• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II DASAR TEORI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II DASAR TEORI

2.1 Pengertian Jalan, Klasifikasi Jalan Raya dan Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya

2.1.1 Pengertian Jalan

Jalan adalah. prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).

Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999).

(2)

2.1.2 Klasifikasi Jalan

Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi yaitu: klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifkasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan (Bina Marga 1997).

2.1.2.1Klasifikasi menurut fungsi jalan

Klasifikasi menurut fungsi jalan terdiri atas 3 golongan yaitu:

1) Jalan arteri yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

2) Jalan kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3) Jalan lokal yaitu Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2.1.2.2Klasifikasi menurut kelas jalan

(3)

Tabel 2.1. Klasifikasi jalan raya menurut kelas jalan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga, 1997.

2.1.2.3 Klasifikasi menurut medan jalan

Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

Tabel 2..2. Klasifikasi Menurut Medan Jalan:

No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)

1 Datar D < 3

2 Berbukit B 3-25

3 Pegunungan G >25

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat/MST (ton) Arteri I

II IIIA

>10 10 8 Kolektor III A

III B

(4)

2.1.2.4Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan

Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya dan Jalan Desa.

2.1.3 Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak di sangka – sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan yang sedang bergerak dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda ( Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1993).

Faktor - faktor penyebab kecelakaan terdiri dari : faktor manusia, faktor kendaraan, faktor jalan, faktor lingkungan (Elly T.P 2006).

1. Faktor manusia (Pengemudi dan Pejalan kaki) a) Pengemudi

Beberapa kriteria pengemudi sebagai penyebab kecelakaan antara lain:

• Pengemudi mabuk (Drunk Driver)

• Pengemudi ngantuk atau lelah (Fatigu or Overly Tired Driver) • Pengemudi lengah (Emotional or Distracted driver)

(5)

b) Pejalan Kaki

Penyebab kecelakaan dapat ditimpakan pada pejalan kaki pada berbagai kemungkinan antara lain seperti menyeberang jalan pada tempat dan waktu yang tidak tepat (aman), berjalan terlalu ketengah dan tidak berhati – hati.

2. Faktor kendaraan: Kendaraan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan apabila tidak dapat dikendalikan sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknis yang tidak layak jalan ataupun penggunaannya tidak sesuai ketentuan antara lain:

• Rem blong, kerusakan mesin, ban pecah adalah merupakan kondisi kendaraan yang tidak layak jalan. Kemudi tidak baik, as atau kopel lepas, lampu mati khususnya pada malam hari, slip dan sebagainya. • Over load atau kelebihan muatan adalah merupakan penggunaan

kendaraan yang tidak sesuai ketentuan tertib muatan.

(6)

• Sistem lampu kendaraan yang mempunyai dua tujuan yaitu agar pengemudi dapat melihat kondisi jalan didepannya konsisten dengan kecepatannya dan dapat membedakan / menunjukkkan kendaraan kepada pengamat dari segala penjuru tanpa menyilaukan.

3. Faktor jalan

Jalan dapat menjadi penyebab kecelakaan antar lain untuk hal – hal sebagai berikut:

• Kontruksi pada permukaan jalan (misalnya terdapat lubang yang sulit dikenal oleh pengemudi)

• Kontruksi jalan yang rusak atau tidak sempurna (misalnya bila posisi permukaan bahu jalan terlalu randah terhadap permukaan jalan)

• Geomrtik jalan yang kurang sempurna misalnya derajat kemiringan (superelevasi) yang terlalu kecil atau terlalu besar pada tikungan, terlalu sempitnya pandangan bebas pengemudi dan kurangnya perlengkapan jalan.

4. Lingkungan

(7)

PT Jasa Marga mengelompokkan jenis tabrakan yang melatarbelakangi terjadinya

kecelakaan lalu lintas menjadi :

1. Tabrakan depan – depan

Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana keduanya saling beradu muka dari arah yang berlawanan, yaitu bagian depan kendaraan yang satu dengan bagian depan kendaraan lainnya.

2. Tabrakan depan – samping

Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan

kendaran yang satu menabrak bagian samping kendaraan lainnya.

3. Tabrakan samping – samping

Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian samping kendaraan yang satu menabrak bagian yang lain.

4. Tabrakan depan – belakang

Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan

(8)

5. Menabrak penyeberang jalan

Adalah jenis tabrakan antara kendaraan yang tengah melaju dan pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan.

6. Tabrakan sendiri

Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju mengalami kecelakaan sendiri atau tunggal.

7. Tabrakan beruntun

Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang melibatkan lebih dari dua kendaraan secara beruntun.

8. Menabrak obyek tetap

Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak obyek tetap dijalan

2.2Perencanaan Geometrik Jalan Raya 2.2.1 Standar Perencanaan

(9)

peraturan resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tentang perencanaan geometrik jalan raya. Peraturan yang dipakai dalam studi ini adalah “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota” yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga dengan terbitan resmi No. 038 T/BM/1997 dan American Association of State Highway and Transportation Officials. 2001 (AASHTO 2001).

2.2.2 Kendaraan Rencana

Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Dilihat dari bentuk, ukuran dan daya dari kendaraan – kendaraan yang menggunakan jalan, kendaraan - kendaraan tersebut dapat dikelompokkan (Bina Marga, 1997).

Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik disesuaikan dengan fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan menggunakan jalan tersebut. Pertimbangan biaya juga tentu ikut menentukan kendaraan yang dipilih sebagai perencanaan.

Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori antara lain:

1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.

(10)

Tabel 2.3 Dimensi Kendaraan Rencana KATEGORI KENDARAAN RENCANA DIMENSI KENDARAAN (cm) TONJOLAN (cm) RADIUS PUTAR (cm) RADIUS TONJOL AN (cm) Ting gi Leba r Panja ng Depa n Belaka ng

Minimum Maksim um Kendaraan

Kecil

130 210 580 90 150 420 730 780

Kendaraan Sedang

410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Kendaraan Besar

410 260 2100 1200 900 2900 14000 1370

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

2.2.3 Volume Lalu – Lintas Rencana

(11)

tinggi sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Disamping itu juga mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang tidak pada tempatnya/ tidak ekonomis (Sukirman, 1994).

Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar jalur adalah:

1. Lalu lintas harian rata-rata 2. Volume jam perencanaan

2.2.3.1Lalu Lintas Harian Rata-Rata

Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu hari (Sukirman,1994). Cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu lintas harian rata-rata, yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata.

LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahunan penuh..

LHRT =

365

intasdalamSatuTahun L

Lalu Jumlah

………...………...2.1

(12)

LHR = tan tan int Pengama Lamanya Pengama Selama as L Lalu Jumlah ……….2.2

Data LHR ini cukup teliti jika :

1. Pengamatan dilakukan pada interval-interval waktu yang cukup menggambarkan fluktuasi arus lalu lintas selama satu tahun.

