• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II DASAR TEORI"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Wijaya (2010), dari analisa data perencanaan Embung Kendo diperoleh debit banjir rencana dengan periode ulang 100 tahun sebesar 38,194 m3/dt,

volume tampungan sebesar 474.522,25 m3 dengan elevasi mercu pelimpah

+134,54 m, elevasi muka air banjir pada elevasi +138,65 m, elevasi puncak bendungan pada ketinggian +140,65 m, elevasi dasar sungai pada ketinggian +119,00 m, tinggi jagaan diambil 2,00 m, tinggi bendungan 21,65 m, dan lebar mercu bendungan 7 m.

Siswadi (2011), melakukan perencanaan Embung Telaga Lebur berdasarkan dam axis yang baru, dari perencanaan tersebut didapatkan kapasitas tampungan sebesar 1.748.000 m3, elevasi pelimpah yaitu +26,00 m dan elevasi

dasar pelimpah yaitu +22,40 m, sehingga tinggi pelimpah yaitu 3,60 m.

Narayana (2014) merencanakan Embung Tamanrejo untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di wilayah Kecamatan Sukorejo seluas 750 ha, diperoleh volume tampungan embung sebesar 126.073,69 m3, kebutuhan air irigasi didapat

1,54 lt/dt/ha, debit banjir rencana sebesar 83,189 m3/dtk dengan periode ulang 100

tahun, tinggi embung yaitu 11 m, dengan elevasi dasar embung pada +140,00 m dan elevasi puncak embung pada +151,00 m, lebar puncak embung 5,00 m, kemiringan hulu 1:3 dan kemiringan hilir 1:2,25, meggunakan Pelimpah Ogee tipe Terbuka (overflow spillway) dengan lebar 25 m dan panjang 13 m dengan elevasi puncak +147,00 m, menggunakan kolam olak USBR tipe III dengan panjang 5,00 m, rencana waktu pelaksanaan adalah 24 minggu dengan rencana anggaran biaya sebesar Rp. 6.258.700.000,00.

(2)

Embung adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk menampung kelebihan air pada saat debit tinggi dan melepaskannya pada saat dibutuhkan. Embung merupakan salah satu bagian dari proyek secara keseluruhan maka letaknya juga dipengaruhi oleh bangunan-bangunan lain seperti bangunan pelimpah, bangunan penyadap, bangunan pengeluaran, bangunan untuk pembelokan sungai dan lain-lain (Soedibyo, 2003).

Embung adalah sebutan lain untuk bendungan kecil. Bendungan kecil adalah bendungan yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai bendungan besar. Menurut ICOLD definisi bendungan besar adalah (Soedibyo,2003) :

1. Bendungan yang tingginya lebih dari 15 m, diukur dari bagian terbawah pondasi sampai ke puncak bendungan.

2. Bendungan yang tingginya antara 10-15 m dapat pula disebut bendungan besar apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut :

 Panjang puncak bendungan tidak kurang dari 500 m

 Kapasitas waduk yang terbentuk tidak kurang dari 1 juta m3

 Debit banjir maksimal yang diperhitungkan tidak kurang dari 2000 m3/detik

 Bendungan menghadapi kesulitan-kesulitan khusus pada pondasinya

 Bendungan didesain tidak seperti biasanya

Syarat-syarat diatas tidak mutlak mengikat, karena pada pelaksanaannya di lapangan ada bendungan-bendungan yang memenuhi syarat bendungan besar diberi nama embung dan sebaliknya.

2.2.2. Pemilihan Lokasi

Untuk menentukan lokasi dan denah embung, harus diperhatikan beberapa faktor berikut, antara lain (Soedibyo, 2003) :

1. Tempat embung merupakan cekungan yang cukup untuk menampung air, terutama pada lokasi yang keadaan geotekniknya tidak lulus air, sehingga kehilangan airnya hanya sedikit.

2. Lokasi embung terletak di daerah yang memerlukan air sehingga jaringan distribusinya tidak begitu panjang dan tidak banyak kehilangan energi.

(3)

3. Lokasi embung terletak di dekat jalan, sehingga jalan masuk (access road) tidak begitu panjang dan lebih mudah ditempuh.

Sedangkan faktor yang menentukan didalam pemilihan tipe embung adalah (Soedibyo, 2003) :

1. Tujuan pembangunan proyek 2. Keadaan klimatologi setempat 3. Keadaan hidrologi setempat 4. Keadaan di daerah genangan 5. Keadaan geologi setempat 6. Tersedianya bahan bangunan

7. Hubungan dengan bangunan pelengkap 8. Keperluan untuk pengoperasian embung 9. Keadaan lingkungan setempat

10. Biaya proyek 2.2.3. Tipe embung

Tipe embung dapat dikelompokkan menjadi empat keadaan yaitu (Soedibyo, 2003) :

1. Tipe Embung Berdasarkan Tujuan Pembangunannya

Ada dua tipe embung dengan tujuan tunggal dan embung serbaguna : a) Embung dengan tujuan tunggal (single purpose dams)

adalah embung yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya untuk kebutuhan air baku atau irigasi (pengairan) atau perikanan darat atau tujuan lainnya tetapi hanya satu tujuan saja.

b) Embung serbaguna (multipurpose dams)

adalah embung yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya: irigasi (pengairan), air minum dan PLTA, pariwisata dan irigasi dan lain-lain.

2. Tipe Embung Berdasarkan Penggunaannya

(4)

adalah embung yang digunakan untuk menyimpan air pada masa surplus dan dipergunakan pada masa kekurangan. Termasuk dalam embung penampung air adalah untuk tujuan rekreasi, perikanan, pengendalian banjir dan lain-lain.

b) Embung pembelok (diversion das)

adalah embung yang digunakan untuk meninggikan muka air, biasanya untuk keperluan mengalirkan air ke dalam sistem aliran menuju ke tempat yang memerlukan.

c) Embung penahan (detention dams)

adalah embung yang digunakan untuk memperlambat dan mengusahakan seoptimal mungkin efek aliran banjir yang mendadak. Air ditampung secara berkala atau sementara, dialirkan melalui pelepasan (outlet). Air ditahan selama mungkin dan dibiarkan meresap ke daerah sekitarnya. 3. Tipe Embung Berdasarkan Letaknya Terhadap Aliran Air

Ada dua tipe yaitu embung yaitu embung pada aliran (on stream) dan embung di luar aliran air (off stream) yaitu :

a) Embung pada aliran air (on stream)

adalah embung yang dibangun untuk menampung air, misalnya pada pelimpah (spillway).

b) Embung di luar aliran air (off stream)

adalah embung yang umumnya tidak dilengkapi spillway, karena biasanya air dibendung terlebih dahulu di on stream-nya baru disuplesi ke tampungan. Kedua tipe ini biasanya dibangun berbatasan dan dibuat dari beton, pasangan batu atau pasangan bata.

4. Tipe Embung Berdasar Material Pembentuknya

Ada 3 tipe yaitu embung urugan, embung beton/pasangan batu dan embung komposit.

a. Embung Urugan ( Fill Dams, Embankment Dams )

(5)

bahan yang membentuk tubuh embung untuk dapat memenuhi fungsinya dengan baik, maka embung urugan dapat digolongkan dalam 3 type utama, yaitu :

 Homogen, suatu embung urugan digolongkan dalam tipe homogen, apabila bahan yang membentuk tubuh bendungan tersebut terdiri dari tanah yang hampir sejenis dan gradasinya (susunan ukuran butirannya) hampir seragam.

