• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI

DENGAN KEMAMPUAN BERSOSIALISASI REMAJA PUTRI

DI PANTI ASUHAN SANTA ANGELA DELI TUA

SKRIPSI

Oleh:

HENNI NURLINA SARAGIH

111121025

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

Judul : Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua

Penulis : Henni Nurlina Saragih

Program Studi : Fakultas Keperawatan

Tahun Akademik : 2011-2013

ABSTRAK

Penerimaan diri berarti seseorang harus membuka hatinya untuk mau menerima diri secara utuh dan tulus, termasuk kelebihan dan kekurangannya. Salah satu faktor keberhasilan remaja putri di panti asuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ditentukan oleh kesanggupan dalam menerima keadaan dirinya sendiri. Desain deskriftif korelasi bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua. Sampel adalah remaja putri sebanyak 30 orang dengan

menggunakan tehnik total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan remaja putri dengan penerimaan diri baik sebesar 76,7% dan remaja putri dengan kemampuan bersosialisasi baik juga 76,7%, tidak ada hubungan antara penerimaan diri dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua dengan nilai p-value adalah 0,306 nilai ini lebih besar dari Level of Significance

(α) (p>0,05) sehingga hipotesa Ha ditolak. Peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian pada aspek yang lain seperti hubungan antara penerimaan diri dengan harga diri remaja di panti asuhan.

(4)

Title : The relations of self acceptance and socializing capacity of daughters adolescent in Saint Angela Deli Tua orphanage

Researcher : Henni Nurlina Saragih

Faculty : Nursing

The Academic Year :2011-2013

ABSTRACK

Self Acceptance means that someone have to open his heart to want to receive himself intact and sincerely, including the surplus and his lack. One of the success factors of the daughter's adolescent in the orphanage to adjust to the environment was determined by the ability in accepting the situation himself. Correlation descriiptive design aim’s to knowing relations of self acceptance and the socializing capacity the daughter's adolescent in the Saint Angela Deli Tua orphanage. The sample was the daughter's adolescent totalling 30 people by using the total technique sampling. The data collection was carried out by using the questionnaire. The Results shows that the daughter's adolescent with good self acceptance of 76.7% and the daughter's adolescent with the socializing capacity good also 76.7%, there were no relations between self acceptance and the socializing capacity the daughter's adolescent in the Saint Angela Deli Tua orphanage with p-value was 0.306. This values was bigger than the Level of Significance (α) (p p>0,05) so as the hypothesis Ha was refused. The aim of researcher it was hoped carried out the research in the aspect that was other like relations between self acceptance and the youth self-esteem in the orphanage.

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M. Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Ibu Evi Karota Bukit,

S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II, Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan USU.

3. Sr. Bonifasia Nainggolan, FSE selaku Pimpinan Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta informasi mengenai data anak panti asuhan yang digunakan untuk kepentingan Skripsi ini.

(6)

5. Ibu Sri Eka Wahyuni, Skep. Ns., MKep. selaku penguji I yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Wardiyah Daulay, SKep, Ns., MKep. selaku penguji II yang telah

memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Mula Tarigan, S.Kp., M.Kes. Selaku pembimbing akademik yang

selalu memberikan masukan dan saran kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

8. Remaja Putri Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua yang telah bersedia

menjadi responden sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu.

9. Staf administrasi di Program Studi Fakultas Keperawatan USU yang

memberikan bantuan dalam kelancaran selama proses penelitian berlangsung.

10.dr. Ronald Saragih selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar

yang telah memberikan ijjin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

11.Suamiku Adhyaksa P.H Siahaan dan anak-anakku tersayang Marsanti

Anastasia Siahaan (Tasya) & Jason Sebastian Siahaan (Jason) yang telah memberikan kasih sayang yang tulus dan memberikan pengorbanan baik moril maupun materil juga kepada Kakak, Abang, Eda, dan Abang Ipar serta seluruh keluarga atas segala doa, perhatian, dukungan yang luar biasa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Sahabat penulis Rika, Ka Tiorena, Pristiwani, Hasnul Hasanah, Hanna

(7)

dapat penulis tuliskan satu persatu yang telah banyak memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga bimbingan, bantuan dan dorongan yang telah diberikan mendapat berkat yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Pebruari 2013

(8)

DAFTAR ISI

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 7

1.4.3 Bagi Remaja Panti Asuhan ... 7

BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penerimaan Diri ... 8

2.1.1 Defenisi Penerimaan Diri ... 8

2.1.2 Aspek-aspek Penerimaan Diri ... 8

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ... 11

2.1.4 Faktor yang Dapat Meningkatkan Penerimaan Diri ... 14

2.2. Kemampuan Bersosialisasi ... 15

2.2.1 Definisi Sosialisasi. ... 15

2.2.2 Pola Sosialisasi ... 16

2.2.3 Ciri Individu yang Memiliki Kemampuan Bersosialisasi..……… 18

2.2.4 Aspek-aspek Kemampuan Bersosialisasi……… 19

2.2.5 Tahap-tahap Sosialisasi ... 22

2.2.6 Agen Sosialisasi ... 23

2.2.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Bersosialisasi ... 26

2.3 Remaja ... 27

2.3.1 Definisi Remaja. ... 27

2.3.2 Tugas Perkembangan Remaja ... 28

2.3.3 Remaja Putri ... 29

2.4 Panti Asuhan ... 32

2.4.1 Defenisi Panti Asuhan ... 32

(9)

2.5 Hubungan Penerimaan Diri dengan Kemampuan

BAB 4 Metodologi Penelitian 4.1 Desain Penelitian ... 38

4.2 Populasi, Sampel Penelitian dan Teknik Sampling... 38

4.2.1 Populasi ... 38

4.2.2 Sampel dan Teknik Sampling ... 38

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

4.4 Pertimbangan Etik ... 39

4.5 Instrumen Penelitian dan Pengukuran Validitas-Reliabilitas ... 40

4.5.1 Instrumen Penelitian ... 40

4.5.2 Validitas Instrumen ... 41

4.5.3 Reliabilitas Instrumen ... 41

4.6 Pengumpulan Data ... 42

4.7 Analisa Data ... 43

BAB 5 Hasil Penelitian dan Pembahasan 5.1 Hasil Penelitian ... 45

5.1.1 Data Demografi Responden ... 45

5.1.2 Penerimaan Diri ... 46

5.1.3 Kemampuan Bersosilisasi Remaja Putri ... 47

5.1.4 Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Defenisi Operasional ………36 Tabel 5.1 : Distribusi Frekuensi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa

Angela Deli Tua Berdasarkan Data Demografi Responden……….46 Tabel 5.2 : Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri Remaja Putri

di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua ………. 47 Tabel 5.3 : Distribusi Frekuensi Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri

di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua ……….. 47 Tabel 5.4 : Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan

Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela

Deli Tua ………...48

(11)

DAFTAR SKEMA

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Informed Consent Lampiran 2: Instrumen Penelitian Lampiran 3: Jadwal Defenitif Penelitian Lampiran 4: Taksasi Dana Penelitian Lampiran 5: Reliabilitas

Lampiran 6: Hasil Analisa SPSS Lampiran 7: Master Tabel Penelitian Lampiran 8: Lembar Bimbingan Lampiran 9: Surat ijin penelitian

(13)

Judul : Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua

Penulis : Henni Nurlina Saragih

Program Studi : Fakultas Keperawatan

Tahun Akademik : 2011-2013

ABSTRAK

Penerimaan diri berarti seseorang harus membuka hatinya untuk mau menerima diri secara utuh dan tulus, termasuk kelebihan dan kekurangannya. Salah satu faktor keberhasilan remaja putri di panti asuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ditentukan oleh kesanggupan dalam menerima keadaan dirinya sendiri. Desain deskriftif korelasi bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua. Sampel adalah remaja putri sebanyak 30 orang dengan

menggunakan tehnik total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan remaja putri dengan penerimaan diri baik sebesar 76,7% dan remaja putri dengan kemampuan bersosialisasi baik juga 76,7%, tidak ada hubungan antara penerimaan diri dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua dengan nilai p-value adalah 0,306 nilai ini lebih besar dari Level of Significance

(α) (p>0,05) sehingga hipotesa Ha ditolak. Peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian pada aspek yang lain seperti hubungan antara penerimaan diri dengan harga diri remaja di panti asuhan.