2. Hasil LHR yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari perhitungan LHR beberapa kali

2.2.3.2Volume Jam Perencanaan (VJR)

Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas per jam yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan (Sony Sulaksono, 2001). Volume ini harus mencerminkan keadaan lalu lintas sebenarnya tetapi biasanya tidak sama dengan volume terbesar atau arus tersibuk yang akan melewatinya, perencanaan berdasarkan volume terbesar ini akan mengahasilkan konstruksi yang boros yang hanya akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam kurun waktu singkat dalam sehari.

(13)

geometrik jalan antar kota ditentukan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.4 Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

NO JENIS KENDARAAN DATAR/

PERBUKITAN

PEGUNUNGAN

1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0

2 Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2-2,4 1,9-3,5

3 Bus dan Truck Besar 1,2-5,0 2,2-6,0

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

Besarnya volume jam perencanaan ditentukan dengan persamaan:

VJR = VLRH x F K

………...…2.3

Dimana : VJR = Volume Jam Perencanaan (smp/jam)

VLRH = Volume Lintas Harian Rata – rata Tahunan (smp/jam)

K = Faktor K, faktor volume lalu lintas jam tersibuk dalam setahun

F = Faktor variasi volume lalu lintas dalam satu jam tersibuk

(Peak Hour Faktor / PHF)

(14)

sedangkan untuk jalan antar kota disesuaikan dengan besarnya VLHR seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.5 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas Harian Rata-rata

VLHR FAKTOR K

(%)

FAKTOR F (%)

> 50.000 4 - 6 0,9 - 1

30.000 – 50.000 6 - 8 0,8 - 1

10.000 – 30.000 6 - 8 0,8- 1

5.000 – 10.000 8 - 10 0,6 – 0,8

1.000 – 5.000 10 - 12 0,6 – 0,8

< 1.000 12 - 16 < 0,6

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

2.2.4 Kecepatan Rencana

Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan dibagi waktu tempuh, biasanya dinyatakan dalam km/jam.

(15)

pandang dan lain- lain (Sukirman, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana adalah keadaan terrain apakah datar, berbukit atau gunung. Untuk menghemat biaya tentu saja perencanaan jalan sepantasnya disesuaikan dengan keadaan medan. Suatu jalan yang ada di daerah datar tentu saja memiliki design speed yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah pegunungan atau daerah perbukitan.

Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kecepatan rencana antara lain:

a) Topografi ( Medan )

Untuk perencanaan geometrik jalan raya, keadaan medan memberikan batasan

kecepatan terhadap kecepatan rencana sesuai dengan medan perencanaan

( datar, berbukit, dan gunung ).

b) Sifat dan tingkat penggunaan daerah

Kecepatan rencana untuk jalan - jalan arteri lebih tinggi dibandingkan jalan

(16)

Tabel 2.6 Kecepatan Rencana, VR, Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kiasifikasi Medan Jalan

Fungsi Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)

Datar Bukit Pegunungan

Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70

Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50

Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

2.3Elemen Perencanaan Geometrik Jalan 2.3.1 Penampang Melintang Jalan

Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan secara melintang tegak lurus sumbu jalan (Sukirman, 1994). Bagian-bagian penampang melintang jalan yang terpenting dapat dibagi menjadi :

1. Jalur lalu lintas 2. Lajur

3. Bahu jalan 4. Selokan 5. Median

(17)

7. Lereng

Bagian-bagian penampang melintang jalan ini dan kedudukannya pada penampang melintang terlihat seperti pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

a) DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan)

(18)

permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan.

b) DAMIJA (Daerah Milik Jalan)

DAMIJA (Daerah Milik Jalan) adalah daerah yang dibatasi oleh lebar yang sama dengan Damaja ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1.5 meter.

c) DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan)

DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan) adalah ruang sepanjang jalan di luar DAMAJA yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan

sebagai berikut:

a) jalan Arteri minimum 20 meter b) jalan Kolektor minimum 15 meter c) jalan Lokal minimum 10 meter

Untuk keselamatan pemakai jalan, DAWASJA di daerah tikungan ditentukan oleh jarak pandang bebas.

(19)

Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman

Gambar 2.3. Penampang Melintang Jalan Tanpa Median

Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman

2.3.1.1Jalur Lalu Lintas

Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu lintas kendaraan (Sukirman ,1994).

Lebar jalur lalu lintas (travelled way = carriage way) adalah saluran perkerasan jalan yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan yang terdiri dari beberapa jalur yaitu jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk di lewati oleh kendaraan dalam satu arah. Pada jalur lalu lintas di jalan lurus dibuat miring, hal ini diperuntukkan terutama untuk kebutuhan drainase jalan dimana air yang jatuh di atas permukaan jalan akan cepat mengalir ke saluran-saluran pembuangan. Selain itu, kegunaan kemiringan melintang jalur lalu lintas adalah untuk kebutuhan keseimbangan gaya sentrifugal yang bekerja terutama pada tikungan.

(20)

Separator.

Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur dengan type anatara lain:

a) 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB) b) 1 jalur-2 lajur-l arah (2/1 TB) c) 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B) d) 2 jalur-n lajur-2 arah (n/2 B) Keterangan: TB = tidak terbagi.

B = terbagi

Gambar 2.4 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-2 Arah (2/2 TB)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(21)

Gambar 2.5 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-l Arah (2/1 TB)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

Gambar 2.6 Jalan 2 Jalur-4 Lajur-2 Arah (4/2 B)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(22)

Tabel 2.7 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu jalan

VLHR

(smp/jam)

ARTERI KOLEKTOR LOKAL

Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum

Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m)

< 3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0

3000 –

10.000

7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0

10.001– 25.000

7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -

>25.000 2n x 3,5*)

2,5 2 x 7,0*)

2,0 2n x 3,5*)

2,0 **) **) - - - -

Keterangan: **) = Mengacu pada persyaratan

*) = 2 jalur terbagi, masing – masing n × 3, 5m, dimana n jumlah lajur per jalur

- = Tidak ditentukan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(23)

2.3.1.2Lajur

Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana (Jotin Khisty, 2003).

2.3.1.2.1 Lebar Lajur Lalu Lintas

Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling menentukan lebar melintang jalan secara keseluruhan (Sukirman, 1994). Besarnya lebar lajur lalu lintas hanya dapat ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan karena :

a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan dapat diikuti oleh lintasan kendaraan lain dengan tepat.

b. Lajur lalu lintas mungkin tepat sama degan lebar kendaraan maksimum. Untuk keamanan dan kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang gerak antara kendaraan.

c. Lintasan kendaraan tidak mengkin dibuat tetap sejajar sumbu lajur lalu lintas, karena selama bergerak akan mengalami gaya – gaya samping seperti tidak ratanya permukaan, gaya sentritugal ditikungan, dan gaya angin akibat kendaraan lain yang menyiap.

