• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka

Menurut penjelasan dari Humas PT KA Daop 2, Bambang S Prayitno, di Bandung, Senin (30/4/2012). Sebanyak 698 perlintasan sebidang itu meliputi kategori liar 81 persimpangan dan kategori resmi 617 persimpangan. Dari kategori resmi tersebut, yang tidak dijaga 495 perlintasan, yang dijaga masyarakat sebanyak 31, dan sisanya 91 dijaga oleh petugas PT KA. Bambang menjelaskan, wewenang untuk mengubah perlintasan kereta api dari sebidang menjadi tidak sebidang sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Caranya, bisa dengan membangun jembatan layang atau terowongan di bawahnya. Perlintasan sebidang dinilai sebagai sumber kecelakaan antara kereta api dengan kendaraan yang biasanya didahului pelanggaran palang pintu kereta.

Underpass merupakan sarana transportasi yang dibuat sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah transportasi khususnya masalah kemacetan. Underpass ini di bangun dibawah jalan utama, pada perencanaan pembuatan underpass harus diperhatikan beberapa aspek sehingga pembuatan underpass dapat menjadi solusi terbaik dalam mengatasi masalah transportasi. Adapun aspek yang harus diperhatikan adalah LHR ( Lintas Harian Rata - rata ) yang melintasi jalan diatasnya, tingkat perekonomian disekitarnya dan jenis jalan (Tugas Akhir Indri dan Redhi, 2006).

Perencanaan simpang tak sebidang diperlukan mengingat pengaturan dengan model simpang bersinyal maupun bundaran sudah tidak efektif lagi, hal ini dikarenakan volume lalu – lintas yang ada sudah terlalu padat dan diperparah dengan adanya perlintasan kereta api tepat di tengah simpang. Dengan perencanaan underpass diharapkan kemacetan yang terjadi dapat teratasi.(Skripsi Farid Wibisono dan Moch.Zaenal Arifin, 2008).

                 

(2)

Dalam perhitungan tebal perkerasan pada jalan raya terdapat perbedaan antara perkerasan lentur yang menggunakan aspal sebagai bahan perkerasan dengan perkerasan kaku yang menggunakan perkerasannya. Perkerasan lentur merupakan perkerasan yang terdiri atas beberapa lapisan dimana pembebanannya yang terjadi didasarkan atas penyebaran gaya pada tiap lapisan perkerasan. Sedangkan pada perkerasan kaku, pembebanan yang terjadi seluruhnya diterima oleh pelat beton dimana beban berada. (Skripsi Joni, 2002)

Permasalahan yang paling dominan dalam pemenuhan kebutuhan trasnportasi jalan yang aman dan nyaman adalah tersedianya prasarana jalan dengan jenis perkerasan jalan yang sesuai dengan kondisi lalu lintas yang ada. Artinya pemilihan jenis perkerasan jalan baru disesuaikan dengan jenis struktur prasarana jalan yang direncanakan. Pada jenis perkerasan kaku (rigid pavement), prinsip perencanaan didasarkan pada kemampuan pelat beton dalam menampung lalu lintas rencana, dimana tebal pelat dan mutu beton rencana menentukan kualitas perkerasan itu sendiri. (Skripsi Rahman Sontani, 2006)

Peningkatan akses jalan diperlukan ketika terjadi dua hal, pertama jika kapasitas jalan yang ada sudah tidak mampu lagi menampung volume lalu-lintas yang melewati akses jalan tersebut dan yang kedua saat struktur perkerasan yang ada tidak mampu lagi mendukung repetisi beban lalu-lintas yang lewat di atasnya, atau terjadi kerusakan yang parah sehingga dibutuhkan rekonsturksi untuk mengembalikan kinerja jalan tersebut. (Tugas Akhir Arnis, 2010)

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah kendaraan, sehingga otomatis akan menambah pergerakan arus lalu lintas di jalan. Pertumbuhan lalu lintas yang pesat, akan berpengaruh pada

                 

(3)

kondisi lapisan perkerasan yang ada. (Tugas Akhir Septian Ady Pratama, 2012)

2.2 Dasar Teori

2.2.1 Peraturan Mengenai Perlintasan Kereta Api

Menurut Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Darat Nomor: SK,770/KA.401/DRJD/2005 tentang Pedoman Teknis Perlintasan Sebidang Antara Jalan Dengan Jalur Kereta Api Pasal 1 ayat 1 dan 2 menyebutkan 1. Perlintasan sebidang antara jalan dengan jalur kereta api dibuat dengan

prinsip tidak sebidang

2. Pengecualian terhadap prinsip tidak sebidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya bersifat sementara, yang dapat dilakukan dalam hal:

a. Letak geografis yang tidak memungkinkan membangun perlintasan tidak sebidang;

b.Tidak membahayakan, tidak membebani serta tidak mengganggu kelancaran operasi kereta api dan lalu lintas jalan;

Menurut pasal 8 ayat 3 Keputusan Menteri perhubungan tentang perpotongan dan atau persinggungan antara jalur kereta dengan bangunan lain, jalan di bawah jalur kereta api (underpass) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Konstruksi harus memenuhi persyaratan teknis jalan.

2. Jarak permukaan jalan di bawah jalur kereta api, minimal 5 meter dihitung dari permukaan jalan sampai gelagar jembatan kereta api paling bawah. 3. Letak sisi teratas konstruksi underpass minimal 1 meter di bawah kepala

rel.                  

(4)

4. pembangunan lintas di bawah jalur kereta api diperhitungkan ruang bebas untuk mengantisipasi rencana pembangunan jalur ganda kereta api.

2.2.2 Konstruksi Underpass

Ada beberapa macam konstruksi yang dipakai untuk perencanaan sebuah underpass yaitu :

1. Konstruksi Box Culvert

Apabila konstruksi underpass memakai suatu box culvert, maka box culvert dimodelkan sebagai struktur portal diatas tumpuan jepit. Portal ini merupakan jenis portal tak bergoyang karena akibat pembebanan terjadi perubahan panjang bentang. Model struktur box culvert dapat dilihat pada gambar 2.1

Sumber: Google

Gambar 2.1 Permodelan Struktur Box Culvert                  

(5)

2.Konstruksi Abutment

Apabila dipakai konstruksi abutment, maka permodelan strukturnya harus dihitung tiap elemen underpass. Mulai dari atas yaitu dimensi lapis perkerasan kaku (rigid pavement), balok beton, konstruksi abutment, dan pondasi bila diperlukan untuk desain. Model struktur abutment dapat dilihat pada gambar 2.2

Sumber: Google

Gambar 2.2 Permodelan Struktur Abutment

Konstruksi yang akan dipakai harus mempertimbangkan faktor lokasi bangunan, karena lokasi ini akan berpengaruh besar pada aspek kemudahan pelaksanaan dan pengeluaran / biaya pembangunannya. Jalan merupakan sarana penting dalam roda perekonomian, maka diharapkan terganggunya arus lalu lintas dapat diminimaliskan sekecil mungkin.

