• Tidak ada hasil yang ditemukan

Emboli Paru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Emboli Paru"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

DISUSUN OLEH: DR. ALI NAFIAH NST

SUPERVISOR:

Dr. PANTAS HASIBUAN, Sp.P(K)

DEPARTEMEN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN

VASKULER

(2)

EMBOLI PARU

PENDAHULUAN

Pulmonary embolism atau Emboli paru adalah peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli.1 Keadaan ini

dapat memberikan gambaran klinis dengan spektrum luas, mulai dari suatu gambaran

klinis yang asimptomatik sampai keadaan yang mengancam nyawa berupa hipotensi,

shock kardiogenik dan keadaan henti jantung yang tiba-tiba (sudden cardiac death).2,3 Insidensi emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir 200.000 kasus

pertahun dengan angka kematian mencapai 15% yang menunjukkan bahwa penyakit

ini masih merupakan problema yang menakutkan dan salah satu penyebab emergensi

kardiovaskuler yang tersering.4,5 Laporan lain menyebutkan bahwa emboli paru secara

langsung menyebabkan 100.000 kematian dan menjadi faktor kontribusi kematian

oleh penyakit-penyakit lainnya.6

Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena (venous thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis.7,8

Diagnosis suatu emboli paru dapat ditegakkan dari penilaian gambaran klinis

dan pemeriksaan penunjang berupa foto toraks, D-Dimer test, pencitraan ventilasi-perfusi (ventilation-perfussion scanning), CT angiografi toraks dengan kontras, angiografi paru, Magnetic Resonance Angiography, Duplex ultrasound ekstremitas dan ekokardiografi transtorakal.7,9

Penatalaksanaan khusus emboli paru dapat berupa pemberian antikoagulasi,

antitrombolitik atau embolektomi baik dengan intervensi kateterisasi maupun dengan

pembedahan.1,10

TUJUAN

Untuk membahas emboli paru dari sudut patofisiologi dan faktor risiko sehingga

(3)

PATOFISIOLOGI

Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga faktor yang

dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu :

1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah

2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability)

3. Statis vena6,11

Dikutip dari Fedullo PF dkk. The evaluation of suspected pulmonary embolism. N

Engl J Med 2003;349:1247-56

Trauma lokal pada dinding pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera

pada

dinding pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan

tromboflebitis sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagulobilitas darah dapat

disebabkan oleh therapi obat-obat tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone replacement theraphy dan steroid. Di samping itu masih ada sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor predisposisi suatu trombosis. Sementara statis vena dapat terjadi

akibat immobilisasi yang berkepanjangan atau katup vena yang inkompeten yang

(4)

Bila trombi vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan mengikuti

aliran sistem vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri pulmonalis. Jika

emboli ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis dan

membentuk saddle embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru tersumbat karenanya. Kedaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan

melepaskan senyawa-senyawa vasokonstriktor seperti serotonin, refleks

vasokonstriksi arteri pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya akan

menimbulkan hipertensi arteri pulmonalis. Peningkatan arteri pulmonalis yang

tiba-tiba akan meningkatkan tekanan ventrikel kanan dengan konsekuensi dilatasi dan

disfungsi ventrikel kanan yang pada gilirannya akan menimbulkan septum

interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya gangguan pengisian

ventrikel dan penurunan distensi diastolik. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel

kiri maka curah jantung sistemik (systemic cardiac output) akan menurun yang akan mengurangi perfusi koroner dan menyebabkan iskemia miokard. Peninggian tekanan

dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru massif akan

menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel

kanan meningkat yang selanjutnya menimbulkan iskemia dan kardiogenik shok.

Siklus ini dapat menimbulkan infark ventrikel kanan, kollaps sirkulasi dan

kematian.6,11

Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi berikut :

1. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi,

neurohumoral, atau baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan tekanan

arteri pulmonalis

2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari

dampak obstruksi vaskuler dan hipoksemia karena hipoventilasi alveolar,

rendahnya unit ventilasi-perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga

gangguan transfer karbonmonoksida

3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi reseptor

4. Peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokonstriksi

(5)