(24)

kenyamanan yang diharapkan. Pada jalan lokal (kecepatan rendah) lebar jalan minimum 5,50 m (2 x 2,75) cukup memadai untuk jalan 2 jalur dengan 2 arah.

Dengan pertimbangan biaya yang tersedia, lebar 5 m pun masih diperkenankan.Jalan arteri yang direncanakan untuk kecepatan tinggi, mempunyai lebar lajur lalu lintas lebih besar dari 3,25 m sebaiknya 3,50 m.

Tabel 2.8 Lebar Lajur Jalan Ideal

FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR

IDEAL (m)

Arteri I

II, III A

3,75 3,50

Kolektor III A, III B 3,00

Lokal III C 3,00

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

2.3.1.2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas

(25)

16 lajur pada jalan 2 arah terpisah.Kemiringan melintang jalur lalu lintas jalan lurus diperuntukkan untuk kebutuhan drainase jalan (Jotin Khisty, 2003). Air yang jatuh di atas permukaan jalan supaya cepat dialirkan ke saluran – saluran pembuangan. Kemiringan melintang jalan normal dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.7 Kemiringan melintang jalan normal

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

2.3.1.3Bahu Jalan

(26)

Bahu jalan berfungsi sebagai :

1. Tempat berhenti sementara kendaraan

2. Menghindarkan diri dari saat-saat darurat sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan

3. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping agar tidak mudah terkikis

4. Ruang pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan parbaikan atau pemeliharaan jalan (Bina Marga, 1997).

2.3.1.3.1 Jenis Bahu Jalan

Berdasarkan tipe perkerasannya, bahu jalan dapat dibedakan atas :

a) Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya dibuat dari material perkerasan jalan tanpa bahan pengikat, bahu ini dipergunakan untuk daerah – daerah yang tidak begitu penting, dimana kendaraan yang berhenti dan mempergunakan bahu tidak begitu banyak jumlahnya.

(27)

2.3.1.3.2 Lebar Bahu Jalan

Besarnya lebar bahu jalan dipengaruhi oleh :

a) Fungsi jalan; jalan arteri direncanakan untuk kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalan lokal. Dengan demikian jalan arteri membutuhkan kebebasan samping, keamanan, dan kenyamanan yang lebih besar, atau menuntut lebar bahu yang lebih besar dari jalan lokal.

b) Volume lalu lintas; volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar bahu yang lebih besar dibandingkan dengan volume lalu lintas yang lebih rendah. c) Kegiatan disekitar jalan.; Jalan yang melintasi daerah perkotaan, pasar,

sekolah, membutuhkan lebat bahu jalan yang lebih besar dari pada jalan yang melintasi daerah rural.

d) Ada atau tidaknya trotoar

e) Biaya yang tersedia; sehubungan dengan biaya pembebasan tanah, dan biaya untuk konstruksi (Jotin Kisty, 2003).

2.3.1.3.3 Lereng Melintang Bahu Jalan

(28)

ikatan antara agregat dan aspal yang akhirnya dapat memperpendek umur pelayanan jalan. Untuk itu, haruslah dibuat kemiringan bahu jalan yang sebesar – besarnya tetapi aman dan nyaman bagi pengemudi kendaraan. Kemiringan melintang jalur perkerasan jalan, yang dapat bervariasi sampai 6 % tergantung dari jenis permukaan bahu, intensitas hujan, dan kemungkinan penggunaan bahu jalan. Kemiringan bahu jalan normal antara 3 - 5%. dengan ketentuan seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.8 Bahu Jalan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

Gambar 2.9 Kombinasi Bahu Dengan Trotoar

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(29)

2.3.1.4Median

Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah (Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004).

Fungsi median adalah untuk:

a) Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah b) Ruang lapak tunggu penyeberang jalan

c) Penempatan fasilitas jalan

d) Tempat prasarana kerja sementara e) Penghijauan

f) Tempat berhenti darurat (jika cukup luas) g) Cadangan lajur (jika cukup luas)

h) Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawanan Median dapat dibedakan atas :

a) Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur yang direndahkan.

b) Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur yang ditinggikan.

Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25-0,50 meter dan bangunan

(30)
[image:30.612.133.521.342.536.2]

Tabel 2.9 Lebar Minimum Median

Bentuk Median Lebar Minimum

Median Ditinggikan 2,0

Median Direndahkan 7,0

Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana

Wilayah.2004

Gambar 2.10 Median Direndahkan

Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana

(31)

Gambar 2.11 Median Ditinggikan

Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana

Wilayah.2004

2.3.1.5Fasilitas Pejalan Kaki

Pejalan kaki adalah istilah dalam transportasi yang digunakan untuk menjelaskan orang yang berjalan di lintasan pejalan kaki baik dipinggir jalan, trotoar, lintasan khusus bagi pejalan kaki ataupun menyeberang jalan. Untuk melindungi pejalan kaki dalam berlalu lintas, pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.

(32)

sangat penting terutama di daerah perkotaan dan untuk jalan masuk ke atau keluar dari tempat tinggal (Clarkson H.Oglesby,1999).

2.3.2 Segmen/ Ruas Jalan 2.3.2.1Panjang Bagian Lurus

[image:32.612.113.500.338.477.2]

Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit sesuai dengan tabel di bawah ini:

Tabel 2.10 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Fungsi Panjang Bagian Lurus Maximum

Datar Perbukitan Pegunungan

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500

Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997

2.3.2.2 Jarak Pandang

(33)

2.3.2.2.1 Jarak Pandang Henti ( JPH )

Jarak pandang henti (JPH) adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan kendaraan bila ada suatu halangan di tengah jalan (Sony Sulaksono, 2001).

Tabel 2.11 Persyaratan Jarak Pandangan Henti

VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

2.3.2.2.2 Jarak Pandang Mendahului (JPM)

Jarak pandang mendahului (JPM) adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula (Bina Marga,1997).

Tabel 2.12 Persyaratan Jarak Pandangan Mendahului

VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(34)

2.3.2.2.3 Daerah Bebas Samping di Tikungan

Pada saat mengemudikan kendaraan pada kecepatan tertentu, ketersediaan jarak pandang yang baik sangat dibutuhkan apalagi sewaktu kendaraan menikung atau berbelok. Keadaan ini seringkali terganggu oleh gedung-gedung (perumahan penduduk), pepohonan, hutan-hutan kayu maupun perkebunan, tebing galian dan lain sebagainya.Oleh karena itu perlu adanya daerah bebas samping di tikungan untuk menjaga keamanan pemakai jalan (Jotin Khisty,2003).

Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan pandang di tikungan sehingga jarak pandangan henti (Jh) dipenuhi. Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang sejauh E (m) diukur dari garis tengah lajur dalam sampai objek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi ( Bina Marga 1997).

