• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KONSEP PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS PERBUATAN MELAWAN HUKUM (WEDERRECHTELIJK) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS KONSEP PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS PERBUATAN MELAWAN HUKUM (WEDERRECHTELIJK) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022

ANALISIS KONSEP PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS PERBUATAN MELAWAN HUKUM (WEDERRECHTELIJK) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Fajar Hidayat, Faissal Malik, Suwarti Universitas Khairun Ternate, Indonesia

Email: fh_iday@yahoo.com, faissalmalik10@gmail.com, warti730@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep ideal perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang sebelumnya telah diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi UU RI Nomor.

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK). Serta untuk mengkaji hakikat pertimbangan hakim dalam putusannya dengan adanya dualisme pengaturan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam tindak penanganan pidana Korupsi. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian hukum normatif sebagai bahan untuk mengawali peneliti dalam melakukan inventarisasi pendekatan perundang-undangan (statute approach), perbandingan hukum (comparative approach), serta studi pendekatan kasus (case approach). Karakteristik dari penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder, terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; serta bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukan bahwa korupsi merupakan perbuatan tercela dan bentuk dari penyakit sosial masyarakat, sehingga korupsi dikategorikan sebagai suatu tindak pidana (Straafbaarfeit). Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disempurnakan kembali dan diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001. Penyempurnaan ini dimaksud untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan yang adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. yaitu bagaimanakah sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.

Kata kunci: pertimbangan hakim; wederrechtelijk; tindak pidana korupsi Abstract

This study aims to formulate the ideal concept of unlawful acts (wederrechtelijk) in criminal acts of corruption as previously regulated in the Law on the Eradication of Corruption Crimes, Law of the Republic of Indonesia Number. 20 of 2001 concerning Amendments to Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption (UUTPK). As well as to examine the nature of the judge's consideration in his decision with the dualism of regulating acts against the law (wederrechtelijk) in the handling of criminal acts of corruption. The type of

(2)

research used in this study is the normative legal research method as a starting material for researchers in conducting an inventory of the statutory approach (statute approach), comparative law (comparative approach), and case approach studies. The characteristics of this study are entirely secondary data, consisting of primary legal materials; secondary legal materials; as well as tertiary legal materials. The results showed that corruption is a disgraceful act and a form of social disease in society, so that corruption is categorized as a criminal act (Straafbaarfeit). The enactment of Law Number 31 of 1999 as a refinement of Law Number 3 of 1971 concerning the Eradication of Corruption Crimes. Law Number 31 of 1999 was revised and amended by Law Number 20 of 2001. This improvement is intended to ensure more legal certainty, avoid diversity of legal interpretations and provide protection for the social and economic rights of the community, as well as fair treatment in eradicate corruption. namely how the nature of against the law in the criminal act of corruption.

Keywords: judges' considerations, wederrechtelijk, corruption crimes

Pendahuluan

Korupsi bukan lagi sekedar masalah bagi negara berkembang seperti di Indonesia, tetapi telah menjadi masalah dunia. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memandang perlu mengadopsi “United Nations Convention Againts Corruption”

(UNCAC) untuk memerangi korupsi di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption (Indonesia, 7AD).

Korupsi telah menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa ini. Korupsi di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan perkembangannya semakin meningkat, baik dalam jumlah kasus dan kerugian negara maupun kualitasnya. Perkembangan korupsi akhir-akhir ini nampak semakin sistematis dan terpola. Luas lingkupnya juga telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara.

Unsur melawan hukum dalam meliputi melawan hukum formil dan materiil.

Ditentukan dalam Pasal 2 beserta penjelasannya, parameter melawan hukum formil adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan parameter melawan hukum materil adalah bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan masyarakat. Berdasarkan pada Pasal 2 UUTPK, nilai kepatutan dan keadilan masyarakat dipakai sebagai parameter untuk mengukur atau menilai suatu perbuatan tersebut tercela dan patut dipidana. Dalam praktek peradilan (putusan pengadilan), asas kepatutan dipakai sebagai parameter untuk mengukur atau menilai penyalahgunaan wewenang dalam kategori wewenang bebas (dikresi).

