• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abses Paru.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abses Paru.pdf"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN RADIOLOGIS PADA ABSES

PARU

HENNY MAISARA SIPAHUTAR

NIP.19810522 200812 2 002

DEPARTEMEN RADIOLOGI

FK.USU / RSUP H. ADAM MALIK

M E D A N

2011

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Abses paru adalah lesi paru berupa supurasi dan nekrosis jaringan.(1) Pada daerah abses, terdapat suatu daerah lokal nekrosis supurativa di dalam parenkim paru, yang menyebabkan terbentuknya satu atau lebih kavitas yang besar. Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun karena adanya perbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi dengan daya tahan tubuh yang menurun (immunocompromised).

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait pendorong terjadinya abses paru, diantaranya para pecandu alkohol, penderita karies gigi, aspirasi saluran pernafasan sampai kelainan saluran pernafasan.

(2)

(2),(4),(5)

Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.(2) Kemudian pada anak-anak ditemukan faktor predisposisi dari abses paru dapat disebabkan oleh infeksi berat hingga imunodefisiensi.

Untuk melihat lokasi dan bentuk lesi maka dilakukan pemeriksaan radiologik sebagai pemeriksaan penunjang abses paru. Pemeriksaan radiologik yang akan digunakan antara lain Foto polos, Tomografi Komputer (TK), Ultrasonografi (USG) dan Magnetik Resonance Imaging (MRI).

(5)

(3)

Pada pemeriksaan foto polos sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk abses paru.(11) Sedangkan pada TK dapat menunjukkan lesi yang tidak terlihat pada pemeriksaan foto polos dan dapat membantu menentukan lokasi dinding dalam dan luar kavitas abses.(12) Pemeriksaan radiologik lain seperti ultrasonografi (USG)(13) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)(14)

Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan pengetahuannya dalam penatalaksanaannya.

juga dapat menentukan diagnosis meskipun jarang digunakan.

(16)

(3)

menghasilkan hasil yang memuaskan kecuali pus bisa di drainase dari kavitas abses. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui drainase postural.

Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka kematian abses paru berkisar antara 15-20% merupakan penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara 30-40%.

(17)

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih.(2) Kavitas ini berisi material purulen sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan

necrotizing pneumonia.(3)

II.2. Epidemiologi

1. Faktor Predisposisi

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait, diantaranya :

Tabel 2.1. Faktor Predisposisi Abses Paru

No (4) Faktor Predisposisi 1 2 3 4 5 6 Alkoholik (50%) Ca Bronkogenik (25%) Karies gigi (20%)

Miscellaneous (tidak teridentifikasi) 23,3% Penyalahgunaan obat (cth : steroid) 3,3% Epilepsi (6,6%)

Penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi pada pasien abses paru. Dari hasil kultur sputum didapatkan adanya infeksi staphylococcus (46,%), klebsiella (26,6%), D. pneumonia (16,6%) dan E.coli (10%).

Penelitian lain melaporkan beberapa faktor predisposisi abses paru yang terjadi pada anak-anak, diantaranya

(4)

(5)

(5)

Tabel 2.2. Faktor Predisposisi Abses Paru pada Anak-Anak.

Kondisi Contoh

Infeksi berat

Gangguan sistem imun

Aspirasi berulang

Yang lain {miscellaneous jarang)

Bronkopneumonia Meningitis

Osteomyelitis Septicemia

Abses dinding perut Abses peritonsilar Endocarditis Measles Burns Prematur Leukimia Hepatitis Disgammaglobulinemia Sindroma nefrotik

Penyakit granulomatosa kronik Terapi steroid Malnutrisi Defisiensi mental Perubahan kesadaran Disfagia Penyakit dental Fibrosis kistik

Misplaced central nervouse catheter

Defisiensi alpha-antitrypsin

Benda asing pada saluran pernafasan Benda asing yang bersifat erosi di esofagus

Aspirasi pada daerah orofaring merupakan penyebab utama terjadinya abses. Faktor predisposisi yang menyebabkan aspirasi orofaring seperti tabel 2.3, kadang-kadang satu orang lebih dari satu faktor.