Jarak ini diperlukan untuk memenuhi syarat jarak pandang yang besarnya tergantung jari-jari (R), kecepatam rencana (V) dan keadaan lapangan. Terdapat dua kemungkinan keadaan, yaitu :

a) Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)

E = R ( 1 – cos ( R

Jh π

0

90

) )...2.4

Dimana : R = Jari – jari tikungan (m)

(35)

Lt = Panjang tikungan (m)

Gambar 2.12. Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(36)
[image:36.612.147.428.129.455.2]

Grafik 2.1 Jarak Penghalang (E), Dari Sumbu Lajur Sebelah Dalam

(37)

Tabel 2.13 berisi nilai E (m) untuk Jh<Lt, VR (km/jam) dan Jh (m)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(38)

b) Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt)

E = R ( 1 – cos ( R

Jh π

0

90

) ) + 2 1

( Jh – Lt ) sin ( R

Jh π

0

90

)...2.5

Dimana : R = Jari – jari tikungan (m)

Jh = Jarak pandang henti (m)

Lt = Panjang tikungan (m)

Gambar 2.13. Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(39)
[image:39.612.138.511.118.531.2]

Tabel 2.14 Berisi Nilai E (m) Untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(40)
[image:40.612.136.513.147.538.2]

Tabel 2.15 Berisi nilai E (m) Untuk Jh>L, VR (km/jam) dan Jh (m), Dimana Jh - Lt = 50 m.

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(41)

2.4Persyaratan Alinemen 2.4.1 Alinemen Vertikal 2.4.1.1Pengertian

Alinemen vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang vertikal yang melalui sumbu jalan tersebut.Alinemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal (Sukirman, 1994). Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar).

2.4.1.2Landai Maksimum

[image:41.612.117.520.516.597.2]

Landai Maksimum adalah landai vertikal maksimum dimana truk dengan muatan penuh masih mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari setengah kecepatan awal tanpa penurunan gigi rendah ( Sony Sulaksono, 2001) seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.16 Kelandaian maksimum yang diizinkan

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Kelandaian Maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(42)

2.4.1.3Panjang Kritis

[image:42.612.119.522.306.416.2]

Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari kecepatan rencana (Sony Sulaksono, 2001).Lama perjalanan tersebut tidak boleh lebih dari satu menit.

Tabel 2.17 Panjang Kritis

Kecepatan pada awal tanjakan (km/jam)

Kelandaian

4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997

2.4.1.4Lengkung Vertikal

Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti. Lengkung vertikal terdiri atas lengkung vertikal cembung dan lengkung vertikal cekung (Sony Sulaksono, 2001).

Panjang lengkung vertikal (LV) ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

(43)

LV = 405

2

S A

……….………2.6

b. Jika jarak pandang henti lebih bear dari panjang lengkung vertikal cekung.

LV = 2 S - A 405

………..…………2.7

Panjang minimum lengkung vertikal dapat ditentukan dengan rumus:

LV = A Y………..………..2.8

LV = 405

S

………..2.9

Dimana:

LV = Panjang lengkung vertikal (m)

A = Perbedaan grade (m)

S = Jarak pandang henti (m)

(44)
[image:44.612.120.524.136.242.2]

Tabel 2.18 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan, Y

Kecepatan Rencana ( km/jam) Faktor Penampilan Kenyamanan, Y

< 40 1,5

40 - 60 3

>60 8

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997

Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai tabel berikut didasarkan pada penampilan,kenyamanan dan jarak pandang.

Tabel 2.19 Panjang Minimum Lengkung Vertikal Kecepatan Rencana

(km/jam)

Perbedaan Kelandaian Memanjang (%)

Panjang Lengkung (m)

< 40 1 20 - 30

40 - 60 0,6 40 - 80

> 60 0,4 80 - 150

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

[image:44.612.119.521.415.563.2]
(45)

2.4.2 Alinemen Horizontal 2.4.2.1 Pengertian

Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”, yang terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur peralihan saja atau busur lingkaran saja (Sukirman, 1994). Alinemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan). Perencanaan geometrik pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR.

2.4.2.2Jari - Jari Tikungan

Jari - jari tikungan adalah nilai yang membatasi besar kelengkungan untuk kecepatan rencana tertentu dan ditentukan dari besar superelevasi maksimum dan faktor gesekan samping maksimum yanag dipilih untuk desain ( AASHTO 2001).

(46)

permukaan jalan (f) didapat dari hukum mekanika F = m.a (Hukum Newton II).Gaya

sentrifugal saat kendaraan bergerak di tikungan dengan persamaan gR

V

G 2

, dimana G

= berat kendaraan dan g = percepatan gravitasi. Dalam hal ini terdapat tiga keadaan keseimbangan, yaitu:

1. Stadium I : Gaya sentrifugal diimbangi gesekan ban Vs perkerasan..

K

Gambar 2.14 Gaya Sentrifugal Diimbangi Gesekan Ban Vs Perkerasan F max

G

FL FR

(47)

Penurunan Rumus:

K = F max FL + FR = K

( NR + NL ) f = m . a

G . f = g G . R V2 f = R g V . 2

, g = 9,8 2

s m g = 3600 1 1000 98 2 jam km

g = 127.000 2

jam km f = R V . 12700 2

, R dalam satuan meter maka:

f = R V . 0 12700 2 . 1000 1 f = R V . 127 2

(48)
[image:48.612.120.518.148.374.2]

2. Stadium II : Gaya sentrifugal diimbangi hanya dengan kemiringan melintang jalan

Gambar 2.15 Gaya Sentrifugal Diimbangi Hanya Dengan Kemiringan Melintang Jalan

Penurunan Rumus:

F max = K

G sin α = K cos α

G sin α = m. a cos α

G sin α = g G

. R V2

cos α : G cos α

tg α = gR V2

, g = 9,8 2

s m

G sin α K cos α

G K

(49)

g = 3600 1 1000 98 2 jam km

g = 127.000

jam km e = R V 000 . 127 2 . 1000 1 e = R V . 127 2

Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.

3. Stadium III : Gaya sentrifugal diimbangi dengan gaya gesek dan kemiringan melintang jalan

FR FL

G sin α

G K

α K cosα

G cos α NL

(50)
[image:50.612.118.379.298.678.2]

Gambar 2.16 Gaya Sentrifugal Diimbangi Dengan Gaya Gesek Dan Kemiringan Melintang Jalan

Penurunan Rumus:

F max = K

( FL + FR ) + G sin α = K cos α

( NL + NR ) f + G sin α= K cos α

G cos α. f + G sin α= m . g cos α

G cos α. f + G sin α= g G

. R v2

cos α : G cos α.

f + α α cos sin = R g V . 2

, g = 9,8 2

s m g = 3600 1 1000 98 2 jam km

g = 127.000

jam km

f + tg α =

R V 000 127 2 . 1000 1

f + tg α = R V 127

(51)

f + e = R V 127 2

Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.