Kepustakaan hukum pidana hingga saat ini, masih ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran sifat melawan hukum perbedaan pendapat tersebut telah melahirkan adanya dua pengertian, yaitu sifat melawan hukum formal (formele

(3)

wederrechtelijkheid) dan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid).

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan undang-undang (hukum tertulis). Dengan pengertian seperti itu, maka suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah terpenuhi semua unsur yang disebut di dalam rumusan delik.

Jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat benar-benar telah dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan, sedangkan dalam pengertian melawan hukum secara materiil, suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum yang tertulis saja yang memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Jadi, dalam konstruksi yang demikian, suatu perbuatan dikatan sebagai melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat.

Ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melawan hukum secara materiil bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu Undang-Undang, akan tetapi apabila ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitikberatkan melawan hukum secara formil cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatn itu melawan hukum secara materiil atau tidak. Sebaliknya secara materiil, merupakan pandangan yang menitikberatkan melawan hukum dari segi subjek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materiil dari diri si pelaku.

Beberapa pendapat dan penafsiran para pakar dan ahli hukum Indonesia memberikan pemaknaan tentang pengertian, penafsiran, penjelasan, dan penerapan istilah “melawan hukum” dalam sistem peradilan pidana Indonesia khususnya korupsi.

Konsep melawan hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia khususnya korupsi dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Melawan hukum meliputi melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Melawan hukum materiil dibedakan lagi menjadi dua fungsi yaitu melawan hukum materiil dalam fungsi positif dan melawan hukum materiil dalam fungsi negatif.

Pada awalnya dalam sistem peradilan pidana Indonesia para Hakim dalam melakukan penafsiran atas suatu tindak pidana menggunakan kedua fungsi melawan hukum tersebut. Kemudian seiring dengan banyaknya tindak pidana korupsi yang terjadinya di Indonesia dan Hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana korupsi menggunakan melawan hukum baik formil dan materiil dalam fungsi yang positif dan negatif. Hal tersebut mengakibatkan beberapa permasalahan dan pertentangan dengan dipakainya melawan hukum materiil dalam fungsi positif yang memiliki arti bahwa meski suatu perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap

(4)

tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma yang terdapat dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana, dalam perkembangannya di kemudian hari, penafsiran ‘melawan hukum’ dalam arti materiil dengan fungsi positif, yaitu memperluas ruang lingkup rumusan delik, kembali dipertanyakan dan dibantah. Contoh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006, Mahkamah Konstitus menilai bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) itu bertentangan dengan UUD 1945, karena menimbulkan ketidakpastian hukum.

MK berpandangan bahwa Pasal 28 D ayat (1) melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti – dalam hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas. Asas ini menuntut agar rumusan suatu perbuatan, sehingga dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana, harus dituangkan dalam peraturan tertulis terlebih dahulu. MK kemudian menyatakan bahwa tafsir atas pengertian ‘secara melawan hukum’ dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) tadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sejak saat itu, timbul kembali perbedaan persepsi di antara para penegak hukum dalam memahami penafsiran unsur ‘melawan hukum’ dalam arti materiil sebagaimana telah dijelaskan di atas, sehingga penerapan Pasal 2 ayat (1) tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

Meskipun ketentuan ini banyak digunakan, penafsiran unsur ‘melawan hukum’ dalam praktek penanganan perkara tindak pidanakorupsi di pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi) ternyata menunjukkan adanya ketidakseragaman.

Berdasarkan penjabaran di atas, hal inilah yang menjadikan peneliti untuk melakukan penelitian lebih mendalam karena masalah ini menurut peneliti sangat penting dan menarik untuk dikaji lebih jauh, Maka dalam penelitian ini dipilih judul

“Analisis Pertimbangan Hakim Memutus Perbuatan Melawan Hukum (Wederrechtelijk) Dalam Tindak Pidana Korupsi”, sebagai judul di dalam penelitian ini dan merumuskan beberapa rumusan masalah seperti terurai tersebut dibawah ini.

Metode Penelitian

a) Tipe dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum melalui sisi normatifnya (Salle & Marsuni, 2020). Dalam penelitian hukum, jenis penelitian tersebut dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Begem, Qamar, & Baharuddin, 2019).

b) Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus.

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Fokus kajian di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan sampai pada putusan.

