36
PERLINDUNGAN ANAK DI BAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI
DALAM SUATU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF
UNDANG – UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SETYO RAKHMAD RAMADHAN 090200388
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
PERLINDUNGAN ANAK DI BAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI
DALAM SUATU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF
UNDANG – UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
SETYO RAKHMAD RAMADHAN 090200388
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. H.M. Hamdan, SH., MH NIP. 195703261986011001
Pembimbing I Pembimbing II
Nurmalawaty, SH., M.Hum Rafiqoh Lubis, SH., M.Hum
NIP. 1976209071988112001 NIP. 197407252002122002 FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
Perlindungan Hukum Anak Dibawah Umur Sebagai Saksi Dalam Suatu Tindak Pidana Dari Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak
Nurmalawaty, SH, M.Hum* Rafiqoh Lubis, SH,M.Hum** Setyo Rakhmad Ramadhan***
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia saat ini tidak dapat terlepas dari instrumen internasional. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak saksi cenderung rentan untuk dipengaruhi bahkan diancam dengan kekerasan dengan berbagai tindakan demi mengubah kesaksian anak tersebut yang mungkin dapat mengancam kedudukan seseorang, oleh karena itu anak saksi sangat penting diberikan perlindungan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Data yang dipergunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik studi pustaka dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, sifat gejala dan peristiwa hukumnya agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada.
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenal saksi sebagai anak saksi yang menjelaskan saksi itu adalah seorang anak yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri. Selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa menaruh perhatian terhadap situasi dan kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan yang diperiksa karena keterangan anak saksi dapat dipengaruhi oleh pertanyaan diajukan pada saat pemeriksaan. Perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur sebagai saksi suatu tindak pidana sudah cukup baik dan mendukung terhadap perombakan pemikiran untuk memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada anak untuk dapat bersaksi di pengadilan. Perlindungan terhadap Anak Saksi melibatkan seluruh pihak yang berkaitan dengan perlindungan anak, baik dari seluruh undang-undang yang berlaku dan mengatur hak-hak anak dan saksi pada umumnya maupun lembaga-lembaga yang secara khusus berperan dalam sistem peradilan pidana anak.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Anak Saksi
*Mahasiswa Fakultas Hukum USU **Dosen Pembimbing I
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha
pengasih lagi Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-Nya telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini hingga selesai. Salawat dan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga yang telah menuntun umatnya untuk
berpegang dijalan-Nya
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul Perlindungan Anak Di Bawah Umur Sebagai Saksi Dalam Suatu
Tindak Pidana Dari Perspektif Undang – Undang No.11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Anak
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum
5. Dr. M. Hamdan SH, M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana.
6. Ibu Nurmalawaty SH,.M.hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang
telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.
7. Ibu Rafikoh Lubis, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis
yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.
8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.
9. Kedua orang tua penulis Ayahanda R.Bambang Setyo Broto Oetomo dan
Ibunda Nuzula Istianingsih ,S.H yang selalu memberikan dukungan baik
secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.
10.Teman-Teman stambuk 2009 yang telah mendukung dan memberikan
motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.
Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena
keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita
semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Allah
SWT dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan
hukum di negara Republik Indonesia.
Medan, 9 Januari 2014 Hormat Saya
PERLINDUNGAN HUKUM ANAK DI BAWAH UMUR
SEBAGAI SAKSI DALAM SUATU TINDAK PIDANA
DARI PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NO 11 TAHUN
2012 TENTANG SISTIM PERADILAN PIDANA ANAK
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ABSTRAKSI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9
D. Keaslian Penulisan ... 10
E. Tinjauan Kepustakaan ... 11
F. Metode Penulisan ... 32
G. Sistematika Penulisan... 35
BAB II : KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tujuaan umum keterangan anak dalam hukum acara indonesia……… 37
1.pengertiaan anak dibawah umur dalam hukum Indonesia………...………... 37
2.Keterangan anak dibawah umur sebagai saksi dalam hukum acara pidana ..……….. 42
B.Keterangan anak dibawah umur sebagai saksi dalam system peradilan Pidana anak……… 50
2. Keabsahan keterangan anak dibawah umur sebagai
saksi……… 55
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM SUATU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF UNDANG -UNDANG NO.11.TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
A. Urgensi perlindungan saksi dalam hukum pidana ……….. 57
B. perlindungan saksi menurut undang-undang No.13 Tahun 2006 Tentang
perlindungan Saksi dan Korban ... 62
C. Perlindungan hukum bagi saksi anak dalam proses peradilan pidana anak
menurut Undang-Undang No. 11 tahun 2012... 73
BAB IV : PENUTUP
A.Kesimpulan... 96
ABSTRAK
Perlindungan Hukum Anak Dibawah Umur Sebagai Saksi Dalam Suatu Tindak Pidana Dari Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak
Nurmalawaty, SH, M.Hum* Rafiqoh Lubis, SH,M.Hum** Setyo Rakhmad Ramadhan***
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia saat ini tidak dapat terlepas dari instrumen internasional. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak saksi cenderung rentan untuk dipengaruhi bahkan diancam dengan kekerasan dengan berbagai tindakan demi mengubah kesaksian anak tersebut yang mungkin dapat mengancam kedudukan seseorang, oleh karena itu anak saksi sangat penting diberikan perlindungan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Data yang dipergunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik studi pustaka dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, sifat gejala dan peristiwa hukumnya agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada.
