• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan topik paling populer dan paling sering

di soroti dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia, karena dampak dari

perbuatan korupsi tesebut menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia,

oleh karena itu penanganan masalah korupsi harus lebih di optimalkan lagi demi

menekan tingkat korupsi di Indonesia.

Seiring berkembangnya zaman, modus operandi yang digunakan para

koruptor untuk merampok uang rakyat juga terus berkembang, sehingga untuk

mengatasi masalah tersebut hukum yang ada di Indonesia juga harus terus

berusaha menemukan formulasi terbaiknya guna dapat menjerat para koruptor

tersebut agar para koruptor tidak lagi bisa berkelit dengan menggunakan

kelemahan yang ada di dalam sistem hukum negara ini, dan juga agar tidak ada

lagi orang yang dihukum meskipun sebenarnya orang tersebut tidak layak untuk

dihukum dikarenakan ketidakjelasan yang terdapat di dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia, sebab seperti yang kita ketahui ada sebuah ungkapan di

dalam dunia peradilan bahwa ”lebih baik membebaskan 1000 orang yang salah

dari pada menghukum satu orang yg tidak bersalah.”

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana

(2)

dengan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka 8:1

Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu

yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara

dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya

kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC), 2003)

” Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk

memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk

dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah

Agung yang diatur dalam undang-undang.”

2

1

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

2

dikutip dari: Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Melawan Kejahatan Korporasi, Paper,

Jakarta, 2006, hal. 1

mendiskripsikan masalah

korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan

masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai

demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan

maupun penegakan hukum. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah

diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, menimbulkan

implikasi karakteristik dan substansi gabungan dua system hukum yaitu “Civil

Law” dan “Common Law”, sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif

yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia. Romli Atmasasmita

(3)

nampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit

enrichment) dimana ketentuan Pasal 20 (United Nations Convention Against

Coruuption (UNCAC) 2003 menentukan, bahwa: ...each State Party shall

consider adopting... to establish as a criminal offence, when committed

intentionally, illicit enrichment, that is, a significan increase in the assets of a

public official that he or she cannot reasonably explain in relatlon to his or her

lawful income".3

a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program

pemerintah ("can destroy the potential effectiveeness of all types of

govermental programmes")

Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan

salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat

kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres PBB ke-8

mengenai "Prevention of Crime and Treatment of Offenders" yang mengesahkan

resolusi "Corruption in Goverment" di Havana tahun 1990 merumuskan tentang

akibat korupsi, berupa:

1. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official):

b. Dapat menghambat pembangunan ("hinder development").

c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat ("victimize

individuals and groups").

2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi,

3

(4)

kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram.4

Asumsi konteks tersebut di atas dapat ditarik suatu konklusi dasar tindak

pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multi

dimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis,

budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya.5 Oleh karena itu, tindak

pidana korupsi bukan saja dapat dilihat dari perspektif hukum pidana, melainkan

dapat dilihat dari dimensi lain, misalnya perspektif legal policy (law making

policy dan law enforcement policy), Hak Asasi Manusia (HAM) maupun Hukum

Administrasi Negara. Selintas, khusus dari perspektif Hukum Administrasi

Negara ada korelasi erat antara tindak pidana korupsi dengan produk legislasi

yang bersifat Administrative Penal Law.6

Selain dimensi tersebut dalam tindak pidana korupsi esensi krusial dalam

perkembangan teoritis dan praktik yang menimbulkan polemik dan problematika

berkepanjangan adalah anasir "perbuatan melawan hukum" baik dalam artian

4

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 69 dan vide pula: Barda

Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal.148

4

Romli Atmasasmita, Loc.Cit., hal. 1

6

(5)

formal dan materil. Khusus terhadap perbuatan melawan hukum materil baik

dalam fungsi positif dan fungsi negatif menjadi problematika tersendiri apabila

dikaji dari perspektif praktik peradilan khususnya pasca putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Pada praktik peradilan

khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan

Mahkamah Agung RI belakangan ini ada yang tidak menerapkan perbuatan

melawan hukum materiil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak

sedikit pula yang tetap menerapkan dan menganut dimensi perbuatan melawan

hukum materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan

hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari aspek

etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa

Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum

pidana dan terminologi “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan

tetapi, pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana

tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het

recht), atau melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan

ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het

recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid). Dalam hukum pidana,

khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran

perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal (formele

wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materil (materiele

(6)

dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh

masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan

melawan hukum materil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari

pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui

arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.7

7

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 13

Pada dasarnya, pergeseran

perbuatan melawan hukum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materil

dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya,

yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta

melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian

perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materil yang meliputi

setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau

setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan,

terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan

melawan hukum materil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat

dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata.

Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka

Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan

hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan

pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi

yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan

melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum

(7)

perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi

kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh

tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari

perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.

Permasalahan mengenai perbedaan pandangan atau penafisiran perbuatan

melawan hukum ini sangat penting untuk dituntaskan agar terdapat suatu

pengertian yang seragam mengenai hal tersebut demi mencegah terjadinya ketidak

pastian hukum di Indonesia yang bisa menyebabkan ketidakadilan dengan

menghukum seseorang yang sebenarnya tidak layak dihukum dan membebaskan

orang yang seharusnya dihukum. Hal inilah yang ingin dikaji dan dibahas lebih

lanjut oleh penulis, dan karena hal tersebutlah maka penulis mengangkat judul

skripsi mengenai“Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”

B.Perumusan Masalah

1. Bagaimana kajian hukum perbuatan melawan hukum materil dalam hukum

pidana.

2. Bagaimana perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi positif

maupun berfungsi negatif dalam tindak pidana korupsi.

3. Bagaimana pandangan dan alasan hakim Mahkamah Agung dalam

pengambilan putusan pada beberapa kasus yang berkaitan dengan

(8)

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Suatu penulisan skripsi perlu memiliki suatu tujuan di dalam penulisan

skripsi tersebut, sehingga dapat memberikan arah dan jawaban atas permasalahan

yang ada. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengkajian hukum terhadap

pengertian perbuatan melawan hukum materil yang diterapkan dalam

fungsi positif maupun dalam fungsi yang negatif khususnya dalam tindak

pidana korupsi.

2. Untuk memahami alasan-alasan atau pandangan hakim Mahkamah Agung

dalam pengambilan putusannya yang berkaitan dengan penerapan ajaran

perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi positif dan fungsi negatif

khususnya dalam tindak pidana korupsi.

Selain itu bobot dari suatu penulisan ditentukan dari manfaaatnya. Dalam

penulisan skripsi ini penulis mengharapkan agar terwujud manfaat dan kegunaan

yang diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana

korupsi.

b. Agar dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada

umumnya dan khususnya dalam bidang hukum pidana dan hukum acara

(9)

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak terkait dalam

menangani masalah tindak pidana korupsi.

b. Memberikan Informasi agar dapat dilakukan penanganan apabila muncul

persoalan yang sama nantinya.

D.Keaslian Penulisan

Bahwa skripsi dengan judul “Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”

telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh siapapun

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Data yang digunakan guna

melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari

berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui

internet. Maka apabila di kemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan

yang sama sebelum tulisan ini dibuat maka penulis siap untuk

mempertanggung jawabkannya secara moral dan ilmiah.

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Perbuatan Pidana

Pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.8

8Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rieneka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 54

Dapat juga dikatakan

(10)

dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan

kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang

menimbulkannya kejadian itu.

Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”.

Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai

dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari

”perbuatan” tapi “tindak “ tidak menunjukkan pada suatu yang abstrak seperti

perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya dengan

peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku,

gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu

dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak

pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu

dipakai pula kata perbuatan.

Antara larangan dan ancaman pidana ada

hubungan yang erat, oleh karena itu antara kajadian dan orang yang menimbulkan

kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan

hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu

pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama,

adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang

menimbulkan kejadian itu.

9

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di

indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda

(11)

“strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek

atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia.

Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai

hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak

pidana.10

Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Adami Chazawi,

menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal

dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan

tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum

berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum

ada keseragaman pendapat.

11

1. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana

kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan

yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah

strafbaar feit adalah:

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, Mr. R.

Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”. Dan para ahli hukum

lainnya.

menggunakan

istilah ini.

10Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 58

11

(12)

3. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk

menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat

dijumpai di beberapa literatur, misalnya Drs. E. Utrect, S.H.

4. Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum

(13)

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam

bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.

6.

7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam beberapa tulisan

beliau.

Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang

dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (baca pasal

3).