(14)

Title : The relations of self acceptance and socializing capacity of daughters adolescent in Saint Angela Deli Tua orphanage

Researcher : Henni Nurlina Saragih

Faculty : Nursing

The Academic Year :2011-2013

ABSTRACK

Self Acceptance means that someone have to open his heart to want to receive himself intact and sincerely, including the surplus and his lack. One of the success factors of the daughter's adolescent in the orphanage to adjust to the environment was determined by the ability in accepting the situation himself. Correlation descriiptive design aim’s to knowing relations of self acceptance and the socializing capacity the daughter's adolescent in the Saint Angela Deli Tua orphanage. The sample was the daughter's adolescent totalling 30 people by using the total technique sampling. The data collection was carried out by using the questionnaire. The Results shows that the daughter's adolescent with good self acceptance of 76.7% and the daughter's adolescent with the socializing capacity good also 76.7%, there were no relations between self acceptance and the socializing capacity the daughter's adolescent in the Saint Angela Deli Tua orphanage with p-value was 0.306. This values was bigger than the Level of Significance (α) (p p>0,05) so as the hypothesis Ha was refused. The aim of researcher it was hoped carried out the research in the aspect that was other like relations between self acceptance and the youth self-esteem in the orphanage.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada hakekatnya manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat lepas berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk berkomunikasi atau bergaul dengan orang lain. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Gerungan (2009) bahwa sebagai makluk sosial yang perlu diperhatikan ialah manusia secara hakiki dilahirkan selalu membutuhkan pergaulan dengan orang lain.

Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi sosial yang paling menonjol terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja, individu berusaha untuk menarik perhatian orang lain, menghendaki adanya popularitas dan kasih sayang dari orang tua dan teman sebaya. Semua hal akan diperoleh apabila remaja berinteraksi sosial karena remaja secara psikologis dan sosial berada dalam situasi yang peka dan kritis. Peka terhadap perubahan, mudah terpengaruh oleh berbagai perkembangan di sekitarnya (Hurlock, 2006).

(16)

meningkatnya keterampilan berkomunikasi remaja diharapkan memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi khususnya persoalan-persoalan yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.

Tidak semua remaja di Indonesia dibesarkan di dalam keluarga sebagian mereka di panti asuhan, menjadi anak jalanan dan sebagainya. Orang tua memiliki peranan penting dalam mengawasi tingkah laku mereka juga berfungsi untuk memberikan kasih sayang, pendidikan budi pekerti, serta mengajarkan cinta kasih terhadap sesama. Salah satu tugas orang tua adalah mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan anak untuk mampu menuangkan pikiran ke dalam kata-kata dan memberi nama pada setiap gagasan dan bebicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti katakutan dan amarah (Jahja, 2011). Semakin kurang kesempatan anak untuk berkomunikasi bersama orang tua, khususnya ibu (misalnya: bersenda gurau, diskusi, musyawarah keluarga), maka semakin besar pula kemungkinannya bahwa ia mengalami kekurangan dalam perkembangan sosialnya (Gerungan, 2009). Situasi yang tidak menyenangkan biasanya akan memunculkan reaksi atau perilaku yang menyimpang dalam diri remaja terhadap lingkungannya.

(17)

dapat menemukan lingkungan pengganti keluarga yang benar-benar dapat menggantikan fungsi keluarga yaitu: terbentuknya kepribadian anak yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan, sehingga anak akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain disamping itu mereka menunjukan perilaku yang negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan, dan lebih egosentris.

Setiap remaja termasuk remaja di panti asuhan akan mengalami pubertas. Pubertas merupakan masa awal pematangan seksual, yaitu suatu periode dimana seorang remaja mengalami perubahan fisik, hormonal, dan seksual serta mampu mengadakan proses reproduksi. Pada remaja putri, ciri-ciri fisik awal yang tampak ialah membesarnya payudara yang merupakan keindahan yang mengawali kesempurnaan sebagai wanita serta dimulainya siklus menstruasi. Di samping itu juga timbulnya ciri-ciri seksual sekunder, misalnya tumbuhnya rambut kemaluan dan rambut ketiak (Jahja, 2011).

Beberapa sifat khusus kewanitaan yang banyak dituntut atau disoroti oleh masyarakat luas yaitu: keindahan, kelembutan dan kerendahan hati. Keindahan psikis wanita yang sangat dihargai antara lain: kehalusan, keramahan, keriangan (tidak bermuka asam), humeur atau suasana hati yang positif, kelembutan, dan “tidak jahat” (Kartono, 1992). Sifat ini juga diharapkan sama pada semua remaja putri yang ada di panti asuhan.

(18)

menerima keadaan dirinya sendiri. Seseorang dengan penerimaan diri yang baik akan menangkal emosi yang muncul karena dapat menerima diri dengan apa adanya (Sarwono, 2011). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dina (2010) tentang hubungan anatara penerimaan diri dengan kemampuan interpersonal remaja di panti asuhan yaitu semakin baik penerimaan diri remaja di panti asuhan maka semakin baik pula kompetensi interpersonalnya dan sebaliknya semakin rendah penerimaan diri remaja maka semakin rendah pula kompetensi interpersonalnya.

(19)

Kemampuan bersosilisasi remaja putri juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama oleh keluarga, yaitu peran dan keterlibatan orang tua yang tercermin di dalam pelaksanaan pola asuh. Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian Ardiyanti (2008) bahwa kemampuan sosialisasi remaja dengan pola asuh authoritative lebih baik dari pola asuh orang tua authoritarian dan permissive. Salah satu tugas perkembangan remaja (Hurlock, 2006) adalah memupuk kemampuan bersosialisasi dengan memperluas hubungan antar pribadi dan berinteraksi secara lebih dewasa dengan teman sebaya.

Hasil survey awal penulis pada Panti Asuhan Putri Santa Angela Deli Tua, adalah panti asuhan yang menampung anak-anak asuh yang terdiri dari anak yatim piatu, yatim/piatu, anak yang memiliki orang tua lengkap namun keluarga yang tidak mampu. Anak di Panti Asuhan ini berusia 6 – 18 tahun, berjumlah 42 orang dan keseluruhnnya adalah putri. Panti Asuhan ini memberikan pendidikan kepada anak asuh berupa pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal didapatkan di sekolah sesuai tingkat usia anak asuh sedangkan informal diperoleh di asrama misalnya disiplin, budi pekerti, pendidikan agama sesuai ajaran katolik, pada saat bertemu sebagian anak tersenyum dan sebagian lagi diam saja.

