BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1PENERIMAAN DIRI 2.1.1 Defenisi Penerimaan Diri
Penerimaan diri sebagai suatu keadaan yang disadari oleh diri sendiri untuk
menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih
lanjut Santrock (2002). Sikap menerima diri adalah kemampuan seseorang untuk
mengakui kenyataan diri secara apa adanya termasuk juga menerima semua
pengalaman hidup, sejarah hidup, latar belakang hidup, dan lingkungan pergaulan
(Riyanto, 2006).
Menurut Prihadi (2004) menerima diri apa adanya berarti pasrah dan jujur
terhadap kondisi yang dimiliki, tidak ada yang ditutup-tutupi, baik itu kekuatan
maupun kelemahan, kelebihan maupun kekurangan, yang mendorong maupun
yang menghambat yang ada di dalam diri. Semua diterima apa adanya.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri
adalah kemampuan menerima kondisi diri sendiri secara jujur dan terbuka serta
tidak malu dan ragu mengakui kelemahan dan kelebihan pada diri sendiri dan di
hadapan orang lain.
2.1.2 Aspek-aspek Penerimaan Diri
Penerimaan diri tidak berarti seseorang menerima begitu saja kondisi diri
berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat ini, serta mempunyai
keinginan untuk mengembangakan diri lebih lanjut. Aspek-aspek penerimaan diri
sebagai berikut:
a) Perasaan sederajat. Individu merasa dirinya berharga sebagai manusia
yang sederajat dengan orang lain, sehingga individu tidak merasa sebagai
orang yang istimewa atau menyimpang dari orang lain. Individu merasa
dirinya mempunyai kelemahan dan kelebihan seperti halnya orang lain.
b) Percaya kemampuan diri. Individu yang mempunyai kemampuan untuk
menghadapi kehidupan. Hal ini tampak dari sikap individu yang percaya
diri, lebih suka mengembangkan sikap baiknya dan mengeliminasi
keburukannya dari pada ingin menjadi orang lain, oleh karena itu individu
puas menjadi diri sendiri.
c) Bertanggung jawab. Individu yang berani memikul tanggung jawab
terhadap perilakunya. Sifat ini tampak dari perilaku individu yang mau
menerima kritik dan menjadikannya sebagai suatu masukan yang berharga
untuk mengembangkan diri.
d) Orientasi keluar diri. Individu lebih mempunyai orientasi diri keluar dari
pada ke dalam diri, tidak malu yang menyebabkan individu lebih suka
memperhatikan dan toleran terhadap orang lain, sehingga akan
mendapatkan penerimaan sosial dari lingkungannya.
e) Berpendirian. Individu lebih suka mengikuti standarnya sendiri dari pada
bersikap conform terhadap tekanan sosial. Individu yang mampu
tindakannya sendiri dari pada mengikuti konvensi dan standar dari orang
lain serta mempunyai ide aspirasi dan pengharapan sendiri.
f) Menyadari keterbatasan. Individu tidak menyalahkan diri akan
keterbatasannya dan mengingkari kelebihannya. Individu cenderung
mempunyai panilaian yang realistik tentang kelebihan dan kekurangannya.
g) Menerima sifat kemanusiaan. Individu tidak menyangkal impuls dan
emosinya atau merasa bersalah karenanya. Individu yang mengenali
perasaan marah, takut dan cemas tanpa menganggapnya sebagai sesuatu
yang harus diingkari atau ditutupi (Sheerer, dalam Hall & Lindzey, 2010).
Orang yang sehat secara psikologis dan yang dapat digolongkan sebagai
orang yang menerima diri adalah orang yang selalu terbuka terhadap setiap
pengalaman serta mampu menerima setiap kritikan dan masukan dari orang lain.
Seperti dikemukakan Jourand (dalam Hurlock, 2006) ada dua hal penting dalam
penerimaan diri seseorang yaitu:
a) Individu harus senang menjalani perannya dengan baik dan mendapatkan
kepuasan dari perannya tersebut. Ketidakpuasan individu terhadap
dirinya dan peran yang harus dijalaninya secara lambat atau cepat akan
mempengaruhi kesehatan mentalnya.
b) Individu harus berperan sesuai dengan tuntutan atau norma-norma yang
ada. Agar kedua hal tersebut dapat dilakukan, individu tersebut harus
mampu menerima dirinya. Dengan demikian untuk mencapai
kepribadian yang sehat secara psikologis harus memiliki penerimaan diri
2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Menurut Hurlock (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri
antara lain: pemahaman diri, harapan-harapan yang realistik, bebas dari hambatan
lingkungan, sikap lingkungan seseorang, ada tidaknya tekanan emosi yang berat,
frekuensi keberhasilan, identifikasi, perspektif diri, latihan masa kanak-kanak dan
konsep diri yang stabil.
Faktor yang mempengaruhi seseorang menerima dirinya tersebut di atas,
adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman diri. Merupakan persepsi yang murni terhadap dirinya
sendiri, tanpa merupakan persepsi terhadap diri secara realistik.