 Zonal, embung urugan digolongkan dalam tipe zonal apabila timbunannya yang membentuk tubuh embung terdiri dari batuan dengan gradasi yang berbeda-beda dalam urutan-urutan pelapisan tertentu. Pada type ini sebagai penyangga terutama dibebankan pada timbunan yang lulus air (zona lulus air) sedang penahan rembesan dibebankan kepada timbunan yang kedap air (zona kedap air).

 Bersekat, apabila di lereng udik tubuh embung dilapisi dengan sekat tidak lulus air (dengan kekedapan yang tinggi) seperti lembaran baja tahan karat, beton aspal, lembaran beton bertulang, hamparan plastik, susunan beton blok dan lain-lain.

b. Embung Beton / Pasangan Batu

Embung beton adalah embung yang dibuat dari konstruksi beton baik dengan tulangan maupun tidak. Kemiringan permukaan hulu dan hilir tidak sama pada umumnya bagian hilir lebih landai dan bagian hulu mendekati vertikal dan bentuknya lebih ramping. Embung ini masih dibagi lagi menjadi embung beton berdasar berat sendiri stabilitas tergantung pada massanya, embung beton dengan penyangga (buttress dam) permukaan hulu menerus dan dihilirnya pada jarak tertentu ditahan, embung beton berbentuk lengkung dan embung beton kombinasi.

c. Embung Komposit

(6)

pelimpah yang dapat didesain sebagai urugan homogen atau urugan majemuk.

2.2.4. Pelimpah

Menurut Linsley dan Franzini (1976), dalam perancangan hampir setiap bendungan harus dipikirkan cara untuk mengalirkan air ke hilir. Suatu pelimpah (Spillway) diperlukan untuk mengalirkan air banjir dan mencegah rusaknya bendungan. Pintu-pintu air di mercu pelimpah bersama-sama dengan alur pembuangan akan memungkinkan operator untuk mengendalikan air ke hilir untuk berbagai tujuan.

2.2.5. Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi merupakan banyaknya air dalam lt/dt/ha yang dibutuhkan di sawah untuk jenis tanaman tertentu dan pada tahap pertumbuhan tertentu pula. Kebutuhan air irigasi dapat ditinjau dari 2 segi, yaitu (Anonim, 1997):

 segi “waktu” dimana untuk setiap masa tanam, pemberian air dibagi dalam dua bagian, yaitu untuk pengolahan lahan dan pertumbuhan tanaman.

 Segi “tempat” dimana perhitungan pemakaian kebutuhan air setiap masa tanam dilakukan untuk kebutuhan air di lahan (sawah) tingkat usaha tani (baik untuk padi maupun palawija) dan kebutuhan air total di pintu pengambilan (intake).

Kebutuhan air irigasi merupakan kebutuhan air untuk tanaman yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut :

a. Penyiapan lahan b. Penggunaan konsumtif c. Perkolasi dan rembesan d. Penggantian genangan air e. Efisiensi irigasi

(7)

Banyaknya air yang diperlukan oleh tanaman pada suatu petak sawah dinyatakan dalam persamaan berikut (KP Irigasi, 1986) :

NFR = LP + ETc + P + WLR – Re (2-1)

dengan :

NFR = kebutuhan air di sawah (mm/hari)

LP = kebutuhan air untuk pengolahan lahan (mm/hari) ETc = kebutuhan air tanaman (consumptive use), mm/hari

WLR = penggantian lapisan air (mm/hari) P = perkolasi (mm/hari)

Re = curah hujan efektif (mm/hari)

Untuk menghitung debit yang harus tersedia pada intake dihitung berdasarkan persamaan berikut (KP 01,1986) :

QD= DR

1000× A (2-2)

DR= NFR

IE ×8,64 (2-3)

dengan :

QD = debit intake (m3/det)

DR = kebutuhan pengambilan air irigasi (lt/det/ha) NFR = kebutuhan bersih air irigasi di sawah (mm/hari) IE = efisiensi irigasi (%)

A = luas areal irigasi (ha)

Nilai evapotranspirasi tanaman digunakan untuk menghitung nilai kebutuhan air tanaman/penggunaan konsumtif (ETc). Rumus untuk menghitung kebutuhan air tanaman adalah :

(8)

dengan:

ETc = penggunaan konsumtif (mm/hari) Eto = evapotranspirasi potensial (mm/hari),

kc = koefisien tanaman, yang besarnya tergantung pada jenis, macam dan umur tanaman

Nilai evapotranspirasi potensial diperoleh dengan menggunakan Metode Penmann yang direkomendasikan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk digunakan dengan persamaan sebagai berikut :

ETo=

(

0,408(Rn)−G

)

+γ 900

T+273u(esea) +γ(1+0,34u2)

(2-5)

dengan:

ETo = evapotranspirasi potensial Rn = intensitas radiasi

T = suhu rata-rata (0C)

ea = tekanan uap air pada suhu rata-rata es = tekanan uap air jenuh pada titik embun u2 = kecepatan angin pada ketinggian 2 m Δ = gradien tekanan uap air pada suhu rata-rata γ = tetapan psikometer

Tabel 2.1 Koefisien Tanaman Bulan

ke-Padi Palawija

Varietas Biasa Varietas Unggul Jagung Kacang tanah

0.5 1.10 1.10 0.40 0.40

1.0 1.10 1.10 0.48 0.48

1.5 1.10 1.05 0.85 0.70

2.0 1.10 1.05 1.09 0.91

2.5 1.10 0.95 1.05 0.95

3.0 1.05 0.00 0.80 0.91

3.5 0.95 0.00 0.00 0.69

4.0 0.00 0.00

(9)

2.2.6. Analisis Hidrologi

Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi (hydrologic phenomena), seperti besarnya: curah hujan, temperatur, penguapan, lamanya penyinaran matahari, kecepatan angin, debit sungai, tinggi muka air sungai, kecepatan aliran, konsentrasi sedimen sungai yang akan selalu berubah terhadap waktu (Soewarno, 1995).

Data hidrologi dianalisis untuk membuat keputusan dan menarik kesimpulan mengenai fenomena hidrologi berdasarkan sebagian data hidrologi yang dikumpulkan. Untuk perencanaan embung analisis hidrologi terdiri dari analisa hujan, analisa kebutuhan air, analisa ketersediaan air dan lain-lain.

2.2.6.1. Curah Hujan Rata-rata

Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental dalam perencanaan/penelitian pembuatan embung. Dalam menentukan lokasi dan peralatan baik curah hujan maupun debit merupakan faktor untuk menentukan data yang diperoleh. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan. Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir (Sosrodarsono & Takeda, 2003).

Adapun metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata wilayah daerah aliran sungai (DAS) ada tiga macam cara (Sosrodarsono & Takeda, 2003) :

(10)

Gambar 2.1 Metode Poligon Thiessen

Untuk menghitung curah hujan rata-rata pada kasus ini menggunakan Metode Poligon Thiessen dengan rumus sebagai berikut (Soemarto,1987) :

 

 

n

i

i i n

n

A d A A

d A d

A d A d

1 2

2 1

1. . .... . .