(20)

1.2 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah: Adakah hubungan antara peneriman diri dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penerimaan diri dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi penerimaan diri remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua.

b. Untuk mengidentifikasi kemampuan bersosilaisasi remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua.

c. Mengetahui hubungan penerimaan diri dengan kemampuan bersosialisasi

remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi praktek keperawatan

(21)

1.4.2 Bagi pendidikan keperawatan

Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu keperawatan, khususnya ilmu keperawatan komunitas agar diajarkan sikap penerimaan diri yang baik sehingga kemampuan bersosialisasi remaaja putri di panti asuhan meningkat.

1.4.3 Bagi remaja panti asuhan

Memberi pemahaman bagi seluruh remaja putri penghuni panti asuhan tentang pentingnya penerimaan diri bagi mereka untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi baik di lingkungan panti asuhan, sekolah dan masyarakat.

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1PENERIMAAN DIRI 2.1.1 Defenisi Penerimaan Diri

Penerimaan diri sebagai suatu keadaan yang disadari oleh diri sendiri untuk menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut Santrock (2002). Sikap menerima diri adalah kemampuan seseorang untuk mengakui kenyataan diri secara apa adanya termasuk juga menerima semua pengalaman hidup, sejarah hidup, latar belakang hidup, dan lingkungan pergaulan (Riyanto, 2006).

Menurut Prihadi (2004) menerima diri apa adanya berarti pasrah dan jujur terhadap kondisi yang dimiliki, tidak ada yang ditutup-tutupi, baik itu kekuatan maupun kelemahan, kelebihan maupun kekurangan, yang mendorong maupun yang menghambat yang ada di dalam diri. Semua diterima apa adanya.

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan menerima kondisi diri sendiri secara jujur dan terbuka serta tidak malu dan ragu mengakui kelemahan dan kelebihan pada diri sendiri dan di hadapan orang lain.

2.1.2 Aspek-aspek Penerimaan Diri

(23)

berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat ini, serta mempunyai keinginan untuk mengembangakan diri lebih lanjut. Aspek-aspek penerimaan diri sebagai berikut:

a) Perasaan sederajat. Individu merasa dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain, sehingga individu tidak merasa sebagai orang yang istimewa atau menyimpang dari orang lain. Individu merasa dirinya mempunyai kelemahan dan kelebihan seperti halnya orang lain.

b) Percaya kemampuan diri. Individu yang mempunyai kemampuan untuk

menghadapi kehidupan. Hal ini tampak dari sikap individu yang percaya diri, lebih suka mengembangkan sikap baiknya dan mengeliminasi keburukannya dari pada ingin menjadi orang lain, oleh karena itu individu puas menjadi diri sendiri.

c) Bertanggung jawab. Individu yang berani memikul tanggung jawab

terhadap perilakunya. Sifat ini tampak dari perilaku individu yang mau menerima kritik dan menjadikannya sebagai suatu masukan yang berharga untuk mengembangkan diri.

d) Orientasi keluar diri. Individu lebih mempunyai orientasi diri keluar dari pada ke dalam diri, tidak malu yang menyebabkan individu lebih suka memperhatikan dan toleran terhadap orang lain, sehingga akan mendapatkan penerimaan sosial dari lingkungannya.

e) Berpendirian. Individu lebih suka mengikuti standarnya sendiri dari pada

bersikap conform terhadap tekanan sosial. Individu yang mampu

(24)

tindakannya sendiri dari pada mengikuti konvensi dan standar dari orang lain serta mempunyai ide aspirasi dan pengharapan sendiri.

f) Menyadari keterbatasan. Individu tidak menyalahkan diri akan

keterbatasannya dan mengingkari kelebihannya. Individu cenderung mempunyai panilaian yang realistik tentang kelebihan dan kekurangannya.

g) Menerima sifat kemanusiaan. Individu tidak menyangkal impuls dan

emosinya atau merasa bersalah karenanya. Individu yang mengenali perasaan marah, takut dan cemas tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang harus diingkari atau ditutupi (Sheerer, dalam Hall & Lindzey, 2010). Orang yang sehat secara psikologis dan yang dapat digolongkan sebagai orang yang menerima diri adalah orang yang selalu terbuka terhadap setiap pengalaman serta mampu menerima setiap kritikan dan masukan dari orang lain. Seperti dikemukakan Jourand (dalam Hurlock, 2006) ada dua hal penting dalam penerimaan diri seseorang yaitu:

a) Individu harus senang menjalani perannya dengan baik dan mendapatkan kepuasan dari perannya tersebut. Ketidakpuasan individu terhadap dirinya dan peran yang harus dijalaninya secara lambat atau cepat akan mempengaruhi kesehatan mentalnya.

(25)

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri antara lain: pemahaman diri, harapan-harapan yang realistik, bebas dari hambatan lingkungan, sikap lingkungan seseorang, ada tidaknya tekanan emosi yang berat, frekuensi keberhasilan, identifikasi, perspektif diri, latihan masa kanak-kanak dan konsep diri yang stabil.

Faktor yang mempengaruhi seseorang menerima dirinya tersebut di atas, adalah sebagai berikut:

a. Pemahaman diri. Merupakan persepsi yang murni terhadap dirinya

sendiri, tanpa merupakan persepsi terhadap diri secara realistik. Rendahnya pemahaman diri berawal dari ketidaktahuan individu dalam mengenali diri. Pemahaman dan penerimaan diri merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Individu yang memiliki pemahaman diri yang baik akan memiliki penerimaan diri yang baik, sebaliknya individu yang memiliki pemahaman diri yang rendah akan memiliki penerimaan diri yang rendah pula.

b. Harapan-harapan yang realistik. Harapan-harapan yang realistik akan membawa rasa puas pada diri seseorang dan berlanjut pada penerimaan diri. Seseorang yang mengalahkan dirinya sendiri dengan ambisi dan standar prestasi yang tidak masuk akal berarti seseorang tersebut kurang dapat menerima dirinya.

(26)

terkontrol oleh individu. Hambatan lingkungan ini bisa berasal dari orang tua, guru, teman, maupun orang dekat lainnya. Penerimaan diri akan dapat terwujud dengan mudah apabila lingkungan dimana individu berada memberikan dukungan yang penuh.

d. Sikap lingkungan seseorang. Sikap yang berkembang di masyarakat akan ikut andil dalam proses penerimaan diri seseorang. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik pada individu, maka individu akan cenderung untuk senang dan menerima dirinya.

e. Ada tidaknya tekanan yang berat. Tekanan emosi yang berat dan terus menerus seperti di rumah maupan di lingkungan kerja akan mengganggu seseorang dan menyebabkan ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Secara fisik akan mempengaruhi kegiatannya dan secara psikis akan mengakibatkan individu malas, kurang bersemangat, dan kurang bereaksi dengan orang lain. Dengan tidak adanya tekanan yang berarti pada individu, akan memungkinkan anak yang lemah mental untuk bersikap santai pada saat tegang. Kondisi yang demikian akan memberikan kontribusi bagi terwujudnya penerimaan diri.

