• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

A.3. Analisa Data

A.3.1. Gambaran kehidupan partisipan di masa

Saat ibu partisipan mengandungnya, beliau memiliki ekspektasi yang amat kuat untuk memiliki anak perempuan, namun pada kenyataan yang terlahir adalah bayi kembar dua yang berjenis kelamin laki-laki. Sejak kecil, partisipan sudah menyadari adanya perbedaan perilaku pada dirinya dibandingkan dengan perilaku normatif anak lelaki sebayanya.

“sedari kecil bunda udah nampak keganjilan-keganjilan, seperti waktu SD, orang lain pakaian cowok, bunda pun juga, tapi bunda lemah gemulai, pakai sapu tangan sampai kadang semua orang ngejek”

(P.W1.b.6-15.h.2)

“cemana ya, semenjak kecil, salahnya potonya udah gak ada pula, yang bunda tahu dan perhatikan ya bunda ga perna merasa sebagai lelaki dari kecil.. ke sekolah bawa sapu tangan, ya semacam apala yang risma ingat tentang masa kecil risma sebagai anak perempuan”

(P.W3.b.798-810.h.27)

Hal ini terlihat dari perilakunya yang menyerupai anak perempuan, seperti hanya berteman dengan anak perempuan dan bermain permainan anak perempuan saja seperti kuaci, karet, boneka, rumah-rumahan, dan permainan anak perempuan lainnya. Sedari kecil partisipan sudah terlihat lebih cenderung untuk berperilaku sebagaimana anak perempuan kebanyakan.

“mainnya main kuaci, boneka-boneka,karet ya seperti gitulah mainan anak perempuan..

(P.W1.b.17-24.h.2)

“tapi dari kecil bunda udah rasakan orang main mobil-mobilan, bunda suka boneka”

(P.W1.b.31-34.h.2)

“karena dari kecil udah lebih suka boneka, dikasi mobilan, dipaksa pun bunda gakmau”

“waktu SD pun bunda dah berkawan ma anak cewek, ga perna ma cowok, main kuaci. Jadi bunda dulu tinggal di komplek anak dosen, kompleks STO, jadi berkawan ya ma anak cewek juga”

(P.W1.b.462-471.h.16)

“Cuma taunya mainnya itu main kuaci, karet, rumah-rumahan, mamak-mamakan, itu aja la yang buat happy, sampe kadang pake sepatu tumit tinggi mama tu ampe patah bunda pakein perasaan jadi mamaknya mau pigi ke kantor”

(P.W3.b.899-909.h.31)

Anggota keluarga partisipan pun turut menyadari adanya perbedaan perilaku partisipan tersebut sejak partisipan masih kecil.

“sebenarnya mama ga terkejut karena dari kecil ia dah tau anaknya cenderung ke wanita”

(P.W1.b.458-462.h.16)

“mereka tidak akan kaget karena dari kecil yang dilihat itu memang bunda sudah cenderung ke wanita”

(P.W1.b.537-541.h.19)

Menanggapi perbedaan perilaku partisipan yang menyerupai wanita sejak kecil, membuat ayahnya menunjukkan reaksi penolakan atas perilakunya tersebut. Terlebih karena ayah partisipan merupakan salah satu guru besar di sebuah universitas negeri di Medan, sehingga ia khawatir dengan perilaku anaknya yang cenderung mengarah seperti anak perempuan akan menjadi suatu aib bagi keluarga dan status pekerjaannya. Bentuk penolakan yang ditunjukkan oleh ayahnya dianggap partisipan disebabkan karena ayahnya tidak memahami dan mengerti perasaan anaknya yang merasa terjebak di dalam tubuh yang salah.

“papa tu yang tidak bisa terima karena dia punya kedudukan, jadi mungkin malu sama rekan dosen atau rektor unimed, jadi biasala manusia ini kan tidak menyadari keinginan anaknya, lebih mementingkan egonya sendiri..”

“awalnya sih karena pas mula-mula kita mau begini, orangtua belum bisa terima..”

(P.W2.b.270- 273.h.10)

“namanya orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya, yang dia tau anaknya terlahir lelaki ya jadi lelakila yang seutuhnya, tapi kan dia gatau batin ini gimana”

(P.W3.b.697-704.h.24)

Saat masih bersekolah, tak jarang partisipan menjadi korban diskriminasi oleh teman sebaya lainnya dikarenakan perbedaan perilaku yang ia miliki. Pada saat itu terjadi, partisipan sempat mengalami depresi akibat perlakuan yang diberikan teman-temannya tersebut. Dan perlakuan temannya tersebut diakui partisipan merupakan bentuk respon yang bersifat kontra terhadap transeksualitas yang ia miliki. Namun saat ini, partisipan menyadari bahwa ejekan teman sekolahnya terdahulu, merupakan ketidaktahuan mereka terhadap kondisi yang partisipan alami disebabkan belum matangnya proses kognisi ketika masih anak-anak.

