MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA DI BIDANG PERTANAHAN STUDI KASUS
DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG
TESIS
Oleh
ASWIN TAMPUBOLON 087005001/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
S
D
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk iora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Oleh
ASWIN TAMPUBOLON
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVE
TARA
ENGKETA DI BIDANG PERTANAHAN STUDI KASUS
I KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG
Memperoleh Gelar Magister Human
Universitas Sumatera Utara
087005001/HK
FAKULTAS HUKUM
RSITAS SUMATERA U
Judul Tesis : MEDIASI SEB AIAN
Nama Mahasiswa :
Menyetujui
Kom ing
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
AGAI ALTERNATIF PENYELES
SENGKETA DI BIDANG PERTANAHAN STUDI KASUS DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG
Aswin Tampubolon Nomor Pokok : 087005001
Program Studi : Ilmu Hukum
isi Pembimb
) Ketua
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)
Ketua Program Studi D e k a n
tion, SH, MH
Anggota Anggota
(Prof. Dr. Bismar Nasu ) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
2010
ANITIA PENGUJI TESIS
etua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
, M.Hum
S, CN Tanggal 08 Maret
P
K
Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH
2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. M. Yamin Lubis, SH, M
Pilihan penyelesaian sen ngan/mediasi ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengad
gketa melalui cara perundi
ilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikiran/ tenaga. Di samping itu, kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya, membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan dan paksaan. Masalah utama dalam penelitian ini adalah: bagaimana penerapan mediasi dalam sengketa pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, bagaimana keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, dan bagaimana kendala yang dihadapi dalam penyelesaian mediasi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
researc
DV/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta
h) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di
dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through
judicial process). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan
menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
Pedoman Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor: 05/JUKNIS/
pada tanggal 31 Mei 2007, telah menjadi Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. kebijakan mediasi dapat digunakan untuk mengikat dan secara langsung menjadi dasar pelaksanaan (dasar hukum Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata). Manfaat dan karakteristik melalui penyelesaian sengketa non litigasi, antara lain: Mengurangi kemacetan ntuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di lembaga peradilan. Melibatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya. Memperlancar akses masyarakat memperoleh keadilan (acces to justice). Memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan saling menguntungkan (win-win solution). Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah. Bersifat tertutup dan rahasia (confidential). Lebih tinggi kemungkinan dilaksanakannya kesepakatan bersama sehingga hubungan pihak-pihak yang bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik. Mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam lembaga peradilan. Mampu memenuhi segitiga kepuasan (triangle satisfaction) yaitu substansi, prosedural dan kepuasan psikologis.
ABSTRACT
The disputed of mediation to setteled the case of land as an options, has its dvantages if been compared throughout the court has not so attractive in terms of time, c
ch that was analitical law whether law as it wr
tation Mechanism issued in Jaka
ey words : Mediation, Alternative dispute resolution in the field of Land. a
ost and mind or energy. Inspite it, lacking of trust to the independence of judiciary and administrative of law, placed the court of law was the last options to setteled the resolution of conflict. Equal position and efforts has been flashed by the mediation by the parties to contemp the result of negotiation without any forced and pressured. The main problems in these research was : how does the application by using the mediation process to dispute the land conflict ( study case at The Land Office of Deli Serdang); Howcome the succesfull of mediation to setteled up the land disputes ( study case at The Land Office of Deli Serdang); What was the obstacles encountered in the completion od mediation.
Juridicial Normative has been used as a method in this research. Normative method evaluation known as doctrinal resear
itten in the book, or the law is decided by the judge through judicial process. Research of normative laws based on secondary data and emphasizes the steps of speculative-theoritical and analysis normative-qualitative.
The Technical Guidelines of National Land Agency of Republic of Indonesia Number : 05/JUKNIS/DV/2007 about Mediation Implemen
rta on May 31, 2007, has been the Mechanism Implementation of Mediation. Decison of mediation could be used as a binding dan directly implementation ( legal basic of Article 1338 and Article 1320 Civil of Law). The benefits and characteristic through the non-letigation dispute resolution, among others : reduced the traffic congestion to reduce the court congestion in the judiciary enforced. Involved the in involvement of community (decentralization law) to empower the dispute of parties in the case conflict. Public facilities acces to justice (acces to justice). Provide the opportunities achievment of dispute resolution that produces mutual deision (win-win solution). Cheaper of coast and faster to settled the dispute. Closed and secret (confidential). Higher possibility to execution of an agreement with the relationship of parties in the future established still godd and well done. Reducing the sperading of “fouls play” in the judiciary . Able to filled the satisfaction triangle (triangle satisfaction) of the substance, procedural and psyhological satisfaction.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat da
ulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar
Magister
esis ini adalah: “ MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF
PENYEL
semua pi
n kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Tesis ini dit
Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul T
ESAIAN SENGKETA DI BIDANG PERTANAHAN STUDI KASUS
DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG”. Di dalam
menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa
pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang
terhormat para pembimbing : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Prof. Dr. Syafruddin
Kalo, SH, M.Hum, Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum. Dimana di tengah-tengah
kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.
Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis
DTM&H, SpA(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.
2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan
menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. M. Yamin Lubis, SH, MS, CN, sebagai Penguji penulis, yang telah
meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan,
bimbingan, saran kepada penulis.
5. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., sebagai Penguji yang telah
meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan,
bimbingan, saran kepada penulis.
6. Bapak/Ibu Guru Besar dan Staff Pengajar Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang mendidik dengan penuh
rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada
penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.