Dalam perencanaan banyak aspek yang harus dilihat dan dicermati sebagai dasar pemilihan suatu jenis struktur. Pada umumnya pedoman umum perencanaan bangunan atas, bangunan bawah, dan pondasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Kekuatan unsur struktural dan stabilitas keseluruhan 2. Kelayakan struktur 3. Keawetan                  

(6)

4. Kemudahan pelaksanaan konstruksi 5. Ekonomis dan dapat diterima 6. Bentuk estetika

Pedoman tersebut sangat penting untuk dipahami supaya tercipta suatu desain underpass yang tepat. Fungsi jalan, jenis tanah, dan kondisi topografi merupakan faktor terpenting dalam suatu desain konstruksi underpass. Oleh karena itu kelengkapan data yang ada merupakan suatu kebutuhan.

2.2.3 Perkerasan Jalan

Perkerasan merupakan bagian dari konstruksi jalan yang terletak di atas badan jalan yang berfungsi sebagai penerima beban lalu-lintas yang bekerja di atasnya, yang selanjutnya tekanan dari beban ini akan disebarkan kebagian tanah dasar yang ada di bawahnya.

1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan bahan konstruksi perkerasan, dimana lapisan satu dengan yang lainnya berurutan dari lapisan bawah ke lapisan yang paling atas, yang memiliki nama dan fungsi masing-masing seperti uraian berikut :

 Lapisan Tanah Dasar, merupakan permukaan tanah sebagai tanah asli yang dipadatkan yang berfungsi sebagai permukaan dasar untuk perletakan lapisan berikutnya.

 Lapisan Pondasi Bawah, adalah bagian perkerasan yang diletakkan di antara lapisan tanah dasar dan lapis pondasi atas, yang pada umumnya dari bahan material berbutir. Berfungsi sebagai penyebar beban yang diterima lapis pondasi atas untuk disalurkan ke lapisan tanah dasar.

 Lapis Pondasi Atas, adalah bagian lapisan yang terletak antara lapis pondasi bawah dengan lapis permukaan yang pada umumnya dari bahan material berbutir. Berfungsi untuk mendukung beban yang

                 

(7)

disalurkan dari lapis permukaan untuk disebarkan ke lapis yang ada di bawahnya.

 Lapis Permukaan, bagian atas perkerasan yang menggunakan lapisan beraspal (penetrasi, burtu/burda, beton, hotmix, coldmix) yang menerima langsung beban lalu-lintas.

Umur rencana diambil 10 tahun, untuk peningkatan atau pembangunan. 2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Perkerasan kaku merupakan lapisan perkerasan yang terbuat dari suatu lapisan pelat beton tanpa atau dengan tulangan yang dapat menahan beban kendaraan secara langsung dengan penyebaran gaya cukup besar sehingga tekanan yang terjadi terhadap lapisan dasar tanah menjadi relatif kecil. Dalam perencaaan perkerasan kaku, tebal plat beton dihitung agar mempu memikul tegangan yang ditimbulkan oleh :

 Beban roda kendaraan.

 Perubahan suhu, perubahan kadar air, dan perubahan volume dari lapis yang ada di bawahnya.

 Perencanaan didasarkan pada kekuatan tanah dasar (Modulus reaksi tanah dasar), kekuatan beban yang dinyatakan dalam kuat lentur tarik (flektural Strength – MR).

Umur rencana bisa diambil 20 tahun. Biaya awal relatif besar, namun biaya pemeliharaan pasca konstruksi relatif kecil.

2.2.3.1 Struktur dan Jenis Perkerasan Beton semen

Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis : 1. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan 2. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan 3. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan 4. Perkerasan beton prategang

                 

(8)

Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton. Sifat daya dukung dan keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi keawetan dan kekuatan perkerasan beton semen. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air pemadatan, kepadatan dan perubahan kadar air selama masa pelayanan.

Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen bukan merupakan bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi sebagai berikut:

 Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.

 Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan tepi-tepi pelat.

 Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat.

 Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan.

Pelat beton semen mempunyai sifat yang cukup kaku serta dapat menyebarkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yan rendah pada lapisan-lapisan di bawahnya. Bila diperlukan tingkat kenyamanan tinggi, permukaan perkerasan beton semen dapat dilapisi dengan campuran beraspal setebal 5 cm. Susunan lapisan perkerasan beton kaku pada umumnya dapat dilihat pada Gambar 2.3

Sumber : Pd T-14-2003

Gambar 2.3 Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen                  

(9)

2.2.4 Tanah Dasar

Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai dengan SNI 1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-1744-1989. Masing-masing untuk tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2%, maka harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concrete) setebal 15 cm yang dianggap mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 15%.

2.2.5 Pondasi Bawah

Bahan pondasi bawah dapat berupa :

 Bahan berbutir.

Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled Concrete).

Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete)

Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit mempunyai mutu sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan AASHTO M-155 serta SNI 03-1743-2989. Bila direncanakan perkerasan beton semen bersambung tanpa ruji/dowel, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton kurus (CBK). Tebal lapisan pondasi bawah minimum yang disarankan dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan CBR tanah dasar efektif didapat dari Gambar 2.5

Nilai CBR tanah dasar juga berfungsi untuk menentukan nilai CBR tanah dasar efektif yang kemudian digunakan untuk menentukan tebal pelat yang akan digunakan.                  

(10)

Sumber : Pd T-14-2003

Gambar 2.4 Tebal Pondasi Bawah Minimum Untuk Perkerasan Beton Semen

Sumber : Pd T-14-2003

Gambar 2.5 CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Pondasi Bawah

2.2.5.1 Pondasi Bawah Material Berbutir

Material berbutir tanpa pengikat harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI-03-6388-2000. Persyaratan dan gradasi pondasi bawah harus sesuai dengan kelas B. Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah

                 

(11)

harus diuji gradasinya dan harus memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah, dengan penyimpangan ijin 3% - 5%. Ketebalan minimum lapis pondasi bawah untuk tanah dasar dengan CBR minimum 5% adalah 15 cm. Derajat kepadatan lapis pondasi bawah minimum 100 %, sesuai dengan SNI 03-1743-1989.

