• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Pohon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Pohon"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN MASYARAKAT JEPANG

TERHADAP POHON

S K R I P S I

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam Bidang ilmu Sastra Jepang

OLEH:

HIRIM MARITO SIRAIT NIM : 030708029

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah melimpahkan kasih Karunia dan Kuasa-Nya kepada Penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skrisi ini dengan baik.

Skrisi yang berjudul “Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Pohon” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra program Studi Satra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih ada kekurangan, baik dari isi maupun pembahasannya. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan.

Pada kesempatan ini, penulis inging menyampaikan terima kasih, penghargaaan dan penghormatan dengan sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bpk. Drs. Syaifuddin M.A, PhD, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bpk. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, PhD, selaku ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bpk. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, PhD, selaku Dosen Pembimbing I, yang dalam kesibukannya telah menyediakan banyak waktu umtuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bpk M. Pujiono SS, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II.

5. Dosen Penguji Ujian Skripsi ini, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Dan juga terima kasih kepada Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, hingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan baik

(3)

7. Kepada Opung Tersayang, C. Sinaga dan M. Br. Simanjuntak atas doa dukungan dan pengharapannya.

8. Kepada semua tante dan uda yang tak henti-hentinya memberi semangat kepada penulis, khususnya tante dan uda kecilku.

9. Kepada saudara-saudariku yang kukasihi, Sanny J. Br. Sirait, yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, sampai melupakan kepentingannya sendiri. Dewi M. Br Sirait dan Bang Jerry Manullang, Anna Roni M. Br. Sirait, Odor Maria F. Br. Sirait dan Bang Lubis, buat adik-adikku yang tampan-tampan, Yan Royon M Sirait, Saul Hans P. Sirait, Miduk P. Sirait serta keponakan-keponakanku tercinta, Kolilah, Alvist, dan Dhiwa, terimakasih buat dukungan dan perhatiannya.

10. Kepada teman-teman penulis, Okta, Depi, Taruli dan Nancy yang sudah banyak memberikan dukungan semangat bagi penulis.

11. Kepada teman-teman Stambuk 03, yang sudah mengisi hari-hari penulis dengan persahabatan yang indah.

12. Terkhusus buat orang terdekat penulis, Huttal Pailohot Lumbanbatu, yang telah membantu, memberikan bimbingan, dukungan, semangat dan doa hingga studi penulis dapat terselesaikan dengan baik.

13. Buat Ivanna Linda Br. Lumbanbatu yang telah menemani dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

14. Kepada keluaraga Pardede yang telah mengerti keadaan penulis dalam menyelesaikan studi.

15. Semua pihak dan teman-teman yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(4)

DAFTAR ISI

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.6Metode Penelitian

BAB II POHON DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI MASYARAKAT

JEPANG

2.1 Pohon Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang

2.1.1 Pohon Dan Lingkungan Hidup

2.1.2 Pohon Dan Tempat Tinggal

2.1.3 Pohon Dan Peralatan Sehari-hari

2.2 Mitologi Tentang Pohon

BAB III ANALISIS POHON DALAM KEPERCAYAAN JEPANG

3.1 Kepercayaan Rakyat Jepang (Shomin Shinko)

3.1.1 Pohon Sebagai Penghubung Dunia Atas dan Dunia Bawah

3.1.2 Pohon Sebagai Tempat Tinggal Para Dewa

(5)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

(6)

ABSTRAK

Di abad pertengahan berkembang mitologi Jepang abad pertengahan

( Chusei Nihongi ) dengan isi yang berbeda dari mitologi sebelumnya. Mitologi

Jepang abad pertengahan tetap berpedoman pada Nihonshoki tapi dikembangkan

hingga menjadi sangat berbeda dengan versi aslinya.

Mitologi Jepang abad pertengahan ditemukan dalam epik perang seperti

Taiheki, buku penggubahan syair dan anotasinya, serta berbagai Engi (buku

catatan asal-usul dan sejarah milik kuil agama Buddha dan Shinto).

Dalam mitologi Jepang abad pertengahan, berbagai kami dalam Kojiki

dan Nihonshoki berdasarkan teori Honji Suijaku dikenali sebagai perwujudan

sementara para Buddha dan Bodhisattva atau dianggap sejajar. Selain itu, mitologi

Jepang abad pertengahan bercampur dengan unsur-unsur yang diambil dari seni

dan cerita rakyat, mitologi berbagai daerah, serta menampilkan tingkat kedewaan

dan benda-benda yang tidak ada di dalam Kojiki dan Nihonshoki.

Menurut kepercayaan Jepang bahwa Dunia berawal di Takamonahara di

(7)

Masyarakat Jepang terkenal sebagai masyarakat yang patuh terhadap adat

istiadat yang telah diturumkan oleh para leluhurnya. Dalam penyelenggaraan ritus

atau upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Jepang, banyak hal yang

dipersiapkan seperti halnya dalam penyambutan kehadiran dewa-dewa di bumi.

Masyarakat Jepang percaya bahwa pada saat upacara atau ritual-ritual

dilakukan, dewa akan turun dari langit melalui pohon yang besar dan tinggi

menjulang dan pohon tersebut akan berfungsi sebagai yorishiro atau tempat

bersemayamnya para dewa. Pohon yang paling tepat untuk dijadikan yorishiro

adalah pohon yang senantiasa hijau sepanjang tahun dan menjulang tinggi. Pohon

yang biasa digunakan adalah pohon cemara. Dari anggapan tentang yorishiro,

kemudian muncul pemikiran untuk membangun yashiro atau jinja (kuil untuk

tempat beribadah penganut Shinto), di tempat yang tinggi dan di sekitarnya

banyak terdapat pohon cemara (Matsuhara, 1986 : 157).

Ketika diadakan upacara-upacara untuk dewa, ranting-ranting pohon dari

tanaman yang senantiasa hijau ini dipajang tegak lurus dan mereka percaya bahwa

itulah tangga bagi dewa yang akan mendengarkan permohonan atau memberi

keselamatan dan kebahagiaan bagi keluarga, kelompok atau wilayah pada tahun

(8)

digunakan untuk oharai atau upacara penyucian dalam kepercayaan Shinto).

Ada beberapa konsep yang mengatakan pohon memiliki nilai tersendiri

dalam religi atau keberadaan kepercayaan jepang, maka ada beberapa pohon yang

dianggap bermakna. Dan pohon cemara bermakna sebagai kepercayaan umum

Shinto. Hal tersebut menyebabkan masyarakat Jepang menghargai keberadaan

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan ketentraman dan

kebahagiaan hidup. Untuk mendapatkan hal tersebut, hendaknya manusia

meyakini adanya kekuatan maha dahsyat yang tidak dimiliki oleh makhluk

apapun di seluruh dunia ini. Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan

seluruh alam dan isinya, sehingga manusia dapat bertemu dan berkomunikasi

dengan sesama manusia atau makhluk lainnya. Hal itulah yang menjadi dasar

bahwa manusia harus memiliki kepercayaan atau agama, sebagai landasan dalam

berbuat dan berperilaku dalam kehidupan ini.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari aktivitas

keagamaan atau yang biasa disebut dengan kegiatan religi. Berbagai kegiatan

bahkan upacara peringatan dilakukan di berbagai wilayah setiap Negara, dengan

tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh kasih sayang dan kebahagiaan dari

sang pencipta. Demikian halnya dengan Negara Jepang yang memiliki berbagai

macam kegiatan keagamaan. Masyarakat berpikir serta merasa dan bertindak

(10)

tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos dan bagian dari keseluruhan hidup

jasmaniah dan rohaniah. Keseimbangan inilah yang harus ada dan tetap dijaga,

apabila terganggu maka harus dipulihkan. Memulihkan keseimbangan ini

berwujud dalam beberapa upacara, pantangan dan ritus-ritus. Kegiatan-kegiatan

upacara atau perayaan yang dilakukan tidak selalu dilaksanakan dari segi religi

saja, tetapi berdampingan dengan kegiatan budaya. Karena antara religi dan

budaya hampir memiliki kesamaan, namun berbeda antara pengertian maupun

pelaksanaannya. Kebudayaan merupakan wujud ideal yang bersifat abstrak, tidak

dapat diraba dan ada dalam pikiran manusia, misalnya: gagasan, ide, norma, religi

dan sebagainya (koentjaraningrat, 1974: 376-377). Maka dapat dilihat bahwa

religi adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan rangkaian kebiasaan dan

pusat dari aktifitas keagamaan.

Hori Ichiro (1968: 1) mengatakan bahwa agama-agama yang beraneka

ragam yang tumbuh dan berkembang di dunia secara umum dapat dibagi dua,

yaitu agama yang terlembaga (Institutionalized Religion) dan agama rakyat (Folk

Religion). Yang termasuk ke dalam agama terlembaga ini antara lain seperti:

Agama Kristen, Agama Budha dan Shinto, sementara yang termasuk ke dalam

(11)

Pemujaan Alam (Natural Religion). Agama Jepang adalah Shomin Shinko

(Kepercayaan Rakyat), yang dipengaruhi oleh agama Budha dan Konfusionisme.

