• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN C-organik PADA LAMUN

BERDASARKAN HABITAT DAN JENIS LAMUN DI PESISIR

DESA BAHOI KABUPATEN MINAHASA UTARA

SULAWESI UTARA

ALPININA YUNITHA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kandungan C-org pada lamun berdasarkan habitat dan jenis lamun di pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Alpinina Yunitha

(3)

RINGKASAN

ALPININA YUNITHA. Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara Sulawesi Utara. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan FREDINAN YULIANDA.

Peningkatan emisi karbon berasal dari aktivitas membakar lahan, asap pabrik dan kendaraan bermotor. Peningkatan ini mengakibatkan terjadinya pemanasan global selanjutnya terjadi perubahan iklim. Diperlukan usaha meminimalkan dampak dari perubahan iklim tersebut. Terkait dengan kondisi ini, diketahui bahwa laut dan pesisir memiliki kemampuan dalam mengurangi emisi karbon dengan menyerap dan menyimpan karbon. Salah satu ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap karbon adalah ekosistem lamun.

Lamun merupakan tumbuhan yang hidup di wilayah pesisir, memiliki peranan ekologi yang sangat penting dalam siklus kehidupan ekosistem pesisir yaitu sebagai produsen primer, habitat lamun seringkali dijadikan tempat asuhan bagi ikan-ikan kecil, mencari makan serta tempat perlindungan bagi ikan ataupun biota lain. Peranan penting lamun lainnya dalam menjaga kestabilan pantai adalah sebagai peredam arus. Oleh karena itu habitat lamun juga seringkali disebut sebagai pondasi pesisir.

Pada umumnya lamun hidup pada tiga habitat yang terdapat di pesisir yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang. Masing-masing habitat akan mempengaruhi keberadaan lamun sesuai dengan karakteristik habitat, perbedaan meliputi kepadatan dan biomassa lamun. Perbedaan keberadaan lamun juga akan membedakan kemampuan lamun dalam melakukan penyerapan karbon.

Penelitian ini dilakukan di pesisir Desa Bahoi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara pada bulan April 2014 dengan menggunakan tiga stasiun dengan masing-masing ulangan sebanyak tiga kali. Tiga stasiun meliputi stasiun A (habitat mangrove), B (habitat lamun) dan C (habitat terumbu karang). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengukur kandungan C-organik yang terdapat pada lamun berdasarkan habitat dan jenis lamun.

Terdapat enam jenis lamun yang ditemukan selama penelitian di pesisir Desa Bahoi. Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama pencirian parameter pada masing-masing stasiun tidak berdasarkan kuantitas melainkan konsistennya suatu parameter, kepadatan lamun dicirikan oleh kandungan C-org hanya terdapat pada jenis T. hemprichii yang terdapat pada stasiun A. Secara keseluruhan berdasarkan habitat, maka habitat mangrove merupakan habitat dengan kandungan C-org tertinggi.

(4)

Species in Bahoi Coastal Area, North Minahasa Distric, North Sulawesi. Supervised by YUSLI WARDIATNO and FREDINAN YULIANDA.

The increasing of carbon emissions comes from land burn activity, smoke from factories and vehicles. This phenomenon results in climate change and changes the balance of nature. Appropriate efforts were needed to minimize the impact of these changes. Based on the condition, it is well-known that the sea and the coast are able to reduce carbon emissions by absorbing and storing carbon. One of the ecosystem that has the ability to absorb carbon is seagrass ecosystem.

Seagrass is a type of plant living in coastal areas which has many important ecologycal roles such as becoming a primary producer in the coastal ecosystem, nursery ground, feeding ground and shelter for fish or the other organisms, and flow reducer to maintain the stability of seagrass beach. Therefore, seagrass habitat is also known as coastal foundation.

In general, seagrass grows could live in three types of habitat which could be found in the coastal. Those habitats are mangrove, seagrass and coral reef. Each of these habitat influences the presence, density and biomass of seagrass in accordance with habitat characteristic. Differences of seagrass presence would also distinguish the capability of seagrass to absorb carbon

This research was conducted in the coastal village of Bahoi, North Minahasa Distric, North Sulawesi in April 2014, using three stations with three replications in each station. The stations were A (mangrove), B (seagrass) and C (coral reef). This study aims to analyze and measure the content of C-organic contained in seagrass based on the habitats and the different species of seagrass.

There are six types of seagrass found during research in the coastal village of Bahoi. Based on Principal Component Analysis of the results, the characterization parameters at each station is not based on the quantity but the inconsistency of a parameter. Seagrass density is characterized by the content of C

– org that found only in T. hemprichii contained in station A. Overall, the mangrove habitat has the highest content of C – org.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

SULAWESI UTARA

ALPININA YUNITHA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Nama : Alpinina Yunitha NIM : C251124041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc Ketua

Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

,

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyajikan tulisan ilmiah berdasarkan kegiatan penelitian yang dilakukan sejak April 2014. Karya ilmiah ini merupakan pengembangan bidang ilmu ekologi perairan yang berjudul Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah menyediakan berbagai fasilitas sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

2. Dr Ir Enan M Adiwilaga selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi 2010-2013 yang telah membantu dalam tahapan penyelesaian studi dan penelitian.

3. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi 2014-2017 sekaligus sebagai dosen penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis yang telah banyak membantu serta memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan tulisan ini.

4. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc dan Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis dari tahap awal pelaksanaan penelitian sampai pada tahap akhir penulisan karya ilmiah ini.

5. Dosen Penguji Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc.

6. Seluruh keluarga, terutama kepada Papah dan Mamah, saudara (Rina Pratiwi Yosua Pranata) atas doa dan dukungan yang tidak pernah putus sehingga tulisan ini berhasil diselesaikan.

7. Pemerintah Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah atas bantuan dana pendidikan yang telah diberikan selama dua tahun masa studi.

8. Pemberdayaan Masyarakat & Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka), GoodPlanet serta PKSPL-IPB selaku penyokong dana dalam penelitian ini. 9. Seluruh staf laboratorium produktivitas dan lingkungan perairan MSP IPB

(Bu Anna, Alifa, Erry), rekan-rekan yang turut membantu pelaksanaan penelitian di lapangan (Pak Maxi dan Ibu, serta Udin), teman-teman seperjuangan (Dede, Nta, Chitra, Mba Pien dan Anggota Lab Bimi).

10. Seluruh rekan SDP 2012, SDP 2013, rekan-rekan kosan LPT serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(10)

DAFTAR ISI i

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 5

Bahan dan Alat 6 Kandung N dan P total substart Analisis Varians Satu Arah 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air Kepadatan Lamun Biomassa Lamun Fraksi Substratat

Kandungan N dan P total Substrat Kandungan C-org Lamun

Hubungan kandungan C-org dengan Substrat dan Jenis lamun

10 4 KESIMPULAN DAN SARAN

(11)

DAFTAR TABEL

1 Bahan dan Alat 6

2 Klasifikasi Sedimen 8

3 Nilai rata-rata parameter kualitas air 12

4 Tipe substrat dan median terkstur 21

DAFTAR GAMBAR

1 Skema pendekatan masalah hubungan jenis substrat, jenis lamun terhadap kandungan C-org

4

2 Peta Lokasi Desa Bahoi 5

3 Kepadatan rata-rata lamun pada tiga stasiun 13 4 Kepadatan rata-rata lamun masing-masing jenis 15

5 Biomassa lamun pada tiga stastiun 17

6 Biomassa rata-rata masing-masing jenis lamun 19 7 Kandungan N dan P total pada substrat 23 8 Kandungan C-org (%) rata-rata pada tiga stasiun 24 9 Kandungan C-org (%) masing-masing jenis lamun 25 10 Biplot kandungan C-org (%) terhadap substrat dan jenis

lamun

27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data kualitas air 32

2 Uji Anova satu arah DO 32

3 Kepadatan rata-rata total per total per sub stasiun 32 4 Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata E. acoroides 33 5 Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata T. hemprichii 33 6 Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata C. rotundata 33 7 Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata S. isoetifolium 34 8 Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata H. ovalis 34 9 Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata H. uninervis 34

10 Biomassa rata-rata total 35

11 Fraksi substrat 35

12 Uji Anova satu arah diameter substrat 36

13 Uji Anova satu arah N-total 36

14 Uji Anova satu arah P-total 37

15 Kandungan C-organik (%) rata-rata per stasiun 37 16 Akar ciri dan korelasi parsial AKU menggunakan minitab 16 37 17 Dokumentasi kegiatan penelitian di lapangan 38 18 Dokumentasi kegiatan penelitian di laboratorium 39

19 Jenis-jenis lamun yang ditemukan 41

(12)
(13)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lamun merupakan tumbuhan laut termasuk dalam kelompok angiosperma (tumbuhan berbunga) yang tumbuh di daerah pasang surut dan daerah subtidal, memiliki sistem akar dan rimpang (Hemingga et al. 2001; Short et al. 2007; Athiperumalsami et al. 2008). Memiliki karakter tumbuhan darat pada umumnya yaitu dapat dibedakan antara daun, batang, akar dan rimpang. Lamun diketahui terdiri dari lima famili: Hydrocharitaceae, Cymodoceaceae, Posidoniaceae, Zosteraceae dan Ruppiaceae dengan 12 genera, 60 spesies yang terdapat di seluruh dunia baik pada daerah tropis maupun sub tropis, meskipun tersebar diseluruh dunia, namun tidak semua jenis terdapat di semua tempat (Orth et al.2006). Penyebarannya dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik seperti yang diungkapkan Borum et al. (2004), dimana pola distribusinya dapat berubah dengan cepat, hal ini terkait dengan respon lamun terhadap perubahan lingkungan (Björk et al. 2008), terutama oleh variasi rendaman dan cahaya (Mateo et al. 2006). Dilaporkan Newmaster et al. (2011) bahwa lamun menyukai substrat berlumpur, berpasir, tanah liat, ataupun substrat dengan patahan karang serta pada celah-celah batu, sehingga tidak heran jika lamun masih dapat ditemukan pada ekosistem karang.

