• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Jenis Burung dan Kondisi Cuaca pada Tenggeran Buatan di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Jenis Burung dan Kondisi Cuaca pada Tenggeran Buatan di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data TBK dan TBB di tiga daerah pengamatan

Lampiran 2. Data kelembaban di tiga daerah pengamatan

Daerah Tenggeran

Pengamatan ke-

1 2 3 4

Pagi Sore Rata-rata Pagi Sore Rata-rata Pagi Sore Rata-rata Pagi Sore

Pepohonan 79 73 76 70 73 71,5 76 70 73 72,5 68

Alang-alang 67 67 67 86 70 78 86,5 63 74,75 72,5 66

Lahan Kosong 91,5 89,4 90,45 95 83 89 87 87 87 79 91

Pengamatan/ Daerah Pepohonan Alang-alang Lahan Kosong

TBK TBB TBK TBB TBK TBB

1 Pagi 28 25,5 31 27 26,5 25,5

Sore 30 27 31 26 30 28,8

2 Pagi 30 26 26 25,5 25 24,5

sore 30 29,5 31 27 31 29

3 Pagi 29 26 26,5 25 27 26

Sore 31 27 35,5 32 31 30

4 Pagi 29,5 27 29,5 25 29 27,5

Sore 33,5 30 35 31 30 29

5 Pagi 26,5 25 28 26 28 26

(2)
(3)

Lampiran 4. Foto jenis0jenis burung yang ditemukan di lapangan Daerah pepohonan

Merbah Cerukcuk (Phycnonotus goiavier)

Punai Gading (Theron vernans)

Kirik-kirik Biru (Merops viridis)

Sumber: Duma (2013)

Sumber: Duma (2013)

(4)

Bondol Haji (Lonchura maja)

Perenjak Rawa (Prinia flaviventris) Daerah alang-alang

Merbah Cerukcuk (Phycnonotus goiavier)

Sumber: Duma (2013)

Sumber: Duma (2013)

(5)

Perenjak Rawa (Prinia flaviventris)

Bondol Haji (Lonchura maja)

Kirik-kirik Biru (Merops viridis)

Sumber: Duma (2013)

Sumber: Duma (2013)

(6)

Daerah lahan kosong

Merbah Cerukcuk (Phycnonotus goiavier)

Perenjak Rawa (Prinia flaviventris)

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor .

Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Bogor.

Anonim. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta.

Anonim. 2010. Rencana Pengelolaan TNGL 2010-2029. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Medan.

Anonim. 2011. Bagaimana Restorasi Dilakukan. OIC (Orangutan Information Centre). Press. Medan.

Ayat, A. 2011. Burung-burung Agroforest di Sumatera. In: Mardiastuti A, eds. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 112 p.

Bibby, C., Martin, J., Stuart, M. 2000. Teknik-Teknik Survey Burung. Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL), penerjemah. Birdlife International Indonesia Programme. Bogor.

Brotowidjoyo, D.M. 1994. Zoologi Dasar. Yogyakarata: Erlangga.

Burhanuddin. 1989. Memperbaiki Habitat Satwa, Media Konservasi Jilid II. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Duma, F. S. 2013. Identifikasi Keanekaragaman Jenis Burung Di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser. (Skripsi) Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan.

Ensiklopedi Indonesia. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta.

Fachrul, Melati F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Helvoort, B. V. 1981. Bird Populations in The Rural Ecosistems of West Java.

Nature Conservation Department. Netrherlands.

(8)

Howes, J, Bakewell D, Noor YR. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Wetlands International - Indonesia Programme, Bogor.

Jati, A. 1998. Kelimpahan dan Distribusi Jenis-jenis Burung Berdasarkan Fragmentasi dan Stratifikasi Habitat Hutan Cagar Alam Langgaliru Sumba. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Kutilang Indonesia for Bird Conservation. 2004. Kabar Burung, Mengapa Burung Terbang. Yogyakarta.

Lakitan, B., 1994. Dasar Klimatologi. PT Ragagrafindo Persada, Jakarta.

Mackinnon, J. 1995. Panduan lapangan pengenalan burung-burung dijawa dan bali. Gadjah mada university press. Yogyakarta.

Mangurran, A. e. 1988. Ecological diversity and its measurement. Croom helm Limited. London.

Michael, 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium. Universitas Indonesia. Jakarta.

Peterson, R. T. 1980. Burung. Pustaka Alam Life, Tiara Pustaka. Jakarta. Pettingill, Olin Sewall. 1955. A Laboratory ang Field Manual of Ornithology.

Third Edition. Burgess Publishing Company. 426 South Sixth St.- Minneapolis 15. Minn.

Priatna, D. 2002. Pemulihan Hutan Tropika Tanah Bekas Tebangan serta Dampak Penebangan Terhadap Populasi Primata dan Keanekaragaman Burung. Thesis. Universitas Indonesia. Jakarta. Hal : 42-43.

Primack, J.B.; J. Supriatna; M. Indrawa & P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Rahmawaty, D. Priyatna, dan Azvy, T. S. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Habitat Terbuka dan Tertutup di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Rusmendro, H. 2004. Bahan Kuliah Ornithology. Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta.

Shannaz, J, Jepson P dan Rudyanto. 1995. Burung-burung Terancam Punah di Indonesia. PHPA/Birdlife International Indonesia Programme.

Soemadi, W. 1999. Pakar Burung. Jakarta: Penebar Swadaya.

(9)

Sozer, R, Y Saaroni, PF Nurwatha. 1999. Jenis-jenis Burung dilndungi yang sering diperdagangkan. Yayasan Pribumi Alam Leestari. Bandung.

Sudjana, M. A, Prof, DR. 1989. Metoda Statistik. Edisi ke-5. Penerbit Tarsito. Bandung.

Sukarsono. 2009. Pengantar Ekologi Hewan. Universitas Muhammadiyah. Malang.

Welty, J. C. 1982. The Life of Bird. Saunders College Publishing. Philadelphia. Welty, J.C. and L. Baptista. 1988. The Life of Bird. Sounders College Publishing.

New York.

(10)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini di lakukan di tiga titik pengamatan di kawasan restorasi, yaitu daerah pepohonan, alang-alang dan lahan kosong di Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser pada bulan Mei 2014.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera, alat tulis,jam,thermometer air raksa, pipet tetes, binokuler, buku panduan lapangan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tally sheet, tenggeran burung (±2m), benang, kapas, akuades dan tabel RH (Relative Humidity/ kelembaban).

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan Data di Lapangan

Penelitian ini menggunakan metode Indices Ponctuels d’Abondance/ Index

Point of Abundant (IPA-Count). Metode ini merupakan salah satu metode yang

tidak memerlukan luas tempat pengambilan contoh atau suatu luas kuadrat tertentu. Cara ini terdiri dari suatu seri titik-titik yang telah ditentukan di

lapangan, dengan letak bisa tersebar secara random atau merupakan garis lurus (berupa deretan titik-titik). Umumnya dilakukan dengan susunan titik-titik

(11)

Pengamatan dilakukan di tiga tipe lahan penelitian, yaitu daerah pepohonan, daerah alang-alang dan daerah lahan kosong, dimana pada masing-masing titik pengamatan ditetapkan 45 tenggeran. Sehingga jumlah keseluruhan tenggeran ada 135 tenggeran.