(27)

g. Ada tidaknya identifikasi seseorang. Pengenalan orang-orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memungkinkan berkembangnya sikap positif terhadap dirinya serta mempunyai contoh atau metode yang baik bagaimana harus berperilaku.

h. Persepektif diri. Persepektif diri terbentuk jika individu dapat melihat dirinya sama dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya. Rendahnya perspektif diri akan menimbulkan perasaan tidak puas dan penolakan diri. Namun perspektif diri yang obyektif dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya akan memudahkan dalam penerimaan diri.

i. Latihan pada masa kanak-kanak. Pelatihan yang diterima pada masa

kanak-kanak akan mempengaruhi pola-pola kepribadian anak

selanjutnya. Latihan yang baik pada masa kanak-kanak akan memberikan pengaruh positif pada penerimaan diri, sebaliknya penerimaan diri yang tidak baik akan memberikan pengaruh yang negativ, yaitu sikap penolakan terhadap diri sendiri.

(28)

2.1.4 Faktor Yang Dapat Meningkatkan Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (2005), faktor yang dapat meningkatkan penerimaan diri, antara lain: aspirasi realistis, keberhasilan, wawasan diri, wawasan sosial, dan konsep diri yang stabil. Hal tersebut adalah sebagai berikut:

a) Aspirasi realistis. Supaya anak menerima dirinya, ia harus realistis tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai. Mereka harus menetapkan sasaran yang di dalam batas kemampuan mereka, walaupun batas ini lebih rendah dari apa yang mereka cita-citakan.

b) Keberhasilan. Anak harus mengembangkan faktor keberhasilan supaya

potensinya berkembang secara maksimal. Memiliki inisiatif dan meninggalkan kebiasaan menunggu perintah apa yang harus dilakukan.

c) Wawasan diri. Kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis

serta mengenal dan menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki, akan meningkatkan penerimaan diri. Dengan bertambahnya usia dan pengalaman sosial, anak harus mampu menilai dirinya labih akurat.

d) Wawasan sosial. Kemampuan melihat diri seperti orang lain melihat

mereka dapat menjadi suatu pedoman untuk perilaku yang memungkinkan anak memenuhi harapan sosial.

(29)

2.2KEMAMPUAN BERSOSIALISASI 2.2.1 Defenisi Sosialisasi

Menurut Hanurawan (2010) Sosialisasi adalah proses yang memungkinkan individu mengembangkan cara berpikir, berperasaan dan berperilaku yang berguna bagi penyesuaian sosial efektif dalam hidup bermasyarakat. Sosialisasi adalah proses belajar warga masyarakat suatu kelompok kebudayaan tentang nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat itu (Strickland, dalam Hanurawan (2010). Melalui proses sosialisasi kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat budaya dapat terjamin. Pendapat lain mengenai sosialisasi dalah proses mengembangkan kebiasaan, nilai-nilai, perilaku dan motif yang dilakukan oleh seseorang untuk dapat menjadi anggota masyarakat (Papalia, 2003).

Kemampuan sosialisasi remaja adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya maupuan tidak sebaya, sejenis maupun tidak sejenis sesuai norma dan nilai yang berlaku dalam lingkungan remaja tersebut (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Hubungan sosial adalah cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang disekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya (Alisyahbana, dalam Ali & Asrori (2004).

(30)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah suatu kemampuan individu untuk dapat berinteraksi secara baik dengan lingkungan dan memperoleh nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungannya. Sosialisasi ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang itu tinggal.

2.2.2 Pola Sosialisasi

Menurut Hurlock (2006) salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di lingkungan keluarga dan sekolah.

Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam pola perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi peminpin. Hal tersebut adalah sebagai berikut:

a) Kuatnya pengaruh kelompok sebaya

(31)

b) Perubahan dalam pola perilaku sosial

Dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi di bidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu: tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya dari pada teman sejenisnya.

c) Pengelompokan sosial baru

Geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa puber dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain yang melelahkan menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal dan kurang melelahkan. Maka terjadi pengelompokan sosial baru. Pengelompokan sosial remaja, antara lain: teman dekat, kelompok kecil, kelompok besar, kelompok yang terorganisir, kelompok geng.

d) Nilai baru dalam memilih teman

Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang dibicarakan dengan orang tua maupun guru.

e) Nilai baru dalam penerimaan sosial

(32)

kelompok. Remaja segera mengerti bahwa ia dinilai dengan standar yang sama yang digunakan untuk menilai orang lain. Penerimaan bergatung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku yaitu sindrom penerimaan yang disenangi remaja dan dapat menambah gengsi dari kelompok besar yang diidentifikasinya.

f) Nilai baru dalam memilih peminpin

Karena remaja merasa bahwa kelompok sebaya mewakili mereka dalam masyarakat, mereka menginginkan peminpin yang berkemampuan tinggi yang akan dikagumi dan dihormati oleh orang-orang lain dan dengan demikian akan menguntungkan mereka. Faktor utama yang terpenting dalam kepeminpinan adalah kepribadian. Peminpin harus lebih bertanggung jawab, lebih ekstrovert, lebih bersemangat, lebih banyak akal, dan lebih dapat mengambil inisiatif dengan yang bukan peminpin. Emosinya stabil, penyesuaian dirinya baik, orang yang berbahagia dan hanya mempunyai sedikit kecenderungan neurotik.

2.2.3 Ciri Individu yang Memiliki Kemampuan Bersosialisasi

(33)

mampu menggunakan tanda-tanda dan gerakan-gerakan untuk komunikasi yang dimengerti oleh orang lain, dapat berkomunikasi dengan berbicara dan menggunakan bahasa dengan individu lain di sekelilingnya, ikut bergabung dalam aktivitas keluarga, turut melakukan aktivitas dalam masyarakat, mampu bekerja, tidak mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

2.2.4 Aspek-Aspek Kemampuan Bersosialisasi

Menurut Kuntjoro (1989, dalam Purba, 2009) aktivitas individu yang memiliki kemampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (a). Tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan kebutuhan hidup sehari-hari (activity daily living= ADL), (b). Tingkah laku sosial dan (c). Tingkah laku okupasional yang dapat, dijabarkan sebagai berikut:

a. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari- hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan individu sewaktu bangun tidur.

2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi.

(34)

5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum.

6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana individu mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang individu untuk pergi tidur.

b. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial individu dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku individu untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama individu, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku individu untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.

(35)

4) Bergaul, yaitu tingkat laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku individu yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang sampah sembarangan dan sebagainya.

c. Tingkah laku okupasional

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan pekerjaan, hobby dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan kehidupannya yang meliputi:

1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu, membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.

2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang dilakukan individu untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca. 3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku individu

yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan

(36)

4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.

5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana individu memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).

6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku individu untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.

7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan individu terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap dan perbuatan tersebut berupa reaksi individu bila diperintah/disuruh, dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak mengindahkan dan sebagainya.

2.2.5 Tahap-tahap Sosialisasi

Menurut Mead G.H (dalam Abdullah, 2006) menjelaskan bahwa proses

sosialisasi terdiri dari tiga tahap yaitu: tahap meniru (play stage), siap bertindak dalam permainan (game stage), dan penerimaan norma (generalized other).

(37)

generalized other, pada tahap ini individu telah mampu mengambil peran yang dijalankan oleh orang-orang dalam masyarakatnya, ia telah mampu berinteraksi dan memainkan perannya dengan berbagai macam orang dengan status, peran dan harapan yang berbeda-beda dalam komunitas atau kelompoknya.