Sebagai tumbuhan yang hidup didaerah pasang surut tentu lamun memiliki fungsi dalam siklus pesisir bersama dengan ekosistem lainnya seperti mangrove dan terumbu karang. Unsworth et al. (2007) melaporkan lamun memiliki struktur akar yang kuat sehingga memungkinkan untuk menahan kuatnya arus dan gelombang serta merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen primer, habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan ikan-ikan dan krustasea muda (Watson et al. 1993; Benstead et al. 2006; Hori et al. 2009; Barbier et al. 2011). Selain sebagai produsen primer bagi biota laut dan habitat, lamun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai penangkap sedimen dan pendaur unsur hara (Hemingga 1998; Azkab 1999). Peran lamun yang banyak dalam sebuah ekosistem perairan terutama ekosistem pesisir dan laut, membuat lamun dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan sebuah perairan, hal ini seperti yang diungkapkan (Vichkovitten 1998; Paynter et al. 2001) bahwa lamun memiliki peran kunci sebagai indikator yang baik bagi sebuah lingkungan perairan. Selanjutnya Anderson & Fourquren (2003) menyatakan lamun merupakan bagian penting pada ekosistem air dangkal pada wilayah pesisir.

Fungsi lain dari lamun yang menjadi perbincangan beberapa tahun terakhir ini adalah kemampuan lamun dalam menyerap dan menyimpan karbon. Berdasarkan Barrón et al. (2006) lamun merupakan lokasi aliran karbon organik dan anorganik. Dilaporkan Laffoley & Grimsditch (2009) lamun merupakan salah satu ekosistem yang berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah besar selain mangrove dan terumbu karang, kemampuan lamun menyerap karbon sering disebut “Blue Carbon”. Karbon dalam bentuk CO2 berasal dari aktivitas manusia

(14)

kemudian memicu terjadinya perubahan iklim. Bagi kehidupan pesisir perubahan iklim akan menimbulkan dampak meningkatnya permukaan laut yang nantinya akan berpengaruh terhadap siklus kehidupan pesisir. Besarnya dampak dari peningkatan kandungan CO2 di atmosfer maka diperlukan usaha pencegahan serta

penanggulangan yang dapat meminimalkan emisi karbon. Terkait kondisi ini maka sesuai dengan yang diungkapkan Setiawan et al. (2012) bahwa ekosistem laut mempunyai potensi besar dalam menyerap karbon (CO2) sebagai gas utama

penyebab pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim. Penyerapan karbon dilakukan oleh lamun sebagai bahan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen dan glukosa sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi dalam menangkap cahaya (Andrews & Abel 1979; Fyfe 2003; McKenzie 2008).

Lamun seringkali membentuk sebuah padang yang luas terdiri dari beberapa jenis lamun. Kondisi yang terjadi saat ini, banyak wilayah pesisir mengalami pengalihfungsian lahan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hampir setiap tahunnya padang lamun mengalami penurunan, minimnya informasi mengenai manfaat lamun serta habitat yang terdapat pada pesisir sebagai salah satu penyebab berlangsungnya kegiatan pengalihfungsian lahan. Pengalihfungsian lahan yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan seperti pembuatan dermaga, tempat wisata, tambak dengan mengorbankan vegetasi pesisir salah satunya lamun. Dengan berkurangnya padang lamun sebagai penyerap karbon, maka aktivitas ini juga memperparah peningkatan laju karbon dikarenakan terlepasnya kembali karbon yang telah tersimpan dalam ekosistem lamun ke atmosfer. Seperti yang diungkapkan dalam Nellemann et al. (2009) lautan tidak hanya menyerap, namun menyimpan dan mendistribusikan karbon (CO2), sehingga terdapat 93% CO2 bumi tersimpan dalam siklus di lautan.

Banyaknya wilayah pesisir di Indonesia yang mengalami pengalihfungsian tidak dialami pesisir Desa Bahoi yang terletak di Kabupaten Minahsa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Kondisi alam yang masih alami dan kehidupan masyarakat yang sangat sederhana menjadikan pesisir Desa Bahoi tidak banyak mengalami perubahan dari kondisi aslinya. Masih banyak dijumpai juvenile yang artinya padang lamun masih menjalankan fungsinya sebagai daerah asuhan, bintang laut dan bulu babi yang terdapat pada padang lamun, karang dengan bentuk yang beragam serta air yang jernih dan bersih. Masyarakat sekitar dalam memenuhi kehidupan sehari-hari bersandar dari hasil tangkapan laut yang dilakukan per keluarga ataupun kelompok. Penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat disini masih menggunakan cara tradisional dengan tujuan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan mereka. Letak Desa Bahoi yang cukup jauh dari pusat kota dengan infrastruktur jalan yang masih kurang mendukung membuat Desa Bahoi tidak banyak mendapatkan masukan moderenisasi perkotaan.

(15)

3

lamun. Fourqurean et al. (2012) menyatakan bahwa jumlah C-organik pada lamun bervariasi empat kali lipat dari padang rumput, hal ini mencerminkan komposisi jenis lamun dan simpanan karbon organik per unit pada lamun mirip dengan simpanan karbon organik di hutan. Pada prinsipnya dengan mengukur seberapa besar C-organik yang terkandung pada lamun, diharapkan dapat memberikan kesadaran dalam pengelolaan lingkungan pesisir baik oleh masyarakat pesisir maupun pemerintah setempat.

Perumusan Masalah

Peningkatan aktivitas manusia seiring dengan meningkatnya jumlah CO2

pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim yang berasal dari timbulnya pemanasan global. Karbon merupakan senyawa karbon dan oksigen dalam bentuk gas yang tidak dapat terbakar, namun dapat terlarut dalam air. Larutnya CO2

dalam air menyebabkan terjadinya asidifikasi laut yang kemudian akan berpengaruh terhadap kesehatan laut, kondisi laut asam dapat menyebabkan terganggunya kesehatan laut, seperti terjadinya korosi karang dan ada beberapa jenis ikan yang tidak dapat hidup pada kondisi asam akan mati atau mencari tempat hidup lain. Kondisi ini mengisyaratkan sangat perlu adanya upaya untuk meminimalkan peningkatan CO2.

Lamun memiliki kemampuan dalam melakukan penyerapan karbon, karbon digunakan dalam proses fotosintesis yang kemudian disimpan dan dialirkan, salah satunya dalam bentuk biomassa. Kandungan C-organik pada lamun dipengaruhi oleh jenis lamun, biomassa dan kepadatan serta habitat yang meliputi kualitas air, tipe substrat, N & P substrat. Kandungan C-organik dapat diketahui dengan pendekatan biomassa, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi biomassa dan kepadatan juga akan mempengaruhi dalam kemampuan penyerapan karbon.

Desa Bahoi memiliki kondisi pesisir yang masih baik dan sehat dibandingkan dengan daerah pesisir lainnya yang telah mengalami kerusakan dan pengalih fungsian kawasan pesisir. Keberadaan beberapa jenis lamun yang dapat berasosiasi dalam sebuah ekosistem, menunjukkan kondisi perairan yang baik dan memenuhi syarat untuk kehidupan lamun. Kurangnya informasi mengenai manfaat dan fungsi lamun bagi kelangsungan hidup menjadi salah satu alasan mengapa lamun diabaikan dalam pengelolaannya, sehingga diharapkan dengan telah diketahuinya kemampuan lamun dalam menyimpan karbon, maka konversi ekosistem lamun dapat dicegah. Perumusan masalah dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

(16)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam kandungan C-organik pada lamun dengan habitat dan jenis lamun yang berbeda. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan kebijakan pengelolaan terhadap pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya pesisir Desa Bahoi, Sulawesi Utara.