Gambar 2. Deskripsi lokasi penelitian di kawasan restorasi

Di setiap titik pengamatan dilakukan pengamatan sebanyak 5 kali. Pengamatan dilakukan 1 hari/ titik pengamatan. Pengamatan dilakukan pada pagi hari pukul 06.30-09.00 WIB dan sore hari pukul 15.00-18.00 WIB. Pengamatan tidak dilakukan pada siang hari karena apabila hari sudah siang, burung sudah terbang jauh untuk mencari makan. Pada pagi hari, burung akan memulai aktifitasnya untuk mencari makan dan berpindah tempat dan akan kembali pada sore hari. Apabila hari hujan atau badai maka tidak dilakukan pengamatan kerena burung tidak akan mengeluarkan banyak energi untuk terbang dan burung akan bersembunyi di ranting-ranting pohon, sehingga burung akan jarang ditemukan jika hujan turun.

(12)

Analisis Data

Keanekaragaman Hayati

Kekayaan jenis burung ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus (Mangurran, 1988):

H’ = -∑ Pi In Pi, dengan Pi =∑

Keterangan:

ni = Jumlah individu spesies ke-i

N = Total jumlah individu semua jenis yang ditemukan

Menurut Magurran (1988), nilai Indeks keanekaragaman burung berkisar antara 1,5-3,5. Nilai <1,5 menunjukkan indeks keanekaragaman yang rendah, selanjutnya nilai yang berkisar antara 1,5 – 3,5 menunjukkan indeks keanekaragaman sedang dan nilai >3,5 menunjukkan keanekaragaman yang tinggi.

Kelimpahan Burung

Analisis kelimpahan burung dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Bibby, dkk, 2000):

TPJ = x 10 jam Dimana TPJ = tngkat pertemuan jenis

t = waktu yang dibutuhkan untuk pengamatan

Berdasarkan tingkat pertemuan jenis dilapangan, dapat ditentukan katagori kelimpahan relatife menjadi lima kelas, yaitu:

(13)

Sering : 2,1-10,0 Umum : 10,1-40,0 Melimpah : >40,0

Suhu dan Kelembaban

Dalam pengukuran suhu dan kelembaban, digunakan thermometer air raksa, dengan cara diikatkan 2 buah thermometer air raksa di tenggeran burung dengan menggunakan benang.Lalu balut 1 thermometer dengan kapas lalu basahi kapas dengan akuades menggunakan pipet tetes dan thermometer satu lagi tidak dibuat perlakuan.Suhu dan kelembaban dihitung pada pagi dan sore hari selesai jam pengamatan dilakukan. Di hitung suhu rata-rata dan kelembaban rata-rata setiap daerah, dengan rumus:

Suhu rata-rata =

Dimana: T = –

RH rata-rata = Dimana: RH = TBK – TBB

RH 1,…5 = Keterangan:

(14)

RH1 = Kelembaban pada pengamatan ke-1 RH2 = Kelembaban pada pengamatan ke-2 RH3 = Kelembaban pada pengamatan ke-3 RH4 = Kelembaban pada pengamatan ke-4 RH5 = Kelembaban pada pengamatan ke-5

Untuk mengetahui seberapa besar keterkaitan antara suhu dan jumlah burung dilakukan analisa regresi yaitu regresi parabola kuadratik yang ditunjukkan dengan menghitung koefisien korelasinya. Harga koefisien korelasi terletak antara -1 ≤ r ≤ +1 (Sudjana, 1989).

Curah Hujan

Data curah hujan diperoleh dari tim restorasi. Kriteria bulan basah dan bulan kering (sesuai dengan kriteria Mohr) adalah:

1. Bulan Basah (BB) bulan dengan curah hujan > 100 mm

(15)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman dan Kelimpahan Jenis Burung

Dari hasil pengamatan, diperoleh sebanyak 5 jenis burung yaitu bondol haji (Lonchura maja), kirik-kirik biru (Merops viridis), merbah cerukcuk (Phycnonotus goiavier), perenjak rawa (Phycnonotus goiavier), punai gading (Theron vernans)dan 5 famili, yaitu Ploceidae, Meropidae, Pycnonotidae, Silviidae, columbidae.

Pada ketiga daerah memiliki keanekaragaman yang rendah yaitu <1,5 (tabel 3). Hal ini sesuai dengan pernyataan Magurran (1988) bahwa nilai indeks keanekaragaman burung berkisar 1,5-3,5. Indeks keanekaragaman diketiga daerah rendah dikarenakan kestabilan komunitasnya yang rendah, dari jumlah burung yang didapat, ada jumlah burung yang jauh lebih banyak dan ada jumlah burung yang jauh lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan kisaran indeks keanekaragaman Shannon-weinner bahwa jika H’<2,3026 keanekaragaman kecil dan kestabilan komunitas rendah. Jika 2,3026<H’<6,9078 keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang. Jika H’>6,9078 keanekaragaman tinggi dan

(16)

Tabel 3. Data Keanekaragaman burung di daerah pepohonan, alang-alang dan lahan kosong

Nama latin Keanekaragaman (H’)

Pepohonan Alang-alang Lahan kosong

Lonchura maja 0,30 0,27 -

Merops viridis 0,30 0,18 -

Phycnonotus goiavier 0,32 0,28 0,12

Prinia flaviventris 0,14 0,27 0,26

Theron vernans 0,14 - -

Total 1,20 1,01 0,38

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman yang paling besar terdapat pada daerah pepohonan, yaitu sebesar 1,20, hal ini dikarenakan daerah pepohonan dikelilingi oleh hutan primer, alang-alang dan semak-semak. Pada daerah ini banyak ditemukan jenis merbah cerukcuk yang bertengger secara berkelompok. Hal ini sesuai dengan kebiasaan merbah cerukcuk yang sering berkelompok dan berkumpul beramai-ramai di tenggeran.

Saat pengamatan dilakukan dilapangan, pada daerah pepohonan banyak terlihat jenis burung lain seperti srigunting, gagak, rangkong, hal ini dikarenakan daerah pepohonan dekat dengan hutan primer yang merupakan habitat asli burung. Tetapi karena tinggi tenggeran buatan yang jauh lebih pendek dibanding pepohonan disekitar tenggeran buatan dan kekuatan tenggeran buatan jauh lebih lemah dibanding pepohonan, oleh sebab itu hanya burung-burung berukuran kecil, yang memiliki kemampuan terbang yang pendek dan burung pemakan serangga dan buah-buah kecil saja yang datang untuk bertengger. Keanekaragaman pada daerah alang-alang hampir sama dengan pepohonan, hal ini dapat dilihat dari

(17)

keanekaragaman yang lebih sedikit yaitu 0,38. Hal ini disebabkan daerah lahan kosong berada di pinggir hutan, yang jauh dari hutan primer, diantara semak, hutan sekunder, perbatasan jalan, dan pada daerah ini sangat sedikit ditemukan sumber makanan untuk burung. Keadaan ketiga daerah tenggeran burung dapat dilihat dari Gambar 4.

a b. c.

Gambar 4. a. Keadaan daerah alang-alang, b. keadaan daerah pepohonan, c. Keadaan daerah lahan kosong.

Menurut Ensiklopedi Indonesia (1992) bahwa ada burung yang hidup di hutan lebat, hutan kurang lebat, semak-semak, dan rerumputan. Sebaliknya ada juga burung yang hidup di lapangan terbuka tanpa atau dengan sedikit tumbuhan. Kebanyakan burung-burung ini menemukan makanannya pada tumbuhan atau di tanah. Ada burung yang menangkap burung yang lebih kecil atau serangga sebagai makanannya.

