Gambaran Penerimaan Diri dan Kondisi yang Mendukungnya pada Male-to-Female Transeksual
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
RISMA ARYANTI PRATIWI 091301049
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
“Gambaran Penerimaan Diri dan Kondisi yang Mendukungnya pada Male-to-Female Transeksual”
Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, September 2013
Risma Aryanti Pratiwi
GAMBARAN PENERIMAAN DIRI DAN KONDISI YANG MENDUKUNGNYA PADA MALE-TO-FEMALE TRANSEKSUAL
Risma Aryanti Pratiwi dan Juliana Irmayanti Saragih Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus intrinsik. Data diperoleh dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap seorang male-to-female transeksual yang berdomisili di kota Medan. Penelitian ini menggunakan teori Penerimaan Diri yang di kemukakan oleh Germer (2009) untuk menjelaskan tahapan penerimaan diri yang dilalui partisipan, antara lain: dimulai dari aversion, kemudian curiousity, masuk ke tolerance, selanjutnya allowing, dan berakhir dengan friendship. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan mampu menerima dirinya. Ia melalui masing-masing tahapan proses penerimaan diri yang telah dikemukakan oleh Germer (2009) dengan berbagai respon yang mengikutinya, baik yang bersifat pro maupun kontra. Tahap pertama ia lalui dengan merasakan penolakan pada dirinya, ditandai dengan perasaan jijik atas penisnya sendiri, tahap kedua ia lalui dengan mempelajari lebih lanjut permasalahan transeksualitasnya seorang diri, tahap ketiga ia lalui dengan bertahan terhadap gender discomfortnya dengan mengumpulkan uang untuk melakukan operasi, tahap keempat ia lalui dengan belajar beradaptasi dengan situasi baru yang ia miliki dan berakhir saat ia telah mampu merasa bersyukur atas apa yang telah ia hadapi sebelumnya. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya penerimaan dan dukungan sosial yang diberikan oleh significant others, dimana hal ini membuat proses penerimaan dirinya menjadi lebih mudah untuk dilalui.
DESCRIPTION OF SELF ACCEPTANCE AND CONDITIONS FAVORABLE TO ACHIEVE IT ON MALE-TO-FEMALE TRANSSEXUAL
Risma Aryanti Pratiwi and Juliana Irmayanti Saragih Psychology Faculty in University of North Sumatera
ABSTRACT
This research uses qualitative approach with an intrinsic case study as the research method. Data were obtained by conducting in-depth interview to one male-to-female transsexual that lives in Medan. This study used self acceptance theory which proposed by Germer (2009) to describe the process how participant accepted herself. According to Germer (2009), there are five stages of self acceptance, the stages are : start with Aversion, then Curiosity, follow Tolerance, Allowing, and end up with Friendship. The result of the research showed that participant is able to accept herself, she passed all of the self acceptance stages that proposed by Germer (2009) with various response follow, neither pros nor cons response she got because of her transsexuality. She through the first stage by rejected herself where she felt very displeasing with her own penis , and she enter the second stage by trying to figure out about her gender identity without anyone help, at the third stage, she endured her gender discomfort by saving money so she’ll be able to undergo sex reassignment surgery, she enter the forth stage by learns to adapt on her new situation, the self acceptance process she’s been through over when she enter the last stage where she feel very grateful and see hidden value in her predicament. These process highly affected by acceptance and social support which given by her significant others, while these things make herself a better self-acceptant person.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Gambaran Penerimaan Diri dan Kondisi yang Mendukungnya pada Male-to-Female Transeksual” ini. Adapun salah satu tujuan pembuatan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka sangat sulit untuk menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.si, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
2. Kakak Juliana. I. Saragih, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah meluangkan waktu, memberikan banyak bantuan, petunjuk, serta semangat pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Makasih banyak kakak.
3. Ibu Meutia Nauly M.Si, psikolog dan Kakak Rahma Fauzia M.Psi, psikolog selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan ilmu, saran dan masukan untuk perbaikan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Ari Widyanta M.Si, psikolog yang telah memberikan masukan dan saran tambahan terhadap tata tulis penelitian kualitatif pada skripsi ini. 5. Kakak Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing
akademik selama empat tahun ini.
7. Keluarga tercinta. Umi, Buya, Ida, Ita, Opi, Saad, Tante, Om Adi, dek Rasyid, makasih untuk semua doa dan dukungan yang telah diberikan. Penulis sangat bersyukur bisa berada dalam keluarga yang penuh kasih sayang ini. Mbakma loves you guys beyond words!
8. Para sahabat dan teman yang menjadi keluarga kedua penulis, My Lovelies. Hafiz, Mirna, Indah, Qeny, Pipi, Nana, Aisyah, Yaya, Cecil, Magda, Vera, Jaja, dan teman lainnya. Terima kasih untuk semua waktu, bantuan, dukungan, doa, kebersamaan, dan apapun itu yang udah sama-sama kita laluin semuanya. Risma loves you much!
9. Bunda Reni yang sudah bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini, makasih banyak bun untuk waktu dan semuanya.
10.Keluarga besar stambuk 2009. Penulis bersyukur dan merasa senang bisa menjadi salah satu bagian dari keluarga besar ini.
11.Seluruh pihak yang terlibat dengan penulisan dan penyelesaian skripsi ini yang namanya mungkin tidak sengaja terlewatkan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna, oleh karena itu penulis sangat terbuka akan kritik dan saran untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi di kemudian hari. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
Medan, September 2013
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II LANDASAN TEORI A. Penerimaan Diri 1. Definisi Penerimaan Diri ...16
2. Tahapan Penerimaan Diri ...17
3. Kondisi yang mendukung Proses Penerimaan Diri...18
4. Efek Penerimaan Diri ………...……….22
B. Transeksual 1. Definisi Transeksual …... 23
C. Penerimaan Diri Pada Male To Female Transeksual ... 26
D. Paradigma Teorits ... 30
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 31
C. Partisipan Penelitian ...……… 33
1. Karakteristik Partisipan ... 33
2. Jumlah Partisipan …………... 34
3. Prosedur Pengambilan Partisipan ………... 34
4. Lokasi Penelitian ………..… 35
D. Metode Pengumpulan Data ... 35
E. Alat Bantu Pengumpulan Data ………...…….37
F. Kredibilitas Penelitian ... 39
G. Prosedur Penelitian ………... 41
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 41
2. Tahap Pelaksanaan …………... 43
3. Tahap Pencatatan Data ... 46
H. Metode Analisis Data ... 46
BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI A. Analisa Partisipan ... 49
A.1. Identitas Partisipan ... 49
A.2. Observasi ... 52
A.3. Analisa Data ... 59
A.3.1. Gambaran kehidupan partisipan di masa kecil ... 59
A.3.2. Gambaran kehidupan partisipan selama masa Transgender ... 68
A.3.3. Gambaran kehidupan partisipan setelah menjadi Transeksual ... 75
A.3.4. Tahapan Penerimaan Diri ... 84
B. Analisa Significant Others ... 98
B.1. Identitas Diri SO ... 98
B.2. Observasi ... 99
C. Pembahasan ... 101
Rangkuman Hasil Penelitian ... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 115
Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 121
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 ... 44
Tabel 2.1 ... 49
Tabel 2.2 ... 53
Tabel 2.3 ... 54
Tabel 2.4 ... 55
Tabel 2.5 ... 56
Tabel 2.6 ... 57
Tabel 3.1 ... 98
Tabel 3.2 ... 99
Tabel 4.1 ... 110
Tabel 4.2 ... 112
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rekontruksi Data ... 125
Lampiran 2 Pedoman Wawancara ... 141
Lampiran 3 Lembar Observasi ... 143
GAMBARAN PENERIMAAN DIRI DAN KONDISI YANG MENDUKUNGNYA PADA MALE-TO-FEMALE TRANSEKSUAL
Risma Aryanti Pratiwi dan Juliana Irmayanti Saragih Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus intrinsik. Data diperoleh dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap seorang male-to-female transeksual yang berdomisili di kota Medan. Penelitian ini menggunakan teori Penerimaan Diri yang di kemukakan oleh Germer (2009) untuk menjelaskan tahapan penerimaan diri yang dilalui partisipan, antara lain: dimulai dari aversion, kemudian curiousity, masuk ke tolerance, selanjutnya allowing, dan berakhir dengan friendship. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan mampu menerima dirinya. Ia melalui masing-masing tahapan proses penerimaan diri yang telah dikemukakan oleh Germer (2009) dengan berbagai respon yang mengikutinya, baik yang bersifat pro maupun kontra. Tahap pertama ia lalui dengan merasakan penolakan pada dirinya, ditandai dengan perasaan jijik atas penisnya sendiri, tahap kedua ia lalui dengan mempelajari lebih lanjut permasalahan transeksualitasnya seorang diri, tahap ketiga ia lalui dengan bertahan terhadap gender discomfortnya dengan mengumpulkan uang untuk melakukan operasi, tahap keempat ia lalui dengan belajar beradaptasi dengan situasi baru yang ia miliki dan berakhir saat ia telah mampu merasa bersyukur atas apa yang telah ia hadapi sebelumnya. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya penerimaan dan dukungan sosial yang diberikan oleh significant others, dimana hal ini membuat proses penerimaan dirinya menjadi lebih mudah untuk dilalui.