Skema patofisiologi disfungsi ventrikel kanan

Sumber : Kepustakaan no.11

DIAGNOSIS

Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan

pencegahannya. Pendekatan diagnostic non invasif, khususnya pemeriksaan D-dimer,

ELISA (Enzym-linked immunosorbent assay) , CT-Scan dan ultrasonografi vena saat

ini semakin meningkatkan nilai kepercayaan dalam menegakkan diagnosis emboli

paru. Bagaimanapun juga, di samping adanya kemajuan tekhnologi diagnosis,

ternyata emboli paru yang besar selalu tidak terdiagnosis dan hanya dijumpai saat

autopsi.11

GAMBARAN KLINIS

Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan test diagnostik. Dispnoe

merupakan gejala yang paling sering muncul, dan tachypnoe adalah tanda emboli paru

yang paling khas. Pada umumnya, dispnoe berat, sinkop atau sianosis merupakan

tanda utama emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan

bahwa emboli paru kecil dan terletak di arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan

(6)

Emboli paru patut dicurigai pada penderita hipotensi jika :

1. Adanya bukti trombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru

2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut) seperti distensi vena leher, S3 gallop, pulsasi jantung kanan di dinding dada (a right ventricular heave) , takikardia, atau takipnea

3. Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan

hipokinesis atau bukti EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor

pulmonale dengan gambaran S1Q3T3, gambaran incomplete right bundle

branch block atau iskemia ventrikel kanan.11

Wells dan kawan-kawan membuat probabilitas pretes klinik dengan menghitung

skor

Klinis (poin) seperti pada table berikut :12

Tabel 2. Wells Clinical Bedside Scoring System for Suspected Pulmonary Embolism

Dikutip dari Fedullo PF dkk. The evaluation of suspected pulmonary embolism. N

(7)

Ada enam sindroma klinis emboli paru akut dengan gambaran sebagai berikut

:

1. Emboli Paru massif

Presentasi klinis: Sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri

sistemik persisten; khas > 50 persen obstruksi pada vaskulatur paru. Disfungsi

ventrikel kanan dapat dijumpai.

2. Emboli Paru sedang sampai besar (submassif)

Presentasi klinis: Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas > 30

persen defek pada perfusi scan paru dengan tanda-tanda disfungsi ventrikel

kanan

3. Emboli Paru Kecil sampai Sedang

Presentasi klinis: Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa disertai

tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan

4. Infark Paru (Pulmonary Infarction)

Presentasi klinis: Nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural rub, atau bukti adanya konsolidasi paru; khasnya berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai

disfungsi ventrikel kanan

5. Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism)

Presentasi klinis: Kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke,

jarang disertai disfungsi ventrikel kanan

6. Emboli Nontrombus (Nonthrombotic embolism)

Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan

amnion. Disfungsi ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.11

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang emboli paru mencakup :

1. Foto Toraks

Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto toraks

adalah tanda spesifik emboli paru. Foto toraks juga dapat menunjukkan

kelainan lain seperti efusi pleura atau atelektasis yang sering bersamaan

insidensinya dengan penyakit ini.. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk

(8)

2. Analisa Gas Darah

Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting

akibat ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau

sedikit menurun disebabkan oleh keadaan hiperventilasi. Bagaimanapun juga

sensitivitas dan spesifisitas analisa gas darah untuk penunjang diagnostik

emboli paru relatif rendah.

3. D-dimer

Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh

proses fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan.

Pemeriksaan ini merupakan skrining yang bermanfaat dengan sensitivitas yang

tinggi (94%) namun kurang spesifisitas (45%). D-dimer dapat meningkat pada

beberapa keadaan seperti recent MCI . Spesifisitas D-dimer secara ELISA untuk memprediksi emboli paru meningkat bila ratio D-dimer / fibrinogen >

1000.

Plasma D-dimer yang normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru.

(9)

4. Elektrokardiogram (EKG)

Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama

pada kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif

dapat terjadi perubahan EKG antara lain :

- Pola S1 Q3 T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III,

disertai gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung

yang dikarenakan dilatasi atrium dan ventrikel kanan.

- P Pulmonal

- Right bundle branch block yang baru

- Right ventricular strain dengan T inverted di lead V1 sampai V4

Gambaran EKG seorang pria 33 tahun dengan emboli paru pada cabang utama kiri

arteri pulmonalis yang telah dikonfirmasi dengan CT scan thorax.

Sumber : Kepustakaan no.11

5. Scanning Ventilasi-Perfusi

Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasive yang penting untuk

sangkaan emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus

alergi kontras, insufisiensi ginjal, atau kehamilan.

6. Spiral Pulmonary Computed Tomography scanning

Test ini sangat sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan

(10)

scanning ventilasi-perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan

injeksi kontras medium melalui vena perifer dan dapat mencapai arteri

pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal sampai

ke cabang segmentalnya.

