PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL BERFUNGSI POSITIF DAN BERFUNGSI NEGATIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
PUTRA ANANTA SILALAHI 090200372
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL BERFUNGSI POSITIF DAN BERFUNGSI NEGATIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
PUTRA ANANTA SILALAHI 090200372
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
DR. M.Hamdan, SH., MH NIP: 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum Nurmalawaty, S.H., M.Hum
2013
NIP.195102061980021001 NIP.196209071988112001
FAKULTAS HUKUM
ABSTRAKSI Putra Ananta Silalahi *
Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum ** Nurmalawaty, SH, M.Hum ***
Skripsi ini berbicara mengenai perbuatan melawan hukum materil berfungsi positif dan berfungsi negatif dalam tindak pidana korupsi. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan suatu landasan yang kuat dan jelas bagi para penegak hukum dalam menjalankan penegakan hukum agar terjadi keselarasan dalam penafsiran suatu ketentuan hukum demi tercapainya efektifitas dalam pencegahan dan pemberantasan tindak korupsi tersebut. Dari uraian diatas maka yang jadi permasalahan adalah tentang penafsiran mengenai perbuatan melawan hukum dalam hal ini dikaji dari perbuatan melawan hukum dalam artian materil baik yang berfungsi positif maupun yang berfungsi negatif khususnya dalam tindak pidana korupsi.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hokum normatif. Penelitian hokum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diproleh dari berbagai literarur dan berbagai peraturan perundang-undangan serta putusan-putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan skripsi ini.
Tindak pidana korupsi diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak pidana korupsi. Kemudian permasalahan utama yang dibahas adalah mengenai penafsiran “perbuatan melawan hukum’ yang terdapat di dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) yang oleh Mahkamah Konstitusi telah diputuskan bahwa penjelasan pasal tersebut yang berkaitan dengan dengan unsur perbuatan melawan hukum materil bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mampunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun demikian Mahkamah agung masih tetap menjalankan penafsiran makna perbuatan melawan hukum materil tersebut dalam putusan-putusannya dengan berpegangan pada independensi yang diberikan UU kepada Hakim untuk menemukan hukum baru yang diterapkan dalam hukum konkrit (law in concreto). Sehingga hal ini tentu saja menimbulkan suatu permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.
* Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan
berkat dan rahmat-Nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan
untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah
sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif
dan Berfungsi Negatif dalam Tindak Pidana Korupsi”
Pada penyajiannya, penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dan
kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan ilmiah yang dimiliki
oleh penulis. Oleh sebab itulah penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk kesempurnaan dari karya ilmiah ini.
Mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah
mendapatkan banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak banyaknya
kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut :
1. Kepada Kedua orangtuaku, Ibuku Rosnita Marbun, Bapakku, Anwar
Silalahi, S.IP karena atas dorongan mereka penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua penulis dalam
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga penulis sampai
kepada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.
2. Kepada saudara-saudaraku Bambang Azis Silalahi, S.Sos, Rasidin Roby
Silalahi, dan kakak iparku Astri Pratiwi, Amd. Yang telah turut serta
memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan saya
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Kepada Mochilla Shakina yang selalu mendampingi dan memberi
motivasi kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tulisan ini.
4. Kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bapak Prof.
Dr. Runtung, SH, M. Hum, beserta seluruh staf-stafnya.
5. Kepada Bapak Dosen Pembimbing I Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H.,
M.Hum dan Ibu Dosen Pembimbing II Nurmalawaty, SH, M.Humpenulis
berterimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan, ilmu-ilmu yang
selama ini diberikan kepada penulis yang penulis yakin akan berguna di
dalam menjalankan kehidupan sekarang, esok dan seterusnya.
6. Kepada Bapak Dr. M. Hamdan SH. M. H. selaku Ketua Departemen
Hukum Pidana dan Ibu Liza Erwina SH. M. Hum selaku Sekretaris
Departemen Hukum Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi
penulis untuk membuat skripsi ini.