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenal saksi sebagai anak saksi yang menjelaskan saksi itu adalah seorang anak yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri. Selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa menaruh perhatian terhadap situasi dan kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan yang diperiksa karena keterangan anak saksi dapat dipengaruhi oleh pertanyaan diajukan pada saat pemeriksaan. Perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur sebagai saksi suatu tindak pidana sudah cukup baik dan mendukung terhadap perombakan pemikiran untuk memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada anak untuk dapat bersaksi di pengadilan. Perlindungan terhadap Anak Saksi melibatkan seluruh pihak yang berkaitan dengan perlindungan anak, baik dari seluruh undang-undang yang berlaku dan mengatur hak-hak anak dan saksi pada umumnya maupun lembaga-lembaga yang secara khusus berperan dalam sistem peradilan pidana anak.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Anak Saksi
*Mahasiswa Fakultas Hukum USU **Dosen Pembimbing I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan
nasional kedepan.31 Diperlukan pembinaan secara terus menerus kepada anak – anak demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan
sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang membahayakan atau
merusak masa depan anak.
Tugas mengasuh dan mengayomi, mendidik dam ,menghormati anak itu
tentu tidaklah ringan dan sangat berat melaksanakannya. Posisi anak sangat
penting dan strategis sebagai suatu potensi emas tumbuh kembangnya suatu
bangsa di masa depan. Anak persis berada di bagian salah satu sumber daya
manusia yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Mereka memiliki
peranan strategis dan mempunyai ciri khusus, memerlukan pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental dan sosialnya. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di
dalam memahami dunia sekeliling, yang harus dihadapinya.32
Secara khusus ciri dan sifat melekat pada anak dibingkai dalam pasal 28B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan
31 Ediwarman, “Peradilan Anak di Persimpangan Jalam dalam Perspektif Viktimologi
(belajar dari kasus Raju)”,Jurnal Mahkamah, Vol. 18 No. 1, (2006): hal. 4.
32 Ahmad Sofian, Perlindungan Anak Di Indonesia Dilema dan Solusinya (Jakarta:
kekerasan dan diskriminasi. Khusus bagi anak yang berkonflik dengn kasus
hukum dan anak korban tindak pidana, Pasal 64 Undang-Undang No. 23 Tahun
2003 tentang Perlindungan Anak, memastikan model proteksi yang mesti
dilakukan, yakni: perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai martabat dan
hak-hak anak; penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini;
penyediaan sarana dan prasarana khusus; penjatuhan sanksi yang tepat untuk
kepentingan terbaik bagi anak; pemantauan dan pencatatan terus-menerus
terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan keluarga; dan,
perlindungan melalui pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi negatif.
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik
kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile
Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice) tidak
semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah
melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa
penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan
anak pelaku tindak pidana.33
Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem
peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile
33 Endang Srihadi, “Menyambut Undang-Undang Sistem Peradilan Anak”,
Justice (SMR-JJ) atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan anak (Aims of
Juvenile Justice), sebagai berikut34 :
“The juvenile Justice System shall emphasize wel-being of thejuvenile ang shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both theoffender and offence.”
( Sistem Peradilan pidana bagi anak / remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya).
Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan
hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia
saat ini tidak dapat terlepas dari instrumen internasional (Konvensi Internasional)
yaitu terkait dengan pemenuhan hak-hak anak sendiri. Setelah dilakukannya
ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan
mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan
kewajiban kepada Indonesia (negara peserta) untuk mengimplementasikan
hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional, dimana dalam
hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.35
Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak
pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat
kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus,
34 Abinoto Prakoso, “Vage Normen Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum
diterapkan oleh Politisi Penyidik Anak”, Jurnal Hukum Ius Quaia Iustum, Vol. 17, No. 2, (2010): hlm. 251
35 Amin Hamid, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan”,
dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap
anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep
kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses
hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta
perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan
hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang
Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan
membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan
masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan
nasional.36 Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai
permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,
keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan
anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional
yang memuaskan.37
Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya
dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak (juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan
36 Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1997) hal.
166
Pidana pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum
pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu38:
1. Kekuasaan Penyidikan (oleh Badan/Lembaga Penyidik);
2. Kekuasaan Penuntutan (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum);
3. Kekuasaan Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana (oleh Badan
Pengadilan);
4. Kekuasaan Pelaksanaan Putusan Pidana (oleh Badan/Aparat
Pelaksana/Eksekusi).
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak
hukum dalam menjalankan kewenangannya.
Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan
khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus
tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari
penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik
dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam ketentuan hukum
mengenai anak. Khususnya bagi anak yang berkonflik dan berhadapan dengan
hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut sebagai UU SPPA dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa Undang-Undang-undang
No. 11 Tahun 2012 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 memberikan
38 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana
pembedaan perlakuan dan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak dan
kewajiban anak, yaitu meliputi seluruh prosedur acara pidana, mulai dari
penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana.
Perspektif ilmu pemidanaan, meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap
anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa anak di masa
mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana
terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dikemukakan juga oleh
Barda Nawawi, bahwa hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh
pandangan tentang perbuatan anti sosial.39
Substansi yang diatur dalam UU Perlindungan Anak pasal 6440 bentuk perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan kasus hukum dan anak
korban tindak pidana, dan yang paling mendasar dalam Undang- Undang ini
adalah pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice dan Diversi, yaitu
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadapAnak yang berhadapan dengan
hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara
wajar. Oleh karena itu sangat diperlukanperan serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada
terciptanya keadilan restorative baik bagi Anak maupun bagi Anak sebagai
Korban.