Ajaran ini masuk ke dalam kehidupan masyarakat Jepang, sehingga tatakrama

kehidupan sehari-hari berdasarkan Konfusionisme. Ajaran ini menekankan

tatanan alam yang rasional dan manusia adalah suatu unsur harmonis yang

didasarkan atas ketentuan-ketentuan etika. Menurut Harmi Befu, dalam

Danandjaja (1997:164), walaupun mempunyai satu nama agama Shinto

sebenarnya merupakan gabungan kepercayaan primitif yang sukar untuk

digolongkan menjadi satu agama, bahkan sebagai satu sistem kepercayaan. Oleh

karenanya agama ini lebih tepat dianggap sebagai suatu gabungan dari

kepercayaan “primitif”dan praktek-praktek yang berkaitan dengan jiwa-jiwa,

roh-roh, hantu-hantu, dan sebagainya. Shinto sebagai agama yang lahir di masyarakat

Jepang sendiri meyakini pepohonan sebagai kediaman dewa-dewa dan roh-roh

yang disebut kami dan juga dikenal adanya roh alam (Shizen Rei) misalnya

roh-roh pohon, gunung, air dan sebagainya. Masyarakat Jepang percaya bahwa semua

roh atau dewa-dewa mempunyai kekuatan misterius, dengannya manusia

dilindungi dari malapetaka. Pada dasarnya masyarakat jepang merupakan

(12)

ketertarikan akan keadaan alamnya, menimbulkan lahirnya kepercayaan rakyat

terhadap pohon yang ditafsirkan sebagai suatu bentuk kepercayaan rakyat atau

suatu bentuk kepercayaan terhadap alam semesta. Dalam hal ini, Shinto mirip

dengan kepercayaan Taoisme di Cina, yang juga diperkenalkan di Jepang

bersamaan dengan masuknya Konfusionisme. Taoisme adalah kepercayaan

berdasarkan keyakinan pada tenaga-tenaga gaib yang ada di alam. Kedua religi ini

sama karena mereka tidak begitu mapan organisasinya sebagaimana agama

Budha. Kedua agama ini termasuk kepercayaan rakyat (folk beliefs).

Sebagai negara yang telah berhasil membangun hampir semua bidang

kehidupannya, Jepang ternyata tidak begitu saja meninggalkan budaya

tradisionalnya. Keberhasilan Jepang khususnya tampak dalam bidang kebudayaan

material yaitu dengan mengikuti beberapa kebudayaan barat dalam perilaku

kehidupannya sehari-hari, tetapi dalam budaya spiritual Jepang tidak mengalami

perubahan sehingga Jepang sering dikenal sebagi negara yang mempunyai

kebudayaan yang berwajah dua. Yang dimaksud dengan kebudayaan berwajah

dua, yaitu pertama wajah modern yang diartikan sebagai wajah barat dengan pola

hidup sehari-hari yang tampak mirip dengan bangsa barat. Kedua, wajah

(13)

tampak dalam bidang ritual dengan penyelenggaraan matsuri atau ritual, maupun

berbagai kesenian yang masih dipertahankan sebagai bagian dari budaya

tradisional yang telah ada sejak zaman kuno. Masyarakat Jepang memang terkenal

sebagai masyarakat yang patuh dan taat terhadap adat istiadat, mereka begitu

menghargai dan memelihara budaya yang telah diturunkan oleh para leluhur,

sehingga bagaimanapun majunya Negara Jepang saat ini mereka tetap saja

melestarikan kebiasaan dan ritual-ritual rutin yang telah ditetapkan sejak dahulu.

Dalam penyelenggaraan ritus atau upacara keagamaan yang dilakukan oleh

masyarakat Jepang, banyak hal yang dipersiapkan seperti halnya dalam

penyambutan kehadiran dewa-dewa di bumi.

Masyarakat Jepang percaya bahwa pada saat upacara atau ritual-ritual

dilakukan, dewa akan turun dari langit melalui pohon yang besar dan tinggi

menjulang dan pohon tersebut akan berfungsi sebagai yorishiro atau tempat

bersemayamnya para dewa. Pohon yang paling tepat untuk dijadikan yorishiro

adalah pohon yang senantiasa hijau sepanjang tahun dan menjulang tinggi. Pohon

yang biasa digunakan adalah pohon cemara. Dari anggapan tentang yorishiro,

kemudian muncul pemikiran untuk membangun yashiro atau jinja (kuil untuk

(14)

banyak terdapat pohon cemara (Matsuhara, 1986 : 157).

Ketika diadakan upacara-upacara untuk dewa, ranting-ranting pohon dari

tanaman yang senantiasa hijau ini dipajang tegak lurus dan mereka percaya bahwa

itulah tangga bagi dewa yang akan mendengarkan permohonan atau memberi

keselamatan dan kebahagiaan bagi keluarga, kelompok atau wilayah pada tahun

itu. Ranting-ranting itu diambil dari pohon cemara atau sakaki (pohon yang

digunakan untuk oharai atau upacara penyucian dalam kepercayaan Shinto).

Ada beberapa konsep yang mengatakan pohon memiliki nilai tersendiri

dalam religi atau keberadaan kepercayaan jepang, maka ada beberapa pohon yang

dianggap bermakna. Dan pohon cemara bermakna sebagai kepercayaan umum

Shinto. Hal tersebut menyebabkan masyarakat Jepang menghargai keberadaan

pohon dan tidak sembarangan menebangnya. Namun jika masyarakat ingin

menebang pohon, harus terlebih dahulu diadakan ritual.

Dalam kehidupan Masyarakat Jepang, ada pohon yang memiliki makna

simbolik :

1. Pohon Cemara : melambangkan persahabatan dan keawetan.

2. Pohon Bambu : Kejujuran, tidak ada kejahatan.

(15)

4. Sakura : sebagai pagar Tuhan

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk menulis skripsi yang

berjudul: ”Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Pohon”.

1.2 Perumusan Masalah

Sebelum membahas mengenai pohon sebaiknya dijelaskan tentang

Mitologi pohon berdasarkan namanya. Sebagai contoh: Kata (pohon) Bonsai itu

diserap dari bahasa Mandarin Pen-Zai (Pen = Pot – Zai = Pohon), sebelumnya

dalam bahasa Jepang disebut "Hachi-no-ki" = Pohon di dalam Pot. Tidak bisa

dipungkiri, bahwa Bonsai itu sebenarnya berasal dari Tiongkok. Seni

mengerdilkan tumbuh-tumbuhan di Tiongkok lebih dikenal dengan sebutan

Penjing (Pinyin). Pen = Pot / Wadah / Dulang - Ying = Panorama Alam. Penjing

itu adalah merupakan seni mengerdilkan tanaman dengan mengambil inspirasi

dari bentuk panorama alam.

Dengan melihat contoh mitologi pohon jepang diatas maka Hingga detik

ini pohon dalam kehidupan sehari – hari bagai masyrakat Jepang menjadi seni

(16)

Jepang memiliki kepercayaan politeis. Kepercayaan politeis tersebut

disebut juga dengan kepercayaan rakyat (folk belief) yaitu: para dewa berjumlah

banyak. Dalam penyembahan terhadap para dewa, pohon memegang peranan

penting, karena orang Jepang memiliki kepercayaan bahwa pohon sebagai tempat

tinggal para dewa dan merupakan jalan bagi dewa untuk turun ke bumi maupun

untuk kembali ke langit.

Dengan demikian penulis memberikan cakupan permasalahan, mengenai:

- Bagaimana kepercayaan rakyat Jepang (Shomin shinko)

- Bagaimana bentuk dan sejarah kepercayaan rakyat Jepang terhadap Pohon

- Bagaimana hubungan Pohon dengan kehidupan spiritual dan kehidupan

sehari - hari.

- Bagaimana peranan pohon dalam kepercayaan rakyat Jepang

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Musim semi adalah salah satu musim yang paling indah di Jepang,

karena seluruh Jepang dihiasi mekarnya bunga Sakura. Tempat-tempat terindah di

musim semi adalah taman-taman, daerah sepanjang tepi sungai, dan objek-objek

(17)

masyarakat Jepang untuk pergi piknik di bawah pohon Sakura, dikenal sebagai

Hanami.(www.yahoo.com, budaya jepang 2008)

Sebagai tempat tinggal para dewa dan merupakan jalan bagi dewa untuk

turun ke bumi, Pohon juga menjadi bagian pendukung dalam kebutuhan hidup

sehari-hari.

Dalam pembahasannya, penulis menganggap perlu membatasi ruang

lingkup permasalahan agar masalah penelitian tidak terlalu luas sehingga masalah

yang akan dikemukakan dapat lebih terarah dan tajam dalam penelitiannya.

Penulis membatasi permasalahan pada peranan pohon dalam kehidupan dan

kepercayaan rakyat Jepang. Serta jenis-jenis pepohonan yang dianggap memiliki

nilai dalam kepercayaan masyarakat Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Dalam mitologi Jepang abad pertengahan, berbagai kami dalam Kojiki dan

Nihonshoki berdasarkan teori Honji Shijaku dikenali sebagai perwujudan

sementara para Buddha dan Bodhisattva atau dianggap sejajar. Selain itu, mitologi

(18)

dan cerita rakyat, mitologi berbagai daerah, serta menampilkan tingkat kedewaan

dan benda-benda yang tidak ada di dalam Kojiki dan Nihonshoki.

Di pertengahan Zaman Edo, terdapat buku yang berjudul Kojiki-den

dengan maksud melakukan interpretasi isi Kojiki hingga tuntas. Buku ini

menyebabkan sumber utama mitologi Jepang bergeser dari Nihonshoki menjadi

Kojiki dan keadaan ini bertahan hingga sekarang.