7. Kepada seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan
8. Kepada Sahabat sekaligus teman dekat penulis yang sudah penulis anggap
sebagai saudara sendiri yaitu teman-teman kemudian teman-teman AAYD,
Mario Tondi Natio Simamora, Enriko Abianto Lumban Tobing, Tommy
Elvani Siregar, Agung Setiadi, Timbul Tua Marojahan, Awlia Sofwan
Lubis, Adri Hariadi, Iswanda Abdul Illah Situmorang dan Irvan Deriza,
kemudian teman-teman GG, Lailan Hafni Harahap, Sophie Khanda Aulia
Brahmana, Sella Sartika, Seviola Islaini, Sitiara Manik, Meilisa Bangun,
Carina Etta Siahaan, Pasca Putri Q Purba, Erika, Yuthi Sinari, Jennifer dan
Vilany Lafiza, karena atas bantuan motivasi dan dorongan yang telah
kalian berikan maka penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
9. Kepada teman-teman mahasiswa baik teman satu angkatan dan junior
seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya serta
senior yang telah banyak memberikan arahan-arahan serta semangat
kepada saya.
10.Kepada semua orang yang berkecimpung di dunia hukum, khususnya para
ahli hukum dan para penulis di bidang hukum maupun praktisi hukum
yang hasil pemikirannya ataupun karya-karyanya digunakan penulis di
dalam penulisan skripsi ini sehingga telah sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan tulisan ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan KaruniaNya
kepada kita semua yang telah disebutkan diatas maupun pihak-pihak yang tidak
disebutkan di atas. Saya menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk
diajukan yang mana kritik tersebut akan membuat saya menjadi lebih baik,
semoga penulisan ini dapat bermanfaat baik buat penulis dan menjadi ilmu yang
berguna bagi masyarakat.
Medan, Maret 2013
DAFTAR ISI
Abstraksi ... i
Kata Pengantar ……….….. ii
Daftar Isi ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan ………... 1
B. Perumusan Masalah………... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………....…… 8
D. Keaslian Penulisan ……….……….…… 9
E. Tinjauan Kepustakaan ………... 9
1. Pengertian dan Ruang Lingkup perbuatan Pidana ……….…. 9
2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi …... 22
F. Metode Penelitian ………... 25
G. Sistematika Penulisan ………... 27
BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA A. Sejarah Perbuatan Melawan Hukum ………..… 30
B. Jenis – Jenis Sifat atau Perbuatan Melawan Hukum ……... 36
C. Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana ... 39
BAB III PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL YANG BERFUNGSI POSITIF MAUPUN BERFUNGSI NEGATIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 44
BAB IV PANDANGAN DAN ALASAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PENGAMBILAN PUTUSAN PADA BEBERAPA KASUS YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM INDAK PIDANA KORUPSI
A. Kasus I : Putusan Mahkamah Agung Yang Menerapkan Pandangan Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Positif Dalam Tindak Pidana Korupsi (Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2608/K/Pid/2006) ... 63
B. Kasus II : Putusan Mahkamah Agung Yang Menerapkan Pandangan Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi (Putusan Mahkamah Agung Nomor: 97K/Kr/1973) ... 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 94
ABSTRAKSI Putra Ananta Silalahi *
Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum ** Nurmalawaty, SH, M.Hum ***
Skripsi ini berbicara mengenai perbuatan melawan hukum materil berfungsi positif dan berfungsi negatif dalam tindak pidana korupsi. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan suatu landasan yang kuat dan jelas bagi para penegak hukum dalam menjalankan penegakan hukum agar terjadi keselarasan dalam penafsiran suatu ketentuan hukum demi tercapainya efektifitas dalam pencegahan dan pemberantasan tindak korupsi tersebut. Dari uraian diatas maka yang jadi permasalahan adalah tentang penafsiran mengenai perbuatan melawan hukum dalam hal ini dikaji dari perbuatan melawan hukum dalam artian materil baik yang berfungsi positif maupun yang berfungsi negatif khususnya dalam tindak pidana korupsi.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hokum normatif. Penelitian hokum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diproleh dari berbagai literarur dan berbagai peraturan perundang-undangan serta putusan-putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan skripsi ini.
Tindak pidana korupsi diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak pidana korupsi. Kemudian permasalahan utama yang dibahas adalah mengenai penafsiran “perbuatan melawan hukum’ yang terdapat di dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) yang oleh Mahkamah Konstitusi telah diputuskan bahwa penjelasan pasal tersebut yang berkaitan dengan dengan unsur perbuatan melawan hukum materil bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mampunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun demikian Mahkamah agung masih tetap menjalankan penafsiran makna perbuatan melawan hukum materil tersebut dalam putusan-putusannya dengan berpegangan pada independensi yang diberikan UU kepada Hakim untuk menemukan hukum baru yang diterapkan dalam hukum konkrit (law in concreto). Sehingga hal ini tentu saja menimbulkan suatu permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.
* Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
BAB 1 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Tindak pidana korupsi merupakan topik paling populer dan paling sering
di soroti dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia, karena dampak dari
perbuatan korupsi tesebut menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia,
oleh karena itu penanganan masalah korupsi harus lebih di optimalkan lagi demi
menekan tingkat korupsi di Indonesia.
Seiring berkembangnya zaman, modus operandi yang digunakan para
koruptor untuk merampok uang rakyat juga terus berkembang, sehingga untuk
mengatasi masalah tersebut hukum yang ada di Indonesia juga harus terus
berusaha menemukan formulasi terbaiknya guna dapat menjerat para koruptor
tersebut agar para koruptor tidak lagi bisa berkelit dengan menggunakan
kelemahan yang ada di dalam sistem hukum negara ini, dan juga agar tidak ada
lagi orang yang dihukum meskipun sebenarnya orang tersebut tidak layak untuk
dihukum dikarenakan ketidakjelasan yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, sebab seperti yang kita ketahui ada sebuah ungkapan di
dalam dunia peradilan bahwa ”lebih baik membebaskan 1000 orang yang salah
dari pada menghukum satu orang yg tidak bersalah.”
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
dengan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka 8:1
Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu
yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara
dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya
kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC), 2003)
” Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung yang diatur dalam undang-undang.”
2
1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
2
dikutip dari: Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006, hal. 1
mendiskripsikan masalah
korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan
masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai
demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan
maupun penegakan hukum. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah
diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, menimbulkan
implikasi karakteristik dan substansi gabungan dua system hukum yaitu “Civil
Law” dan “Common Law”, sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif
yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia. Romli Atmasasmita
nampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit
enrichment) dimana ketentuan Pasal 20 (United Nations Convention Against
Coruuption (UNCAC) 2003 menentukan, bahwa: ...each State Party shall
consider adopting... to establish as a criminal offence, when committed
intentionally, illicit enrichment, that is, a significan increase in the assets of a
public official that he or she cannot reasonably explain in relatlon to his or her
lawful income".3
a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program
pemerintah ("can destroy the potential effectiveeness of all types of
govermental programmes")
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan
salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat
kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres PBB ke-8
mengenai "Prevention of Crime and Treatment of Offenders" yang mengesahkan
resolusi "Corruption in Goverment" di Havana tahun 1990 merumuskan tentang
akibat korupsi, berupa:
1. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official):
b. Dapat menghambat pembangunan ("hinder development").
c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat ("victimize
individuals and groups").
2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi,
3
kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram.4
Asumsi konteks tersebut di atas dapat ditarik suatu konklusi dasar tindak
pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multi
dimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis,
budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya.5 Oleh karena itu, tindak
pidana korupsi bukan saja dapat dilihat dari perspektif hukum pidana, melainkan
dapat dilihat dari dimensi lain, misalnya perspektif legal policy (law making
policy dan law enforcement policy), Hak Asasi Manusia (HAM) maupun Hukum
Administrasi Negara. Selintas, khusus dari perspektif Hukum Administrasi
Negara ada korelasi erat antara tindak pidana korupsi dengan produk legislasi
yang bersifat Administrative Penal Law.6
Selain dimensi tersebut dalam tindak pidana korupsi esensi krusial dalam
perkembangan teoritis dan praktik yang menimbulkan polemik dan problematika
berkepanjangan adalah anasir "perbuatan melawan hukum" baik dalam artian
4
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 69 dan vide pula: Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal.148
4
Romli Atmasasmita, Loc.Cit., hal. 1
6
formal dan materil. Khusus terhadap perbuatan melawan hukum materil baik
dalam fungsi positif dan fungsi negatif menjadi problematika tersendiri apabila
dikaji dari perspektif praktik peradilan khususnya pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Pada praktik peradilan
khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan
Mahkamah Agung RI belakangan ini ada yang tidak menerapkan perbuatan
melawan hukum materiil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak
sedikit pula yang tetap menerapkan dan menganut dimensi perbuatan melawan
hukum materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan
hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari aspek
etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa
Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum
pidana dan terminologi “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan
tetapi, pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana
tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het
recht), atau melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan
ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het
recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid). Dalam hukum pidana,
khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran
perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal (formele
wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materil (materiele
dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh
masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan
melawan hukum materil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari
pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui
arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.7
7
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 13
Pada dasarnya, pergeseran
perbuatan melawan hukum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materil
dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya,
yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta
melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian
perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materil yang meliputi
setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau
setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan,
terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan
melawan hukum materil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat
dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata.
Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka
Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan
hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan
pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi
yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan
melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum
perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi
kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh
tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari
perbuatanpelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.
Permasalahan mengenai perbedaan pandangan atau penafisiran perbuatan
melawan hukum ini sangat penting untuk dituntaskan agar terdapat suatu
pengertian yang seragam mengenai hal tersebut demi mencegah terjadinya ketidak
pastian hukum di Indonesia yang bisa menyebabkan ketidakadilan dengan
menghukum seseorang yang sebenarnya tidak layak dihukum dan membebaskan
orang yang seharusnya dihukum. Hal inilah yang ingin dikaji dan dibahas lebih
lanjut oleh penulis, dan karena hal tersebutlah maka penulis mengangkat judul
skripsi mengenai“Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”
B.Perumusan Masalah
1. Bagaimana kajian hukum perbuatan melawan hukum materil dalam hukum
pidana.
2. Bagaimana perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi positif
maupun berfungsi negatif dalam tindak pidana korupsi.
3. Bagaimana pandangan dan alasan hakim Mahkamah Agung dalam
pengambilan putusan pada beberapa kasus yang berkaitan dengan
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Suatu penulisan skripsi perlu memiliki suatu tujuan di dalam penulisan
skripsi tersebut, sehingga dapat memberikan arah dan jawaban atas permasalahan
yang ada. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengkajian hukum terhadap
pengertian perbuatan melawan hukum materil yang diterapkan dalam
fungsi positif maupun dalam fungsi yang negatif khususnya dalam tindak
pidana korupsi.
2. Untuk memahami alasan-alasan atau pandangan hakim Mahkamah Agung
dalam pengambilan putusannya yang berkaitan dengan penerapan ajaran
perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi positif dan fungsi negatif
khususnya dalam tindak pidana korupsi.
Selain itu bobot dari suatu penulisan ditentukan dari manfaaatnya. Dalam
penulisan skripsi ini penulis mengharapkan agar terwujud manfaat dan kegunaan
yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana
korupsi.
b. Agar dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada
umumnya dan khususnya dalam bidang hukum pidana dan hukum acara
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak terkait dalam
menangani masalah tindak pidana korupsi.
b. Memberikan Informasi agar dapat dilakukan penanganan apabila muncul
persoalan yang sama nantinya.
D.Keaslian Penulisan
Bahwa skripsi dengan judul “Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”
telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh siapapun
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Data yang digunakan guna
melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui
internet. Maka apabila di kemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan
yang sama sebelum tulisan ini dibuat maka penulis siap untuk
mempertanggung jawabkannya secara moral dan ilmiah.
E.Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Perbuatan Pidana
Pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.8
8Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rieneka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 54
Dapat juga dikatakan
dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan
kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang
menimbulkannya kejadian itu.
Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”.
Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai
dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari
”perbuatan” tapi “tindak “ tidak menunjukkan pada suatu yang abstrak seperti
perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya dengan
peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku,
gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu
dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak
pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu
dipakai pula kata perbuatan.
Antara larangan dan ancaman pidana ada
hubungan yang erat, oleh karena itu antara kajadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan
hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu
pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama,
adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang
menimbulkan kejadian itu.
9
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di
indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda
“strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek
atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia.
Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai
hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak
pidana.10
Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Adami Chazawi,
menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal
dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum
berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum
ada keseragaman pendapat.
11
1. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana
kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan
yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah
strafbaar feit adalah:
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, Mr. R.
Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”. Dan para ahli hukum
lainnya.
menggunakan
istilah ini.
10Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 58
11
3. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk
menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat
dijumpai di beberapa literatur, misalnya Drs. E. Utrect, S.H.
4. Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam
bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.
6.
7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam beberapa tulisan
beliau.
Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang
dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (baca pasal
3).
