• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

A.3. Analisa Data

A.3.2. Gambaran kehidupan partisipan selama

(melakukan cross-dressing). Perilaku cross-dressing tersebut berani dilakukannya karena bertepatan dengan kepergian ayahnya untuk melanjutkan sekolah S3 ke Amerika, dimana saat figur yang ditakutinya tersebut sedang tidak berada di rumah, digunakannya sebagai kesempatan untuk semakin mengeksplorasi keinginannya untuk dapat berperilaku layaknya seorang wanita. Selama ini partisipan dapat bertahan untuk tetap berpakaian seperti lelaki karena saat masih

bersekolah hal tersebut mustahil untuk dilakukan mengingat adanya peraturan sekolah yang melarang anak lelaki untuk memanjangkan rambut dan berpakaian cross-dressing.

“jadi lepas tamat SMA yang pas si papa ke amerika itu jadi beranila bunda karena gada dia kan, pas pula bunda waktu itu lanjutkan ke les salon itula baru bunda bener-bener pake baju perempuan terus..”

(P.W3.b.130-139.h.5)

Partisipan merasa mendapatkan psychososial comfort atas perilaku cross-dressingnya tersebut karena merasa sebentar lagi keinginannya untuk menuju

ideal-selfnya akan segera tercapai.

“senang kali lah ris, ibaratnya tinggal satu tahapan lagi aku bisa jadi wanita seutuhnya.. bunda berharap semoga cepat-cepat la kesampean..” (P.W3.b.166-172.h.7)

Tidak ada reaksi penolakan terhadap perilaku cross-dressing partisipan dari pihak keluarganya. Hal ini terjadi karena keluarga sudah sering terpapar dengan perilaku tersebut sejak partisipan kecil. Sejak kecil, ibu partisipan terkesan membiarkan perilaku cross-dressing pada partisipan, sehinga hal itu semakin menguatkan perilaku tersebut untuk menetap pada diri partisipan.

“udah biasa aja ris, kan karena dari kecil kadang bunda pake-pakein aja baju kakak ato mama itukan, jadi udah gak heran lagi lah mereka”

(P.W3.b.143-149.h.6)

“sampe kadang pake sepatu tumit tinggi mama tu ampe patah bunda pakein perasaan jadi mamaknya mau pigi ke kantor”

(P.W3.b.905-909.h.31)

Partisipan tidak lagi melanjutkan kuliah karena ingin mengejar cita-citanya terjun ke dunia salon, sehingga ia mengambil kursus salon.

“tamat SMA bunda ga sambung kuliah, langsung ambil kursus salon mengikuti kata hati..”

Pada tahun 1988, partisipan sempat aktif bergabung dengan komunitas HIWARIASU atau Himpunan Waria Sumatera Utara dan berkesempatan beberapa kali menyandang gelar Ratu Waria.

“dah lamaaa.. taun 89 apa taun berapala itu udah lupa pas bunda masi aktif-aktifnya dulu sebelom operasi kan dulu bunda aktif di hiwari”

(P.W3.b.388-394.h.14)

“dulu bunda aktif di hiwari karena bunda sempat juga jadi ratu 3-4 kali gitu, kan bagi yang udah jadi ratu kek seperti miss indonesia gitu”

(P.W3.b.393-393.h.14)

Selama bergabung dengan Hiwaria, partisipan pernah menjalin kerjasama dengan Depnaker (Departemen Ketenagakerjaan) untuk memberdayakan para waria yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap untuk dibina dan diberikan perlatihan agar memiliki keterampilan tertentu sehingga diharapkan para waria yang mengikuti kegiatan itu tidak perlu lagi menggantungkan hidupnya dengan pekerjaan yang tidak halal.

“dulu kali perna disuruh DEPNAKER dan organisasi HIWARIA, himpunan waria medan ini untuk merekrut mereka yang di jalanan untuk diajarkan bekal pekerjaan yang halal gitu bareng temen waria lain.. (P.W3.b.326-336.h.12)

Dengan adanya kegiatan tersebut, partisipan berniat untuk dapat menaikkan derajat kaum transgender sehingga tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Namun dikarenakan tidak mendapatkan apresiasi yang begitu baik dari berbagai pihak yang terlibat, kegiatan pemberdayaan itu pun berakhir.