(18)

Jumlah dan jenis individu yang diperoleh dari penelitian ini jauh lebih sedikit dibanding kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Duma, dkk (2013). Hasil penelitian ini diperoleh 5 jenis burung dan 5 famili dengan total idividu 68 sedangkan hasil penelitian Duma, dkk (2013) diperoleh hasil sebanyak 45 jenis burung dan 22 famili dengan total individu sebanyak 726 individu. Perbedaan yang sangat jauh dikarenakan perbedaan teknik dalam mengumpulkan data

dilapangan, penelitian ini menggunakan tenggeran buatan sedangkan Duma, dkk (2013) menggunakan jaring burung. Selain itu luasan kawasan yang di

gunakan dalam penelitian ini lebih kecil di banding Duma, dkk (2013), penelitian ini seluas 100m sedangkan Duma, dkk (2013) seluas 800m.

Menurut Bibby (2000) kelimpahan burung dapat dihitung dari jumlah individu total per lama pengamatan dikali 10 jam sehingga dapat diperoleh kelimpahan burung di daerah pepohonan, alang-alang dan lahan kosong. Komposisi jenis burung berdasarkan kelimpahan relatif di daerah pepohonan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 . Kelimpahan jenis burung berdasarkan tingkat pertemuan di daerah pepohonan

Kelas Kelimpahan Jenis Burung Kelimpahan Jlh Spesies Tingkat pertemuan

Sering Lonchura maja 2,1-10,0 4 6,67

Sering Merops viridis 2,1-10,0 4 6,67

Umum Phycnonotus goiavier 10,0-40,0 13 21,67 Tidak umum Prinia flaviventris 0,1-2,0 1 1,67

Tidak umum Theron vernans 0,1-2,0 1 1,67

Dilihat dari kelas kelimpahannya, jenis burung Lonchura maja dan

Merops viridis tergolong ke dalam jenis yang sering ditemukan dengan nilai

(19)

tidak umum dijumpai. Jenis Prinia flaviventris merupakan jenis pemakan serangga yang banyak hidup diantara alang-alang sedangkan jenis Theron vernans merupakan jenis pemakan buah yang memiliki ukuran yang lebih besar dari jenis lainnya, oleh karena itu, jenis burung ini hanya singgah sebentar di tenggeran yang paling besar dan ketika tenggeran bergoyang, jenis ini langsung terbang. Komposisi jenis burung berdasarkan kelimpahan relatif di daerah alang-alang dapat dilihat dari Tabel 5.

Tabel 5. Kelimpahan jenis burung berdasarkan tingkat pertemuan di daerah alang-alang

Kelas Kelimpahan Jenis Burung Kelimpahan Jlh Spesies Tingkat pertemuan

Sering Lonchura maja 2,1-10,0 4 6,67

Sering Merops viridis 2,1-10,0 2 3,33

Umum Phycnonotus goiavier 10,1-40,0 19 31,67

Sering Prinia flaviventris 2,1-10,0 4 6,67

Jenis burung Merops virdis, Lonchura maja dan Prinia flaviventris tergolong kedalam jenis yang sesekali dijumpai. Sedangkan Phycnonotus

goiavier tergolong kedalam jenis umum kerena jenis burung ini yang paling

banyak jumlahnya di kawasan restorasi. Jenis Prinia flaviventris banyak bersembunyi di alang-alang untuk mencari serangga sebagai makanannya Komposisi jenis burung berdasarkan kelimpahan relatif di daerah lahan kosong dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kelimpahan jenis burung berdasarkan tingkat pertemuan di daerah lahan kosong

Kelas Kelimpahan Jenis Burung Kelimpahan Jlh Spesies Tingkat pertemuan

Umum Phycnonotus goiavier 10,1-40,0 14 23,33

Sering Prinia flaviventris 2,1-10,0 2 3,33

Jenis Phycnonotus goiavier tergolong kedalam jenis umum dan

Prinia flaviventris tergolong ke dalam jenis sering. Di daerah ini hanya ada 2

(20)

vegetasi di hutan, semakin banyak pula kelimpahan burung di kawasan tersebut, sehingga banyak burung yang hanya terbang diatas lahan kosong tersebut.

Dari ketiga daerah, yaitu pepohonan, alang-alang dan lahan kosong, jenis

Phycnonotus goiavier yang paling banyak dijumpai. Hal ini sama dengan hasil

penelitian Duma, dkk (2013) yang memperoleh jumlah Phycnonotus goiavier sebanyak 104 ekor. Phycnonotus goiavier banyak dijumpai karena sumber makanan untuk jenis burung ini lebih banyak ditemukan di kawasan restorasi, seperti serangga dan buah makaranga (Macaranga indica). Hal ini sesuai dengan pernyataan Peterson (1980) yang menyatakan bahwa penyebaran burung sangat erat kaitannya dengan ketersediaan pakan.

Selain keadaan daerah, kelerengan, bentuk tenggeran dan luas daerah juga mempengaruhi kelimpahan burung. Semakin luas habitat semakin tinggi pula kelimpahaan burungnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo (2006) bahwa hutan yang luas merupakan habitat yang sesuai bagi burung. Semakin tinggi tenggeran dan semakin baik bentuk tenggerannya maka semakin besar kemungkinan burung akan singgah. Tapi karena memakai 135 tenggeran, maka tenggeran yang digunakan hanya dari ranting-ranting pohon yang sudah mati untuk menghemat waktu dan biaya, tenggeran buatan yang lebih baik dapat dilihat pada tenggeran burung di kawasan restorasi satu tahun yang lalu pada Gambar 5.

(21)

Suhu dan Kelembaban

A. Pepohonan

Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan thermometer bola basah dan thermometer bola kering yang diletakkan di tenggeran buatan. . Data suhu dan kelembaban pada daerah pepohonan dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Hasil penelitian di daerah pepohonan pada pagi hari, jam 06.30-09.00 WIB

Pengamatan

Tingkat pertemuan jenis berdasarkan kelembaban relative

Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa pada suhu 30OC dengan kelembaban 70% diperoleh jumlah burung yang paling banyak berteger di pepohonan yaitu sebesar 5 ekor. Sedangkan pada suhu 26,5OC dengan kelembaban 86,5% diperoleh jumlah burung terendah yaitu 2 ekor.

Tabel 8. Hasil penelitian di daerah pepohonan pada sore hari, jam 15.00 – 18.00 WIB

Pengamatan

Tingkat pertemuan jenis berdasarkan kelembaban relative

(22)

B. Alang-alang

Data suhu dan kelembaban pada daerah alang-alang dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 9. Hasil penelitian di daerah alang – alang pada pagi hari, jam 06.30-09.00 WIB

Pengamatan

Tingkat pertemuan jenis berdasarkan kelembaban relative

Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa pada suhu 31OC dengan kelembaban 67% diperoleh jumlah burung yang paling banyak berteger di pepohonan yaitu sebesar 5 ekor. Sedangkan pada suhu 26OC dengan kelembaban 86% dan suhu 28 OC dengan kelembaban 75% diperoleh jumlah burung yang paling sedikit bertengker di pepohonan yaitu sebesar 3 ekor.

Tabel 10. Hasil penelitian di daerah alang – alang pada sore hari, jam 15.00-18.00 WIB

Pengamatan

(23)

seperti ini mengakibatkan tidak adanya burung yang bertengger di daerah tersebut bahkan merbah cerukcuk yang paling banyak populasinya di kawasan restorasi pun tidak ditemukan karena sangat berpengaruh terhadap biologis burung tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Welty dan Baptista (1988) yang menyatakan bahwa penyebaran dan populasi burung di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor fisik/lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari dan faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya.