(5)

c) Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang di peroleh dari lembaga atau institusi tertentu. Data didapat melalui bahan-bahan laporan dan dokumen lain yang telah ada sebelumnya serta mempunyai hubungan erat dengan masalah yang di bahas dalam penulisan tesis ini. Sumber data penelitian ini didapatkan melalui :

1) Data Sekunder dalam penelitian normatif ini yaitu data yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini ialah sebagai Berikut:

1. UUD NRI Tahun 1945 2. KUHPidana

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Putusan MK 003/PUU-IV/2006

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku- buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atasputusan pengadilan.

c. Bahan hukum tersier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris serta website internet untuk menunjang data sekunder.

d) Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yang mana data sekunder diperoleh penulis selain data tertulis juga peneliti melakukan wawancara guna memperkuat data sekunder antara lain :

1) Wawancara dengan pihak kepolisian dalam hal ini lakukan di Polda Maluku Utara dan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan Kejaksaan Negeri Maluku Utara.

2) Studi Kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan bahan hukum primer dan sekunder dilakukan peneliti di beberapa instatnsi antara lain; di Perpustakaan daerah Maluku Utara Kepolisian daerah Maluku Utara (Polda), Kejaksaan Tinggi Maluku Utara (Kejati) dan Kejaksaan Negeri Maluku Utara (Kejari) untuk memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer dan tersier tersier untuk menambah referensi penelitian, dengan demikian kebenaran penelitian dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah.

e) Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti adalah teknik analisis data secara kuantitatif yang mana semua bahan hukum dianalisa berupa data sekunder (bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder) yaitu peraturan-perundang- undangan, data-data tertulis dari setiap instansi yang penting dikaitan dan isu hukum yang berkembang, selanjutnya hasil akan diinterpretasikan dengan menggunakan cara berfikir deduktif yaitu suatu cara mengambil kesimpulan yang berangkat dari pembahasan yang bersifat umum menuju pembahasan yang bersifat khusus.

(6)

Langkah-langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian hukum yakni mengidentifikasi fakta dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan, pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang sekiranya dipandang mempunyai relevansi dengan permasalahan, melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan, menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab hukum, serta memberikan preskripsi atau hal yang sebenarnya harus dilakukan berdasarkan argumen yang telah dibangun dalam kesimpulan.

Tujuan teknik analisis data dari setiap penelitian yang dilaksanakan adalah mengubah dan mengolah data menjadi sebuah informasi yang akurat.

Hasil dan Pembahasan

A. Konsep Perbuatan Melawan Hukum (Wederrechtelijk) Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1) Berdasarkan Sejarah Penafsiran Terhadap Arti Sifat Melawan Hukum

Penafsiran arti sifat melawan hukum sangat bergantung kepada pandangan terhadap arti serta tujuan dari hukum, khususnya hukum pidana. Di Belanda ajaran sifat melawan hukum materill hanya pernah digunakan dalam kasus Veearts Arrest, yang disebabkan karena sikap hakim Belanda yang tidak hendak menginjakkan kakinya pada daerah wewenang pembuat Undang-Undang.

Penggunaan ajaran sifat melawan hukum materiil sebagai alasan pembenar berarti para hakim telah mengubah unsur-unsur perumusan delik, padahal tugas ini adalah wewenang pembuat Undang-Undang.

Mengapa alasan pembenar yang tidak tertulis (ontbreken van materiele wederrechtelijk) seperti sukar dapat diterima oleh hakim Belanda daripada penerimaan alasan penghapus kesalahan yang tidak tertulis (afwesigheid van alle schuld),van Veen mengatakan, dapat diusulkan untuk membedakan hilangnya sifat melawan hukum materiel berdasarkan dua alasan. Jenis pertama mempunyai sifat eksepsi. Yang bersangkutan mengakui secara prinsip sifat melawan hukum dari kelakuannya, tetapi mengemukakan keadaan-keadaan khusus.

Jenis kedua mempunyai sifat memungkiri, bahwa apa yang didakwakan pada hakikatnya termasuk dalam rumusan delik. Akan tetapi, menurut undang-undang, setidak-tidaknya menurut maksud pembuat undang-undang, apa yang dituduhkan itu tidak bersifat melawan hukum. Secara komprehensif, frasa melawan hukum adalah kata yang sudah baku digunakan untuk menerjemahkan kata dari bahasa Belanda onrechtmatige daad atau wederrechtelijk, atau dari bahasa Inggris unlawful. Dengan demikian, onrechtmatigheid atau wederrechtelijkheid atau unlawfulness dapat diterjemahkan sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum.