2.2.6 Agen Sosialisasi

Menurut Jacobs dan Fullerdalam Abdullah (2006), mengidentifikasi empat agen utama sosialisasi, yaitu: (1) keluarga, (2) kelompok pertemanan, (3) lembaga pendidikan, dan (4) media massa. Para ahli sosiologi menambahkan juga peran dan pengaruh dari lingkungan kerja.

a) Keluarga

Keluarga merupakan satuan sosial yang didasarkan pada hubungan darah (genealogis), dapat berupa keluarga inti (ayah, ibu, dan atau tanpa anak-anak baik yang dilahirkan maupun diadopsi), dan keluarga luas, yaitu keluarga yang terdiri atas lebih dari satu keluarga inti yang mempunyai hubungan darah baik secara hirarki maupun horizontal. Nilai dan norma yang disosialisasikan di keluarga adalah nilai norma dasar yang diperlukan oleh seseorang agar nanti dapat berinteraksi dengan orang-orang dalam masyarakat yang lebih luas.

b) Kelompok Pertemanan

(38)

hidupnya. Melalui lingkungan teman sepermainan seseorang mempelajari nilai-nilai dan norma-norma dan interaksinya dengan orang-orang lain yang bukan anggota keluarganya. Di sinilah seseorang belajar mengenai berbagai keterampilan sosial, seperti kerjasama, mengelola konflik, jiwa sosial, kerelaan untuk berkorban, solidaritas, kemampuan untuk mengalah dan keadilan. Di kalangan remaja kelompok sepermainan dapat berkembang menjadi kelompok persahabatan dengan frekuensi dan intensitas interaksi yang lebih mantap. Bagi seorang remaja, kelompok persahabatan dapat berfungsi sebagai penyaluran berbagai perasaan dan aspirasi, bakat, minat serta perhatian yang tidak mungkin disalurkan di lingkungan keluarga atau yang lain.

Peran positif kelompok sepermainan/persahabatan: memberikan rasa aman dan rasa yang dianggap penting dalam kelompok yang berguna bagi pengembangan jiwa, menumbuhkan dengan baik kemandirian dan kedewasaan, tempat yang baik untuk mencurahkan berbagai perasaaan: kecewa, takut, kawatir, suka ria, dan sebagainya. Merupakan tempat yang baik untuk mengembangkan ketrampilan sosial: kemampuan memimpin, menyamakan persepsi, mengelola konflik, dan sebagainya.

c) Lingkungan Pendidikan (Sekolah)

(39)

nilai-nilai kebudayaan yang dipandang luhur dan akan dipertahankan kelangsungannya dalam masyarakat melalui pewarisan (transformasi) budaya dari generasi ke generasi berikutnya.

Fungsi sekolah sebagai media sosialisasi antara lain: mengenali dan mengembangkan karakteristik diri (bakat, minat dan kemampuan), melestarikan kebudayaan, merangsang partisipasi demokrasi melalui pengajaran ketrampilan berbicara dan pengembangan kemampuan berfikir kritis, analistis, rasional dan objektif, mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri dan kemandirian dan lain-lain.

d) Peran Media Massa

Para ilmuwan sosial telah banyak membuktikan bahwa pesan-pesan yang disampaikan melalui media massa (televisi, radio, film, internet, surat kabar, makalah, buku.) memberikan pengaruh bagi perkembangan diri seseorang, terutama anak-anak. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa sebagaian besar waktu anak-anak dan remaja dihabiskan untuk

menonton televisi, bermain game online dan berkomunikasi melalui

internet, seperti yahoo messenger, google talk, friendster, facebook, dan lain-lain.

e) Sistem/lingkungan Kerja

(40)

kerja lingkungan militer dengan garis komando yang tegas. Dosen atau guru lebih banyak bersosialisasi dengan iklim kerja yang lebih demokratis.

2.2.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Bersosialisasi

Ada dua faktor yang secara garis besar dapat mempengaruhi proses sosialisasi, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.

a. Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang melakukan sosialisasi. Sejak lahir manusia sesungguhnya telah memiliki sifat-sifat dasar berupa bakat, ciri-ciri fisik, dan kemampuan-kemampuan khusus warisan dari orang tua, minat, motivasi, serta kemampuan yang dimiliki individu dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang ada dimasyarakat. Faktor ini akan menjadi bekal seseorang untuk melaksanakan beragam aktivitas dalam sosialisasi. Hasilnya akan sangat berpengaruh terutama dalam perolehan keterampilan, pengetahuan, dan nilai-nilai dalam sosialisasi itu sendiri.

b. Faktor Ekstrinsik

(41)

berakumulasi pada diri seseorang dalam melaksanakan sosialisasi (Alfinnitihardjo, 2010).

2.3REMAJA

2.3.5 Defenisi Remaja

DeBrun dalam Jahja (2011) mendefenisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara kanak-kanak dan dewasa. Papalia dan Olds dalam Jahja

(2011), tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit

melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence) adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usi 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun.

Menurut Adam dan Gullota masa remaja meliputi usia 11-20 tahun (Jahja, 2011). Adapun Hurlock (2006), membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16/17 tahun) dan masa remaja akhir (16/17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Sedangkan menurut Freud (dalam Jahja, 2011), berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita mereka dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

(42)

dewasa. Masa remaja dimulai dari usia 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Pada masa ini, individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai juga dengan berkembangnya kapasitas reproduktif.

2.3.6 Tugas Perkembangan Masa Remaja

Kay W, dalam Jahja (2011) mengatakan bahwa terdapat beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa remaja, yaitu:

a) Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya

b) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan figur-figur yang

mempunyai otoritas

c) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar

bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok.

d) Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya

e) Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap

kemampuannya sendiri.

f) Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar

skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup. (Weltan-schauung)

g) Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku)

(43)

2.3.7 REMAJA PUTRI

Menurut Kartono (1992) masa pubertas sebenarnya masa yang segera akan dilanjutkan oleh masa adolesensi (masa pubertas lanjut). Masa pubertas mulai kurang lebih usia 14 tahun; namun bagi anak perempuan pada umumnya terjadi lebih awal daripada anak laki-laki. Dan akan berakhir pada usia kurang lebih usia 17 tahun. Sedangkan masa adolesensi diperkirakan mulai usia 17 tahun sampai sekitar 19-22 tahun.

Kematangan seksual (kematangan fisik) yang normal pada umumnya berlangsung pada usia 11-18 tahun; ada kalanya berlangsung lebih cepat ataupun lebih lambat. Sebab dari percepatan atau pun kelambatan itu belum dapat diterangkan dengan jelas. Namun ada pendapat yang mengatakan, bahwa peristiwa ini disebabkan oleh pengaruh ras, iklim setempat, cara hidup. Kematangan seksual berupa kematangan kelenjar kelamin yaitu testis pada anak laki-laki dan ovarium pada anak wanita, serta membesarnya alat-alat kelaminnya (ciri kelamin primer). Sebelumnya, peristiwa ini didahului oleh tanda-tanda kelamin sekunder yaitu: gangguan peredaran darah, berdebar-debar, mudah capai, dan kepekaan yang meninggi dari sistem syaraf; pertumbuhan rambut pada alat kelamin dan perubahan suara (Kartono, 1992).

(44)

Apabila sifat-sifat positif ini tidak dimiliki seorang wanita maka wanita yang bersangkutan disebut sebagai “tidak menarik” (Kartono, 1992).