7. Pulmonary Scintigraphy

Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu tekhnik

yang cukup sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Defisit perfusi dapat

dikarenakan oleh ketidakseimbangan aliran darah ke bagian paru atau

disebabkan masalah paru seperti efusi atau kollaps paru. Untuk menambah

spesifisitasnya, tekhnik ini selalu dikombinasi dengan ventilation scan dengan menggunakan radioaktif gas xenon. Gambaran yang menunjukkan

non-perfusi tapi adanya zona ventilasi menunjukkan emboli paru. Bagaimanapun

juga pada penderita dengan penyakit paru sebelumnya, nilai diagnostik

pemeriksaan ini menjadi menurun.

8. Angiografi paru

Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) dalam diagnostik emboli paru. Namun tekhnik ini merupakan penyelidikan invasif yang cukup

berisiko terutama pada penderita yang sudah kritis. Karenanya saat ini peran

angiografi paru sudah digantikan oleh spiral CT scan yang memiliki akurasi yang sama.

Berikut ini satu tampilan hasil pemeriksaan pulmonary angiography terhadap seorang pasien perempuan usia 77 tahun dengan gagal jantung kanan yang

sudah mendapat heparinisasi 3 hari. Pasien ini menjalani kateterisasi jantung

kanan dan didapatkan emboli paru yang cukup besar pada bagian tengah kanan

(11)

Dikutip dari kepustakaan no.11

9. Magnetic Resonance Angiografi (MRA)

Alat ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang sama dengan CT angiografi,

bahkan dapat digunakan tanpa kontras sehingga aman untuk pasien dengan

gangguan ginjal. Namun alat ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena

adanya bahan metal seperti infus peralatan bantu nafas, dll.

10.Duplex Ultrasound Ekstremitas

Merupakan pencitraan non invasif pada kasus dengan sangkaan trombosis

vena dalam yang simptomatik pada tungkai maupun lengan yang relatif mudah

dan akurat. Ultrasound bermanfaat pada sangkaan emboli paru yang kuat

dengan skor Wells > 7.

11.Ekokardiografi

Ekokardiografi transtorakal muncul sebagai alat diagnostik non invasif yang

berperan dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat diakibatkan oleh emboli paru massif. Penderita emboli paru akut

menunjukkan pergerakan dinding segmental abnormal yang spesifik yang

sering disebut sebagai tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai

pergerakan apeks ventrikel kanan yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan

(12)

Rasio pengukuran ventrikel kanan dibanding ventrikel kiri ≥ 1 pada pengambilan gambar apical four chamber. Pada teknik pengambilan gambar

parasternal short axis akan terlihat septum interventrikuler menjadi datar dan menyebabkan gambaran ekokardiografi D shape ventrikel kiri. Tanda lain dari disfungsi ventrikel kanan adalah regurgitasi tricuspid dengan kecepatan ≥ 2,6 m/detik dan dilatasi vena kava inferior.

Dikutip dari Goldhaber SZ. Pulmonary embolism. N Engl J Med 1998; 339:98

12.Biomarker jantung

Troponin T (Trop T) adalah marker jantung yang sangat sensitif dan spesifik

untuk suatu nekrosis sel miokard. Pada pasien emboli paru terjadi sedikit

peningkatan kadar Trop T dibandingkan dengan peningkatan yang cukup

tinggi pada kasus sindroma koroner akut (nilai abnormal terendah 0,03-0,1

ng/ml). Kadar Trop T berkorelasi dengan disfungsi ventrikel kanan, dimana

iskemi miokard terjadi akibat gangguan keseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen dari ventrikel kanan sehingga terjadi pelepasan Trop T ke

dalam sirkulasi tanpa adanya penyakit jantung koroner.

(13)

masih normal tidak disimpan dalam jumlah yang besar. Peningkatan kadar

BNP dan Pro BNP berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan pada pasien

dengan emboli paru. Kadar BNP ≥ 50 pg/ml memberikan nilai prognostik emboli paru yang buruk.3,11,12,13,14,15

DIAGNOSIS BANDING

Emboli paru dapat didiferensial diagnosis dengan :

1. Pneumonia atau bronchitis

2. Asthma bronchiale

3. Penyakit Paru Obstruksi Menahun eksaserbasi

4. Miokard infark

Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus.1

Tatalaksana yang umum anatara lain :

1. Tirah baring di ruang intensif

2. Pemberian oksigen 2 – 4 l/menit

3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan

4. Pemantauan tekanan darah

5. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg , bila tidak ditoleransi gunakan

(14)

Sementara terapi yang bersifat khusus adalah :

1. Trombolitik: diindikasikan pada emboli paru massif dan sub massif

Sediaan yang diberikan :

- Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam

- rt-PA (alteplase) 100 mg intravena dalam 2 jam

- Urokinase 4400 / kg/ jam dalam 12 jam

- Dilanjutkan dengan unfractionated heparin / low molecular weight heparin selama 5 hari

2. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru massif

3. Heparinisasi sebagai pilihan pada emboli paru non massif / non sub massif

4. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi perdarahan

5. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi heparinisasi / trombolitik pada

emboli paru massif dan sub massif

6. Pemasangan filter vena cava dilakukan bila ada perdarahan yang memerlukan

transfusi, emboli paru berulang meskipun telah menggunakan antikoagulan

jangka panjang

Secara skematik penanganan khusus suatu emboli paru dapat dilihat pada bagan di

bawah ini :16

Dikutip dari Piazza G, Goldhaber ZS. Acute pulmonary Embolism: Part II: Treatment

and prophylaxis. Circulation 2006;114:42-47

(15)

penggunaannya pada kasus emboli paru massif tetapi kontraversi timbul dikarenakan

kebanyakan penderita yang akan ditrombolitik memiliki disfungsi ventrikel kanan

yang berat. Food and Drug Administration (FDA) telah merekomendasi penggunan

t-PA (alteplase) 100 mg diberikan perinfus selama 2 jam pada kasus emboli paru

massif.17,18

Data dari The International Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER) menunjukkan bahwa fibrinolitik tidak menurunkan angka kematian atau kekambuhan emboli paru pada 90 hari. Sementara pada emboli paru submassif, The Management Strategies and Prognosis of Pulmonary Embolism-3 Trial (MAPPET-3)

menunjukkan bahwa terjadi penurunan penggunaan therapy ekskalasi diantara

penderita yang mendapat alteplase.17

Penderita emboli paru massif atau submassif dengan kontraindikasi fibrinolitik,

maka embolektomi akan menjadi pilihan therapi. Indikasi embolektomi secara

pembedahan lainnya mencakup emboli paradoks (paradoxical emboli), emboli yang menetap pada jantung kanan (persistent right heart thrombi), ketidakseimbangan hemodinamik atau respiratorik yang memerlukan resusitasi kardiopulmoner.17,18

Embolektomi pulmoner dengan teknik kateterisasi (catheter-based pulmonary embolectomy) saat ini berkembang menjadi therapi primer pilihan pada emboli paru akut. Tekhnik ini diindikasikan bila fibrinolisis dan embolektomi pembedahan

merupakan kontraindikasi. Pada umumnya, embolektomi dengan kateterisasi akan

berhasil jika dilakukan pada fresh thrombus dalam kurun waktu 5 hari sejak ditemukan gejala .17

Dikutip dari Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism part II: Treatment

(16)

Pemberian antikoagulan merupakan komponen utama dalam penatalaksanaan

emboli paru. Low-molecular weight heparins (LMWH) seperti enoxaparin nyata-nyata memberikan efek yang aman dan efektif dibanding unfractionated heparin intravena. Keuntungan LMWH dibandingkan dengan heparin antara lain LMWH memiliki dosis

yang lebih sesuai dan cukup respons, tidak perlu monitoring, tidak memerlukan

penyesuaian dosis, insidensi trombositopenia lebih kecil, tidak menyebabkan

perdarahan berlebihan dan dapat dilakukan pasien sendiri di rumah sehingga

memperpendek masa perawatan.17,18

Antagonis vitamin K oral seperti warfarin masih tetap menjadi pilihan sebagai

anrikoagulan oral pada kasus-kasus tromboemboli vena dengan target INR

(International normalized ratio) 2,0 sampai 3,0. Penggunaan optimal antikoagulan bergantung pada risiko terjadinya kekambuhan tromboemboli. Beberapa studi

merekomendasikan penggunaan antikoagulasi tanpa batas waktu pada kasus-kasus

tromboemboli idiopatik.17,

Saat ini telah berkembang tekhnik filter vena cava inferior (Inferior vena cava filters) yang prosedurnya dilakukan melalui vena jugularis interna atau vena femoralis yang dengan panduan flouroskopi dimasukkan sampai ke vena cava inferior. Indikasi

pemasangan teknik ini adalah :

a. Penderita dengan risiko tinggi trombosis vena dalam proksimal yang

mana antikoagulasi merupakan kontraindikasi

b. Tromboemboli vena yang rekuren walaupun dengan antikoagulasi

c. Tromboemboli vena rekuren kronis dengan hipertensi pulmonal

d. Dilakukan secara simultan bersamaan dengan operasi embolektomi atau endarterectomy.17

PENCEGAHAN

Pencegahan emboli paru menjadi salah satu hal penting dikarenakan kelainan ini sulit

dideteksi dan penatalaksanaannya tidak selalu berhasil. Setiap penderita yang dirawat

seharusnya dilakukan stratifikasi risiko emboli paru dan bila perlu mendapat therapy

profilaksis.16

Pencegahan non farmakologis yang dapat dilakukan adalah penggunaan

(17)

Dikutip dari Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism II: Treatment and

prophylaxis. Circulation 2006;114:42-47

KESIMPULAN

Emboli paru merupakan salah satu masalah kesehatan dengan insidensi yang masih

tinggi dan angka mortalitasnya cukup signifikan.