12

Unsur - Unsur Perbuatan Pidana yang Disepakati Oleh Para Sarjana

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur

lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan karenanya.13

Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbutan pidana.

Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti

Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana

Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan

perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari

perbuatan pidana itu sendiri.

sejumlah tiga

sifat. Wederrechtelijk (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan

dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).14

Duet Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat

melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan

14Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1992, hal. 173

(14)

(dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld

(terjadi karena kesalahan). 15

Sementara itu, trio Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat

hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri.

Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup

rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.

16

Sehingga perbuatan

pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam

rumusan delik, Wederrechtjek

Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan diatas. Moelyatno

menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan

dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,

keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang

subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif

(melanggar hukum), dan dapat dicela.

Dari kesemua rumusan diatas dapat dilihat bahwa ada beberapa kriteria

yang satu atau dua bahkan semua sarjana menyebutkannya. Pertama, unsur

melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua,

unsur “perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali Lamintang.

Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.

15

Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 38

16

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, LIBERTY, Yogyakarta, 1995, hal. 27

17

(15)

1. Handeling

Mekipun Lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai salah

satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui

perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. (perbuatan manusia)

Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam

unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu

tindakan manusia18

Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu)

namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak berbuat).19 Juga

dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum.20

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,

diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

pidana denda paling banyak sembilan ratus rupi

Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak

melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara

kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat

dipidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang dirumuskan

dalam Pasal 362 KUHP

18

Lamintang, Op.Cit., hal. 183

19

Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 39

20

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op.Cit., hal. 28

21

(16)

Terlihat dari Pasal tersebut, seorang dapat diancam karena pencurian

disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang disebut sebagai een

doen

Seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi

sehingga anak itu meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan

pembunuhan dari Pasal 338 KUHP. (melakukan sesuatu).

22

ibu tersebut tidak diancam karena

pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal

sebagai een nalaten atau

niet doen.

Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat dipidana dikarenakan ia

memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal tersebut berdasar pada Pasal 298

KUHPdt. Masalah ini haruslah di jelaskan demi membatasi cakupan subjek

perbuatan pidana.

Kalau seorang anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan

bahwa semua orang yang tidak mencegah kelaparannya, merampas nyawa anak

itu. Dengan demikian lingkungan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat dipidana

hanya tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang.23

2. Wederrechtjek

Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang

berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama. (melanggar hukum)

24

Maka haruslah dijelaskan

ke-empat-nya.

22

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 61 23

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op.Cit., hal. 33

24Ibid.,

(17)

a. Sifat melawan hukum formal

Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam

undang-undang telah terpenuhi. Seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka

rumusannya adalah

1. Mengambil barang orang lain

2. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum

b. Sifat melawan hukum materil

Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan

hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang hendak

dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan “kepentingan hukum”.25

c. Sifat melawan hukum umum

Seperti dipidananya pembunuhan itu demi melindungi kepentingan

hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana karena melindungi

kepentingan hukum yaitu kepemilikan.

Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia

lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan

hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.

d. Sifat melawan hukum khusus

Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis

terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian “...dengan maksud

untuk dimiliki secara melawan hukum..”. Meskipun pada rumusan perbuatan

25Ibid.,

(18)

pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernyataan tersebut. Dicontohkan dengan

Pasal 338 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Seperti yang terlihat dari rumusan pencurian, sifat perbuatan pengambilan

saja tidaklah cukup untuk menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri

bila memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila

seorang mahasiswa mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti

bahwa dia berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat

izin dari si pemilik atau tidak.

Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya

terbagi menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang objektif yaitu

menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.26

(1)

Hal ini

digambarkan pada Pasal 164 ayat 1 KUHP

Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari

si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas “dan atas permintaan Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan

tertutup yang dipakai orang lain dengan me-lawan hukum atau berada di situ

dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak

pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

26

(19)

yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Maka ia melanggar

atau melawan hukum yang objektif.

Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau

pelanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang

mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan

hukum.

Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana diatas. Masih

ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana, berikut

pembahasan beberapa unsur-unsur atau rumusan-rumusan tersebut.