DESCRIPTION OF SELF ACCEPTANCE AND CONDITIONS FAVORABLE TO ACHIEVE IT ON MALE-TO-FEMALE TRANSSEXUAL
Risma Aryanti Pratiwi and Juliana Irmayanti Saragih Psychology Faculty in University of North Sumatera
ABSTRACT
This research uses qualitative approach with an intrinsic case study as the research method. Data were obtained by conducting in-depth interview to one male-to-female transsexual that lives in Medan. This study used self acceptance theory which proposed by Germer (2009) to describe the process how participant accepted herself. According to Germer (2009), there are five stages of self acceptance, the stages are : start with Aversion, then Curiosity, follow Tolerance, Allowing, and end up with Friendship. The result of the research showed that participant is able to accept herself, she passed all of the self acceptance stages that proposed by Germer (2009) with various response follow, neither pros nor cons response she got because of her transsexuality. She through the first stage by rejected herself where she felt very displeasing with her own penis , and she enter the second stage by trying to figure out about her gender identity without anyone help, at the third stage, she endured her gender discomfort by saving money so she’ll be able to undergo sex reassignment surgery, she enter the forth stage by learns to adapt on her new situation, the self acceptance process she’s been through over when she enter the last stage where she feel very grateful and see hidden value in her predicament. These process highly affected by acceptance and social support which given by her significant others, while these things make herself a better self-acceptant person.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Born In The Wrong Body” merupakan suatu tema yang diangkat menjadi
suatu tajuk permasalahan yang dibahas dalam acara talk show yang dipandu oleh
Oprah Winfrey pada tanggal 28 September 2007. Dalam acara tersebut hadir 3 orang narasumber yang termasuk dalam kelompok orang-orang jenis ketiga, yaitu orang-orang yang jenis kelaminnya tidak teridentifikasi sebagai wanita maupun
pria, yang selanjutnya akan disebut sebagai transeksual dalam tulisan ini.
Diantaranya adalah Angelika, seorang gadis berusia 21 tahun yang telah
menjalani kehidupan 15 tahun pertamanya sebagai anak lelaki. Ia mulai merasakan konflik mengenai identitasnya saat ia masih berusia 3 tahun. Saat anak lelaki lain seusianya mulai tertarik dengan kegiatan olahraga, ia lebih memilih
untuk bermain dengan boneka barbie. Saat ia memasuki masa remaja, ia mulai mengetahui mengenai homoseksual dan ia secara tidak sengaja mengira ia
merupakan salah satu dari mereka.
Hal yang sama juga dirasakan oleh gadis kecil yang berasal dari California bernama Julia. Sejak kecil ia lebih suka bermain mobil-mobilan dan memakai
pakaian anak lelaki. Semakin ia bertambah dewasa, ia menyadari ada sesuatu hal yang salah dari dalam dirinya. Selama 14 tahun, ia menjalani kehidupan menjadi
transgender dan ia kemudian memulai perjalanan untuk mengganti identitas
melalui beberapa perubahan fisik menjadi Jake.
Baik Angelika maupun Jake mengakui bahwa kehidupan yang mereka jalani tidaklah mudah. Keduanya sering kali mengalami beragam peristiwa yang
tidak menyenangkan, mulai dari penolakan yang ditunjukkan oleh keluarga, dijauhi oleh teman-teman di sekolah, hingga usaha percobaan bunuh diri pun
pernah mereka berdua lakukan.
Seorang narasumber lain yang hadir dalam acara talk show itu adalah seorang Dokter Spesialis Kandungan bernama Dr. Marci Bowers. Lima belas
tahun yang lalu, ia bernama Mark Bowers, seorang dokter yang sukses, suami, dan ayah dari 3 orang anak. Ia mengakui bahwa berdasarkan pengalaman
pribadinya untuk bertransisi dari seorang lelaki menjadi perempuan merupakan suatu permasalahan yang begitu sulit. Ia sebenarnya mulai merasakan keanehan saat ia berusia 4 tahun, namun ia lebih memilih untuk menarik diri dan
“bersembunyi” dari kenyataan. Ia sengaja memilih jurusan ahli kandungan dan ginekologi, sehingga ia bisa menjadi salah satu bagian dari kehidupan para wanita. Ia menjalani 40 tahun kehidupannya untuk berusaha denial dari apa yang
sebenarnya ia rasakan hingga sampai pada suatu waktu ia tidak sanggup untuk menahannya kembali. Awalnya ia merasa jika ia dapat hidup seperti lelaki lainnya
dengan menikah dan membesarkan anak-anak, maka ia merasa hal itu akan cukup untuk membuatnya bahagia. Namun ternyata hal itu membuatnya merasa
menyatakan penolakan atas permintaan suaminya yang meminta izin untuk
berganti kelamin, tapi setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya ia menyetujui keinginan suaminya tersebut. Saat ini, setelah 11 tahun menjalani kehidupan menjadi seorang wanita, pernikahan Dr. Bowers dan istrinya masih
berjalan dengan baik (dalam acara televisi The Oprah Winfrey Show, diakses secara online).
Fenomena orang-orang transeksual ini merupakan suatu permasalahan nyata yang tidak dapat ditolak keberadaannya di masyarakat. Merupakan suatu hal yang sangat disayangkan bahwa belum banyak masyarakat yang memaknai
seluk-beluk kehidupan kaum transeksual yang sesungguhnya. (Nadia, 2005).