7. Staff Administrasi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Juli, Fitri, Fika, Bu Ganti, Bu Niar, Udin, Herman, Hendra
8. Bapak Alexander Ketaren, SH dan Abangda Benny Dinata yang selalu
mengarahkan dan membantu penulis baik moriil maupun materiil selama
mengikuti Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
9. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
10.Teristimewa dan terima kasih saya kepada Alm. Bapak dan Ibunda Tercinta,
Mertua serta Istri Tercinta dan Anak-anakku Tersayang Novanto, Anggita dan
Regina yang selalu mendukung setiap langkah penulis dalam pendidikan
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan
menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat
kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan
serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan, Maret 2010
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Aswin Tampubolon
Tempat/Tanggal Lahir : Siborongborong, 07 Nopember 1969
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Badan Pertanahan Nasional
Alamat : Jl. Menteng VII Gg Sitinjo No.31 A Medan
Pendidikan : SD Negeri Siborongborong Tamat Tahun 1982
SMP Negeri 1 Siborongborong Tamat Tahun 1985
SMA Negeri 1 Siborongborong Tamat Tahun 1988
Akademi Pertanahan Nasional Tamat Tahun 1991
Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 1997
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……….……… i
ABSTRACT ………... ii
KATA PENGANTAR ……….. iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 14
G. Metode Penelitian ... 21
BAB II : PENERAPAN MEDIASI DALAM SENGKETA PERTANAHAN STUDI KASUS DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG ………. 26
A. Pengaturan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dalam Hukum Nasional…….…………. 26
BAB III : KEBERHASILAN MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA PERTANAHAN STUDI KASUS DI KANTOR
PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG…...……….. 60
A. Perkembangan Kelembagaan Penyelesaian Sengketa Alternatif Di Indonesia... 60
B. Keberhasilan Mediasi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan (Studi Kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang) ...……….. 75
BAB IV : KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENYELESAIAN MEDIASI ...………...……… 80
A. Karakteristik Resolusi Konflik Non-Litigasi... 80
B. Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Mediasi…....… 90
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN…..……….. 95
A. Kesimpulan…...………... 95
B. Saran………...……….. 98
Pilihan penyelesaian sen ngan/mediasi ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengad
gketa melalui cara perundi
ilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikiran/ tenaga. Di samping itu, kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya, membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan dan paksaan. Masalah utama dalam penelitian ini adalah: bagaimana penerapan mediasi dalam sengketa pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, bagaimana keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, dan bagaimana kendala yang dihadapi dalam penyelesaian mediasi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
researc
DV/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta
h) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di
dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through
judicial process). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan
menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
Pedoman Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor: 05/JUKNIS/
pada tanggal 31 Mei 2007, telah menjadi Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. kebijakan mediasi dapat digunakan untuk mengikat dan secara langsung menjadi dasar pelaksanaan (dasar hukum Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata). Manfaat dan karakteristik melalui penyelesaian sengketa non litigasi, antara lain: Mengurangi kemacetan ntuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di lembaga peradilan. Melibatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya. Memperlancar akses masyarakat memperoleh keadilan (acces to justice). Memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan saling menguntungkan (win-win solution). Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah. Bersifat tertutup dan rahasia (confidential). Lebih tinggi kemungkinan dilaksanakannya kesepakatan bersama sehingga hubungan pihak-pihak yang bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik. Mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam lembaga peradilan. Mampu memenuhi segitiga kepuasan (triangle satisfaction) yaitu substansi, prosedural dan kepuasan psikologis.
ABSTRACT
The disputed of mediation to setteled the case of land as an options, has its dvantages if been compared throughout the court has not so attractive in terms of time, c
ch that was analitical law whether law as it wr
tation Mechanism issued in Jaka
ey words : Mediation, Alternative dispute resolution in the field of Land. a
ost and mind or energy. Inspite it, lacking of trust to the independence of judiciary and administrative of law, placed the court of law was the last options to setteled the resolution of conflict. Equal position and efforts has been flashed by the mediation by the parties to contemp the result of negotiation without any forced and pressured. The main problems in these research was : how does the application by using the mediation process to dispute the land conflict ( study case at The Land Office of Deli Serdang); Howcome the succesfull of mediation to setteled up the land disputes ( study case at The Land Office of Deli Serdang); What was the obstacles encountered in the completion od mediation.
Juridicial Normative has been used as a method in this research. Normative method evaluation known as doctrinal resear
itten in the book, or the law is decided by the judge through judicial process. Research of normative laws based on secondary data and emphasizes the steps of speculative-theoritical and analysis normative-qualitative.
The Technical Guidelines of National Land Agency of Republic of Indonesia Number : 05/JUKNIS/DV/2007 about Mediation Implemen
rta on May 31, 2007, has been the Mechanism Implementation of Mediation. Decison of mediation could be used as a binding dan directly implementation ( legal basic of Article 1338 and Article 1320 Civil of Law). The benefits and characteristic through the non-letigation dispute resolution, among others : reduced the traffic congestion to reduce the court congestion in the judiciary enforced. Involved the in involvement of community (decentralization law) to empower the dispute of parties in the case conflict. Public facilities acces to justice (acces to justice). Provide the opportunities achievment of dispute resolution that produces mutual deision (win-win solution). Cheaper of coast and faster to settled the dispute. Closed and secret (confidential). Higher possibility to execution of an agreement with the relationship of parties in the future established still godd and well done. Reducing the sperading of “fouls play” in the judiciary . Able to filled the satisfaction triangle (triangle satisfaction) of the substance, procedural and psyhological satisfaction.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat
dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk
meningkat di dalam kompleksitas permasalahannya maupun kuantitasnya
seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Mengingat permasalahan pertanahan yang muncul dewasa ini dimana
secara kwalitas maupun kwantitas semakin meningkat memerlukan penanganan
yang sistematis. Berbagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan melalui
proses litigasi (peradilan) yang ada dianggap belum mampu menyelesaikan
sengketa yang ada, sehingga berbagai upaya alternatif penyelesaian sengketa
pertanahan seperti mediasi, fasilitasi dan lainnya kemudian mengemuka dengan
sasaran untuk meminimalisir sengketa pertanahan yang sarat dengan
kepentingan, baik untuk kepentingan pembangunan maupun masyarakat
sendiri.
Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik
maupun sengketa. Konflik, menurut definisi Coser adalah sebagai berikut:
competition for status, power, or scarce resources”.1 Jika konflik itu telah
nyata (manifest), maka hal itu disebut sengketa.2
Untuk mengantisipasi konflik pertanahan yang berkembang, kualitas
maupun kwantitas yang sudah tidak relevan dengan ketentuan
Perundang-undangan yang diperlukan adanya kebijakan undang-undang baru yang
mengatur tentang konflik pertanahan sesuai dengan kebutuhan perkembangan
ilmu pengetahuan di bidang penologi dan viktimologi yang dapat memberikan
perlindungan hukum sesuai dengan rasa keadilan hukum masyarakat3
Secara sepesifik dan praktis untuk menyelesaikan konflik pertanahan
dan menghindari pandangan aparat penegak hukum yang terlalu berpegang
pada dalil dan konsep hukum secara positivistis dan legalistis serta kurang
memperhatikan dan mengembangkan hukum yang hidup dalam masyarakat
(living law), perlu dikembangkan peradilan model inter-face sebagai
konsekwensi karakter konflik pertanahan yaitu suatu model peradilan yang
memadukan pertimbangan ilmu pengetahuan sosial terhadap fakta yang
mengandung nilai norma dan pertimbangan yuridis formal dari suatu peraturan
perundang-undangan yang secara sosiologis kurang mengikuti perubahan sosial
1
Moore, Konflik dan sengketa tanah di Indonesia, 1996, http://www. iains.com/detail-artikel.php, , hal 16 diakses tanggal 11 Juli 2009
2
Moore, Ibid., hal. 17.
3
serta pengembangan makna perbuatan melawan hukum materil (materiele
wederrechtlijkheid)4
Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat
dipilah menjadi lima kelompok, yakni:5
1. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah
perkebunan, kehutanan, dan lain-lain;
2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform;
3. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk
pembangunan;
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;
5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
Tipologi sengketa pertanahan yang ditangani oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan) terdiri dari masalah
yang berkaitan dengan :
1. Penguasaan dan pemilikan tanah,
2. Penetapan hak dan pendaftaran tanah,
3. Batas atau letak bidang tanah,
4. Pengadaan tanah,
5. Tanah obyek landreform,
6. Tuntutan ganti rugi tanah partikelir,
7. Tanah Ulayat,
4
H. Hambali Thalib, Prof, Dr, SH, M.H, ibid, hal 190
5
8. Pelaksanaan Putusan Pengadilan,6.
Berbagai sengketa pertanahan itu telah mendatangkan berbagai dampak
baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomis, sengketa itu
telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Semakin lama
proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin besar biaya yang harus
dikeluarkan. Dalam hal ini dampak lanjutan yang potensial terjadi adalah
penurunan produktivitas kerja atau usaha karena selama sengketa berlangsung,
pihak-pihak yang terlibat harus mencurahkan tenaga dan pikirannya, serta
meluangkan waktu secara khusus terhadap sengketa sehingga mengurangi
curahan hal yang sama terhadap kerja atau usahanya.
Dampak sosial dari konflik adalah terjadinya kerenggangan sosial di
antara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya kerja sama di
antara mereka. Dalam hal terjadi konflik antar instansi pemerintah, hal itu akan
menghambat terjadinya koordinasi kinerja publik yang baik. Dapat juga terjadi
penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkenaan
pelaksanaan tata ruang. Di samping itu, selama konflik berlangsung, ruang atas
suatu wilayah dan atas tanah yang menjadi objek konflik biasanya berada
dalam keadaan status quo sehingga ruang atas tanah yang bersangkutan tidak
dimanfaatkan. Akibatnya adalah terjadinya penurunan kualitas sumber daya
lingkungan yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak.
6
Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait sengketa perdata, pada
umumnya ditempuh melalui jalur pengadilan dengan dampak sebagaimana
diuraikan di atas. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan
landreform menunjukkan perlunya peningkatan penegakkan hukum di bidang
landreform sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melandasinya.
Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundingan/mediasi ini
mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka
pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikiran/
tenaga. Di samping itu, kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga
peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya, membuat pengadilan
merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.
Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan
dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan
bersama tanpa tekanan dan paksaan.
Menurut data dari BPN RI bahwa Operasi Tuntas Sengketa Tahap I s/d III
tahun 2009 yang ditugaskan kepada Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara sebanyak
90 sengketa terdiri dari tahap I sejumlah 30 sengketa, tahap II sejumlah 30 sengketa
dan tahap III sejumlah 30 sengketa.7 Dan berdasarkan analisis peta sebaran masalah
7
ada sepuluh Provinsi yang berperingkat terbanyak dalam segi jumlah permasalahan,
dan Sumatera Utara menduduki posisi ke empat dengan jumlah sengketa 11,68 %.8
Sebagai contoh, jumlah kasus sengketa tanah yang ada di Wilayah Provinsi
Sumatera Utara dalam 5 (lima) tahun terakhir dengan rincian sebagai berikut:
1. Tahun 2004 jumlah sengketa 99 Kasus, konflik 59 kasus dan perkara 240
kasus
2. Tahun 2005 jumlah sengketa 166 Kasus, konflik 64 kasus dan perkara 297
kasus
3. Tahun 2006 jumlah sengketa 169 Kasus, konflik 179 kasus dan perkara 421
kasus
4. Tahun 2007 jumlah sengketa 165 Kasus, konflik 279 kasus dan perkara 328
kasus
5. Tahun 2008 jumlah sengketa 132 Kasus, konflik 208 kasus dan perkara 292
kasus9
Sedangkan jumlah kasus sengketa di BPN Deli Serdang tahun 2004 sejumlah
15 sengketa dan 15 konflik. Pada tahun 2005 sejumlah 30 sengketa dan 17 konflik.
Pada tahun 2006 sejumlah 30 sengketa dan 14 konflik. Pada tahun 2007 sejumlah 57
sengketa dan 66 konflik serta pada tahun 2008 sejumlah 9 sengketa dan 20 konflik.10
8
Keputusan Kepala BPN RI Nomor: 11 tahun 2009 tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN RI menangani dan menyelesaikan sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan tahun 2009.hal 7
9
Profil Kantor BPN Provinsi Sumatera Utara 2009
Dari berbagai sengketa yang berkaitan dengan masalah pertanahan yang
terjadi di Sumatera Utara, pada dasarnya dapat dilihat adanya sengketa yang timbul di
antara warga masyarakat, sengketa antara warga masyarakat dengan perusahaan
perkebunan, dan sengketa antara warga masyarakat dengan instansi ataupun lembaga
pemerintah.