(6)

Tabel 2.3. Predisposisi Aspirasi Orofaring(2),(5)

Predisposisi Aspirasi Orofaring Ganguan kesadaran - Alkoholisme

- penyalahgunaan obat intravena - epilepsi

- anastesi umum

- gangguan serebrovaskular - trauma

ganguan inervasi otot - faring - laring - esofagus

Infeksi nasal - penyakit sinus

Infeksi oral - caries gigi

- penyakit gingival

Infeksi farigeal - pouch

Infeksi trakeoesofageal - striktur - fistula trakeoesofageal II.3. Etiologi

Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob. Disebut abses primer apabila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder apabila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkektasis dan gangguan imunitas.(2)

Tabel 2.4. Spektrum Organisme Penyebab Abses Paru Type of Abscess (5) Organisms Primary Secondary Staphylococcus aureus

Haemophilus influenzae types B, C, F, and nontypable Streptococcus viridans, pneumoniae

Alpha-hemolytic streptococci Neisseria sp.

Mycoplasma pneumoniae Aerobes

All those listed for primary abscess

Haemophilus aphropilus, parainfluenzae Streptococcus group B, intermedius

(7)

Klebsiella penumoniae Escherichia coli, freundii

Pseudomonas pyocyanea, aeruginosa, denitrificsns Aerobacter aeruginosa Candida Rhizopus sp. Aspergillus fumigatus Nocardia sp Eikenella corrodens Serratia marcescens Anaerobes

Peptostreptococcus constellatus, intermedius, saccharolyticus

Veillonella sp., alkalenscenens

Bacteroides melaninogenicus, oralis, fragilis, corrodens, distasonis, vulgatus, ruminicola, asaccharolyticus

Fusobacterium necrophorum, nucleatum Bifidobacterium sp.

Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan hematogen.(2) Yang paling sering ditemukan adalah abses paru bronkogenik akibat aspirasi. Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, sumbatan bronkus maupun tumor. Sedangkan abses paru melalui hematogen biasanya berhubungan dengan infeksi.

Tabel 2.5.Organisme dan Kondisi yang Berhubungan dengan Abses Paru

Infectious

6 Noninfectious and Predisposing

Conditions

Bacteria

Anaerobes; Staphylococcus aureus, Enterbacteriaceae, Pseudomanas aeruginosa, streptocicci, Legonella spp, Nocardia asteroides,

Burkholdaria pseudomallei

Mycobacteria (often multifocal)

M. tuberculosis, M. avium complex, M. kansasii, other mycobacteria

Fungi

Aspergillus spp, Mucoraceae,

Anatomis

Fluid-filled cysts, bland infraction

Bronchiectasis

Obstruction (neoplasm, foreign body)

Pulmonary sequestration Pulmonary contusion

(8)

Histoplasma capsulatum,

Pneumocystis carinii, Coccidioides immitis, Blastocystis hominis

Parasites

Entamoeba histolytical, Paragonimus westermani, Stronglyoides

stercoralis (post-obstructive) Empyema (with air-fluid level) Septic embolism (endocarditis)

Carcinoma

II.4. Patogenesis

1. Patologi

Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian menimbulkan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik.(1),(7),(8)

Seiring dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah ke saluran nafas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung di dalamnya mungkin keluar sebagian, menghasilkan batas udara-air (air-fluid level) pada pemeriksaan radiografik Abses yang pecah akan keluar bersama batuk sehingga terjadi aspirasi pada bagian lain dan akhirnya membentuk abses paru yang baru.. Kadang-kadang abses pecah ke dalam rongga pleura dan menghasilkan fistula bronkopleura, yang menyebabkan pneumotoraks atau empiema.(9)

2. Patofisiologi

Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut(10):

a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan

(9)

dengan bronkus, maka terbentuklah air-fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum) misalnya abses hepar.

b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkulosis dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita empisema paru atau polikistik paru yang mengalami infeksi sekunder.

c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limfe peribronkial.

d. Pembentukan kavitas pada kanker paru.

Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.