Gambar 1 Skema pendekatan masalah hubungan kandungan C-organik pada lamun terhadap habitat dan jenis lamun.

Pemanasan Global

Penyerapan Karbon

Padang Lamun

Habitat Jenis Lamun

Kualitas air

Kepadatan N & P

Substrat Tipe

Substrat Biomassa

Analisis C-organik

(17)

5

2

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah berupa percobaan langsung di lapangan, dengan menggunakan teknik pengambilan contoh secara Purposive sampling. Tahapan penelitian dilakukan dengan persiapan penelitian meliputi survey lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan stasiun penelitian, pengambilan sampel lamun dan substrat serta beberapa parameter pendukung berupa data kualitas air. Data yang diperoleh berupa kepadatan dan jenis, biomassa, fraksi substrat, unsur hara substrat serta C-org pada lamun.

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bahoi, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara dilanjutkan di Laboratorium Fisika dan Kimia Perairan bagian Produktivitas dan Lingkungan MSP, FPIK, IPB serta di Laboratorium Pengendalian Pencemaran Pusat Limnologi LIPI. Waktu penelitian ini berlangsung pada bulan April – September 2014. Perlakuan dan pengambilan contoh langsung dilakukan di lapangan. Terdapat tiga stasiun penelitian, pada setiap stasiun terdapat tiga ulangan .

(18)

Bahan dan Alat

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur kualitas air, biologi dan substrat Tabel 1.

Tabel 1 Bahan dan Alat

Parameter Satuan Metode Peralatan Keterangan

Fisika

Suhu oC Pemuaian Termometer In Situ

Salinitas ppm Salinometer In Situ

Tekstur

ppm Elektrokimiawi DO Meter In Situ

pH - Elektrokimiawi pH indikator In Situ

C-Organik Lamun

% Spektrofotometrik Spektrometer Lab.

N-Total substart

ppm Spektrofotometrik Spektrometer Lab.

P-Total substrat

ppm Spektrofotometrik Spektrometer Lab.

Biologi

Jenis - Identifikasi Kuadran In Situ

Kepadatan Tegakan/m2 Penghitungan Kuadran In Situ Biomassa gram Penimbangan Timbangan,

oven

Lab.

Prosedur Penelitian

Kandungan C-org dapat diukur dengan pendekatan biomassa lamun yang diambil (pemanenan) dari lokasi penelitian. Penelitian ini terbagi dalam dua bagian yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan meliputi pengukuran kualitas air, penghitungan kepadatan serta identifikasi jenis lamun yang kemudian dilanjutkan di laboratorium meliputi pengamatan unsur hara dan fraksi, diameter substrat serta kandungan C-org pada lamun.

Penentuan Stasiun Pengamatan

(19)

7

Pengukuran Kualitas Air

Pengambilan data kualitas air dilakukan dengan cara pengukuran langsung di lapangan (in situ) meliputi suhu, salinitas, pH, dan DO. Sampel air yang diambil dan diukur adalah air yang berada pada lokasi yang dianggap dapat mewakili karakteristik masing-masing stasiun pengamatan.

Kepadatan

Kepadatan lamun dapat diketahui dengan cara menghitung berapa jumlah tegakan setiap jenis lamun pada setiap kuadran berukuran 150x50 cm yang telah ditentukan. Setiap tunas lamun dihitung sebagai satu tegakan untuk setiap masing-masing jenis. Penghitungan tegakan sebaiknya dilakukan pada saat air baru surut dan ketika air akan pasang hal ini dilakukan untuk mempermudah melihat tegakan lamun, yaitu berkisar pada pukul 10.00 – 14.00 WIB, atau dapat menyesuaikan dengan kondisi dan waktu pasang surut pada daerah penelitian.

Pengambilan Substrat

Sampel substrat diambil dengan menggunakan pipa berdiameter 5 cm dan panjang 35 cm, lakukan penetrasi hingga kedalaman akar (30 cm), dengan kemiringan 30o yang kemudian di bagian bawah pipa ditutup menggunakan tangan pada masing-masing kuadran di setiap ulangan yang telah ditentukan. Sampel substrat dimasukkan kedalam kantong sampel yang telah diberi label dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Bahan organik yang terdapat dalam substrat perlu diketahui sehingga nantinya dapat dihubungkan dengan kandungan C-org pada lamun. Analisis substrat meliputi penentuan tekstur, ukuran serta analisis kandungan nutrisi P dan N-total.

Biomassa

Pengambilan sampel biomassa dilakukan dengan cara memanen (mencabut) lamun pada kuadran 150x50 cm sampai pada kedalaman penetrasi akar sedalam 30cm. Pencabutan dilakukan dengan menggunakan sekop atau linggis yang bertujuan agar lamun dapat tercabut hingga akar. Sesaat setelah lamun diangkat dari substrat sebaiknya lamun dibersihkan dari kotoran maupun dari substart yang menempel dengan menggunakan air tawar. Pembersihan efifit dapat dibantu dengan menggunakan pisau. Setelah bersih lamun kemudian dibiarkan hingga kering angin, setelah kering lamun dimasukkan ke dalam plastik sampel yang telah diberi label untuk dibawa ke laboratorium. Sampel kemudian dipisahkan menurut jenis dan bagian lamun (daun, rhizoma dan akar), dibersihkan, dihitung jumlah tegakan, dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 105 oC selama 2x24 jam kemudian ditimbang.

Kandungan C-organik

Kandungan C-org dapat diketahui melalui proses analisis menggunakan metode spektrofotometrik dengan alat spektrometer yang dilakukan di laboratorium. Sebelumnya sampel lamun yang telah diambil dan dikeringkan, dihaluskan hingga berupa serbuk. Serbuk masing-masing bagian jenis lamun ditimbang hingga 0.1000 g yang kemudian ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 (kalium

(20)

berupa larutan akan diukur nilai absorbansi menggunakan alat spektrometer dengan panjang gelombang 561 nm. Pada saat sampel dalam keadaan larutan C-org tinggi ditandai dengan warna hijau yang pekat, sedangkan sampel yang C-org nya rendah akan menunjukkan warna kuning cenderung orange. Nilai absorbansi yang telah diketahui dimasukkan ke dalam rumus sehingga menghasilkan C-org dalam bentuk ppm dapat dikonversi kedalam bentuk %.

Analisis Fraksi Substrat

Analisis fraksi sedimen secara keseluruhan dilakukan di Laboratorium Pengendalian Pencemaran Pusat Limnologi LIPI. Menggunakan klasifikasi substrat Wenworth 1922 (Tabel.2).

Tabel 2 Klasifikasi substrat (Wenworth 1922) 0-0.002mm Fine-Medium Clay

Mud 0.0021-0.004mm Coarse Clay

0.0041-0.008mm Very Fine Silt 0.0081-0.016mm Fine Silt 0.0161-0.031mm Medium Silt 0.0311-0.063mm Coarse Silt 0.0631-0.125mm Very Fine Sand

Sand 0.1251-0.250mm Fine Sand

0.2501-0.500mm Medium Sand 0.5001-1.000mm Coarse Sand 1.0001-2.000mm Very Coarse Sand 2.0001-4.000mm Granules

Gravel >4.0001mm Pebbles and larger

Analisis Data

Kepadatan

Kepadatan adalah jumlah individu persatuan luas (Brower & Zar 1977) dengan formulasi :

� =��

Keterangan :

D = Kepadatan lamun jenis i

Ni = Jumlah lamun jenis ke- i (per kuadran) A = Luas cakupan kuadran (m2)

(21)

9

Biomassa

Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun buangan. Biomassa (gr/m2) dapat dihitung dengan rumus (Azkab 1999) :

� (� / 2) = � � � �

Kandungan C-organik

Analisis kandungan yang telah dilakukan di Laboratorium kemudian dimasukkan ke dalam rumus berikut :

Keterangan :

abs = Absrobansi int = Intersep (0.0923) slope = 0.0015

Kandungan N dan P -total pada substrat

(22)

slope = 0.9969

Analisis Varians Satu Arah

ANOVA satu arah digunakan untuk menguji perbedaan antara variabel bebas dengan satu variabel terikat dengan syarat data dipilih secara acak, data berdistribusi normal dan data bersifat homogen. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah diameter substrat, kepadatan, biomassa, bahan organik sebagai variabel bebas (Y) dan keberadaan jenis lamun, stasiun sebagai variabel terikat (X).