(2-6) dengan :

A : luas areal total (km2)

d : curah hujan rata-rata areal (mm)

n

d d d

d1, 2, 3,.... : curah hujan di pos 1, 2, 3, ....n (mm) n

A A A

A1, 2, 3,.... : luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3, ....n (km2)

2.2.6.2. Uji Konsistensi Data Hujan

Selain kekurangan atau kehilangan data, data hujan yang didapatkan dari stasiun masih sering terdapat kesalahan yang berupa ketidakpanggahan data (inconsistency). Data hujan yang inconsistent dapat terjadi karena beberapa hal antara lain (Sri Harto,1993):

a. Alat ganti dengan alat yang berspesifikasi lain, b. Perubahan lingkungan yang mendadak,

(11)

Untuk memperoleh hasil analisis yang baik, data hujan harus dilakukan pengujian konsistensi terlebih dahulu untuk mendeteksi penyimpangan ini. Uji konsistensi juga meliputi homogenitas data karena data konsisten berarti data homogen. Pengujian konsistensi ada berbagai cara diantaranya RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sum).

Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

S

k**=

Sk¿

Dy

(2-7)

K = 0,1,2, … , n

D y2=

i=1 n

(

YiY

)

2

n (2-8)

Sk¿=

i+1 k

(

YiY

)

(2-9) k = 1,2,3, … , n

dengan :

n = jumlah data hujan

Y

i = data curah hujan (mm)

Y

= rerata curah hujan (mm)

Sk¿, S

k**, Dy

= nilai statistik

Nilai statistik Q

Q= maks

0≤kn|Sk**| (2-10)

Nilai Statistik R (Range)

R=0maksknSk**−0min≤knSk** (2-11) dengan :

(12)

n = jumlah data hujan

Dengan melihat nilai statistik di atas maka dapat dicari nilai Qy/

n dan

Ry/

n

Hasil yang didapat dibandingkan dengan nilai Qy/

n syarat dan

Ry/

n syarat.

Tabel 2.2 Nilai kritis yang diijinkan untuk metode RAPS

N

Q

/

n

R

/

n

90% 95% 99% 90% 95% 99%

10 20 30 40 50 100 >100 1,05 1,10 1,12 1,13 1,14 1,17 1,22 1,14 1,22 1,24 1,26 1,27 1,29 1,36 1,29 1,42 1,46 1,50 1,52 1,55 1,53 1,21 1,34 1,40 1,42 1,44 1,50 1,62 1,28 1,43 1,50 1,53 1,55 1,62 1,75 1,38 1,60 1,70 1,74 1,78 1,86 2,00

Sumber : Sri Harto, 1993

2.2.6.3. Analisis Distribusi Frekuensi/Agihan

Jenis distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam hidrologi yaitu (Sri Harto, 1993):

1. Agihan Normal, 2. Agihan Log Normal,

3. Agihan Log Pearson Type III, 4. Agihan Gumbel.

Persamaan untuk masing-masing jenis distribusi frekuensi adalah sebagai berikut:

1. Distribusi Normal S K X

XT   T. (2-12)

(13)

n X X n i i

  1 log log T

X : besarnya curah hujan rancangan (mm)

X : nilai rata-rata curah hujan (mm)

T

K : faktor frekuensi : standar deviasi

2. Distribusi Log Normal S K Y

YT   T. (2-13)

dengan : T

Y : besarnya curah hujan rancangan (mm)

Y : nilai rata-rata curah hujan (mm) T

K : faktor frekuensi S : standar deviasi 3. Distribusi Log Pearson Type III

Langkah-langkah perhitungan dengan cara ini adalah sebagai berikut:

a. Hitung harga rata-rata :

(2-14)

b. Hitung harga standar deviasi :

S=

i=1

n

(

logXi−logX

)

2

n−1

(2-15)

c. Hitung koefisien kepencengan (Cs)

Cs=

n

i=1

n

(

logXi−logX

)

3

(n−1)(n−2) (S ∙logx)3

(2-16)

d. Hitung logaritma hujan atau banjir

dengan periode ulang T : S K X XT log .

(14)

e. Hitung anti log XT untuk

mendapatkan curah hujan rencana dengan kala ulang T. dengan :

Xi : curah hujan harian maksimum pada periode ulang T tahun

S : standar deviasi

Log X : harga rata-rata log dari curah hujan harian maksimum Cs : koefisien kepencengan Skewness

n : jumlah t yang diobservasi

XT : curah hujan yang diperkirakan dengan periode ulang tertentu

Dalam statistik dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan analisis data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, koefisien variasi, koefisien skewness (kecondongan atau kemencengan) dan koefisien kurtosis (Suripin, 2004).

Parameter statistik yang diperlukan untuk pemilihan distribusi yang sesuai dengan sebaran data adalah sebagai berikut (Soewarno, 1995) :

a. Rata-rata hitung (X )

n

i i X n X

1

1

(2-18) dengan:

¯

X

= nilai rerata curah hujan (mm)

Xi = data curah hujan (mm) n = jumlah data

b. Standar deviasi (S)

1

1

2

  

n

X X S

n

i i

(15)

Cv=S ´

x (2-20)

d. Koefisien kepencengan (Cs)

Cs=

n

i=1

n

(

Xi− ´X

)

3

(n−1)(n−2)S3

(2-21)

e. Koefisien kurtosis (Ck)





4

1

4 2

3 2

1 n n S

n X X n Ck n i i     

 (2-22)

4. Distribusi Gumbel

T T Y a b X         1 (2-23) n S S a  1 (2-24) n n Y S S X b 

(2-25)

1 1 2   

n x x S n i i (2-26) dengan :

X : rata-rata curah hujan (mm)

Yn : reduced variate sebagai fungsi periode T

Yt : ln ( ln ( T – 1 ) / T )

Sn : reduced standard deviation sebagai fungsi dari banyaknya data

Tabel 2.3 Syarat Penentuan Jenis Agihan

No Agihan Syarat Keterangan

(16)

yang memenuhi syarat maka digunakan Log Person Type III

2 Log Normal Cs ≈ 3 Cv

Cv ≈ 0

3 Gumbel Cs ≤ 1,1396

Ck ≤ 5,4002 Sumber : Sri Harto, 1993

2.2.6.4. Uji Kecocokan Agihan

Menurut Soewarno (1995), untuk menentukan kecocokan (the goodness of fit test) distribusi frekuensi dari sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian parameter. Pengujian parameter yang biasanya dilakukan yaitu:

1. Uji Chi-Kuadrat (chi-square)

Uji Chi-kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Parameter Uji Chi-kuadrat dapat dihitung dengan rumus (Soewarno, 1995):

χh

2

=

i=1

G

(

OiEi

)

2

Ei

(2-27) dengan :

χh2 : parameter Chi-kuadrat terhitung

G : jumlah sub-kelompok

Oi : jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke i Ei : jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke i

Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus:

G = 1 + 3.22 log n (2-28)

(17)

1

 

G R

dk (2-29)

dengan :

dk : derajat kebebasan G : jumlah kelas distribusi : parameter, untuk Chi-kuadrat = 2

Interpretasinya yaitu :

a. Xh2 < Xcr2, maka distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima, b. Xh2 > Xcr2 , maka distribusi teoritis yang digunakan tidak dapat diterima.