Kelembutan itu mengandung unsur kehalusan; selalu menyebar iklim psikis yang menyenangkan. Di samping itu kelembutan juga diperlukan untuk “membantali” kekerasan, kesakitan dan kepedihan atau duka nestapa. Sedangkan kerendahan hati itu artinya tidak angkuh, tidak mengunggulkan diri sendiri; tetapi selalu bersedia mengalah, dan berusaha memahami kondisi pihak lain. Ciri khas

kewanitaan lainnya yaitu: memelihara (open, besorgend) yang kemudian

dikembangkan menjadi tuntutan etis, sebab bersumber dari cinta-kasih tanpa pamrih, disertai pengorbanan (sering juga pengorbanan diri) dan atau penyerahan diri (Kartono, 1992).

Sesungguhnya ada perbedaan esensial pada karakter wanita dewasa dan pria dewasa yang telah diakui sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Perbedaan-perbedaan fundamental tersebut antara lain:

a) Betapa pun baik dan cemerlangnya intelegensi wanita, namun pada intinya wanita itu hampir tidak pernah tertarik secara menyeluruh pada soal-soal teroritis seperti pada laki-laki.

b) Kaum wanita lebih praktis, labih langsung, dan labih meminati segi

kehidupan konkrit, serta segera.

c) Wanita pada umumnya sangat bergairah, vivid dan penuh vitalitas hidup karena itu wanita tampak lebih spontan dan impulsif.

(45)

e) Wanita lebih banyak mengarah keluar, kepada subjek lain.

f) Kaum laki-laki disebut sebagai lebih egosentris atu lebih self-oriented. g) Menurut professor Heymans (dalam Kartono 1992), perbedaan antara

laki-laki dan wanita terletak pada sifat-sifat sekundaritas, emosionalitas, dan aktivitas dari fungsi-fungsi kejiwaan. Pada wanita, fungsi sekunderitasnya tidak terletak pada bidang intelek, akan tetapi pada perasaan. Oleh karena itu nilai perasaan dan pengalaman-pengalamannya jauh lebih lama mempengaruhi struktur kepribadiannya.

h) Kebanyakan wanita kurang berminat pada masalah-masalah politik;

terlebih-lebih politik yang menggunakan cara-cara licik, munafik, dan kekerasan.

i) Wanita juga sangat peka terhadap nilai-nilai estetis.

j) Dalam kehidupan sehari-hari, wanita lebih aktif dan tegas. Jika seorang wanita telah memilih sesuatu dan telah memutuskan untuk melakukannya, maka tidak banyak berbimbang hati melakukan langkah-langkah selanjutnya.

k) Pada kaum pria terdapat garis pemisah yang jelas antara kehidupan

indriawi, dan kehidupan intersse pribadi dengan tugas kewajiban yang formal sehari-hari.

l) Kesatuan totalitas dari tingkah laku wanita itu bukan terletak pada

kesadaran obyektif menuju pada suatu tujuan; akan tetapi lebih terletak pada kehidupan perasannya.

(46)

n) Perbedaan lain antara kaum pria dan wanita dalam hal aktivitasnya ialah: wanita lebih suka menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan ringan (Kartono, 1992).

2.4PANTI ASUHAN 2.4.1 Defenisi Panti Asuhan

Panti asuhan adalah suatu lembaga untuk mengasuh anak, menjaga dan memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap masyarakat di kemudian hari. Panti asuhan sebagai pengganti orang tua, sehubungan dengan orang tua anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam mendidik dan mengasuh anak (BPKKS dalam Margareth, 1999).

2.4.2 Penghuni Panti Asuhan

Menurut ketentuan dari Departemen Sosial Republik Indonesia berdasarkan ketentuan tahun 1981 (dalam Margareth, 1999), anak yang diasuh di panti asuhan memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) Sudah tidak memiliki orang tua sama sekali (yatim piatu) b) Memiliki orang tua tetapi tidak lengkap (yatim/piatu)

c) Memiliki lingkungan keluarga yang mengalami perpecahan (orang tua

bercerai) atau yang mengalami keregangan dan sudah tidak mengalami kasih sayang dan suasana akrab dalam keluarga

(47)

e) Masih memiliki orang tua namun karena satu atau lain hal mengalami keterlantaran.

Penyebab keterlantaran adalah:

1) Keberadaan orang tua sudah tidak ada, karena meninggal dan tidak

memiliki sanak saudara yang dapat merawat

2) Tingkat sosial ekonomi yang rendah sehingga kebutuhan pokok tidak

terpenuhi

3) Keluarga tidak menginginkan keberadaan anak dengan berbagai macam

alasan, misalkan anak lahir di luar perkawinan yang sah

4) Orang tua tidak dapat dan tidak mau menjalankan perannya sebagai orang tua dalam jangka waktu lama, misalkan orang tua terlalu sibuk, dipenjara, menderita penyakit kronis dan lain-lain.

2.5 Hubungan Penerimaan Diri Dengan kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri

(48)

individu akan lebih mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya sedangkan harga diri rendah akan menunjukkan penghargaan buruk terhadap dirinya sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (Stuart dan Sudden, 1998).

Penerimaan diri baik akan menghasilkan harga diri tinggi yang akan mempengaruhi penyesuaian sosial individu dimana semakin baik penyesuaian sosial maka akan mempengaruhi kemampuan bersosialisasi individu tersebut (Stuart dan Sudden, 1998).

(49)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini merupakan kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diteliti atau diukur ketika penelitian dilakukan (Notoadmodjo, 2010). Berdasarkan tujuan penelitian maka dapat digambarkan kerangka penelitian sebagai berikut:

Skema 3.1

Kerangka Penelitian Hubungan Penerimaan Diri Dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan

Keterangan:

: Variabel yang diteliti Penerimaan diri remaja di panti asuhan Sheerer:

• Perasaan sederajat

• Percaya kemampuan diri

• Bertanggung jawab

• Orientasi ke luar diri

• Berpendirian

• Menyadari keterbatasan

• Menerima sifat kemanusiaan

Kemampuan

(50)

Kerangka penelitian menggambarkan bahwa kemampuan bersosialisasi dipengaruhi oleh penerimaan diri individu.

3.2 Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi

(51)

2. Kemampuan

3.3 Hipotesa Penelitian

(52)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara penerimaan diri dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di panti asuhan Santa Angela Deli Tua.

4.2Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling 4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti (Arikunto, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah remaja putri yang tinggal di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua yang berjumlah 30 orang.

4.2.2 Sampel dan Tehnik Sampling

Sampel pada penelitian ini menggunakan tehnik total sampling yaitu seluruh remaja putri yang ada di Panti Asuhan Santa Angela dijadikan sampel penelitian yaitu sebanyak 30 orang dengan rentang usia 11-20 tahun.

4.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

(53)

dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di panti asuhan ini. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2012.

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapatkan izin dalam pengumpulan data, maka dilakukan pendekatan kepada responden dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Wasis (2008), ada beberapa pertimbangan etik yang diperhatikan pada penelitian ini yaitu :

a) Otonomi. Peneliti memberi kebebasan kepada responden untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian.

b) Informed Consent. Peneliti menanyakan kesediaan menjadi responden setelah peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan, dan manfaat penelitian. Jika responden bersedia menjadi peserta penelitian maka responden diminta menandatangani lembar persetujuan.

c) Anonimity. Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, tetapi akan memberikan kode pada masing-masing lembar persetujuan tersebut.