“emang pas kecil tekanannya itu datang dari teman sekolah yang ngejeki peringai bunda yang keperempuan-perempuanan.. sempat juga bunda stress”

(P.W2.b.234-241h.9)

“Cuma itula ada beberapa sih temen yang ejek-ejek sampe bunda minder dan adala beban mental juga, tapikan namanya anak-anak belum ngerti juga.. masa sekolah kontranya itu ya dari kawan-kawan aja gitu”

(P.W3.b.819-828.h.28)

Dikarenakan mendapatkan reaksi penolakan dari beberapa pihak, yaitu dari ayah dan teman sekolahnya, membuat partisipan merasakan perasaan kecewa dan sedih. Namun pada saat itu terjadi, partisipan tidak terlalu menggangap reaksi penolakan yang datang kepadanya sebagai suatu permasalahan yang berarti.

“masa-masa itu bunda selalu merasa kecewa apalagi punya papa yang streng gitu buat makin kecewa, Cuma karena masih anak-anak ya dibiarkan berlalu gitu aja, eceknya kalo dimarahi ya masuk kuping kanan keluar kuping kiri, masi belum peduli-peduli kalila sama cakap orang..” (P.W1.b.361-375.h.13)

Walaupun demikian, partisipan selalu mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari ibunya yang lebih pengertian dan peka atas perasaan anak bungsunya, dan karena itu ibunya menjadi sumber dukungan sosial terbesar yang dimiliki partisipan.

“jadi orang tua perempuan kan lebih pro ke kita, lebih mengerti, orangtua laki-laki lebih tegas, tapi selalunya bunda dulu dilindungi sama mama” (P.W1.b.48-57.h.3)

“kalo orangtua perempuan kan lebih mengerti hati dan perasaan kita. Jadi bunda selalunya curhat sama mama”

(P.W1.b.275-280.h.10)

“tapi kan walopun papa begitu, syukurnya si mama tetap pro sama bunda..”

(P.W1.b.375-378.h.13)

Tanpa disadari ibu dan partisipan sendiri, pola asuh yang ibunya terapkan dalam membesarkan partisipan turut mempengaruhi menetapnya perilaku cross-gender pada partisipan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan ibunya yang kerap kali

membawa partisipan untuk menari di sanggar tempat ibunya mengajar tari, adanya pembiaran yang ibunya lakukan saat mengetahui anaknya berpakaian cross-dressing ataupun bermain permainan anak perempuan, dan perilaku feminim partisipan lainnya.

“karena dulu kan mama itu penari, bunda sering diajak ke sanggar narinya jadi ikutanla bunda nari sama anak-anak cewek lain tu..”

(P.W2.b.251-256.h.9)

“udah biasa aja ris, kan karena dari kecil kadang bunda pake-pakein aja baju kakak ato mama itukan, jadi udah gak heran lagi lah mereka..”

(P.W3.b.143-149.h.6)

Peristiwa khusus yang membuat partisipan benar-benar menyadari identitas gendernya adalah pada saat ia mimpi akhil baligh, dimana dalam mimpi itu ia berperan sebagai wanita yang disetubuhi oleh lelaki. Pada saat itu terjadi, hal pertama yang dirasakan partisipan adalah terkejut kemudian ia merasakan kepuasan dan perasaan bahagia atas terjawabnya keraguan dirinya selama ini mengenai siapa identitas dirinya yang sebenarnya.

“waktu bunda mimpi akhil baligh itu, biasanya laki-laki normal itu dia mimpi bersetubuh dengan wanita, tapi bunda mimpinya malah bunda disitu jadi perempuan, bunda yang digagahi laki-laki. Makanya bunda disitu (ia berujar pada dirinya sendiri) astagfirullah berarti memang benar aku ini seorang perempuan”

(P.W1.b.115-129.h.5)

Karena mimpinya itu, ia benar-benar menyakini bahwa ia adalah seorang wanita sehingga pada saat ia duduk di bangku kelas 6 SD, untuk pertama kalinya ia mengutarakan keinginan untuk melakukan operasi pergantian kelamin pada ibunya. Hal itu diungkapkannya karena ia merasa telah terperangkap dalam tubuh yang salah. Secara fisik ia memanglah seorang lelaki, namun secara psikologis ia merasa ia adalah wanita. Dan operasi pergantian kelamin merupakan salah satu cara untuk membuat partisipan tak lagi merasa berada dalam tubuh yang salah.