C. Lahan kosong

Data suhu dan kelembaban pada daerah lahan kosong dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12.

Tabel 11. Hasil penelitian di daerah lahan kosong pada pagi hari, jam 06.30-09.00 WIB

Pengamatan

Tingkat pertemuan jenis berdasarkan kelembaban relative

Jlh Merbah cerukcuk Perenjak rawa

I 26,5 91,5 2 0 2 sebesar 8 ekor. Sedangkan pada suhu 25OC dengan kelembaban 95% diperoleh 1 ekor burung yang bertengger.

Table 12. Hasil penelitian di daerah lahan kosong pada sore hari, jam 15.00-18.00 WIB

Pengamatan ke- Suhu (OC)

RH (%)

Tingkat pertemuan jenis berdasarkan kelembaban relative

Jlh Merbah cerukcuk Perenjak rawa

I 30 89,4 3 0 3

II 31 83 0 0 0

III 31 87 1 0 1

IV 32 77 0 1 1

(24)

Dari tabel 12 dilihat bahwa pada suhu 30OC dengan kelembaban 89,4% diperoleh jumlah burung yang paling banyak berteger di pepohonan yaitu sebesar 3 ekor. Sedangkan pada suhu 31OC dengan kelembaban 83% tidak ditemukan adanya burung yang bertengger.

Dari tabel 7-12 dapat dilihat bahwa pada suhu 300C dan 310C burung paling banyak dijumpai sebanyak 32 ekor selama 11 kali pengamatan (pagi dan sore). Sedangkan pada suhu 33-35,50C hanya 1 ekor selama 5 kali pengamatan (pagi dan sore). Pada kelembaban sekitar 70% burung banyak dijumpai diketiga daerah yaitu 36 ekor selama 12 kali pengamatan (pagi dan sore) dan sedikit dijumpai pada kelembaban sekitar 90% yaitu 5 ekor selama 3 kali pengamatan (pagi dan sore) . Kelembapan merupakan faktor dari curah hujan dan suhu yang menentukan ada atau tidaknya beberapa tumbuhan dan hewan di dalam suatu habitat. Semakin tinggi kelembaban di suatu daerah, semakin banyak ketersediaan air di daerah tersebut. Hal ini akan berpengaruh terhadap kelimpahan serangga dan vegetasi yang ada di suatu daerah. Semakin banyak ketersediaan serangga dan vegetasi di suatu daerah, semakin banyak pula kelimpahan burung di daerah tersebut.

Korelasi Antara Suhu dan Jumlah Burung

(25)

a

b

c

Gambar 6. (a) Korelasi suhu dan jumlah burung di daerah pepohonan, (b) Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari di daerah pepohonan, (c) Korelasi suhu dan jumlah burung pada sore hari di daerah pepohonan

y = -0.1824x2 + 10.575x - 150.07

korelasi antara suhu dan jumlah burung di daerah pepohonan

y = 0.2284x2 - 12.254x + 166.46

Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari di daerah pepohonan

(26)

Pada gambar 6a didapat persamaan kuadrat y= -0,1824x2+10,575x-150,07. Pada gambar 6b didapat persamaan kuadrat y = 0.2284x2 - 12.254x + 166.46 dan pada gambar 6c di dapat persamaan kuadrat y = 0.4293x2 - 28.086x + 459.18. Nilai a>0 menyebabkan parabola terbuka keatas, a<0 akan menyebabkan parabola terbuka kebawah. Nilai b menentukan kira-kira posisi x puncak parabola/ sumbu

simetris cermin dari kurva yang di bentuk posisi tepatnya adalah –b/2a. Nilai c menunjukkan titik potong fungsi parabola yang dibentuk dengan sumbu y atau saat x= 0

Dari gambar 6a di dapat nilai korelasi (r) suhu dan jumlah burung di daerah pepohonan sebesar 0,8407, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 84% dengan suhu optimal sebesar 28,98840C. Dari gambar 6b di dapat nilai korelasi (r) sebesar 0,8560, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 85% dengan suhu optimal 26,8260C. Dari gambar 6c di dapat nilai korelasi (r) sebesar 0,9980, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 99% dengan suhu optimal 32,7110C .

(27)

a

b

c

Gambar 7. (a) Korelasi suhu dan jumlah burung di daerah alang-alang, (b) Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari di daerah alang-alang, (c) Korelasi suhu dan jumlah burung pada sore hari di daerah alang-alang

y = -0.1287x2 + 7.5444x - 106.14

korelasi antara suhu dan jumlah burung di daerah alang-alang

y = 0.1201x2 - 6.5314x + 92.079

Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari di daerah alang-alang,

(28)

Pada gambar 7a didapat persamaan kuadrat y= -0.1287x2+7.5444x-106.14. Pada gambar 7b didapat persamaan kuadrat y = 0.1201x2-6.5314x+92.079 dan pada gambar 7c di dapat persamaan kuadrat y = 0.2006x2 - 14.346x + 256.51. Nilai a>0 menyebabkan parabola terbuka keatas, a<0 akan menyebabkan parabola terbuka kebawah. Nilai b menentukan kira-kira posisi x puncak parabola/ sumbu

simetris cermin dari kurva yang di bentuk posisi tepatnya adalah –b/2a. Nilai c menunjukkan titik potong fungsi parabola yang dibentuk dengan sumbu y atau saat x= 0

Dari gambar 7a di dapat nilai korelasi (r) suhu dan jumlah burung di daerah alang-alang sebesar 0,9136, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 91% dengan suhu optimal sebesar 29,31000C. Dari gambar 6b di dapat nilai korelasi (r) sebesar 0,8502, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 85% dengan suhu optimal 27,1920C. Dari gambar 7c di dapat nilai korelasi (r) sebesar 0,9884, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 98% dengan suhu optimal 35,7580C .

(29)

a

b

c

Gambar 8. (a) Korelasi suhu dan jumlah burung di daerah lahan kosong, (b) Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari di daerah lahan kosong, (c) Korelasi suhu dan jumlah burung pada sore hari di daerah lahan kosong

y = -0.1206x2 + 6.7961x - 93.515

korelasi antara suhu dan jumlah burung di daerah lahan kosong

Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari di daerah lahan kosong

(30)

Pada gambar 8a didapat persamaan kuadrat y= -0.1206x2+6.7961x-93.515. Pada gambar 8b didapat persamaan kuadrat y= -0.1341x2+7.468x-101.86 dan pada gambar 8c di dapat persamaan kuadrat y = 1.25x2-78.25x+1225. Nilai a>0 menyebabkan parabola terbuka keatas, a<0 akan menyebabkan parabola terbuka kebawah. Nilai b menentukan kira-kira posisi x puncak parabola/ sumbu simetris cermin dari kurva yang di bentuk posisi tepatnya adalah –b/2a. Nilai c menunjukkan titik potong fungsi parabola yang dibentuk dengan sumbu y atau saat x= 0

Dari gambar 8a di dapat nilai korelasi (r) suhu dan jumlah burung di daerah alang-alang sebesar 0,6783, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 67% dengan suhu optimal sebesar 28,17620C. Dari gambar 8b di dapat nilai korelasi (r) sebesar 0,9785, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 97% dengan suhu optimal 27,8450C. Dari gambar 8c di dapat nilai korelasi (r) sebesar 0,8987, yang berarti adanya hubungan langsung antara kedua variable suhu dan jumlah burung sebesar 89% dengan suhu optimal 31,30C .