Dari ketiga keseimbangan di atas diperoleh kesimpulan yaitu:

Pada stadium I : Rmin =

fm V 127

2

...2.10

Pada stadium II : Rmin = m e V 127 2 ...2.11

Pada stadium III : Rmin =

) ( 127 2 m m f e V + ………..………..…2.12

Rumus dasar dari kendaraan yang melintasai tikungan menurut bina marga adalah sbb:

e + f = R V 127 2 ...2.13 Dengan :

e = Superelevasi

(52)

Grafik 2.2 Koefisien Gesekan Melintang Maksimum Untuk Desain

[image:52.612.152.460.124.308.2]

Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.

Tabel 2.20 Rekomendasi AASHTO Untuk Koefisien Gesekan Samping

Kecepatan Rencana (mph)

20 30 40 50 60 70 80

Kecepatan Rencana (km/jam)

32 48 64 80 97 113 129

Koefisien 0,17 0,16 0,15 0,14 0,12 0,10 0,08

Sumber: Teknik Jalan Raya, Clarkson H.Oglesby

(53)

Rmin =

) 01

, 0 (

127 max max

2

f e V

+ ...2.14

Dengan :

e = superelevasi

f = faktor gesekan samping

V = kecepatan rencana (km/jam)

[image:53.612.115.557.407.630.2]

R = jari-jari tikungan (m)

Tabel 2.21 Panjang Jari-jari Minimum

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jari-jari Minimum Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

Jari-jari Minimum Tanpa Lengkung Peralihan (m)

2500 1500 900 500 350 250 130 60

Jari-jari Minimum Tanpa Superelevasi (m)

5000 2000 1250 700 - - - -

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(54)
[image:54.612.116.566.121.701.2]

Tabel 2.22 Jari-Jari Minimum Untuk Jalan Luar Kota, Jalan Tol, Jalan Perkotaan Berdasarkan Nilai e dan f

Kecepatan Rencana (Km/Jam) Superelevasi maximum (%) Koefisien Gesek (f) Total (e/100+f) Radius (m) Radius (Pembulatan) (m)

20 4,0 0,18 0,22 14,5 15

30 4,0 0,17 0,21 33,7 35

40 4,0 0,17 0,21 60,0 60

50 4,0 0,15 0,20 98,4 100

60 4,0 0,15 0,19 149,1 150 70 4,0 0,14 0,18 214,2 215 80 4,0 0,14 0,18 279,8 280

90 4,0 0,13 0,17 375,0 375 100 4,0 0,12 0,16 491,9 490

20 6,0 0,18 0,24 13,1 15

30 6,0 0,17 0,23 30,8 30

40 6,0 0,17 0,23 54,7 55

50 6,0 0,16 0,22 89,4 90

60 6,0 0,15 0,21 134,9 135 70 6,0 0,14 0,20 192,8 195 80 6,0 0,14 0,20 251,8 250

90 6,0 0,13 0,19 335,5 335 100 6,0 0,12 0,18 437,2 435

110 6,0 0,11 0,17 560,2 560 120 6,0 0,09 0,15 755,5 755

130 6,0 0,08 0,14 950,0 950

20 8,0 0,18 0,28 12,1 10

30 8,0 0,17 0,25 28,3 30

40 8,0 0,17 0,25 50,4 50

50 8,0 0,16 0,24 82,0 80

60 8,0 0,15 0,23 123,2 125 70 8,0 0,14 0,22 175,3 175

80 8,0 0,14 0,22 228,9 230 90 8,0 0,13 0,21 303,6 305

100 8,0 0,12 0,20 393,5 395 110 8,0 0,11 0,19 501,2 500

120 8,0 0,09 0,17 666,6 665 130 8,0 0,08 0,18 831,3 830

20 10,0 0,18 0,28 11,2 10 30 10,0 0,17 0,27 26,2 25

(55)

60 10,0 0,15 0,25 113,3 115 70 10,0 0,14 0,24 160,7 160

80 10,0 0,14 0,24 209,9 210 90 10,0 0,13 0,23 277,2 275

100 10,0 0,12 0,22 357,7 360 110 10,0 0,11 0,21 453,5 455

120 10,0 0,09 0,19 596,5 595 130 10,0 0,08 0,18 738,9 740 20 12,0 0,18 0,30 19,5 10

30 12,0 0,17 0,29 24,4 25 40 12,0 0,17 0,29 43,4 45

50 12,0 0,16 0,28 70,3 70 60 12,0 0,15 0,27 104,9 105

70 12,0 0,14 0,26 148,3 150 80 12,0 0,14 0,26 193,7 195

90 12,0 0,13 0,25 255,0 255 100 12,0 0,12 0,24 327,9 330

110 12,0 0,11 0,23 414,0 415 120 12,0 0,09 0,21 539,7 540 130 12,0 0,08 0,20 665,0 665

Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

2.4.2.3Menentukan Bentuk Tikungan

Berdasarkan jari-jari tikungan, maka tikungan atau disebut juga lengkung horizontal dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:

1. Bentuk Tikungan Full Circle (FC)

2. Bentuk Tikungan Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)

(56)

2.4.2.3.1 Bentuk Tikungan Full Circle (FC)

Bentuk tikungan full circle disebut juga bentuk busur lingkaran sederhana. Bentuk ini dipergunakan hanya pada lengkung yang mempunyai radius besar dan besar sudut tangent yang kecil. Adapun lengkung tikungan full circle seperti gambar 2.17 dibawah ini. Di Indonesia penggunaan bentuk full circle mempunyai batasan-batasan tertentu seperti pada tabel 2.23 di bawah ini.

Gambar 2.17 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)

[image:56.612.160.520.268.437.2]

Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.

Tabel 2.23 Batasan-Batasan Dalam Bentuk Full Circle

Kecepatan Rencana (km/jam) Jari – Jari Lengkung Minimum (m)

120 2500

100 1500

(57)

60 500

50 350

40 250

30 130

20 60

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil daripada harga-harga di atas bentuk tikungan harus dipakai spiral - circle – spiral atau spiral – spiral.