39 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara (Semarang: CV Ananta, 1994), hal. 20
40 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak (Yogyakarta: Pustaka
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi dimana semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan
masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuatsegala sesuatunya menjadi
lebih baik dengan melibatkan Anak Korban,Anak, dan masyarakat dalam mencari
solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak
berdasarkan pembalasan.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, anak yang melakukan tindak pidana atau dalam praktek sehari-hari di
pengadilan disebut sebagai anak yang sedang berhadapan dengan hukum, harus
diperlakukan secara manusiawi, didampingi, disediakan sarana dan prasarana
khusus, sanksi yang diberikan kepada anak sesuai dengan prinsip kepentingan
terbaik anak, hubungan keluarga tetap dipertahankan artinya anak yang
berhadapan dengan hukum kalau bisa tidak ditahan/dipenjarakan kalaupun
dipenjarakan/ditahan, ia dimasukkan dalam ruang tahanan khusus anak dan tidak
bersama orang dewasa. Selain itu, diberikan pula jaminan perlindungan terhadap
anak-anak yang berhadapan dengan hukum ditetapkan sebagai kelompok anak
yang membutuhkan Perlindungan Khusus.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menegaskan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang
menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak
yang berhadapan tersebut adalah anak yang berumur 12 tahun, tetapi belum
berumur 18 tahun sedangkan anak yang menjadi saksi tindak pidana yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar,
dilihat, dan / atau dialaminya sendiri.
Anak saksi cenderung rentan untuk dipengaruhi bahkan diancam dengan
kekerasan dengan berbagai tindakan demi mengubah kesaksian anak tersebut
yang mungkin dapat mengancam kedudukan seseorang, oleh karena itu anak saksi
sangat penting diberikan perlindungan. Dalam Pasal 91 UU SPPA menegaskan
bahwa anak saksi terkait kedudukannya sebagai saksi dapat dimintakan untuk
dilindungi oleh instansi atau lembaga yang menangani perlindungan anak atau
lembaga kesejahteraan sosial anak.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti
perlindungan anak saksi menurut UU SPPA dalam sebuah skripsi penulis dengan
judul “Perlindungan Hukum Anak Dibawah Umur Sebagai Saksi Dalam Suatu
Tindak Pidana Dari Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak”
B.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah kedudukan anak dibawah umur sebagai saksi menurut
hukum acara pidana?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur sebagai
saksi suatu tindak pidana dari perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini memiliki tujuan yang menjadi sasaran
pencapain dari apa yang akan dipaparkan oleh penulis. Adapun yang menjadi
tujuan penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui kedudukan anak dibawah umur sebagai saksi menurut
hukum acara pidana.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur
sebagai saksi suatu tindak pidana menurut Undang-Undang No. 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2. Manfaat Penulisan
Di samping tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang dikemukakan
di atas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan pengembangan suatu
wawasan untuk kalangan mahasiswa maupun kalangan akademis dan
masyarakat serta berguna bagi generasi penerus bangsa yang akan datang
yang masih belajar untuk memahami tentang perkembangan terhadap
pengakuan terhadap anak yakni dengan dimasukkannya anak sebagai saksi
dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan dapat memberikan bahan acuan bagi masyarakat
anak dengan memiliki anak sebagai saksi dengan memperhatikan
kedudukan dan perlindungan anak sebagai saksi dalam peradilan pidana
anak.
D. Keaslian Penulisan
Mengenai keaslian penulisan, karya ilmiah ini dibuat sendiri oleh penulis
dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur maupun
pengumpulan data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku
juga melalui media elektronik seperti internet, sekaligus dari hasil pemikiran
penulis sendiri.
Sepanjang penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitass
Sumatera Utara yang dilakukan penulis belum terdapat judul yang sama dengan
judul yang diangkat penulis dalam skripsi ini. Dengan kata lain, skripsi ini belum
pernah ada yang membuat sehingga skripsi ini benar-benar merupakan tulisan
yang berbeda dengan tulisan yang lain. Dengan demikian keaslian penulisan ini
dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun ada pendapat atau kutipan dalam
penulisan ini semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam
penulisan yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Saksi
Pengertian saksi seperti dalam Pasal 1 Undang-undang No.13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan korban yang menyebutkan bahwa saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Sama halnya dengan KUHAP memberi batasan tentang pengertian saksi, yaitu
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu
(Pasal 1 angka 26). Tampak ada tiga tolak ukur tanggung jawab keterangan saksi,
yakni melihat, mendengar dan mengalami. Instrumen alat ukur tersebut adalah
mata, telinga, dan perasaan yang semuanya bersifat inderawati alami normal.
Opini sebagai hasil rumusan oleh pikiran yang menjadi pendapat, asumsi,
pernyataan, analisis atau kesimpulan dari saksi bukanlah bernilai alat bukti, oleh
karena itu harus segera ditolak oleh penyidik pada saat penyidikan, dan hakim
yang memimpin sidang atau oleh penuntut umum dan atau advokat.41
Dengan demikian dapat ditarik 2 ( dua ) kesimpulan perihal saksi dan
keterangan saksi menurut batasan undang-undang yaitu:42
1. Bahwa tujuan saksi dalam memberikan keterangan saksi adalah untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, peradilan. Ketentuan ini juga
mengandung pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangan
dalam 2 tingkat yaitu ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang
pengadilan.
2. Bahwa isi apa yang diterangkan adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang
41 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum (Bogor: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2009), hal. 263.
42 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Penerbit P.T.
sumbernya diluar dari 2 hal tersebut, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan
pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi.
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kecuali menjadi saksi
tercantum dalam Pasal 186 KUHAP berikut:
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah
samapi derajat ketiga dari tedakwa atau yang bersama sama sebagai terdakwa;
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu
atau saudara bapak, juga mereka yang menpunyai hubungan karena
perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
3. Suami dan istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
Disamping karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda),
ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat,
martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan
dari kewajiban member keterangan sebagai saksi.
Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang
menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan jika tidak ada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan
yang dimaksud, maka seperti ditentukan ayat ini, hakim yang menentukan sah
atau tidaknya alasan yang dikemukan untuk mendapat kebebasan tersebut.
Pasal 171 KUHAP juga menentukan tentang orang yang dapat
lima belas tahun dan belum pernah kawin serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa
meskipun ingatannya baik kembali. Penjelasannya menyebutkan anak yang belum
berumur lima belas tahun, demikian juga yang sakit ingatan atau sakit jiwa
meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut
psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam
memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai
petunjuk saja.43
Adapun petunjuk yang dimaksud bukanlah alat bukti petunjuk
sebagaimana dimaksud pasal 188, karena sumber yang dapat dipergunakan
mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang sah yang
secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2), yaitu alat bukti keteranngan
saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Keterangan saksi anak sendiri tidak
dilakukan di bawah sumpah, sehingga saksi anak tidak dianggap sebagai alat bukti
keterangan saksi. Secara maksimal keterangan anak hanya dapat menambah
keyakinan hakim, jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lainnya.
Disisi lain, karakteristik tindak pidana yang menyangkut anak sendiri,
sangat komplek. Salah satu permasalahan, pelaku pidana terhadap anak
kebanyakan adalah orang dekat, atau bahkan keluarga atau lingkungan keluarga/
teman korban, sehingga tindak pidana terhadap anak jarang memiliki saksi lain
yang berkompeten untuk memberikan keterangan yang dapat mendukung. Dengan
kata lain tidak ada alat bukti saksi yang melihat, mengalami dan mendengar
43 R. Soesilo dan Karjadi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
langsung peristiwa pidana, sehingga saksi yang paling berkompeten adalah anak
itu sendiri.
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(SPPA) menyebutkan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana. Tentu hal ini berbeda dengan KUHAP yang
tidak menyebutkan anak sebagai saksi tindak pidana.
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang SPPA ini menyebutkan bahwa Anak
yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri. Serta undang-undang ini tidak ada mengatur bahwa anak saksi
yang memberikan keterangan harus disumpah.
Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan
tidak lain daripada yang sebenarnya. Pasal ini diperkuat juga dengan Pasal 161
ayat (2) yang menunjukkan bahwa pengucapan sumpah adalah merupakan syarat
mutlak.
Adapun jenis sanksi dapat dibagi menjadi:44
a. Saksi a charge
44Hari Sasangka,dkk, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (Bandung: Mandar
Saksi a charge, adalah saksi yang dibawa oleh jaksa atau penuntut umum
dan keterangannya diharapkan dapat mendukung dakwaan jaksa atau
penuntut umum.
b. Saksi ade charge
Saksi ade charge, adalah saksi yang dibawa oleh terdakwa atau penasehat
hukum terdakwa dan keterangannya diharapkan dapat meringankan
dakwaan kepada terdakwa.
c. Saksi mahkota
Saksi mahkota adalah saksi yang merupakan salah seorang tersangka atau
terdakwa yang peranannya paling ringan dalam suatu tindak pidana dapat
berdiri sendiri sebagai saksi dalam suatu perkara yang sama.
d. Saksi relatief ombevoegd
Saksi relatief ombevoegd, adalah saksi yang tidak mampu secara
nisbi/relative. Mereka boleh didengar tetapi tidak sebagai saksi.
e. Saksi absolute ombevoegd
Saksi absolute ombevoegd, adalah saksi yang tidak mampu secara mutlak.
f. Saksi Ahli
Saksi ahli, adalah keterangan dari pihak ketiga yang objektif yang
didasarkan pada suatu keahlian atas suatu ilmu tertentu dan bertujuan
untuk membantu hakim dalam pemeriksaan perkara guna menambah
pengetahuan hakim itu sendiri.
KUHAP dan Undang-undang No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan
guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana hanya yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Yang berarti suatu pendapat atau suatu
persangkaan yang disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu
tidak dianggap sebagai keterangan saksi.
Keterangan yang bersumber atau didapat dari kata orang ( testimonium de
auditu, tidaklah mempunyai nilai, mungkin hanya dapat dipertimbanagkan hakim
sebagai tambahan bahan untuk membentuk/ pembentukan alat bukti petunjuk.
Dengan syarat bahwa tanpa alat bukti petunjuk telah terpenuhinya syarat minimal
pembuktian, yang dari terpenuhinya minimal alat bukti itu hakim sudah dapat
membentuk tiga keyakinan. Apabila tidak maka tidak mempunyai nilai
pembuktian apapun, dan harus diabaikan oleh hakim.45
2. Alat Bukti Menurut KUHAP
Dikaji dari prespektif yudiris, menurut M. Yahya Harahap, pembuktian
adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan mengatur
tentang alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktiakan kesalahan
terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa.46
45 Adami Chazawi, Op.cit.,Hukum Pembuktian Tindak Pidana….,hal,45.
46 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Proses pembuktian pada hakikatnya memang lebih dominan pada sidang
pengadilan guna menentukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan
memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim
dapat memberikan putusan seadil mungkin, pada proses pembuktian ini ada
korelasi dan interaksi megenai apa yang akan diterapkan oleh hakim dalam
menemukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan
proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut: 47
1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti;
2. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan
yang didakwakan kepadanya;
3. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu;
4. Pidana apakah yang harus dijatuhi kepada terdakwa;
Kegiatan dalam sidang pengadilan perkara pidana pada dasarnya adalah
kegiatan mengungkapkan fakta-fakta suatu peristiwa melalui berbagai alat bukti
dan kadang ditambah dengan barang bukti. Fakta-fakta tersebut akan dirangkai
menjadi suatu peristiwa, peristiwa mana seperti yang sebenarnya (kebenaran
materiil), mendekati yang sebenarnya ataukah jauh dari kebenaran yang
sesungguhnya, begitu juga apakah peristiwa tersebut mengandung muatan tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum atau tidak, akan
bergantung sepenuhnya terhadap keakuratan dan kelengkapan fakta-fakta yang
diperoleh dari alat bukti tersebut.
