REFERAT
ABSES PARU
Oleh:
M. Alfian Zaini Adhim, S.Ked J 5000 90091
Ramayana Dg Situru, S.Ked J 5000 90095
Erytromisin Cahyaningtyas, S.Ked
Pembimbing: dr. H. Krisbiyanto Sp.P
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU RSUD DR. HARDJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
REFERAT
ABSES PARU
Oleh:M. Alfian Zaini Adhim, S.Ked J 5000 90091
Ramayana Dg Situru, S.Ked J 5000 90095
Guntur Arianto Wibowo, S.Ked J 5000 80056
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada hari ... tanggal ...
Pembimbing
dr. H. Krisbiyanto, Sp.P (………..)
Dipresentasikan di hadapan
dr. H. Krisbiyanto, Sp.P (………..)
Disahkan Ka Profesi FK UMS
dr. Dona Dewi Nirlawati (………..)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU RSUD DR. HARDJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Abses paru didefinisikan sebagai semua lesi di parenkim paru dengan proses supurasi dan nekrosis jaringan.(1) Dahulu abses paru, dan infeksi di daerah thorak lainnya, utamanya disebabkan oleh operasi thorak dan tindakan anestesi. Namun berkat teknologi antibiotik dan kemajuan teknik operasi thoraks serta anestesi, jika dibandingkan dengan masa lalu, kejadian abses paru sekarang telah turun drastis.(2)
Berdasarkan jenis kelamin, abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki karena sering mengkonsumsi alkohol dan merokok. Abses paru mungkin terjadi lebih sering pada pasien usia lanjut karena terjadinya penurunan fungsi paru. Namun, serangkaian kasus dari pusat perkotaan dengan prevalensi tinggi alkoholisme melaporkan rata-rata penderita abses baru berusia 41 tahun. (2)
Angka kejadian Abses Paru berdasarkan penelitian Asher et al tahun 1982 adalah 0,7 dari 100.000 penderita yang masuk rumah sakit hampir sama dengan angka yang dimiliki oleh The Children’s Hospital of eastern ontario Kanada sebesar 0,67 tiap 100.000 penderita anak-anak yang MRS. Dengan rasio jenis kelamin laki-laki banding wanita adalah 1,6 : 1. (2)
Angka kematian yang disebabkan oleh Abses paru terjadi penurunan dari 30 – 40 % pada era preantibiotika sampai 15 – 20 % pada era sekarang. (2)
B. TUJUAN PENULISAN
Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, faktor predisposisi
patofisiologi, diagnosis, diagnosa banding, tatalaksana dan prognosis pada abses paru.
BAB 2
TINJAUAN PUSTKA
A. DEFINISI
Abses paru didefinisikan sebagai semua lesi di parenkim paru dengan proses supurasi dan nekrosis jaringan.(1)
B. EPIDEMILOGI
Mortalitas/Morbiditas
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan antibiotik, dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%. Faktor host yang menyebabkan prognosis memburuk antara lain usia lanjut, kekurangan tenaga, malnutrisi, infeksi HIV atau bentuk lain imunosupresi, keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Tingkat kematian untuk pasien dengan status imunokompromis mendasar atau obstruksi bronkial yang kemudian membentuk abses paru dapat mencapai 75%.
Organisme aerobik, yang biasanya didapat di rumah sakit, juga dapat menghasilkan prognosa yang buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan tingkat kematian abses paru yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif digabungkan adalah sekitar 20%.
Seks
Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses paru yang dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan.
Umur
Abses paru pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan meningkatnya penyakit periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan aspirasi pada usia ini. Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal di pusat perkotaan dengan prevalensi alkoholisme tinggi melaporkan usia rata-rata yang
Orang-orang tua, orang-orang dengan immunocompromise, malnutrisi, debilitated dan khususnya orang-orang yang tidak pernah mendapatkan antibiotik adalah orang-orang yang paling rentan dan memiliki prognosis yang paling buruk.3
C. ETIOLOGI1
Penyebab abses paru dapat bermacam-macam. Berikut ini urutan penyebab abses paru, sesuai dengan frekuensi yang ditemukan dibagian Paru RSUD Dr. Soetomo-Surabaya:
1. Infeksi yang timbul melalui saluran napas (aspirasi). 2. Sebagai penyulit dari beberapa tipe pneumonia tertentu. 3. Perluasan abses subdiafragmatika.