“karena dari kecil ingat kali ni bunda pernah bilang ke mama masi kelas enam SD “ma kalo mama gajian, operasikan kenapa awak jadi perempuan daripada awak kekgini”

(P.W1.b.515-524.h.18)

“sedari kecil itula yang kemaren bunda pernah cerita ma risma, yang pas masi kelas 6 itu bunda bilang ke mintala uang mama untuk operasi awak

(P.W3.b.63-69.h.3)

“itu merupakan dorongan dia dari dia masi duduk di SD lah itu, kata suami memang dia sudah menampakkan cenderung ke wanita”

(SO.W1.b.375-38.h.14)

Mendengar keinginan anaknya yang masih kecil ingin melakukan operasi pergantian kelamin, ibu partisipan menjadi terkejut dan meminta anaknya untuk tidak asal bicara. Terlebih hal tersebut merupakan suatu hal yang sangat tabu untuk dilakukan, tetapi pada saat itu terjadi, ibu partisipan hanya menganggap permintaan “aneh” anaknya sebagai suatu lelucon saja.

“Memang mama bunda saat itu kaget bilang “jangan ngomong yang tidak-tidak ya, itu dosa!”. Tapi itukan bunda masi kecil, asal nyeplos aja yakan, kaya Cuma kelakar, dan mama pun anggap itu bercanda dan tidak akan nyangka bakal terjadi..”

(P.W1.b.524-536.h.18)

Dikarenakan reaksi ibunya yang tidak menyetujui keinginannya untuk melakukan operasi pergantian kelamin, membuat partisipan tidak bisa melakukan apa-apa dan mulai bertekad untuk mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membiayai keinginannya tersebut.

“awak diam ajalah karena mikir kan itu juga bukannya murah, karenanya tadi bunda bilang itu, bunda simpan sendiri uangnya supaya bisa kesampean apa yang bunda pengenin itu”

(P.W1.b.609-618.h.23)

Saat memasuki usia remaja, atau kira-kira saat bersekolah di SMP, partisipan pernah disuntikkan hormon pria oleh kedua orangtuanya. Dimana perlakuan orangtuanya ini merupakan bentuk reaksi penolakan lainnya atas transeksualitas yang dimiliki partisipan. Saat itu, orangtua partisipan menyadari bahwa bentuk tubuh anaknya cenderung ke bentuk tubuh wanita yang memiliki pinggul, lengan kecil, dan bahasa tubuhnya yang lemah-gemulai. Padahal seharusnya saat anak lelaki memasuki usia pubertas, terjadi perubahan dan perkembangan fisik yang signifikan seperti perubahan suara yang menjadi lebih

berat, bentuk tubuh yang lebih kekar, dan perkembangan lain yang tidak tampak terjadi pada diri partisipan. Sehingga suntik hormon ditempuh sebagai upaya pencegahan atas hal tersebut dan diharapkan bentuk tubuh partisipan dapat berkembang seperti lelaki dewasa yang memiliki kumis, janggut, dan bertubuh kekar.

“orangtua pernah menyuntikkan hormon laki-laki untuk bunda supaya bunda jadi laki-laki yang seutuhnya”

(P.W1.b.130-135.h.6)

“pas masi SMP kayanya jadi sempatlah disuntikkan supaya bunda bisa berubah”

(P.W1.b.1062-1066.h.36)

“tujuannya kan supaya tumbuh janggut, kumis dan lebih lelaki. Tapi memang sedari kecil body badan bunda itu sak kulit-kulit, pinggul pun condong ke wanita”

(P.W1.b.253-261.h.9)

Walaupun demikian, tidak nampak adanya perubahan fisik pada tubuh partisipan yang mengarah kepada bentuk tubuh lelaki dikarenakan jumlah hormon wanita ditubuhnya lebih dominan. Hal itu diketahui belakangan pada saat ia menjalani tes kadar hormon sebelum melakukan operasi pergantian kelamin di Bangkok.

“tapi tidak bisa tetap hormon laki-laki itu hilang dengan sendirinya,hormon wanita lebih banyak”

(P.W1.b.135-140.h.6)

“bunda termasuk yang sejak lahir lebih banyak hormon wanitanya” (P.W1.b.159-162.h.6)

“sempatlah disuntikkan supaya bunda bisa berubah, tapi ya akhirnya hilang sendiri.. memangla dominan yang wanita”

“bentuk tubuh pun kalo untuk yang waria yang masi dominan hormon prianya, dia badannya kan tetap kekar, keras.. tapi kalo bunda ya dari dulu berpinggul, jadi memang ya begitulah hormon wanita lebih banyak..” (P.W1.b.1032-1042.h.35)

“dia memang lebih banyak hormon wanitanya, karena lebih banyak hormon wanita itu katanya lebih kuat berapa persen gitu”

(SO.W1.b.419-425h.15)

Saat memasuki usia pubertas pun partisipan sudah mulai merasakan adanya perasaan suka dan tertarik pada lelaki. Hal itu semakin memperkuat keyakinan akan identitas gender yang ia miliki. Karena ia merasa ia adalah perempuan, maka ia memiliki orientasi seksual untuk menyukai lawan jenisnya, yaitu lelaki. Namun saat ia menyadari hal tersebut ia belum berani mengungkapkannya pada orang lain di sekelilingnya dan memilih untuk memendam sendiri perasaannya itu.