(10)

Proses patogenesis abses paru secara ringkas digambarkan dalam bagan berikut(1):

II.5. Manifestasi / Gambaran klinis

1. Gejala klinis1,6,7,9,10

Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi. Gejalanya menyerupai pneumonia pada umumnya, diantaranya :

Aspirasi berulang, M.O Terjebak di sal nafas bawah, proses lanjut pneumonia

inhalasi bakteria

Ujung saraf paru tertekan Bakteri mengadakan multiplikasi dan

merusak parenkim paru

Faktor Predisposisi

Produksi Sputum berlebih Panas

Dilepasnya zat pirogen oleh leukosit pada jaringan

yang meradang

Proses Peradangan

Dikelilingi jar. Granulasi

Gangguan Rasa Nyaman:

Hiperthermi Proses nekrosis

Gangguan Pertukaran Gas Gangguan rasa nyaman: Nyeri Reflek batuk Bersihan Jalan Nafas Difusi-Ventilasi terganggu Kadar O2 Turun Kelemahan Fisik Intoleransi Aktifitas Kurang Informasi Kurang Pengetahuan

(11)

a. Panas badan

Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur > 400C disertai menggigil, bahkan “rigor”.

b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).

c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 – 75% penderita abses paru.

d. Nyeri dada (± 50% kasus) e. Batuk darah (± 25% kasus)

f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.Jari tabuh dapat timbul dalam beberapa minggu terutama bila drainase tidak baik.

II.6. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal, tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan ronki basah atau krepitasi di tempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-tanda efusi pleura.(1)

Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding dadakadang-kadang terdengar suara amforik, usara nafas bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dank arena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.

Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks (empiema toraks) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal di tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi nafas menghilang, dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung kearah kontralateral tempat lesi.(2)

(12)

II.7. Pemeriksaan laboratorium

a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shit to the left.(1)

b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.(1)

c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.(2)

II.8. Pemeriksaan Radiologik II.8.1. Foto polos

Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menggambarkan gambaran opak dari satu ataupun lebih segmen paru, atau hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat.(10)

Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka akan tampak kavitas irregular dengan batas cairan dan permukaan udara (air-fluid level) di dalamnya. Kavitas ini berukuran φ 2 – 20 cm.(11) Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada paru anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya bisa multipel.(2)

(13)

Posisi Posterior-Anterior (PA) :

Terdapat area berbatas tegas transparan di lobus kiri atas (panah putih). Kavitas diisi oleh cairan dan udara (air-fluid level) (panah hitam).

Posisi Lateral : Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan didalamnya (panah putih).

Kasus pada abses paru(13)

Seorang pasien 54 tahun dengan batuk berdahak yang berbau busuk. Tampak abses paru pada lobus kiri bawah di segmen superior.

(14)

Seorang pria, 42 tahun dengan demam dan batuk berdahak yang berbau busuk. Os memiliki riwayat penggunaan alcohol berat, infeksi gigi didapati pada pemeriksaan fisik. Foto toraks menunjukkan adanya abses paru di segmen posterior obus kanan atas.

Gambaran radiografi dari seorang pasien dengan batuk berdahak yang berbau busuk. Tampak gambaran diagnosis abses paru yang anaerobic.

II.8.2. Tomografi Komputer (TK)

TK merupakan scan evaluasi dengan kontras menjadi pilihan untuk tujuan skreening dan sebagai alat bantu untuk prosedur aspirasi perkutan dan drainase

(percutaneous catheter drainage). TK dapat menunjukkan lesi yang tidak terlihat pada pemeriksaan foto polos dan dapat membantu menentukan lokasi dinding dalam dan luar kavitas abses.(11)

Pemeriksaan ini membantu membedakan abses paru dengan diagnosis banding lainnya. Pada gambaran TK, kavitas terlihat bulat dengan dinding tebal,

(15)

tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Abses paru juga dapat membentuk sudut lancip dengan dinding dada.12

Gambaran CT scan contrast-enhanced axial menunjukkan lesi kavitas yang besar di lobus bawah kiri dengan dinding yang relatif tebal (black arrow). Kavitas memiliki batas dalam yang halus dan air-fluid level (white arrow). Terdapat reaksi inflamasi pada sekitar paru-paru (yellow arrow). Terlihat adanya sudut lancip dengan dinding posterior dada.