(54)

e) Beneficience. Selalu berupaya bahwa kegiatan yang diberikan kepada responden mengandung prinsip kebaikan bagi responden guna mendapatkan suatu metode atau konsep baru untuk kebaikan responden. f) Nonmaleficience. Penelitian yang dilakukan tidak mengandung unsur

bahaya atau merugikan apalagi sampai mengancam jiwa bagi responden.

g) Veracity. Penelitian yang dilakukan harus dijelaskan secara jujur tentang manfaat, efek dan apa yang didapat jika responden terlibat di dalam penelitian tersebut.

h) Juctice. Peneliti harus berusaha semaksimal mungkin untuk tetap melaksanakan prinsip juctice (keadilan) pada saat melakukan penelitian.

4.5Instrumen Penelitian dan Pengukuran Validitas-Reliabilitas 4.5.1 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner yang terdiri dari 3 bagian yaitu lembar pertama kuesioner data demografi meliputi: umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, dan pendidikan.

(55)

maka panjang kelas adalah 21 sehingga kuesioener penerimaan diri dibagi dalam 3 kategori yaitu: 64-84: karakteristik baik, 43-63: karakteristik sedang, dan 21-42 karakteristik buruk.

Lembar ketiga adalah kuesioner kemampuan bersosialisasi remaja putri di panti asuhan, kuesioner ini dibuat berdasarkan tinjauan pustaka yang terdiri dari 18 pertanyaan dengan penilaian menggunakan Skala Likert yaitu jawaban SL: selalu 4, SR: sering 3, J: Jarang 2, TP: tidak pernah 1, hasil tertinggi kuesioner ini adalah nilai 72 dan terendah 18. Panjang kelas adalah 18 sehingga kuesioener kemampuan bersosialisasi dibagi dalam 3 kategori yaitu: 55-72: karakteristik baik, 37-54: karakteristik sedang, dan 18-36 karakteristik buruk.

4.5.2 Validitas Instrumen

Validitas yaitu sejauhmana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Uji validitas dalam penelitian ini dengan menguji kuesioner kepada ahli dibidangnya berupa uji content validitas yaitu salah satu dosen Departemen Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

`

4.5.3 Reliabilitas Instrumen

(56)

atau tidak. Suatu instrumen dapat dikatakan reliabel jika r hitung > 0,70 (Polit & Hugler, 1995).

Uji reliabilitas instrumen penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 2012 di Panti Asuhan Bala Keselamatan Evangeline Booth Medan dengan kriteria sampel yang sesuai dengan sampel penelitian ini sebanyak 20 responden. Selanjutnya dilakukan uji dengan nilai Cronbach Alpha untuk variabel penerimaan diri sebesar 0,865 dan untuk variabel kemampuan bersosialisasi remaja putri diperoleh Alpha 0,737. Karena nilai Alpha >0,7 maka dinyatakan bahwa seluruh instrumen atau pernyataan yang digunakan dalam penelitian ini reliabel.

4.6 Pengumpulan data

(57)

responden selesai mengisi kuesioner, maka seluruh data akan dikumpulkan untuk dianalisa.

Proses pengumpulan data penelitian dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2012 pada siang hari. Pelaksanaan penyebaran kuesioner dilakukan dengan memberikan informed consent, kuesioner data demografi, penerimaan diri dan kuesioner kemampuan bersosialisasi remaja putri di panti asuhan secara langsung kepada responden. Berdasarkan 30 eksemplar kuesioner yang dibagikan semua kembali dan memenuhi syarat untuk diskoring. Langkah selanjutnya peneliti melakukan skoring dan memasukkan pada tabulasi data kemudian data dianalisa.

4.7 Analisa data

Setelah peneliti selesai mengumpulkan data maka data tersebut dianalisis dimana data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Informasi ini dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan, terutama dalam pengujian hipotesa. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam analisa data adalah sebagai berikut: editing yaitu: memeriksa kembali kebenaran data yang telah dikumpulkan, koding yaitu: pemberian kode, entri data yaitu memasukkan data ke dalam master tabel dan melakukan tehnik analisis (Danim, 2003).

(58)

kemampuan bersosialisasi remaja putri maka analisis univariat dilanjutkan dengan analisis bivariat yaitu dengan melakukan tabulasi silang dengan menggunakan uji statistik Chi Square pada taraf kepercayaan 5% dengan membandingkan nilai p

dengan α yaitu bila p≤α (p≤0,05) maka keputusannya adalah Ha diterima artinya

(59)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian serta pembahasan yang diperoleh dari pengumpulan data terhadap 30 responden di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua selama bulan Oktober 2012. Hasil penelitian menggambarkan karakteristik data demografi responden, penerimaan diri remaja putri panti asuhan, kemampuan bersosialisasi remaja putri di panti asuhan dan bagaimana hubungan antara penerimaan diri dengan kemampuan bersosialisasi remaja putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua.

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Data Demografi Responden

(60)

Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua Berdasarkan Data Demografi Responden (n=30)

(61)

5.1.2 Penerimaan Diri

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki penerimaan diri baik yaitu sebanyak 23 orang (76,7%), yang memiliki penerimaan diri sedang sebanyak 7 orang (23,3%) dan tidak ada responden yang memiliki penerimaan diri buruk. Gambaran ini dapat dilihat pada tabel 5.2 di bawah ini:

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua (n=30)

No. Penerimaan Diri Frekuensi Persentase

1 Penerimaan diri baik 23 76,7

2 Penerimaan diri sedang 7 23,3

3 Penerimaan diri buruk 0 0

5.3 Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri

(62)

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua (n=30)

No. Kemampuan Bersosialisasi Frekuensi Persentase

1. Kemampuan bersosialisasi baik 23 76,7

2. Kemampuan bersosialisasi sedang 7 23,3

3. Kemampuan bersosialisasi buruk 0 0

5.4 Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua

(63)

Tabel 5.4

Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri di Panti Asuhan Santa Angela Deli Tua (n=30) Penerimaan

diri

Kemampuan bersosialisasi remaja putri Jumlah P –

value

Baik Sedang Buruk

n % n % n % n %

Baik 19 82,6 4 57,1 0 0 23 76,7 0,306

Sedang 4 17,4 3 42,9 0 0 7 23,3

Buruk 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 23 100 7 100 0 0 30 100

(64)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Data Demografi Responden

(65)

perkembangan remaja yakni remaja mulai mampu menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya, menerima dirinya sendiri dan memiliki

kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri, memperkuat self-control

(kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup (Jahja, 2011). Dengan demikian remaja lebih mudah menerima diri dan menggunakan kemampuannya untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya.

Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan mayoritas responden berjenis kelamin perempuan dengan perolehan 30 orang (100%). Panti asuhan Santa Angela Deli Tua adalah panti asuhan puteri yang hanya mengasuh anak perempuan. Hasil penelitian didapat penerimaan diri remaja putri baik sebesar (76,7%). Menurut Ahmadi dan Sholeh (2005) remaja putri memiliki sikap hidup yaitu bersifat pasif dan menerima, cenderung untuk menerima perlindungan, minat tertuju kepada yang bersifat emosional dan konkret, berusaha mengikut, dan menyenangkan orang tua. Berdasarkan sifat-sifat yang mendasar ini sehingga remaja putri cenderung lebih mudah menerima diri, menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Selain itu Menurut Samadi (2004) dalam bersosialisasi remaja putri memasuki dunia interaksi sehingga memiliki teman yang menyebabkan mereka harus menyesuaikan diri dengan kelompok sebaya dan mengikutinya serta mulai memiliki rasa ketertarikan dengan teman yang berlawanan jenis.