2.2.5.2 Pondasi Bawah Dengan Bahan Pengikat (Bound Sub-base)

Pondasi bawah dengan bahan pengikat (BP) dapat digunakan salah satu dari :

 Stabilisasi material berbutir dengan kadar bahan pengikat yang sesuai dengan hasil perencanaan, untuk menjamin kekuatan campuran dan ketahanan terhadap erosi. Jenis bahan pengikat dapat meliputi semen, kapur, serta abu terbang dan/atau slag yang dihaluskan.

Campuran beraspal bergradasi rapat (dense-graded asphalt).

 Campuran beton kurus giling padat yang harus mempunyai kuat tekan karakteristik pada umur 28 hari minimum 5,5 MPa (55 kg/cm2 ).

2.2.5.3 Pondasi Bawah Dengan Campuran Beton Kurus (Lean-Mix Concrete)

Campuran Beton Kurus (CBK) harus mempunyai kuat tekan beton karakteristik pada umur 28 hari minimum 5 MPa (50 kg/cm2) tanpa menggunakan abu terbang, atau 7 MPa (70 kg/cm2) bila menggunakan abu terbang, dengan tebal minimum 10 cm.

2.2.6 Lalu-lintas

Penentuan beban lallu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen, dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana.

                 

(12)

Lalu-lintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalu-lintas dan konfigurasi sumbu, menggunakan data terakhir atau data 2 tahun terakhir.

Kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan terdiri atas 4 jenis kelompok sumbu sebagai berikut :

 Sumbu tunggal roda tunggal (STRT)

 Sumbu tunggal roda ganda (STRG)

 Sumbu tandem roda ganda (STdRG)

 Sumbu tridem roda ganda (STrTG)

Gambar 2.6 menggambarkan kendaraan dengan konfigurasi sumbu tunggal, sumbu tandem, dan sumbu tripel

Sumber : Perencanaan Perkerasan, Silvia Sukirman Gambar 2.6 Konfigurasi Sumbu Kendaraan

2.2.6.1 Lajur Rencana dan Koefisien Distribusi

Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu-lintas dari suatu akses jalan raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefisien distribusi (C) kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel 2.1

                 

(13)

Kendaraan Niaga Pada Lajur Rencana

Sumber: Pd T-14-2003 2.2.6.2 Umur Rencana

Umur rencanan perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.

2.2.6.3 Pertumbuhan Lalu-lintas

Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur renana atau sampai tahap dimana kapasitas jalan dicapai dengan faktor pertumbuhan lalu-lintas yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :

𝑅 = (1+𝑖)𝑖𝑈𝑅−1 …..(2.1) Dimana : R = Faktor pertumbuhan lalu-lintas

i = Laju pertumbuhan lalu-lintas per tahun dalam % UR = Umur rencana (tahun)

Faktor pertumbuhan lalu-lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan Tabel 2.2                  

(14)

Tabel 2.2 Faktor Pertumbuhan Lalu-lintas (R)

Sumber : Pd T-14-2003

Apabila setelah waktu tertentu (URm tahun) pertumbuhan lalu-lintas tidak terjadi lagi, maka R dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

𝑅 =(1+𝑖)𝑖 𝑈𝑅 + (𝑈𝑅 − 𝑈𝑅𝑚){1 + 𝑖𝑈𝑅𝑚 − 1} …..(2.2)

Dimana : R = Faktor pertumbuhan lalu-lintas

i = laju pertumbuhan lalu-lintas per tahun dalam % URm = waktu tertentu dalam tahun, sebelum UR selesai.

2.2.6.4 Lalu-lintas Rencana

Lalu-lintas rencana adalah jumlah komulatif sumbu kendaraan niaga pada lajur rencana selama umur rencana. Meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu jenis sumbu secara tipikal dikelompokkan dalam interval 10 kN (1ton) bila jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan rumus berikut :

𝐽𝑆𝐾𝑁 = 𝐽𝑆𝐾𝑁𝐻 × 365 × 𝑅 × 𝐶 …..(2.3)

Dimana : JSKN = Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana. JSKNH = Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat

jalan dibuka.                  

(15)

R = Faktor pertumbuhan komulatif dari persamaan 2.1 atau Tabel 2.2 atau persamaan 2.2 yang besarnya tergantung dari pertumbuhan lalu-lintas tahunan dan umur rencana.

C = Koefisien distribusi kendaraan

2.2.6.5 Faktor Keamanan Beban

Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor keamanan beban (FKB). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan

adanya berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti terlihat seperti pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Faktor Keamanan Beban (FKB)

Sumber: Pd T-14-2003 2.2.7 Bahu

Bahu dapat terbuat dari lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa lapisan penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara bahu dengan jalur lalu-lintas akan memberikan pengaruh pada kinerja perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu beton semen, sehingga akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi tebal pelat.

Yang dimaksud bahu beton semen adalah bahu yang dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu-lintas dengan lebar minimum 1.50 m atau bahu yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar 0.60 m yang juga dapat mencakup saluran dan kerb.

                 

(16)

2.2.8 Sambungan

Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :

 Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh penyusutan.

 Pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.

 Mengakomodasi gerakan pelat.

Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan, antara lain :

 Sambungan memanjang.

 Sambungan melintang.

 Sambungan isolasi.

Semua sambungan harus ditutup dengan bahan penutup (joint sealer) kecuali pada sambungan isolasi terlebih dahulu harus diberi bahan pengisi (joint filler).

2.2.8.1 Sambungan Memanjang Dengan Batang Pengikat (Tie Bar)

Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang sekitar 3-4 m. sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan mutu minimum BJTU-24 dan berdiameter 16 mm. Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

At = 204 x b x h …..(2.4) dan

I = (38.3 x ϕ) +75 …..(2.5)

Dimana : At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm2)

b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi perkerasan (m)                  

(17)

h = Tebal pelat (m)

I = Panjang batang pengikat yang dipilih (mm) ϕ = Diameter batang pengikat yang dipilih (mm) Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 75 cm. Tipikal sambungan memanjang dapat dilihat pada Gambar 2.7

Sumber : Pd T-14-2003

Gambar 2.7 Tipikal Sambungan Memanjang 2.2.8.2 Sambungan Susut Melintang

Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal pelat untuk perkerasan dengan lapis pondasi berbutir atau sepertiga dati tebal pelat untuk lapis pondasi stabilisasi semen sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9

Sumber : Pd T-14-2003                  

(18)

Gambar 2.8 Sambungan Susut Melintang Tanpa Ruji

Sumber : Pd T-14-2003

Gambar 2.9 Sambungan Susut Melintang Dengan Ruji

Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan sekitar 4-5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung dengan tulangan 8-15 m dan untuk sambungan perkerasan beton menerus dengan tulangan sesuai dengan kemampuan pelaksanaan.

Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji/dowel polos panjang 45 cm, jarak antara ruji/dowel 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan mempengaruhi gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut.

Setengah panjang ruji/dowel polos harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti lengket untuk menjamin tidak ada ikatan dengan beton. Diameter ruji/dowel tergantung pda tebal pelat beton sebagaiman seperti terlihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Diameter Ruji

Sumber : Pd T-14-2003                  

(19)

2.2.8.3 Pola Sambungan

Pola sambungan pada perkerasan beton semen harus mengikuti batasan-batasan sebagai berikut :

 Hindari bentuk panel yang tidak teratur, usahakan bentuk panel sepersegi mungkin. Perbandingan maksimum panjang panel terhadap lebar adalah 1:25.

 Jarak maksimum sambungan memanjang 3-4 m.

 Jarak maksimum sambungan melintang 25 kali tebal pelat, maksimum 5.0 m.

 Semua sambungan susut harus menerus sampai kerb dan mempunyai kedalaman seperempat dan sepertiga dari tebal perkerasan masing-masing untuk lapisan pondasi berbutir dan stabilisasi semen.

 Antar sambungan harus bertemu pada satu titik untuk menghindari terjadinya retak refleksi pada lajur yang bersebelahan.

 Sudut antar sambungan yang lebih kecil dari 60 derajat harus dihindari dengan mengatur 0.5 m panjang terakhir dibuat tegak lurus terhadap tepi perkerasan.

Apabila sambungan berada dalam area 1.5 m dengan manhole atau bangunan yang lain, jarak sambungan harus diatur sedemikian rupa sehingga antara sambungan dengan manhole atau bangunan yang lain tersebut sudut tegak lurus. Hal tersebut berlaku untuk bangunan yang berbentuk bundar. Untuk bangunan segi empat, sambungan harus berada pada sudutnya atau diantara dua sudut.

Semua bangunan lain seperti manhole harus dipisahkan dari perkerasan dengan sambungan muai selebar 12 mm yang meliputi keseluruhan tebal pelat.

Perkerasan yang berdekatan dengan bangunan lain atau manhole harus ditebalkan 20% dari ketebalan normal dan berangsur-angsur berkurang sampai ketebalan normal sepanajang 1.5 m.

                 

(20)

Panel yang tidak persegi empat dan yang mengelilingi manhole harus diberi tulangan berbentuk anyaman sebesar 0.15% terhadap penampang beton semen dan dipasang 5 cm dibawah permukaan atas. Tulangan harus dihentikan 7.5 cm dari sambungan

Tipikal pola sambungan dapat dilihat pada Gambar 2.10

Sumber : Pd T-14-2003

Gambar 2.10 Potongan Melintang Perkerasan dan Lokasi Sambungan 2.2.8.4 Penutup Sambungan

Penutup sambungan dimaksudkan untuk mencegah masuknya air dan atau benda lain ke dalam sambungan perkerasan. Benda-benda lain yang masuk kedalam sambungan dapat menyebabkan kerusakan berupa gompal dan atau pelat beton yang saling menekan keatas (blow up)

2.2.9 Perencanaan Tebal Pelat

Perencanaan perkerasan beton semen didasarkan atas dua model kerusakan, yaitu :

1. Retak fatik (lelah) tarik lentur pada pelat.

                 

(21)

2. Erosi pada pondasi bawah atau tanah dasar yang diaibatkan oleh lendutan berulang pada sambungan dan tempat retak yang direncanakan.

Prosedur ini mempertimbangkan ada tidaknya ruji/dowel pada sambungan atau bahu beton. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan dianggap sebagai perkerasan bersambung yang dipasang ruji/dowel.

Data lalu-lintas yang diperlukan adalah jenis sumbu dan distribusi beban serta jumlah sepetisi masing-masing jenis sumbu/kombinasi beban yang diperkirakan selama umur rencana.

Tebal pelat taksiran dipilih dan total fatik serta kerusakan erosi dihitung berdasarkan komposisi lalu-lintas selama umur rencana. Jika kerusakan fatik atau erosi lebih dari 100%, tebal taksiran dinaikkan dan proses perencanaan diulangi. Tebal rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil yang mempunyai total fatik dan atau total kerusakan erosi lebih kecil atau sama dengan 100%.

Untuk menentukan besarnya nilai tegangan ekivalen dan faktor erosi untuk jenis perkerasan tanpa bahu beton dapat dilihat pada Tabel 2.5a sampai Tabel 2.5c. Untuk menentukan jumlah repetisi ijin untuk fatik dapat menggunakan Gambar 2.11 dan repetisi ijin untuk erosi dapat menggunakan Gambar 2.12                  

(22)

Tabel 2.5a Tegangan Ekivalen dan Faktor Erosi Untuk Perkerasan Tanpa Bahu Beton Sumber : Pd T-14-2003                  

(23)

Sumber : Pd T-14-2003                  

(24)

Tabel 2.5c Tegangan Ekivalen dan Faktor Erosi Untuk Perkerasan Tanpa Bahu Beton Sumber : Pd T-14-2003                  

(25)

Sumber : Pd T-14-2003

Gambar 2.11 Repetisi Ijin Untuk Fatik                  

(26)

Sumber : Pd T-14-2003 Gambar 2.12 Repetisi Ijin Untuk Erosi 2.2.10 Perencanaan Tulangan

Tujuan utama penulangan untuk :

 Membatasi lebar retakan, agar kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan.                  

(27)

 Memungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan.

 Mengurangi biaya pemeliharaan.

Jumlah tulangan yang diperlukan dipengaruhi oleh jarak sambungan susut. Sedangkan dalam hal beton bertulang menerus, diperlukan jumlah tulangan yang cukup untuk mengurangi sambungan susut.