Deteksi dan stratifikasi risiko merupakan langkah awal dalam diagnosis dan

tatalaksana suatu emboli paru sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas.

(18)

KEPUSTAKAAN

1. Kusmana D, dkk. Standar pelayanan medik RS. Jantung pembuluh darah

Harapan Kita. Edisi ke-2. Jakarta. 2003.h.209-11

2. Goldhaber SZ, Elliot CG. Acute pulmonary embolism: Part II: Risk

stratification, treatment, and prevention. Circulation 2003;108:2834-2838 3. Sunu I. Emboli paru: Pencegahan dan tata laksana optimal pasien rawat inap.

Dalam: Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend course on cardiology, common soils in atherosclerosis: The base for prevention and intervention. Jakarta. 2006.h.9-18

4. Piazza G, Goldhabber SZ. Acute pulmonary embolism: Part I: Epidemiology and diagnosis. Circulation 2006; 114:28-32

5. Sobieszczyk P, dkk. Acute pulmonary embolism: Don’t ignore the platelet. Circulation 2002;106:1748-1749

6. Fedullo PF: Pulmonary embolism. Dalam: Robert AO, Valentin F, R.Wayne A, penyunting. The heart manual of cardiology. Edisi ke-11. Boston: McGraw Hill,2005.h.351-2

7. Myerson SG, dkk: Pulmonary embolism. Dalam: Saul GM, Robin PC,Andrew RJ, penyunting. Emergencies in cardiology. Edisi ke-1. Oxford University press,2006.h.190-194

8. Goldhaber SZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein thrombosis. Circulation 2002;106:1436-1438

9. Julian GD: Disorders of the lungs and pulmonary circulation. Dalam:

Desmond GJ, Cowan JC, James MM, penyunting. Cardiology. Edisi ke-8. Edinburgh: Elsevier Saunders,2005.h.328-3

10.Grubb NR, Newby DE: Pulmonary embolism. Dalam: Neil RG, David EN,

penyunting. Cardiology. Edisi ke-1. Edinburgh: Churchill livingstone,2000.h.181-7

11.Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow,

Braunwald, penyunting. Braunwald’s heart disease, a textbook of cardiovascular medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier saunders,2005.h.1789-06

12.Kearon C. Diagnosis of pulmonary embolism. CAMJ 2003;168:183-194

13.Palareti G, dkk. Predictive value of D-dimer Test for recurrent venous thromboembolism after anticoagulation withdrawl in subjects with a previuous idiopathic event and in carriers of congenital thrombophilia. Circulation 2003;108:313-18

14.Fedullo PF, dkk. The evaluation of suspected pulmonary embolism. N Engl J Med 2003;349:1247-56

15.Goldhaber SZ. Pulmonary embolism. N Engl J Med 1998;339:93-03 16.Janata K. Managing pulmonary embolism. BMJ 2003;326:1341-1342

17.Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism: Part II: Treatment and prophylaxis. Circulation 2006;114:42-47

Gambar

Tabel 2. Wells Clinical Bedside Scoring System for Suspected Pulmonary Embolism

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar penelitian berikutnya dalam menilai respon kemoterapi penderita kanker paru dihubungkan dengan kadar CEA serial dimana

Tujuan penelitian ini adalah menilai sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi deteksi Mycobacterium tuberculosis dalam sputum penderita TBC paru dengan teknik PCR

Data diperoleh dari hasil wawancara secara langsung menggunakan kuesioner Short Form-36 (SF- 36) untuk menilai kualitas hidup penderita TB paru di Kota Bandung

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola bakteri aerob pada sputum penderita infeksi saluran per napas an akut (ISPA) di Poliklinik Paru RSUP Prof.. Jenis penelitian

Pada penderita tuberkulosis paru limfosit berperan penting dalam memberikan respon sebagai sistem imun yang akan melakukan perlawanan dengan bakteri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola bakteri aerob pada sputum penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Poliklinik Paru RSUP Prof.. Jenis penelitian