12
Unsur - Unsur Perbuatan Pidana yang Disepakati Oleh Para Sarjana
Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur
lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan karenanya.13
Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbutan pidana.
Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti
Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana
Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan
perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari
perbuatan pidana itu sendiri.
sejumlah tiga
sifat. Wederrechtelijk (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).14
Duet Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat
melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan
Handeling (perbuatan
manusia), Strafbaargesteld
12
Ibid., hal. 68
13
Moeljatno, Op.Cit., hal. 64
14Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1992, hal. 173
(dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld
(terjadi karena kesalahan). 15
Sementara itu, trio Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat
hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri.
Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup
rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.
16
Sehingga perbuatan
pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam
rumusan delik, Wederrechtjek
Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan diatas. Moelyatno
menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan
dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,
keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang
subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif
(melanggar hukum), dan dapat dicela.
Dari kesemua rumusan diatas dapat dilihat bahwa ada beberapa kriteria
yang satu atau dua bahkan semua sarjana menyebutkannya. Pertama, unsur
melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua,
unsur “perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali Lamintang.
Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.
15
Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 38
16
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, LIBERTY, Yogyakarta, 1995, hal. 27
17
1. Handeling
Mekipun Lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai salah
satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui
perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. (perbuatan manusia)
Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam
unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu
tindakan manusia18
Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu)
namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak berbuat).19 Juga
dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum.20
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupi
Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak
melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara
kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat
dipidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang dirumuskan
dalam Pasal 362 KUHP
18
Lamintang, Op.Cit., hal. 183
19
Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 39
20
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op.Cit., hal. 28
21
Terlihat dari Pasal tersebut, seorang dapat diancam karena pencurian
disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang disebut sebagai een
doen
Seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi
sehingga anak itu meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan
pembunuhan dari Pasal 338 KUHP. (melakukan sesuatu).
22
ibu tersebut tidak diancam karena
pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal
sebagai een nalaten atau
niet doen.
Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat dipidana dikarenakan ia
memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal tersebut berdasar pada Pasal 298
KUHPdt. Masalah ini haruslah di jelaskan demi membatasi cakupan subjek
perbuatan pidana.
Kalau seorang anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan
bahwa semua orang yang tidak mencegah kelaparannya, merampas nyawa anak
itu. Dengan demikian lingkungan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat dipidana
hanya tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang.23
2. Wederrechtjek
Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang
berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama. (melanggar hukum)
24
Maka haruslah dijelaskan
ke-empat-nya.
22
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 61 23
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op.Cit., hal. 33
24
a. Sifat melawan hukum formal
Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam
undang-undang telah terpenuhi. Seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka
rumusannya adalah
1. Mengambil barang orang lain
2. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum
b. Sifat melawan hukum materil
Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan
hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang hendak
dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan “kepentingan hukum”.25
c. Sifat melawan hukum umum
Seperti dipidananya pembunuhan itu demi melindungi kepentingan
hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana karena melindungi
kepentingan hukum yaitu kepemilikan.
Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia
lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan
hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.
d. Sifat melawan hukum khusus
Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis
terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian “...dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum..”. Meskipun pada rumusan perbuatan
25
pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernyataan tersebut. Dicontohkan dengan
Pasal 338 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Seperti yang terlihat dari rumusan pencurian, sifat perbuatan pengambilan
saja tidaklah cukup untuk menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri
bila memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila
seorang mahasiswa mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti
bahwa dia berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat
izin dari si pemilik atau tidak.
Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya
terbagi menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang objektif yaitu
menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.26
(1)
Hal ini
digambarkan pada Pasal 164 ayat 1 KUHP
Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari
si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas “dan atas permintaan Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan
tertutup yang dipakai orang lain dengan me-lawan hukum atau berada di situ
dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak
pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
26
yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Maka ia melanggar
atau melawan hukum yang objektif.
Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau
pelanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang
mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan
hukum.
Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana diatas. Masih
ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana, berikut
pembahasan beberapa unsur-unsur atau rumusan-rumusan tersebut.