2. Uji Smirnov-Kolmogorov

Pengujian ini dilakukan dengan menggambarkan probabilitas untuk tiap data, yaitu dari perbedaan distribusi empiris dan distribusi teoritis yang disebut ∆max. Dalam bentuk persamaan dapat ditulis (Suripin, 2004):

'

max maksimum PP

(2-30)

dengan :

max

: penyimpangan absolut peluang teoritis dan pengamatan P : peluang teoritis

'

P : peluang empiris

Langkah berikutnya adalah membandingkan antar ∆max dengan ∆cr. Interpretasinya

adalah :

a. ∆max < ∆cr , maka distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima,

b. ∆max > ∆cr , maka distribusi teoritis yang digunakan tidak dapat diterima.

Tabel 2.4 Nilai Kritis cr untuk Uji Smirnov Kolmogorov

(18)

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0,45 0,32 0,27 0,23 0,21 0,19 0,18 0,17 0,16 0,15 0,51 0,37 0,30 0,26 0,24 0,22 0,20 0,19 0,18 0,17 0,56 0,41 0,34 0,29 0,27 0,24 0,23 0,21 0,20 0,19 0,67 0,49 0,40 0,36 0,32 0,29 0,27 0,25 0,24 0,23 N > 50 1,07/

N

1,22/

N

1,36/

N

1,63/

N

Sumber : Bambang Triatmodjo, 2013

2.2.6.5. Distribusi Hujan

Untuk mentransformasikan curah hujan rancangan menjadi debit banjir rancangan diperlukan curah hujan jam-jaman. Pembagian curah hujan tiap jam dihitung berdasarkan metode rasional. Adapun langkah perhitungannya sebagai berikut (Soemarto, 1987):

a. Persamaan rata-rata curah hujan sampai jam ke-t 3 2 24 t t T T R R        (2-31) dengan :

Rt = curah hujan rata-rata sampai jam ke-t (mm)

R24 = curah hujan harian maksimal dalam 24 jam (mm)

T = periode hujan (jam) t = waktu/durasi hujan (jam) b. Curah hujan pada jam ke-t

t 1

t

t' R .t t 1R

R    (2-32)

(19)

C . R Rcn

(2-33) Ratio

. R

Rctn (2-34)

0 0 t'.100

R

Ratio (2-35)

dengan :

Rct = hujan efektif pada jam ke-t (mm)

C = koefisien pengaliran

Rn = kemungkinan hujan pada T tahun (mm)

2.2.6.6. Debit Banjir Rancangan

Analisis debit banjir rancangan dilakukan untuk mengetahui besaran debit banjir yang akan terjadi untuk tiap kala ulang tertentu. Debit banjir rancangan yang akan dipakai didasarkan pada rumus empirik dengan cara Hidrograf Satuan Sintetik.

Terdapat banyak metode perhitungan hidrograf banjir, antara lain HSS Nakayasu, HSS Gama I, HSS Snyder dan lain sebagainya. Debit banjir yang digunakan sebagai perencanaan adalah analisa debit banjir dengan metode Nakayasu.

Adapun rumus HSS dari Nakayasu adalah sebagai berikut :

0,3

0 3 , 0 . 6 , 3 . . T T R A C Q p p   (2-36) dengan :

Qp : debit puncak banjir (m3/detik)

C : koefisien pengaliran R0 : hujan satuan (mm)

Tp : tenggang waktu dari permulaan banjir sampai puncak banjir (jam) T0,3 : waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak

(20)

Pada saat hujan turun sebagian akan meresap ke dalam tanah dan sebagian lagi akan menjadi limpasan permukaan. Koefisien pengaliran adalah suatu variable untuk menentukan besarnya limpasan permukaan tersebut dimana penentuannya didasarkan pada kondisi Daerah Aliran Sungai dan kondisi hujan yang jatuh di daerah tersebut.

Berdasarkan kondisi fisik wilayah dan jenis penggunaan lahannya besarnya nilai koefisien pengaliran ditentukan sebagai berikut:

Tabel 2.5 Koefisien Pengaliran

Kondisi DAS Angka Pengaliran

Pegunungan curam 0.75 – 0.90

Pegunungan tersier 0.70 – 0.80

Tanah bergelombang dan hutan 0.50 – 0.75

Dataran Pertanian 0.45 – 0.60

Persawahan 0.70 – 0.80

Sungai di pegunungan 0.75 – 0.85

Sungai di dataran 0.45 – 0.75

Sumber: Bendungan Tipe Urugan,Suyono Sosrodarsono

Bagian lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan mempunyai rumus :

4 , 2

        

p p

a T

t Q Q

(2-37) dengan :

Qa : limpasan sebelum mencapai debit puncak (m3/detik), t : waktu (jam).

Bagian lengkung turun (decreasing limb) : Qd>0,3Qp : Q

d=0,3Qp

(

tTp

T0,3

)

(2-38)

0,3Qp>Qd>0,32Qp : Q

d=0,3Qp

(

tTp+0,5T0,3

(21)

0,32Q

p>Qd : Q

d=0,3Qp

(

tTp+1,5T0,3

2T0,3

)

(2-40)

Tenggang waktu :

r g

p t t

T  0,8

(2-41) Untuk : L < 15 km tg = 0,21 L0,7 (2-42)

L > 15 km tg = 0,4 + 0,058 L (2-43)

tr = 0,5 tg (jam) (2-44)

T0,3 = α.tg (jam) (2-45)

dengan :

L : panjang alur sungai (km), tg : waktu konsentrasi (jam).

tr : waktu satuan hujan (jam)

Qd : limpasan setelah mencapai debit puncak (m3/detik)

Catatan :

Nilai α (koefisien limpasan) dapat diperoleh dengan persamaan (Soemarto,1987): � = 0,47/��(�.�) 0,25

dengan:

α = koefisien pembagian kecepatan aliran A = luas DAS (km2)

L = panjang sungai utama (km)

Q

0,8 tr tg

Lengkung Naik (Qa)

Debit Puncak (Qp)

Lengkung Turun (Qp)

0,32Qp 0,3Qp

Qp

1,5T0,3 T0,3

(22)

Gambar 2.2 Pembagian lengkung pada Hidrograf Nakayasu

2.2.6.7. Penelusuran Banjir (Flood Routing)

Masalah yang sering timbul pada lokasi disuatu daerah aliran sungai adalah tidak adanya data pengukuran pada tempat tersebut, sedangkan hal ini sangat dibutuhkan untuk program pengembangannya. Untuk mendekati hal ini dicoba mendapatkan data yang dimaksud dari data pengukuran pada lokasi yang lain, yaitu dengan cara penulusuran banjir (flood routing), (Sri Harto, 1993).

Menurut Soemarto (1987), persamaan kontinuitas yang umum dipakai dalam penelusuran banjir sebagai berikut :

IO=ds

d1 (2-46)

O=O1+O2

2 (2-47)

d

s

=

S

2

S

1 (2-48)

I1+I2 2 Δt+

O1+O2

2 Δt=S2−S1

(2-49) dengan :

I = debit yang masuk pada t = jam (m3/dt)

O = debit yang keluar pada t = jam (m3/dt)

S = tampungan pada t = jam (m3)

Rumus tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

I1+I2

2 Δt+

(

S1−

O1

2 Δt

)

=

(

S2+

O2

2 Δt

)

(2-50)

atau :

I1+I2 2 +

(

S1 Δt

O1 2

)

=

(

S2 Δt+

O2

(23)

jika :

(

S1 Δt

O1 2

)

=ψ1

(2-52)

(

S2 Δt+

O2 2

)

=ϕ2

(2-53) I1+I2

2 +ψ1=ϕ2

(2-54) I1 dan I2 diperoleh dari debit yang masuk,

ψ1= tampungan pertama (m3/dt), ϕ2= tampungan kedua (m3/dt).