(31)

menunjukkan bahwa burung lebih banyak melakukan aktivitasnya pada rentang suhu antara 28 – 320C dengan suhu optimal pada daerah pepohonan sebesar 29,980C, daerah alang-alang 29,310C, daerah lahan kosong 28,170C. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soewolo (2000) bahwa secara umum aktivitas kehidupan terjadi antara rentangan sekitar 00C-400C.

Curah Hujan

Data curah hujan yang dipergunakan dalam penelitian ini di peroleh dari tim restorasi, yaitu sebanyak 7 data curah hujan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Data curah hujan kawasan restorasi resort sei betung TNGL

(32)

jumlah burung akan semakin berkurang karena burung akan mencari tempat berlindung, burung tidak akan mengeluarkan banyak energi untuk terbang dan burung akan bersembunyi di ranting-ranting pohon. Sehingga curah hujan juga menentukan kelimpahan burung di kawasan tersebut. Keadaan ini menunjukkan bahwa burung merupakan indikator alam.

(33)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Keanekaragaman jenis burung di daerah pepohnan sebesr 1,20 dan kelimpahan burung tertinggi yaitu merbah cerukcuk sebesar 21,67. Suhu optimal pada daerah pepohonan sebesar 29,980C dan kelembaban sekitar 70%.

2. Keanekaragaman jenis burung di daerah alang-alang sebesr 1,01 dan kelimpahan burung tertinggi yaitu merbah cerukcuk sebesar 31,67. Suhu optimal pada daerah pepohonan sebesar 29,310C dan kelembaban sekitar 70%.

3. Keanekaragaman jenis burung di daerah lahan kosong sebesr 0,38 dan kelimpahan burung tertinggi yaitu merbah cerukcuk sebesar 23,33. Suhu optimal pada daerah lahan kosong sebesar 28,170C dan kelembaban sekitar 70%.

4. Nilai r (koefisien korelasi) yang diperoleh dari variable X (suhu) dan Y (jumlah burung) bertanda positif (+) yang menyatakan adanya hubungan langsung antara kedua variabel.

5. Curah hujan sebesar 74,857mm yang termasuk dalam bulan lembab curah hujan juga menentukan kelimpahan burung di kawasan tersebut.

Saran

(34)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Kondisi Lokasi Penelitian

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia dengan luas 1.094.692 hektar yang secara administrasi pemerintahan terletak di dua provinsi, yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang terdeliniasi TNGL meliputi kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang. Sedangkan provinsi Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo dan Langkat. Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan 8laut di Aceh. Taman Nasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Anonim, 2010).

(35)

Gambar 1. Peta kawasan resort sei betung TNGL

Definisi Burung

Burung Adalah vertebrata yang aktif di siang hari dan unik dalam memiliki bulu sebagai penutup tubuh. Dengan bulu itu tubuh dapat mengatur suhu tubuh dan terbang. Dengan kemampuan terbang itu burung dapat mendiami semua habitat (Peterson, 1980).

Burung termasuk dalam kelas Aves, sub Phylum Vertebrata dan masuk ke

dalam Phylum Chordata, yang diturunkan dari hewan berkaki dua (Welty, 1982). Burung dibagi dalam 29 ordo yang terdiri dari 158 famili,

(36)

Tubuh burung dapat dibedakan menjadi bagian-bagian kepala, leher, badan dan anggota. Alat-alat yang terdapat pada kepala ialah paruh, lubang hidung, mata dan lubang telinga luar.Pada pangkal paruh sebelah atas terdapat tonjolan kulit yang lemah yang disebut dengan sora. Mata dikelilingi oleh kulit yang berbulu. Mempunyai pelupuk mata atas dan bawah yang bersifat lunak, dibawahnya terdapat pelupuk mata yang ketiga berupa selaput transparan yang dapat menutupi mata. Di bagian dalam lubang telinga luar, terdapat membrane timpani (selaput pendengaran) yang berguna untuk menangkap getaran suara. Sedanngkan paruh burung berfungsi sekaligus sebagai tangan dan mulut, yaitu membantu untuk mendapatkan dan memegang atau memangsanya, menyelisik bulu-bulunya, mengumpulkan dan menyusun sarangnya dan untuk mempertahankan diri (Brotowidjoyo, 1994).

Burung atau aves adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang

(vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap.Di-perkirakan terdapat sekitar 8.800-10.200 spesies burung di seluruh dunia dan sekitar 1.500 jenis di antaranya

ditemukan di Indonesia serta 465 jenis terdapat di Pulau Sumatera (Primark et al., 1998). IUCN (2004) dalam Wanda (2010) menyatakan bahwa

(37)

(near threatened) sampai terancam punah (endangered), seperti jenis dari famili Bucerotidae.

Keanekaragaman Burung

Keanekaragaman jenis burung dapat digambarkan sebagai kekayaan atau jumlah jenis burung yang ditemukan pada suatu kawasan, dimana secara morfologi dan biologi berbeda antara jenis yang satu dengan jenis lainnya. Dalam ekologi umumnya keanekaragaman hayati mengarah pada komposisi dari suatu profil habitat yang mendukung derajat kelimpahan satwa liar dengan tipe habitatnya. Keanekaragaman jenis burung mengandung beragam manfaat dan memerankan berbagai fungsi, sehingga pelestariannya menjadi sangat penting baik ditinjau dari sudut ekonomi, sosial dan budaya (Alikodra, 1990).

Keanekaragamana jenis burung pada berbagai tipe habitat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Waktu Aktifitas

Jika ditinjau dari waktu aktivitasnya, burung lebih aktif pada waktu pagi hari dan sore hari dibanding pada siang hari. Hal ini menunjukkan bahwa waktu aktivitas burung juga merupakan salah satu penyebab adanya perbedaan keanekaragaman jenis burung (Rahmawaty, 2006). Hume (2003) menyatakan bahwa burung lebih aktif dipagi hari dan menjelang sore, disebabkan pada waktu inilah burung keluar untuk mencari makan dengan mengeluarkan suara-suara merdunya.

2. Ketersediaan Makanan Utama Bagi Burung

(38)

tingkat ketersediaan makanan maka semakin tinggi pula keanekaragaman jenis burungnya. Alikodra (1990) mengelompokkan burung dalam 6 golongan menurut jenis pakan yang dimakannya, yaitu:

1. Jenis burung pemakan serangga, contohnya srigunting hutan (Dicrurus hottentottus), walet sapi (Collocalla esculenta).

2. Jenis burung pemakan buah, contohnya punai ekor panjang (Treron oxyura), pergam hijau (Decula aenae).

3. Jenis burung pemakan biji-bijian, contohnya bondol hitam (Lonchura malacca), tekukur (Streptopella chinensis).

4. Jenis burung pemakan daging/ pemangsa, contohnya elang hitam (Ictinaetus malayensis), alap-alap kawah (Falcon pericrinus).

5. Jenis burung penghisap madu atau nektar tumbuhan, contohnya burung

madu kuning (Nectarinia jugularis), burung madu hitam (Nectarina calcostetha).

6. Jenis burung pemakan ikan, contohnya pecuk ular (Anhingga melanosgaster).

(39)

3. Tipe Habitat

Hutan yang luas dan relatif jauh dari gangguan aktivitas manusia merupakan habitat yang sesuai bagi burung. Sehingga keanekaragam jenis burungnya lebih tinggi (Widodo, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian Duma, dkk (2013), didapatkan hasil keanekaragaman jenis burung di jalur restorasi hutan, seperti Tabel 1.