1. Schuld
Unsur-unsur perbuatan pidana yang tidak disepakati oleh para sarjana
Tidak mengetahui atau tidak memahami akan adanya perundang-undangan
bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau bahkan bukan pula alasan
untuk memperingan hukuman. (kesalahan)
27
Dengan berdasarkan asas tersebut, maka seorang dinilai berbuat kesalahan
ketika melanggar hukum. Sedangkan secara mendasar dalam kesalahan ada dua
pembagian, yaitu Pertama,
Asas “setiap orang dianggap tahu isi
undang-undang” menekankan pentingnya mengetahui hukum. Sehingga seseorang tidak
dengan mudah mengelak dari pelanggaran hukum dengan alasan tidak paham
hukum.
opzet (kesengajaan) dan kedua, Culpa (kurang
berhati-hati atau kelalaian).28
27
Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 50
28
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 65
Cansil-Christine membagi kesalahan kedalam empat kategori. Pertama,
Doluis (kesengajaan) yang sama artinya dengan opzet. Kedua, Culpa (alpa, lalai).
Ketiga, dolus generalis
a.
(kesengajaan tak tentu). Keempat, Aberratio Ictus (salah
kena). Berikut paparannya satu persatu secara singkat.
Seperti dikemukakan diatas, Dolus
dolus memiliki arti yang sama dengan opzet
yaitu kesengajaan. Perlu diketahui bahwa kitab undang-undang hukum pidana
tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan kesengajaan.29
Dalam hal ini pasangan cansil merumuskan bahwa kesengajaan
merupakan suatu niat atau i’tikad diwarnai sifat melawan hukum, kemudian
dimanifestasikan dalam sikap tindak.
30
Biasanya diajarkan bahwa kesengajaan itu tiga macam. Pertama,
kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu. Kedua,
kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan keinsyafan suatu
akibat pasti akan terjadi. Ketiga, kesengajaan disertai dengan keinsyafan akan
adanya kemungkinan.
atau ketidaksengajaan ialah berarti kesalahan pada umumnya.32
29
Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 51
30
Ibid., hal. 52
31
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 66
32
Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 54
Maka seorang hakim tidak bisa mengukur ketidaksengajaan atau kelalaian
berdasar pada dirinya sendiri, melainkan melihat bagaimana hal umumnya pada
Ketidaksengajaan dibedakan antara ketidaksengajaan yang disadari dan
yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari bermakna menimbulkan delik atau
perbuatan pidana secara sadar dan telah berusaha untuk menghalangi, akan tetapi
terjadi juga. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari bermakna orang melakukan
suatu delik tanpa membayangkan akibat yang terjadi atau tidak mengetahuinya.
c. Dolus generalis
Hal yang mebedakan antara dolus generalis dan dolus atau opzet ialah dari
tujuannya. Bila dolus dan opzet memiliki satu tujuan yang pasti, maka dolus
generalis tak memiliki tujuan yang pasti.
Digambarkan dengan seseorang yang meracuni pusat air minum dengan
maksud agar semua orang yang meminum air tersebut akan terbunuh. Tidak
melihat siapa yang terbunuh.
d. Aberratio Ictus
Seperti makna katanya, salah kena berarti akibat tidak sesuai dengan
tujuan. Contoh sederhana seseorang yang akan menembak burung meleset dan
mengenai manusia.
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Van hamel membagi hal ihwal ini menjadi dua.33
“Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja
mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta
Pertama, mengenai diri
orang yang melakukan perbuatan. Dicontohkan dengan pasal 413 KUHP
mengenai kejahatan jabatan.
33
oleh penguasa sipil yang berwenang menurut undang-undang, diancam dengan
pidana penjara lama empat tahun.”
Dalam kejahatan ini haruslah ada unsur jabatan, sehingga tanpa adanya
unsur ini maka tidak mungkin terjadi kejahatan tersebut.
Kedua, mengenai di luar diri si pelaku. Seperti pasal 160 KUHP terkait
penghasutan.
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya
melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum
atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan
yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana
penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.”
Kejahatan tersebut memiliki unsur di muka umum. Maka tanpa adanya
unsur ini kejahatan tersebut tak bisa dikatakan terjadi.
2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Pengertian masyarakat umum terhadap kata “korupsi” adalah berkenaan
dengan “keuangan negara” yang dimiliki secara tidak sah (haram).34
34
Leden, Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 149
Korupsi
berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Ada
pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah “korupsi” yang berasal dari kata
corrupteia yang dalam bahasa Latin berarti bribery atau seduction maka yang
diartikan dengan corrupto dalam bahasa Latin ialah corrupter atau seducer.
tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara seduction berarti sesuatu
yang menarik agar seseorang menyeleweng.35
Muhammad Ali dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia memberikan
pengertian korupsi sebagai berikut:
36
a. Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).
b. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya).
c. Koruptor (orang yang korupsi).