Analisis Komponen Utama

Penggunaan AKU bertujuan mendapatkan gambaran pola hubungan antara diameter lamun dengan kepadatan lamun dengan pendekatan statistika deskriptif atau dengan kata lain tujuan AKU adalah untuk mengekstrak informasi yang paling penting pada suatu data, mereduksi data yang ditetapkan sebagai informasi penting dan menyederhanakan deskripsi kumpulan data serta menganalisis struktur pengamatan dan variabel (Abdi & Williams 2010). Ditambahakan dalam Llin & Raiko (2010) bahwa AKU (Analisis Komponen Utama) adalah sebuah teknik untuk membangun variabel-variabel baru yang merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel asli, teknik umum yang digunakan untuk menemukan pola dalam data berdimensi tinggi.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air

(23)

11

bahwa pada suhu 43oC akan terjadi kematian massal lamun setelah dua hingga tiga hari, sehingga dengan kenaikan suhu yang ekstrim akan mempengaruhi fungsi ekologis lamun pada daerah tropis.

Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter (Nontji 1984). Nilai salinitas akan berbeda-beda pada setiap jenis perairan, untuk perairan pesisir nilai salinitas sangat dipengaruhi masukan air tawar. Salinitas perairan berpengaruh terhadap lamun secara langsung seperti yang dilaporkan Hartati et al. (2012) salinitas berpengaruh terhadap kerapatan, dan biomassa lamun. Ditambahkan dalam Touchette (2007) kerapatan dan biomassa lamun berhubungan dengan produktivitas primer yang berlangsung, hal ini terkait dengan penyerapan nutrisi yang sangat dipengaruhi salinitas. Lamun memiliki toleransi yang tinggi terhadap fluktuasi salinitas, lamun masih dapat ditemukan pada perairan dengan salinitas 10-40 ppm. Lamun hidup optimal pada perairan dengan kisaran nilai salinitas antara 24 hingga 35 ppm. Berdasarkan data kualitas air pada Tabel 3 nilai salinitas pada seluruh stasiun sama yaitu 36 ppm, nilai salinitas pada Pesisir Desa Bahoi ini menunjukkan bahwa salinitas di perairan ini masih sangat wajar mengingat lamun masih dapat ditemukan pada perairan dengan salinitas hingga 40 ppm meskipun nilai salinitas pesisir Desa Bahoi tidak termasuk ke dalam kriteria nilai salinitas untuk pertumbuhan optimal lamun. Tingginya salinitas pada pesisir Desa Bahoi diakibatkan tidak adanya sungai, sehingga tidak mendapatkan masukan dari darat, masukan air tawar di daerah pesisir ini hanya tergantung dari curah hujan.

Nilai pH perairan secara umum memiliki peranan sebagai indikator untuk dapat menentukan kondisi suatu perairan. Nilai pH tinggi pada perairan laut terkait dengan pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya asidifikasi air laut atau pengasaman air laut yaitu kondisi yang tidak menguntungkan bagi biota laut. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, lamun memiliki kemampuan dalam melakukan penyerapan dan penyimpanan karbon, sehingga perairan pesisir yang terdapat tumbuhan lamun akan sangat jarang mengalami pengasaman. Berdasarkan kemampuan lamun itu sendiri, dapat dinyatakan bahwa pH yang sesuai dengan kebutuhan lamun adalah pH standar. Kondisi perairan dengan nilai pH tertentu akan sangat mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam perairan tersebut, yaitu proses biokimiawi perairan dan toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi nilai pH (Effendi 2003). Nilai pH pada Pesisir Desa Bahoi secara keseluruhan menunjukkan nilai pH air laut pada umumnya yaitu 8, dimana diketahui pH air laut pada umumnya yang berkisar 7.5–8.4. Penelitian mengenai pengaruh pH dalam pertumbuhan lamun masih belum banyak ditemui, namun pada Halophila johnsonii menunjukkan bahwa peningkatan fotosintesis diikuti dengan penurunan tingkat pH (Torquemada et al. 2005).

(24)

primer lamun. Hasil pengukuran DO pada seluruh stasiun pengamatan (Tabel 3) berkisar 7.5–11.4 ppm dengan rata-rata 8–10.4 ppm pada siang hari. Nilai DO pada Pesisir Desa Bahoi tergolong tinggi bahkan jenuh, dikarenakan sirkulasi air yang cepat dan suhu yang tinggi. Diketahui bahwa nilai baku mutu DO air laut adalah lebih besar dari 5 ppm berdasarkan KepMenLH no 51 tahun 2004. Kecepatan arus pada penelitian ini hanya berdasarkan studi literatur seperti yang diungkapkan dalam Koch et al. (2006) lamun tidak dapat hidup pada daerah dengan paparan gelombang yang tinggi dan arus yang kuat. Arus yang mendukung proses fotosintesis lamun berkisar 0.25-0.64 cm/det (Ghufran & Kordi 2011).

Tabel 3 Nilai rata-rata parameter kualitas air

Stasiun Parameter Kualitas Air

DO (ppm) pH Salinitas (ppm) Suhu (oC)

A 8.6 8.0 36.0 29.0

B 10.1 8.0 36.0 28.3

C 10.0 8.0 36.0 29.0

Kepadatan Lamun

Kepadatan lamun merupakan respon lamun terhadap lingkungan yang dapat menggambarkan kondisi tertentu suatu lingkungan. Kemampuan lamun yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang cukup ekstrim, menunjukkan kemampuan lamun sebagai bioindikator sebuah perairan. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan enam jenis lamun yang terdapat di pesisir Desa Bahoi meliputi jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis. Keenam jenis lamun ditemukan hampir pada seluruh stasiun pengamatan. Jenis lamun yang berasosiasi pada kuadran pengamatan mencapai empat hingga enam jenis merupakan jumlah lamun yang banyak, mengingat 13 dari jenis lamun yang terdapat diseluruh dunia terdapat di Indonesia. Pada masing-masing kuadran pengamatan terdapat empat hingga enam jenis lamun yang berasosiasi, kondisi ini mencerminkan bahwa perairan dan lingkungan pesisir Desa Bahoi memenuhi persyaratan hidup sehingga beberapa jenis lamun dari yang berukuran besar hingga berukuran kecil dapat hidup dengan baik. Pada setiap stasiun pengamatan terdapat kepadatan jenis lamun berbeda-beda.

Kepadatan yang berbeda pada tiap stasiun tidak berarti bahwa perbedaan tersebut berbeda nyata. Berdasakan perhitungan anova satu arah menunjukkan bahwa kepadatan tidak berbeda nyata setiap jenis lamun pada stasiun yang berbeda. Kepadatan jenis E. acoroides tidak berbeda nyata pada seluruh stasiun dengan p>0.05 (p=0.13), demikian dengan kepadatan jenis lamun lainnya (Lampiran 4-9).

(25)

13

yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, namun lamun tetap memiliki persyaratan tertentu untuk lingkungan hidupnya. Lingkungan yang memenuhi syarat hidup lamun akan membantu lamun dalam mempertahan keberadaannya hingga melakukan aktivitas reproduksi. Dengan kondisi hidup yang baik serta memiliki kesempatan melakukan aktivitas reproduksi, maka lamun memiliki kesempatan dalam memperbanyak diri yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kepadatan. Kepadatan lamun dalam suatu populasi didominasi jenis lamun yang berukuran lebih kecil, nanum meski mendominasi suatu popupasi jenis lamun ini tidak terlihat dikarenakan tertutup oleh jenis lamun yang berukuran lebih besar.

Gambar 3 Kepadatan rata-rata lamun pada tiga stasiun

(26)

kecil seringkali memiliki tegakan yang lebih banyak, sehingga pada saat penghitungan kepadatan rata-rata maka nilai jenis lamun yang berukuran lebih kecil akan bernilai tinggi.

Perbedaan kondisi pada stasiun B dengan stasiun A adalah bahwa stasiun B merupakan stasiun yang merupakan habitat lamun, sehingga tidak mengherankan apabila seluruh jenis lamun terdapat pada stasiun ini. Stasiun B yang merupakan habitat lamun juga membentuk sebuah padang lamun yang cukup luas. Pada stasiun B kepadatan rata-rata tertinggi dicapai oleh jenis H. ovalis dengan

kepadatan rata-rata mencapai 1064 ind/m2, kemudian disusul oleh jenis S. isoetifolium dengan 1010.67 ind/m2 dan kepadatan rata-rata terendah oleh jenis

E. acoroides dengan 92 ind/m2. Berdasarkan data kepadatan rata-rata pada stasiun B, maka dapat terlihat bahwa pada stasiun B disominasi oleh jenis H. ovalis dengan morfologi yang kecil dan memiliki kemampuan untuk hidup diantara lamun yang berukuran besar. Kepadatan total rata-rata lamun tertinggi pada stasiun B mencapai 3440 ind.m/2 (Lampiran 3). Terlihat bahwa kearah laut, kepadatan rata-rata dan jenis lamun menurun dibandingkan pada habitat mangrove dan habitat lamun.