Di Indonesia sendiri, penelitian yang menyinggung mengenai orang-orang
transeksual masih minim, sehingga peneliti menemui kesulitan untuk menemukan pandangan budaya timur yang terkait dengan fenomena transeksual itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti mencoba menggali data dengan mewawancarai beberapa
orang untuk meminta pendapat mereka mengenai kaum transeksual di mata mereka. Adapun kutipan wawancaranya sebagai berikut:
“mereka adalah orang-orang yang melanggar kodrat yang telah diberikan oleh Allah. Yang mereka kejar hanya kehidupan duniawai saja. Tapi kadang saya juga merasa kasihan sih sama mereka” – S, 41 tahun, Ibu Rumah Tangga.
“Seseorang dikatakan laki-laki atau perempuan ditentukan hanya berdasarkan jenis kelamin, bukan dilihat dari fisiknya maupun psikis, bukan pula dari penampilan dan sebagainya. Ganti kelamin diperbolehkan dalam Islam sepanjang untuk melakukan penyempurnaan. Hukum bagi transeksual adalah haram.” – A, 39 tahun, Ustadz.
dalam beberapa point mereka jauh lebih baik daripada para pelaku kriminalitas.” – E, 21 tahun, Mahasiswa.
Berdasarkan beberapa kutipan wawancara diatas, ketiga responden secara umum menyatakan sikap yang cenderung negatif dikaitkan dengan nilai agama
dan norma ketimuran. Hal ini semakin mempersulit kehidupan kaum transeksual untuk menjalani kehidupan mereka. Menurut Nadia (2005), negara relatif
meletakkan posisi kaum transeksual secara paralel bersama individu yang memiliki penyakit sosial, seperti pelacuran dan kejahatan. Mereka diposisikan sebagai kelompok marjinal yang tidak memiliki atau menghambat pembangunan.
Untuk melihat budaya timur lainnya yang terkait dengan kehidupan transeksual, dalam budaya Malaysia, terdapat satu istilah yang disebut dengan
mak nyah, yaitu orang-orang yang terlahir sebagai pria, namun merasa dirinya
adalah seorang wanita. Kehidupan mereka biasanya sangat dipengaruhi oleh budaya dan norma agama. Meskipun banyak dari mereka menyatakan bahwa
mereka akan senang atau bahagia jika mereka menjalani operasi pergantian kelamin, namun mereka enggan untuk melakukannya. Mereka percaya jika
mereka melakukannya, tak seorang pun akan melaksanakan upacara pemakaman bagi mereka ketika mereka mati, karena mereka tidak dianggap sebagai perempuan dan mereka juga tidak diterima sebagai laki-laki. Beberapa bahkan
percaya bahwa jiwa mereka akan mengapung tanpa tujuan ketika mereka mati. Terlebih lagi perilaku cross-dressing di Malaysia dianggap sebagai perilaku yang
Hal seperti itu terjadi dikarenakan kebanyakan dari masyarakat hanya
melihat dari kulit luar semata, dan ketidaktahuan mereka atas fenomena tersebut bukannya membuat mereka mencoba belajar tentang apa, bagaimana, mengapa dan siapa melainkan justru melakukan penghukuman dan penghakiman yang
sering kali menjurus pada tindakan yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan (Nadia, 2005).
Orang-orang jenis ketiga dalam konteks psikologis termasuk dalam transeksualisme, yakni seseorang yang sejak lahir memiliki jenis kelamin yang jelas dan sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai
lawan jenisnya (Koeswinarno, 2004).
Transeksual ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu male-to-female
transsexual (laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang
perempuan) dan female-to-male transsexual (perempuan yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang laki-laki). Fokus dalam penelitian kali ini
adalah male-to-female transsexual.
Transeksual menurut Carroll (2005) merupakan individu dengan gangguan
identitas gender yang umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya. Perasaan ini terus berlanjut hingga masa dewasa.
Hal ini dapat dilihat dari penyataan Angelika berikut :
Berdasarkan kutipan pernyataan diatas, Angelika mengalami kebingungan
mengenai identitas dirinya sejak ia masih kecil dan ia mulai mempertanyakan siapakah dirinya yang sebenarnya. Menurut Diamond (1997), banyak transeksual yang mulai menerima diri mereka adalah saat ia mampu memasuki periode
dimana mereka memiliki informasi yang cukup mengenai diri mereka sendiri, sehingga mereka meyakini hal tersebut dapat memberikan solusi yang tepat atas
ketidaknyamanan gender (gender discomfort) yang mereka rasakan. Dalam periode ini, mereka terlibat dalam berbagai macam cara dan teknik untuk menguji kebenaran dan melihat apakah mereka dapat menerima sepenuhnya identitas
mereka (dalam Devor, 2004).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ellen. D. Riggle dan
rekan-rekannya pada tahun 2010 yang melibatkan 61 partisipan transgender dan transeksual menemukan bahwa sekitar 72% mengatakan merasakan perasaan yang amat sangat positif saat menampilkan identitas baru yang mereka miliki, dan 25%
melaporkan mereka merasakan agak positif, 3% sisanya mengatakan tidak begitu positif dan tidak ada satupun partisipan yang menyatakan tidak merasakan
perasaan positif sama sekali. Ditambahkan lagi oleh Ellen D. Riggle dan rekan-rekannya bahwa menampilkan identitas baru bagi mereka memberikan kesempatan untuk dapat menunjukkan kejujuran (honesty), kebenaran (truth), dan
kesatuan dalam diri (unity within yourself).
Honesty dijelaskan oleh Seligman dan Peterson (2004) tidak hanya sebatas
bertanggung jawab atas apa yang ia rasakan dan apa yang ia kerjakan. Hal itu juga
mengacu kepada presentasi asli dari diri seseorang kepada orang lain (sering diistilahkan dengan authenticity/ sincerity), dan bagaimana perasaan internal bahwa diri adalah mahluk yang koheren secara moral (disebut dengan istilah
integrity/ unity).
Kejujuran itu sendiri pada dasarnya memiliki banyak dampak yang baik,
mulai dari peningkatan perasaan positif karena tidak terbebani dengan kebohongan, dapat lebih terbuka dalam menjalin suatu relasi, dapat menampilkan dirinya secara apa adanya, dan hal baik lainnya (Vaughan, 2007). Namun pada sisi
yang lain kejujuran itu sendiri belum tentu memberikan efek yang baik, pada kaum transeksual misalnya, pada saat mereka berusaha menampilkan jati dirinya
yang seutuhnya ke hadapan masyarakat, belum tentu masyarakat itu bisa dengan mudahnya menerima keberadaan mereka. Dalam DSM- IV-TR dikatakan bahwa salah satu diagnosa penegak kriteria Gender Identity Disorder adalah
menyebabkan distress dan penurunan dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Angelika lainnya :
“Sekolah merupakan tempat yang paling menyengsarakan bagiku, aku dipandang begitu berbeda hanya karena aku lebih feminim dibandingkan anak lelaki lainnya. Aku mengalami ‘panic attack’ dan hal itu membuatku malas untuk bersekolah. Dalam setahun, aku mungkin memiliki sekitar 40 hingga 50 absen”.
Berdasarkan sebuah penelitian oleh Bryan Rodriguez Alegre pada tahun
berhubungan. Sangat penting bagi mereka untuk menemukan kebahagiaan.
Mereka menginginkan untuk dapat diterima secara terbuka dan tanpa syarat. Dan mereka juga menginginkan agar masyarakat mau melihat dirinya sebagai wanita secara seutuhnya dan tidak memperlakukan mereka secara berbeda hanya karena
identitas baru yang mereka miliki.