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud
curruptie adalah korupsi yaitu perbuatan curang berupa tindak pidana yang
merugikan keuangan negara.37
Mengenai Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Husein Alatas dalam
bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut :
Korupsi sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan
perkembangan bangsa Indonesia, jika dibiarkan begitu saja maka korupsi akan
merajalela dan akan menjadi hal biasa dalam perbuatan hidup masyarakat. Ini
akan menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk membangun bangsa
Indonesia yang lebih makmur dan jujur.
38
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup
35
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 9
36
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modren, Pustaka Amani Ardianto Elvinaro, Jakarta, 2004, hal.135
37
R. Subekti, Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT.Pradinya Paramita, Jakarta, 2005, hal. 275
38
sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian
penggelapan (fraud).
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka
yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan
perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga
kerahasiaannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Menurut Baharuddin Lopa, dalam bukunya yang berjudul
Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, korupsi menurut sifatnya,
terbagi dalam 2 bentuk, yakni :39
a. Korupsi yang bersifat motif terselubung, yakni korupsi yang sepintas
kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya
bermotif mendapatkan uang semata.
39
b. Korupsi yang bermotif ganda, yakni seseorang yang melakukan korupsi
secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi
sesungguhnya bermoif lain, yakni untuk motif politik.
Mengenai Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi diatur dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
b. Perbuatan melawan hukum;
c. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
d. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya
karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat
dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan
pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan
2. Data dan Sumber data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data
sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi
bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun
arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan
hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang paling
utama digunakan dalam penelitian ini adalah :
1)Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
2)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi;
3)Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami
bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka
lainnya yang berkaitan dengan penelitian dan putusan pengadilan.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman
dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
Kamus Hukum.
3. Metode pengumpulan data
Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan
mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan
ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah putusan pengadilan
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif. Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk
mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis
data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan
mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori
yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk
menentukan hasil.
A.Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar
dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan
pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari
empat bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi
BAB I Pendahuluan
Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai, latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian
penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Hukum Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana
Bab ini menguraikan perkembangan penafsiran perbuatan melawan
hukum dari waktu ke waktu, jenis-jenis perbuatan melawan
hukum, dan perbuatan melawan hukum materil dalam hukum
pidana.
BAB III Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Positif Maupun Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidan Korupsi
Bab ini menjelaskan mengenai perbuatan melawan hukum materil
yang diterapkan dalam tindak pidana korupsi baik penerapan
melawan hukum materil yang berfungsi positif maupun penerapan
perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi negatif.
BAB IV Pandangan Dan Alasan Hakim Mahkamah Agung Dalam Pengambilan Putusan Pada Beberapa Kasus Yang Berkaitan Dengan Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Tindak Pidana Korupsi
Bab ini mengemukakan apa yang menjadi pertimbangan,
pandangan dan alasan hakim di mahkamah agung dalam beberapa
dengan menggunakan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi
positif maupun dalam fungsi negatif dalam kasus tindak pidana
korupsi.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini
berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek
BAB II
KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA
A.Sejarah Perbuatan Melawan Hukum
Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum
Romawi, yaitu teori tentang culpa dari LexAquilla, kemudian terjadi proses
generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan
hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catchall), berupa
perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan
orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan
kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil
dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke
Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam Pasal 1365
KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari
KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak
mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum
Anglo Saxon40
1. Sistem Civil Law
Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum (PMH) di negeri
Belanda dapat dibagi dalam tiga periode:41
40
Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 80.
41
a. Periode sebelum tahun 1838
Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda baru dikodifikasikan pada
tahun 1838, secara otomatis ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di
Indonesia bahkan belum ada di Belanda.
b. Periode antara tahun 1838-1919
Setelah BW Belanda dikodifikasi, mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal
1401 (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad). Meskipun kala itu sudah ditafsirkan
bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik berbuat sesuatu (aktif
berbuat) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain baik
yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1366 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919, dianggap
tidak termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya
merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan
dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.
c. Periode setelah tahun 1919
Terjadi penafsiran luas melalui putusan HogeRaad terhadap perbuatan
melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata
Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah
dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup
Munir Fuady menyebut rumusan dalam Pasal 1365 KUH Perdata sebagai
“rumusan ajaib” yang diharapkan dapat mencakupi setiap macam perbuatan
melawan hukum, seperti satu jenis obat yang dapat mengobati segala macam
penyakit.