Tabel 1. Keanekaragaman jenis burung berdasarkan Indeks Shannon-Wiener di jalur restorasi hutan

No Famili Nama Latin Nama Indonesia Jlh PiInPi

1 Accipitridae 1. Spilornis cheela Elang-ular bido 11 -0.063 2 Apodidae 2. Collocalia maxima Wallet sarang-hitam 97 -0.269 3 Alcedinidae 3. Halcyon smyrnensis Cekakak belukar 3 -0.023 4 Bucerotidae 4. Aceros undulatus Julang emas 5 -0.034 5 Campephgidae 5. Lalagae nigra Kapasan kemiri 6 -0.040 6 Chloropseidae 6. Aegithina tiphia Cipoh kacat 17 -0.088 7 Columbidae 7. Chalcophaps indica

8. Theron vernans 8 Corvidae 12.Platysmurus

leucopterus

Tangkar kambing 10 -0.059 9 Cuculidae 13.Centropus rectunguis

14.Centropus sinensis 11 Meropidae 20.Merops viridis Kirik-kirik biru 23 -0.109 12 Muscicapidae 21.Rhipidura perlata Kipasan mutiara 4 -0.029 13 Nectariniidae 22.Arachnothera

flavigaster 14 Oriolidae 24.Oriolus chinensis

25.Oriolus xanthonotus 15 Picidae 26.Celeus brachyurus

(40)

16 Pycnonotidae 30.Phycnonotus goiavier 18 Psittacidae 37.Psittinus cyanurus

38.Psittacula alexandri 19 Silviidae 39.Orthotomus sericeus

40.Orthotomus ruficeps 20 Sturnidae 43.Aplonis panayensis Perling kumbang 9 -0.054 21 Turdidae 44.Copsychus saularis Kucica kampung 2 -0.016 22 Turnicidae 45.Turnix suscitator Gemak loreng 2 -0.016

Total 726 -3,095

Keanekaragaman jenis burung berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Distribusi vertikal dari dedaunan atau stratifikasi tajuk merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Indeks keanekaragaman merupakan tinggi rendahnya suatu nilai yang menunjukkan tinggi rendahnya keanekaragaman dan kemantapan komunitas. Komunitas yang memiliki nilai keanekaragaman semakin tinggi maka hubungan antar komponen dalam komunitas akan semakin kompleks (Dewi, 2005).

Kelimpahan Burung

(41)

meliputi adaptasi burung terhadap perubahan lingkungan, kompetisi dan seleksi alam (Welty, 1982). Penyebaran burung sangat erat kaitannya denganketersediaan pakan, sehingga habitat burung berbeda antara jenis satu dengan yang lainnya, dikarenakan jenis makanan yang berbeda pula (Peterson, 1980). Banyak spesies burung yang hanya menempati habitat tertentu atau tahapan tertentu dari suatu habitat (Primack et al, 1998).

Ada burung yang hidup di hutan lebat, hutan kurang lebat, semak-semak, dan rerumputan. Sebaliknya ada juga burung yang hidup di lapangan terbuka tanpa atau dengan sedikit tumbuhan. Kebanyakan burung-burung ini menemukan makanannya pada tumbuhan atau di tanah. Ada burung yang menangkap burung yang lebih kecil atau serangga sebagai makanannya (Ensiklopedi Indonesia,1992). Pergerakan satwaliar baik dalam skala sempit maupun luas merupakan usaha untuk memenuhi tuntutan hidupnya (Alikodra, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian Duma, dkk (2013), di dapatkan hasil kelimpahan burung di kawasan restorasi, seperti Tabel 2.

Tabel 2. Kelimpahan burung di jalur restorasi hutan

No Famili Nama Latin Nama Indonesia Jlh Kelimpahan

(%)

1 Accipitridae 1. Spilornis cheela Elang-ular bido 11 1.52 2 Apodidae 2. Collocalia maxima Wallet sarang-hitam 97 13.36 3 Alcedinidae 3. Halcyon smyrnensis Cekakak belukar 3 0.41 4 Bucerotidae 4. Aceros undulatus Julang emas 5 0.69 5 Campephgidae 5. Lalagae nigra Kapasan kemiri 6 0.83 6 Chloropseidae 6. Aegithina tiphia Cipoh kacat 17 2.34 7 Columbidae 7. Chalcophaps indica

8. Theron vernans 8 Corvidae 12.Platysmurus

leucopterus

Tangkar kambing 10 1.38 9 Cuculidae 13.Centropus rectunguis

(42)

17.Cacomantis merulinus Wiwik kelabu 1 0.14 11 Meropidae 20.Merops viridis Kirik-kirik biru 23 3.17 12 Muscicapidae 21.Rhipidura perlata Kipasan mutiara 4 0.55 13 Nectariniidae 22.Arachnothera

flavigaster 14 Oriolidae 24.Oriolus chinensis

25.Oriolus xanthonotus 15 Picidae 26.Celeus brachyurus

27.Dinopium javanense 16 Pycnonotidae 30.Phycnonotus goiavier

31.Phycnonotus simplex 18 Psittacidae 37.Psittinus cyanurus

38.Psittacula alexandri 19 Silviidae 39.Orthotomus sericeus

40.Orthotomus ruficeps 20 Sturnidae 43.Aplonis panayensis Perling kumbang 9 1.24 21 Turdidae 44.Copsychus saularis Kucica kampung 2 0.28 22 Turnicidae 45.Turnix suscitator Gemak loreng 2 0.28 Habitat Burung

(43)

Bentuk tubuh burung telah terbukti sangat berhasil dalam penyebarannya diseluruh muka bumi. Mereka menempati setiap tipe habitat dari katulistiwa sampai daerah kutub, ada burung hutan, burung padang terbuka, burung gunung, burung air, ada burung yang menjelajahi samudera terbuka dan ada juga burung yang hidup dalam gua dan dapat menemukan arah dalam kegelapan. Dimana saja ditemukan pohon yang tumbuh atau terdapat ikan, serangga dan avertebrata lainnya, disitu ada burung yang mencari kehidupan; sebagai pemakan biji-bijian, buah atau nectar, disamping ada yang memakan serangga, ikan dan sebagai pemangsa atau pemakan bangkai.Perilaku sosial burung berubah sesuai dengan relung tempat mencari makan disamping tingkah laku berbiak dan kebiasaan umum lainnya.Luas pergerakan dan jarak tempuh burung juga berbeda pada setiap jenis.Beberapa jenis menempati teritori yang kecil serta tetap dan lambat berpencar untuk menempati daerah baru. Jenis lain mempunyai ruang llingkup pergerakan yang lebih luas (Mackinnon, 1995).

(44)

tanah, air, temperatur, cahaya matahari dan faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya.

Keseimbangan suatu komunitas satwa liar di suatu habitat termasuk burung akan dapat di pertahankan eksistensinya, bila komponen-komponen pembentuk habitat baik kualitas maupun kuantitasnya dapat memenuhi kebutuhan hidup satwa liar tersebut. Sebaliknya apabila keadaan habitat tersebut tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan satwa maka satwa tersebut akan bermigrasi atau melakukan adaptasi (Buhanuddin, 1989).