4. Berasal dari luka traumatic paru. 5. Infark paru yang terinfeksi.
D. FAKTOR PREDISPOSISI1
1. Ada sumber infeksi di saluran pernapasan.
Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronchitis, bronkiektasis, dan kanker paru.
2. Daya tahan saluran pernapasan yang terganggu.
Pada paralisa laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, akalasia, kanker esophagus, gangguan ekspektorasi dan gangguan pergerakan silia.
3. Obstruksi mekanik saluran pernapasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus.
E. PATOFISIOLOGI
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor, dan
struktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Dalam keadaan tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju ke lobus medius atau segmen posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat akan menuju ke segmen apikal lobus superior atau segmen superior lobus inferior paru kanan, hanya kadang-kadang saja aspirat dapat mengalir ke paru kiri.1,4
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gigi yang sampai ke saluran pernapasan bawah akan menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada seseorang yang tidak sadar atau sangat mengantuk karena pengaruh obat penenang, obat bius, atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat pula terjadi pada penderita gangguan sistem saraf.2,3,4
Jika bakteri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh, maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian
akan berkembang menjadi nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses.2,3
Secara hematogen yang paling banyak terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi pada bagian lain tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus.
Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura.4
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis dan gangguan imunitas.4
Diameter abses bervariasi dari beberapa milimeter sampai kavitas besar dengan ukuran 5-6 cm. Lokalisasi dan jumlah abses bergantung pada bentuk perkembangannya. Abses paru yang diakibatkan oleh aspirasi lebih banyak terjadi pada paru kanan (lebih vertikal) daripada paru kiri, serta lebih banyak berupa kavitas tunggal. Abses yang terjadi bersamaan dengan adanya pneumonia atau bronkiektasis umumnya bersifat multipel, terletak di basal dan tersebar luas. Septik emboli dan abses yang diakibatkan oleh penyebaran hematogen umumnya
bersifat mulitipel dan dapat menyerang bagian paru manapun.5,6
Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektoransikan ke luar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang diikuti dengan terbentuknya fistula bronkopleura.4,6
F. DIAGNOSIS
Gejala Klinik4
Gejala penyakit biasanya berupa: a. Malaise
Malaise merupakan gejala awal disertai tidak nafsu makan yang lama kelamaan menyebabkan penurunan berat badan.
b. Demam
Demam berupa demam intermitten bisa disertai menggigil bahkan ‘rigor’ dengan suhu tubuh mencapai 39.4ºC atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan adanya abses paru
c. Batuk
Batuk pada pasiean abses paru merupakan batuk berdahak yang setelah beberapa dapat berubah menjadi purulen dan bisa mengandung darah. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anaeraob dan disebut dengan putrid abscesses, tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri di atas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang masif.
d. Nyeri pleuritik
Nyeri pleuritik atau nyeri yang dirasakan dalam dada menunjukkan adanya keterlibatan pleura.
e. Sesak
Sesak disebabkan oleh adanya pus yang menumpuk menutupi jalan napas f. Anemia
Anemia yang terjadi dapat berupa anemia defisiensi yang disebabkan oleh kurangnya asupan akibat penurunan nafsu makan, namun lebih sering disebabkan oleh perdarahan pada saluran nafas khususnya pada hemoptisis masif.1,3,4,5
Tanda Fisik1
Berupa tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan ronki basah atau krepitasi ditempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-tanda efusi pleura, jari tabuh dapat timbul dalam beberapa minggu terutama bila drainase tidak baik.
Laboratorium4
Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm3 dengan hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfinuklear yang banyak terutama neutrofil yang immatur. Pada abses lama dapat ditemukan anemia. Dapat dilakukan pemeriksaan dahak untuk mengetahui miukroorganisme penyebab, namun dahak sebaiknya diaperoleh dari aspirasi transtrakheal, transtorakal atau bilasan/sikatan bronkus untuk menghindari kontaminasi dari organisme anaerobik normal pada mulut dan saluran napas atas.