Rendahnya pemahaman diri berawal dari ketidaktahuan individu dalam
mengenali diri. Pemahaman dan penerimaan diri merupakan dua aspek
yang tidak dapat dipisahkan. Individu yang memiliki pemahaman diri
yang baik akan memiliki penerimaan diri yang baik, sebaliknya individu
yang memiliki pemahaman diri yang rendah akan memiliki penerimaan
diri yang rendah pula.
b. Harapan-harapan yang realistik. Harapan-harapan yang realistik akan
membawa rasa puas pada diri seseorang dan berlanjut pada penerimaan
diri. Seseorang yang mengalahkan dirinya sendiri dengan ambisi dan
standar prestasi yang tidak masuk akal berarti seseorang tersebut kurang
dapat menerima dirinya.
c. Bebas dari hambatan lingkungan. Harapan individu yang tidak tercapai
terkontrol oleh individu. Hambatan lingkungan ini bisa berasal dari orang
tua, guru, teman, maupun orang dekat lainnya. Penerimaan diri akan
dapat terwujud dengan mudah apabila lingkungan dimana individu
berada memberikan dukungan yang penuh.
d. Sikap lingkungan seseorang. Sikap yang berkembang di masyarakat akan
ikut andil dalam proses penerimaan diri seseorang. Jika lingkungan
memberikan sikap yang baik pada individu, maka individu akan
cenderung untuk senang dan menerima dirinya.
e. Ada tidaknya tekanan yang berat. Tekanan emosi yang berat dan terus
menerus seperti di rumah maupan di lingkungan kerja akan mengganggu
seseorang dan menyebabkan ketidakseimbangan fisik dan psikologis.
Secara fisik akan mempengaruhi kegiatannya dan secara psikis akan
mengakibatkan individu malas, kurang bersemangat, dan kurang bereaksi
dengan orang lain. Dengan tidak adanya tekanan yang berarti pada
individu, akan memungkinkan anak yang lemah mental untuk bersikap
santai pada saat tegang. Kondisi yang demikian akan memberikan
kontribusi bagi terwujudnya penerimaan diri.
f. Frekuensi keberhasilan. Setiap orang pasti akan mengalami kegagalan,
hanya saja frekuensi kegagalan antara satu orang dengan orang lain
berbeda-beda. Semakin banyak keberhasilan yang dicapai akan
menyebabkan individu yang bersangkutan menerima dirinya dengan
g. Ada tidaknya identifikasi seseorang. Pengenalan orang-orang yang
mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memungkinkan
berkembangnya sikap positif terhadap dirinya serta mempunyai contoh
atau metode yang baik bagaimana harus berperilaku.
h. Persepektif diri. Persepektif diri terbentuk jika individu dapat melihat
dirinya sama dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya. Rendahnya
perspektif diri akan menimbulkan perasaan tidak puas dan penolakan
diri. Namun perspektif diri yang obyektif dan sesuai dengan kenyataan
yang sebenarnya akan memudahkan dalam penerimaan diri.
i. Latihan pada masa kanak-kanak. Pelatihan yang diterima pada masa
kanak-kanak akan mempengaruhi pola-pola kepribadian anak
selanjutnya. Latihan yang baik pada masa kanak-kanak akan memberikan
pengaruh positif pada penerimaan diri, sebaliknya penerimaan diri yang
tidak baik akan memberikan pengaruh yang negativ, yaitu sikap
penolakan terhadap diri sendiri.
j. Konsep diri yang stabil. Konsep diri yang stabil bagi seseorang akan
memudahkan dia dalam usaha menerima dirinya. Apabila konsep dirinya
selalu berubah-ubah maka dia akan kesulitan memahami diri dan
menerimanya sehingga terjadi penolakan pada dirinya sendiri. Hal ini
2.1.4 Faktor Yang Dapat Meningkatkan Penerimaan Diri
Menurut Hurlock (2005), faktor yang dapat meningkatkan penerimaan diri,
antara lain: aspirasi realistis, keberhasilan, wawasan diri, wawasan sosial, dan
konsep diri yang stabil. Hal tersebut adalah sebagai berikut:
a) Aspirasi realistis. Supaya anak menerima dirinya, ia harus realistis
tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin
tercapai. Mereka harus menetapkan sasaran yang di dalam batas
kemampuan mereka, walaupun batas ini lebih rendah dari apa yang
mereka cita-citakan.
b) Keberhasilan. Anak harus mengembangkan faktor keberhasilan supaya
potensinya berkembang secara maksimal. Memiliki inisiatif dan
meninggalkan kebiasaan menunggu perintah apa yang harus dilakukan.
c) Wawasan diri. Kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis
serta mengenal dan menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki,
akan meningkatkan penerimaan diri. Dengan bertambahnya usia dan
pengalaman sosial, anak harus mampu menilai dirinya labih akurat.