Dalam meneliti pembahasan ini penulis menggunakan buku sebagai

acuan. Buku – buku tersebut adalah Ilmu Kejepangan ( Situmorang , 2006 : 54),

buku yang ditulis oleh Anezaki Masaharu yang berjudul History of Japanese

Religion. Buku ini digunakan penulis untuk menjelaskan secara sekilas mengenai

agama-agama yang terdapat di Jepang pada masa sekarang ini. Kemudian buku

lain yang dijadikan acuan adalah: buku yang berjudul Folk Religion In Japan

yang disusun oleh Hori Ichiro dan diterbitkan oleh University Of Chicago pada

tahun 1986.

Selain mengumpulkan dan memanfaatkan buku-buku, penulis juga berusaha

mencari data dari situs internet dengan mencantumkan tanggal kapan

(19)

1.4.2. Kerangka Teori

Kerangka Teori menurut Koentjaraningrat (1976:11) berfungsi sebagai

pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret,

suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi

pembahasan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam

kenyataan kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan.

Dalam membahas tentang kepercayaan masyarakat Jepang pastilah tidak

terlepas dari Shinto. Shinto bukanlah sebuah agama seperti yang selama ini

diketahui. Hori Ichiro dalam Folk Religion In Japan mengklasifikasikan Shinto

sebagai sebuah kepercayaan rakyat. Pada awalnya, manusia memang meyakini

adanya kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Akan tetapi, manusia

mengartikan bahwa alamlah yang menjadi Tuhan. Mereka menyembah Matahari,

Pohon, Batu, dan ada juga yang meyakini roh leluhurnya.

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan konsep pendekatan religi.

Konsep Religi menurut Koentjaraningrat (1974:137) adalah sistem kepercayaan

yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia

(20)

Dan menurut Robert N. Bellah, Religi dapat diartikan sebagai sikap-sikap

dan tindakan-tindakan manusia yang bersangkutan dengan keprihatinan yang

paling mendasar (Ultimate Concern). Dan tindakan Religius adalah setiap

tindakan yang terarah kepada yang suci dan ilahi.

1.5 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini :

1. Untuk menjelaskan kepercayaan rakyat Jepang ( Shomin Shinko)

2. Untuk menjelaskan sejarah dan bentuk kepercayaan rakyat Jepang

terhadap Pohon

3. Untuk menjelaskan hubungan pohon dengan kehidupan spiritual dan

kehidupan sehari-hari

4. Untuk menjelaskan peranan pohon dalam kepercayaan rakyat

Jepang

1.5.2. Manfaat Penelitian

Adapaun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Agar para pelajar bahasa Jepang bisa mengetahui bagaimana

(21)

2. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat memperkaya ilmunya

dengan membaca karya tulis ini, karena dalam karya tulis ini

terdapat penjelasan budaya Jepang.

3. Dan juga agar mempermudah kita bagaimana bisa memahami budaya

secara karakter sifat yang memudahkan kita untuk bisa

berkomunikasi dengan baik.

1.6 Metode Penelitian

Dalam penulisan kripsi inis, metode yang digunakan adalah metode

deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah

yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian

berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Koentjaraningrat,

1974). Fakta yang tampak dihubungkan satu dengan yang lainnya di dalam

aspek-aspek yang diselidiki.

Teknik penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi

kepustakaan yaitu, mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama

berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil,

(22)

buku-buku yang menyangkut tentang kepercayaan rakyat Jepang dan tentang

pandangan-pandangan hidup masyarakat Jepang.

Penulis mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasikan, mengkaji dan

(23)

BAB II

POHON DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI MASYARAKAT JEPANG

2.1 Pohon Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang

Jepang merupakan salah satu negara terkemuka di Asia. Selain karena

kemajuan teknologi dan pencapaian ekonominya, mantan tuan rumah Piala Dunia

2002 bersama Korea ini juga ternama karena pesona alamnya, tak terkecuali

bunga-bungaannya. Jepang mempunyai satu jenis bunga yang terkenal hingga ke

mancanegara dan sudah sangat identik dengan negara tersebut, yaitu sakura.

Sakura memang bunga yang sangat dicintai dan dibanggakan masyarakat

Jepang. Ia bahkan menjadi simbol nasional bangsa ini. Para petinggi negara,

misalnya, sering menggunakan lambang sakura sebagai label pin pada pakaian

resmi mereka. Bunga sakura juga menjadi desain yang muncul dalam berbagai

kerajinan khas Jepang, seperti kimono, yukata, kipas dan masih banyak lagi.

Dari kejauhan, bunga sakura tampak agak putih. Sesungguhnya warna bunga ini

adalah merah muda. Sakura mempunyai lima kelopak dan sangat kecil sehingga

sulit dinikmati keindahannya secara sendiri-sendiri. Keindahan sakura terletak

(24)

Di Jepang, mekarnya sakura menandai awal musim semi. Di ibu kota

negara ini, Tokyo, ada beberapa tempat untuk melihat sakura pada awal musim

semi. Yang paling populer adalah di sekeliling Istana Raja, Imperial Park yang

dikelilingi dengan danau buatan yang indah, Hanzo-bori. Cabang-cabang pohon

sakura yang penuh dengan bunga menjuntai dan menjulur ke atas air danau,

menimbulkan bayang-bayang yang indah. Di bawah pohon-pohon sakura

biasanya muncul pula bunga-bunga kecil berwarna kuning yang membuat suasana

semakin indah. Taman Ueno -tidak jauh dari stasiun kereta Ueno- adalah tempat

lain untuk menikmati sakura.

Di Imperial Park pengunjung tidak boleh menggelar tikar untuk piknik

dan makan, di Ueno hampir semua pengunjung datang justru untuk piknik. Jika

kita tidak membawa makanan dari rumah, di tempat ini cukup banyak terdapat

kedai 7-Eleven, yakni kedai-kedai kecil untuk membeli o-bento (makanan dalam

kotak).

Mayoritas orang Jepang tidak melewatkan kesempatan setahun sekali

berpiknik di bawah naungan sakura. Orang Jepang menyebut kegiatan itu sebagai

hana-mi (menonton bunga). Sekalipun bunga sakura sudah mulai mekar pada

(25)

sakura yang berarti tumpah-ruahnya masyarakat ke tempat-tempat konsentrasi

bunga sakura. Di samping itu, terdapat juga tradisi di kalangan para petani Jepang,

yaitu melakukan upacara minum sake di bawah naungan kanopi bunga sakura.

Upacara ini diharap akan menghasilkan panen yang baik pada tahun yang

berjalan. Orang Jepang juga percaya bahwa pohon sakura adalah pagar antara

Tuhan dan manusia. Oleh karena itu, melakukan hana-mi juga merupakan ritual

keagamaan.

Jika kita berpikir sakura hanya ada di Jepang, ternyata kurang tepat. Sakura

tidak hanya tumbuh di Jepang. Pada tahun 1912, Wali Kota Tokyo

menghadiahkan 3.000 bibit pohon sakura kepada Wali Kota Washington DC

untuk ditanam di ibu kota Amerika Serikat tersebut sebagai lambang persahabatan

Amerika-Jepang. Pohon sakura ini kemudian ditanam di sepanjang sisi utara

Sungai Potomac, khususnya di Taman Potomac Barat. Orang Amerika menamai

sakura sebagai cherry blossom.

Sejak tahun 1961, pada awal musim semi, di Washington DC selalu

diselenggarakan "Japanese Cherry Blossom Festival". Selama sehari penuh

diselenggarakan parade, bazar, dan berbagai acara kebudayaan lainnya. Bazar

(26)

antara Constitution Avenue dan Pennsylvania Avenue. Setelah menonton parade

pada pagi hari, pengunjung biasanya akan membanjiri bazar yang merupakan

ajang membeli makanan dan suvenir, di samping juga merupakan tempat

diselenggarakannya berbagai atraksi seni-budaya.

Pada 1968, Jepang menghadiahkan lagi 3.800 batang pohon sakura

kepada Washington DC. Uniknya ketika beberapa taman sakura di Jepang terkena

bencana banjir, para botanis Jepang datang ke Washington DC untuk mencangkok

pohon sakura jenis Yoshino yang memang khas itu. Kini sakura tidak hanya

tumbuh di Washington DC, tetapi telah menyebar ke berbagai negara bagian

Amerika Serikat. Di Central Park, New York, banyak pohon sakura. Demikian

pula dengan negara bagian lainnya, seperti Seattle. Di Amerika, bunga dari Negeri

Matahari Terbit ini biasanya hadir di kawasan-kawasan eksekutif.

Satu hal yang patut dicontoh dari Jepang, ketika mereka memiliki sesuatu

yang khas dan mereka bangga karenanya, mereka tidak sekadar berhenti pada

kebanggaan. Mereka berusaha keras agar sesuatu itu tetap berkembang dan

terpelihara. Itulah yang terjadi pada sakura. Musim semi dan sakura adalah saat

yang sangat dinanti oleh orang Jepang. Udara yang sejuk, bunga bermekaran

(27)

bulan April. Bersamaan dengan itu orang Jepang memulai kegiatan tahunan

mereka. Di sekolah-sekolah tahun ajaran baru di mulai di bulan ini. Banyak

toko-toko dan perkantoran melakukan tutup buku di bulan Maret dan memulai lagi

catatan kegiatan mereka di bulan April.