Stasiun C yang merupakan stasiun paling dekat dengan habitat terumbu karang memiliki komposisi lamun yang lebih sedikit dibandingkan dengan komposisi lamun pada stasiun A dan B, yaitu hanya ditemui empat jenis lamun. Pada stasiun ini tidak ditemui lamun jenis C. rotundata dan H. uninervis. Hal ini diduga karena pada habitat dekat karang merupakan daerah yang langsung terkena dengan gelombang, sehingga tidak seluruh jenis lamun dapat bertahan. Dilihat dari karaketristik daun kedua jenis lamun tersebut, sama-sama memiliki daun yg pipih dan memanjang, sehingga ketika terkena gelombang akan mudah terbawa arus. Dibandingkan dengan jenis H. ovalis dan S. isoetifolium, meski berukuran yang sama kecil, namun kedua jenis lamun ini memiliki strategi pertahanan masing-masing. Hasil pengamatan terlihat bahwa H. ovalis hidup dengan cara menempel pada substrat di bagian atas dari lamun-lamun yang lebih besar, sehingga dapat terlindungan dari arus. Sedangkan jenis S. isoetifolium dengan memiliki bentuk daun yang silindris dapat lebih lentur dan fleksibel pada saat arus melewatinya, sehingga masih dapat bertahan pada kondisi berarus meskipun kepadatan dari S. isoetifolium tidak sebanyak pada stasiun A dan B.

(27)

15

Gambar 4. Kepadatan rata-rata lamun masing-masing jenis

(28)

merupakan indikator kuat tempat tumbuh lamun jenis C. rotundata dan T. hemprichii. Kepadatan rata-rata semakin menurun pada stasiun C meskipun

tidak signifikan serta tetap memiliki kepadatan rata-rata tertinggi pada stasiun C 418.66 ind/m2 hal ini dikarenakan jenis T. hemprichii diduga memiliki kemampuan memanfaatkan ruang. Substrat yang ditumbuhi kumpulan T.hemprichii akan berbentuk gundukan. Selanjutnya ditambahkan dalam (Takaendengan & Azkab 2010) bahwa jenis T. hemprichii dan E. acoroides ditemukan hampir merata pada pada seluruh lokasi penelitian di Kepulauan Talise, Sulawesi Utara yang merupakan pulau berdekatan dengan Desa Bahoi.

Ditemukannya beberapa jenis lamun yang terdapat hampir pada seluruh lokasi penelitian di Pulau Talise, tidak berarti bahwa di daerah lain memiliki komposisi yang sama. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang turut berpengaruh terhadap persebaran lamun itu sendiri, artinya persebaran lamun pada setiap daerah akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan tempat lamun itu tumbuh. Setiap daerah akan memiliki variasi komposisi yang beragam serta jumlah jenis yang beragam, semakin banyak jenis lamun yang dapat ditemukan maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan bahkan lingkungan sekitar dalam kondisi yang baik oleh karena dapat menunjang kehidupan dan keberadaan banyak jenis lamun, mengingat juga bahwa lamun dapat digunakan sebagai bioindikator sebuah perairan.

Biomassa Lamun

Biomassa merupakan berat dari semua material hidup pada satuan luas tertentu, dalam hal ini berat kering per m2. Penghitungan biomassa dalam penelitian ini digunakan berat kering karena hal ini terkait dengan kestabilan bobot pada saat pengukuran. Biomassa lamun sendiri dihitung baik biomassa yang berada di permukaan (daun dan tangkai) maupun yang dibawah (rhizom dan akar), sehingga dapat diketahui biomassa total lamun. Biomassa sendiri merupakan bahan organik hasil dari proses fotosintesis yang dilakukan lamun, hasil fotosintesis ini disimpan pada bagian-bagian tubuh lamun. Dalam penelitian ini pengukuran biomassa dilakukan sebagai pendekatan untuk mengetahui kandungan C-org yang tersimpan pada lamun.

Hasil perhitungan, biomassa lamun terbesar terletak pada bagian rhizom (bawah substrat) pada seluruh jenis lamun dibandingkan pada bagian lainnya yaitu daun dan akar. Tingginya biomassa dibagian rhizom tentunya memiliki tujuan dalam menjaga kelangsungan kehidupan lamun itu sendiri, diduga salah satu fungsi besarnya penyimpanan biomassa di bawah substrat adalah untuk memperkuat penancapan pada substrat. Selanjutnya dengan diketahui bahwa hampir seluruh jenis lamun dapat hidup pada berbagai tipe substrat juga dapat menunjukkan bahwa akan mempengaruhi biomassa dari lamun, dengan kata lain bahwa jenis substart akan menentukan besarnya biomassa bagian bawah. Jenis lamun E. acoroides memiliki biomassa rata-rata tertinggi diantara jenis lamun lainnya pada seluruh stasiun yaitu 350.34 gr/m2 diikuti T. hemprichii 129.88 gr/m2, H. ovalis 38.61 gr/m2, S. isoetifolium 37.58 gr/m2 dan H.uninervis 14.40

gr/m2 sedangkan memiliki nilai biomassa rata-rata terkecil C. rotundata 10.80 gr/m2. Biomassa E. acoroides tertinggi disebabkan ukurannya yang lebih

(29)

17

Jenis E. acoroides memiliki jumlah biomassa tertinggi diantara jenis lamun lainnya pada stasiun A, bahkan pada seluruh stasiun pengamatan (Gambar 5). pada stasiun A biomassa rata-rata E. acoroides mencapai 127.42 gr/m2 yang juga merupakan nilai tertinggi biomassa pada seluruh stasiun serta seluruh jenis lamun yang diamati dalam penelitian ini. Tingginya biomassa E. acoroides pada stasiun A, mencerminkan bahwa jenis E. acoroides menyukai kondisi lingkungan pada stasiun A. Diameter substrat yang lebih besar pada stasiun A memungkinkan lamun untuk tumbuh subur. Ukuran diameter substrat yang besar menyebabkan kemampuan mengabsorbsi fosfor rendah sehingga jumlah fosfor terlarut tinggi (Ghufron & Kordi 2011). Sedangkan jenis C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis memiliki nilai biomassa justru lebih kecil pada stasiun A, biomassa terkecil adalah H. ovalis dengan 0.56 gr/m2 (Lampiran 10). Rendahnya biomassa keempat jenis lamun tersebut disebabkan adanya persaingan nutrisi sehingga tidak dapat menunjang kehidupan, selanjutnya tidak dapat menghasilkan biomassa. Secara keseluruhan jumlah rata-rata biomassa pada stasiun A dari keseluruhan jenis lamun sebesar 185.46 gr/m2.

Gambar 5 Biomassa lamun pada tiga stasiun

(30)

lamun itu sendiri serta kandungan nutrisi pada substrat. Berkaitan dengan biomassa dan kepadatan, seperti yang diungkapkan dalam Al-Bader et al. (2014) bahwa dengan semakin banyak rimpang dan akar yang dapat menembus sedimen maka akan dapat menciptakan ruang pori pada substrat yang kemudian akan membantu dalam penyerapan nutrisi ataupun memperbesar kemungkinan untuk nutrisi dapat masuk lebih dalam pada substrat. Jenis C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis memiliki nilai biomassa yang tinggi pada stasiun B dibandingkan dengan yang terjadi pada stasiun A. Hal ini dapat menggambarkan bahwa keempat jenis lamun yang berukuran kecil menyukai kondisi lingkungan pada stasiun B. Stasiun B merupakan stasiun yang berada pada habitat lamun, sehingga tidak mengherankan pada stasiun ini setiap jenis lamun dapat tumbuh dengan baik.

Biomassa T. hemprichii justru kembali mengalami peningkatan pada stasiun C, yaitu stasiun yang lebih dekat dengan terumbu karang (Gambar 5). Berbanding terbalik dengan jenis lamun lainnya yang mengalami penurunan pada stasiun C. Hal ini dimungkinkan mengingat T. hemprichii memanfaatkan ruang hidup yang kemudian sebagai salah satu strateginya dalam mempertahankan hidup maka akar-akar dari T. hemprichii akan menyesuaikan diri dengan tipe substrat pada stasiun C dengan memperbanyak akarnya agar dapat melekat kuat sehingga tidak mudah terbawa arus. Berbeda halnya yang terjadi pada jenis C. rorundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis yang mengalami peningkatan biomassa pada stasiun B, merupakan stasiun pada daerah lamun itu sendiri. Keadaan ini menunjukkan bahwa keempat jenis lamun ini menyukai habitat tersebut, sehingga dapat hidup dan tumbuh dengan baik dan stabil.

Keberadaan lamun berbeda-beda pada tiap stasiun, namun berdasarkan perhitungan anova satu arah menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata (p>0.05). Dalam penelitian ini jenis C. rotundata dan H. uninervis tidak ditemukan pada stasiun C. Ketiadaan kedua jenis ini memberikan dampak pada jumlah biomassa rata-rata pada stasiun C yang kemudian mengakibatkan stasiun C memiliki nilai biomassa terendah dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Penyumbang biomassa terbesar pada stasiun C adalah jenis E. acoroides dan T. hemprichii. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa stasiun C merupakan stasiun yang lebih dekat dengan terumbu karang dan yang paling terdahulu terkena arus sehingga tidak semua jenis lamun dapat bertahan kondisi lingkungan ini. Sama seperti pada stasiun sebelumnya, pada stasiun C biomassa rhizom untuk mempertahankan diri.