Suhu

(45)

Suhu merupakan salah satu faktor pembatas peneyebaran hewan, dan selanjutnya menentukan aktivitas hewan. Rentang suhu lingkungan di bumi jauh lebih besar dibandingkan dengan rentangan penyebaran aktivitas hidup. Suhu udara di bumi terentang dari -700- +850C. Secara umum aktivitas kehidupan terjadi antara rentangan sekitar 00– 400 C. Kebanyakan hewan hidup dalam rentangan suhu yang lebih sempit.Beberapa hewan dapat bertahan hidup tetapi tidak aktif di bawah 00 C, dan beberapa tahan terhadap suhu sangat dingin.Tidak ada hewan yang dapat hidup di atas suhu 500 C, dan sedikit bacteria dan alga aktif dalam sumber air panas dengan suhu 700 C (Soewolo, 2000).

Kelembaban

Dalam kehidupan di bumi ini kelembaban udara merupakan salah satu unsur penting bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Kelembaban udara juga menentukan bagaimana makhluk tersebut dapat beradaptasi dengan kelembaban yang ada di lingkungan (Lakitan, 1994).

Untuk mahluk-mahluk hidup darat, kandungan uap air harus dianggap sebagai kelembaban dalam astmosfir, air tanah untuk tanaman dan air minum untuk hewan-hewan. Banyak hewan-hewan darat seperti moluska, amfibia, isopoda, nematoda, sejumlah serangga dan antropoda lainnya di temukan hanya pada habitat-habitat atmosfernya jenuh dengan uap air (Michael, 1994).

Curah hujan

(46)
(47)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kawasan restorasi di Resort Sei Betung, dahulunya merupakan lahan persengketaan antara perkebunan kelapa sawit dan pihak Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).Saat ini kawasan yang dipenuhi oleh kelapa sawit ini telah dikelola untuk dikembalikan ke fungsi awalnya, sebagai hutan (restorasi). Oleh TNGL, berbagai macam usaha dan upaya dilakukan untuk mempercepat restorasi hutan di resort Sei Betung. Usaha tersebut meliputi kegiatan penanaman secara manual dan pemanfaatan sumberdaya alam yang mendukung proses restorasi hutan, contohnya memanfaatkan burung sebagai agen pemencar biji.

Burung adalah salah satu jenis satwa yang sangat terpengaruh keberadaannya akibat alih guna lahan hutan, terutama pada lahan monokultur seperti perkebunan kelapa sawit dan karet.Hilangnya pohon hutan dan tumbuhan semak, menyebabkan hilangnya tempat bersarang, berlindung dan mencari makan berbagai jenis burung. Sementara, burung memiliki peran penting dalam

ekosistem antara lain sebagai penyerbuk, pemencar biji, pengendali hama (Ayat, 2011).

(48)

burung (Jati,1998). Akibat penurunan kualitas, modifikasi dan hilangnya habitat merupakan ancaman yang berarti bagi jenis-jenis burung (Shannaz dkk., 1995).

Di setiap habitat, burung akan bertengger untuk melakukan berbagai aktifitas seperti beristirahat, berkicau, mencari makan, membuang kotoran dan bersosialisasi. Tenggeran buatan di kawasan restorasi di perlukan untuk dapat memancing kedatangan burung sehingga dapat membantu mengembalikan fungsi kawasan restorasi. Oleh sebab itu, perlu diadakan pengamatan jenis burung apa yang bertengger di tenggeran buatan serta serta kondisi cuaca di daerah tenggeran.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kelimpahan dankeanekaragaman burung di setiap daerah tenggeran dan untuk mengetahui daerah pertenggeran yang banyak disinggahi burung di kawasan restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser.

2. Untuk mengetahui kondisi cuaca daerah tenggeran burung

Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini di harapkan dapat membantu mempercepat pemulihan daerah restorasi dan dapat menjadi masukan dalam membuat tenggeran buatan di kawasan restorasi.

(49)

ABSTRACT

AKTA NOVITA DAMANIK. Identifikasi Jenis Burung dan Keadaan Cuaca

Pada Tenggeran Buatan di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung

Taman Nasional Gunung Leuser. Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan

ERNI JUMILAWATY.

Restoration area in resort Sei Betung, was once a land dispute between the palm oil plantations and the Gunung Leuser National Park (TNGL). Currently the area is filled with palm oil has managed to be returned to the original function, as forests (restoration). Birds are the natural resources that support forest restoration process by using it as a seed spreader agent. The presence of a particular bird species, are generally adapted to the favorite against a particular habitat. In each habitat, birds will perch to perform various activities. Therefore, there should be observation what type of bird perched on an artificial perch and perch weather conditions in the area. The methodology used in this study is Ponctuels d'Abondance / Point of Abundant Index (IPA-Count). Result showed the highest diversity of trees in the area is 1,20, the highest bird abundance alter the type of Bulbul. On weather conditions for 28 – 300C highest temperature,

humidity around 70% and rainfall of 74.86 mm.

(50)

ABSTRAK

AKTA NOVITA DAMANIK. Identifikasi Jenis Burung dan Keadaan Cuaca

Pada Tenggeran Buatan di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung

Taman Nasional Gunung Leuser. Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan

ERNI JUMILAWATY.

Kawasan restorasi di Resort Sei Betung, dahulunya merupakan lahan

persengketaan antara perkebunan kelapa sawit dan pihak Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Saat ini kawasan yang dipenuhi oleh kelapa sawit ini telah

dikelola untuk dikembalikan ke fungsi awalnya, sebagai hutan (restorasi). Burung merupakan sumberdaya alam yang mendukung proses restorasi hutan dengan memanfaatkan nya sebagai agen pemencar biji. Kehadiran suatu jenis burung tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat tertentu. Di setiap habitat, burung akan bertengger untuk melakukan berbagai aktifitas. Oleh sebab itu, perlu diadakan pengamatan jenis burung apa yang bertengger di tenggeran buatan serta kondisi cuaca di daerah tenggeran.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ponctuels d’Abondance/

Index Point of Abundant (IPA-Count). Hasil penelitian diperoleh keanekaragaman

paling tinggi pada daerah pepohonan yaitu 1,20, kelimpahan burung tertinggi yaitu jenis merbah cerucuk sebesar 31,67. Burung lebih banyak melakukan aktivitasnya pada rentang suhu antara 280C – 300C dan kelembaban sekitar 70%. Curah hujan sebesar 74,857mm.

(51)

IDENTIFIKASI JENIS BURUNG DAN KONDISI CUACA

PADA TENGGERAN BUATAN

DI KAWASAN RESTORASI RESORT SEI BETUNG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SKRIPSI

Oleh :

AKTA NOVITA DAMANIK 101201050

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(52)

IDENTIFIKASI JENIS BURUNG DAN KONDISI CUACA

PADA TENGGERAN BUATAN

DI KAWASAN RESTORASI RESORT SEI BETUNG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SKRIPSI

Oleh:

AKTA NOVITA DAMANIK 101201050

MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(53)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Identifikasi Jenis Burung dan Kondisi Cuaca pada Tenggeran Buatan di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser.

Nama : Akta Novita Damanik

Nim : 101201050

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Pindi Patana S. Hut, M. Sc. Dr. Erni Jumilawaty, S.Si., M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

(54)

ABSTRACT

AKTA NOVITA DAMANIK. Identifikasi Jenis Burung dan Keadaan Cuaca

Pada Tenggeran Buatan di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung

Taman Nasional Gunung Leuser. Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan

ERNI JUMILAWATY.