2.2.10.1 Perkerasan Beton Semen Bersambung Dengan Tulangan

Luas penampang tulangan dapat dihitung dengan persamaan berikut : 𝐴𝑠 = µ ×𝐿 ×𝑀 ×𝑔 ×𝑕2× 𝑓

𝑠 …..(2.6)

Dimana : As = Luas penampang tulangan baja (mm2/m lebar pelat)

fs = kuat tarik ijin tulangan (MPa). Biasanya 0.6 kali tegangan

leleh.

g = gravitasi (m/detik2)

h = tebal pelat beton (m)

L = jarak antara sambungan yang tidak diikat dan/atau tepi bebas pelat (m)

M = berat per satuan volume pelat (kg/m3)

µ = koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah sebagaimana pada Tabel 2.6

                 

(28)

Tabel 2.6 Nilai Koefisien Gesekan

Sumber : Pd T-14-2003

Luas penampang tulangan berbentuk anyaman empat persegi panjang dan panjang bujur sangkar ditunjukkan pada Tabel 2.7

Tabel 2.7 Ukuran dan Berat Tulangan Polos Anyaman Las

Sumber : Pd T-14-2003

2.2.11 Drainase

Analisis hidrologi dilakukan sehubungan dengan “drainase permukaan” sedangkan adanya air tanah akibat proses infiltrasi dan kapilarisasi yang akan memperngaruhi kondisi sub grade, stabilisasi lereng dan tembok penahan tanah, termasuk dalam “drainase bawah permukaan”.

                 

(29)

Drainase permukaan adalah sistem drainase yang dibuat untuk mengendalikan air (limpasan) permukaan akibat hujan. Tujuan dari sistem drainase ini, untuk memelihara jalan agar tidak tergenang air hujan dalam waktu yang cukup lama (yang akan mengakibatkan kerusakan konstruksi jalan), tetapi harus segera dibuang melalui sarana drainase jalan.

Saluran samping yang terletak di kiri dan kanan jalan, adalah saluran terbuka yang merupakan bagian dari drainase permukaan berfungsi mengumpulkan dan mengalirkan air hujan dari permukaan badan jalan yang dijumpai tidak terawat dan rusak, yaitu berupa sendimentasi, ditumbuhi semak rerumputan, dan sebagainya. Hal ini harus segera ditangani, karena jika diabaikan maka akan diikuti permasalahan lainnya dengan adanya kerusakan jalan yang secara tidak langsung mengakibatkan saluran tidak berfungsi.

2.2.11.1 Koefisien Pengaliran (C)

Koefisien pengaliran (C) dipengaruhi kondisi permukaan tanah (tata guna lahan) pada daerah layanan dan kemungkinan perubahan tata guna lahan. Angka ini akan mempengaruhi debit yang mengalir, sehingga dapat diperkirakan daya tampung saluran. Harga koefisien pengaliran (C) dapat dilihat pada Tabel 2.8.

2.2.11.2 Faktor Limpasan (fk)

Merupakan faktor atau angka yang dikalikan dengan koefisien runoff biasa dengan tujuan agar kinerja saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengairan yang terlalu luas. Harga faktor limpasan (fk) disesuaikan dengan kondisi permukaan tanah, dapat dilihat pada Tabel 2.8.

                 

(30)

Tabel 2.8 Harga Koefisien Pengaliran (C) dan Harga Faktor Limpasan (fk)

Sumber : Pd T-02-2006-B

Keterangan:

 Harga koefisien pengaliran (C) untuk daerah datar diambil nilai C yang terkecil dan untuk daerah lereng diambil nilai C yang terbesar.

 Harga faktor limpasan (fk) hanya digunakan untuk guna lahan sekitar saluran selain bagian jalan.

Bila daerah pengaliran atau daerah layanan terdiri dari beberapa tipe kondsi permukaan yang mempunyai nilai C yang berbeda, harga 𝐶 rata-rata ditentukan dengan persamaan berikut :

𝐶 = 𝐶1 × 𝐴1+𝐶2×𝐴2+𝐶3×𝐴3 ×𝑓𝑘

𝐴1+ 𝐴2+𝐴3 …..(2.7)

Dimana : C1, C2, C3 = Koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi

permukaan.

A1, A2, A3 = Luas daerah pengairan yang diperhitungkan sesuai

dengan kondisi permukaan.

                 

(31)

A1 = I1 x Panjang Ruas Jalan

A2 = I2 x Panjang Ruas Jalan

A3 = I3 x Panjang Ruas Jalan

I1 = Setengah lebar badan jalan

I2 = Lebar bahu jalan

I3 = Daerah sekitar

Fk = faktor limpasan sesuai tata guna lahan

Batasan luas daerah layanan tergantung dari daerah sekitar dan daerah sekelilingnya. Panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan terdiri atas setengah lebar badan jalan (I1), lebar bahu jalan (I2), dan daerah sekitar (I3)

yang terbagi atas daerah perkotaan (daerah terbangun) yaitu ± 10 m dan untuk daerah luar kota yang didasarkan pada topografi daerah tersebut. Gambaran panjang daerah pengaliran dapat dilihat pada Gambar 2.13

Sumber : Pd T-02-2006-B

Gambar 2.13 Panjang Daerah Pengaliran Yang Diperhitungkan (I , I, I)

                 

(32)

2.2.11.3 Waktu Konsentrasi (Tc)

Waktu konsentrasi merupakan waktu terpanjang yang dibutuhkan untuk seluruh daerah layanan dalam menyalurkan aliran air secara simultan (runoff) setelah melewati titik-titik tertentu.

Waktu konsentrasi untuk saluran terbuka dihitung dengan rumus berikut ini : 𝑇𝑐 = 𝑡1+ 𝑡2 …..(2.8) 𝑡1 = 23× 3.28 × 𝑙𝑜 × 𝑖𝑛𝑑 𝑠 0.167 …..(2.9) 𝑡2 = 60 ×𝑣𝐿 …..(2.10)

Dimana : Tc = waktu konsentrasi (menit)

t1 = waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit)

t2 = waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran

(menit)

lo = jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m)

L = Panjang saluran (m)

nd = Koefisien hambatan (lihat Tabel 2.9)

is = kemiringan lahan eksisting pada lokasi saluran (%) (lihat

persamaan 2.11)

V = Kecepatan air rata-rata pada saluran drainase (m/detik) (lihat Tabel 2.10)                  

(33)

Sumber : Pd T-02-2006-B Tabel 2.10 Kecepatan Aliran

1 Pasir halus 2 Lempung kepasiran 3 Lanau aluvial 4 Kerikil halus 5 Lempung kokoh 6 Lempung padat 7 Kerikil kasar 8 Batu-batu besar 9 Pasangan batu 10 Beton 11 Beton bertulang (m/detik)

Kecepatan Aliran Air Yang Diijinkan No Jenis Bahan 1.50 1.50 1.50 1.50 1.20 1.10 0.75 0.75 0.60 0.50 0.45 Sumber : Pd T-02-2006-B 2.2.11.4 Debit Aliran (Q)