Sengketa-sengketa pertanahan di daerah ini sebenarnya timbul bukan saja
karena dampak proses reformasi yang sedang berjalan, tetapi beberapa sengketa
sudah terjadi, dan benih-benih persengketaan itu memang sudah ada jauh sebelum era
reformasi dimulai. Kalau pada saat rezim Orde Baru berkuasa masyarakat diliputi
rasa takut untuk menanyakan, menuntut, ataupun menggugat pihak yang sedang
berkuasa, tidak demikian halnya pada masa ini.
Dilaksanakannya proses reformasi di segala bidang, mempunyai dampak
positif bagi warga masyarakat, terutama dalam hal kebebasan berfikir secara kritis
dan mengeluarkan pendapatnya, serta keberanian menuntut dan menggugat kepada
pihak penguasa untuk mempertahankan ataupun mengembalikan hak-hak yang
dipunyainya. Keadaan ini tercermin dari banyaknya kasus pertanahan yang muncul ke
permukaan, yang dilaporkan kepada pihak penguasa, baik pemerintah daerah maupun
BPN. Untuk mengatasi dan menyelesaikan kasus-kasus pertanahan ini di Sumatera
Utara telah lahir lembaga/organisasi yang menamakan dirinya Gerakan Rakyat
Reformasi Agraria (GERAG). Dalam kegiatannya organisasi ini mewakili kelompok
masyarakat untuk menuntut dan mendesak kepada pihak penguasa untuk dapat segera
penyelesaiannya.11 dengan cara mengirimkan surat yang ditujukan kepada Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang isinya mengusulkan keikutsertaan
perwakilan masyarakat sebagai anggota tim penyelesaian masalah tanah di Sumatera
Utara pada tanggal 26 September 1988.
Hasilnya adalah, pada tanggal 17 Desember 1998 Gubernur Kepala Provinsi
Sumatera Utara dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Utara
No.593.05/2814/K Tahun 1998 membentuk Tim Terpadu Penelitian dan Pemecahan
Masalah Tanah Garapan Penduduk di Areal HGU PTPN II dan Perkebunan Swasta di
Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan ini merupakan penyempurnaan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara No. 593.05/1392/K
Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Tim Penertiban Permasalahan Tanah
Garapan Penduduk di areal HGU PTPN II dan lainnya di Provinsi Sumatera Utara.
Dalam Tesis ini ada beberapa kasus tanah di Provinsi Sumatera Utara yang dapat
diselesaikan melalui jalan Mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Deli Serdang, antara lain:
Misalnya, sengketa tanah bekas Hak Milik No. 609/ Bakaran Batu, yang
merupakan perubahan dari Sertifikat Hak Milik No. 1/ Desa Bakaran Batu, terdaftar
atas nama Sabam Siahaan, seluas 16.599 m2, antara ahli waris Alm. Sabar Siahaan
dengan Erick Raharjo/ Bun Yu telah tercapai penyelesaian dengan membagi tanah
dimaksud, masing-masing ¼ bagian dari luas tanah (seluas 5.194 m2) menjadi milik
11
ahli waris Alm. Sabar Siahaan dan ¾ bagian dari luas tanah (seluas 11.405 m2)
menjadi milik Erick Raharjo/ Bun Yu.
Sengketa tanah Hak Milik Nomor 1278/ Desa Sigara-gara, terdaftar atas
nama Robert Marpaung, seluas 18.005 m2, yang terletak di Desa Sigara-gara,
Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, antara Sdr. Jansen Tarigan dengan
Abdul Hariel Nasution dan Sengketa tanah Hak Milik Nomor 1892/ Mulia Rejo,
terdaftar An. Keuskupan Agung Medan dengan Nomor 1893/ Mulia Rejo, terdaftar
An. Dokter Kianto Nazar dan Sumady Yusuf, terletak di Jalan Binjai Km. 11, Desa
Mulia Rejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, antara Sdr. Leedert
Joseph Lopulisa dengan Sdri. Lisa Imelda Lopulisa dan pemegang hak tersebut di
atas, dimana atas sengketa tersebut telah tercapai kesepakatan bersama antara para
pihak yang bersengketa.12
Selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan/ litigasi, di dalam sistem
hukum nasional dikenal penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar peradilan/ non
litigasi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Salah satu alternatif
penyelesaian sengketa diselesaikan melalui proses mediasi yang merupakan proses
penyelesaian berdasarkan prinsip win-win solution yang diharapkan penyelesaiannya
secara memuaskan dan diterima semua pihak.
12
Salah satu fungsi Deputi Bidang Pengkajian dan Penyelesaian Sengketa dan
konflik pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 345 Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 adalah
pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui
bentuk mediasi, fasilitasi, dan lainnya.
Pengaturan mengenai mediasi secara tertulis di Indonesia, awalnya terdapat
di dalam hukum acara perdata yaitu HIR Pasal 130 dan Rbg 154 telah mengatur
tentang lembaga perdamain, di mana Hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu
mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa secara
adjudikasi. Namun dalam pelaksanaannya kurang berhasil. Untuk memberdayakan
pasal tersebut, maka dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR dan
Pasal 154 Rbg. Untuk melengkapinya, dikeluarkan pula Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, karena memang
lembaga mediasi bukanlah lembaga litigasi melainkan berada di luar pengadilan.
Seperti diumpamakan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa pengadilan formal
bagaikan restoran mewah di tengah-tengah masyarakat yang juga membutuhkan pizza
dan hamburger untuk makanan murah dan cepat saji.13
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor 1
Tahun 2008, menyebutkan bahwa mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses
13
peradilan formal dalam Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa semua perkara
perdata yang diajukan ke pengadilan wajib didahulukan penyelesaian melalui
perdamaian dengan bantuan mediator. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008 tentang Proses Mediasi harus memerlukan beberapa tahapan di antaranya adalah
tahapan mengajukan pendaftaran perkara, penetapan hakim majelis. Dalam sidang
pertama hakim mewajibkan para pihak yang berperkara menempuh mediasi terlebih
dahulu sebelum sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya dan memilih para mediator
dengan menunjukkan dan menetapkan mediator sekaligus menyerahkan fotocopy
berkas perkara kepada para mediator. Dalam penyerahan perkara kepada mediator,
di luar pengadilan diberi waktu 20 (dua puluh) hari sejak dimintakan hakim untuk
berdamai dan apabila tercapai kesepakatan di luar pengadilan, maka para pihak
merumuskan kesepakatan secara tertulis dan memberitahukan hasil kesepakatan itu
kepada hakim untuk memenuhi pengukuhan kesepakatan sebagai akta perdamaian
oleh hakim.14
14
Runtung Sitepu, “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia”, Disampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan mediasi dalam sengketa pertanahan studi kasus di
Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang?