Menjadi transeksual adalah suatu proses antara ia dengan ruang sosial di
mana dirinya hidup dan dibesarkan. Proses ini dilalui dengan berbagai tekanan-tekanan sosial untuk kemudian direspon, sehingga pada akhirnya akan membentuk satu makna kehidupan. Pada kenyataannya, masyarakat tidak mudah
menerima keberadaan mereka dan membentuk suatu hubungan sosial dengan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok transeksual. Kebanyakan dari
masyarakat menganggap bahwa kelompok tersebut merupakan suatu ketidaklaziman. Padahal tentunya mereka juga butuh untuk bergaul dan berhubungan dengan orang lain secara sosial. (Koeswinarno, 2004).
Melihat keadaan masyarakat yang seperti itu, pasti tidaklah mudah bagi seorang transeksual untuk membuka diri terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Kebanyakan dari masyarakat masih menganggap kelompok transeksual merupakan kelompok dari kelas rendah. Kecilnya penerimaan yang diberikan masyarakat cenderung memberikan perilaku diskriminatif di dunia kerja, sehingga
para transeksual tidak dapat bekerja secara leluasa dalam sektor yang formal, sehingga banyak dari mereka yang menggantungkan kehidupannya pada sektor
Menurut Atmojo (dalam Damariyanti, 2007), kehadiran mereka di keliling
kita masih belum sepenuhnya diterima. Tak jarang mereka diperlakukan bagaikan manusia ajaib yang pantas untuk ditertawakan, dihina, dipandang secara sinis dan beragam bentuk penolakan lainnya, bahkan ada sebagian orang yang menganggap
mereka adalah “pendosa” yang patut disingkirkan. Selanjutnya bentuk penolakan yang muncul adalah sikap antipati masyarakat. Maka dampaknya adalah
mempersempit ruang gerak pergaulan mereka sehari-hari bahkan pada hal-hal yang serius.
Minimnya jumlah komunitas transeksual yang bebas bersuara untuk
mempresentasikan kepentingan-kepentingan kaumnya, mempersulit akses para transeksual untuk mendapatkan dukungan sosial, dan kalaupun ada, masyarakat
tentu akan mengucilkan keberadaan mereka, padahal tujuan dibentuknya komunitas tersebut adalah untuk mengangkat derajat transeksual dan menghilangkan pandangan masyarakat bahwa mereka adalah manusia yang buruk
(Damariyanti, 2007).
Mengingat beragam tekanan yang datang mulai dari dalam diri individu
transeksual itu sendiri hingga ke orang-orang sekelilingnya pasti akan sulit bagi mereka untuk dapat menerima keadaan mereka secara seutuhnya. Penerimaan diri (self-acceptance) sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu dalam menjalani
kehidupannya, agar dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Hal ini merujuk kepada sejauh mana seorang individu memiliki pandangan positif mengenai siapa
Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974) seseorang yang mampu menerima
dirinya memiliki penilaian realistis dari sumber daya atau kelebihan-kelebihan yang ia miliki, dimana hal tersebut dikombinasikan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri tanpa memikirkan pendapat orang lain. Mereka akan mengakui
kelebihan yang mereka miliki sebagaimana mereka mengakui kelemahan mereka namun tanpa menyalahkan dirinya sendiri. Hal ini juga merupakan tanda bahwa
adanya proses yang terjadi dalam diri individu yang mengantarkan dirinya kepada suatu pengetahuan dan pemahaman akan dirinya sendiri sehingga ia mampu menerima dirinya secara utuh dan bahagia.
Penerimaan diri tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu. Menurut Germer (2009), dalam proses
perkembangannya, penerimaan diri terjadi dalam beberapa tahap, antara lain : dimulai dari tahap penghindaran (aversion), kemudian tahap keingintahuan (curiousity), masuk ke tahap toleransi (tolerance), selanjutnya tahap membiarkan
begitu saja (allowing), dan berakhir saat individu mampu mencapai masa dimana ia dapat bersahabat dengan situasi yang dihadapinya, yang disebut dengan tahapan persahabatan (friendship).
Ditambahkan lagi oleh Hurlock (1974) bahwa cara bagaimana seseorang akan menerima maupun menolak dirinya dipengaruhi oleh lingkungan. Hal itu
akan terbentuk jika didukung oleh kondisi-kondisi berikut : pemahaman diri yang baik, adanya harapan yang realtistis, tidak adanya hambatan lingkungan, sikap
perspektif diri yang baik, pola asuh masa kecil yang baik, dan konsep diri yang
stabil. Hurlock menegaskan kembali bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki self-acceptance yang konsisten, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan sikap orang-orang disekelilingnya.
Kemampuan untuk dapat menerima keadaan diri yang seutuhnya perlu dikembangkan oleh kaum transeksual, karena pada dasarnya transeksualisme itu
saja sudah merupakan salah satu jenis gangguan psikologis. Terlebih lagi saat ia tidak dapat menerima dirinya, dikhawatirkan hal tersebut akan merujuk kepada gangguan psikologis lain yang akan semakin menghambat jalan kehidupannya.
Peneliti menyadari bahwa untuk mengukur proses bagaimana seorang transeksual mampu menghadapi beragam respon-respon yang bermunculan dari
lingkungannya dan melakukan proses penerimaan diri menjadi suatu hal yang jauh lebih kompleks dibandingkan hanya meminta individu itu untuk sekedar memberikan penilaian tentang bagaimana perasaan yang mereka rasakan tentang
proses peralihan yang mereka alami tersebut.
Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan diatas membuat peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai transeksual dalam melakukan
self-acceptance atau penerimaan diri atas identitas baru yang dimilikinya tersebut.
Dengan kondisi realita masyarakat yang seperti memandang keberadaan mereka
dengan sebelah mata, tentu akan mempersulit seorang transeksual untuk dapat mengaktualisasikan dirinya kepada masyarakat. Bagi seorang transgender saja,
memerlukan pertimbangan dan pemikiran berulang-ulang untuk melakukan
operasi pergantian kelamin, sebagaimana yang dikatakan oleh Jake, berikut : “Saat kecil aku mengira aku adalah seorang Lesbian, hingga suatu waktu aku bertemu dengan seorang teman yang persis seperti diriku sehingga aku mulai menyadari bahwa aku adalah lelaki yang terperangkap dalam tubuh wanita. Aku tidak hanya ingin menjadi seorang pacar, namun menjadi seorang suami, ayah, dan ‘role model’ yang baik untuk kehidupan seseorang. Saat aku memasuki usia 13 aku sudah menyatakan keinginanku untuk menjadi seorang pria seutuhnya kepada orangtuaku dan saat aku berumur 15, aku memulai transisi fisik untuk menjadi seorang Jake, yang diawali dengan mengkonsumsi hormon. Sebelumnya aku selalu mengikat erat payudaraku agar tidak terlihat berbentuk, hingga akhirnya pada usiaku yang ke-16, aku menjalani operasi pengangkatan payudara.”
Selain itu peneliti juga begitu tertarik untuk meneliti mengenai transeksual karena kasus ini sendiri masih jarang sekali terjadi. Tentulah tidak mudah bagi
individu yang tadinya adalah seorang pria untuk dapat menerima diri mereka dalam suatu kondisi dimana ia harus menjalani satu fase kehidupan baru menjadi seorang wanita dengan sepenuhnya.
Penelitian ini menjadi begitu penting mengingat masih minim sekali orang yang mau menyinggung soal dunia transeksual dan juga banyak orang yang tidak
mengerti dan cenderung menghindari kaum yang tergolong transgender maupun transeksual.
B. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang
1. Bagaimana gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to
female transeksual?
2. Kondisi apa saja yang membantu seorang male to female transeksual untuk menerima dirinya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses penerimaan diri dan kondisi yang mendukungnya pada seorang male to female transeksual.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat : a. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang
proses penerimaan diri pada kaum transeksual.
b. Memperkaya khasanah penelitian psikologi tentang kaum transeksual dan kaitannya dengan kesadaran diri serta
pengakuannya kepada orang lain mengenai identitas yang dimilikinya. Mengingat keberadaan mereka masih menjadi
pertentangan bagi masyarakat Indonesia.
d. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi penerimaan diri
pada kaum transeksual.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat :
a. Memberikan sumbangan informasi pada masyarakat, keluarga,
lembaga-lembaga, ataupun yayasan yang bergerak dalam bidang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman atas kaum transeksual.
b. Memberikan masukan atau inspirasi kepada kaum transeksual untuk menyikapi kondisi dirinya dalam menjalani proses
penerimaan diri.
c. Memberikan informasi mengenai masalah-masalah dalam proses penerimaan diri yang sulit dihadapi oleh kaum transeksual,
sehingga diharapkan hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan intervensi ataupun solusi untuk membantu mereka melakukan
proses penerimaan diri.
d. Memberikan informasi mengenai hal-hal apa saja yang dapat membantu kaum transeksual dalam melakukan penerimaan diri.
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan berisi penjelasan latar belakang
permasalahan mengenai proses penerimaan diri pada seorang transeksual, perumusan masalah, tujuan penelitian, menfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain,
definisi penerimaan diri, tahapan penerimaan diri, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri, definisi transeksual dan literatur mengenai transeksual.
BAB III : Metode Penelitian berisi mengenai penjelasan metode penelitian yang digunakan peneliti, mencakup tentang
pendekatan kualitatif, partisipan penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, prosedur penelitian, dan metode
analisa data.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data yang memuat tentang
pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran
BAB II LANDASAN TEORI
A. PENERIMAAN DIRI A.1. Definisi Penerimaan Diri
Germer (2009) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kemampuan
individu untuk dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai siapa dirinya yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu.
Sedangkan menurut Hurlock (1974) penerimaan diri adalah sejauh mana seorang individu mampu menyadari karakteristik kepribadian yang dimilikinya
dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Menurut Jerslid (dalam Hurlock, 1974) seseorang yang mampu menerima dirinya memiliki penilaian realistis dari sumber daya atau kelebihan-kelebihan yang ia miliki, dimana hal
tersebut dikombinasikan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri tanpa memikirkan pendapat orang lain. Orang-orang yang mengaku menerima kelebihan
yang ia miliki bebas untuk menolak atas apa yang tidak sesuai dengan dirinya dan mengakui segala kekurangannya tanpa menyalahkan dirinya sendiri.
Ditambahkan lagi oleh Hurlock (1974), penerimaan diri menjadi salah satu
faktor penting yang berperan terhadap kebahagiaan individu sehingga ia mampu memiliki penyesuaian diri yang baik.
yang menunjukkan perasaan mampu menerima dan bahagia atas segala kelebihan
dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu dan bersedia untuk hidup dengan segala karakteristik yang ada dalam dirinya, tanpa merasakan ketidaknyaman terhadap dirinya sendiri.
A.2. Tahapan Penerimaan Diri
Proses seorang individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap. Menurut Germer (2009), tahapan penerimaan diri terjadi dalam 5 fase, antara lain:
1. Penghindaran (Aversion)
Pertama-tama, reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan dengan
perasaan tidak menyenangkan (uncomfortable feeling) adalah menghindar, contohnya kita selalu memalingkan pandangan kita saat kita melihat adanya pemandangan yang tidak menyenangkan. Bentuk penghindaran
tersebut dapat terjadi dalam beberapa cara, dengan melakukan pertahanan, perlawanan, atau perenungan.
2. Keingintahuan (Curiosity)
Setelah melewati masa aversion, individu akan mengalami adanya rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang mereka hadapi sehingga
mereka ingin mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahannya tersebut walaupun hal tersebut membuat mereka merasa cemas.
Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan perasaan tidak
menyenangkan yang mereka rasakan sambil berharap hal tersebut akan hilang dengan sendirinya.
4. Membiarkan Begitu Saja (Allowing)
Setelah melalui proses bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan tersebut datang dan
pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.
5. Persahabatan (Friendship)
Seiring dengan berjalannya waktu, individu akan mulai bangkit dari perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk dapat memberi
penilaian atas kesulitan tersebut. Bukan berarti ia merasakan kemarahan, melainkan individu dapat merasa bersyukur atas manfaat yang didapatkan berdasarkan situasi ataupun emosi yang hadir.
A.3. Kondisi yang Mendukung Proses Penerimaan Diri
Tidak semua individu dapat menerima dirinya dikarenakan masing-masing orang memiliki ideal self yang lebih tinggi dibandingkan real self yang dimilikinya (Hurlock, 1974). Apabila ideal self itu tidak bersifat realistis dan sulit
untuk diraih dalam kehidupan yang nyata, maka hal itu akan menyebabkan frustrasi dan perasaan kecewa (Hurlock, 1974). Lebih lanjut Hurlock (1974)
diri seorang individu. Kondisi yang mendukung proses penerimaan diri tersebut,
antara lain:
1. Pemahaman Diri (Self-Understanding)
Pemahaman diri adalah persepsi tentang dirinya sendiri yang dibuat secara jujur, tidak berpura-pura dan bersifat realistis. Persepsi atas diri yang ditandai dengan keaslian (genuineness); tidak berpura-pura tetapi
apa adanya, tidak berkhayal tetapi nyata (benar adanya), tidak berbohong tetapi jujur, dan tidak menyimpang. Pemahaman diri bukan hanya terpaku pada mengenal atau mengakui fakta tetapi juga merasakan pentingnya
fakta-fakta (Hurlock, 1974).
2. Harapan yang Realistis (Realistic Expectations)
Harapan yang realistis muncul jika individu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuan dirinya, bukan harapan yang ditentukan oleh orang lain. Hal tersebut
dikatakan realistis jika individu memahami segala kelebihan dan kekurangan dirinya dalam mencapai harapan dan tujuannya
(Hurlock,1974).
3. Tidak adanya Hambatan Lingkungan (Absence of Environmental Obstacle)
Ketidakmampuan untuk meraih harapan realistis mungkin disebabkan oleh adanya berbagai hambatan dari lingkungan. Bila
penerimaan diri akan sulit untuk dicapai. Namun jika lingkungan, dan
significant others turut memberikan dukungan, maka kondisi ini dapat
mempermudah penerimaan diri seorang individu (Hurlock, 1974). 4. Sikap Sosial yang Menyenangkan (Favorable Social Attitudes)
Tiga kondisi utama yang menghasilkan evaluasi positif terhadap diri seseorang antara lain, tidak adanya prasangka terhadap seseorang,
adanya penghargaan terhadap kemampuan-kemampuan sosial, dan kesediaan individu mengikuti tradisi suatu kelompok sosial. Individu yang memiliki hal tersebut diharapkan mampu menerima dirinya (Hurlock,
1974).
5. Tidak Adanya Stress Emosional (Absence of Severe Emotional Stress)
Ketiadaan gangguan stress yang berat akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin, merasa bahagia, rileks, dan tidak bersikap negatif terhadap dirinya. Kondisi positif ini diharapkan membuat individu
mampu melakukan evaluasi diri sehingga penerimaan diri yang memuaskan dapat tercapai. (Hurlock, 1974).