Untuk menghitung debit aliran air (Q) digunakan rumus berikut : 𝑄 = 361 × 𝐶 × 𝐼 × 𝐴 …..(2.10)

Dimana : Q = Debit aliran (m3/detik)

C = Koefisien pengaliran rata-rata dari C1, C2, C3

I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

A = Luas daerah layanan (km2) terdiri atas A1, A2, A3                  

(34)

2.2.11.5 Pemeriksaan Lahan Eksisting

Penentuan kemiringan lahan eksisting pada lokasi pembangunan saluran didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan, dengan persamaan 2.11

𝑖𝑠 =𝑒𝑙𝑒𝑣 .1−𝑒𝑙𝑒𝑣 .𝐿 2 …..(2.11)

Dimana : is = kemiringan lahan eksisting pada lokasi saluran (%)

elev1 = tinggi tanah di bagian tertinggi (m)

elev2 = tinggi tanah di bagian terendah (m)

L = Panjang saluran (m)

2.2.11.6 Perhitungan Dimensi Saluran

 Tentukan perkiraan dimensi saluran sesuai ruang yang tersedia dan koefisen Manning (n) dari Tabel 2.11

Tabel 2.11 Koefisien Manning

Sumber : Pd T-02-2006-B                  

(35)

 Tentukan kemiringan saluran berdasarkan bahan atau mengikuti

kemiringan perkerasan jalan untuk menentukan kecepatan air dalam saluran.

 Tentukan kecepatan saluran dengan Persamaan 2.12

𝑉 (m3/detik) = 1 𝑛 × 𝑅

2/3× 𝑖

𝑠1/2 …..(2.12)

 Hitung tinggi jagaan (W) saluran dengan Persamaan 2.13 𝑊 𝑚 = 0.5 𝑕…..(2.13)

2.2.12 Median Jalan

Median jalan direncanakan dengan tujuan untuk meningkatkan keselamatan, kelancaran, dan kenyamanan bagi pemakai jalan maupun lingkungan. Median jalan hanya berfungsi sebagai berikut :

1. Memisahkan dua aliran lalu-lintas yang berlawanan arah. 2. Menghalangi lalu-lintas yang belok kanan.

3. Lapak tunggu bagi penyebrang jalan.

4. Penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah berlawanan.

5. Penempatan fasilitas pendukung jalan. 6. Cadangan lajur.

7. Tempat prasarana kerja sementara. 8. Dimanfaatkan sebagai jalur hijau.

2.2.12.1 Penempatan Median jalan

Median ditempatkan pada sumbu jalan. Sisi tepi median harus saling sejajar dengan garis membujur jalan, kecuali pada daerah menjelang bukaan median. Penempatan median dalam potongan melintang jalan seperti pada Gambar 2.14                  

(36)

Sumber : Pd T-17-2004-B Gambar 2.14 Potongan Melintang Jalan 2.2.12.2 Tipe Median Jalan

Ada tiga tipe median yang bisa digunakan, yaitu :

1. Median datar, yaitu median yang dibatasi oleh dua buah marka membujur garis utuh, jarak dua buah marka membujur garis utuh bisa dikategorikan sebagai median jika jarak tersebut > 18 cm, di dalamnya dilengkapi marka serong. Ketentuan penggunaan marka sebagai median mengikuti pedoman perencanaan marka yang berlaku. Contoh median membujur garis utuh dapat dilihat pada Gambar 2.15

                 

(37)

Sumber : Pd T-17-2004-B Gambar 2.15 Median Datar

2. Median yang ditinggikan, yaitu median yang dibuat lebih tinggi dari permukaan jalan. Pada sisi luar median harus dilengkapi dengan kerb. Median yang ditinggikan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut : a. Median yang ditinggikan dipasang apabila lebar lahan yang tersedia

untuk penempatan median kurang dari 5.0 m. Potongan melintang jalan dapat dilihat pada Gambar 2.16

Sumber : Pd T-17-2004-B Gambar 2.16 Median Yang Ditinggikan                  

(38)

b. Tinggi median dari permukaan jalan adalah antara 18 cm dan 25 cm. Detail potongan penempatan median yang ditinggikan dapat dilihat pada Gambar 2.17

Sumber : Pd T-17-2004-B

Gambar 2.17 Sisi Luar Median Yang Dilengkapi Kerb

c. Spesifikasi kerb yang dipasang harus mengikuti SNI 03-2442-1991. Sudut bagian muka permukaan kerb tidak boleh tajam. Detail potongan kerb dapat dilihat pada Gambar 2.18

Sumber : Pd T-17-2004-B

Gambar 2.18 Penampang Melintang Kerb

3. Median yang diturunkan, yaitu median yang dibuat lebih rendah dari permukaan jalur lalu-lintas. Pemasangan median ini mengikuti ketentuan sebagai berikut :                  

(39)

a. Median yang diturunkan dipasang apabila lebar lahan yang disediakan untuk median lebih atau sama dengan 5.0 m.

b. Kemiringan permukaan median antara 6-15 %, dimulai dari sisi luar ke tengah median dan secara fisik berbentuk cekungan, seperti terlihat pada Gambar 2.19

c. Permukaan median tidak diperkeras dan dapat diberi material yang mampu meredam laju kecepatan kendaraan yang lepas kendali.

Sumber : Pd T-17-2004-B Gambar 2.19 Median Yang Diturunkan 2.2.12.3 Lebar Median Jalan

Lebar median dihitung dari antara kedua marka membujur garis utuh termasuk lebar marka tersebut. Minimum lebar median ditetapkan berdasarkan ada tidaknya bukaan yang direncanakan pada median tersebut, seperti diuraikan pada Tabel 2.12dan Tabel 2.13

Tabel 2.12 Lebar Minimum Median Tanpa Bukaan (Tipe Ditinggikan)

Sumber : Pd T-17-2004-B                  

(40)

Tabel 2.13Lebar Minimum Median Dengan Bukaan (Tipe Ditinggikan/Diturunkan)

Sumber : Pd T-17-2004-B 2.2.12.4 Bukaan Median Jalan

Jarak bukaan (d1) dan lebar bukaan (d2) diatur sebagaimana dalam Tabel 2.14. Jarak bukaan dimulai dari titik tengah lebar bukaan sampai titik tengah lebar bukaan berikutnya tanpa melihat arah lalu-lintas di bukaan, sesuai dengan Gambar 2.20 sedangkan lebar bukaan dapat dilihat pada Gambar 2.21

Tabel 2.14 Jarak Minimum Antara Bukaan dan Lebar Bukaan

Sumber : Pd T-17-2004-B

Sumber : Pd T-17-2004-B Gambar 2.20 Jarak Antar Bukaan                  

(41)

Sumber : Pd T-17-2004-B Gambar 2.21 Lebar Bukaan

2.2.13 Lampu Penerangan Jalan Umum

Lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan/dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian median jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan, jalan layang, jembatan, dan di bawah tanah (underpass, terowongan).