Rumus-rumus untuk full circle menentukan T,L dan E adalah sebagai berikut:

tg 2 1 =

R T

………..…….2.15

Sehingga diperoleh:

T = Rtg 2

1 ………..2.16

E = T tg 4

1 Δ ...2.17

E =

2 1 cos

R

- R ……….…….….2.18

L = 0 360

(58)

L = 0,01745.∆.R………...2.20

Dengan:

P.I = Point of intersection

V = Kecepatan rencana (km/jam) R = Jari-jari (m)

∆ = Sudut tangent (derajat)

TC = Tangent circle

CT = Circle tangent

T = Jarak antara TC dan PI (m) L = Panjang bagian tikungan (m) E = Jarak PI ke bentuk lengkung (m)

2.4.2.3.2 Bentuk Tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S)

(59)

1. Sebuah rute alamiah dan mudah diikuti oleh pengemudi sehingga gaya sentrifugal meningkat atau berkurang secara bertahap seiiring kendaraan memasuki dan meninggalkan lengkungan melingkar.

2. Superelevasi dapat diatur sesuai keinginan dan lebih mudah.

3. Fleksibilitas dalam pelebaran lengkungan tajam.

4. Tampilan jalan raya yang lebih baik.

Lengkungan spiral merupakan peralihan dari bagian lurus ke bagian circle. Panjang lengkung peralihan (spiral) diperhitungkan dengan mempertimbangkan bahwa perubahan gaya sentripugal dari nol (pada bagian lurus) sampai sebesar :

K = Ls R V M . . 2 ………..…………...…2.21

Menurut Bina Marga 1997 lengkungan spiral dapat ditentukan dengan 3 rumus:

1. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal

Ls min = 0,022. C R V3 - 2,727. C K V. …..……….…….…2.22 Dimana:

Ls = Panjang spiral (m)

V = Kecepatan rencana (km/jam)

(60)

C = Perubahan kecepatan

K = Superelevasi

2. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan

Ls = 6 , 3 V .T………..………2.23

Dimana: T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 detik.

V = kecepatan rencana (km/jam).

3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian

Ls = e n m r V e e 6 , 3 ). ( − ………..……2.24

Dimana: V = kecepatan rencana (km/jam)

em = superelevasi maximum

en = superelevasi normal

re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan (%/detik)

Untuk VR ≤ 70 km/jam, re-max = 0.035 %/detik

(61)
[image:61.612.111.531.213.656.2]

Selain ketiga rumus diatas, untuk tujuan praktis Ls dapat ditetapkan dengan menggunakan tabel 2.24

Tabel 2.24 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang Pencapaian Superelevasi (Le) Untuk Jalan l Jalur-2 Lajur-2 Arah.

VR (km/jam) Superelevasi (%)

2 4 6 8 10

Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le 20

30

40 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40

50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50

60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 60

70 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70

80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120

90 30 60 40 70 50 80 70 100 100 130 100 35 65 45 80 55 90 80 110 110 145

110 40 75 50 85 60 100 90 120 - -

120 40 80 55 90 70 110 95 135 - -

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(62)

Menurut AASHTO 2001 lengkung spiral dapat ditentukan dengan rumus:

Ls =

C R

V3 0214 , 0

………..2.25

Dimana: Ls = Panjang minimum lengkung spiral (m) R = Jari – jari tikungan (m)

V = Kecepatan Rencana (km/jam) C = Perubahan Percepatan (1,2 m/s2)

Bentuk tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S) dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.18. Bentuk Tikungan Spiral - Circle – Spiral ( S – C – S )

(63)

Jari-jari circle yang diambil harus sesuai dengan kecepatan rencana yang ditentukan serta tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum. Kemiringan tikungan maksimum menurut bina marga dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

1. Untuk jalan antar kota, kemiringan tikungan maksimumnya 10 %

2. Untuk jalan kota, kemiringan tikungan maksimumnya 8 %

Rumusan-rumusan untuk Spiral - Circle – Spiral (lihat gambar 2.18)

Ts = (R+P) tg 2

1 + K………...…2.26

Es = ∆ + . 2 1 cos ) (R P

-

R………....……….……2.27

∆= ∆−2θs………...……….…...………2.28

Lc = 0 360

.2π.R………...………...……2.29

(64)

Xc = Ls - 2

3

40Rc Ls

………...………..2.32

X = L -

2 2 5

40Rc Ls L

………...……….…..2.33

P = Yc – Rc ( 1 – cos θS)……….2.34

K = Xc – Rc sin θ………....2.35

L = Lc + 2.Ls...2.36

Dimana:

P.I = Point of intersection

d = Jarak PI ke PI yang lain (m)

V = Kecepatan rencana (km/jam)

∆ = Sudut tangent (derajat)

R = Jari-jari (m)

θЅ = Sudut lengkung spiral (derajat)

Ls = Panjang lengkung spiral (m)

e = Kemiringan melintang (%)

(65)

D= R 0 4 , 1432 ... 2.37

R atau D yang telah ditetapkan, lihat tabel emax

R atau V didapat : e = ……… (%)

Ls = ……… (m)

Selanjutnya lihat tabel untuk lengkung spiral :

Ls = ……… (m) : didapat harga : θЅ = ………...…(derajat)

R = ……… (m) P = …………...………...… (m)

K =……… (m)

Apabila Lc < 20 m, maka bentuk tikungannya adalah spiral-spiral (S-S).

Tabel 2.25 Perhitungan e, b dan Ls mínimum R

dalam meter

Vr = 20 km/jam Vr = 30km/jam Vr = 40km/jam e ( %) b’ (m) Ls

min

e ( %) b’ (m) Ls min

e ( %) b’ (m) Ls min

400 2.0 0.50 25

360 2.7 0.50 25

320 2.5 0.50 25

300 2.7 0.50 25

280 2.9 0.50 25

(66)

200 2.2 0.50 20 4.0 0.75 25

180 2.5 0.50 20 4.4 0.75 30

160 2.8 0.75 20 4.9 0.75 30

140 3.2 0.75 20 5.5 0.75 30

130 3.4 0.75 20 5.8 0.87 30

120 3.7 0.75 20 6.2 1.00 40

100 4.5 1.00 25 7.2 1.00 40

90 5.0 1.00 25 7.6 1.00 40

85 2.0

80 2.1 5.6 1.00 25 8.8 1.25 40

75 2.2

70 2.4 6.3 1.25 30 9.4 1.25 50

65 2.5

60 2.6 1.000 15 7.1 1.25 30 9.9 1.50 50 55 2.8 1.000 15

50 2.9 1.000 15 8.0 1.50 40 1.50 50

45 3.0 1.000 15 8.4 1.50 40 40 3.1 1.500 15 8.9 1.75 40 35 3.2 1.500 20 9.4 2.00 40 30 3.4 1.500 20 9.8 2.25

(67)

5 4.0 3.700 20

[image:67.612.112.560.84.114.2]

Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono K

Tabel 2.26 Perhitungan e dan Ls minimum (Untuk Rural Highway,2 jalur, emax =10%)