(31)

19

tertinggi. Oleh karena itu untuk mengkaitkan antara kepadatan dan biomassa, perlu diperhatikan secara terpisah per jenis lamun (Lampiran 10), hal ini berhubungan dengan karakteristik masing jenis lamun serta masing-masing respon lamun terhadap kondisi lingkungan.

Enhalus acoroides

(32)

Fraksi Substrat

Keberadaan substrat sangat penting bagi lamun, sebagai tempat hidup dan pemasok nutrisi. Lamun akan menancapkan diri pada substrat menggunakan rhizom dan akarnya, yang kemudian rhizom dan akar akan semakin berkembang dan bertumbuh seiring waktu dan nutrisi yang didapatkan lamun dari substrat dan air di lingkungan hidupnya. Ada berbagai tipe substrat dengan komposisi yang beragam dapat ditumbuhi lamun, perbedaan tipe substrat dapat menyebabkan perbedaan komposisi jenis lamun serta dapat mempengaruhi kesuburan dan pertumbuhan lamun. Berdasarkan Kiswara (1997) padang lamun di Indonesia dikelompokkan dalam enam kategori berdasarkan tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup pada substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang. Lamun dapat tumbuh dalam berbagai substrat dari lumpur halus hingga pasir kasar tergantung pada jenis fisik dan kepadatan lamun (Zieman 1982). Pada dasarnya lamun sangat sensitif terhadap pengendapan langsung diatasnya, pengendapan yang terjadi secara langsung diatas akan menyebabkan kematian lamun, dimana kekuatan lamun tidak dapat menopang beban yang berada diatasnya (McKenzie 2007).

Jenis substrat pada seluruh stasiun pengamatan dalam penelitian ini berupa pasir dengan ukuran diameter yang berbeda (Tabel 4). Diketahui bahwa pada penelitian ini justru diameter susbstrat dekat daerah mangrove lebih besar dibandingkan dengan daerah stasiun lain, berdasarkan hasil analisis ragam maka diketahui bahwa diameter substrat antara masing-masing stasiun A, B dan C berbeda nyata (p < 0,05) Lampiran 12. Hal ini diduga karena karakteristik pesisir yang merupakan daerah pesisir terbuka.

Ukuran diameter pasir terbesar terdapat pada stasiun A dengan rata-rata diameter 0.47 mm, dimana stasiun pengamatan ini dekat dengan daerah mangrove. Daerah mangrove pada umumnya memiliki karaketristik bersubstrat lumpur, hal ini dikarenakan akar-akar mangrove yang memiliki kemampuan dalam memerangkap substrat serta apapun yang melaluinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa substrat yang lebih dekat dengan daerah mangrove kebanyakan bersubstrat lempung berpasir, disebabkan kemampuan mangrove dalam menangkap sedimen (Datta et al. 2012). Namun pada penelitian ini tidak ditemukan lumpur pada bagian pinggiran daerah mangrove tempat stasiun A berada. Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa pesisir Desa Bahoi memiliki karakteristik pesisir yang terbuka, selain itu pesisir Desa Bahoi juga tidak memiliki sungai, sehingga tidak mendapatkan masukan dari darat yang merupakan penyumbang terbesar dalam pengendapan lumpur pada hutan mangrove.

(33)

21

stasiun lainnya, dimungkinkan letak stasiun ini yang berada diantara mangrove dan terumbu karang, dimana kondisi substratnya lebih padat. Letaknya yang berada diantara mangrove dan terumbu karang memungkinkan arus yang membawa sedimen yang lebih halus dibandingkan sedimen yang tersangkut pada daerah mangrove.

Banyaknya patahan karang yang telah mati, menyebabkan stasiun C memiliki diameter lebih besar dibanding ukuran diameter pasir yang terdapat pada stasiun B. Melihat dari kepadatan lamun, maka stasiun C merupakan stasiun dengan nilai kepadatan rendah dan lebih sedikit jenis lamun yang ditemukan dalam stasiun ini. Hal ini dikarenakan gelombang yang melewati stasiun C secara langsung, sehingga tidak semua jenis lamun dapat bertahan hidup dengan kondisi yang seperti ini. Diketahui bahwa lamun tumbuh pada pesisir pantai yang miliki arus kecil dibandingkan dengan pesisir pantai dengan arus kuat.

Tabel 4 Tipe substrat dan median tekstur

Stasiun Tipe Substrat Median Tekstur (mm)

A Pasir 0.47a ± 0.01

B Pasir 0.35c ± 0.02

C Pasir 0.37b ± 0.06

 Huruf berbeda menyatakan tingkat beda nyata

Kandungan N dan P total pada substrat

Sebagai nutrisi utama dalam tanah bersama K (Potassium), N (Nitrogen) dan P (Fosfat) merupakan nutrisi yang paling sering dibahas dalam dunia perairan. Bahan organik yang terdapat pada substrat merupakan sumber nutrisi bagi vegetasi, namun dapat berdampak buruk bagi habitat perairan jika mendapat masukan bahan organik yang berlebihan. Bahan organik yang berlebihan pada suatu perairan kemudian akan menimbulkan dampak buruk bagi perairan itu sendiri dan bagi vegetasi ataupun biota yang terdapat dalam perairan tersebut seringkali dikenal dengan eutrofikasi. Terjadinya eutrofikasi disebabkan kegiatan manusia di darat yang kemudian terbawa masuk melalui proses run off atau hasil dari limpasan sungai yang kemudian terbawa hingga ke muara sungai. Pada perairan laut, eutrofikasi terjadi seringkali pada daerah pesisir, dikarenakan daerah inilah yang dekat dengan muara sungai.

(34)

pertumbuhan sel jaringan organisme serta dalam proses fotosintesis (Ulqodry et al. 2010). Selain bahan organik sebagai pendukung kehidupan lamun, maka sebaliknya komunitas lamun seringkali digunakan dalam penelitian untuk menentukan nutrisi pembatas pada suatu perairan, dikarenakan lamun cenderung hidup pada perairan dangkal oligotrofik, padang lamun lepas pantai dibatasi oleh nitrogen, sedangkan padang lamun dekat pantai dipengaruhi nitrogen dan fosfor (Ferdi & Fourqurean 2004).

Bahan organik yang digunakan lamun berasal dari air substrat pori dan yang berada pada kolom air, oleh karena itu lamun dapat menggunakan daun dan akar dalam menangkap bahan organik. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa bahan organik yang masuk pada suatu perairan berasal dari darat, sedangkan bahan organik pada subtrat berasal dari pelapukan vegetasi mati. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa sumber N dan P pada substrat diduga berasal dari akumulasi hasil mineralisasi vegetasi lamun yang mati dan sekresi yang berasosiasi pada ekosistem lamun (Patang 2009).

Kondisi pesisir Desa Bahoi masih baik secara umum, tidak terdapat industri ataupun aktivitas manusia yang dapat menyumbang bahan organik secara berlebihan ke dalam perairan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, diduga bahan organik yang masuk ke dalam perairan merupakan hasil dari perairan itu sendiri dan serasah yang dihasilkan hutan mangrove yang ada di pesisir, hal ini seperti yang diungkapkan Ulqodry et al. (2010) bahwa kandungan zat hara yang terdapat dalam suatu perairan tidak hanya berasal dari perairan itu sendiri, namun juga tergantung pada keadaan sekelilingnya berupa sumbangan dari sungai ataupun serasah mangrove dan lamun. Bahan organik yang terdapat pada substrat dapat terbawa ke tempat lain yang memungkinkan terjangkau dengan adanya gelombang dan arus. Hanya saja tentu konsentrasi bahan organik pada suatu daerah akan berbeda dengan daerah yang merupakan sumber bahan organik itu berasal, hal ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Kandungan N pada substrat dalam penelitian ini menunjukkan nilai yang tinggi jika dibandingkan dengan kandungan P pada seluruh stasiun pengamatan serta terlihat pola bahwa semakin kearah laut maka kandungan bahan organik pada substrat semakin menurun. Namun tidak terdapat perbedaan nyata antara N dan P total pada stasiun A, B dan C dengan (p>0,05) Lampiran 13-14. Menurunnya kandungan bahan organik pada stasiun C sebenarnya dapat dilihat dari ketidakhadiran dua jenis lamun lainnya serta menurunnya kepadatan lamun diiukuti nilai rata-rata biomassa yang kecil secara keseluruhan. Kandungan bahan organik yang menurun mengakibatkan lamun yang tumbuh tidak memperoleh cukup nutrisi sehingga berakibat pada biomassa dan kepadatan. Selanjutnya kepadatan lamun juga akan berpengaruh kembali bagi kandungan bahan organik, yaitu semakin sedikit jumlah lamun yang mati maka akan semakin sedikit terjadinya proses pelapukan mengingat bahwa pesisir Desa Bahoi ini tidak memiliki masukan dari.