Restoration area in resort Sei Betung, was once a land dispute between the palm oil plantations and the Gunung Leuser National Park (TNGL). Currently the area is filled with palm oil has managed to be returned to the original function, as forests (restoration). Birds are the natural resources that support forest restoration process by using it as a seed spreader agent. The presence of a particular bird species, are generally adapted to the favorite against a particular habitat. In each habitat, birds will perch to perform various activities. Therefore, there should be observation what type of bird perched on an artificial perch and perch weather conditions in the area. The methodology used in this study is Ponctuels d'Abondance / Point of Abundant Index (IPA-Count). Result showed the highest diversity of trees in the area is 1,20, the highest bird abundance alter the type of Bulbul. On weather conditions for 28 – 300C highest temperature,

humidity around 70% and rainfall of 74.86 mm.

(55)

ABSTRAK

AKTA NOVITA DAMANIK. Identifikasi Jenis Burung dan Keadaan Cuaca

Pada Tenggeran Buatan di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung

Taman Nasional Gunung Leuser. Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan

ERNI JUMILAWATY.

Kawasan restorasi di Resort Sei Betung, dahulunya merupakan lahan

persengketaan antara perkebunan kelapa sawit dan pihak Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Saat ini kawasan yang dipenuhi oleh kelapa sawit ini telah

dikelola untuk dikembalikan ke fungsi awalnya, sebagai hutan (restorasi). Burung merupakan sumberdaya alam yang mendukung proses restorasi hutan dengan memanfaatkan nya sebagai agen pemencar biji. Kehadiran suatu jenis burung tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat tertentu. Di setiap habitat, burung akan bertengger untuk melakukan berbagai aktifitas. Oleh sebab itu, perlu diadakan pengamatan jenis burung apa yang bertengger di tenggeran buatan serta kondisi cuaca di daerah tenggeran.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ponctuels d’Abondance/

Index Point of Abundant (IPA-Count). Hasil penelitian diperoleh keanekaragaman

paling tinggi pada daerah pepohonan yaitu 1,20, kelimpahan burung tertinggi yaitu jenis merbah cerucuk sebesar 31,67. Burung lebih banyak melakukan aktivitasnya pada rentang suhu antara 280C – 300C dan kelembaban sekitar 70%. Curah hujan sebesar 74,857mm.

(56)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini dengan baik. Judul proposal penelitian ini adalah “Identifikasi Daerah Tenggeran Burung Di

Kawasan Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser”. Dalam menulis laporan penelitian ini penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayahanda Jariman Damanik dan Ibunda Benny Sahdonna Sinaga beserta keluarga atas semua dukungan dan doanya.

2. Pihak pengelola Kawasan Restorasi Resort Sei Betung, TNGL

3. Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, S. Si., M. Si selaku komisi pembimbing.

4. Ibu Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara beserta staf pengajar.

5. Seluruh teman-teman angkatan 2010, atas doa dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa proposal ini belum sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan proposal penelitian ini.

Medan, November 2014

(57)

DAFTAR ISI

Deskripsi Kondisi Lokasi Penelitian ... 3

Defenisi Burung ... 4

Keanekaragaman Burung ... 6

Kelimpahan Burung ... 9

Keanekaragaman Hayati... ... .... 18

Kelimpahan Burung ... .... 18

Suhu dan Kelembaban ... .... 19

Curah Hujan ... ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman dan Kelimpahan Jenis Burung ... 20

Suhu dan Kelembaban ... .... 26

(58)

Curah Hujan ... ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... ... 38 Saran ... ... 38

DAFTAR PUSTAKA

(59)

DAFTAR TABEL

No. Hlm

1. Keanekaragaman Jenis Burung Berdasarkan

Indeks Shannon-Wiener Di jalur Restorasi Hutan ... .. 8 2. Kelimpahan Burung Di Jalur Restorasi Hutan ... 10 3. Data keanekaragaman burung di daerah pepohonan,

alang-alang dan lahan kosong ... ... 21 4. Kelimpahan jenis burung berdasarkan tingkat pertemuan

di daerah pepohonan... .. 23 5. Kelimpahan jenis burung berdasarkan tingkat pertemuan

di daerah alang-alang... ... 24 6. Kelimpahan jenis burung berdasarkan tingkat pertemuan

di daerah lahan kosong ... .... 24 7. Hasil penelitian di daerah pepohonan pada pagi hari,

jam 06.30-09.00 WIB ……… 26

8. Hasil penelitian di daerah pepohonan pada sore hari,

jam 15.00 – 18.00 WIB ………. 26 9. Hasil penelitian di daerah alang – alang pada pagi hari,

jam 06.30-09.00 WIB ……….. 27

10. Hasil penelitian di daerah alang – alang pada sore hari,

Jam 15.00-18.00 WIB ………. 27

11. Hasil penelitian di daerah lahan kosong pada pagi hari,

jam 06.30-09.00 WIB ……… 28

12. Hasil penelitian di daerah lahan kosong pada sore hari,

jam 15.00-18.00 WIB ………. 28

(60)

DAFTAR GAMBAR

No. Hlm

1. Peta kawasan resort sei betung TNGL ... 4 2. Deskripsi Lokasi Penelitian di Kawasan restorasi ... 16 3. Bentuk titik pengamatan dengan menggunakan metode

Point Count atau IPA ... 16 4. a. Keadaan daerah alang-alang, b. keadaan daerah pepohonan,

c. Keadaan daerah lahan kosong ... 22 5. Bentuk tenggeran burung di kawasan restorasi satu tahun yang lalu …… 25 6. (a) Korelasi suhu dan jumlah burung di daerah pepohonan,

(b) Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari di daerah pepohonan, (c) Korelasi suhu dan jumlah burung

pada sore hari di daerah pepohonan ………. 30

7. (a) Korelasi suhu dan jumlah burung di daerah alang-alang, (b) Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari di daerah alang-alang, (c) Korelasi suhu dan jumlah burung

pada sore hari di daerah alang-alang ………. 32

8. (a) Korelasi suhu dan jumlah burung di daerah lahan kosong, (b) Korelasi suhu dan jumlah burung pada pagi hari

di daerah lahan kosong, (c) Korelasi suhu dan jumlah burung

Gambar

Gambar 2. Deskripsi lokasi penelitian di kawasan restorasi
Tabel 3. Data Keanekaragaman burung di daerah pepohonan, alang-alang dan lahan kosong
Gambar 4. a. Keadaan daerah alang-alang, b. keadaan daerah pepohonan, c. Keadaan daerah lahan kosong
Tabel 4 . Kelimpahan jenis burung berdasarkan tingkat pertemuan di daerah pepohonan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kesadaran gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo adalah hampir setengahnya baik, sedangkan

Berdasarkan data observasi aktivitas guru dalam menerapkan model pembelajaran problem solving siklus-1 pertemuan 1 dapat diketahui ada 4 deskriptor yang tidak muncul pada waktu

maka dapat dinyatakan bahwa Ho di tolak dan Ha diterima sehingga penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh positif antara motivasi belajar dan kedisiplinan belajar

Diulangi perlakuan sebanyak 5 kali dengan dengan rasio diameter puli yang berbeda.. Pengukuran diameter:

Keperawatan, dan lebih dari separuh perawat pada level junior nurse atau PK 1,(2) implementasi asesmen kompetensi di ruang rawat inap RSUD Cengkareng mempunyai

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) tiap siklusnya terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan ( planning ), pelaksanaan ( acting ), pengamatan

siswa mampu mengikuti pelajaran dengan baik dan mencapai nilai

Windmill Water Flow Top benefited from the force of gravity to the ater entering the turbine blade, so that power is generated not only from the kinetic energy comes