Gambaran Radiologi Foto Thorax
Pada gambaran radiologik dapat ditemukan gambaran satu atau lebih kavitas yang disertai dengan adanya air fluid level. Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru
primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nososkomial atau hematogen) lesinya biasanya multipel.2,4,7
Gambar 1. Foto X-Ray ini ditemukan kavitas pada hilum kanan. Foto X-ray posisi lateral memperlihatkan kavitas memiliki dinding yang tipis dan terletak pada segmen apikal dari lobus
paru kanan bawah.
Ukuran dari abses bervariasi namun secara umum memiliki bentuk yang bulat. Dinding abses umumnya tebal dan permukaan dalamnya irreguler. Pembuluh darah bronkus dan bronkus sendiri dapat menjadi dinding dari abses.5,6 Abses dapat berisi cairan saja maupun cairan yang bercampur dengan udara sehingga memberikan gambaran air-fluid level. Bila abses mengalami ruptur akan terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, yang akan memberikan gambaran kavitas dengan batas udara dan cairan di dalamnya (air fluid level). Secara umum terdapat perselubungan di sekitar kavitas, meskipun begitu pada terapi kavitas akan menetap lebih lama dibanding perselubungan di sekitarnya. 4,6,8,9,10
Gambar 2. Abses Paru – posisi AP dan lateral. Kavitas dengan air fluid level pada lapangan paru kiri atas.
CT-Scan
CT-Scan adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif dalam menegakkan diagnosis abses paru. Kontras yang diberikan adalah kontras yang dapat bercampur dengan perselubungan disekitar lesi sehingga batas margin dapat diidentifikasi.2,3,6
Gambaran khas CT scan abses paru adalah berupa lesi dens bundar dengn kavitas berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak.11
Gambar 3. Gambaran abses paru dengan CT-scan. CT memperlihatkan kavitasi pada lobus atas paru kiri dengan jelas (kiri). Gambaran abses paru dengan pemeriksaan CT kontras (kanan)
Ultrasound
Ultrasound tidak memiliki peran yang signifikan dalam menegakkan diagnosis abses paru dikarenakan banyak daerah dari paru yang berisi udara yang akan menghalangi visualisasi menggunakan ultrasound. Meskipun begitu, tepi abses yang berbatasan dengan pleura atau berbatasan dengan daerah paru yang mengalami penekanan ataupun perselubungan dapat tervisualisasi. Hal ini harus
dibedakan dengan empiema.3
G. DIAGNOSA BANDING1
1. Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi, biasanya dinding kavitas tebal dan tidak rata. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi.
2. Tuberkulosis paru atau infeksi jamur
Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru. Pada tuberkulosis didapatkan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan jamur.
3. Bula yang terinfeksi, tampak air fluid level. Di sekitar bula tidak ada atau hanya sedikit konsolidasi.
4. Kista paru yang terinfeksi. Dindingnya tipis dan tidak ada reaksi di sekitarnya.
5. Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.
6. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi. Pekerjaan penderita jelas di daerah berdebu dan didapatkan simple pneumoconiosis pada penderita. 7. Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart
burn bertambah berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti
dengan pemeriksaan foto barium.
8. Sekuester paru. Letak di basal kiri belakang. Diagnosis pasti dengan bronkografi atau arteriografi retrograd.
H. PENATALAKSANAAN
Terapi antibiotik
Penisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram negatif dapat ditambahkan kloramfenikol 500 mg empat kali sehari. Respons terapi yang baik akan terjadi dalam 2-4 minggu, dan selanjutnya bisa dilanjutkan dengan terapi antibiotik peroral. Pada terapi peroral diberikan penisilin oral 750 mg empat kali sehari. Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan klindamisin 600 mg tiap 8 jam, metronidazol 4x500 mg, atau gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.1
Drainase postural
Selalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik. Tubuh diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun menjadi lancar. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan produksi sputum purulen.1
Bronkoskopi
Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi lancar.1,3 Di samping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak mengalam drainase yang adekuat, serta dapat diberikannya larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi abses.4
Bedah
Pembedahan dilakukan bila terapi antibiotik gagal, yaitu bila :
- Abses menjadi menahun
- Kavitas, produksi dahak, dan gejala klinik masih tetap ada setelah terapi intensif selama 6 minggu, atau
- Abses yang sudah sembuh tapi meninggalkan sisa jaringan parut yang
cukup luas dan mengganggu faal paru.1
Lobektomi merupakan prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan.4
I. KOMPLIKASI
Komplikasi abses paru meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus atau penyebaran langsung melalui jarinag sekitarnya. Abses paru yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan kecenderungan infeksi staphylococcus, dan apabila ruptur ke rongga pleura menjadi piotoraks (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan bronkopleura.1,2,3
Abses paru resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan selama 6 minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen. Dan mungkin akan menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal dan amiloidosis.