1. Schuld

Unsur-unsur perbuatan pidana yang tidak disepakati oleh para sarjana

Tidak mengetahui atau tidak memahami akan adanya perundang-undangan

bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau bahkan bukan pula alasan

untuk memperingan hukuman. (kesalahan)

27

Dengan berdasarkan asas tersebut, maka seorang dinilai berbuat kesalahan

ketika melanggar hukum. Sedangkan secara mendasar dalam kesalahan ada dua

pembagian, yaitu Pertama,

Asas “setiap orang dianggap tahu isi

undang-undang” menekankan pentingnya mengetahui hukum. Sehingga seseorang tidak

dengan mudah mengelak dari pelanggaran hukum dengan alasan tidak paham

hukum.

opzet (kesengajaan) dan kedua, Culpa (kurang

berhati-hati atau kelalaian).28

27

Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 50

28

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 65

(20)

Cansil-Christine membagi kesalahan kedalam empat kategori. Pertama,

Doluis (kesengajaan) yang sama artinya dengan opzet. Kedua, Culpa (alpa, lalai).

Ketiga, dolus generalis

a.

(kesengajaan tak tentu). Keempat, Aberratio Ictus (salah

kena). Berikut paparannya satu persatu secara singkat.

Seperti dikemukakan diatas, Dolus

dolus memiliki arti yang sama dengan opzet

yaitu kesengajaan. Perlu diketahui bahwa kitab undang-undang hukum pidana

tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan kesengajaan.29

Dalam hal ini pasangan cansil merumuskan bahwa kesengajaan

merupakan suatu niat atau i’tikad diwarnai sifat melawan hukum, kemudian

dimanifestasikan dalam sikap tindak.

30

Biasanya diajarkan bahwa kesengajaan itu tiga macam. Pertama,

kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu. Kedua,

kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan keinsyafan suatu

akibat pasti akan terjadi. Ketiga, kesengajaan disertai dengan keinsyafan akan

adanya kemungkinan.

atau ketidaksengajaan ialah berarti kesalahan pada umumnya.32

29

Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 51

30Ibid.,

hal. 52

31

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 66

32

Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 54

Maka seorang hakim tidak bisa mengukur ketidaksengajaan atau kelalaian

berdasar pada dirinya sendiri, melainkan melihat bagaimana hal umumnya pada

(21)

Ketidaksengajaan dibedakan antara ketidaksengajaan yang disadari dan

yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari bermakna menimbulkan delik atau

perbuatan pidana secara sadar dan telah berusaha untuk menghalangi, akan tetapi

terjadi juga. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari bermakna orang melakukan

suatu delik tanpa membayangkan akibat yang terjadi atau tidak mengetahuinya.

c. Dolus generalis

Hal yang mebedakan antara dolus generalis dan dolus atau opzet ialah dari

tujuannya. Bila dolus dan opzet memiliki satu tujuan yang pasti, maka dolus

generalis tak memiliki tujuan yang pasti.

Digambarkan dengan seseorang yang meracuni pusat air minum dengan

maksud agar semua orang yang meminum air tersebut akan terbunuh. Tidak

melihat siapa yang terbunuh.

d. Aberratio Ictus

Seperti makna katanya, salah kena berarti akibat tidak sesuai dengan

tujuan. Contoh sederhana seseorang yang akan menembak burung meleset dan

mengenai manusia.

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

Van hamel membagi hal ihwal ini menjadi dua.33

“Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja

mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta Pertama, mengenai diri

orang yang melakukan perbuatan. Dicontohkan dengan pasal 413 KUHP

mengenai kejahatan jabatan.

33

(22)

oleh penguasa sipil yang berwenang menurut undang-undang, diancam dengan

pidana penjara lama empat tahun.”

Dalam kejahatan ini haruslah ada unsur jabatan, sehingga tanpa adanya

unsur ini maka tidak mungkin terjadi kejahatan tersebut.

Kedua, mengenai di luar diri si pelaku. Seperti pasal 160 KUHP terkait

penghasutan.

“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya

melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum

atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan

yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana

penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah.”

Kejahatan tersebut memiliki unsur di muka umum. Maka tanpa adanya

unsur ini kejahatan tersebut tak bisa dikatakan terjadi.

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Pengertian masyarakat umum terhadap kata “korupsi” adalah berkenaan

dengan “keuangan negara” yang dimiliki secara tidak sah (haram).34

34

Leden, Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 149

Korupsi

berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Ada

pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah “korupsi” yang berasal dari kata

corrupteia yang dalam bahasa Latin berarti bribery atau seduction maka yang

diartikan dengan corrupto dalam bahasa Latin ialah corrupter atau seducer.