2.2.7. Analisis Hidrolika

Analisis Hidrolika merupakan perhitungan ulang perilaku aliran air dengan menganalisis berdasarkan hukum kontinuitas dan hukum kekekalan energi. Gaya-gaya yang bekerja pada aliran disebabkan Gaya-gaya gravitasi dan Gaya-gaya tekan serta dinamika air.

2.2.7.1. Analisis Hidrolika Pelimpah 1. Aliran di Pelimpah

Analisis hidraulik digunakan untuk menentukan dimensi pelimpah dan tinggi jagaan (freeboard), sedangkan dimensi struktur akhir ditentukan berdasar optimasi lebar pelimpah yang dihubungkan dengan biaya timbunan. Dimana bangunan pelimpah umumnya terdiri dari empat bagian utama yaitu (Sosrodarsono dan Takeda, 2003):

1. Saluran Pengarah Aliran 2. Saluran Pengatur Aliran 3. Saluran Peluncur 4. Peredam Energi

Saluran Pengarah Saluran Pengatur

Saluran Peluncur

(24)

Gambar 2.3 Denah Bangunan Pelimpah

2. Saluran Pengarah Aliran

Bagian ini berfungsi sebagai penuntun dan pengarah aliran agar tetap dalam kondisi hidrolika yang baik. Pada saluran ini kecepatan masuk air supaya tidak melebihi 4 m/dt lebar saluran mengecil ke arah hilir, kedalaman dasar saluran pengarah aliran biasanya diambil lebih besar 1/5 x tinggi rencana limpasan di atas mercu ambang pelimpah (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

3. Saluran Pengatur Aliran

a. Tipe bendung pelimpah (over flow weir type)

Bendung pelimpah sebagai salah satu komponen dari saluran pengatur aliran dibuat untuk lebih meningkatkan pengaturan serta memperbesar debit air yang akan melintasi pelimpah. Debit yang melalui pelimpah dengan ambang tetap dihitung berdasarkan rumus (Soedibyo, 2003):

Q = C x L x H1.5 (2-55)

dengan :

Q = debit yang lewat pelimpah (m3/dt)

C = koefisien debit yang diperoleh berdasarkan hasil kalibrasi (m1/2/dt)

L = lebar efektif ambang pelimpah (m) H = tinggi air diatas ambang pelimpah (m)

b. Koefisien Limpahan

Penampang memanjang Saluran

Pengarah Saluran Pengatur Saluran Peluncur Peredam Energi

Penampang memanjang Saluran

Pengarah Saluran Pengatur Saluran Peluncur Peredam Energi

(25)

Koefisien limpahan pada pelimpah biasanya berkisar antara 2,0 s/d 2,1 yang dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Kedalaman air di dalam saluran pengarah aliran. 2. Kemiringan lereng udik pelimpah.

3. Tinggi air di atas mercu pelimpah.

Koefisien limpahan (Cd) dari tipe standar suatu pelimpah dapat diperoleh

dengan rumus Iwasaki, sebagai berikut :

Cd = 2,200 - 0,0416

(

Hd

W

)

0,99

(2-56)

C = 1,60

1+2a

(

h Hd

)

1+a

(

h

Hd

)

(2-57)

dengan :

C = koefisien limpahan

Cd = koefisien limpahan pada saat h = Hd

h = tinggi air diatas mercu pelimpah (m)

Hd = tinggi tekanan rencana di atas mercu pelimpah (m)

W = tinggi pelimpah (m)

a = konstanta (diperoleh pada saat h = Hd yang berarti C = Cd)

c. Lebar Efektif Pelimpah

(26)

Perhitungan lebar efektif pelimpah dihitung berdasarkan persamaan (KP-02, 1986):

L = L’ - 2 [n . Kp + Ka] . H (2-58)

dengan :

L = lebar efektif pelimpah (m)

L’ = lebar pelimpah yang sesungguhnya (m) n = jumlah pilar-pilar di atas mercu pelimpah Kp = koefisien kontraksi pada pilar

Ka = koefisien kontraksi pada dinding samping

H = tinggi muka air diatas mercu pelimpah (m)

4. Saluran Peluncur

Rencana teknis saluran peluncur didasarkan pada perhitungan Hidrolika untuk memperoleh gambaran kondisi pengaliran melalui saluran tersebut pada debit-debit tertentu (debit banjir rencana, debit banjir abnormal, dan lain-lain). Bentuk dan dimensi saluran serta tinggi dindingnya ditentukan berdasarkan kedalaman aliran air yang melintasi saluran. Berbagai metode perhitungan telah banyak dikembangkan untuk mendapatkan garis permukaan aliran di dalam saluran peluncur (Soedibyo, 2003).

Metode perhitungan yang didasarkan pada teori Bernoulli, sebagai berikut: Z1 + d1 + hv1 = Z2 + d2 + hv2 + hL (2-59)

dengan :

z = elevasi dasar saluran pada suatu bidang vertikal (m) d = kedalaman air pada bidang tersebut (m)

hv = tinggi tekanan kecepatan pada bidang tersebut (m)

hL = kehilangan tinggi tekanan yang terjadi diantara dua buah bidang

yang vertikal yang ditentukan (m)

5. Peredam Energi

(27)

menyebabkan kerusakan dan terganggunya stabilitas lereng. Guna meredusir energi yang terdapat di dalam aliran tersebut maka diujung hilir saluran peluncur biasanya dibuat suatu bangunan yang disebut peredam energi (scour protection stilling basin). Adapun tipe peredam energi secara umum adalah (KP-02, 1986): a. Tipe loncatan (water jump type)

Biasanya digunakan untuk sungai-sungai yang dangkal dengan kedalaman yang kecil dibandingkan loncatan hidrolis du ujung hulu peredam energi.

b. Tipe kolam olakan (stilling basin type)

Tipe ini biasanya dipakai untuk head drop yang lebih tinggi dari 10 meter. Ruang olakan ini memiliki berbagai variasi dan yang terpenting ada empat tipe yang dibedakan oleh rezim hidraulik aliran dan konstruksinya.

c. Tipe bak pusaran (roller bucket type)

Tipe ini biasanya digunakan pada sungai yang mengangkut material berupa batu besar dengan dasar yang relatif tahan gerusan. Untuk menghindarkan kerusakan lantai belakang maka dibuat lantai yang melengkung sehingga bilamana ada batuan yang terbawa akan melanting ke arah hilirnya.

d. Tipe vlughter

Ruang olak ini dipakai pada tanah aluvial dengan aliran sungai tidak membawa batuan besar. Bentuk hidrolis kolam ini akan dipengaruhi oleh tinggi energi di hulu di atas mercu dan perbedaan energi di hulu dengan muka air banjir hilir.