Abses paru kronik juga dapat mengakibatkan anemia, malnutrisi, kakesia, gangguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.1,4,5
J. PROGNOSIS
Lebih dari 90% dari abses paru-paru sembuh dengan manajemen medis
saja, kecuali disebabkan oleh obstruksi bronkial sekunder untuk
karsinoma. Angka kematian yang disebabkan oleh abses paru terjadi penurunan dari 30 – 40 % pada era preantibiotika dan sampai 15 – 20 % pada era sekarang.1,12
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosis yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi. Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut :
1. Anemia dan Hipoalbuminemia 2. Abses yang besar (φ > 5-6 cm) 3. Lesi obstruksi
4. Bakteri aerob
5. Immunocompromised 6. Usia tua
7. Gangguan intelegensia
8. Perawatan yang terlambat12
Angka kematian untuk pasien dengan status yang
mendasari immunocompromisedatau obstruksi bronkial yang memperburuk abses
BAB 3 KESIMPULAN
Abses paru didefinisikan sebagai semua lesi di parenkim paru dengan proses supurasi dan nekrosis jaringan.(1). Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan antibiotik, dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%. Faktor host yang menyebabkan prognosis memburuk antara lain usia lanjut, kekurangan tenaga, malnutrisi, infeksi HIV atau bentuk lain imunosupresi, keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Abses paru sering terjadi pada pasien laki-laki dan lanjut usia.
Diagnosa dari abses paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik (malaise, demam, batuk, nyeri pleuritik, sesak, dan anemia), pemeriksaan fisik, laboratorium serta pemeriksaan radiologi. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan cara terapi antibiotik yaitu dengan menggunakan penisilin dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari intramuscular, dapat ditambahkan klorampenikol 500 mg empat kali sehari. Pada terapi peroral diberikan penisilin oral 750 mg empat kali sehari. Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan klindamisin 600 mg tiap 8 jam, metronidazol 4x500 mg, atau gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.1
Lebih dari 90% dari abses paru-paru sembuh dengan manajemen medis saja, kecuali disebabkan oleh obstruksi bronkial sekunder untuk karsinoma. Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosis yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University Press. 2005. Hal 136-140
2. Kamangar, Nadar. Lung Abscess. Updated on [Aug 19, 2009] cited on Jan 3,
2013. Available at URL:
http://www.emedicine.medscape.com/article/299425-overview
3. Datin, Abhijit. Lung Abscess. Updated on [May 2, 2008] cited on Jan 3, 2013. Available at URL: http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess
4. Rasyid, Ahmad. Abses Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. 2009. Hal 2323-8
5. Kumar, Vinay. Abbas, Abul. Robbins Basic Pathology, 8th edition. Philadelphia: Saunders. 2007. Hal 515
6. Muller, Nestor. Franquet, Thomas. Soo Lee, Kyung. Imaging of Pulmonolgy
Infection, 1st edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
Chapter 1
7. Bhimji, Sabir. Lung Abscess, Surgical Perspective. Updated on [Oct 22, 2010]
cited on Jan 10, 2013. Available at URL:
http://www.emedicine.medscape.com/article/428135-overview
8. Howlett, David. Ayers, Brian. The hands-on Guide to Imaging. Blackwell Publishing. 2004. Hal 48-9
9. Grainger, Ronald. Allison, David. Grainger & Allison's Diagnostic Radiology:
A Textbook of Medical Imaging, 4th ed. London: Churchill Livingstone. 2001.
Chapter 8
10. Budjang N. Radang Paru Yang Tidak Spesifik. Dalam: Ekayuda I, editor.
Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2005. Hal.
100-5
11. Mizra, Rakesh. Planner Andrew. A-Z of Chest Radiology. Cambridge: Cambridge University Press.2007. hal 35-7
12. Hisberg, Boaz, dkk. Factor Predicting Mortality of Patient with Lung Abscess. Available at: www.chestjournal.chestpubs.org
13. Sydney M. Finegold. Lung Abscess in. Cecil text book of Medicine 23th ed.