Satu kegiatan yang disukai orang Jepang di bulan ini adalah hanami,

sebuah istilah untuk menyebut kegiatan wisata menikmati bunga sakura. Kata

hanami khusus untuk menikmati sakura tidak untuk bunga yang lain. Karena

biasanya ada liburan musim semi selama satu minggu, keluarga-keluarga Jepang

sering mengikuti Tour wisata yang ditawarkan oleh biro perjalanan. Kyoto

termasuk salah satu tujuan hanami. Kiyomizudera, Gozo, Nijo castle, Haian Jingu,

Sepanjang jalan Museum, sepanjang Kamogawa dan botanical Garden adalah

tempat yang selalu dipenuhi pengunjung yang melakukan Hanami. Mereka

menikmati indahnya bunga sakura merah jambu dan putih dengan penuh canda

tawa. Duduk-duduk, makan dan minum bersama keluarga dan teman di bawah

pohon sakura banyak dilakukan oleh orang-orang. Bahkan orang Jepang percaya

bila guguran kelopak sakura tanpa disengaja masuk ke dalam gelas minum atau

piring yang sedang ia pegang maka kehidupannya akan menyenangkan sepanjang

(28)

Indonesia di Kyoto setiap tahunnya juga melakukan hanami bersama. Biasanya

acara ini juga dihadiri oleh anggota kelompok persahabatan Indonesia yang ada

di Kyoto. Sebuah kelompok untuk orang Jepang yang pernah tinggal di Indonesia

atau yang menikah dengan orang Indonesia. Kelompok inilah yang biasanya

mensponsori kegiatan hanami Perkumpulan Persahabatan Indonesia ini. Namun

sayangnya, bunga sakura tidak mekar dengan kurun waktu yang lama. Setelah

mekar sempurna selama seminggu bunga sakura akan berguguran.

Di akhir bulan April pohonnya sudah di penuhi daun yang lebat, yang

akan gugur saat menjelang musim dingin. Dan akhirnya nanti akan digantikan

oleh putik-putik bunga yang bermunculan di tangkai-tangkai pohon di akhir

musim dingin. Satu siklus bunga sakura akan di mulai lagi.

Salah satu tumbuhan yang cukup menyolok penampilannya di awal

musim semi ini adalah pohon yang bunganya berwarna putih. Perhatian pada

tumbuhan ini pertama kali muncul saat merasakan musim semi pertama di Jepang.

Pohon ini memekarkan bunganya di saat yang lain masih berupa ranting atau

kuncup. Itulah sebabnya, kehadirannya terasa sangat dominan. Bukan hanya

karena di sekitarnya masih sepi dari warna warni, masih berupa dahan, ranting

(29)

tinggi dan besar. Nama pohon tersebut adalah pohon bunga kinmoseki. Pohon

dalam kehidupan bisa banayak keguanaanya. Pohon bagi masyarakat Jepang

memiliki lambang dalam awal musim, terlebih dalam perkembangan bunga

pohon, ada sakura, persik dan lain – lain. Dan keberadaan pohon juga tidak hanya

dalam fungsi untuk seni karya, peralatan hidup, namun berfungsi juga sebagai

spiritual. Untuk lebih nyata fungsi dari pohon untuk kehidupan di Jepang adalah

kokeshi. Pada kokeshi ( boneka jepang ) beragam seni dapat kita lihat.

Secara garis besar kesimpulannya : menjadi seni karya, menjadi bagian

dari perayaan yang dilakukan, dan menjadi peralatan hidup sehingga bisa menjadi

ciri yang umum dalam kehidupan masyarakat.

2.1.1 Pohon dan lingkungan hidup

Secara historis, Sendai atau kota yang berjuluk “mori no miyako” (kota

pepohonan atau tempat nan hijau) adalah kota di mana sekitar 400 tahun lalu

lebih, tepatnya pada 1601 M, Date Masamune mendirikan istana kekuasaannya.

Seorang daimyo (pemimpin daerah) pertama untuk wilayah Tohoku timur di awal

Periode Edo, yang patungnya menghiasi reruntuhan bekas Kastel Sendai

(30)

pasca PD II, Sendai berangsur-angsur pulih menjadi lokasi menarik bagi hampir

semua kegiatan, dari militer sampai pendidikan di bagian utara Jepang. Saat ini

Sendai tercatat memiliki wilayah seluas 788,08 km2 dan berpenduduk 1, 019,963

jiwa per April 2006 ini. Karena berpenduduk lebih dari 500 ribu jiwa, Sendai

masuk dalam 12 “designated cities” yang pengelolaannya diatur khusus oleh

pemerintah pusat Jepang.

Kota Sendai, terletak di Pulau Honshu (pulau utama di Jepang) sekitar

360 km arah utara Kota Tokyo. Perjalanan udara lebih kurang 50 menit bisa

dicapai dari Haneda Airport di Tokyo menuju Sendai Airport. Perjalanan darat

yang paling populer antara Tokyo-Sendai adalah dengan shinkansen (kereta super

cepat) yang akan memakan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan.

Kota Sendai adalah kota setingkat kotamadya sebagai ibu kota Propinsi

Miyagi. Kota basis ekonomi dan perdagangan di wilayah Jepang utara (wilayah

Tohoku), yang meliputi propinsi Fukushima, Yamagata, Iwate, Akita, dan

Aomori. Karena letaknya di bagian utara Jepang, maka temperatur rata-rata per

tahun adalah sekitar 11.9 derajat Celcius. Namun begitu karena letak geografisnya

yang berdekatan dengan Samudra Pasifik dan dikitari oleh pegunungan Ou,

(31)

musim panas yang lembab datang, dibanding kota-kota lain di wilayah Tohoku

ini.

Kotamadya Sendai atau dalam bahasa Jepang disebut Sendai-shi terdiri

dari lima ku atau daerah setingkat kecamatan, yaitu Aoba-ku, Miyagino-ku,

Wakabayashi-ku, Taihaku-ku, dan Izumi-ku. Struktur kotanya sendiri sebenarnya

sprawl (menyebar). Bagian tengah terdiri atas wilayah yang termasuk

“kecamatan” Aoba, Miyagino, dan Wakabayashi, dengan titik utama pusat kota

adalah Stasiun Sendai dan CBD (Central Business District) di sekitarnya.

Izumi-ku di utara dan TaihaIzumi-ku-Izumi-ku dengan pusatnya di Nagamachi tumbuh menjadi sub

senter kota yang lain pula. Dari Izumi melewati pusat kota sampai Nagamachi

inilah subway Sendai sebagai moda transportasi alternatif bawah tanah

terhubungkan. Tempat pertandingan Piala Thomas dan Uber di “Sendai

Taiikukan” (Komplek olahraga Kota Sendai) nanti terletak di ujung jalur subway

di daerah Nagamachi ini.

Keterangan diatas untuk meberikan contoh bahwa pohon dalam

lingkungan hidup di jepang seperti kota Sendai, yang dijadikan / dijuluki mori no

miyako. Menurut Budi Laksono, seorang peneliti kehutanan, yang sedang

(32)

misalnya banyaknya jaringan kereta bawah tanah, jalan-jalan layang dan

gedung-gedung pencakar langit, muncul anggapan bahwa kawasan yang lebat dengan

pepohonan mungkin hanya ada di wilayah-wilayah tertentu seperti kompleks

istana kaisar atau kyokyo yang terletak di jantung ibukota, Tokyo.

Namun anggapan tersebut luntur begitu diberikan fakta bahwa negeri

kepulauan ini ternyata masih didominasi oleh hutan. Misalnya data dari Center

For International Foresty Research (CIFOR) mengungkapkan bahwa tujuh puluh

persen wilayah negeri Matahari terbit tersebut masih berselimutkan hutan, yang

apabila digabungkan dapat mencapai seluas dua puluh empat juta hektar. Kendati

masih memiliki hutan yang cukup luas, pemanfaatan hasil hutan di Jepang tidak

dilakukan secara eksploitatif dan kelestariannya tetap dipertahankan demi

merawat ekosistem dan keseimbangan alam. Misalnya saja di prefektur Kochi,

yang terletak di pulau Shikoku, sebelah barat daya Jepang, begitu besarnya

perhatian pemerintah dan masyarakat di prefektur Kochi terhadap kondisi hutan di

wilayah mereka.

Pemerintah dan masyarakat peduli dalam menyelesaikan permasalahan

yang serius mengenai hutan tanaman di daerah hulu dan dampaknya terhadap

(33)

dilakukan pemerintah kochi adalah mengajak masyarakat ikut peduli dengan

setiap tahun membayar pajak untuk menjaga lingkungan hutan ( Forest

Environment Tax). Selain itu masyarakat juga ikut serta melakukan kegiatan

penjarangan hutan dengan menebang pepohonan tanpa mendapat upah, sebagai

tanda kecintaan mereka terhadap alamnya.

Penjarangan hutan dilakukan di daerah kochi yang merupakan areal

hutan terluas di Jepang adalah karena negeri Sakura tersebut kini memiliki

masalah kehutanan yang tergolong unik dari negara-negara lain. Itu karena terlalu

banyak pohon yang dibiarkan tumbuh secara rapat atau berdempetan sehingga

daun-daunnya menghalangi masuknya cahaya matahari ke bagian bawah

pohon-pohon tersebut yang berdampak kontra-produktif, seperti mudah longsor dan

pencemaran air sungai. Masalah tersebut berawal dari penanaman hutan Sugi dan

Hinoki yang merupakan dua jenis tanaman utama di Jepang, oleh masyarakat

kochi antara dekade 1960-an dan 1970-an yang sangat luas dengan kerapatan

yang tinggi, yaitu 3000 pohon/ha. Hal ini diharapkan akan menghasilkan pohon

yang lurus dan tinggi, kemudian akan dilakukan penjarangan bertahap sampai

100-200 pohon /ha agar menghasilkan tanaman yang lurus dengan diameternya

(34)

kayu impor lebih murah, masyarakat saat itu enggan melakukan penjarangan

karena harga kayu jepang jadi murah sehingga tidak menguntungkan. Maka

setelah tanaman tumbuh besar, hal ini mengakibatkan kanopi menutup permukaan

tanah hutan dan sinar matahari tidak bisa masuk sehingga tanaman bawah yang

dapat berfungsi untuk menghambat longsoran dari permukaan yang lebih tinggi

tidak dapat tumbuh.