Pertimbangan dalam menentukan tipe peredam energi adalah:

a. Gambaran karakteristik hidrolis pada peredam energi yang direncanakan. b. Hubungan lokasi antara peredam energi dengan tubuh embung.

c. Kondisi-kondisi topografi, geologi dan hidrolika di daerah tempat kedudukan calon peredam energi.

d. Situasi serta tingkat perkembangan dari sungai sebelah hilir.

(28)

2.2.7.2. Analisis Hidrolika Bangunan Pengambilan (Intake)

Bangunan pengambilan merupakan bangunan penyadap yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air irigasi pada lahan pertanian bila fungsi dari waduk tersebut hanya untuk pengairan lahan pertanian. Selain itu, bangunan pengambilan dapat pula berfungsi sebagai sarana untuk memberikan suplai air di bagian hilir waduk.

Dalam menghitung kapasitas pengaliran melalui terowongan (conduit) diperhitungkan terhadap dua macam keadaan aliran yaitu :

1. Pengaliran Bebas

Aliran ini terjadi apabila terowongan tidak terisi penuh atau ujung udik terowongan tidak tenggelam ( H/D < 1,2 ).

Pada keadaan pengaliran bebas digunakan persamaan uniform flow (aliran seragam) dari Manning yaitu dengan memperhatikan kekasaran permukaan dan kecepatan rata-rata aliran, sebagai berikut :

V=1

nR

2 3S

1 2

(2-60)

Q



=



A



x



V

(2-61)

dengan :

V = kecepatan aliran (m/dt) n = koefisien kekasaran Manning R = jari-jari hidrolis (m)

S = kemiringan dasar saluran A = luas penampang basah (m2 )

(29)

V x g h

c

c

 

 

 

2 3

0 5.

(2-62)

QA x Vc (2-63)

dengan :

Vc = kecepatan kritis (m/dt) hc = kedalaman kritis (m)

g = percepatan gravitasi (m/dt2 )

2. Pengaliran tekan (aliran tenggelam)

Aliran ini terjadi apabila terowongan terisi penuh atau ujung udik terowongan tenggelam ( H/D > 1,2 ).

Keadaan aliran yang berbeda pada 1,2 sampai 1,5 H/D, merupakan keadaan transisi yaitu perubahan aliran dari kondisi bebas ke aliran tekan. Pada kondisi pengaliran tekan (dalam saluran tertutup) demikian digunakan persamaan sebagai berikut :

Q2 A x 2. .g h L .sin  /2 / 1 C 0 5,

(2-64) dengan :

h = kedalaman air waduk dihitung dari dasar inlet (m)  = diameter terowongan (m)

S = kemiringan dasar terowongan L = panjang alur terowongan (m)

= sudut yang dibentuk oleh alur terowongan

A = luas penampang basah (m2 )

C = total kehilangan energi (m)

Pada bangunan pengambilan terjadi kehilangan tinggi tekan disepanjang saluran, dimana beberapa kehilangan yang terjadi disepanjang intake adalah:

(30)

c=B(s/b)(4/3)sinθ(2-65)

dengan :

B = Faktor bentuk

= sudut kemiringan saringan pada bidang horisontal

s = tebal jeruji (m)

b = jarak bersih antar jeruji (m)

b. Kehilangan tekanan pada lubang pemasukan (entrance)

fa = c . ( At/Ae ) 2 (2-66)

dengan :

c = 0.1

At/Ae = 1.0

c. Kehilangan tekanan akibat gesekan (fb)

fb = v2 . L/K2 . R4/3 (2-67)

dengan :

fb = Koefisien kehilangan akibat gesekan v = kecepatan aliran ( m2/detik )

K = faktor kekasaran bahan R = jari - jari hidrolis L = panjang saluran (m)

d. Kehilangan tekanan akibat belokan (fc)

fc = ( 0.131 + 0.163 (D/R)(7/2) (/90)0.50 (2-68)

dengan :

R = jari - jari belokan (m) q = sudut belokan

(31)

fd = ( 1 - ( At/Ao ) 2 (2-69)

2.2.8. Analisis Struktur

2.2.8.1. Perencanaan Tubuh Embung

1. Lebar minimum embung

Lebar mercu embung yang memadai diperlukan agar puncak embung dapat tahan terhadap hempasan ombak dan dapat tahan terhadap aliran filtrasi yang melalui puncak tubuh embung. Disamping itu, pada penentuan lebar mercu perlu diperhatikan kegunaannya sebagai jalan inspeksi dan pemeliharaan embung. Penentuan lebar mercu dirumuskan sebagai berikut (Sosrodarsono, 1989) :

B=3 . 6∗Hd1/3−3 (2-70)

dengan :

B = lebar mercu embung (m) Hd = tinggi embung (m)

2. Kemiringan lereng

Kemiringan rata-rata lereng embung (lereng hulu dan lereng hilir) adalah perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui tumit masing-masing lereng tersebut. Berm lawan dan drainase prisma biasanya dimasukkan dalam perhitungan penentuan kemiringan lereng, akan tetapi alas kedap air biasanya diabaikan (Soedibyo, 1993).

 Up stream (bagian hulu)

m

1

=

1

0, 05

Hd

+

1,5

100

(2-71)

(32)

m2= 1

0,05Hd+1 (2-72)

Angka keamanan (SF)

 SF Up stream =

m1cγ '

1+cm1γ '*tanθ (2-73)

 SF Up stream =

m2c 1+cm2 (2-74)

dengan :

SF = faktor keamanan

m1 = kemiringan lereng hulu embung

m2 = kemiringan lereng hilir embung θ = sudut geser dalam

c = koefisien gempa γ’ = berat volume tanah

3. Tinggi embung

Tinggi embung adalah perbedaan antara elevasi permukaan pondasi dan elevasi mercu embung. Apabila pada embung dasar dinding kedap air atau zona kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang vertikal yang melalui hulu mercu embung dengan permukaan pondasi alas embung tersebut. Tinggi maksimal untuk embung adalah 20 m (Loebis, 1987).

Persamaan yang digunakan untuk menghitung tinggi embung adalah (Sosrodarsono, 2003) :

H = tinggi air normal + he + Fb + 1 (2-75)

dengan :

Fb = hw + 0.5he + ha + hi

(33)

he = tinggi ombak akibat gempa (m) he =

((

e

τ

)/

π

)∗

g

H

0

(2-76) dengan:

e = 0.15 (intensitas seismis horizontal) τ = siklus seismis, τ = 1

H0 =kedalaman air didalam waduk

ha = tinggi permukan air waduk yang disebabkan ketidak normalan operasi pintu-pintu bangunan pelimpah.

Berdasarkan Buku Bendungan Tipe Urugan, Suyono.S, hal: 173, tinggi kenaikan permukaan air waduk biasanya sebagai standar, diambil ha = 0.5 meter.

hi = tinggi tambahan yang didasarkan pada tipe bendungan. Standar angka untuk tinggi jagaan bendungan urugan:

 Tinggi bendungan < 50 m : Fb ≥ 2 m

 Tinggi bendungan 50 – 100 : Fb ≥ 3 m

 Tinggi bendungan > 100 m : Fb ≥ 3.5 m

2.2.8.2. Analisis Stabilitas Tubuh Embung 1. Pembebanan

Analisis stabilitas merupakan perhitungan stabilitas bangunan berdasarkan pada jenis bahan bangunan serta geologi bangunan tersebut ditempatkan. Stabilitas suatu bangunan ditentukan oleh kondisi tanah yang menahan beban bangunan tersebut. Kemampuan tanah dalam memikul bangunan diatasnya tergantung pada sifat, jenis dan pengaruh terhadap gaya luar.