II.8.3. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses paru. Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru. tampak lesi hipoechic bulat dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati adanya tambahan tanda hiperechoic yang dihasilkan oleh gas-tissue interface.2

(16)

Terletak dekat dengan dinding thoraks, proses di dalam paru kira-kira sebesar 2,5x2x2 cm (pointed angle between pleura and process) dengan dinding membran. Setelah pengobatan, hanya terdapat sisa gambaran hipoechoic di tempat abses sebelumnya (setelah beberapa minggu)

II.8.4. Magnetik Resonance Imaging (MRI)

MRI berhasil mengidentifikasi penyakit paru secara akurat untuk menentukan lokalisasi penyakit pada lapangan paru. Pada pasien dengan pneumonia dan abses paru, peradangan akut berhubungan dengan peningkatan intensitas sinyal pada T2 bila dibandingkan dengan T1 weighted image.. Pasien dengan inflamasi pseudotumor menunjukkan peningkatan yang lebih kecil dalam intensitas sinyal pada T2 weuighted image daripada yang terlihat di pneumonia akut. Kavitas abses adalah rongga yang diidentifikasi sepanjang dinding yang menebal. Pada pasien dengan penyakit paru difus (diffuse histoplasmosis, TBC milier, penyakit Letterer-Siwe, dan alveolitis alergi), masing-masing penyakit muncul dengan gambaran MRI yang berbeda.. Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa Magnetic Resonance Imaging efektif untuk mengidentifikasi penyakit paru pada anak-anak dan dapat meningkatkan kemampuan ahli radiologi untuk membedakan gangguan paru.(14)

(17)

Setelah pengobatan: perubahan sudut menunjukkan peningkatan sinyal pada daerah pleura kanan.ini merupakan sisa abses membran

II.9. Diagnosa Banding

1. Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi.(1),(11)

Pada penyakit ini biasanya dinding kavitas tebal dan tidak rata. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi.

2. Tuberkulosis paru atau infeksi jamur.(1),(11)

Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru. Pada tuberculosis didapatkan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan jamur. Pada penyakit aktif, dapat dijumpai gambaran bercak-bercak berawan dan kavitas, sedangkan pada keadaan tidak aktif dapat dijumpai kalsifikasi yang berbentuk garis.

(18)

Terjadi pada segmen apical atau posterior pada lobus atas atau segmen superior dari lobus bawah, biasanya pada lobus atas bilateral. Kavitas berdinding tipis, halus pada batas dalam tanpa air-fluid level

3. Empiema

Pada gambaran TK empiema tampak pemisahan pleura parietal dan visceral (pleura split) dan kompresi paru.(15)

Potongan coronal dada pada gambar CT menunjukkan adanya lesi pada lobus atas kanan dengan internal air-filled cavity, dinding tebal tidak beraturan (panah warna hijau) dan lesi lain di sebelah bawah paru kiri dengan internal fluid, dinding tipis (panah warna kuning) kompresi pada

(19)

lapangan paru (panah kuning dan kotak). Lesi pada bagian atas paru kanan adalah abses paru dan pada bagian bawah paru kiri adalah empiema.

4. Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.

Hemothoraks pada lapangan kiri paru

5. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi. Pekerjaan penderita jelas di daerah berdebu dan didapatkan simple pneumokoniosis pada penderita.

Pneumokoniosis, terdapat fibrosis di lapangan atas paru

6. Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart burn bertambah berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan barium foto.

(20)

Pemeriksaan barium menunjukkan sliding hiatal hernia. Lambung berlipat dan terlihat meluas di atas diafragma

II.10. Penatalaksanaan II.10.1.Terapi Medis

Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan pengetahuannya dalam penatalaksanaannya. Antibiotik tunggal tidak adakan menghasilkan keluaran yang memuaskan kecuali pus bisa didrainase dari kavitas abses. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui drainase postural.(16)

Antibiotik

Pilihan awal biasanya dibuat jika tidak ada bakteriologi definitif, tetapi perkiraan yang beralasan bisa dibuat berdasarkan gambaran klinis yang mendasarinya dan pada aroma pus dan gambarannya pada pewarnaan gram. Pada kebanyakan abses paru mengandung streptokokus kelompok milleri dan anaerob, antubiotik atau kombinasinya yang melawan organisme ini harus dipilih. Terdapat banyak regimen awal yang mungkin diberikan. Penisilin termasuk sefalosporin, makrolide, kloramfenikol dan klindamisin semuanya telah digunakan. Penggunaan ampisilin atau amoksisilin tunggal harus dihindari karena beberapa

(21)

anaerob resisten terhadapnya. Kombinasi amoksisilin dan metronidazol merupakan pilihan baik dengan efek samping yang kecil dibandingkan beberapa obat lainnya. Dapat diberikan secara oral, kecuali pasien sangat sakit atau sulit menelan, sementara menunggu hasil kultur definitifnya. Makrolide seperti eritromisin, klaritromisin atau azitromisin harus disubstitusi untuk amoksisilin pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas ampisilin.(2)