(7)

Terminologi wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana, onrechtmatige daad dalam bidang hukum perdata, “In het strafrecht is de term „wederrechtelijk‟ gebruikelijker dan determ „onrechtmatig‟”. Di dalam hukum pidana istilah wederrechtelijk lebih sering digunakan daripada istilah onrechtmatig. Kata Heijder, yang selanjutnya mengatakan : Istilah itu tidak menyebabkan perbedaan arti, baik secara sejarah perundang-undangan maupun sistematis. Di dalam sejarahnya, termonologi kata Belanda ini tadinya juga menggunakan kata wederrechtelijk. Seperti dikatakan Rutten, sesungguhnya dalam rancangan BW tahun 1824, Pasal 1401 berbunyi : “Elke wederrechtelijke daad...enz”. Ketika pasal ini dibahas, perkataan wederrechtelijk ini diusulkan untuk diganti, jawaban pemerintah adalah Sengaja kata ini dipergunakan, untuk mengakhiri perdebatan yang berkepanjangan, yang diambil dari Pasal 1382 Kitab Undang-undang Prands („Tout fait quelconque de I‟homme”, enz), dengan sendirinya, bahwa setiap erbuatan yang menimbulkan kerugian, tidak mepunyai dasar untuk mengganti kerugian; kecuali hanya ada perbuatan melawan hukum dari perbuatan itu yang memberinya alasan untuk hal itu.

Redaksi baru dari tahun 1824, perkataan wederrechtelijke diubah ke dalam perkataan onrechtmatige. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formal adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan undang- undang (hukum tertulis). Dengan pengertian seperti itu, maka suatu perbuatan, bersifat melawan hukum adalah apabila telah dipenuhi semua unsur yang disebut di dalam rumusan delik. Jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat benar-benar telah dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

2) Berdasarkan Doktrin

Literatur hukum pidana, diskursus tentang penafsiran ‘melawan hukum’

berawal dari dicantumkannya secara eksplisit kata ‘melawan hukum’ sebagai salah satu unsur pada sebagian rumusan delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pencantuman tersebut membawa konsekuensi bahwa unsur

‘melawan hukum’ ini harus dicantumkan dalam surat dakwaan dan dibuktikan di persidangan. Kemudian timbul pertanyaan, apakah delik yang tidak memuat istilah

‘melawan hukum’ secara eksplisit juga dapat dianggap memiliki sifat melawan hukum tersebut, sehingga juga harus didakwakan dan dibuktikan? Perdebatan mengenai permasalahan ini kemudian melahirkan ajaran melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid) dan ajaran melawan hukum materiil (materiële wederrechtelijkheid), serta berimbas pada penafsiran mengenai arti atau makna

‘melawan hukum’ itu sendiri.

B. Hakikat Pertimbangan Hakim Menelaah Adanya Dualisme Pengaturan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Penanganan Pidana Korupsi.

(8)

1) Permasalahan Penafsiran Unsur ‘Melawan Hukum’ Dalam Rumusan Tindak Pidana Korupsi oleh Hakim

Berdasarkan uraian sebelumnya di atas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) menentukan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Penjelasan pasal tersebut menguraikan frasa kata yang dimaksud dengan

“secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Berdasarkan ketentuan di atas maka pembentuk UU PTPK hendak menegaskan bahwa unsur ‘melawan hukum’ dalam pasal ini, harus dimaknai sebagai ‘melawan hukum’ dalam arti formil dan dalam arti materiil dengan fungsi positif (memperluas ruang lingkup rumusan delik), yaitu membuka ruang bagi dapat dipidananya perbuatan-perbuatan yang sebelumnya tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Di dalam literatur, pengertian ‘melawan hukum’ dalam arti materiil dengan fungsi positif tadi digunakan untuk membedakannya dengan fungsi negatif (membatasi ruang lingkup rumusan delik), yaitu ketiadaan sifat ‘melawan hukum’ dalam suatu perbuatan yang secara nyata dilakukan (secara materiil), meskipun pada dasarnya telah memenuhi rumusan.

delik. Ajaran ini dijadikan sebagai alasan pembenar, di luar alasan-alasan pembenar yang telah diatur undang-undang.

a) Analisis Putusan MK No.003/PUU-IV/2006

Melawan hukum dalam konteks Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), digolongkan sebagai tindak pidana (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lambat 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

(9)

Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap di pidana.” Dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Bila dibandingkan ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) di atas dengan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dapat diketahui bahwa ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan delik formil, sedangkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomo 3 Tahun 1971 merupakan delik materiil, yaitu delik yang dianggap terbukti dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang.