R (m) V = 60 Km/Jam V = 80 Km/Jam V = 100 Km/Jam

V = 120 Km/Jam

e Ls e Ls e Ls e Ls

5730 LN 0 LN 0 LP 60 LN 0

2864 LN 0 LP 50 LP 60 0,022 80

1910 LP 40 LP 50 0,023 60 0,033 80

1432 LP 40 0,022 50 0,030 60 0,044 80

1150 LP 40 0,028 50 0,038 60 0,055 80

956 0,021 40 0,034 50 0,045 60 0,065 80 840 0,025 40 0,039 50 0,050 60 0,074 90 717 0,028 40 0,045 50 0,060 70 0,082 100 560 0,035 40 0,057 50 0,075 80 0,100 110 478 0,040 40 0,064 60 0,087 90

410 0,047 40 0,074 60 0.096 100 350 0,053 40 0,081 70 0,100 100 319 0,057 50 0,087 70

(68)

210 0,079 60 0,100 80 180 0,086 60

160 0,091 60 143 0,096 70 130 0,097 70 120 0,099 70 115 0,100 70

Keterangan : Ln = Lereng normal

Lp = Lereng luar diputar sehingga perkerasan mendapat kemiringan melintang sebesar lereng normal

Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono K

2.4.2.3.3 Bentuk Tikungan Spiral – Spiral ( S-S)

(69)
[image:69.612.165.524.86.250.2]

Gambar 2.19 Lengkung Spiral – Spiral ( S-S) Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH

Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-spiral sama dengan rumus-rumus untuk tikungan spiral - circle – spiral hanya perlu diingat bahwa:

∆C=0 ∆ = 2 θs

Lc = 0

Lc = 0 L = 2 Ls

L= 0 360 2π∆R

Ls =

648 , 28

.R s θ

………...………..2..38

Dengan mengambil harga P* dan K* dari tabel J.Barnett untuk Ls = 1 diperoleh harga :

P = P* . Ls………....……2.39

K= K* . Ls………...………...…….……2.40

(70)

Ts = (R+P) 2

1 +K………..………..…...…...2.41

Es =

∆ +

. 2 1 cos

) (R P

- R………..………...…...2.42

2.4.2.4Superelevasi

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan rencana (Clarkson H.Oglesby,1999).

Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang dimaksudkan sebagai cara untuk menggambarkan pencapaian kemiringan melintang penuh (superelevasi). Superelevasi maksimum yanag digunakan pada jalan raya dipengaruhi oleh empat faktor antara lain :kondisi iklim (yaitu: frekuensi dan jumlah salju dan es), kondisi medan (misalnya: datar, bukit, atau pegunungan),jenis wilayah (yaitu:pedesaan atau perkotaan), dan frekuensi kendaraan yang bergerak sangat lambat (AASHTO 2001). Pada diagram superelevasi dapat kita bedakan antara diagram kemiringan melintang untuk jalan raya tanpa median dan jalan raya yang median.

(71)

1. Mengambil sumbu jalan sebagai sumbu putar.

2. Mengambil tepi perkerasan sebelah dalam sebagai sumbu putar.

3. Mengambil tepi perkerasan sebelah luar sebagai sumbu putar

Dari ketiga cara tersebut, yang sering dipakai di Indonesia adalah cara pertama.

Gambar 2.20 As atau Sumbu Jalan Sebagai Sumbu Putar

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

[image:71.612.124.491.267.398.2]

(72)

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

Gambar 2.22 Tepi Perkerasan Sebelah Luar Sebagai Sumbu Putar

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

Untuk jalan raya dengan median (jalan raya terpisah) dalam mencapai kemiringan tergantung dari lebar dan bentuk penampang melintang median serta dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :

1. Dengan mengambil sisi – sisi sebelah dalam perkerasan sebagai sebagai sumbu putar ( median tetap dibuat datar ).

2. Dengan mengambil sisi – sisi sebelah luar dari jalur jalan sebagai sumbu putar

(73)

3. Dengan mengambil sumbu putar masing – masing jalur sendiri – sendiri ( sumbu putar tersebut bisa as atau tepi perkerasan tanpa memperhatikan median).

Dari ketiga cara tersebut yang sering digunakan adalah cara ketiga.

Gambar 2.23 Mengambil Sisi – Sisi Sebelah Dalam Perkerasan Sebagai Sumbu Putar

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

(74)

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

[image:74.612.136.496.149.253.2]

Gambar 2.25 Mengambil Sumbu Putar Masing – Masing Jalur Sendiri – Sendiri Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

(75)
[image:75.612.120.590.199.580.2]

Tabel 2.27 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 4 %

(76)
[image:76.612.122.594.211.607.2]

Tabel 2.28 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 6 %

(77)
[image:77.612.121.584.198.580.2]

Tabel 2.29 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 8 %

(78)
[image:78.612.113.576.200.596.2]

Tabel 2.30 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 10 %

(79)
[image:79.612.121.579.194.595.2]

Tabel 2.31 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 12 %

(80)
[image:80.612.140.475.201.434.2]

Grafik 2.3 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 4 %

Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

(81)

[image:81.612.140.473.91.306.2]

Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

Grafik 2.5 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 8 %

Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001).

[image:81.612.149.484.404.610.2]
(82)

Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

Pada tikungan dengan bentuk circle (full circle) perubahan kemiringan melintang dilakukan diluar lengkung lingkaran. Di tikungan ini kita kenal lengkung

(83)

peralihan fiktif (Ls’) dimana perubahan kemiringan dilakukan sejauh 2 3Ls’ dari titik awal TC pada garis (jalan) lurus dan kemiringan melintang maksimum dimulai sejauh 1 Ls’ dari titik awal CT ke dalam lingkaran. 3

Lengkung peralihan dapat dihitung besarnya dengan rumus sebagai berikut:

' Ls

b <

[image:83.612.124.528.498.708.2]

m 1

...2.43

Dengan :

b = b (en + e max relatif )

1/m = landai ralatif antara tepi perkerasan

Ls’ = panjang lengkung peralihan relatif

b = lebar jalur 1 arah (m)

Tabel 2.32 Landai Relatif Berdasarkan Kecepatan Rencana Kecepatan Rencana

(km/jam)

Landai Relatif Maksimum (Bina Marga Luar Kota)

20 1/50

30 1/75

40 1/100

50 1/115

(84)

80 1/150

100 -

Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman

Gambar diagram superelevasi dari masing – masing bentuk tikungan dapat dlihat pada gambar di bawah ini:

(85)

Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc

.

Gambar 2.27 Diagram Superelevasi Untuk Spiral – Circle – Spiral

(86)

(87)

2.4.2.5Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan

Pelebaran perkerasan pada tikungan direncanakan untuk menghindari kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan tidak mengalami off tracking (keluar jalur) tepatnya lintasan roda belakang pada saat membelok (Clarkson H.Oglesby,1999).

Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi geometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan dibagian lurus. Pada jalan dua lajur sebaiknya terdapat pelebaran jalan,terutama pada tikungan tajam karena hal-hal sebaga berikut:

1. Kecenderungan pengemudi terlempar keluar dari tepi perkerasan.

2. Meningkatnya lebar efektif kendaraan karena ban depan dan belakang tidak melintasi satu garis.

3. Pertambahan lebar karena posisi kendaraan yang miring terhadap as jalan ( Mannering, 1990).

Pelebaran jalan di tikungan menurut bina marga mempertimbangkan:

1. Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya. 2. Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan

(88)

3. Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana dan besarnya ditetapkan sesuai Tabel 2.33

4. Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan.

5. Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.33 harus dikalikan 1,5. 6. Untuk jalan 1 jalur 4 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.33 harus dikalikan 2.

2.33 Lebar Jalur 2 x 3.50m, 2 Arah Atau 1 Arah.

R (m)

Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)

50 60 70 80 90 100 110 120

1500 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1

1000 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2

750 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,2 0,3 0,3

500 0,2 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5

400 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5

300 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5

250 0,4 0,5 0,5 0,6

200 0,6 0,7 0,8 150 0,7 0,8

(89)

120 0,7 0,8 110 0,7

100 0,8 90 0,8 80 1,0 70 1,0

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

[image:89.612.106.534.83.273.2]

(Lanjutan) Pelebaran di tikungan per Lajur (m)

Tabel 2.33 Lebar Jalur 2 x 3.00m, 2 Arah Atau 1 Arah

R (m)

Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)

50 60 70 80 90 100 110

1500 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,5 0,6

1000 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6

750 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8

500 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1

400 0,9 1,0 1,0 1,0 1,1 1,1

300 0,9 1,1 1,0 1,1

(90)

200 1,2 1,4 1,3 1,3

150 1,3 1,4

140 1,3 1,4

130 1,3 1,4

120 1,3 1,4

110 1,3 100 1,4 90 1,4 80 1,6 70 1,7

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(91)

R

(m)

Lebar Jalan = 7,2 m Lebar Jalan = 6,6 m Lebar Jalan = 6,0 m

Kecepatan Rencana Kecepatan Rencana Kecepatan Rencana

50 60 70 80 90 100 50 60 70 80 90 100 50 60 70 80 90 100

3000 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6

2500 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6

2000 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7

1500 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,3 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7

1000 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8

900 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8 0,8

800 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9

700 0,2 0,2 0,2 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0

600 0,2 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,9 0,9 0,9 1,0 1,0

500 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1

(92)

Tabel 2.34 Pelebaran Perkerasan Menurut AASHTO 2001 (2 Jalur 1 Arah Atau 2 Arah)

Catatan : Jalan 3 lajur nilai diatas dikalikan 1,5 Jalan 4 lajur nilai diatas dikalikan 2

Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

300 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,1 1,1 1,1 1,2 1,2 1,3 1,4 1,4

250 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,1 1,1 1,2 1,2 1,3 1,4 1,4 1,5

200 0,8 0,9 1,0 1,0 1,1 1,2 1,3 1,3 1,4 1,5 1,6 1,6

150 1,1 1,2 1,3 1,3 1,4 1,5 1,6 1,6 1,7 1,8 1,9 1,9

140 1,2 1,3 1,5 1,6 1,8 1,9

130 1,3 1,4 1,6 1,7 1,9 2,0

120 1,4 1,5 1,7 1,8 2,0 2,1

110 1,5 1,6 1,8 1,9 2,1 2,2

100 1,6 1,7 1,9 2,0 2,2 2,3

90 1,8 2,1 2,4

80 2,0 2,2 2,6

(93)

2.4.2.6 Tikungan Gabungan

Tikungan Gabungan adalah dua atau lebih tikungan yang bersebelahan yang dapat dibedakan atas dua macam tikungan sebagai berikut:

a) tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan arah putaran yang sama tetapi dengan jari jari yang berbeda.

b) tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah putaran yang berbeda (Bina Marga,1997).

Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2:

2 1 R R > 3 2

Tikungan gabungan searah harus dihindarkan

2 1 R R < 3 2

Tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau Clothoide

sepanjang paling tidak 20 m

Menurut Bina Marga, setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian lurus di antara kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 m. Menurut AASHTO 2001 pada tikungan gabungan untuk jalan luar kota jari – jari kelengkungan sebuah tikungan maksimal 50 % lebih besar dari tikungan berikutnya yang lebih tajam.Tetapi lengkung gabungan dapat digunakan apabila dilengkapi dengan lengkung spiral sehingga memungkinkan perubahan jari-jari tikungan secara berangsur-angsur. Gambar dari tikungan gabungan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

(94)

Gambar 2.29 Tikungan Gabungan Searah

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997

Gambar 2.30 Tikungan Gabungan Searah Dengan Sisipan Bagian Lurus 20 m Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

(95)

Gambar 2.31 Tikungan Balik Arah

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997.

(96)

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

Marga 1997

2.4.3 Koordinasi Alinemen

Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.

Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal dan secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertikal. 2. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan.

3. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan.

4. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus dihindarkan.

Gambar

Tabel 2.9 Lebar Minimum Median
Tabel 2.10 Panjang Bagian Lurus Maksimum
Grafik 2.1  Jarak Penghalang (E), Dari Sumbu Lajur Sebelah Dalam
Tabel 2.14 Berisi Nilai E (m) Untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Kemiringan melintang pada perkerasan jalan pada daerah ini harus mempertimbangkan pula kebutuhan kemiringan jalan menurut persyaratan alinyemen horizontal jalan,

Tipe korosi celah yang paling sering terjadi pada material yang sebelumnya pasif, atau material yang mudah dipasifkan (stainless steel, alumunium, murni tanpa

Campuran aspal panas adalah campuran perkerasan lentur yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, filler dan bahan pengikat aspal yang dibuat dengan perbandingan

Gelagar melintang berfungsi untuk menahan beban dan gaya yang bekerja pada plat lantai dan beban yang berasal dari beban hidup dan berat sendiri, serta.. sebagai pengikat

Walaupun begitu, rotor tidak akan pernah mampu menyamai kecepatan putar medan magnet di stator karena pada prinsipnya arus yang mengalir di rotor merupakan hasil induksi dari

Perkerasan kaku merupakan struktur lapisan perkerasan jalan dimana lapis atas menggunakan pelat beton (concrete slab) dengan atau tanpa tulangan yang terletak diatas

Belt conveyor adalah media pemindah material yang menggunakan sabuk karet (belt) yang mempunyai variasi kekenyalan, terdiri dari beberapa lapisan yang diperkeras dengan serat

Tabel 2.14 Perkerasan Kaku untuk Jalan dengan Beban Lalu Lintas Rendah* Tanah Dasar Tanah Lunak dengan Lapis Penopang Dipadatkan Normal Bahu Pelat Beton tied shoulder Ya Tidak Ya