Analisis stabilitas pelimpah ditentukan oleh gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pelimpah antara lain (KP-02, 1986):

(34)

1. Tekanan hidrostatik

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986): Ph=12. γw .H2

(2-77) dengan :

Ph = tekanan hidrostatik (t/m)

γw = berat volume air (t/m3)

H = tinggi air (m)

Titik berat gaya pada 13H (m) 2. Tekanan hidrodinamik

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):

Pd= 7

12 γw× H 2

× Kh

(2-78) dengan :

Pd = tekanan hidrostatik (t/m) γw = berat volume air (t/m3) H = tinggi air (m)

Kh = koefisien gempa Titik berat gaya pada 2

5 H (m)

b. Tekanan tanah

1. Tekanan tanah aktif

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):

Pa=1

H

2

× γt×Ka

(2-79) dengan:

Pa = Tekanan tanah aktif (t/m) γt = Berat volume tanah (t/m3) Ka = Koefisien tekanan tanah aktif

(35)

Titik berat gaya pada 13H (m) 2. Tekanan tanah pasif

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):

Pp=1

2 H

2

× γt × Kp

(2-80) dengan:

Pa = Tekanan tanah aktif (t/m) γt = Berat volume tanah (t/m3) Ka = Koefisien tekanan tanah pasif

H = kedalaman tanah untuk tekanan tanah pasif (m) Titik berat gaya pada 13H (m)

3. Tekanan Sedimen/Lumpur

Tekanan sedimen ini akan terjadi setelah bendung beroperasi sehingga didepan bendung tertutup endapan lumpur atau sedimen setinggi ambang bendung.

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):

Ps=1

2

(

γsγw

)

Cs× H 2

(2-81) dengan:

Ps = Tekanan sedimen (t/m) γs = Berat volume sedimen (t/m3) Cs = Koefisien tekanan tanah H = kedalaman air(m) Titik berat gaya pada 13H (m)

c. Beban mati

(36)
[image:36.595.121.503.133.686.2]

Tabel 2.6 Berat Satuan Material

No Jenis Material Berat Satuan (t/m3)

1 Baja 7.85

2 Batu galian, batu kali (tidak dipadatkan) 1.50

3 Batu koral 7.25

4 Besi tuang 0.70

5 Beton 2.20

6 Beton bertulang 2.40

7 Kayu kelas I 1.00

8 Kayu kelas II 0.80

9 Kerikil 1.65

10 Mortal/adukan 2.15

11 Pasangan Bata 1.70

12 Pasangan batu 2.20

13 Pasir (kering udara sampai lengas) 1.60

14 Pasir (basah) 1.80

15 Air 1.00

16 Tanah lempung dan lanau (kering udara sampai lengas) 1.70 17 Tanah lempung dan lanau (basah) 2.00

(Sumber : KP – 06) 1. Berat bangunan

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):

Wt=W1 + W2 + . . .+ Wn (2-82)

W

=

V

×

γ

p (2-83)

dengan:

Wt = Berat bangunan total (t)

W1, W2, . . . ,Wn = Berat bagian-bagian bangunan (t)

V = Volume bangunan (m3)

γp = Berat volume bangunan (t/m3)

2. Berat air

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):

W

w

=

V

×

γ

w

dengan:

Ww = Berat air (t) V = Volume air (m3)

(37)

d. Beban gempa

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):

k

w

=

k

h

.

W

(2-84)

dengan:

kw = Gaya gempa (t) kh = Koefisien gempa W = Berat bangunan (t)

Analisis pengaruh gempa terhadap stabilitas embung dilakukan dengan menggunakan metode cornell and Kawasumi, berdasarkan dari data yang tercatat (1914-1078). Dengan menggunakan metode diatas kecepatan maksimumnya mencapai 47 gall.

Koefisien gempa dapat dihitung berdasarkan Standard Irigasi KP-06 dengan rumus sebagai berikut :

Ad = b1 x ac x z (2-85)

Kh= Ad

G (2-86)

dengan :

Ad = Percepatan gempa rencana (cm/dt2)

b1, b2 = Koefisien jenis tanah (KP-06)

Ac = Percepatan kejut dasar (cm/dt2) (KP-06)

Z = Koefisien getaran daerah gempa tergantung letak geografisnya (KP-06)

g = Percepatan gravitasi (9,8 cm/dt2)

Kh = Koefisien gempa horizontal

e. Gaya tekan ke atas (Uplift)

(38)

Rumus gaya tekan ke atas untuk bangunan yang didirikan pada pondasi batuan adalah :

Px = Hx - Lx

L H (2-87)

dengan :

Px : Gaya angkat pada titik x (kg/m2)

L : Panjang total bidang kontak bendung dan tanah bawah (m) Lx : Jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai titik x (m) H : Beda tinggi energi

Hx : Tinggi energi dihulu bendung (m)

2. Stabilitas Bangunan

a. Stabilitas Terhadap Gaya Guling

Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-02, 1986): Keadaan Normal:

SF=

Mt

Mg>1 . 50 (2-88)

Keadaan Gempa:

SF=

Mt

Mg>1 . 30 (2-89)

dengan:

SF = faktor keamanan

∑Mt = jumlah momen tahan (tm) ∑Mg = jumlah momen guling (tm)

b. Stabilitas Terhadap Gaya Geser

Persamaan yang dipakai adalah (KP-02, 1986):

SF=

(

f . ΣV

)

+

(

c . A

)

ΣH (2-90)

dengan :

(39)

f = koefisien geser,

Σ V = jumlah gaya vertikal (ton), Σ H = jumlah gaya horizontal (ton),

c = kohesi (t/m)

A = Luas bidang dasar pondasi (m2)

c. Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah Persamaan yang dipakai adalah :

Eksentrisitas :

e

=|

M

V

L

2

|

(2-91)

σ

max

=

V

L

(

1

±

6

e

L

)

<

σ

(2-92)

dengan:

σmax = daya dukung maksimum (t/m2), Σ M = Σ Mh – ΣMv (tm),

Σ V = jumlah gaya-gaya vertikal (ton), σ = daya dukung yang diijinkan (t/m2),

e = eksentrisitas akibat beban yang bekerja (m).

2.2.8.3. Analisis Stabilitas Pelimpah 1. Pembebanan

Dalam perhitungan pembebanan ditinjau dari gaya-gaya yang bekerja pada bangunan. Gaya-gaya tersebut antara lain (KP 02):

a. Tekanan Air Statis PW=1

2γw. H

2

(2-93) dengan:

PW = tekanan air statis (ton) γw = berat jenis air (ton/m3)

(40)

b. Tekanan Air Dinamis PD= 7

12γw . Kh . H2 2.

