai gambaran optimisme pada male to female transgender yang berpacaran dengan pria ini menggunakan metode studi
orang-orang tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam (Patton, dalam
Poerwandari, 2007).
B. SUBJEK PENELITIAN
1. Karakteristik Subjek
Pemilihan subjek penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu.
Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah seorang male to female transgender, berumur 20-40 tahun, dan sedang menjalin hubungan
romantis dengan pria.
2. Jumlah Subjek
Pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif umumnya tidak
diarahkan pada jumlah yang besar dan tidak ditentukan secara kaku sejak
awal (Saratakos dalam Poerwandari, 2007). Penelitian ini mengambil
subjek sebanyak 2 orang dikarenakan peneliti ingin berfokus untuk
mendalami subjek dan tidak banyaknya yang bersedia jika dimintai
keterangan mengenai keadaannya sebagai male to female transgender
yang menjalani hubungan romantis dengan pria.
3. Prosedur Pengambilan Subjek
Prosedur pengambilan subjek yang digunakan adalah pengambilan
sampel bola salju/berantai (Snowball/chain Sampling) yaitu pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang
31
4. Lokasi Penelitian
Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Medan.
Pemilihan kota Medan yang merupakan tempat yang terdekat dengan
peneliti. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara yang berlokasi di
cafe, sesuai perjanjian dengan subjek.
C. METODE PENGAMBILAN DATA
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui
wawancara. Menurut Poerwandari (2009), wawancara adalah percakapan dan
tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Metode ini
dipilih karena melalui wawancara, peneliti dapat mengetahui
pendapat-pendapat subjektif dari subjek penelitian dan dapat melakukan
pendalaman mengenai isu optimisme dalam hubungan romantis male to female transgender dan pria.
Wawancara kualitatif kemudian dilakukan untuk dapat memperoleh
pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami individu
berkaitan dengan topik yang diteliti dan untuk melakukan eksplorasi terhadap
isu tersebut (Banister dkk, dalam Poerwandari, 2007).
D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar
yang akan dianalisis berdasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena
peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Alat perekam
Alat perekam digunakan untuk dapat merekam jalannya wawancara agar
pada saat penulisan data, tidak ada data yang terlewatkan. Alat perekam
juga digunakan agar peneliti dapat fokus pada jawaban-jawaban yang
diberikan subjek. Penggunaan alat perekam telah disetujui sebelumnya
oleh subjek penelitian
b. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara, berupa daftar pertanyaan yang terkait dengan hal-hal
yang dibahas dalam penelitian. Pedoman wawancara digunakan agar
peneliti dapat fokus pada alasan subjek menjadi male to female transgender, gambaran optimisme subjek dalam hubungan romantisnya dan efek optimisme dalam hubungan romantis subjek, serta untuk menjaga
subjektifitas penelitian.
E. KREDIBILITAS PENELITIAN
Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian
kualitatif untuk menggantikan konsep validitas. Kredibiltas penelitian
kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi
masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola
interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2009). Dalam penelitian ini
kredibilitas terlihat dari keberhasilan untuk mengeksplorasi gambaran
33
transgender dan pria. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan
objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:
a. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan
pengamatan objektif terhadap setting, subjek, ataupun hal lain yang terkait.
b. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses
pengumpulan data maupun strategi analisanya.
c. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti
sebelumnya serta melihat efektifitas dari langkah-langkah tersebut tanpa
mengesampingkan saran-saran yang dianjurkan secara teoritis. Langkah
ini diharapkan dapat menjamin pengumpulan data yang berkualitas.
d. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan
yang berbeda.
e. Melakukan analisis data penelitian berdasarkan ”validitas argumentatif”
yang dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.