Di Belanda sendiri, saat ini terdapat perumusan yang memiliki inti yang
sama, namun dengan susunan kata yang berbeda yaitu dalam Nieuw Nederlands
Burgerlijk Wetboek, konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3
artikel 162. Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai42
Adalah hal yang sangat masuk akal bahwa perumusan baru ini lebih jelas,
oleh karena mengenai unsur perbuatan melawan hukum, tidak hanya mencakup :
“Als onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een
doen of nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens
ongeschreven recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een ander behoudens
de aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”.
(Terjemahannya bebasnya yaitu : Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan
yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat)
bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan
dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh
seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat
adanya alasan pembenar menurut hukum.)
42
M. Erza Pahlevi, Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Perbuatan Menurut
Hukum,
melanggar hak orang lain atau melanggar kewajiban, namun juga mencakup
kesusilaan dan sikap baik bermasyarakat, dimana dua unsur yang terakhir ini
timbul pada tahun 1919 yang berasal dari suatu putusan Hoge Raad dan bukan
dari peraturan perundang-undangan, sementara Belanda sebagai negara Civil
Law membutuhkan perumusan yang baku melalui kodifikasi dalam bentuk
peraturan perundang-undangan (dan bukan yurisprudensi) demi terpenuhinya
kepastian hukum.
2. Sistem Common Law
Sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum
dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya
merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak
terhubung satu sama lain.43
Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan
proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum
mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem
hukum AngloSaxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian44
1. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)
:
2. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)
3. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak)
43
Munir Fuady, Op,Cit., hal. 81
44
Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder:
bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di
dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain
adalah dari:
a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.
b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian
yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga
dengan hukum yang tidak tertulis.
d. Van hamel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.
e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan
hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).
f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain
disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti ”hukum” dan
dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata
wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian
“bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang
lain atau hukum subjektif”.45
“onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat,
antara lain sebagai berikut:
45
yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan
masyarakat.”46
3) Harus ada kerugian.
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka
perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana,
pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang
tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas.
Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.
Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik,
maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan
maka tidak perlu dibuktikan. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan
dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:
1) Perbuatan tersebut melawan hukum;
2) Harus ada kesalahan pada pelaku;
47
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum
bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan
melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak
tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak
46
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 44
47
dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat
untung.
B. Jenis – Jenis Sifat atau Perbuatan Melawan Hukum
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum
pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan
hukum yang formal dan materil.
a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik
undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat
dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu
perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak
pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar
maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam
undang-undang.
b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil
Sifat melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan melawan hukum
yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus
dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum
itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan
yang tidak tertulis.48
Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur
rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat
48
sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui
alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar
dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister,
pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu:
1) Sifat melawan hukum secara umum
2) Sifat melawan hukum secara khusus
3) Sifat melawan hukum secara materil
4) Sifat melawan hukum secara formil49
49
D. Schaffmeister, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Liberty, Yogyakarta, 2003, Cet. Kedua, hal. 39
Ad. 1. Sifat melawan hukum secara umum semua delik tertulis atau tidak tertulis
sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat
dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan
hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.
Ad. 2. Sifat melawan hukum secara khusus Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun
1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya
“melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus
dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas.
Ad. 3. Sifat melawan hukum secara materil bukan perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan
kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan
Ad. 4. Sifat melawan hukum secara formil seluruh bagian inti delik apabila sudah
dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah
melawan hukum. Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang
formal dengan pandangan yang materil, maka perbedannya yaitu :
1. Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan
hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis,
sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut
dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang
sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP,
mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); dan
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana,
juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang
bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada
perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan
nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.50
Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan
terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele
wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materil atau
materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila
perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya
paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam
50
undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan
hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan
sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam
pandangan sifat melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan baik
melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan
perundang-undangan.51
C. Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni:
Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya
suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia
termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua,
kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur
dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil
mengandung dua pandangan sebagai berikut:52
1. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang
rumusan delik.
51
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 115