Lampu penerangan yang dimaksud adalah suatu unit pelengkap yang terdiri dari sumber cahaya (lampu/luminer), elemen-elemen optik (pemantul/reflector, pembias/refractor , penyebar/difusser). Elemen-elemen elektrik (konektor ke sumber tenaga/power supply, dll.), struktur penopang yang terdiri dari lengan penopang, tiang penopang vertikal dan pondasi tiang lampu.                  

(42)

Sistem penempatan lampu penerangan jalan adalah susunan penempatan/penataan lampu yang satu terhadap lampu yang lain. Sistem penempatan ada 2 sistem, yaitu :

 Sistem Penempatan Menerus

Sistem penempatan menerus adalah sistem penempatan lampu penerangan jalan yang menerus/kontinyu di sepanjang jalan/jembatan.

 Sistem Penempatan Parsial (setempat)

Sistem penempatan parsial adalah sistem penempatan lampu penerangan jalan pada suatu daerah-daerah tertentu atau pada suatu panjang jarak tertentu sesuai dengan keperluannya

2.2.13.1 Spesifikasi Lampu Penerangan Jalan 1. Jenis Lampu Penerangan Jalan

Jenis lampu penerangan jalan ditinjau dari karakteristik dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 2.15

                 

(43)

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991                  

(44)

2. Kriteria Perencanaan

a. Penempatan lampu penerangan jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan :

 Penerangan yang merata

 Keamanan dan kenyamanan bagi pengendara

Arah dan petunjuk (guide) yang jelas.

Pada sistem penempatan parsial, lampu penerangan jalan harus memberikan adaptasi yang baik bagi pengelihatan pengendara sehingga efek kesilauan dan ketidaknyamanan pengelihatan dapat dikurangi.

b. Pemilihan jenis lampu penerangan jalan didasarkan efektifitas dan nilai ekonomi lampu, yaitu nilai efektifitas (lumen/watt) lampu yang tinggi umur rencana yang panjang.

c. Perbandingan kemerataan pencahayaan (Uniformity Ratio) dapat dilihat pada Tabel 2.16

Tabel 2.16 Perbandingan Kemerataan Cahaya

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991

d. Kualitas penerangan

Kualitas penerangan pada suatu jalan menurut klasifikasi fungsi jalan ditentukan seperti pada Tabel 2.17

                 

(45)

Tabel 2.17 Kualitas Penerangan

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991

3. Kriteria Penempatan

a. Sistem penempatan lampu penerangan jalan yang disarankan adalah seperti terlihat pada Tabel 2.18

                 

(46)

Tabel 2.18 Sistem Penempatan Lampu

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991

b. Gambaran umum perencanaan dan penempatan lampu penerangan jalan dapat dilihat pada Gambar 2.22

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.22 Gambaran Umum Perencanaan dan Penempatan Lampu                  

(47)

Dimana :

h = tinggi tiang lampu

L = lebar badan jalan, termasuk median jika ada e = jarak interval antar tiang lampu

s1+s2 = proyeksi kerucut cahaya lampu s1 = jarak tiang lampu ke tepi perkerasan

s2 = jarak dari tepi perkerasan ke titik penyinaran terjauh i = sudut inklinasi pencahayaan/penerangan

c. Besaran-besaran kriteria penempatan dapat dilihat pada Tabel 2.19

Tabel 2.19 Besaran Kriteria Penempatan

No URAIAN BESARAN-BESARAN

1. Tinggi Tiang Lampu (H)

10-15 m 13 m 20-50 m

30 m - Lampu standar

Tinggi Tiang rata-rata digunakan - Lampu Menara

Tinggi Tiang rata-rata digunakan

2. Jarak Interval Tiang Lampu (e)

3.0 h – 3.5 h 3.5 h – 4.0 h 5.0 h – 6.0 h 30 m - Jalan Arteri - Jalan Koletor - Jalan Lokal

- minimum jarak interval tiang

3. Jarak dari Tiang Lampu ke Tepi Perkerasan (s1)

Minimum 0.7 m 4. Jarak dari Tepi Perkerasan ke Titik

Penerangan Terjauh (s2)

Minimum L/2

5. Sudut Inklinasi (i) 20°-30°

Keterangan : h = Tinggi tiang lampu (meter) L = Lebar badan jalan (meter)

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991                  

(48)

Penataan/pengaturan letak lampu penerangan jalan diatur sebagaimana terlihat pada Tabel 2.20

Tabel 2.20 Penataan Penempatan Lampu Penerangan

Keterangan : h = tinggi tiang lampu (meter), L = lebar badan jalan (meter)

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 PENATAAN PENEMPATAN LAMPU PENERANGAN

TEMPAT PENATAAN/PENGATURAN LETAK

Jalan Satu Arah - di Kiri atau Kanan jalan

- di Kiri dan Kanan jalan berselang-seling

- di Kiri dan Kanan jalan berhadapan - di bagian tengah / Median jalan Jalan Dua Arah - di bagian tengah/Median jalan

- kombinasi antara di kiri dan kanan berhadapan dengan di bagian tengah Median jalan

- katenasi

Persimpangan - dapat dilakuka dengan

menggunakan lampu Menara dengan beberapa lampu, umumnya ditempatkan di pulau-pulau, di median jalan, diluar daerah persimpangan (dalam damija ataupun dawasja)

KETENTUAN-KETENTUAN YANG DISARANKAN - di Kiri atau Kanan jalan L < 1.2 h - di Kiri dan Kanan Jalan

berselang-seling

1.2 h < L < 1.0 h - di Kiri dan Kanan Jalan

Berhadapan 1.6 h < L < 2.4 h - di Median Jalan 3L < 0.8 h                  

(49)

Terdapat 2 jenis lampu penerangan jalan berdasarkan jenis sumber cahayanya, yaitu lampu merkuri dan lampu sodium seperti yang terlihat pada Gambar 2.23

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.23 Jenis Lampu Penerangan Berdasarkan Jenis Sumber Cahaya

Sedangkan lampu penerangan jalan beradasarkan bentuk tiang terbagi menjadi 4 jenis, yaitu :

1. Tiang lampu dengan lengan tunggal seperti terlihat pada Gambar 2.24. tiang lampu ini pada umumnya diletakkan pada sisi kiri atau kanan jalan.                  