47 Lilik mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan Praktik
Mengenai macam-macam alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan
untuk membuktikan telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
a. Alat Bukti Keterangan Saksi
KUHAP memberikan pengertian keterangan saksi sebagai salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ( Pasal 1 angka 27 ).
Alat bukti yang dapat digunakan sebagai bahan dalam membentuk
keyakinan adalah apabila alat bukti tersebut sah. Sah artinya memenuhi
syarat-syarat sahnya menurut undang-undang, seperti sahnya alat bukti keterangan saksi
menurut ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Keyakinan yang dibentuk
dari alat-alat bukti adalah keyakinan telah terbukti terjadinya tindak pidana,
keyakinan telah terbukti terdakwa bersalah melakukanya.
Oleh Sebab itu keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia
mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya isi keterangan baru
berharga dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan ia
Syarat keterangan saksi agar keterangan saksi itu menjadi sah dan
berharga sehingga dapat dipergunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan
hakim dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal,
ialah:48
a. Hal kualitas pribadi saksi
b. Hal apa yang diterangkan saksi
c. Hal sebab apa saksi mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan
d. Syarat sumpah atau janji
e. Syarat mengenai adanya hubungan antara isi keterangan saksi
dengan isi keterangan saksi lain atau isi alat bukti lain.
Syarat yang dikemukakan di atas adalah syarat untuk keterangan saksi yang
diberikan dimuka sidang pengadilan.
Keterangan satu saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Oleh karena itu, agar
keterangan seorang saksi dapat berharga haruslah bersesuaian dengan keterangan
saksi yang lain atau alat bukti yang. Hal tersebut dikenal dengan istilah unus testis
nullus testis yang artinya satu saksi bukanlah saksi.49
b. Alat Bukti Keterangan Ahli
Esensi keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan ( Pasal 1 angka 28 KUHAP ).
Berdasarkan Pengertian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
seorang ahli:
a. Memberi keterangan mengenai segala sesuatu yang masuk kedalam ruang
lingkup pengetahuan dan keahliannya.
b. Bahwa yang diterangkan mengenai pengetahuan atau keahliannya itu haruslah
berhubungan dengan perkara pidana yang diperiksa.
Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang
dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi
atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang
diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya
atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan
saksi adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang keterangan ahli adalah
suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu
berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat
penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan
sumpah atau janji terlebih dahulu (Pasal 120 ayat 2 KUHAP).
Pengajuan ahli di persidangan dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
atau penasehat hukumnya. Jaksa mengajukan ahli sesuai dengan apa yang terdapat
dalam BAP atau bisa juga mengajukan ahli di persidangan setelah melihat
jalannya dan perkembangan perkara di persidangan. Begitu juga penasehat hukum
dapat juga mengajukan ahli untuk menjadi terangnya perkara yang sedang
berjalan di pengadilan. Kadangkala ahli yang diajukan oleh Jaksa dan penasehat
tinggal hakim yang menentukan seseorang itu ahli dan bobot keterangan dari ahli
itu, sehingga ada persesuaian keterangan dengan alat bukti lain.
Alat bukti ini dalam praktik sering dikenal dengan sebutan saksi ahli,
meskipun sebenarnya pemakaian istilah ini tidak tepat karena perkataan saksi
mengandung pengertian yang berbeda dengan ahli maupun keterangn ahli. Bahwa
ini yang disampaikan oleh saksi adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri dan harus diberikan alasan atau sebab dari
pengetahuannya itu, berbeda dengan ahli yang bukan memberikan keterangan
tentang apa yang ia dengar, ia lihat maupun yang ia alami sendiri tetapi hal-hal
yang menjadi atau dibidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab
keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana dalam keterangan saksi. Apa yang
diterangkan oleh saksi bukanlah hal mengenai fakta atau kenyataan tetapi yang
diterangkan oleh ahli adalah suatu penghargaan dari kenyataan dan atau
kesimpulan dari penghargaan itu berdasarkan keahlian seorang ahli.50
c. Surat
Secara substansial tentang bukti “surat” diatur pada Pasal 187 KUHAP
yang secara jelas dituliskan sebagai berikut:
Surat sebagaimana tersebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang semua
50 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pindana Tertentu di Indonesia (Bandung:
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu.
2) Surat yang dibuat menurut keterangan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya sesuatu atau suatu keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya.
4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
Keterangan-keterangan,catatan-catatan dan laporan-laporan itu sebenarnya
tidak berbeda dengan keterangan-keterangan saksi, tetapi di ucapkan secara
tulisan. Maka dari itu arti sebenarnya dari pasal tersebut ialah bahwa
pejabat-pejabat tersebut dibebaskan dari menghadap sendiri di muka hakim. Surat-surat
yang ditanda tangani mereka, cukup dibaca saja dan dengan demikian mempunyai
kekuatan sama dengan kalau mereka menghadap di muka hakim dalam sidang dan
menceritakan hal tersebut secara lisan. Dalam menilai alat bukti surat, penyidik,
penuntut umum, maupun hakim dalam meneliti alat bukti surat harus cermat, dan
hanya alat bukti tersebut di atas yang merupakan alat bukti yang mempunyai
Surat dapat digunakan sebagai alat alat bukti dan mempunyai nilai
pembuktian apabilah surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang
diharuskan oleh undang-undang. Apabila surat sudah dibuat sesuai dengan
ketentuan undang-undang maka bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan syarat:
1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh
undang-undang.