6. Jumlah Keberhasilan (Preponderance of Successes)
Saat individu berhasil ataupun gagal, ia akan memperoleh penilaian sosial dari lingkungannya. Ketika seseorang memiliki aspirasi tinggi, maka
ia tidak akan mudah terpengaruh oleh penilaian sosial tentang kesuksesan maupun kegagalan. Dia kemudian akan menjadi lebih mudah dalam
terpuaskan dengan keberhasilan yang telah dicapainya tanpa memikirkan
pendapat lingkungan sosial. (Hurlock, 1974).
7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik (Identification with Well-Adjusted People)
Saat individu dapat mengidentifikasikan diri dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, maka hal itu dapat membantu
individu untuk mengembangkan sikap positif dan menumbuhkan penilaian diri yang baik. Lingkungan rumah dengan model identifikasi yang baik akan membentuk kepribadian sehat pada seseorang sehingga ia mampu
memiliki penerimanaan diri yang baik pula (Hurlock, 1974). 8. Perspektif diri (Self-Persperctive)
Individu yang mampu melihat dirinya sebagaimana perspektif orang lain memandang dirinya, akan membuat individu tersebut menerima dirinya dengan baik. Dimana hal ini diperoleh melalui pengalaman dan
belajar. Usia dan tingkat pendidikan seseorang juga berpengaruh untuk dapat mengembangkan perspektif dirinya. Sebuah perspektif diri yang baik
memudahkan akses terhadap penerimaan diri (Hurlock,1974). 9. Pola Asuh Masa Kecil Yang Baik (Good Childhood Training)
Meskipun penyesuaian diri pada seseorang dapat berubah secara
radikal karena adanya peningkatan dan perubahan dalam hidupnya, hal tersebut dianggap dapat menentukan apakah penyesuaiannya dikatakan
seseorang tetap ada walaupun usia individu terus bertambah. Dengan
demikian, pola asuh juga turut mempengaruhi bagaimana seseorang dapat mewujudkan penghayatan penerimaan diri. (Hurlock,1974).
10.Konsep Diri yang Stabil (Stable Self-concept)
Individu dianggap memiliki konsep diri yang stabil, jika dalam setiap waktu ia mampu melihat kondisinya dalam keadaan yang sama. Jika
seseorang ingin mengembangkan kebiasaan penerimaan diri, ia harus melihat dirinya sendiri dalam suatu cara yang menyenangkan untuk menguatkan konsep dirinya, sehingga sikap penerimaan diri itu akan
menjadi suatu kebiasaan (Hurlock, 1974).
A.4. Efek Penerimaan Diri
Hurlock (1974) membagi dampak penerimaan diri menjadi dua kategori:
1. Dalam Penyesuaian Diri (Effects on Self-Adjustment)
Orang yang memiliki penerimaan diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Ia biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence)
dan harga diri (self esteem). Selain itu mereka juga lebih dapat menerima kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan
adanya rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif.
Dengan penilaian yang realistis terhadap diri, seseorang akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Ia juga mampu membuat penilaian
mengoreksi kekurangan yang ada pada dirinya. Selain itu yang paling
penting adalah mereka juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.
2. Dalam Penyesuaian Sosial (Effects on Social Adjustments)
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, memiliki
perasaan toleransi terhadap sesama yang dibarengi dengan rasa selalu ingin membantu orang lain, serta menaruh minat terhadap orang lain,
seperti menunjukan rasa empati dan simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri. Ia dapat
mengatasi keadaan emosionalnya tanpa mengganggu orang lain.
B. TRANSEKSUAL
B.1. Definisi Transeksual
Transeksual merupakan individu dengan gangguan identitas gender yang
umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya.
reassignment surgery) (Koeswinarno, 2004. Carroll, 2005. Sajatovic & Loue,
2008. Reid, 2009)
Dalam Diagnotic and Statistic Manual of Mental Disorder IV-TR (2000) yang digunakan dalam menegakkan diagnosa berbagai gangguan mental,
disebutkan ciri utama individu yang mengalami gangguan identitas gender (GIG) adalah mengalami identifikasi cross-gender yang kuat dan menetap, dan merasa
bahwa peran gendernya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Transeksual ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu male-to-female transsexual (laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang perempuan) dan
female-to-male transsexual (perempuan yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah
seorang laki-laki).
Ditambahkan lagi oleh Carroll (2005) bahwa transeksual merupakan bagian dari kelompok transgender. Dimana kedua istilah itu tidak bisa disamakan. Transgender merujuk kepada orang-orang yang menjalani kehidupannya
(sepenuhnya maupun separuh waktu) dalam peran gender yang berlawanan dengan apa yang dimilikinya dan mendapatkan kenyamanan psikososial dengan
melakukan hal tersebut. Yang termasuk ke dalam kelompok transgender antara lain :
a. Transeksual : individu yang merasa terperangkap dalam tubuh yang
salah.
b. Transvestite : individu yang melakukan cross-dressing saat melakukan
c. Drag-queens : aktor profesional yang menggunakan pakaian wanita
yang gemerlap untuk alasan tertentu. (biasanya mereka merupakan pria gay)
d. Female impersonators : aktor profesional yang berpakaian seperti
wanita untuk alasan hiburan.
Berdasarkan definisi mengenai transeksual diatas, peneliti menyimpulkan
bahwa transeksual merupakan individu yang meyakini bahwa dirinya memiliki jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya dan melakukan usaha-usaha tertentu untuk berubah kepada jenis kelamin yang
diinginkannya.
C. PENERIMAAN DIRI PADA MALE TO FEMALE TRANSEKSUAL.
Pada hakikatnya, manusia yang terlahir ke dunia ini hanya diciptakan untuk terbagi ke dalam dua jenis kelamin yang berbeda, yaitu pria dan wanita.
Namun ternyata dalam perjalanan hidupnya, sebagian kecil manusia tidak termasuk ke dalam dua kategori tersebut. Mereka disebut sebagai orang-orang
jenis ketiga, yaitu orang-orang yaitu jenis kelaminnya tidak teridentifikasi sebagai wanita maupun pria. Menurut Walen dan Roth (dalam Carroll, 2005), organ seksual terpenting berada diantara kedua telinga, yaitu otak. Jadi menurut mereka,
jenis kelamin seseorang itu bergantung pada apa yang mereka persepsikan secara pribadi. Jadi bersyukurlah kita jika otak kita mengatakan kita adalah perempuan
pikirkan. Namun hal tersebut tidaklah terjadi pada orang-orang jenis ketiga tadi.
Mereka merasa terperangkap dalam tubuh yang salah.
Orang-orang jenis ketiga itu dalam konteks psikologis termasuk dalam transeksualisme. Transeksual menurut Carroll (2005) merupakan individu dengan
gangguan identitas gender yang umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan
keadaannya yang sebenarnya, dimana mereka mulai menelusuri mengenai identitas diri mereka sendiri dan perasaan ini terus berlanjut hingga masa dewasa. Transeksual itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu male-to-female transsexual dan
female-to-male transsexual. Fokus penelitian ini merujuk pada male-to-female
transeksual.