2. Bagaimana keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan sengketa
pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang?
3. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam penyelesaian mediasi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penerapan mediasi dalam sengketa pertanahan studi kasus
di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
2. Untuk mengetahui keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan sengketa
pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua
kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di
bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika
masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah mediasi
sebagai alternatif penyelesaian sengketa di bidang pertanahan. Selain itu
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan
pranata peraturan hukum dalam kasus mengenai alternatif penyelesaian
sengketa pertanahan.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat)
serta Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maupun Badan
Pertanahan Nasional (BPN) serta mediator, sehingga aparat penegak hukum
dan para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tanah mempunyai
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang
“Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di bidang pertanahan (studi
kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang)” belum pernah dilakukan
dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa
topik penelitian tentang Penyelesaian sengketa tanah namun jelas berbeda
dengan penelitian ini Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian
ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas
masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan
dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum.
Kebutuhan terhadap ketertiban ini syarat pokok (fundamental) bagi adanya
suatu masyarakat manusia yang teratur. Di samping ketertiban, tujuan lain dari
hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya
menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia
Selain itu, teori yang menyatakan bahwa hukum sebagai sarana
pembangunan dapat diartikan, bahwa hukum sebagai penyalur arah kegiatan
manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Teori
ini dikemukakan oleh Roscoe Pound, yakni “Law as A Tool as Social
Engineering”15. Dimana hukum harus diusahakan bersifat antisipatif, sehingga
tidak menghambat laju perkembangan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui penyelesaian sengketa pertanahan melalui
mediasi.
Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran
mengenai keadilan (justice), Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah
untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of the justice to secure from
enjury).16 Menurut G.W. Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak
hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur
kehendak (the element of will).17 Maka teori hukum perlindungan dan kepentingan
bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga
dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu
yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu
15
Roscoe Pound, “Social Control Through Law: Jural Postulets”, Cet.1, dikutip dalam Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hal. 578-579, dikutip dari Pound, Jurisprudence, Vol.3, hal.8-10, dikutip dari Stone, Human Law and Human Justice (1965), hal.280.
16
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, (Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal. 4-5.
17
ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari
penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan
berkurangnya penderitaan.18
Akan tetapi menurut John Rawls ada ketidaksamaan antara tiap orang,
contohnya dalam hal tingkat perekonomian, ada tingkat perekonomian lemah dan
ada tingkat perekonomian kuat. Jadi negara harus bertindak sebagai penyeimbang
terhadap ketidaksamarataan kedudukan dari status ini dan negara harus
melindungi hak dan kepentingan pihak yang lemah. Lalu Rawls mengoreksi juga
bahwa ketidakmerataan dalam pemberian perlindungan kepada orang-orang yang
tidak beruntung itu.19 Teori ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat,
tidak ada perbedaan, walaupun terdapat perbedaan bangsa, kekuasaan, jabatan,
kedudukan, dan lain-lain. Teori ini sangat penting terutama dalam penyelesaian
sengketa pertanahan yang menggunakan mediasi sebagai alternatif
penyelesaiannya
Dalam hal mediasi merupakan cermin dari utilitarianisme. Teori tersebut
untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832)20. Teori
utilitarianisme menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik
secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau
mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
18
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79.
19
O.K. Thariza, “Teori Keadilan: Perspektif John Rawls”, Dikutip dari http//okthariza.multiply.com/journal/item, Diakses tanggal 5 Mei 2009.
20
Teori utilitarianisme ini juga mendapat dukungan dari Thomas Hobbes
(1588-1679).21 Filsafat Hobbes nyaris sepenuhnya ditinjau berdasarkan prinsip
utilitas. Ia menyatakan bahwa manusia siap untuk menerima hukum dan mematuhi
undang-undang hanya karena mereka telah mengakui perdamaian dan ketentraman
sebagai hal yang bermanfaat. Hal ini dapat dipahami dari salah satu fungsi
mediasi tersebut yaitu untuk tercapainya penyelesaian sengketa pertanahan.
Hukum adalah salah satu kaidah sosial yang digunakan oleh manusia untuk
menata diri mereka agar tertib dan berkeadilan. Masih banyak tatanan lain yang
hidup, berkembang dan sampai hari ini digunakan oleh masyarakat, seperti tatanan
adat, sosial, moral dan juga agama. Bersama dengan hukum, sekalian tatanan itu
bekerja menciptakan harmoni dan keteraturan perikehidupan manusia.
Meminjam bahasa Satjipto Rahardjo, model penyelesaian sengketa dengan
cara kompromi dan perdamaian merupakan ciri khas Indonesia (distinctly
Indonesian).22 Oleh karena itu, menghadapi kecenderungan makin banyaknya
sengketa tanah yang telah, sedang dan bakal terjadi di masa mendatang dan cacat
penyelesaian sengketa di pengadilan, maka pendekatan penyelesaian sengketa yang
berbasiskan budaya setempat dapat dimajukan sebagai alternatif. Salah satu
kemungkinan yang dapat dikemukakan sebagai doktrin atau asas alternatif itu adalah
menyatakan bahwa Indonesia lebih mengunggulkan “supremacy of moral/ justice”
21
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius , 1982), hal. 63.
22
daripada “supremacy of law”. Dalam supremacy of moral/ justice, nilai-nilai yang
dimajukan dalam penyelesaian sengketa adalah perdamaian, moral dan keadilan,
empati, kebenaran dan komitmen.23 Dengan asas baru tersebut, kebekuan,
penyelesaian sengketa secara litigasi dapat didobrak dan digantikan dengan cara-cara
lain yang lebih segar, efisien dan berkeadilan, yakni dengan memberikan tekanan
yang istimewa terhadap aspek moral daripada aspek perundang-undangan semata.
Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa secara alternatif juga didukung
oleh UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Demikian pula Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2
Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menegaskan bahwa setiap
perkara perdata yang masuk di pengadilan diwajibkan untuk diselesaikan melalui
proses mediasi sebelum disidangkan.
Dari paparan terlihat bahwa penyelesaian non-litigasi sengketa tanah
mendapatkan habitus yang cocok di Indonesia (khususnya Jawa) di mana budaya
rukun (harmoni), saling menghormati dan komunalisme lebih menonjol dari pada
budaya saling sengketa dan individualisme-liberalisme.
Dari berbagai sengketa yang berkaitan dengan masalah pertanahan yang
terjadi di Sumatera Utara, pada dasarnya dapat dilihat adanya sengketa yang timbul di
antara warga masyarakat, sengketa antara warga masyarakat dengan perusahaan
23
perkebunan, dan sengketa antara warga masyarakat dengan instansi ataupun lembaga
pemerintah.
Sengketa-sengketa pertanahan di daerah ini sebenarnya timbul bukan saja
karena dampak proses reformasi yang sedang berjalan, tetapi beberapa sengketa
sudah terjadi, dan benih-benih persengketaan itu memang sudah ada jauh sebelum era
reformasi dimulai. Kalau pada saat rezim Orde Baru berkuasa masyarakat diliputi
rasa takut untuk menanyakan, menuntut, ataupun menggugat pihak yang sedang
berkuasa, tidak demikian halnya pada masa ini.
2. Konsepsional
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan mediasi adalah proses
penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau
lebih yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) untuk
mendapatkan suatu hasil yang saling menguntungkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses
pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai
penasihat.24 Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung tiga unsur penting, yakni:
1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang
terjadi antara dua pihak atau lebih;
24
2. pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang
berasal dari luar pihak yang bersengketa;
3. pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai
penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan
keputusan.
Sengketa Petanahan adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan
atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau
publik) mengenai status penguasaan atau pemilikan, atau penggunaan dan
pemanfaatan atas bidang tanah tertentu atau pihak tertentu (Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 34 tahun 2007, Petunjuk Teknis No. 05/
Juknis/D.V/2007).
Alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa melalui
jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh melalui cara-cara
perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau
tidak memihak25
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli.26
25
Maria SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta, Kompas. 2008. Hal.4
26
Mediator adalah orang/pejabat yang ditunjuk dari jajaran Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan permasalahannya.27
G. Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah dan secara
kepustakaan. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur
berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi
(empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian
empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.28
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode
penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis
didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge
through judicial process).29 Penelitian hukum normatif berdasarkan data
27
BPN RI Petunjuk Teknis Nomor: 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi
28
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105.
29
sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan
analisis normatif-kualitatif.30
Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh
dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik
pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan
perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan
pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis.
Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar
mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Uraian ataupun
gambaran sengketa pertanahan di Sumatera Utara didasarkan pada pengamatan, data,
dan informasi yang diperoleh dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Utara di
Medan dan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.31 Logika keilmuan
yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin
ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang
objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian
yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang
30
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.
31
dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan
dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana
peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai
hubungan fungsional secara konsisten.
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif
adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau
kelompok tertentu.32 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini
menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan
pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan
peraturan perundang-undangan dalam kasus tanah di Indonesia.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian berasal dari data sekunder yang dapat dibedakan
menjadi bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang
digunakan dalam penelitian ini.
a. Bahan Hukum Primer terdiri dari :
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di
32
bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden atau
peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan
merupakan konkretitasi dari perundang-undangan seperti Petunjuk Teknis
BPN RI nomor : 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan
Mediasi Keputusan Kepala BPN No.34 Tahun 2007.
b. Bahan Hukum Sekunder:
Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku
teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks
karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan
pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi
tinggi.33
c. Bahan hukum tertier :
Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus
hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah.34
Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan
tersier sebagai sumber penelitian.
33
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141.
34
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara Studi kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder
melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur,
tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan
pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 35
4. Analisis Data
a. Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat
dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan
kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke
dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem
hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis
berdasarkan metode kualitatif.
5. Alat Pengumpulan Data
a. Dilakukan melalui studi dokumen dokumen sengketa, perkara dan konflik
di Kantor Pertanahan Deli Serdang
b. wawancara dengan pihak terkait, dalam hal ini oleh Pejabat di Kantor
Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
35
BAB II
PENERAPAN MEDIASI DALAM SENGKETA PERTANAHAN STUDI KASUS DI KANTOR PERTANAHAN DELI SERDANG
A. PENGATURAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DALAM HUKUM NASIONAL
Bahwa dalam rangka menetapkan langkah dan arah dalam menangani
dan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara Pertanahan secara efektif
telah ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan RI No.11 Tahun 2009
Tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN RI Menangani dan Menyelesaikan
Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan Tahun 2009, dimana sistem
penanganan masalah Pertanahan dengan berpedoman kepada Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No.34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis
Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.
Salah satu metode penyelesaian kasus pertanahan ditetapkan melalui
Mediasi dimana mekanisme Pelaksanaan Mediasi diatur di dalam Petunjuk
Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor :
05/JUKNIS/D.V/2007 (Keputusan Kepala BPN RI No.34 Tahun 2007) tentang
Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 31
Mei 2007. Putusan mediasi juga bisa bersifat mengikat dan dapat langsung
dilaksanakan (landasan hukumnya Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata).
Penyelesaian sengketa tanah (atau sengketa perdata pada umumnya)
pengadilan dan diluar pengadilan. Meskipun, UUPA sama sekali tidak menyebut
bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa tanah, kecuali ketentuan pidana Bab III
Pasal 57 ayat (1) yang menyebutkan ancaman pidana untuk yang melanggar Pasal 15
UUPA selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000
(sepuluh ribu rupiah). Ayat (2) menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah dan
peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 19, 22, 24, 26 ayat 1, 46,
47, 48, 49, ayat 3, dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran
peraturan perundang-undangannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000. Jika melihat ketentuan
pasal ini, adanya ancaman pidana menunjukkan jika sengketa tanah terjadi akan
diselesaikan melalui pengadilan. Tidak adanya ketentuan tentang penyelesaian
sengketa tanah ini dalam UUPA dan karakteristik penyelesaian sengketa di
pengadilan biasa yang sering mengecewakan pencari keadilan, mendorong berbagai
kalangan mengusulkan pentingnya pengadilan mendorong berbagai kalangan
mengusulkan pentingnya pengadilan khususnya agraria. Tentu saja, ketentuan ini
tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa tanah secara non-litigasi.