F. PROSEDUR PENELITIAN
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut :
teori mengenai perkembangan transgender. Peneliti kemudian
menyusun latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, landasan teori serta kerangka berpikir penelitian.
b. Menyusun pedoman wawancara
Penyusunan pedoman wawancara dimulai terlebih dahulu dengan
menyusun landasan teori yang digunakan. Berdasarkan landasan teori
tersebut disusunlah sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman
wawancara. Pedoman wawancara ini disusun dengan tujuan agar
wawancara nantinya lebih terarah dan subjektif.
c. Membuat informed consent (Pernyataan pemberian izin oleh subjek) Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa subjek telah menyepakati
bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai subjek dalam penelitian ini
tanpa adanya paksaan dari siapapun. Peneliti menjelaskan tentang
penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.
d. Mempersiapkan alat-alat penelitian
Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data
seperti handphone, serta pedoman wawancara yang telah tersusun. e. Persiapan untuk mengumpulkan data
Peneliti menghubungi calon subjek untuk menjelaskan tentang
penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk
berpartisipasi dalam penelitian. Pada prosesnya terjadi kesulitan untuk
35
pria, dan beberapa calon subjek yang berhasil peneliti mintai
kesediannya dalam penelitian harus pindah domisili ke provinsi lain.
f. Membangun Rapport dan menentukan jadwal wawancara
Setelah memperoleh kesediaan dari subjek penelitian, peneliti
kemudian bertemu dengan subjek untuk membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan subjek penelitian menentukan dan menyepakati waktu
dan lokasi bertemu selanjutnya untuk melakukan wawancara
penelitian. Pada salah seorang subjek, peneliti membangun rapport
dengan bertemu secara langsung lalu kemudian menyepakati waktu
pertemuan selanjutnya untuk melaksanakan wawancara. Sementara
pada subjek lainnya peneliti awalnya membangun rapport dengan
berkomunikasi melalui handphone, lalu kemudian bertemu secara langsung dan kembali membangun rapport serta melaksanakan wawancara.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki
beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:
a. Mengkonfirmasi waktu dan tempat wawancara
Peneliti melakukan konfirmasi mengenai tempat dan waktu
pelaksanaan wawancara dengan subjek, diusahakan jadwal wawancara
b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Pelaksanaan wawancara dilakukan dengan pedoman yang sudah
disiapkan sebelumnya agar menjaga subjektifitas penelitian, dan
pertanyaan tidak melenceng dari topik penelitian. Meskipun demikian,
pada proses wawancara pedoman wawancara tidak dilaksanakan
dengan kaku melainkan lebih fleksibel terutama saat peneliti
menemukan informasi menarik saat wawancara.
c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip
verbatim.
Hasil wawancara yang sudah didapatkan kemudian dipindahkan dalam
bentuk verbatim. Kemudian verbatim ini diberikan koding agar
memudahkan pelaksanaan analisa data nantinya.
d. Melakukan analisa data
Langkah yang dilakukan setelah menyusun verbatim adalah melakukan
analisa data. Verbatim yang sudah diberikan koding dianalisa, dan
disusun sedemikian rupa untuk melihat gambaran optimisme pada
male to female transgender yang menjalin hubungan romantis dengan pria dan efek-efek yang dihasilkan oleh optimisme dalam hubungan
romantis male to female transgender tersebut. e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran
Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk
37
diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu,
peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi
38 BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan analisa data dan pembahasan hasil penelitian
gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada male to female transgender.
Bab ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama akan dipaparkan mengenai
rangkuman hasil wawancara dengan masing – masing subjek data-data yang
diperoleh dari pengumpulan data. Pada bagian kedua akan diuraikan pembahasan
teoritis dari hasil data yang diperoleh.
Kutipan dalam setiap bagian analisa diberikan kode-kode tertentu sebab
satu kutipan bisa di interpretasi beberapa kali. Contoh kode yang digunakan
adalah: W1.R1.b.194-200.h.6, maksud kode ini adalah kutipan dari, wawancara
pertama, subjek 1, baris 194-200, verbatim halaman 6.