Dampak yang terjadi adalah pada saat hujan deras turun, tanah yang

berbatuan di daerah hulu menjadi tererosi dan air sungai kochi, yang menjadi

sumber utama daerah tersebut, menjadai tercemar serta debit airnya menjadi

berkurang karena mengalami pendangkalan. Untuk menyelesaikan masalah ini,

pemerintah setempat hanya memiliki dana yang terbatas sehingga mengajak

masyarakat untuk memikirkan hal tersebut. Akhirnya mulai tahun 2002

dicetuskan konsep “Forest Environment Tax” dengan partisipasi masyarakat

sebesar lima ratus yen per tahun, yang menurut Budi setara dengan harga

secangkir kopi di Jepang. Sedangkan pelaksanaan penjarangannya adalah dengan

pendekatan sukarela. Masyarakat dengan sukarela melaksanakan penjarangan di

waktu senggang(weekend) dengan membentuk asosiasi relawan. Mereka juga

(35)

kepada anak sekolah dengan mengajak mereka ke hutan dan membuat permainana

agar mereka mengerti betapa pentingnya hutan untuk lingkungan. Hal yang

mengesankan disini adalah bahwa pelopor relawan tersebut adalah mereka yang

sudah berumur diatas enam puluh tahun, setelah pensiun dan mencari kegiatan

yang bermanfaat bagi orang lain.

2.1.2 Pohon dan tempat tinggal

Folklor, sekarang disebut mitologi Jepang, hampir seluruhnya

berdasarkan cerita yang terdapat dalam Kojiki, Nihonshoki, dan Fudoki dari

berbagai provinsi di Jepang. Dalam kata lain, mitologi Jepang sebagian besar

berkisar pada berbagai kami penghuni Takamanohara (Takamahara, atau

Takamagahara), dan hanya sedikit sumber literatur tertulis yang dapat dijadikan

rujukan.

Di zaman kuno, setiap daerah di Jepang diperkirakan memiliki sejenis

kepercayaan dalam berbagai bentuk dan folklor. Bersamaan dengan meluasnya

kekuasaan Kekaisaran Yamato, berbagai macam kepercayaan diadaptasi menjadi

Kumitsugami atau “dewa yang dipuja” yang bentuknya menjadi hampir seragam,

(36)

wilayah dan penduduk yang sampai di abad berikutnya tidak dikuasai Kekaisaran

Yamato atau pemerintah pusat Jepang yang lain, seperti Suku Ainu dan orang

Kepulauan Ryukyu masing-masing juga memiliki mitologi sendiri.

Di abad pertengahan berkembang mitologi Jepang abad pertengahan

( Chusei Nihongi ) dengan isi yang berbeda dari mitologi sebelumnya. Mitologi

Jepang abad pertengahan tetap berpedoman pada Nihonshoki tapi dikembangkan

hingga menjadi sangat berbeda dengan versi aslinya. Mitologi Jepang abad

pertengahan ditemukan dalam epik perang seperti Taiheki , buku penggubahan

syair dan anotasinya, serta berbagai Engi (buku catatan asal-usul dan sejarah milik

kuil agama Buddha dan Shinto).

Dalam mitologi Jepang abad pertengahan, berbagai kami dalam Kojiki

dan Nihonshoki berdasarkan teori Honji Shijaku dikenali sebagai perwujudan

sementara para Buddha dan Bodhisattva atau dianggap sejajar. Selain itu, mitologi

Jepang abad pertengahan bercampur dengan unsur-unsur yang diambil dari seni

dan cerita rakyat, mitologi berbagai daerah, serta menampilkan tingkat kedewaan

dan benda-benda yang tidak ada di dalam Kojiki dan Nihonshoki.

Di pertengahan Zaman Edo, terdapat buku yang berjudul Kojiki-den

(37)

menyebabkan sumber utama mitologi Jepang bergeser dari Nihonshoki menjadi

Kojiki dan keadaan ini bertahan hingga sekarang..

Menurut kepercayaan Jepang bahwa Dunia berawal di Takamonahara di

sana lahir berbagai kami seperti Kotoatmasuki dan Kaminoyonayo Kami yang

lahir paling akhir adalah dua bersaudara Izanagi (Izanaki) dan Izanami.

Menurut Nakamura hajime, orang Jepang memiliki perasaan dekat

dengan alam yang sudah berlangsung sejak lama (1962:356). Orang jepang akan

mampu menangkap makna yang terdapat dalam fenomena yang terdapat di alam

ini kalau ia memiliki hubungan yang dekat dan peka terhadap alam. Alam bagi

orang jepang sangatlah berharga karena disinilah manusia hidup dan merupakan

sesuatu dimana manusia sangat bergantung padanya.

Dalam hal selera, orang jepang memiliki konsep yang sederhana dan

menghargai kealamiahan jauh diatas segalanya, yang telah ditunjukkan dalam

gaya hidupnya. Demikian halnya dalam hal pemilihan material rumah atau tempat

tinggal, masyarakat Jepang dominan menggunakan rumah tempat tinggal yang

terbuat dari kayu. Selain untuk mengantisipasi akan terjadinya gempa, juga

karena mereka merasa lebih menyatu dengan alam dan menunjukkan perasaan

(38)

Masyarakat Jepang sejak lama telah menggunakan kayu sebagai bahan

utama untuk konstruksi rumah tinggal mereka. Hampir seluruh bagian rumah

tinggal seperti kolom, balok, dinding dan lantai terbuat dari kayu. Kayu-kayu

yang digunakan umumnya memiliki berat jenis rendah antara 0,3 hingga 0,5 yang

oleh masyarakat Indonesia jarang digunakan untuk bahan konstruksi rumah

tinggal. Sebahagian kebutuhan kayu masyarakat Jepang diperoleh dari Kanada

serta beberapa negara Asean seperti Indonesia dan Malaysia. Kayu dipilih oleh

masyarakat Jepang karena bahan konstruksi ini memiliki tekstur yang indah dan

sangat ramah terhadap lingkungan karena dapat terurai secara alami. Walaupun

dengan kualitas kayu yang lebih rendah, rumah tinggal kayu masyarakat Jepang

dikenal memiliki ketahanan gempa yang baik.

Bila dibandingkan dengan bahan konstruksi lainnya seperti beton atau

baja, kayu memiliki nilai banding kekuatan terhadap berat yang lebih tinggi

sehingga sangat sesuai untuk bahan konstruksi didaerah yang sering terjadi

gempa. Dengan berat bangunan yang lebih ringan, maka gaya inertia yang

diakibatkan oleh gempa akan menjadi lebih kecil sebagaimana dinyatakan oleh

hukum kedua Newton. Selain itu kayu juga merupakan bahan yang lentur atau

(39)

kerusakan apabila dirancang dengan baik. Terdapat empat sifat utama dari rumah

tinggal kayu masyarakat Jepang yang berperan penting dalam meningkatkan

ketahanan terhadap gempa.

Yang pertama adalah denah yang persegi dan simetris. Rumah tinggal

kayu Jepang dapat dipastikan berbentuk persegi dengan ukuran panjang tidak

lebih dari 1,5 kali ukuran lebar. Disamping itu, letak jendela atau pintu diatur

sedemikian rupa sehingga prinsip simetris tetap dipertahankan. Denah yang

simetris menyebabkan pusat kekuatan dan pusat massa bangunan terletak pada

satu titik yang sama sehingga bangunan terhindar dari bahaya puntir (berputarnya

bangunan pada sisi atas dengan sisi bawah / fondasi diam) pada saat dilanda

gempa. Sifat kedua adalah penggunaan alat sambung mekanis.

Jenis alat sambung mekanis yang umum digunakan adalah paku atau

baut yang dilengkapi dengan plat besi dalam berbagai bentuk dan ukuran. Karena

kayu merupakan material dengan kemampuan yang terbatas, maka kerusakan

sambungan diarahkan untuk terjadi terlebih dahulu pada alat sambungnya (paku

atau baut) sehingga bangunan terhindar dari keruntuhan seketika. Prinsip ini mirip

(40)

Kemampuan untuk rusak tanpa disertai keruntuhan menunjukkan

kemampuan untuk menyerap energi gempa. Sambungan jenis takikan yang tidak

disertai dengan alat sambung mekanis sudah tidak dipergunakan lagi. Sambungan

dengan model takikan tidak menjamin perilaku rusak yang baik oleh karena sifat

kayu yang mudah pecah juga dibebani gaya geser searah serat atau gaya tarik

tegak lurus serat. Selain itu, pembuatan sambungan takikan memerlukan keahlian

tersendiri dan waktu tambahan sebhingga tidak cocok untuk pembuatan untuk

rumah sistem pre-fabrikasi.

Sifat ketiga dari rumah tinggal kayu masyarakat Jepang adalah

tersedianya sistem pengaku. Ada dua jenis sistem pengaku yang sering dijumpai

pada rumah-rumah tinggal masyarakat Jepang yaitu dinding geser (shear wall) dan

sistem pengaku lantai (diafragma). Dinding geser umumnya terbuat dari plywood

dengan ketebalan berkisar antara 0,5 hingga 1 inchi. Dinding plywood ini

diikatkan kuat pada kolom di kedua sisi vertikalnya dan diikatkan pada balok

kayu horizontal (ring balok atau balok sloof) di kedua sisi lainnya dengan paku.