Bukanlah perkara yang mudah bagi individu untuk memutuskan hidup menjadi seorang transeksual dimana hal itu memerlukan banyak pertimbangan, baik dari dalam diri sendiri maupun pertimbangan dari orang-orang
disekelilingnya. Hal ini dikarenakan merubah sesuatu menjadi hal yang baru bukanlah permasalahan yang mudah, terlebih lagi jika perubahan itu merujuk
kepada identitas gender yang sifatnya adalah kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan. Hal tersebut akan memicu munculnya respon dari lingkungan sekitar, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Kedua respon tersebut akan menyebabkan
distress dan penurunan dalam fungsi sosial dan pekerjaan pada seorang
transeksual yang akan berujung kepada penghayatan akan penerimaan diri atas
Penerimaan diri (self-acceptance) sangatlah penting dimiliki oleh setiap
individu dalam menjalani kehidupannya. Hal ini merujuk kepada sejauh mana seorang individu memiliki pandangan positif yang mengenai siapa dirinya yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan
harus dikembangkan oleh individu (Germer, 2009).
Penerimaan diri pada male to female transeksual adalah sikap seorang
individu yang merupakan seorang transeksual yang berganti kelamin dari seorang pria menjadi seorang wanita, dimana ia menunjukkan perasaan mampu menerima dan bahagia atas segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta
mampu dan bersedia untuk hidup dengan segala karakteristik yang ada dalam dirinya, tanpa merasakan ketidaknyaman terhadap dirinya sendiri.
Jika dikaitkan dengan kehidupan transeksual, pada fase dimana mereka dapat menerima dirinya dengan apa adanya, hal tersebut diharapkan dapat memberikan outcome yang baik bagi kehidupan mereka. Mereka pasti dapat
berfungsi dengan baik dan memiliki kesehatan mental yang baik pula. Namun jika mereka tidak dapat menerima dirinya yang telah “terlanjur” beralih ke identitas
baru tersebut, maka ia akan mulai mempertanyakan kembali keputusannya untuk merubah jenis kelaminnya itu. Hal itu akan menghasilkan banyak dampak yang tidak baik bagi kesehatan mental individu itu sendiri.
Menurut Germer (2009) seseorang akan melakukan serangkaian tahapan sebagai usaha penerimaan diri melalui 5 tahapan, antara lain : dimulai dari tahap penghindaran (aversion), kemudian tahap keingintahuan (curiousity), masuk ke
dan berakhir saat individu mampu mencapai masa dimana ia dapat bersahabat
dengan situasi yang dihadapinya, yang disebut dengan tahapan persahabatan (friendship).
Ditambahkan lagi oleh Hurlock (1974) bahwa cara bagaimana seseorang
akan menerima maupun menolak dirinya dipengaruhi oleh lingkungan. Hal itu akan terbentuk jika didukung oleh kondisi-kondisi berikut : pemahaman diri yang
baik, adanya harapan yang realtistis, tidak adanya hambatan lingkungan, sikap sosial yang menyenangkan, tidak adanya stress emosional, jumlah keberhasilan yang diraihnya, mampu mengidentifikasikan dirinya dengan well-adjusted people,
perspektif diri yang baik, pola asuh masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil. Hurlock (1974) menegaskan kembali bahwa tidak ada seorang pun yang
memiliki self-acceptance yang konsisten, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan sikap orang-orang disekelilingnya.
Penerimaan diri sangatlah penting untuk dimiliki dan dikembangkan oleh
seorang transeksual mengingat, transeksualisme sendiri sudah merupakan suatu permasalahan psikologis, dikhawatirkan saat seorang transeksual tidak bisa
menerima dirinya akan merujuk kepada gangguan psikologis lain yang dapat mempersulit jalan kehidupannya.
Efek penerimaan diri pada seorang transeksual akan membawa
pemahaman bahwa ia merasa terpuaskan dengan segala karakteristik yang ada pada dirinya tanpa keinginan untuk menjadi orang lain. Penghayatan penerimaan
khawatir saat ingin mengaktualisasikan dirinya ke hadapan masyarakat (Ellen,
PARADIGMA TEORITIS
didukung
Tahapan:
1.Aversion
(menghindari situasi transeksualitas)
2.Curiosity
(memperlajari lebis lanjut situasi transeksualitas)
3. Tolerance
(bertahan & berharap gender discomfort segera hilang)
4.Allowing
(membiarkan gender discomfort datang & pergi begitu saja)
5. Friendship
(merasa bersyukur atas situasi transeksualitas)
1.Pemahaman Diri 2.Harapan Realistis 3.Tiada hambatan
lingkungan
4.Sikap sosial yang
menyenangkan
5.Tidak adanya stress berat 6.Memperhitungkan jumlah
keberhasilan
7.Mengidentifikasi model
yang telah menerima dirinya
8.Perspektif diri 9.Pola asuh yang baik 10. Konsep diri yang stabil Memicu timbulnya
Menerima Tidak
Menerima
Penghayatan penerimaan diri? Pro
Kontra
Menyebabkan distress dan penurunan dalam fungsi
sosial dan pekerjaan
Menyesali keputusannya telah melakukan operasi pergantian kelamin
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Kualitatif
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam
berkaitan dengan gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to female transeksual.
Menurut Poerwandari (2007) penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain.
Ditambahkan kembali oleh Poerwandari, bahwa penelitian kualitatif cocok digunakan jika peneliti tertarik untuk memahami manusia dalam segala kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif. Maksudnya, melalui pendekatan ini,
keunikan partisipan sebagai seorang individu yang berbeda dengan individu yang lain dapat lebih dipahami. Penelitian ini juga bersifat terbuka dan luwes serta
berfokus pada kedalaman dan prosesnya, penelitian ini juga cenderung dilakukan dengan jumlah kasus yang sedikit.
Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan
dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata ( Patton dalam Poerwandari,
Penelitian ini juga memungkinkan peneliti untuk dapat memahami dan
mengerti gejala sebagaimana subjek mengalaminya, memahami proses-proses yang terjadi pada diri individu dan memandang individu dan lingkungannya sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, diharapkan bahwa penelitian ini bisa
mendapatkan gambaran utuh dari penghayatan partisipan terhadap situasi yang dialaminya. Penelitian yang menggunakan pendekatan ini mempunyai tujuan
untuk mengembangkan pemahaman dan membantu untuk memahami dan mengintepretasikan apa yang ada dibalik suatu kejadian, bagaimana latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya dan bagaimana manusia meletakkan
makna pada peristiwa yang terjadi. (Poerwandari, 2007).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti berpendapat bahwa pendekatan
kualitatif adalah pendekatan yang sesuai untuk mengkaji permasalahan penelitian yang dikemukakan sebelumnya, karena penelitian ini mengacu pada penghayatan akan fenomena-fenomena kehidupan subjek dan mengacu pada tujuan penelitian,
yaitu untuk mendapatkan gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to female transeksual.
Dengan melakukan penelitian kualitatif akan memungkinkan bagi peneliti untuk mendapatkan pemahaman lebih medalam dan memahami bagaimana seorang male to female transeksual menghayati penerimaan dirinya berkaitan
dengan kehidupan bermasyarakatnya. Peneliti juga berharap dengan menggunakan metode ini, maka peneliti akan mendapatkan pengalaman yang
informasi yang lebih kaya dan mendalam mengenai gambaran proses penerimaan
diri pada seorang male to female transeksual.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah studi kasus. Poerwandari (2007) mendefinisikan kasus sebagai fenomena yang hadir dalam
suatu konteks yang terbatasi, meskipun batas-batas tersebut tidak terlalu jelas. Kasus antara lain dapat berupa individu, peran, kelompok, bahkan bangsa, keputusan, atau proses. Ia juga menyatakan bahwa dengan menggunakan
pendekatan studi kasus, peneliti dapat memperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus
tersebut.