2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum
3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat melemahkan
bukti surat tersebut.
Prinsip hukum pembuktian dalam hukum acara pidana pada prinsipnya
berbeda dengan hukum acara perdata, mengingat pembuktian dalam perkara
pidana diperlukan keyakinan hakim atas dasar minimal alat bukti, sedangkan
dalam pembuktian perkara perdata tidak diperlukan keyakinan hakim. Karena apa
yang dicari dalam pembuktian dalam hukum acara pidana adalah kebenaran
materiil, sedangkan dalam hokum acara perdata adalah kebenaran formil sudahlah
cukup, seperti halnya nilai alat bukti otentik sebagai alat bukti yang mengikat
hakim. Dengan didapatkannya kebenaran materiil dari minimal alat bukti yang
sah, dapat lebih terjaminnya kebenaran dan tepatnya bentukan keyakinan hakim
tentang kesalahan terdakwa, sebagai syarat untuk menjatuhkan pidana.51
Berdasarkan sistem pembuktian yang berbeda, apapun alat buktinya
seperti akta otentik yang menurut hukum acara perdata adalah alat bukti
sempurna, tetapi dalam hukum pembuktian perkara pidana satu akta otentik saja
akan lumpuh kekuatan buktinya apabila tidak ditunjang oleh alat bukti lain,
walaupun hakim yakin akan kebenaran dari akta otentik tersebut, karena dalam
pembuktian perkara pidana diikat lagi dengan beberapa ketentuan yakni:52
a. Adanya syarat minimal pembuktian. Satu alat bukti saja tidaklah cukup dalam
perkara pidana, melainkan harus minimal dua alat bukti (Pasal 184 jo 185 ayat
2);
b. Diperlukan adanya keyakinan hakim. Dari minimal dua alat bukti terbentuklah
keyakinan tentang 3 hal yaitu terjadi tindak pidana, terdakwa melakukannya
dan ia dapat dipersalahkan atas perbuatannya itu ( Pasal 183 );
d. Alat Bukti Petunjuk
Dasar hukum terhadap alat bukti petunjuk terdapat dalam pasal 184 ayat
(1) huruf d dan pasal 188 KUHAP. Pengertian petunjuk adalah perbuatan,
kejadian, atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat bukti yang lain dalam
Pasal 184 KUHAP, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang
bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Alat bukti
petunjuk sebenarnya merupakan rekonstruksi perbuatan, kejadian, atau keadaan
yang diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa yang
bersesuaian sehingga memberikan gambaran mengenai terjadinya tindak pidana
dan siapa pelakunya. Berdasarkan Pasal 188 ayat 2 KUHAP petunjuk yang
dimaksud hanya dapat diperoleh dari:
1) Keterangan saksi
2) Surat
3) Keterangan terdakwa
Keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan
penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti
lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka dapat dimaklumi
apabila sebagian ahli menaruh sangat keberatan atas keberadaannya dan menjadi
bagian dalam hukum pembuktian perkara pidana. Misalnya, Van Bemmelen yang
mengatakan bahwa kesalahan utama ialah petunjuk-petunjuk dipandang sebagai
alat bukti, padahal hakikatnya tidak ada.53 Karena sifat yang demikian, maka
Wirdjono Prodjodikoro menyarankan agar alat bukti petunjuk dilenyapkan dari
penyebutan sebagai alat bukti. Selanjutnya, penggantinya adalah ke-1 pengalaman
hakim dalam sidang dan ke-2 keterangan terdakwa dimuka hakim yang tidak
mengandung pengakuan salah seluruhnya dari terdakwa.54
Alat bukti petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang
dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan yang
dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektifitas hakim lebih dominan. Oleh
karena itu, Pasal 188 ayat (3) KUHAP mengingatkan hakim agar dalam menilai
kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan
dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan seksama
53 Ibid.,hal. 73.
yang didasarkan hati nuraninya. Berkaitan dengan hal tersebut maka ada
pemikiran dalam KUHAP kedepan alat bukti petunjuk diganti dengan alat bukti
pengamatan hakim.55
e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
keterangan terdakwa secara limitatif diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yang
berbunyi:
1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami
sendiri;
2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung
oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya;
3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Tidak semua keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian, karena
keterangan terdakwa harus memenuhi syarat- syarat seperti yang ada ketentuan
Pasal 189 KUHAP sehingga mengandung nilai pembuktian. Akan tetapi
keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah
melakukan tindak pidana, melainkan harus ditambah dengan alat bukti yang lain.
55 Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung:
Diantara 5 (lima) alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, alat bukti
keterangan terdakwalah yang acap kali diabaikan oleh hakim. Hal ini dapatlah
dimaklumi, karena berbagai sebab, antara lain ialah:56
1. Sering kali keterangan terdakwa tidak bersesuaian dengan isi dari alat-alat
bukti yang lain, misalnya keterangan saksi. Tidak menerangkan hal-hal yang
memberatkan atau merugikan terdakwa sendiri adalah sesuatu sifat manusia
(manusiawi). Bahwa setiap orang selalu ada kecenderungan untuk
menghindari kesusahan atau kesulitan bagi dirinya sendiri. Untuk itu dia
terpaksa berbohong.
2. Pada diri terdakwa memiliki hak untuk bebas berbicara termasuk yang isinya
tidak benar. Berhubung terdakwa yang memberikan keterangan yang tidak
benar tidak diancam sanksi pidana sebagaimana saksi memberikan keterangan
yang isinya tidak benar. Karena terdakwa tidak disumpah sebelum
memberikan keterangan, sebagaimana saksi sebelum memberikan keterangan.