Sedangkan pengaku diafragma tersusun dengan paku dari balok-balok

kayu yang dipasang saling tegak lurus satu sama lainnya, dan bebarapa balok

(41)

dapat meningkatkan stabilitas dan mempertahankan bentuk asli bangunan. Kedua

jenis pengaku tersebut secara bersama-sama meningkatkan ketahanan bangunan

terhadap gempa. Sifat yang terakhir adalah sistem pengakeran (anchoring) yang

kokoh. Pada umumnya gempa-gempa yang terjadi di Jepang memiliki komponen

arah vertikal selain arah horizontal. Agar rumah tidak terlepas dari fondasinya,

maka seluruh bangunan harus terikat kuat dengan fondasinya. Rumah tinggal

kayu masyarakat Jepang diikatkan ke fondasi beton dengan melalui sistem

anchoring (pengangkeran), tidak hanya pada bagian kolomnya saja, tetapi juga

pada seluruh balok sloof.

Untuk setiap jarak tertentu, besi angker yang umumnya berpenampang

bulat berulir dengan diameter minimal 0,5 inchi disambungkan dengan balok

sloof dengan beberapa alat sambung paku dan plat besi dan ujungnya ditanamkan

kedalam fondasi beton bertulang. Dengan sistem pengangkeran yang kokoh ini,

maka seluruh konstruksi (struktur rumah beserta fondasinya) menjadi satu

kesatuan dalam mendukung gaya gempa.

2.1.3 Pohon dan peralatan sehari-hari

Pohon dalam peralatan sehari – hari masyarakat Jepang dapat kita lihat

(42)

dari kayu contohnya sumpit dan alat perang musubi. Sebagai contoh lain:

1. Secara tradisional kotak kayu (jūbako) untuk masakan osechi terdiri dari

lima susun, walaupun kotak bersusun tiga juga lazim dijumpai sekarang.

Kotak kayu dihitung dari atas dan diberi nama: ichi no jū, ni no jū, san

no jū, yō no jū, dan go no jū, yang berarti tumpukan kotak nomor satu

hingga nomorlima. Kotak nomor empat tidak disebut shi no jū, karena

angka empat (shi) terdengar sama dengan "shi" yang berarti "mati".

Berdasarkan alasan yang sama, kotak nomor empat pada kotak bersusun

empat disebut go no jū.

2. Alat musik jepang seperti shakuchi

3. Alat perang yakni musubi

4. Panggung drama yang terbuat dari bahan kayu

5. Sampai pada pembangunan rumah tradisional Jepang

Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa keberadaan pohon sangat

memberikan warna khas yang berbeda. Dari mulai alat makan, alat musik,alat

(43)

2.2 Mitologi tentang pohon

Dari beberapa sketsa dibawah ini bisa kita lihat mitologi pohon

berdasarkan namanya. Sebagai contoh mitologinya :

Kata Bonsai itu diserap dari bahasa Mandarin Pen-Zai (Pen = Pot –

Zai=pohon) sebelumnya dalam bahasa Jepang disebut "Hachi-no-ki" =Pohon di

dalam Pot. Tidak bisa dipungkiri, bahwa Bonsai itu sebenarnya berasal dari

Tiongkok. Seni mengerdilkan tumbuh-tumbuhan di Tiongkok lebih dikenal

dengan sebutan Penjing (Pinyin). Pen = Pot / Wadah / Dulang - Ying = Panorama

Alam. Penjing itu adalah merupakan seni mengerdilkan tanaman dengan

mengambil inspirasi dari bentuk panorama alam.

Gambar siluet dari panorama alam inilah yang mereka tata dalam sebuah

tanaman yang dikerdilkan, hingga tanaman itu berbentuk lukisan alam yang indah

dan hidup. Penjing bisa dibagi dalam tiga kategori: Penjing Pohon (Shumu

Penjing), Penjing Pemandangan / Alam (Shanshui Penjing), Penjing Air dan

Tanah (Shuihan Penjing). Asal muasalnya dari seni Penjing berdasarkan mitologi;

konon ada seorang ahli sihir yang bernama Jiang Feng yang memiliki kemampuan

menyihir sehingga apa saja yang disihir olehnya akan menjadi kecil. Sedangkan

(44)

puisi mengenai Penjing dan salah satu kalimatnya telah menjadi kredo: "Yang

Terkecil menjadi Yang Terbesar" Seni Penjing sudah dikenal sejak jaman Dinasti

Tang, tetapi baru pada saat Dinasti Qin menjadi sangat terkenal dan digandrungi

oleh para pejabat tinggi maupun para Bikshu, sehingga setiap tahunnya diadakan

lomba seni Penjing.

Konon ketika kerajaan Shuhan; terjadi persaingan terselubung antara

kanselir Zhuge Liang (Cukat Liang) dengan Liu Bei. Untuk membuktikan tanda

kesetiaannya Liu Bei terhadap Cukat Liang dan juga keinginan damainya. Liu Bei

menghadiahkan Penjing Pohon buah Pear. Melalui Pohon inilah hati sang kanselir

akhirnya bisa luluh. Perlu diketahui bahwa Liu Bei juga adalah seorang satrawan

maka dari itu Penjing Pohon yang bentuknya lurus seperti pit (kuas) disebut

WenrenMu (Pohon Para Pujangga) dalam bahasa Jepang disebut Bunjingi. Bonsai

pertama kali diperkenalkan ke umum oleh Jepang pada tahun 1867 ketika Expo

Dunia di Paris.

Seni mengerdilkan / pemangkasan tanaman dikembangkan juga oleh para

Biksu aliran Tao, karena Penjing ini juga merupakan lambang dari keseimbangan

serta keharmonisan manusia dengan alamnya. Dari pemeliharaan seni Penjing

(45)

ternilai. Para Biksu inilah juga yang membawa seni Penjing ke Jepang yang

akhirnya dikembangkan menjadi seni Bonsai. Diperkirakan seni Penjing ini

pertama kali datang ke Jepang antara era Kaisar Kammu (737 - 806) hingga

akhirnya masa kejayaan Kerajaan Edo pada kepemimpinan Shogun Dinasti

Tokugawa (1603 - 1867). Sedangkan sebagian pihak menganggap Bonsai hadir

pada masa Dinasti Kamakura (1185 - 1333).

Hal ini terjadi karena adanya bukti otentik berupa lukisan seorang pejabat

Shogun Kamakura dengan Bonsai. Hingga saat ini kita masih bisa menyaksikan

Bonsai hidup tertua yang usianya antara 400 s/d 800 tahun milik koleksi dari

Happo-en di Tokyo. Para penggemar Bonsai di Indonesia, pada umumnya beli

Bonsai tidak di Jepang melainkan di China atau di Taiwan sebab disana harganya

jauh lebih murah daripada di Jepang yang bisa dua sampai tiga kali lipat lebih

mahal. Harga per Pohon di Taiwan bisa puluhan juta, kebalikannya di Indonesia

orang masih ada yang bersedia bayar ratusan juta rupiah untuk bisa mendapatkan

(46)

BAB III

ANALISIS POHON DALAM KEPERCAYAAN JEPANG

3.1. Kepercayaan Rakyat Jepang (Shomin Shinko)

Menurut Robert N. Bellah (1992 : 81) sistem kepercayaan dalam

masyarakat Jepang mempunyai dua konsep dasar dalam pandangannya mengenai

ke-Tuhan-an. Yang pertama adalah Tuhan sebagai suatu jenis identitas yang lebih

tinggi dari segala yang ada yang berfungsi memelihara, memberikan

perlindungan, berkat dan cinta kepada para pemeluknya.

Contoh ini mencakup dewa-dewa langit dan bumi yang terdapat dalam

kepercayaan Buddha dan penganut aliran kepercayaan konfusius. Sedangkan

dalam kepercayaan Shinto dipercayai adanya dewa-dewa Shinto seperti dewa

pelindung wilayah Propinsi, Desa, dan sebagainya. Dewa pelindung keluarga

termasuk didalamnya para nenek moyang atau leluhur.

Sementara Pengertian konsep shomin shinko (kepercayaan rakyat) dari

Kusunoki yang digunakan untuk mendekati masalah syamanisme di Jepang tidak

bisa difahami secara mendalam, tanpa terlebih dahulu menelaah konsep minkan

shinko dan minkan densho dari para sarjana Jepang lainnya. Istilah minkan shinko

(47)

kata shinko berarti "kepercayaan".

Namun demikian, sebagai suatu konsep ilmiah, di antara istilah minkan

shinko dan shomin shinko terdapat konotasi anti yang berbeda. Bahkan dalam hal

ini, konsep minkan, densho (tradisi rakyat), ternyata lebih mendekati pengertian

shomin shinko daripada minkan shinko dari beberapa ahli tertentu.

Di dalam dunia ilmu pengetahuan di Jepang, konsep minkan shinko

belum diartikan secara seragam. Beberapa ahli religiologi dan ahli folklor di sana

mempunyai konsepsi yang berbeda tentang istilah ini, dan masing-masing

memberikan batasan pengertian dari sudut pandangannya sendiri-sendiri.

Ada yang menginterpretasikannya ke dalam berbagai macam tahyul,

ramalan, tabu, gejala-gejala kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan magis dan

lain-lain. Ada yang memakainya dalam arti minkan shukyo (agama rakyat), untuk

menunjukkan gejala-gejala kepercayaan yang ada kaitannya dengan agama Shinto

sebagai agama asli orang Jepang.