Pada waktu pembahasan unsur “dapat menimbulkan kerugian”

dari Pasal 263 ayat (1) KUHP, P.A.F. Lamintang dengan mengikuti pendapat dari putusan Hoge Raad tanggal 22 April 2007 dan tanggal 8 Juni 1997, mengemukakan pembentuk Undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya kerugian yang timbul, melainkan hanya kemungkinan timbulnya kerugian seperti itu, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan timbulnya kerugian tersebut.

Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan oleh P.A.F.

Lamintang seperti tersebut di atas, maka agar seorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), sudah cukup jika terdapat alat- alat bukti yang dapat membuktikan kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tersebut.

b) Pokok Permohonan

1. Menyatakan materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata

“percobaan”) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

(10)

2. Menyatakan materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata

“percobaan”) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

c) Amar Putusan

1) Menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No.

21 Tahun 2001 sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan

‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945;

2) Menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No.

21 Tahun 2001 sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan

‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menurut hemat peneliti dalam pertimbangan MK, termasuk dissenting opinion dari Prof. Laica Marzuki, dikhawatirkan adanya jangkauan yang sangat luas Pasal 2 ayat (1) ini, bahkan dapat digunakan untuk mengkriminalisasi perbuatan yang pada dasarnya bukan merupakan perbuatan pidana. Munculnya kekhawatiran ini karena kekeliruan dalam memahami unsur 95 /109 pokok (kernbestanddeel) dari Pasal 2 ayat (1).

C. Dualisme Sikap Mahkamah Agung Dalam Memaknai Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2021.

a) Putusan-Putusan Mahkamah Agung Yang Mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006

Putusan Mahkamah Agung No. 334K/Pid.Sus/2009 dan No. 97 PK/Pid/2012 adalah dua diantara putusan-putusan Mahkamah Agung yang secara tegas menyatakan berlakunya makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil.

Putusan No. 97 PK/Pid/2012 menyatakan:

“Bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya tentang perbuatan melawan hukum materiil, berdasarkan putusan

(11)

Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sehingga berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP ketentuan perbuatan melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif sudah tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara Pemohon Peninjauan kembali.”

Hakim PK dalam Perkara No. 97 PK/Pid/2012 menyatakan Majelis Hakim Kasasi dalam membuktikan unsur melawan hukum hanya mempertimbangkan kalau Terpidana telah melanggar ketentuan-ketentuan yang bersifat internal Persero, seperti Anggaran Dasar PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT.

BPUI), Surat Penetapan Investment Committee tanggal 31 Agustus 1994 No.100/BPUI-Memo/1994, PMR/Pedoman Manajemen Resiko, Cointer Guarantee Agreement antara Bahana dengan Primawira tanggal 20 September 1996.

Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement) tanggal 10 September 1996 dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI) tanggal 16 September 1997 Nomor RDI-327/PP3/1997, tetapi Terpidana tidak terbukti melanggar aturan

formil, yaitu ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dalam tindak pidana korupsi, menurut Hakim PK, tidak cukup untuk dinyatakan telah melakukan tindak pidana korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela dalam arti perbuatan Terpidana bersifat melawan hukum materiil [dalam arti positif, red.], melainkan perlu juga dibuktikan apakah memang perbuatan Terpidana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi (memenuhi rumusan delik), sehingga perbuatan Terpidana tersebut bersifat melawan hukum formil.