“tapi kita merekrut mereka itu risma, lebih bagus kita piara kambing 200 ekor..”

(P.W3.b.336-339.h.12)

“disuruh datang, nanti alasannya gada duit, tapi untuk narkoba ada aja duit mereka.. padahal di rekrut gitu supaya ada kepandaian mereka, supaya baek, ada pegangan hidup enggak jadi sampah, selama ini

memang kita selalu dianggap sebagai sampah, makanya mau bunda mereka tu tunjukkan prestasi, dah bunda usahakan dulu tapi susah.. akhirnya Depnaker ma Hiwari tadi pun jadi macam kurang mendorong..” (P.W3.b.341-359.h.12)

“tapi lama lama kaya ga diopeni, kita kan bukan malaikat, udah korban waktu, materi, tenaga malah ga dihargai yaudahlah..”

(P.W3.b.379-384.h.14)

Pada tahun 1989, partisipan memperdalam keterampilannya dalam dunia salon dengan melanjutkan sekolah tata rias ke beberapa negara mulai dari Hongkong, Malaysia, dan akhirnya lama menetap di Singapura.

“bunda memperdalam hairstylish, bunda ke luar negri, ke singapur, malaysia, hongkong, tapi lama menetap di singapur”

(P.W1.b.83-88.h.4)

Selama di Singapura, partisipan bekerja sebagai hairstylish dan mulai menetapkan hati untuk mengumpulkan uang agar dapat melaksanakan keinginannya sejak kecil, yaitu operasi pergantian kelamin.

“jadi memang sudah ada niatan dari dulu seandainya aku ada rezeki, aku harus merubah identitas diriku menjadi female yang sebenarnya.. prosesnya bunda kerja di singapur beberapa tahun sampai terkumpul uangnya, langsung bunda operasi..”

(P.W1.b.89-101.h.4)

“sedari dulu bunda bekerja itu tujuannya untuk dapat materi untuk merubah jati diri..”

(P.W1.b.784-789.h.27)

“sampe bunda dulu pas sebelum kerja yang di luar negri udah nyimpan-nyimpan uangla untuk operasi”

(P.W3.b.77-81.h.4)

Disana partisipan juga bergabung dalam komunitas transgender. Diakui partisipan bahwa bukanlah karena pengaruh dari komunitas itu yang membuatnya ingin melakukan operasi pergantian kelamin. Keinginannya untuk operasi adalah

murni berasal dari hati kecilnya, dan keterlibatannya dalam komunitas transgender Singapura semata-mata karena ia ingin mencari dukungan sosial.

“udah, pas di singapur, tapi bukan karena ikut pengaruh komunitas jadi pengen operasi. Tujuannya karena bunda merasa mereka lebih mengerti kita”

(P.W1.b.714-721.h.24)

“mereka itu lebih open-minded.. lebih terbuka dan transparan.. cara bergaul disana berbeda dengan kita disini, disana kejujuran itu paling penting”

(P.W2.b.196-203.h.8)

Setelah terkumpul cukup uang, partisipan melakukan upaya perubahan jati dirinya yang pertama dengan melakukan operasi payudara pada tahun 1990.

“bunda operasi payudara dulu, kalo hormon emang pas di singapur rajin suntik, terus operasi kelamin..”

(P.W1.b.630-634.h.22)

“lebih duluan, kalo gak salah bunda taun 1990 habis itu setahun kemudian baru kelamin”

(P.W3.b.3-6.h.1)

Disusul dengan melakukan terapi hormon, dimana partisipan sering menerima suntikan peningkat hormon wanita pada tubuhnya.

“kalo hormon emang pas di singapur rajin suntik” (P.W1.b.631-633.h.22)

Sebagai upaya terakhir untuk menyempurnakan perubahan identitasnya, partisipan melakukan operasi pergantian kelamin di Bangkok pada tahun 1991. Keputusannya untuk melakukan operasi kelamin diambilnya sendiri tanpa campur tangan orang lain dan tanpa keraguan sedikit pun.