Ada beberapa alasan mengapa penyelesaian alternatif sengketa tanah perlu
dikedepankan, yaitu:
1. ketidakpuasan terhadap peran pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah
yang terlalu formal, lama, mahal dan tidak berkeadilan;
2. perlu tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang lebih fleksibel
3. mendorong masyarakat untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah secara
partisipatif; dan
4. memperluas akses untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah merupakan istilah asing yang
masih perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah dalam
bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak.
Beberapa diantaranya yang telah dapat diindentifikasi adalah: penyelesaian sengketa
alternatif36, alternatif penyelesaian sengketa (APS)37, mekanisme alternatif
penyelesaian sengketa (MAPS)38 dan pilihan penyelesaian sengketa (PPS)39.
Ada dua pemahaman yang berbeda terhadap arti ADR tersebut. Pertama, ADR
diartikan sebagai alternative to litigation dan yang kedua ADR diartikan dengan
alternative to adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari kedua pengertian
tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang
36
Perhatikan Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan (Jakarta: Chandra Pratama, 2000); Perhatikan juga Ali Budiharjo dkk, Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Cyber Consult, 1999); Baca juga Suyud Margono, ADR & Arbitrase. Proses Pelembagaan dan Aspek-Aspek
Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000).dalam Runtung Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan
Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002, hal 84 37
Lihat UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Baca juga Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengeadilan (Negoisasi, Mediasi,
Konsultasi dan Arbitrase) (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2001), hlm. 25-26. dalam Runtung
Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002, hal 84
38
Lihat Takdir Rahmadi, Mekanisme alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Konteks
Masyarakat Indonesia Masa Kini, makalah disajikan dalam Seminar Sehari Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dalam Kasus-Kasus Tanah, Perburuhan dan Lingkungan, Diselenggarakan Oleh Studi dan Advokasi Masyarakat bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus 1994. dalam Runtung Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002, hal 84
39
menjadi acuan (alternative to litigation), maka seluruh mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Tetapi
apabila ADR diartikan sebagai alternative to adjudication, maka hanya mekanisme
penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif saja yang merupakan
ADR. Sedangkan arbitrase yang bersifat ajudikasi tidak termasuk di dalamnya,
karena sama halnya dengan pengadilan cenderung menghasilkan putusan dengan
solusi menang-kalah (win-lose).
Sebelum mencari padanan istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia terlebih
dahulu diperlukan penyamaan persepsi tentang konsep dan pemahaman terhadap
ADR tersebut.
Ada dua pemahaman yang berbeda terhadap arti ADR tersebut. Pertama, ADR
diartikan sebagai alternative to litigation dan yang kedua ADR diartikan dengan
alternative to adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari kedua pengertian
tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang
menjadi acuan (alternative to litigation), maka seluruh mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Tetapi
apabila ADR diartikan sebagai alternative to adjudication, maka hanya mekanisme
penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif saja yang merupakan
ADR. Sedangkan arbitrase yang bersifat ajudikasi tidak termasuk di dalamnya,
karena sama halnya dengan pengadilan cenderung menghasilkan putusan dengan
Jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka Indonesia juga merupakan salah satu
penganut dari pandangan yang kedua, karena undang-undang tersebut memisahkan
secara tegas istilah arbitrase dengan alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam konteks studi ini akan digunakan penyelesaian sengketa alternatif
dalam arti alternative to adjudication, dengan tidak mengurangi arti dan kebenaran
istilah-istilah lainnya.
Tujuan dari pengembangan penyelesaian sengketa alternatif adalah untuk
memberikan forum bagi pihak-pihak untuk bekerja kearah kesepakatan sukarela
dalam mengambil keputusan mengenai sengketa yang dihadapinya. Dengan demikian
penyelesaian sengketa alternatif adalah merupakan sarana yang potensial untuk
memperbaiki hubungan di antara pihak-pihak yang bersengketa.
Bermacam-macam alasan mengapa seorang menggunakan penyelesaian
sengketa alternatif. Disamping berperan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang
potensial untuk menghindari biaya tinggi, keterlambatan dan ketidakpastian yang
melekat pada sistem litigasi, juga dimaksudkan sebagai sarana untuk memperbaiki
komunikasi di antara pihak-pihak. Oleh karena putusan diambil berdasarkan
kesepakatan, maka hasilnya adalah win-win, sehingga penyelesaian sengketa bersifat
tuntas (tidak semu).
Keputusan untuk menggunakan metode penyelesaian sengketa alternatif
tergantung pada pertimbangan para pihak. Hanya saja sekurang-kurangnya ada 2
alternatif. Pertama, prosedur penyelesaian sengketa alternatif lebih tepat guna dari
pada prosedur litigasi dan kedua, perlu ditentukan pilihan bentuk mana dari
penyelesaian sengketa alternatif yang paling tepat digunakan untuk jenis sengketa
yang dihadapi.
Perlu diketahui bahwa menurut W. Moore dan James Creighton ada beberapa
pertanyaan lanjutan yang harus dijawab sebagai bahan pertimbangan bagi
pihak-pihak untuk menggunakan pola penyelesaian sengketa alternatif, yaitu:40
1. Berapa besar kekuatan relatif yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat, dan
bagaimana pentingnya persengketaan ini bagi setiap pihak? Sumber kekuatan
meliputi:
a. Kekuasaan atau wewenang formal, yaitu wewenang yang diberikan secara
legal untuk menetapkan kebijakan, menyusun peraturan, memberi izin dan
lain-lain.
b. Keahlian atau kekuatan informasi, yaitu memiliki akses atau hubungan dengan
orang-orang yang berilmu atau memiliki informasi yang tidak dimiliki oleh
orang lain.
c. Kekuatan prosedural, yaitu kontrol terhadap prosedur pengambilan keputusan.
d. Kekuatan asosiasi, yaitu kekuatan yang berasal dari berasosiasi dengan
orang-orang yang berkuasa.