(1−Z1,5

) (2-94)

3 5×

1−Z2,5

1−Z1,5 1−¿

Y=H2.¿

)) (2-95)

dengan:

PD = tekanan air dinamis (ton) γw = berat jenis air (ton/m3)

Kh = koefisien gempa

H1 = tinggi air di atas crest (m)

H2 = tinggi air dari dasar pelimpah (m)

Z = rasio perbandingan untuk H1/H2

Y = jarak terhadap pusat tekanan (m)

c. Berat Konstruksi Sendiri

W=V . γb (2-96)

dengan:

W = berat sendiri bangunan (ton)

γb = berat jenis bahan bangunan (ton/m3)

V = volume bangunan (m3)

d. Tekanan Tanah Aktif PA=1

2Ka . γ . H

2

−2C .

Ka . H (2-97)

dengan:

PA = tekanan tanah aktif (ton) γ = berat jenis tanah (ton/m3)

(41)

Ka = koefisien tekanan tanah aktif

e. Tekanan Tanah Pasif PP=1

2Kp. γ . H

2

+2C .

Kp. H (2-98)

dengan:

PP = tekanan tanah pasif (ton) γ = berat jenis tanah (ton/m3)

H = kedalaman tanah untuk tekanan tanah pasif (m) C = kohesi tanah (ton/m2)

Ka = koefisien tekanan tanah pasif

f. Gaya Akibat Pengaruh Gempa

WE=W . Kh (2-99)

dengan :

WE = gaya akibat pengaruh gempa (ton)

W = berat sendiri bangunan akibat gaya vertikal (ton) Kh = koefisien gempa horizontal

g. Tekanan Uplift W=γwH1+γwH2

2 A (2-100)

dengan :

W = tekanan uplift (ton) γw = berat jenis air (ton/m3)

H1 = tinggi permukaan air dari dasar penampang pada pot. 1

H2 = tinggi permukaan air dari dasar penampang pada pot. 2

(42)

2. Kontrol Stabilitas

Pada perencanaan ambang pelimpah perlu dilakukan kontrol-kontrol stabilitas meliputi (KP 02) :

a. Stabilitas Terhadap Guling

Kontrol stabilitas terhadap momen guling menggunakan rumus : Keadaan Normal:

SF

=

Mt

Mg

>

1.50

(2-101)

Keadaan Gempa:

SF

=

Mt

Mg

>

1.10

(2-102)

dengan:

SF = faktor keamanan Mt = momen tahan (tm) Mg = momen guling (tm)

b. Stabilitas Terhadap Geser

Untuk mengetahui stabilitas terhadap geser digunakan persamaan :

SF=

(

f . ΣV

)

+

(

c . A

)

ΣH >1,1 (2-103)

dengan :

SF = faktor keamanan f = koefisien geser

Σ V = jumlah gaya vertikal (ton) Σ H = jumlah gaya horizontal (ton)

c = kohesi antara fondasi dengan tanah fondasi (t/m) A = Luas pembebanan efektif (m2)

(43)

Eksentrisitas :

e

=|

M

V

L

2

|

(2-104)

σ

max

=

V

L

(

1

±

6

e

L

)

<

σ

(2-105)

dengan:

σmax = daya dukung maksimum (t/m2), Σ M = Σ Mh – ΣMv (tm),

Σ V = jumlah gaya-gaya vertikal (ton), σ = daya dukung yang diijinkan (t/m2),

e = eksentrisitas akibat beban yang bekerja (m).

2.2.9. Rencana Anggaran Biaya (RAB)

Rencana Anggaran Biaya adalah perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan atau proyek tertentu.

Untuk membuat Rencana Anggaran Biaya Konstruksi diperlukan input data antara lain :

1. Gambar Rencana

Untuk menghitung volume pekerjaan diperlukan gambar rencana yang baik dengan dimensi dan skala yang tepat. Gambar rencana yang diperlukan antara lain : denah, potongan memanjang, potongan melintang, dan detail.

2. Perhitungan Volume

Untuk mendapatkan besarnya Rencana Anggaran Biaya proyek yang telah direncanakan, sebagai langkah awal adalah dengan menghitung volume pekerjaan yang berkaitan dengan pelaksanaan fisik yang akan dilaksanakan.

(44)

a. Pekerjaaan Tanah

Perhitungan volume dilakukan berdasarkan rerata luasan data potongan penampang desain tanah dengan dikalikan dengan jarak untuk setiap jenis kegiatan ataupun material jenis material yang digunakan dengan satuan kuantitas, yaitu m2 ataupun m3.

b. Pekerjaan Bangunan

Perhitungan volume dilakukan berdasarkan rerata luasan data potongan penampang desain bangunan yang mewakili bentuk dengan dikalikan jarak untuk setiap jenis kegiatan ataupun meterial yang digunakan dengan satuan kuantitas, yaitu m2 ataupun m3.

c. Pekerjaan Lainnya

Pekerjaan ini disesuaikan dengan sifatnya yang dihitung dalam bentuk satuan kuantitas, yaitu m3, m2, buah, set ataupun lainnya.

3. Analisa Harga Satuan Pekerjaan

Selain gambar rencana, harga satuan juga diperlukan dalam menghitung Rencana Anggaran Biaya suatu konstruksi. Harga satuan yang dimaksud adalah harga satuan bahan, harga satuan upah dan harga satuan peralatan. Harga satuan ini berbeda untuk masing-masing daerah di Indonesia.

 Harga satuan bahan

Adalah harga atau biaya satuan yang dibutuhkan untuk pengadaan suatu material yang dibutuhkan untuk pelaksanaan konstruksi.

 Harga satuan upah

(45)

pekerja berdasarkan tarif hariannya sesuai dengan lamanya bekerja, sedangkan upah tidak langsung meliputi pajak, asuransi, dan berbagai macam tunjangan.

 Harga satuan peralatan

Gambar

Gambar 2.1 Metode Poligon Thiessen
Tabel 2.2 Nilai kritis yang diijinkan untuk metode RAPS
Tabel 2.3 Syarat Penentuan Jenis Agihan
Tabel 2.5 Koefisien Pengaliran
+4

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

a) Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya dibuat dari material perkerasan jalan tanpa bahan pengikat, bahu ini dipergunakan untuk daerah – daerah yang tidak begitu

Setiap orang tua berbeda-beda dalam menerapkan disiplin pada anaknya. Penerapan disiplin ini identik dengan pola asuh. Setiap tipe pola asuh mengakibatkan efek yang berbeda.

Daerah Aliran Sungai (DAS), pengembangan dan pembangunan embung, situ, danau dan bangunan penampung air lainnya, pengelolaan dan pembangunan kawasan muara dan pantai,

Agar gaya-gaya hydrodinamis yang timbul pada aliran filtrasi tidak akan menyebabkan gejala sufosi dan sembulan yang sangat membahayakan baik tubuh embung maupun pondasinya, maka

Efek ini menjelaskan bahwa jika dua kawat logam dengan material yang berbeda dihubungkan dalam suatu rangkaian tertutup dan kedua sambungannya ( junction ) dipertahankan

Akuifer adalah lapisan batuan yang memiliki porositas serta permeabilitas yang baik sehingga mampu menyimpan maupun meloloskan air dengan jumlah yang banyak.. Akuitar adalah

Berbeda dengan embung di daerah lain yang fungsinya untuk menyimpan kelebihan air pada musim hujan untuk digunakan selama musim kemarau, embung di Kutai Kartanegara bisa

a) Elevasi muka air normal yang harus dipertahankan agar kebutuhan air di intake dapat terpenuhi. b) Elevasi muka air maksimum sebagai batas operasi bendung karet. c) Elevasi