(50)

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.24 Lampu Lengan Tunggal

2. Tiang lampu dengan lengan ganda seperti yang terlihat pada Gambar 2.25. Tiang lampu ini khusus diletakkan di bagian tengah/median jalan, dengan catatan jika kondisi jalan yang akan diterangi masih mampu dilayani oleh satu tiang.

                 

(51)

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.25 Lampu Lengan Ganda

3. Tiang lampu tegak (tanpa lengan) seperti yang terllihat pada Gambar 2.26. tiang lampu ini diperlukan untuk menopang lampu menara, yang pada umumnya ditempatkan di persimpangan-persimpangan jalan

                 

(52)

ataupun tempat-tempat yang luas seperti interchange, tempat parkir, dll.

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.26 Lampu Tanpa Lengan

4. Lampu tanpa tiang seperti yang terlihat pada Gambar 2.27. Lampu ini adalah lampu yang diletakkan pada dinding ataupun langit-langit suatu konstruksi seperti dibawah konstruksi jembatan, di bawah konstruksi jalan layang atau di dinding maupun langit-langit terowongan, dll.

                 

(53)

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.27 Lampu Tanpa Tiang

5. Pondasi lampu penerangan standar dapat dilihat pada Gambar 2.28

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.28 Pondasi Lampu Penerangan Standar

                 

(54)

Gambaran umum penempatan lampu penerangan jalan berdasarkan pemilihan letaknya dapat dilihat pada Gambar 2.29

Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.29 Tipikal Penempatan Lampu

2.2.14 Trotoar

Fasilitas pejalan kaki adalah semua bangunan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki.

Dimensi trotoar mengacu pada ketentuan dari ruang bebas trotoar adalah sebagai berikut :

a. Tinggi ruang bebas trotoar tidak kurang dari 2.5 m.

b. Kedalaman bebas trotoar tidak kurang dari 1 m dari permukaan trotoar. c. Kebebasan samping trotoar tidak kurang dari 0.3 m.

d. Perencanaan pemasangan utilitas selain harus memenuhi ruang bebas trotoar, harus juga memenuhi ketentuan dalam buku petunjuk pelaksanaan pemasangan utulitas. Ruang bebas trotoar dapat dilihat pada Gambar 2.30

                 

(55)

Sumber : Petunjuk Perencanaan Trotoar, No. 007/T/BNKT/1990 Gambar 2.30 Ruang Bebas Trotoar

Lebar minimum trotoar menurut penggunaan lahan dan sekitarnya menurut BNKT No.007 Tahun 1990 dapat dilihat pada Tabel 2.21

Tabel 2.21 Lebar Minimum Trotoar

Sumber : Petunjuk Perencanaan Trotoar, No. 007/T/BNKT/1990

Konstruksi trotoar dapat dilihat pada Gambar 2.31

                 

(56)

Sumber : Petunjuk Perencanaan Trotoar, No. 007/T/BNKT/1990 Gambar 2.31 Konstruksi Trotoar

2.2.15 Kerb

Kerb adalah bangunan pelengkap jalan yang dipasang sebagai pembatas jalur lalu-lintas dengan bagian jalan lainnya dan berfungsi juga sebagai penghalang/mencegah kendaraan keluar dari jalur lalu-lintas, pengaman terhadap pejalan kaki, mempertegas tepi perkerasan jalan, dan estetika.

Pembuatan kerb bisa secara cor di tempat ataupun pabrikasi dalam bentuk-bentuk standar, namun demikian masih dimungkinkan bentuk-bentuk-bentuk-bentuk di luar standar untuk kerb yang ditempatkan kerb standar, seperti di ujung lengkungan (nouse) atau bentuk lingkaran dengan R kecil. Jenis atau Bentuk kerb pada umumnya adalah seperti pada Gambar 2.32

Sumber : Standar Spesifikasi Kerb, No. 011/S/BNKT/1990 Gambar 2.32 Jenis/Bentuk Kerb

Ukuran yang ditentukan berdasarkan jenis dan bentuk kerb dapat dilihat pada Gambar 2.33 dan Tabel 2.22

                 

(57)

Sumber : Standar Spesifikasi Kerb, No. 011/S/BNKT/1990 Gambar 2.33 Dimensi Kerb

Tabel 2.22 Dimensi Kerb

Sumber : Standar Spesifikasi Kerb, No. 011/S/BNKT/1990

Kerb dengan bukaan dipasang pada setiap jarak 6 m. Kerb dengan bukaan dapat dilihat pada Gambar 2.34

Sumber : Standar Spesifikasi Kerb, No. 011/S/BNKT/1990 Gambar 2.34 Kerb Dengan Bukaan

                 

Gambar

Gambar 2.1 Permodelan Struktur Box Culvert          
Gambar 2.3 Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen          
Gambar 2.4 Tebal Pondasi Bawah Minimum Untuk Perkerasan Beton Semen
Tabel 2.2 Faktor Pertumbuhan Lalu-lintas (R)
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Korelasi antara suhu dan aliran fluida terhadap aktifitas daerah sistem panas bumi di daerah Paguyangan menunjukkan semakin besar nilai suhu makan semakin

 Sistem Jaringan Air Minum Perkotaan Purbalingga, yaitu sistem jaringan air minum yang saat ini melayani penduduk yang berada di wilayah Kota Purbalingga dan

Penyedia harus mengganti kerugian kepada TÜV SÜD Grup dan kepada Direktur, petugas, pegawai, afiliasi, anak perusahaan, dan agen terhadap setiap kewajiban yang ditanggung oleh TÜV

Pada saat penghentian pengakuan atas aset keuangan secara keseluruhan, maka selisih antara nilai tercatat dan jumlah dari (i) pembayaran yang diterima, termasuk

Penulis telah melakukan penelitian dengan judul: “Geologi Daerah Kawah Sileri dan Sekitarnya, Kecamatan Kepakidan, Serta Manifestasi Panasbumi Dataran Tinggi Dieng,

Penentuan jumlah sampel untuk analisa Survei kepuasan masyarakat (SKM), menggunakan acuan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun

Dari hasil uji t untuk variabel pertumbuhan perusahaan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,463 oleh karena nilai koefisien negatif dan nilai signifikansi lebih besar dari

Jenis belahan pada labioskizis dan labiopalatoskizis dapat sangat bervariasi, bisa mengenal salah satu bagain atau semua bagian dari dasar cuping hidung, bibir, alveolus