Putusan Mahkamah Agung No. 334 K/Pid.Sus/2009 juga tidak menggunakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan secara melawan hukum adalah merupakan perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil. Karena, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU 4/2006 tanggal 25 Juli 2006, telah menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang perbuatan melawan hukum dalam arti materiil dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, tafsir atas unsur melawan hukum yang diakui adalah melawan hukum dalam arti formil.

b) Putusan Mahkamah Agung Yang Tidak Mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006

Putusan Mahkamah 2065K/Pid/2006 dan No. 103/Pid/2007, Mahkamah Agung menyatakan Perbuatan melawan hukum harus dimaknai sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materil. Alasannya, karena Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 telah menyebabkan makna unsur ‘melawan hukum’ dalam Pasal 2 ayat (1) menjadi tidak jelas rumusannya. Sehingga, berdasarkan doktrin

“sens-clair”, Mahkamah Agung menyatakan bahwa hakim harus melakukan

(12)

penemuan hukum dengan tetap memperhatikan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU No.

4 Tahun 2004, bahwa “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa hakikat pertimbangan hakim dalam hal ini yang dijadikan contoh kasus pada putusan Mahkamah konstitusi Mahkamah Agung menyatakan bahwa hakim harus melakukan penemuan hukum dengan tetap memperhatikan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, bahwa “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Kesimpulan

1) Konsep Perbuatan Melawan Hukum (Wederrechtelijk) Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi merupakan perbuatan tercela dan bentuk dari penyakit sosial masyarakat, sehingga korupsi dikategorikan sebagai suatu tindak pidana (Straafbaarfeit). Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disempurnakan kembali dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Penyempurnaan ini dimaksud untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan yang adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. yaitu bagaimanakah sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.

Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa secara konsepsional tentunya sifat melawan hukum seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 hanya menganut ajaran sifat melawan hukum dalam pengertian materiil. Hal tersebut didasarkan Putusan Mahkmah Konstitusi yang telah memutuskan bahwa frasa Penjelasan pasal 2 ayat (1), yaitu "dimaksud dengan 'secara melawan hukum' dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun arti materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan perasaan keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana" bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2) Hakikat Pertimbangan Hakim Menelaah Adanya Dualisme Pengaturan Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Penanganan Pidana Korupsi

Mahkamah Agung menyatakan Hakim harus melakukan penemuan hukum dengan tetap memperhatikan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, bahwa “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Berdasarkan kedua putusan di atas,

(13)

Mahkamah Agung mengambil sikap untuk mengikuti doktrin dan yurisprudensi untuk memaknai melawan hukum dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK.

Mahkamah Agung merujuk pada Pasal 1 ayat (1) sub a UU Nomor. 3 Tahun 1971, yaitu tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya, melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan mesyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat. Selain itu, Butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar diajukannya RUU No. 3 Tahun 1971, memberikan pengertian perbuatan melawan hukum secara materiil yang dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis.

Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potensial loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Tafsir Hakim terhadap unsur melawan hukum dalam praktik perkara korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, didasarkan pada apa yang telah diketahui dalam ajaran atau konsep melawan hukum materiil yang dikenal adanya dua fungsi, yaitu ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif dan dalam fungsinya yang negatif.

BIBLIOGRAFI

Begem, Sarah Sarmila, Qamar, Nurul, & Baharuddin, Hamza. (2019). Sistem Hukum Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Melalui Mahkamah

(14)

Pidana Internasional. SIGn Journal of Law (SIGn Jurnal Hukum), 1(1), 1–17.

Google Scholar

Indonesia, Republik. (7AD). Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003). LN Nomor, 32. Google Scholar

Salle, Salle, & Marsuni, Lauddin. (2020). Tinjauan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Sovereign: Jurnal Ilmiah Hukum, 2(2), 1–25. Google Scholar

Copyright holder:

Fajar Hidayat, Faissal Malik, Suwarti (2022)

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim menilai pembuktian unsur melawan hukum Pasal 2 ayat (1) termasuk istilah “menyalahgunakan kewenangan, sarana atau

20 Tahun 2001 menjabarkan bahwa yang dimaksud dengan ‚secara melawan hukum‛ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,

Keempat, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dengan titik tolak pada hukum tidak tertulis dalam ukuran

Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

Oleh karena penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) mencakup perbuatan yang tidak sesuai

Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dengan titik tolak pada hukum tidak tertulis dahun ukuran kepatutan,

Suatu tindakan mencakup berbuat atau tidak berbuat sejak itu juga menjadi melawan hukum dan atas dasar ini dapat memunculkan kewajiban pihak yang bertindak memberi ganti rugi bilamana