Ada yang menganggapnya sebagai bagian dari minkan densho (tradisi

rakyat) yang tidak mengalami perubahan sejak masa purba hingga masa kini.

Bahkan ada pula yang menginterpretasikannya sebagai gejala-gejala kepercayaan

(48)

Berbagai konsepsi tentang minkan shinko di atas mempunyai penjelasan yang

kuat dari sudut pendekatannya masing-masing, tetapi dari bermacam konsepsi

tersebut terdapat pula kelemahan-kelemahan atau segi-segi yang belum

terpecahkan untuk menyimpulkan minkan shinko sebagai suatu esensi atau

karakteristik kebudayaan Jepang oleh si pembuat konsepsi yang bersangkutan.

3.1.1 Pohon Sebagai Penghubung Dunia Atas dan Dunia Bawah

Adapun analisis bentuk kepercayan dari satau hiasan yakni Kadomatsu

yaitu hiasan tahun baru di Jepang berupa ranting daun pinus dan potongan bambu

yang dipasang di muka pintu masuk rumah atau gedung. Kadomatsu dipajang

secara berpasangan, kadomatsu laki-laki di sebelah kiri dan kadomatsu perempuan

di sebelah kanan.

Mereka lakukan itu karena Orang Jepang zaman dulu percaya Kami

tinggal di atas pohon. Di tahun baru, arwah leluhur dipercaya kembali ke rumah

yang dulu pernah ditinggalinya dalam bentuk Toshigami (dewa tahun), sehingga

kedatangannya disambut dengan kadomatsu yang sekaligus dipakai untuk tempat

menginap dewa selama tahun baru.

Orang Jepang meyakinibahwa tuhan itu ada banyak. Ada tuhan benda,

(49)

ibadah orang Shinto), tuhannya pun berbeda-beda. Dengan konsep ini mereka

hanya boleh mendatangi dan melakukan ibadah di jinja yang mereka yakini

tuhannya. Misalnya jika seseorang tinggal di suatu daerah , maka biasanya dia

percaya bahwa tuhan jinja di daerah tersebutlahlah yang memelihara dan

menjaganya, bukan tuhan di jinja yang lain. Oleh karena itu mereka hanya

mempercayai satu tuhan jinja.

Hiasan kadomatsu terdiri dari dua jenis berdasarkan cara memotong

bambu: Sogi (ujung bambu dipotong diagonal), dan Zundō (ujung bambu

dipotong mendatar). Di muka ketiga batang bambu diletakkan ranting pinus yang

berisi daun muda. Setelah itu, bagian muka kadomatsu dihias dengan tanaman

kubis hias (Habotan) berwarna merah dan putih. Hiasan kadomatsu juga sering

dilengkapi dengan ranting dan daun beberapa tanaman, seperti Aprikot Jepang,

Nanten, Kumazasa, dan Yuzuriha.

Kadomatsu pertama dengan bambu yang ujungnya dipotong diagonal

dibuat oleh Tokugawa Ieyasu. Di malam tahun baru, keluarga Matsudaira yang

kalah dalam Pertempuran Mikatagahara (1572) menerima puisi bernada mengejek

dari Takeda Shingen. Ieyasu begitu marah dan memenggal bambu hiasan

(50)

kadomatsu di rumah keluarga Matsudaira selalu dipotong diagonal sebagai

lambang ambisi memotong leher Shingen. Kebiasaan ini meluas ke seluruh

Jepang setelah menjadi tradisi di daerah Kanto di masa Keshogunan Edo.

Di zaman sekarang, kadomatsu bisa dibeli di toko bunga, toko

tanaman, dan toko perkakas rumah tangga, harga kadomatsu sering sudah

termasuk pengantaran, pemasangan, dan penjemputan. Kadomatsu yang selesai

dipajang biasanya dibuang, sehingga dikritik sebagai sebab perusakan alam dan

sumber sampah. Poster bergambar kadomatsu belakangan ini sering digunakan

sebagai pengganti kadomatsu. Dan sebagi ritualnya bahwa kodamatsu juga

mempunyai tujuan, Upacara Matsu-mukae (menyambut pinus) untuk mengambil

dahan pohon pinus dari gunung diselenggarakan sekitar tanggal 10 Desember.

Upacara ini dipercaya untuk menyambut dewa tahun yang tinggal di gunung

untuk pulang ke rumah masing-masing.

Di zaman dulu, kadomatsu sudah dipajang sejak bulan 12 tanggal 20. Di

zaman sekarang, kadomatsu baru dipasang sesudah hari Hari Natal. Menurut

kepercayaan, kadomatsu harus dipasang pada hari baik dan tidak boleh dipasang

pada hari sial. Tanggal 29 bila dibaca dalam bahasa Jepang berbunyi nijūku yang

(51)

dipasang tanggal 29 Desember. Kadomatsu juga tidak dipasang sehari sebelum

tahun baru pada tanggal 31 Desember, dewa tahun dipercaya bakal marah karena

hiasan tahun baru diperlakukan seperti hiasan upacara pemakaman yang cuma

dipajang semalam. Kadomatsu biasanya mulai dipajang sekitar tanggal 27, 28,

atau 30 Desember.

Masa Matsu no Uchi adalah sebutan untuk masa hiasan kadomatsu

masih boleh dipasang dan lamanya berbeda-beda menurut daerahnya di Jepang.

Di sebagian daerah, masa Matsu no Uchi berakhir tanggal 7 Januari dan

kadomatsu sudah harus dibersihkan tanggal 6 Januari sore hari. Di daerah Kansai,

kadomatsu boleh dipasang hingga "tahun baru kecil" tanggal 15 Januari.

Namun Konsep beragama bagi masyarakat Jepang bersifat fungsional,

yaitu suatu sistem kepercayaan yang menganggap manusia memiliki suatu

hubungan dengan Tuhan karena hubungan tersebut mendatangkan manfaat bagi

masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa seseorang melakukan segala bentuk

pemujaan, berupa ritus-ritus dan menjalankan rangkaian upacara-upacara ritual.

Pelaksanaan beragama yang dilakukan masyarakat Jepang dalam

ritus – ritus kemanusiaan adalah berbeda – beda. Keberbedaan tersebut muncul

(52)

perayaan nya bisa dengan menggunakan upacara secara Shinto atau pun Budha.

Kepercayaan merupakan bagian dari ritual hidup. Alam kepercayaan masyarakat

Jepang meyakini jumlah Kami (dewa) sangat banyak, dikatakan 88.000 atau

880.000 kami gami di Jepang. (Situmorang hamzon : 2005).

Dan bentuk Kepercayaan pada alam, meliputi alam ataupun pohon,

gunung, batu, dan lain sebagainya. Kepercayaan tersebut timbul dari mulai adanya

sesuatu yang dapat memberi kekuatan.

3.1.2 Pohon Sebagai Tempat Tinggal Para Dewa

Budha dan Shinto adalah dua agama yang paling banyak dianut orang

Jepang. Bahkan orang tak beragama di Jepang pun setidaknya memiliki altar

Budha atau Shinto di rumahnya. Agama Budha baru masuk ke Jepang sekitar

abad ke-5. Ajaran agama Budha di Jepang mempercayai dewa matahari atau

dikenal dengan nama Amaterasu sebagai dewa tertinggi yang dianggap sebagai

penjelmaan Budha Daichi Nyorai. Agama Budha di Jepang yang paling terkenal

adalah ajaran Budha Zen yang diserap dari China. Sama seperti agama Budha di

seluruh dunia, kitab suci agama Budha di Jepang adalah tripitaka. Sedangkan

(53)

Kuil Budha dalam bahasa Jepang disebut o-tera atau ji, ada juga yang

menyebut dengan nama: in, walaupun sangat jarang. Beberapa kuil Budha yang

sangat terkenal di Jepang antara lain Horyuu-ji di Nara. Kuil Horyuu yang

merupakan kuil Budha tertua di Jepang itu terkenal akan bengunan kayunya yang

dianggap bangunan kayu tertua di dunia. Ada juga kuil Kinkaku-ji dan Ginkaku-ji

yang terkenal karena bangunannya dilapisi emas dan perak.

Ciri utama dari arsitektur kuil Budha adalah bangunannya yang mirip

bangunan tradisional Jepang. Terdiri dari tiang kayu yang tinggi dan tebal, di

mana setiap tiang menyangga sebuah besi besar untuk menahan bangunan kuil.

Atap kuil-kuil Budha di Jepang berbeda satu sama lain, namun pada umumnya

dipasang berdasarkan konsep atap bertumpuk. Kuil-kuil tua di Jepang kini

atapnya sudah dirombak mengikuti desain modern, sedangkan atap kuil-kuil yang

baru kebanyakan dipasang dengan atap gaya modern yang lebih datar. Setiap kuil

Budha memiliki 3 bangunan dasar, yaitu sebuah tou (pagoda) dengan tiga atau

lima tingkatan, sebuah kondo / honden berupa halaman utama yang sangat luas

yang terletak di depan kuil, dan sebuah kodo (ruangan utama biara).

Bagunan utama kuil Budha sendiri dikenal dengan sebutan garan haichi.

(54)

menara, kondo dan kodo yang berdiri sepanjang arah selatan ke utara. Di arah

sayap barat dan timur gerbang terdapat koridor yang menghubungkan ke sebelah

utara kodo dan bersatu dengan serambi di sekeliling pagoda dan ruang utama kuil.