Keputusan penggantian antibiotik awal dapat diterapkan ketika hasil kultur telah diperoleh. Walaupun abses paru sering diobati dengan antibiotik selama 6 minggu, tidak terdapat percobaan klinis yang membuktikan hal itu. Periode pengobatan yang lebih singkat mungkin cukup pada pasien dimana pus telah kering melalui cabang bronkus, dengan berhentikan produksi sputum dan hilangnya gambaran air-fluid level pada radiologi toraks. Antibiotik tidak perlu dilanjutkan hingga gambaran radiologis menjelaskan bayangan parenkim. Hal ini mungkin terjadi dalam beberapa minggu.

Drainase

Pemeriksaan tambahan harus dilakukan pada pasien yang tidak respon terhadap antibiotik dan fisioterapi. Waktu intervensi tersebut bergantung pada pasien. Pada pasien dengan kondisi kritis dimana tidak terdapat drainase spontan melalui cabang bronkus, perlu dilakukan drainase. Pada sebagian pasien, demam berlanjut lebih dari 2 minggu walaupun pemberian antibiotik sudah sesuai dan fisioterapi menunjukkan bahwa drainase tidak adekuat sehingga perlu dipertimbangkan peningkatan intensitas pengobatan.

Drainase pada pasien abses paru mungkin bisa dilakukan pendekatan melalui cabang bronkus atau secara perkutaneus. Dalam teknik sebelumnya, akvitas abses paru dimasukkan langsung dengan fibreoptic bronchoschopy atau melalui kateter yang melewatinya.(17)

Pendekatan perkutaneus mungkin lebih baik. Kecuali abses paru berhubungan dengan keganasan ketika terdapat peningkatan resiko fistula permanen. Pada beberapa kasus drainase endobronkial harus dipertimbangkan. Drainase perkutaneus biasanya tidak membantu pada abses kecil multipel dan

(22)

pada mereka yang mempunyai komplikasi yang tinggi seperti pneumotoraks dan fistula bronkopleura.

Pada masa lalu, skrening fluoroskopi merupakan teknik konvensional untuk penempatan kateter tetapi USG mengizinkan lebih banyak lokalisasi spasial. CT scan telah digunakan secara luas dan memiliki keuntungan visualisasi yang lebih baik dalam melihat struktur intratorakal lainnya, dan banyak operator yang mengembangkan kemampuannya dalam bidang ini, yang mungkin bermanfaat ketika abses paru ditemukan.

Reseksi pembedahan

Dengan membandingkan dengan era sebelum antibiotik, era pembedahan abses paru jarang diperlukan, tetapi masih dilakukan jika terdapat hemoptisis berat atau abses paru berhubungan dengan keganasan. Pada kasus belakangan, reseksi hanya dicoba jika tumor operable melalui kriteria yang biasa, dengan tanpa bukti adanya metastasis, keterlibatan mediastinum, fungsi pare yang tidak adekuat atau keadaan serius kesehatan yang menyertainya. Untuk dua indikasi utama ini mungkin perlu ditambahkan abses kronik dengan gejala menetap, khususnya ketika mencoba untuk mendrain gagal dilakukan. Kronisitas mungkin bersifat sementara atau patologis, abses kronik berhubungan dengan granulasi jaringan dan diikuti dengan jaringan ikat. Definisi sementara adalah bahan perdebatan, tetapi abses yang masih menghasilkan gejala sistemik (selain produksi sputum) 6 minggu setelah munculnya gejala walaupun percobaan endobronkial atau

percutaneus drainage, harus dipertimbangkan untuk reseksi pembedahan.(18)

II.11 Komplikasi

Keberhasilan pengobatan abses paru diindikasikan pertama melalui resolusi demam, kedua melalui penutupan kavitas dan terakhir melalui bersihnya gambaran radiologis infiltrat parenkim paru.

Demam biasanya hilang dalam beberapa hari, menetap dalam 2 minggu jarang terjadi dan membuktikan tidak adekuatnya drainase. Sekitar 50% kavitas akan menutup dalam sebulan dan meninggalkan gejala selama 4 – 8 minggu.

(23)

Turunnya nilai PCR, dan pasien yang merasa lebih baik dan berat badan yang bertambah merupakan tanda pembaikan semua stage penanganan abses paru. Infiltrasi radiologis mungkin menetap selama 3 bulan atau lebih dan tidak memberikan peningkatan untuk memperhatian perkembangan pasien.