(23)

tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara seduction berarti sesuatu

yang menarik agar seseorang menyeleweng.35

Muhammad Ali dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia memberikan

pengertian korupsi sebagai berikut:

36

a. Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai kekuasaan

untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).

b. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok

dan sebagainya).

c. Koruptor (orang yang korupsi).

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud

curruptie adalah korupsi yaitu perbuatan curang berupa tindak pidana yang

merugikan keuangan negara.37

Mengenai Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Husein Alatas dalam

bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut :

Korupsi sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan

perkembangan bangsa Indonesia, jika dibiarkan begitu saja maka korupsi akan

merajalela dan akan menjadi hal biasa dalam perbuatan hidup masyarakat. Ini

akan menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk membangun bangsa

Indonesia yang lebih makmur dan jujur.

38

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama

dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup

35

Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 9

36

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modren, Pustaka Amani Ardianto Elvinaro, Jakarta, 2004, hal.135

37

R. Subekti, Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT.Pradinya Paramita, Jakarta, 2005, hal. 275

38

(24)

sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian

penggelapan (fraud).

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah

merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka

yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan

perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga

kerahasiaannya.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.

Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk

menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan

mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh

badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Menurut Baharuddin Lopa, dalam bukunya yang berjudul

Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, korupsi menurut sifatnya,

terbagi dalam 2 bentuk, yakni :39

a. Korupsi yang bersifat motif terselubung, yakni korupsi yang sepintas

kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya

bermotif mendapatkan uang semata.

39

(25)

b. Korupsi yang bermotif ganda, yakni seseorang yang melakukan korupsi

secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi

sesungguhnya bermoif lain, yakni untuk motif politik.

Mengenai Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi diatur dalam

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:

a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi;

b. Perbuatan melawan hukum;

c. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;

d. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya

karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat

dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan

pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan

(26)

2. Data dan Sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data

sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi

bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun

arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan

hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang paling

utama digunakan dalam penelitian ini adalah :

1)Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

2)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi;

3)Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami

bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka

lainnya yang berkaitan dengan penelitian dan putusan pengadilan.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman

(27)

dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan

Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan

mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan

ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan

penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah putusan pengadilan

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum

normatif. Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk

mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis

data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan

mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori

yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk

menentukan hasil.

A.Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar

dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan

pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari

empat bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi

(28)

BAB I Pendahuluan

Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai, latar belakang,

perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian

penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Kajian Hukum Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana

Bab ini menguraikan perkembangan penafsiran perbuatan melawan

hukum dari waktu ke waktu, jenis-jenis perbuatan melawan

hukum, dan perbuatan melawan hukum materil dalam hukum

pidana.

BAB III Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Positif Maupun Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidan Korupsi

Bab ini menjelaskan mengenai perbuatan melawan hukum materil

yang diterapkan dalam tindak pidana korupsi baik penerapan

melawan hukum materil yang berfungsi positif maupun penerapan

perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi negatif.

BAB IV Pandangan Dan Alasan Hakim Mahkamah Agung Dalam Pengambilan Putusan Pada Beberapa Kasus Yang Berkaitan Dengan Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Tindak Pidana Korupsi

Bab ini mengemukakan apa yang menjadi pertimbangan,

pandangan dan alasan hakim di mahkamah agung dalam beberapa

(29)

dengan menggunakan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi

positif maupun dalam fungsi negatif dalam kasus tindak pidana

korupsi.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini

berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek

Referensi

Dokumen terkait

Kesulitan pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam tindak pidana korupsi adalah karena unsur tersebut hanya mengandung pengertian sifat melawan hukum

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

perbuatan pidana. Menurut Vos, pengertian dari istilah strafbar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan, jadi, suatu kelakuan

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

Unsur-unsur tindak pidana (delik) dalam Pasal 3 UUPTPK tersebut adalah (1) setiap orang, (2) tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

Kesulitan pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam tindak pidana korupsi adalah karena unsur tersebut hanya mengandung pengertian sifat melawan

Kebijakan perundang undangan di Indonesia mengenai sifat melawan hukum materiil dapat terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) dan (3) RKUHP, dan mengenai perkembangan sifat

Menurut penulis, peraturan perundang- undangan yang erat kaitannya dengan tindak pidana perusakan dan pencemaran lingkungan (yang dapat dijatuhkan sanksi pidana)