Pola bangunan semacam ini sebenarnya mengikuti pola kuil Budha di China.

Banyak kuil terkenal di Jepang yang dibangun berdasarkan pola kuil china,

contohnya Enryaku-ji yang terletak di puncak Gunung Hiei, timur laut Kyoto.

Posisi kuil di atas gunung dipercaya bisa melindungi kota dari roh jahat.

Agama Shinto muncul di Jepang pada abad ke-6 yang dianggap sebagai

agama asli orang Jepang. Nama Shinto berasal daro huruf kanji kami (dewa /

tuhan) dan michi (jalan) yang pelafalannya diserap dari bahasa mandarin menjadi

shin dan tou, yang artinya “Jalan dewa / tuhan”. Ajaran agama Shinto sendiri

mengacu pada kepercayaan konfusianisme di China. Sistem kepercayaan yang

dianut agama ini animisme karena mempercayai banyak dewa. Menurut agama

Shinto, setiap benda atau tempat terdapat kami, mulai dari batu, pohon, air terjun,

gunung, hewan, bahkan roh orang meninggal. Karenanya tak heran agama Shinto

melakukan penyembahan pada arwah leluhur / nenek moyang. Karena begitu

banyaknya kami dalam agama Shinto, maka muncul sebutan yaoyorozu no Kami

(55)

Walaupun demikian, kami yang paling banyak disembah umat Shinto

adalah Amaterasu Omikami (Dewa Matahari). Karena itu ajaran agama Shinto

pun memuja kaisar Jepang yang dianggap keturunan Amaterasu. Berbeda dengan

agama lain, dalam agama Shinto tidak ada ajaran yang pasti, tidak ada tempat

ibadah khusus, tidak ada dewa yang benar-benar dianggap paling suci, dan tak ada

cara yang pasti bagaimana penyembahan pada para kami. Hal ini disebabkan

agama Shinto percaya bahea kami hidup berpindah-pindah tempat.

Agama Shinto dibagi menjadi 4 bagian, yaitu jinja-shinto (Agama Shinto

tertua yang menjadi pedoman tradisi Shinto masa kini), shuuha-shinto (Agama

Shinto yang berkembang sejak abad 19. mereka tidak memiliki tempat ibadah,

namun suka melakukan pemujaan pada kami di gunung, seprti gunung Fuji),

minzoku-shinto (Agama Shinto yang mempercayai roh-roh dan dewa-dewa, Suka

melakukan upacara pemasukan dan pengusiran roh), serta kokka-shinto (Agama

Shinto yang hanya berkembang pada periode Meiji, di mana kaisar dianggap

sebagai tuhan).

Setelah masuknya agama Budha, kuil-kuil Shinto mulai dibangun

sebagai rumah bagi para kami secara permanent (shaden). Shaden yang pertama

(56)

Jepang disebut jinja atau o-miya. Yang membedakan bangunan kuil Shinto

dengan kuil Budha adalah adanya sebuah gerbang merah torii. Gerbang torii

dipercaya merupakan palang yang memisahkan dunia manusia dengan dunia

tempat tinggal kami. Sebuah jinja biasanya terdapat honden dan haiden. Honden

adalah sebuah bangunan suci yang dipercaya terdapat goshintai (tubuh suci

kami), karenanya tidak boleh dimasuki orang sembarangan.

Sedangkan haiden merupakan bangunan yang bebas dimasuki orang

awam. Honden yang berupa ruangan kecil tak berdekorasi ini terletak di belakang

haiden. Di beberapa jinja yang terkenal, di dekat gerbang torii terdapat shamushi

(ruangan tempat tinggal pengurus jinja) dan chouzuya atau tempat menyucikan

diri sebelum masuk kuil. Di tempat tersebut terdapat bashin, berupa bak berisi air

dan gayung kecil untuk minum atau mencuci muka dan mencuci tangan. Di

sekitar bagunan jinja juga selalu terdapat beberapa dekorasi seperti koma-inu

(pantung anjing), toro (lentera), romon (gerbang menara), kaguraden (pavilion

tari Shinto), tamagaki (pagar kuil), dll. Sejak periode Nara hingga awal periode

Meiji, jarang sekali ditemukan adanya kuil Budha yang dibangun di dekat kuil

Shinto, namun ada juga jinja yang di dalamnya terdapat kuil Budha, disebut

(57)

ada juga seorang kannushi yang bertindak selaku pemimpin upacara pemujaan.

Sedangkan jinguji dijaga oleh pendeta Budha.

Pohon dalam kehidupan bisa banyak kegunanaanya. Pohon bagi

masyarakat Jepang memiliki lambang dalam awal musim, terlebih dalam

perkembangan bunga pohon,ada sakura, persik dan lain – lain. Dan keberadaan

pohon juga tidak hanya dalam fungsi untuk seni karya, peralatan hidup, namun

berfungsi juga sebagai spiritual. masyarakat Jepang meyakini adanya suatu tempat

yang digunakan para dewa sebagai tempat tinggal dan tempat untuk

memperhatikan manusia, tempat tersebut adalah Pohon.

3.2 Pohon Sebagai Tempat Penyembahan

Dalam pembahasan Pohon sebagai tempat penyembahan, dapat kita

katakan bahwa Jepang mempercayai isi alam, artinya apa yang dianggap bisa

memberi kekuatan. Seperti dalam kepercayaan yang dijadikan dalam kehidupan

bahwa bukan hanya pada pegangan agama. Posisi pohon yang dianggap sebagai

tempat tinggal para dewa dan lagi pohon juga kuat hubungan dengan beberapa

mitologi. Dan sebagai contoh bisa kita lihat pada perayaan tanabata yang

(58)

Dari legenda dapat dipahami bahwa pohon secara tidak langsung

dapat dipercayai menjadi perwujudan keinginan. Jika bicara soal legenda, maka

salah satu legenda yang dikenal dan dirayakan paling meriah di Jepang adalah

legenda Tanabata. Mirip dengan legenda hagoromo yang menjadi ide cerita anime

Ayashi no ceres, maka pada tanabata pun berkisah di sekitar masalah romance.

Tanabata dirayakan oleh banyak kaum muda Jepang pada setiap tanggal 7 juli

(kadang ada yang merayakannya pada tanggal 7 bulan 7 berdasarkan penanggalan

bulan). Festival tanabata yang paling ramai biasanya dilakukan di dua tempat,

yaitu Sendai (di wilayah Miyagi) dan Hiratsuka (di wilayah Kanagawa). Tanabata

dilakukan mereka bukan pada hari itu saja, malah beberapa hari sebelum tiba

tanggal 7, orang-orang telah mulai menulis harapan mereka atau puisi yang ditulis

dalam kertas berwarna warni, yang kemudian di gantung pada potongan dahan

bambu.

Jika tidak memiliki pohon bambu, maka biasanya mereka berkumpul di

taman kota dengan menggunakan yukata sambil menikmati udara musim panas,

dan menggantung kertas harapan mereka pada dahan bambu bersama

kertas-kertas milik orang lain di sana. Pemandangan ini amat indah, hampir sama dengan

(59)

panas.Orang-orang ini biasanya menggunakan malam itu untuk bersama teman-teman,

menyalakan lentera, bergembira sambil bernyanyi dan bersenda gurau. Salah satu

lagu yang dinyanyikan adalah lagu tanabata. Kalau sudah begini, semua orang

akan berharap agar malam ini cuaca cerah dan tidak akan turun hujan. Setelah

lewat malam itu, maka orang-orang akan menghanyutkan dahan bambu itu ke

sungai, atau menggunakannya sebagai orang-orangan sawah, yang melambangkan

tolakan terhadap bala kesialan. Bahkan kadang bukan hanya lembaran kertas

warna warni saja yang tergantung di sana, melainkan juga hiasan dalam bentuk

lainnya, yang masing-masing memliki makna tersendiri.

Contoh hiasan itu adalah:

 Sasaki: untaian yang terbuat dari kertas washi yang berwarna warni,

melambangkan untaian benang yang ditenun oleh Shokujo.

 Senbatsuru: origami berbentuk bangau yang melambangkan harapan

bagi keselamatan dan kesehatan keluarga ( di Jepang bangau

melambangkan kehidupan 1000 tahun, dan juga hewan ini bisa terbang

sangat tinggi higga ke gugusan bima sakti)

Referensi

Dokumen terkait

a) Tanda sertifikasi hanya berhak digunakan bagi klien MUTU International dengan status sertifikasi aktif. Sertifikasi aktif diartikan sebagai sertifikat yang tidak dalam

Substitusi media MS dengan pupuk daun penuh belum dapat menunjukkan hasil yang setara dibandingkan dengan penggunaan media MS dalam perbanyakan tunas pisang secara

John dan Bowyer (1986) menyatakan bahwa kulit batang akasia mengandung lignin dan polisakarida. Diharapkan bahan ini jika melapuk akan terurai menjadi bahan yang lebih

“Kuliah tidak hanya menyoal capaian akademik dalam bentuk angka, tetapi juga berkesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan mengasah kemampuan yang kita miliki dari

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupten Blitar kedudukannya diatur dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Blitar nomor 6 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Adapun maksud visi tersebut dijelaskan sebagai berikut: Masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang sehat, terdidik dan memiliki kemampuan ekonomi yang

Dari hasil uji-coba terhadap sistem pengenalan individu berbasis warna iris dengan dukungan algorima yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa sistem yang dikembangkan

Adapun maksud dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengisolasi senyawa aktif antioksidan daro ekstrak kulit pisang ambon (Musa acuminata Colla) dengan menggunakan