Komplikasi dan sequelae jangka panjang kini tampak kurang sering terjadi dibandingkan era sebelum antibiotik tetapi abses paru masih berhubungan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah empiema.(9) Pasien mungkin tidak akan datang pada dokter hingga hal ini terjadi. Seiring membesarnya abses, ia mungkin akan merapuhkan pembuluh darah dan memunculkan hemoptisis.(19) Jarangnya, tetapi khusus pada pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, nekrosis mungkin menyebar sangat cepat melalui paru.

Abses yang telah didrainase dan disterilisasi dengan menggunakan antibiotik mungkin membentuk kavitas yang persisten. Lini awal melalui granulasi jaringan, hal ini digantikan oleh jaringan fibrosa dan diikuti epitel skuamos atau siliata. Beberapa kavitas bisa direinfeksi kembali atau dikolonisasi ketika abses asli yang dibentuk berhubungan dengan bronkus, lebih sering daripada saluran napas kecil, destruksi dinding bronkus diikuti epitelialisasi memunculkan bronkiektasis sakuler lokal. Penyebaran infeksi ke dalam vena paru bisa menyebabkan abses serembral emboli, tetapi komplikasi ini sangat jarang terjadi.

II.12. Prognosis

Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara 30-40%.

Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi. Sekitar 80-90% penderita sembuh dengan pengobatan anti biotik.(20) Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut(21):

(24)

a. Anemia dan Hipo Albuminemia

b. Abses yang besar (φ > 5-6 cm) (hisberg juga) c. Lesi obstruksi

d. Bakteri aerob, seperti : S.aureus, K.Pneumoniae and P.aeruginosa.(21)

e. Immune Compromised f. Usia tua

g. Gangguan intelegensia h. Perawatan yang terlambat

(25)

BAB III KESIMPULAN

Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.(2)

Untuk memastikan diagnosa dari abses paru maka dilakukan serangkaian pemeriksaan dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara lain Foto Polos, Tomografi Komputer, Ultrasonografi (USG) dan Magnetik Resonance Imaging (MRI).(3)

Dari pemeriksaan Foto dada PA dan lateral pada pasien akan dijumpai kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi disekelilingnya, lebih sering dijumpai pada paru kanan dibandingkan paru kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air Fluid Level. 11

Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas).

Pada pemeriksaan Tomografi Komputer akan dijumpai kavitas terlihat bulat dengan dinding tebal, tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Abses paru juga dapat membentuk sudut lancip dengan dinding dada.(11),(12)

Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses paru. Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru. tampak lesi hipoechic bulat dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati adanya tambahan tanda hiperechoic yang dihasilkan oleh gas-tissue interface.(13)

Sedangkan pemeriksaan MRI ternyata akurat untuk mendiagnosa dan menentukan lokasi penyakit paru. Pada pasien dengan pneumonia dan abses paru, peradangan akut berhubungan dengan peningkatan intensitas sinyal pada T2 bila dibandingkan dengan T1 weighted image.(14)

(26)

Pasien dengan beberapa faktor predisposisi abses paru memiliki prognosis yang jelek dibandingkan yang memiliki satu faktor predisposisi. Sedangkan pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik secara adekuat memilik prognosis yang lebih baik.(20)

(27)

Daftar Pustaka:

1. Alsagaff,H., dkk. 2006. Abses Paru dalam Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru: Airlangga University Press, Surabaya. Halaman 136-140.

2. Rasyid, A., 2006. Abses Paru. Dalam : Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen IPD FK-UI, Jakarta. Halaman 1052-1055.

3. Kamangar, dkk. 2009. Lung Abscess. Emedicine. Available from

Februari 2011]

4. Kharkar RA, Ayyar VB. 2011. Aetiological aspects of lung abscess. J Postgrad Med [serial online] 1981 [cited 2011 Mar 6];27:163. Available

from:

March 2011 in Journal of Postgraduated Medicine. Available from

5. Asher, MI, 1990. Lung Abscess in Infections of Respicatory Tract; Canada. 429 – 434 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available

from

[Accessed on 20 Februari 2011]

6. Finegold, S.M.,dkk. 1998. Empyema and Lung Abscess ; in Fishman’s pulmonary Diseases and disorders 3rded ; Philadelphia. Halaman : 2021 – 2032 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available from

[Accessed on 20 Februari 2011]

7. Barlett, J.G., 1992. Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19th ed ; Phildelphia. Halaman : 413 – 415 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru.