“kalo misalnya suka ma cowok ga berani ceritalah, tapi kan ada terbersit di hati kok bukan perempuan yang suka, tapi kalo nengok suka laki yang klimis, apalagi bunda tu perfeksionis, melihat lelaki itu dari ujung rambut ke kaki, kalopun suka tapi gak dapat, cukup dalam hati aja.”

(P.W1.b.436-450.h.15)

Karena merasa depresi dengan situasi rumah yang kurang mendukung, terutama dengan adanya penolakan yang diberikan ayahnya, membuat partisipan mulai mencari teman yang mengerti situasi dirinya, yaitu sesama transgender. Hal tersebut dilakukan partisipan sebagai upaya untuk mencari dukungan sosial diluar lingkungan rumah.

“bunda udah mengarah mencari kawan yang mirip dengan bunda karena bunda rasa mereka mungkin bisa jadi orang yang mengerti kita, jadi waktu itu bunda udah ada kenal 2 orang waria orang salon”

(P.W1.b.179-188.h.7)

“karena emang bunda merasa diri bunda tu wanita, jadi teman yang bunda cari pun teman sesama waria juga gitu”

(P.W1.b.1150-1155.h.39)

Mengetahui perilaku anaknya yang sudah mulai bergaul dengan transgender, ayah partisipan memutuskan untuk memindahkan partisipan ke Bandung, tempat dimana kakak pertama dan kedua partisipan berkuliah. Ayahnya khawatir jika anaknya menjalin hubungan pertemanan dengan transgender, hal itu akan membawa dampak buruk bagi partisipan, seperti terlibat dalam pergaulan malam kebanyakan transgender yang tidak baik.

“bunda dilarikan ke Bandung supaya bunda jangan dekat dengan kawan-kawan seperti waria-waria gitu”

(P.W1.b.144-149.h.6)

“rupanya orangtua menyadari anaknya agak melencong jadi bunda dilarikan langsung takut putus sekolah dan ikut hal yang tidak-tidak jadi ya bunda ikutin sampai tamat SMA..

(P.W1.b.189-198.h.7)

“macam teroris bunda dibuat si papa, ditangkap terus dikurung di kamar, gak lama beli tiket langsung dilarikan ke bandung..”

(P.W2. 307-312.h.11)

Partisipan mau tidak mau mengikuti perintah orangtuanya untuk melanjutkan sekolah di Bandung. Walaupun demikian, selama ia bersekolah disana, partisipan tetap mencari teman yang juga merupakan transgender. Dan ternyata akses untuk mencari teman transgendernya menjadi lebih mudah karena sekolahnya berdekatan dengan tempat berkumpulnya komunitas waria Bandung.

“tapi pas di bandung tu pun bunda juga tetap mencari kawan yang seperti bunda, pas pula di dekat sekolah smp bunda itu tempat mangkalnya para waria, jadi makin mudah sebenarnya akses bunda ke mereka..”

Mengetahui perihal tersebut, keluarga partisipan lantas mengambil keputusan untuk memulangkan partisipan kembali ke Medan agar lebih mudah diawasi oleh ibunya.

“karena ketauan akses gabung ma waria makin mudah, dipulangkanla bunda ke medan lagi.. itu bunda pulang sendiri naik bus ke medan, di medan udah ditungguin mama..”

(P.W2.b.339-348.h.12)

Sesampainya di Medan, partisipan mengungkapkan keinginannya untuk berhenti melanjutkan SMA karena ingin menggeluti dunia salon, namun keinginannya itu ditentang oleh ibunya karena ibunya tidak ingin anaknya putus sekolah, terlebih rata-rata latar belakang anggota keluarga partisipan merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Oleh karena itu partisipan memenuhi permintaan ibunya untuk bersekolah sampai tamat SMA.

“udahla ma awak gausah sekolah lagi karena awak memang mau terjun ke dunia salon.. tapi mama bilang, janganlah nak, sekolah itu penting, jadi akhirnya sampai selesailah..”

(P.W2.b.358-366.h.13)

A.3.2 Gambaran Kehidupan partisipan selama masa Transgender

Dokumen terkait