Pada sumpah diletakkan kepercayaan kebenaran atas keterangan yang
diberikan di sidang pengadilan. Pada sanksi pidana diletakan kekuatan
paksaan agar seorang saksi memberikan keterangan yang benar.
3. Pengabaian oleh hakim biasanya terdapat keterangan terdakwa yang berisi
penyangkalan terhadap dakwaan. Pengabaian hakim dapatlah diterima,
mengingat menurut KUHAP penyangkalan terdakwa bukanlah menjadi bagian
isi alat bukti keterangan terdakwa. Karena isi keterangan terdakwa itu
hanyalah terhadap keterangan mengenai apa yang ia lakukan, atau ia ketahui
atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Sedangkan penyangkalan
adalah berada diluar hal tersebut. Jadi menurut KUHAP penyangkalan
terdakwa bukanlah isi dari alat bukti keterangan terdakwa. Walaupun
terkadang hakim mempertimbangkan penyangkalan, terutama apabila dari alat
bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membuktikan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan.
3. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat
preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan),
baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan
peraturan hukum.57
Hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum.
Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh
karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian banyak jenis
dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya yang cukup
populer dan telah akrab di telinga kita, seperti perlindungan hukum terhadap saksi
dan korban.
Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas dalam penulisan
ini adalah perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah melalui perangkat
57 Perlindungan Hukum, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html. Diakses
hukumnya seperti Peraturan Perundang-undangan terhadap anak yang
memberikan kesaksian. Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban ini telah
diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang
pengaturannya mencakup segala hal yang menjadi hak dan kewajiban saksi dan
korban.
Kemudian didalam Undang-Undang tahun No.13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dalam ketentuan umumnya pasal 1, perlindungan
adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan
rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK
atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Perlindungan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah perlindungan
anak yang dikatakan sebagai anak saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Perlindungan hukum anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum
terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right and freedoms
of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak.58 Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari pentingnya
anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah tumbuh secara
pisik ataupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi
terdahulu.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya ada 3 (tiga) pasal
yang mengatur bila seorang dibawah umur melakukan tindak pidana. Namun apa
yang tertera dalam KUHP hanyalah berupa proses penghukuman bila seorang
anak telah melakukan tindak pidana, sedangkan proses penyidikannya tidak diatur
sama sekali. Sehingga dengan adanya perlindungan anak merupakan perwujudan
adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak
diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.59
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan
kondisis agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan social.60 Adapun perlindungan anak merupakan cerminan dari adanya keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum dalam suatu masyarakat.
Selanjutnya adalah bagaimana jika terjadi tindak pidana dan tidak ada alat
bukti saksi yang melihat, mengalami dan mendengar langsung peristiwa pidana,
sehingga saksi yang paling berkompeten adalah anak itu sendiri. Akibatnya,
putusan peradilan mengenai tindak pidana tersebut sangat bergantung pada
kredibilitas dan kemampuan anak sebagai saksi utama untuk memberikan
keterangan yang selengkap dan seakurat mungkin mengenai tindak pidana
tersebut. Praktek pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan anak,
memperlihatkan kenyataan adanya keadaan saksi anak yang kurang kompeten dan
distabil, karena traumatis akan pemeriksaan yang penuh tekanan serta intimidatif,
sehingga akhirnya mengakibatkan saksi anak mengundurkan diri ketika
pemeriksaan sampai di tahap persidangan. Jelas bahwa perlu perlindungan saksi
anak, demi meningkatkan kompetensi serta kekuatan pembuktian saksi anak.
59 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
anak di Indonesia (Bandung: Penerbit Refika Aditama, 2008), hal.33.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak
menjamin hak dan kewajiban anak. Sehingga perlindungan terhadap anak sebagai
saksi harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan
mereka dalam proses persidangan. Upaya perlindungan terhadap anak sebagai
saksi merupakan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada anak
sebagai saksi agar terhindar traumatis akan pemeriksaan yang penuh tekanan serta
intimidatif.
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
memberikan jamin perlindungan anak sebagai saksi khususnya dalam Pasal 91.
Ayat 4 Pasal 91 ini menyebutkan Anak Korban dan/atau Anak Saksi yang
memerlukan pelindungan dapat memperoleh pelindungan dari lembaga yang
menangani pelindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
F. Metode Penelitian
Metode diartikan sebagai suatu jalan atau suatu cara untuk mencapai
sesuatu. Sebagaimana tentang tata cara penulisan harus dilakukan, maka
metodologi penulisan hukum yang digunakan oleh penulis mencakup antara:
1) Metode Pendekatan
Untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian hukum
adalah yuridis normative dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian
analisis terhadap peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional
Indonesia sendiri. Maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan anak sebagai
saksi dalam suatu tindak pidana dari perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini ditempuh dengan melakukan
penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis
normative maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
undangan. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan anak sebagai saksi dalam suatu tindak
pidana.
2) Jenis Data dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah mengunakan data
sekunder. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga tinggal
mencari dan megumpulkan data-data yang tersedia. Data sekunder dapat diperoleh
dari:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu :
Bahan hukum primer dalam karya ilmiah ini berupa dokumen peraturan
perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam dan ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia yakni Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat
digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada.
Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai Anak
sebagai saksi dan perlindungannya seperti hasil seminar atau makalah dari
pakar hukum, Koran, majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni internet
yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu :
Mencakup kamus bahasa untuk pembenahan tata Bahasa Indonesia dan juga
sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing.
3) Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini adalah studi
dokumen atau studi pustaka. studi pustaka juga dikenal dengan cara Library
research (Penelitian Kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap
berbagai literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat
digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan
skripsi ini. Adapun tujuan dari penelitian kepustakaan ini adalah untuk
memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan,
buku-buku, surat kabar, artikel, para sarjana dan berita-berita yang penulis
dapatkan dari internet yang berkaitan dengan rekam dan malpraktik.
4) Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan
deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu mengambarkan secara menyeluruh
data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas
dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan sehingga diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga
diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
G. Sistematika Penulisan
Dengan maksud memudahkan dalam menelaah penulisan skripsi yang
berjudul “Perlindungan Hukum Anak Dibawah Umur Sebagai Saksi Dalam Suatu
Tindak Pidana Dalam Perpektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak”, maka penulis menguraikan terlebih dahulu
sistematika yang merupakan gambaran isi dari skripsi ini sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis pertama-tama menguraikan tentang latar
belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang meliputi: pengertian
dan ruang lingkup saksi, alat bukti menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata, dan pengertian perlindungan hukum,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II. KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Pada bab ini penulis memaparkan tentang tinjauan umum
keterangan anak dalam hukum acara pidana yang terdiri dari
pengertian anak dibawah umu dalam hukum Indonesia dan
keterangan anak dibawah umur sebagai saksi dalam hukum acara
sistem peradilan pidana anak yang terdiri dari saksi anak dalam
sistem peradilan pidana anak dan keabsahan keterangan anak
dibawah umur sebagai saksi.
BAB III. PERLINDUNGAN HUKUM ANAK DIBAWAH UMUR
SEBAGAI SAKSI DALAM SUATU TINDAK PIDANA
Pada bab ini penulis memaparkan tentang urgensi perlindungan
saksi dalam hukum pidana, perlindungan saksi menurut
Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi
Dan Korban, perlindungan hukum bagi anak dalam proses
peradilan pidana anak menurut Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diantaranya
membahas usia anak menjadi saksi di persidangan, pelaksanaan
perlindungan saksi dan kelembagaan perlindungan saksi.
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Penulisan skripsi ini penulis akhirnya menyimpulkan butir-butir
yang dianggap penting, kemudian penulis memberikan beberapa
saran sehubungan dengan pembahasan yang telah dilakukan,
semoga kiranya dapat berguna bagi yang berkepentingan.
Demikian sistematika penulisan skripsi ini yang memberikan suatu batasan
BAB II
KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA
A.
Tinjauan Umum Keterangan Anak Dalam Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Anak Dibawah Umur Dalam Hukum Indonesia
Pengertian anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak
menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam. Batas usia
anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak
dalam setatus hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa
atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan.
Berikut adalah beberapa pengertian dan batas usia anak dari berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sendiri terdapat beberapa pasal
yang mengatur apabila seorang anak melakukan tindak pidana, yaitu Pasal 45, 46,
dan 47. ketiga pasal tersebut disebutkan bahwa apabila seseorang yang belum
genap berusia 16 tahun melakukan suatu perbuatan pidana maka ada tiga
alternative penghukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu mengembalikan anak
tersebut kepada orang tuanya, memasukannya kedalam rumah pemeliharaan
anak-anak nakal dan menghukum anak-anak tersebut dengan mengurangi sepertiga dari
pidana pokok yang diancamkan kepadanya.61
61 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Kome ntar Lengkap Pasal
Ketiga pasal KUHP tersebut sudah dicabut ketentuannya tentang
penuntutan anak dikarenakan telah ada undang-undang yang lebih khusus
mengatur tentang masalah anak, yaitu Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan anak yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hal ini dikarenakan Undang-undang No.3
tahun 1997 ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum masyarakat karena belum komprehensif memberikan perlindungan kepada
anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Terdapat beberapa perubahan dan
perkembangan, khususnya dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru disahkan oleh Presiden bersama DPR
pada akhir bulan juli 2012 lalu dibanding dengan Undang-undang No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Tujuannya adalah untuk semakin efektifnya
perlindungan anak dalam sistem peradilan demi terwujudnya Sistem Peradilan
Pidana yang Terpadu.
Pengertian anak dibawah umur berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana terdapat tiga kategori anak dibawah umur, yaitu anak dibawah umur 16
tahun dalam Pasal 45 ayat (1), anak dibawah umur 17 tahun dalam Pasal 283 ayat
(1), serta anak dibawah umur 15 tahun dalam Pasal 287 ayat (1).
b. Hukum Perkawinan Indonesia
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47 ayat 1
menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
menikah ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
umur 18 tahun atau belum pernah menikah, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua berada dibawah kekuasaan wali.
Pasa 47 ayat 2 menyatakan bahwa orang tua mewakili kepentingan anak
dalam melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud hanya
menyangkut perbuatan hukum perdata dan bukan pidana. Contohnya adalah jual
beli, sewa menyewa dan sebagainya. Namun dalam prakteknya tidak semua
perbuatan hukum yang dilakukan anak, pelaksanaannya harus diwakili atau
diwakilkan oleh orang tuannya meskipun anak itu belum berusia 18 tahun atau
belum kawin. Pengertian perbuatan hukum tersebut, hanya sebatas
perbuatan-perbuatan yang secara umum belum selayaknya dilakukan oleh mereka yang
belum berusia 18 tahun atau belum kawin.32
c. Hukum Perdata
Hukum Perdata menjamin hak-hak dasar anak sejak dia dilahirkan bahkan
sejak masih dalam kandungan. Pengertian anak dalam hukum perdata
dimaksudkan pada pengertian kebelum dewasaan. Karena menurut hukum perdata
seorang anak yang belum dewasa sudah bisa mengurus kepentingan-kepen