Available from

8. Ricaurte, K.K., dkk. 1999. Allergic broucho pulumonary aspergillosis with multiple Streptococceus pneumonie. Lung Abscess : an unussual insitial case presentation. Journal of Allergy and Clinical Imonoligy 104. 238 – 240.

9. Maitra,A., Kumar, V., 2007. Abses Paru. Dalam : Robbins, Buku Ajar Patologi Edisi 7. EGC, Jakarta. Halaman 556.

10.Garry,dkk. 1993. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal Medicina : Diagnosis and Therapy 3rd ; Oklahoma. 119 – 120.

11.Juhl, John., dkk. Essentials of Radiologic Imaging. Mexico. Halaman 755-757.

12.Rasad, S., 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua: Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Halaman 101-103.

13.Bouhemad B, Zhang M, Lu Q, Rouby JJ. 2007. Clinical review: Bedside lung ultrasound in critical care practice. Crit Care. 11(1). Halaman 205

(28)

14.Cohen, M.D., Eigen, H., 2005. Magnetic resonance imaging of inflammatory lung disorders: preliminary studies in childre

15.Stark, D.D. Differentiating lung abscess and empyema: radiography and computed tomography. American Journal of Roentgenology, Vol 141, Issue 1. Halaman 163-167. Available from

http://www.ajronline.org/cgi/reprint/141/1/163.pdf

16.Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess ; Chest ; 108 ; 4 ; 1995 ; 937 – 41.

[Accessed on 5 Maret 2011]

17.Bartelett, 2011, Treatment of anaerobic pulmonary infections, Division of Infectious Disease. The Johns Hopkins Hospital, USA. Available from

Februari 2011]

18.Haight,dkk. Surgical Treatmenr of Peripheral Lung Abscess. Yale Journal of Biology and Medicine. 235-240. Available from

19.Werber, Y.B., 2001. Massive hemoptysis from a lung abscess due to retained gallstones. Ann Thorac Surg 72. 278-279. Available from

Februali 2011]

20.

Scand Jurnal Infection Disease 34 (9): 673-676. Available from :

21 Februari 2011]

21.Hishberg, B.,dkk 1999 Factors Predicting Mortality of Patients with Lung

Abscess. Chest. Halaman 746-752. Available from

Gambar

Tabel 2.1. Faktor Predisposisi Abses Paru No  (4) Faktor Predisposisi  1  2  3  4  5  6  Alkoholik (50%)  Ca Bronkogenik (25%) Karies gigi (20%)
Tabel 2.2. Faktor Predisposisi Abses Paru pada Anak-Anak.
Tabel 2.4. Spektrum Organisme Penyebab Abses Paru Type of Abscess   (5) Organisms   Primary  Secondary   Staphylococcus aureus
Tabel 2.5.Organisme dan Kondisi yang Berhubungan dengan Abses Paru Infectious

Referensi

Dokumen terkait

poznati učenjak Abdul-kadir el-Bagdadi (umro 429. hidžretske) napisao je svoje poznato djelo El-ferku bejnel-firek gdje je nabrojao sedamdeset i tri skupine. Od vremena kada je

Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). Glikopdrotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting

Penelitian dengan hipotesis jika konseling behavioral dengan teknik asertif diterapkan dengan baik, maka kesantunan berbicara dapat ditingkatkan melalui metode

Hipotesis nol: Pemberian tugas rumah tidak efektif dalam mendorong peserta didik di kelas PGMI A dan B Semester 3 Jurusan PGMI Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Berdasarkan pengujian hipotesis 1 dan 2 telah terbukti bahwa pada periode awal masa jabatan CEO baru, terjadi praktik manajemen laba menurunkan laba (income decreasing), akan

menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada kurun waktu tersebut terutama terjadi atau bersumber dari sektor-sektor yang cenderung padat modal..  Kurangnya

bagi Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a memiliki asuransi sebagai jaminan kerugian bagi Pemilik

7.16.(1) Perkerasan Jalan Beton K-350 (dengan sambungan Tie Bar) + Additive (harga Nego). PEJABAT PELAKSANA TEKNIS KEGIATAN