(35)

23

kemudian tertahan di kawasan mangrove, dan terbawa kembali ke laut dengan konsentrasi yang lebih sedikit. Diketahui bahwa mangrove dan lamun merupakan tumbuhan yang dapat menghasilkan serasah, dimana serasah dapat terdekomposisi yang pada akhirnya menghasilkan bahan organik untuk digunakan sebagai nutrisi bagi pertumbuhan. Menurut Ekka et al. (2006) bahwa masukan fosfor dari sumber titik tertentu (point source) tertentu akan mempengaruhi konsentrasi P di perairan.

Pada seluruh stasiun kandungan N lebih tinggi dibandingkan P, kondisi ini terkait dengan sumber masing-masing bahan organik. Bahan organik N lebih banyak berasal dari proses mineralisasi yang terjadi, sedangkan sumber P sendiri di laut adalah berasal dari endapan teresterial yang mengalami erosi ataupun pupuk pertanian yang terbawa oleh aliran sungai, selanjutnya jumlah P di alam jumlahnya tidak banyak dan P tidak memiliki kemampuan berdifusi ke dalam air. Jumlah P yang sedikit pada Pesisir Desa Bahoi dibandingkan dengan jumlah N sangat wajar mengingat pesisir Desa Bahoi tidak memiliki sungai yang merupakan sumber utama P.

Gambar 7 Kandungan N dan P total pada substrat

Kandungan C-organik pada lamun

Tingginya jumlah CO2 yang terdapat pada atmosfer memicu terjadinya

pemanasan global yaitu kondisi meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat gas rumah kaca yang terakumulasi. Bukti lain bahwa terjadinya peningkatan jumlah CO2 adalah terjadinya asidifikasi di laut yaitu pengasaman air

laut, CO2 akan bereaksi dengan air yang kemudian akan mengakibatkan

meningkatnya jumlah H+. Sebagai salah satu vegetasi pesisir yang memiliki kemampuan dalam menyerap C, maka dengan mengetahui kandungan C-org yang yang terdapat pada lamun menjadi salah satu informasi penting. Kandungan total C-org (%) pada masing-masing stasiun dan jenis akan berbeda-beda. Perbedaan kandungan C-org pada lamun dipengaruhi faktor internal lamun. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk mengetahui kandungan C-org pada lamun dapat dilakukan dengan pendekatan biomassa yang kemudian dilakukan analisa laboratorium menggunakan metode spektrofotometrik.

(36)

Pada stasiun A kandungan C-org rata-rata mencapai 25.74% lebih tinggi dibandingkan stasiun B 22.41% dan C 14.46% (Lampiran 15). Tingginya kandungan C-org pada lamun yang terdapat pada stasiun A dipengaruhi hutan mangrove yang terletak dekat dengan stasiun A. Sebagaimana yang diungkapkan dalam Gonneea et al. (2004) bahwa tingkat terbenamnya karbon organik lebih tinggi terdapat di pinggiran laguna, dimana vegetasi mangrove yang mendominasi. Selanjutnya jika diperhatikan, penyumbang C-org tertinggi pada stasiun A adalah jenis C. rotundata 36.05% selanjutnya E. acoroides 31.09%, H. uninervis 28.23%, T. hemprichii 25.05%, S. isoetifolium 22.79%, H. ovalis 11.24% (Lampiran 15), total dari kandungan rata-rata C-org pada stasiun A adalah 25.74% dan secara umum kandungan C-org rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun A (Gambar 8).

Jenis C. rotundata kembali menjadi penyumbang terbesar kandungan C-org pada stasiun B, yaitu mencapai 32.57%. Kandungan C-org rata-rata secara keseluruhan pada stasiun B tidak berbanding lurus dengan biomassa maupun kepadatan rata-rata. Kepadatan dan biomassa rata-rata stasiun B merupakan stasiun dengan nilai tertinggi. Diduga adanya faktor lain yang mempengaruhi kandungan C-org. Masing-masing jenis lamun memiliki kandungan C-org yang berbeda-beda. seperti pada jenis T. hemprichii kandungan C-org rata-rata semakin menurun ke arah laut, berbeda halnya pada jenis E. acoroides secara berurutan pada stasiun A, C dan B. Sedangkan pada jenis lamun S. isoetifolium kandungan C-org rata-rata tertinggi pada stasiun A. Jenis H. ovalis memiliki kandungan C-org tertinggi pada stasiun C, A yang pada stasiun B menjadi stasiun kandungan C-org dengan rata-rata terendah (Gambar 9). Jenis lamun yang konsisten mengalami penurunan kandungan C-org adalah jenis T. hemprichii dimana kandungan C-org semakin menurun ke arah laut.

Gambar 8 Kandungan C-org (%) rata-rata pada tiga stasiun

(37)

25

E. acoroides dengan 29.13% dan yang terkecil adalah H. ovalis dengan 11.56%. Berdasarkan kondisi ini, terlihat bahwa antara kepadatan, biomassa dan kandungan C-org tidak berbanding lurus yang kemudian harus dilakukan penelaahan satu per satu per jenis lamun. Oleh karena kepadatan tidak dapat mencerminkan biomassa, biomassa tidak dapat mencerminkan kandungan C-org dan sebaliknya. Perbedaan kandungan C-org masing-masing jenis lamun terhadap stasiun menunjukkan perbedaan tidak nyata berdasarkan perhitungan anova satu arah dengan p> 0.05.

(38)

Hasil analisis bahan organik pada substrat ditemukan bahwa pada stasiun A memiliki kandungan N dan P tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lain, hal ini diduga sebagai salah faktor tingginya kandungan C-org pada lamun yang terdapat pada stasiun A. Pada habitat mangrove, ditemukan kandungan C-org rata-rata yang tinggi pada lamun. Sebaliknya pada stasiun B yang merupakan stasiun habitat lamun sendiri memiliki kandungan C-org terbesar kedua setelah stasiun A. Berdasarkan jenis lamun, kandungan C-org terbanyak disumbangkan oleh jenis E. acoroides diikuti oleh jenis T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. uninervis serta H. ovalis. Kandungan C-org akan berbeda-beda berdasarkan jenis dan komposisi jenis pada masing-masing stasiun. Sedangkan perbedaan kandungan C-org pada masing-masing jenis lamun diduga disebabkan faktor internal yaitu meliputi fisiologi dan metabolisme. Hal ini terlihat jelas pada jenis S. isoetifolium dan H. ovalis yang kandungan C-org kembali meningkat pada stasiun C, yang mana telah diketahui bahwa stasiun C jika dikaitkan dengan kandungan bahan organik memiliki kandungan bahan organik yang paling kecil dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya.

Hubungan kandungan C-organik dengan Jenis Lamun dan Habitat

Perbedaan karakteristik masing-masing habitat akan menimbulkan perbedaan siklus yang terjadi dalam habitat serta faktor-faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Masing-masing jenis lamun menunjukkan kondisi yang berbeda-beda pada habitat mangrove, lamun dan terumbu karang, melalui kepadatan, biomassa dan kandungan C-org pada lamun. Kandungan C-org pada lamun dipengaruhi oleh beberapa faktor diluar keberadaan lamun itu sendiri. Selain keragaman jenis lamun, habitat juga mempengaruhi kemampuan penyimpanan karbon (Lavery et al. 2013).

Habitat mangrove dengan tipe susbtrat pasir dengan ukuran diameter yang lebih besar ditumbuhi dengan enam jenis lamun yang saling berasosiai serta kepadatan yang didominasi jenis T. hemprichii yang memiliki kandungan C-org tertinggi oleh jenis C. rotundata tentu memiliki perbedaan dengan habitat lamun dan terumbu karang dalam hal komposisi jenis, kepadatan, biomassa dan kandungan C-org pada lamun serta ukuran substrat, kondisi perairan dan unsur hara. Hal ini sebagai respon terhadap perbedaan habitat dimana lamun hidup dan tumbuh. Seperti diketahui bahwa habitat lamun memiliki kepadatan dan biomassa keseluruhan tertinggi, hal ini dimungkinkan kondisi lingkungan yang nyaman dan cocok bagi lamun dalam melakukan siklus kehidupannya, selanjutnya posisi habitat lamun yang terletak diantara habitat mangrove dan terumbu karang membuat habitat ini sangat terlindungi serta memiliki kesempatan mendapatkan nutrisi yang berasal dari mangrove maupun dari laut lepas.