Secara lebih spesifik, studi kasus pada penelitian ini tergolong studi kasus intrinsik, dimana penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian untuk
memahami secara utuh mengenai gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to female transeksual, tanpa dimaksudkan untuk menggeneralisasi ataupun
menghasilkan teori atau konsep-konsep tertentu.
C. Partisipan Penelitian 1. Karakteristik Partisipan
Partisipan yang akan digunakan dalam penelitian ini mempunyai kriteria:
2. Jumlah Partisipan
Miles dan Huberman (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sedikit banyaknya dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan (investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus
mendapat gambaran tentang fenomena yang dimilikinya.
Menurut Banister dkk (dalam Poerwandari, 2007), dengan fokusnya pada
kedalaman dan proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah partisipan yang besar dan banyak, tetapi pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah
penelitian. Pada dasarnya, menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007) jumlah partisipan pada penelitian kualitatif diarahkan kepada kecocokan konteks dan
dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Pada penelitian kali ini, jumlah pastisipan adalah 1 orang saja.
3.Prosedur Pengambilan Partisipan
Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah tehnik sampling
ekstrim atau menyimpang. Tehnik sampling ini berfokus pada kasus-kasus yang kaya akan informasi, karena memiliki perbedan dan menampilkan karakteristik khusus dalam aspek-aspek tertentu. Kasus yang tidak biasa atau khusus dianggap
menampilkan ciri-ciri ekstrim, dimana dalam penelitian kali ini yang dianggap sebagai kasus unik adalah transeksualisme dari partisipan penelitian.
4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, sesuai dengan tempat tinggal partisipan penelitian. Pengambilan data dilakukan di rumah partisipan penelitian atau bisa juga berada dimana saja tergantung pada
kenyamanan dan keinginan partisipan.
D. Metode Pengumpulan Data
Menurut Poerwandari (2007), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta
sifat objek yang diteliti. Metode pengumpulan data yang utama dipakai oleh peneliti adalah menggunakan teknik wawancara, sedangkankan teknik observasi
diperlukan sebagai teknik pelengkap untuk keakuratan jawaban dan kroscek antara verbal dengan ekspresi atau gesture.
• Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan
eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan yang lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007).
wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar
terbuka.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara dengan pedoman umum yang merupakan bentuk dari in-deep interview untuk
mendapatkan gambaran mendalam mengenai topik yang sedang diteliti. Peneliti membuat pedoman wawancara dengan meliputi pertanyaan-pertanyaan dan
probing yang diharapkan dapat mengarahkan partisipan memberikan informasi
yang menghasilkan penemuan-penemuan baru dalam penelitian. Metode ini juga berguna untuk mencegah percakapan tidak terlalu jauh melebar, namun juga tidak
menjadi wawancara yang kaku.
Selain menggunakan teknik wawancara, peneliti juga melakukan kegiatan
observasi sebagai pendamping wawancara. Tujuan observasi adalah menggambarkan setting yang dipelajari, kegiatan-kegiatan yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Penjelasan itu
harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi hal lain yang tidak relevan (Poerwandari, 2007).
Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas suatu gejala. Observasi perlu dilakukan agar mendapatkan informasi yang bukan berasal dari bahasa verbal partisipan, dan membantu
peneliti bersikap introspektif pada penelitian, oleh karena itu, selain menggunakan metode wawancara, metode observasi juga dipakai sebagai pendamping
bahasa non verbal partisipan yang dapat membantu pemahaman lebih mengenai
fenomena yang diteliti melalui observasi.
E. Alat Bantu Pengumpulan Data
Menurut Poerwandari (2007) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan
pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara, pedoman observasi dan alat-alat tulis. Berikut
dijabarkan instrumen yang dapat dipakai dalam pengambilan data partisipan dari
metode pengambilan data yang telah dipaparkan sebelumnya.
1. Alat Perekam
Poerwandari (2001) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripsnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk
memenuhi tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi
subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek.
Faktor penunjang terpenting adalah alat perekam itu sendiri,
Peneliti dapat lebih memusatkan perhatian pada partisipan dan
data-data yang didapatkan telah tersimpan utuh sehingga memudahkan peneliti untuk menganalisisnya kemudian.
2. Pedoman Wawancara
Peneliti sebelumnya telah menyusun pedoman ataupun panduan wawancara sebelum melakukan pengambilan data melalui wawancara.
Pedoman wawancara penting digunakan untuk membuat peneliti fokus pada informasi yang ingin digali dari partisipan. Pedoman wawancara disini disusun berdasarkan teori penerimaan diri.
Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari,
2007). Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah
dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit
dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2007).
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan
tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan
teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari,
2007).
3. Lembar Observasi
Lembar observasi diperlukan untuk memudahkan peneliti
mengamati bahasa non verbal partisipan yang mengungkapkan informasi yang tidak didapatkan saat percakapan berlangsung. Lembar observasi
berisi informasi yang dapat melaporkan segala bentuk bahasa tubuh yang terlihat dari partisipan. Dimana hal ini akan sangat membantu pemahaman analisis data.
4. Alat Tulis dan Kertas untuk Mencatat
Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui
perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.
F. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif
untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu
ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.
Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga
mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang
kompleks.
Patton (dalam Poerwandari, 2007) mengungkapkan bahwa langkah-langkah yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas penelitian dapat
dilakukan dengan cara :
a. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup pengamatan
objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang terkait dengan data. Catatan ini sangat penting dalam memudahkan mengembangkan analisis dan interpretasi.
b. Mendokumentasikan data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya secara lengkap.
c. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan penelitian dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk
penelitiannya sendiri.
d. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai
pengkritik yang memberikan saran-saran pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.
e. Melakukan upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif: pemahaman tentang pola dan kecenderungan yang telah diidentifikasi akan
f. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data (checking and
rechecking) dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berlainan.
Peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis dan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang data.
Pada penelitian ini, hal-hal yang digunakan untuk meningkatkan
kredibilitas penelitian yaitu berupa mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang terkait. Peneliti juga mendokumentasikan semua data-data yang
terkumpul selama penelitian berlangsung. Selain itu peneliti juga menyertakan partner sebagai pengkritik terhadap analisa yang dilakukan terkait dengan hasil
penelitian, dalam hal ini dosen pembimbing berperan sebagai pengkritik. Dan upaya terakhir untuk meningkatkan kredibilitas adalah dengan melakukan checking-rechecking data saat membuat analisis hasil penelitian.
G. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mengemukakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, antara lain :
Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena dan informasi yang
berhubungan dengan penerimaan diri pada male to female transeksual, baik melalui orang-orang sekitar, teman- teman, dosen, artikel, dan internet untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai aspek-aspek
psikologi dan hal-hal yang saling berkaitan. Setelah itu peneliti merumuskan masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang
telah diperoleh.
b. Mempersiapkan landasan teori.
Peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan
penerimaan diri, kondisi yang mendukung penerimaan diri dan literatur mengenai male to female transeksual.
c. Menyusun pedoman wawancara.
Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.
d. Persiapan untuk mengumpulkan data.
Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai dengan kriteria
partisipan penelitian yang telah ditentukan, kemudian meminta kesediannya (informed concern) untuk menjadi partisipan.
Alat-alat juga dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data
antara lain seperti tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara dan observasi yang telah disusun.