40
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi,
Konsultasi dan Arbitrase) (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2001), hlm. 41-43. dalam Runtung
e. Kekuatan dari penguasaan sumber daya, yaitu kemampuan untuk
menyebabkan sesuatu yang berbahaya atau menolak mementahkan manfaat
dari penyelesaian sengketa.
f. Kekuatan yang diperoleh dari mengusahakan orang lain, yaitu kemampuan
untuk menimbulkan ketidakenakan bagi pihak lain.
g. Kekuatan habitual atau yang diperoleh dari kebiasaan, yaitu kekuatan atau
kekuasaan dari berlakunya status quo atau sebagaimana biasa sesuatu
dilakukan.
h. Kekuatan moral, yaitu kemampuan untuk meningkatkan konflik dalam sudut
pandang nilai sumber kekuatan lainnya.
i. Kekuatan pribadi, yaitu atribut-atribut pribadi atau keahlian yang
memperbesar sumber-sumber keahlian lainnya.
2. Memperhitungkan kekuatan relatif dan komitmen dari tiap pihak apabila
persengketaan ini terus berlangsung sampai sekarang. Prosedur manakah yang
kelihatannya paling baik untuk penyelesaiannya?
3. Dengan mempertimbangkan kekuatan relatif dan komitmen yang diberikan oleh
satu pihak, jika persengketaan tersebut harus berlangsung sampai sekarang,
hasil-hasil atau akibat substantive apa yang paling mungkin terjadi dan berapa besar
peluang relatif (relative probabilities)?
4. Dengan mempertimbangkan perkiraan atau ramalan anda dalam pertanyaan
diterapkan saat ini dan bagaimana suatu persengketaan akan diselesaikan.
Keuntungan dan biaya-biaya tersebut bisa mencakup:
a. Biaya proses (staf, waktu, penundaan, biaya hukum dan lain-lain);
b. Dampak terhadap hubungan antara anda/ organisasi anda dan pihak-pihak
lain;
c. Keuntungan finansial atau liability;
d. Resiko peningkatan/ penurunan yang diakibatkan oleh hasil penyelesaian yang
tidak bisa diterima;
e. Menetapkan prosedur hukum;
f. Dampak-dampak politik;
g. Dukungan internal/ moral.
5. Apakah penggunaan prosedur yang ditetapkan sudah dicarikan pembenarannya
(dijustifikasi)?
6. Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa mana yang paling sesuai untuk
menangani persengketaan ini?
Moore menggolongkan tipologi mediator menjadi tiga kategori,41 yaitu:
1. Mediator jaringan sosial (social network mediator) yaitu mediator yang dipilih
karena adanya jaringan atau hubungan sosial. Jika terjadi sengketa tanah antar
tetangga, para pihak akan memilih seseorang yang dikenal baik oleh keduanya
untuk menengahi sengketa dan memberikan saran pemecahannya. Para pihak
41
percaya bahwa jika yang memediasi adalah orang yang dikenal keduanya akan
menjamin proses perundingan berjalan lancar. Dengan kata lain, mediator
hubungan sosial berasal dari orang yang dikenal dan dipercaya oleh para pihak.
2. Mediator otoritatif (authoritative mediator) adalah mediator yang dipilih karena
yang bersangkutan memiliki otoritas atau kewenangan. Kewenangan ini dapat
dibaca sebagai pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memerintah,
seperti mediator dari pejabat, anggota legislatif dan sejenisnya. Pemilihan
mediator yang ‘berwenang’ ini biasanya dijadikan sebagai strategi untuk
mengikat pihak-pihak yang bersengketa agar tidak main-main dan melaksanakan
hasil-hasil perundingan. Selain itu, para pihak juga berharap adanya tindak lanjut
dari pemerintah bila memang obyek yang dipersengketakan berupa kebijakan dari
pihak yang berwenang.
3. Mediator independen (independent mediator) yaitu mediator yang dipilih karena
professional. Para pihak memilihnya bukan karena hubungan sosial, atau karena
memiliki otoritas tetapi semata-mata karena yang bersangkutan memiliki
keahlian, integritas, berpengalaman dan profesional. Mediator independen ini di
negara-negara maju biasanya berkumpul pada asosiasi-asosiasi, lembaga
perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga non-geverment yang memang berprofesi
B. PENERAPAN MEDIASI DALAM SENGKETA PERTANAHAN STUDI KASUS DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG
Mediasi akan bekerjasama secara meyakinkan bila dilaksanakan secara
pribadi dan rahasia. Kerahasian akan membantu mediator untuk membangun
kepercayaan dan mengembangkan laporan konstruktif dengan pihak-pihak.
Kerahasian juga akan membuat aman bagi pihak-pihak untuk memberikan informasi,
juga akan menciptakan kondisi aman di mana pihak-pihak dapat mengemukakan
kebutuhan dan kepentingannya tanpa kekhawatiran akan dirugikan. Oleh karenanya
kerahasian harus tetap dijaga dalam mediasi.
Untuk itu sebelum memulai sebuah proses maka hal terpenting harus
dilakukan oleh mediator adalah untuk menanamkan kepercayaan para pihak terhadap
dirinya. Agar para pihak benar-benar percaya sepenuh hati bahwa mediator yang
netral (tidak memihak), dapat menjaga kerahasian dan mempunyai kemampuan
menyelesaikan sengketa mereka dengan tuntas.
Bermacam-macam cara dilakukan mediator untuk menanamkan kepercayaan
tersebut. Salah satu diantaranya adalah dengan memperkenalkan diri dan melakukan
penelusuran interkoneksi dengan para pihak. Mungkin dari segi hubungan
kekeluargaan, pendidikan, agama, profesi, hobi dan apa saja yang dirasa dapat
memperdekat jarak dengan para pihak yang bersangkutan.
Seorang mediator hendaklah tetap bersikap netral, berbicara dengan bahasa