A. ANALISA DATA
1. Subjek 1
a. Deskripsi Umum Subjek 1
Tabel 1. Identitas Diri Subjek 1
Keterangan Subjek 1
Nama (inisial) R1
Usia 26 tahun
Agama Islam
Pendidikan SMA
Pekerjaan Pemilik salon/Koordinator
39
b. Jadwal Wawancara
Tabel 2. Jadwal Wawancara Subjek 1
No Hari, Tanggal Durasi Tempat
1 Senin, 06 Januari 2014
20 Menit Ruang Gemini 1, Hotel Grand Antares
2 Selasa, 28 Januari 2014
50 Menit Café Susi
3. Minggu, 23 Februari 2014
75 menit Warkop Halat
4. Senin, 10 Maret 2014
60 menit Bandrek Sahib
c. Hasil Observasi wawancara Reponden 1
i. Wawancara 1
Wawancara pertama berlangsung pada hari senin, 06
Januari 2014 di Hotel Grand Antares, Medan, dimana LSM tempat
subjek bekerja sedang melakukan pelatihan di hotel tersebut.
Wawancara berlangsung pukul 10.30-10.50 WIB, saat subjek
sedang tidak bertugas dalam kegiatan pelatihan tersebut.
Pagi itu subjek mengenakan celana jeans biru ketat dengan
kemben bermotif bunga-bunga dan juga rompi jeans. Subjek
memiliki tinggi sekitar 170 cm dan berat 50 kg. Subjek berkulit
agak gelap dengan rambut agak pirang yang panjangnya sebahu.
cukup berisik, subjek dan peneliti melakukan wawancara di tangga
di luar ruangan Gemini 1 Hotel Grand Antares.
Pada saat wawancara berlangsung, sesekali subjek melihat
kearah pintu ruangan tempat pelatihan berlangsung, apalagi setiap
kali pintu terbuka. Subjek awalnya bercerita tentang identitas diri
dan latar belakangnya menjadi transgender. Saat bercerita topik ini,
sesekali subjek memandangi lantai. Kemudian saat bercerita
mengenai kehidupan romantis subjek, sesekali subjek tersenyum,
terutama saat subjek bercerita kebaikan pacarnya sehingga keluarga
subjek dapat menerima pacarnya untuk tinggal bersama mereka.
Hal yang berbeda terlihat saat subjek bercerita mengenai
diskriminasi terhadap male to female transgender. Subjek bercerita dengan tangan yang digerak-gerakan dengan tegas dan dan sesekali
keningnya berkerut, terutama saat menceritakan keadaan male to female transgender disekitarnya sehingga membuat masyarakat
mendiskriminasi para male to female transgender.
Wawancara sudah berlangsung selama 20 menit saat
kemudian salah seorang rekan kerja subjek memanggil subjek
untuk masuk ke ruangan dan melakukan tugasnya. Subjek
kemudian berjalan dengan melenggak-lenggok kearah ruangan
pelatihan, kemudian berbalik badan untuk mengatakan pada
41
ii. Wawancara 2
Wawancara kedua berlangsung pada hari selasa 28 Januari
2014 pukul 21.45-22.35 WIB di café Susi di Jalan Halat.
Wawancara berlangsung pada malam hari karena salon subjek baru
tutup menjelang malam hari. Subjek tiba di café Susi pada pukul
21.30. Pada wawancara kali ini, subjek datang bersama pacarnya.
Subjek saat itu mengenakan jeans ketat berwarna hitam, kemben
bermotif bunga serta bolero berwarna putih. Saat sampai subjek
langsung meminta maaf karena terlambat. Kemudian sebelum
wawancara dimulai, subjek dan pacarnya makan malam selama 15
menit. Wawancara dimulai setelah subjek makan malam, saat
wawancara hendak dimulai, pacar subjek meminta uang pada
subjek untuk membeli rokok. Setelah pacar subjek pergi membeli
rokok, wawancara pun berlangsung.
Wawancara sedang berlangsung selama 10 menit saat pacar
subjek kembali menghampiri subjek dan peneliti. Subjek kemudian
meletakkan rokok pacarnya di meja lain sambil meminta pacarnya
menjauh dari meja peneliti dan subjek. Setelah pacar subjek datang,
suara subjek yang awalnya keras kemudian menjadi pelan dan
mengarahkan badannya membelakangi pacarnya sambil sesekali
menutupi mulutnya memakai tangan.