(39)

27

menancapkan diri dengan kokoh dan dapat menyerap bahan organik dengan baik. Analisis komponen utama menerangkan bahwa komponen utama pertama mewakili seluruh variasi yang ada sebesar 57% dan komponen utama kedua mewakili seluruh variasi yang ada sebesar 43% (Lampiran 16). Stasiun A dicirikan dengan biomassa dan kandungan C-org jenis T. hemprichii, kepadatan jenis E. acoroides, diameter substrat serta kandungan P pada substrat. Pada stasiun B dicirikan dengan kepadatan dan biomassa H. ovalis, kepadatan dan biomassa S. isoetifolium, kepadatan dan biomassa jenis C. rotundata. Sehingga pada stasiun B terlihat bahwa kepadatan dan biomassa memiliki hubungan yang dekat berdasarkan jarak garis euclidiean (Gambar 10) yang kemudian dapat dikatakan bahwa kepadatan dapat mencirikan biomassa ketiga jenis lamun tersebut. Terlihat juga bahwa kepadatan dan biomassa jenis lamun H. ovalis, S. isoetifolium, C. rotundata tidak mencerminkan kandungan C-org masing-masing jenis. Pencirian parameter terhadap maisng-masing stasiun tidak dipengaruhi dari tinggi tidaknya atau banyak tidaknya nilai suatu parameter, namun dipengaruhi oleh konsisten nilai-nilai dari parameter yang diuji. Stasiun C tidak dicirkan oleh kepadatan dan biomassa bahkan kandungan C-org jenis lamun tertentu (Gambar 10).

Gambar 10 Biplot kandungan C-org, kepadatan (D), Biomassa (B), N dan P pada substrat, diameter substrat pada masing-masing stasiun. A : stasiun habitat Mangrove, B : stasiun habitat lamun, C : stasiun habitat terumbu karang. Jenis lamun Ea : E. acoroides, Th : T. hemprichii,

Cr : C. rotundata, Si : S. isoetifolium, Ho : H. ovalis, Hu : H. uninervis.

(40)

stabil. Terkait dengan kekuatan akar mereka untuk menancap pada substrat. Sehingga pada penelitian ini jenis lamun berukuran kecil dapat hidup dengan baik pada substrat pasir, hanya saja yang menjadi penghalang keberadaannya di pesisir Desa Bahoi adalah nutrisi substrat dan persaingan ruang. Persaingan ruang dan nutrisi merupakan persaingan yang alami terjadi pada seluruh makhluk hidup untuk dapat mempertahankan kehidupannya. Oleh karena itu seringkali makhluk hidup melakukan strategi-strategi dalam menghadapi setiap kondisi lingkungan yang berubah-rubah. Selain strategi ada banyak faktor yang mempengaruhi dari keberadaan masing-masing jenis lamun, seperti faktor internal yang meiputi fisiologi dan metabolisme dan faktor eksternal termasuk di dalamnya zat hara, serta tingkat kesuburan substrat.

4 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kandungan C-org pada habitat lamun yang dekat dengan mangrove (stasiun A) dan pada habitat lamun (stasiun B) tertinggi oleh jenis C. rotundata dan pada habitat dekat terumbu karang (stasiun C) kandungan C-org tertinggi oleh jenis E. acoroides. Secara keseluruhan berdasarkan habitat, maka habitat dekat mangrove merupakan habitat dengan kandungan C-org tertinggi. Berdasarkan hasil analisis komponen utama pencirian parameter pada masing-masing stasiun tidak berdasarkan kuantitas melainkan konsistennya suatu parameter, kepadatan lamun dicirikan oleh kandungan C-org hanya terdapat pada jenis T. hemprichii pada habitat lamun dekat mangrove.

Saran

Kondisi pesisir Desa Bahoi dapat ditentukan dengan menggunakan banyaknya jenis lamun yang tumbuh. Untuk dapat memanfaatkan kawasan pesisir, maka perlu dilakukan pengkajian lebih dalam untuk menentukan jenis pemanfaatan yang baik dan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem yang telah ada sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdi H, Williams LJ. 2010. Principal Component Analysis. Wiley Interdisciplinary Reviews : Computational Statistics 2: 47.

Al-Bader DA, Shuail DA, Al-Hasan R, Suleman P. 2014. Intertidal seagrass Halodule uninervis : Factor controlling its density, biomass and shoot length. Kuwait Journal Science (41): 171-192.

Anderson W.T. and Fourquren J.W. 2003. Intra-and Interannual Varoability in Seagrass Carbon and Nitrogen Stable Isotopes from South Florida, a Preliminary Study. Organic Geochemistry 34: 185-194.

(41)

29

Athiperumalsami T, Kumar V, Jesudass LL. 2008. Survey and Phytochemical Analysis of Seagrass in the Gulf of Mannar, Southeast Coast of India. Botanica Marina 51: 269-277.

Azkab MH. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana 24 (1) :1-16.

Barbier EB, Hacker SD, Kennedy C, Koch EW, Stier AC, Silliman BR. 2011. The Value ofSetuarine and Coastal Ecosystem Services. Ecological Monographs 81(2): 169-19.

Barrón Cristina, Duaerte Carlos M., Frankignoulie Michel, Borges Alberto Vieira. 2006. Organis Carbon Metabolism and Carbonate Dynamics in a Mediterannean Seagrass (Posidonia oceanica) Meadow. Estuaries and Coast 29 (3): 417-426.

Benstead JP, March JG, Fry B, Ewel KC, Pringle CM. 2006. Testing Isosource : Stable Isotop Analysis of a Tropical Fishery with Diverse Organic Matter Sources. Ecilogical Society of America. Ecology 87(2): 326-333.

Björk M, Short F, Mcleod E, Beer S. 2008. Managing Seagrass for Resilience to Climate Change. IUCN. Switzerland.

Borum J, Duarte CM, Krause D, Jensen, Greve TM. 2004. Europan Seagrass: an intoduction to monitoring and managemen. Monitoring and Managing of European Seagrasses (M&MS).1-95.

Brower JE, Zar NJ. 1977. Field and Laboratory Method for General Ecology. Dubuque, Iowa (US): Wm.C Brown Publ.

Collier CJ, Waycott M. 2014. Temperature extremes reduce segrass growth and induce mortality. Marine Pollution Bulletin 83: 483-490.

Datta D, Chattopadhyay RN, Guha P. 2012. Community based mangrove management : A review on status and sustainability. Journal of Environmental Management (107): 84-95

Ekka SA, Haggard BE, Matlock MD, Chaubey I. 2006. Dissolved Phosphorus Concentrations and Sediment Interactions in Effluent-Dominated Ozark Streams. Ecological Engineering (26) : 375-391.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Yogyakarta (ID). Kanisius.

Ferdi M, Fourqurean JW. 2004. Responses of Seagrass Communities to Fertilization Along a Gradient of Relative Availability of Nitrogen and Phosphorus in a Carbonate Environment. Limnology Oceanography 49(6): 2082-2094.

Fourqurean JW, Duarte CM, Kennedy H, Marbá N, Holmer M, Matoe MA, Apostolaki E, Kendrick GA, Jensen-Dorte K, McGlathery KJ, Serrano O. 2012. Seagrass Ecosystems as a Globally Significant Carbon Stock. Nature Geoscience. 1-5.

Fyfe SK. 2003. Spatial and Temporal Variation in Spectral Reflectance: Are Seagrass Species Spectrally Distinct. Limnologi Oceanogy 48(I part 2): 464-479.

Ghufron MH, Kordi K. 2011. Ekosistem lamun (Seagrass). Rineka Cipta. Indonesia (ID).

Gambar

Gambar 1 Skema pendekatan masalah hubungan kandungan C-organik pada
Gambar 2 Peta lokasi penelitian Desa Bahoi
Tabel 1 Bahan dan Alat
Tabel 2  Klasifikasi substrat (Wenworth 1922)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sektor, Kemenkeu dan K/L Cetak dan Upload Surat Pengantar dan Rekapitulasi Usulan Konfirmasi Hasil Penilaian Usulan Kegiatan DAK oleh Daerah Pengusul Exercise Pagu Indikatif Per

menunjukkan nilai signifikansi kadar fenolik total sebesar p&lt;0,05 sehingga perbedaan metode ekstraksi berpengaruh signifikan terhadap kadar total fenolik ekstrak

Flora dan Fauna dan musim di Indonesia Guru membagi kelas menjadi dua kelompok besar “sayap kiri dan sayap kanan” dalam setiap kelompok besar dibentuk kembali kelompok kecil

[r]

Neoplasma rongga mulut merupakan keganasan yang jarang ditemukan di negara Barat, namun cukup banyak ditemukan di Asia.. Di USA, angka insidensinya berkisar antara 3-4%

 Guru bersama dengan peserta didik membuat simpulan kegiatan Guru bersama dengan peserta didik membuat simpulan

Rata-rata karyawan memiliki skor dimensi Big Five Personality (extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience) yang berada pada kategori

Gambar 11 : Subordinate Pass Proses 2 Semua tahap tersebut dari melakukan level dekomposisi DWT untuk transformasi citranya yang berguna menampilkan nilai citra