(66)

Tua adalah panti asuhan di bawah naungan yayasan Katolik dan mayoritas mengasuh anak panti yang beragama katolik dan bersuku Batak Toba. Menurut hasil penelitian Gultom (2012) tentang Kebudayaan Batak bahwa karakteristik sifat suku Batak Toba cenderung keras, konsisten, bersuara keras/bernada tinggi, pekerja keras, orangnya ceplas-ceplos jika tidak suka terhadap seseorang langsung diutarakan, sehingga dengan karakteristik ini remaja putri di panti asuhan yang bersuku batak toba lebih baik penerimaan dirinya dibandingkan dengan suku yang lain.

(67)

5.2.2 Penerimaan diri

Hasil penelitian ini menunjukkan remaja putri panti asuhan yang memiliki penerimaan diri baik yaitu sebanyak 23 orang (76,7%). Menurut Prihadi (2004) menerima diri apa adanya berarti pasrah dan jujur terhadap kondisi yang dimiliki, tidak ada yang ditutup-tutupi, baik itu kekuatan maupun kelemahan, kelebihan maupun kekurangan, baik mendorong maupun yang menghambat yang ada di dalam diri individu. Semua dapat diterima apa adanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sarwono (2011) bahwa seseorang dengan penerimaan diri yang baik akan lebih baik menangkal emosi yang muncul karena dapat menerima diri apa adanya. Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian Dina (2010) tentang hubungan antara penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal remaja di panti asuhan yaitu semakin baik penerimaan diri remaja di panti asuhan maka semakin baik pula kompetensi interpersonalnya. Kompetensi interpersonal ini ditunjukkan melalui kemampuan remaja untuk berinisiatif, bersikap terbuka, bersikap asertif dalam mengemukakan ide-idenya, mampu menunjukkan dukungan emosional dengan bersikap empati, dan mampu dalam mengatasi konflik interpersonal agar permasalahan tidak semakin memanas.

(68)

akan mempermudah mencapai kesuksesan” sebanyak 23 orang (77%) menunjukkan individu memiliki standartnya sendiri tanpa harus mengikuti standart orang lain. Menurut Hurlock (2006) harapan-harapan realistik individu dapat mempengaruhi penerimaan dirinya dimana harapan-harapan yang realistik akan membawa rasa puas pada diri seseorang dan berlanjut pada penerimaan diri. Seseorang yang mengalahkan dirinya sendiri dengan ambisi dan standar prestasi yang tidak masuk akal berarti seseorang tersebut kurang dapat menerima dirinya. Pernyataan lain tentang aspek penerimaan diri yang dapat ditingkatkan menurut Hurlock (2005) yaitu aspirasi realistis. Agar anak menerima dirinya, ia harus realistis tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai. Mereka harus menetapkan sasaran didalam batas kemampuan mereka, walaupun batas ini lebih rendah dari apa yang mereka cita-citakan.

(69)

dipisahkan. Individu yang memiliki pemahaman diri yang baik akan memiliki penerimaan diri yang baik, sebaliknya individu yang memiliki pemahaman diri yang rendah akan memiliki penerimaan diri yang rendah pula. Di sisi lain faktor yang dapat meningkatkan penerimaan diri seseorang adalah wawasan diri yaitu kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis serta mengenal dan menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki, akan meningkatkan penerimaan diri. Dengan bertambahnya usia dan pengalaman sosial, remaja harus mampu menilai dirinya labih akurat (Hurlock, 2005).

Aspek selanjutnya adalah aspek orientasi ke luar diri. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan responden “Saya merasa mampu melakukan seperti apa yang dilakukan orang lain” sebanyak 18 orang (63,3%). Remaja putri panti asuhan lebih mempunyai orientasi diri keluar dari pada ke dalam diri, memiliki sikap dapat menerima yang menyebabkan remaja putri lebih suka memperhatikan dan menerima orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Menurut Hurlock (2006) salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang adalah sikap lingkungan individu yaitu sikap yang berkembang di masyarakat akan ikut andil dalam proses penerimaan diri seseorang. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik pada individu, maka individu akan cenderung untuk senang dan menerima dirinya.

(70)

perilakunya. Aspek penerimaan diri selanjutnya yaitu menyadari keterbatasan ditunjukkan melalui pernyataan “Walaupun saya memiliki kekurangan, tetapi masih banyak sisi positif dari diri saya” sebanyak 17 orang (57%), pernyataan ini menunjukkan bahwa ini remaja putri secara sadar tidak menyalahkan diri akan keterbatasannya dan mengingkari kelebihannya. Individu cenderung mempunyai panilaian yang realistik tentang kelebihan dan kekurangannya, menerima sifat kemanusiaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang lain yaitu: bebas dari hambatan lingkungan, ada tidaknya tekanan emosi yang berat, frekuensi keberhasilan, identifikasi, perspektif diri, latihan masa kanak-kanak, dan konsep diri yang stabil (Hurlock, 2006). Sedangkan faktor yang dapat meningkatkan penerimaan diri remaja putri adalah keberhasilan seseorang, dan wawasan sosial (Hurlock, 2005). Apabila faktor-faktor ini dialami remaja putri di panti asuhan dengan baik maka baik pulalah penerimaan dirinya.

5.2.3 Kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri

(71)

menyesuaikan dengan orang dewasa di lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 2006). Hal ini didukung juga oleh Ahmadi dan Sholeh (2005) bahwa pada masa ini remaja mulai menyadari akan keberadaan dirinya dan betapa pentingnya ia untuk ikut serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Sejalan dengan hasil penelitian Sumiati (2006) tentang penyesuian diri pada anak yang tinggal di panti asuhan menunjukkan bahwa penyesuaian sosial dipengaruhi oleh penerimaan diri dan penyesuaian sosial ini mempengaruhi sosialisasi anak di panti asuhan.

Kemampuan bersosialisasi remaja dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sekolah, masyarakat dan terutama oleh keluarga, yaitu peran dan keterlibatan orang tua yang tercermin di dalam pelaksanaan pola asuh. Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian Ardiyanti (2008) tentang perbedaan kemampuan sosialisasi antara remaja yang memiliki persepsi pola asuh authoritative, authoritarian, dan permissive bahwa kemampuan sosialisasi remaja dengan pola asuh authoritative lebih baik dari pola asuh orang tua authoritarian dan permissive. Remaja dengan penyesuaian baik maka akan memiliki sosialisasi yang baik pula.

(72)

standar bagi anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima untuk masyarakat, remaja tidak harus mengetahui perilaku dengan patokan yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilaku dengan patokan yang diterima dan mampu memainkan peran sosial yang dapat diterima sehingga berhasil dalam penyesuaian sosialnya.

Gambar

Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai hubungan persepsi terhadap dukungan sosial pendamping panti dan penerimaan diri remaja panti ini penting untuk diteliti dan relevan dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penerimaan kelompok teman sebaya dengan konsep diri pada remaja panti asuhan di Kabupaten Badung,