“sendiri, tanpa campur tangan siapapun. Mulai dari simpan uang, apa-apa sendiri, Cuma pas mau pergi operasi bunda minta temenin temen bunda orang singapur karena khawatir takut ada apa-apakan selama operasi. Berdua berangkat ke Bangkok”

“karena operasi dulu umur bunda udah 20 lebih, bunda jadi teringat taun 1991 la itu bunda operasi kelamin, payudara 1990.. jadi pas operasi tu bunda dah merasa cukup dewasa”

(P.W3.b.1055-1063.h.36)

Sebelum pergi ke Bangkok untuk memenuhi keinginan masa kecilnya itu, partisipan sempat mengirim surat kepada keluarganya di Medan yang menyatakan bahwa ia ingin melakukan operasi pergantian kelamin. Surat tersebut dikirimkannya agar keluarga mengetahui keadaan dirinya yang sebentar lagi akan berubah menjadi seorang wanita yang seutuhnya.

“bunda operasi kelamin di Bangkok, sebelum operasi bunda buat surat supaya keluarga ga kaget, 3 hari setelah operasi bunda udah enakan badannya, bunda langsung balik ke singapur”

(P.W1.b.549-558.h.19)

Dan jika seandainya keluarga tidak menyetujui keputusanya tersebut, partisipan akan tetap teguh pendirian untuk segera melancarkan niatnya merubah identitas diri, karena partisipan beranggapan apabila keluarganya dapat memahami apa yang ia rasakan, maka sudah seharusnya mereka dapat menerima keputusannya itu.

“soal keluarga setuju ataupun tidak, saya tidak peduli, yang penting terlaksana dulu niat dari hati kecil saya, kalo memang mereka bisa mengerti saya, pasti mereka bisa menerima.”

(P.W2.b.38-46.h.2)

Sebelum keberangkatannya ke Bangkok, partisipan melakukan beberapa ritual keagaamaan seperti shalat tahajud, shalat dhuha, dan puasa sunnah demi kelancaran operasi yang akan dijalaninnya, bahkan ia sempat bernazar seandainya Tuhan tidak mengizinkan niatnya, ambil saja nyawanya di meja operasi.

“sebelum operasi pun bunda sempat tahajud dan bunda berserah diri dan jika memang Engkau tidak mengizikan Ya Allah, merubah jati diriku, cabutlah nyawaku di meja operasi.”

(P.W1.b.696-704.h.24)

“jadi bunda jauh sebelum itukan udah lakuin solat dhuha, tahajud, segala macam minta petunjuk dari Allah lah yakan, dan alhamdulillah gada halangan”

(P.W2.b.72-79.h.4)

“karena bunda sendiri pun sebelom mau operasi itu puasa dulu, solat tahajud dan memohon seandainya memang tidak diizinkan cabutla nyawaku di meja operasi dan jika diizinkan mudah-mudahan aku selamat..”

(P.W3.b.256-265.h.10)

Sesampainya di Bangkok, partisipan tidak langsung dioperasi oleh dokter, melainkan melewati beberapa tahapan prosedur pra-operasi terdahulu, seperti cek darah, cek kadar hormon, tanya jawab dengan psikiater, dan diakhiri dengan sign mati atau penandatanganan terhadap suatu perjanjian seandainya partisipan meninggal saat dioperasi, keluarga tidak boleh menuntut pertanggungjawaban dokter. Prosedur in dilakukan sebagai tes kelayakan apakah seseorang yang menginginkan operasi pergantian kelamin memang pantas mendapatkan hal tersebut atau tidak, hal ini juga dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisir munculnya penyesalan pasca-operasi.

“nyampe sana ga langsung operasi tapi cek darah, hormon, tanya jawab dengan psikiater, dan tahapannya berlangsung dalam 2 hari, yang diakhiri dengan sign mati, jadi kalo misalnya bunda mati di meja operasi ga bole nuntut dokter.”

(P.W1.b.589-600.h.20)

“sebelum menandatangani sign mati itu ada namanya prosedur tanya jawab dengan psikiater. Dia menanyakan sebab-sebab ingin operasi kenapa, eee semua semualah ditanyakan..”

(P.W2.b.15-23.h.2)

“setelah selesai tanya jawab dengan psikiater, dilakukanlah pemeriksaan hormon, baru diakhiri dengan sign mati, panjang juga itu prosedurnya, bunda lupa juga karena udah berpuluh-puluh tahun yang lalu kan itu kejadiannya..”

(P.W2.b.52-63.h.3)

A.3.3 Gambaran Kehidupan partisipan setelah menjadi Transeksual

Dokumen terkait