d) Wawasan sosial. Kemampuan melihat diri seperti orang lain melihat
mereka dapat menjadi suatu pedoman untuk perilaku yang
memungkinkan anak memenuhi harapan sosial.
e) Konsep diri yang stabil. Bila anak melihatnya dengan satu cara pada satu
saat dan cara lain pada saat lain kadang-kadang menguntungkan dan
2.2KEMAMPUAN BERSOSIALISASI 2.2.1 Defenisi Sosialisasi
Menurut Hanurawan (2010) Sosialisasi adalah proses yang memungkinkan
individu mengembangkan cara berpikir, berperasaan dan berperilaku yang
berguna bagi penyesuaian sosial efektif dalam hidup bermasyarakat. Sosialisasi
adalah proses belajar warga masyarakat suatu kelompok kebudayaan tentang
nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat itu (Strickland, dalam Hanurawan
(2010). Melalui proses sosialisasi kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat
budaya dapat terjamin. Pendapat lain mengenai sosialisasi dalah proses
mengembangkan kebiasaan, nilai-nilai, perilaku dan motif yang dilakukan oleh
seseorang untuk dapat menjadi anggota masyarakat (Papalia, 2003).
Kemampuan sosialisasi remaja adalah kemampuan seseorang untuk
menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya maupuan tidak sebaya, sejenis
maupun tidak sejenis sesuai norma dan nilai yang berlaku dalam lingkungan
remaja tersebut (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Hubungan sosial adalah
cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang disekitarnya dan bagaimana pengaruh
hubungan itu terhadap dirinya (Alisyahbana, dalam Ali & Asrori (2004).
Menurut uraian WHO (1989 dalam Purba, 2009) tentang ketidakmampuan
bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan sosial
secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya maka dapat diasumsikan bahwa
kemampuan bersosialisasi adalah kemampuan individu dalam melakukan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah
suatu kemampuan individu untuk dapat berinteraksi secara baik dengan
lingkungan dan memperoleh nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungannya.
Sosialisasi ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang itu tinggal.
2.2.2 Pola Sosialisasi
Menurut Hurlock (2006) salah satu tugas perkembangan remaja yang
tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus
menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum
pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di lingkungan keluarga
dan sekolah.
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat
penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit penyesuaian diri dengan
meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam pola perilaku sosial,
pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan,
nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam
seleksi peminpin. Hal tersebut adalah sebagai berikut:
a) Kuatnya pengaruh kelompok sebaya
Karena remaja lebih banyak di luar rumah bersama dengan teman-teman
sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh
teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan
b) Perubahan dalam pola perilaku sosial
Dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang
paling menonjol terjadi di bidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu
yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu: tidak menyukai
lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan
jenisnya dari pada teman sejenisnya.
c) Pengelompokan sosial baru
Geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa puber
dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain
yang melelahkan menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal
dan kurang melelahkan. Maka terjadi pengelompokan sosial baru.
Pengelompokan sosial remaja, antara lain: teman dekat, kelompok kecil,
kelompok besar, kelompok yang terorganisir, kelompok geng.
d) Nilai baru dalam memilih teman
Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang
sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang
kepadanya ia dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas
hal-hal yang dibicarakan dengan orang tua maupun guru.
e) Nilai baru dalam penerimaan sosial
Seperti halnya adanya nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga
mempunyai nilai baru dalam menerima atau tidak menerima
anggota-anggota berbagai kelompok sebaya. Nilai ini terutama didasarkan pada
kelompok. Remaja segera mengerti bahwa ia dinilai dengan standar yang
sama yang digunakan untuk menilai orang lain. Penerimaan bergatung
pada sekumpulan sifat dan pola perilaku yaitu sindrom penerimaan yang
disenangi remaja dan dapat menambah gengsi dari kelompok besar yang
diidentifikasinya.
f) Nilai baru dalam memilih peminpin
Karena remaja merasa bahwa kelompok sebaya mewakili mereka dalam
masyarakat, mereka menginginkan peminpin yang berkemampuan tinggi
yang akan dikagumi dan dihormati oleh orang-orang lain dan dengan
demikian akan menguntungkan mereka. Faktor utama yang terpenting
dalam kepeminpinan adalah kepribadian. Peminpin harus lebih
bertanggung jawab, lebih ekstrovert, lebih bersemangat, lebih banyak akal,
dan lebih dapat mengambil inisiatif dengan yang bukan peminpin.
Emosinya stabil, penyesuaian dirinya baik, orang yang berbahagia dan
hanya mempunyai sedikit kecenderungan neurotik.
2.2.3 Ciri Individu yang Memiliki Kemampuan Bersosialisasi
Berdasarkan uraian WHO (1989 dalam Purba, 2009) tentang
ketidakmampuan bersosialisasi maka dapat diasumsikan bahwa ciri individu yang
mampu bersosialisasi adalah individu dapat melakukan aktivitas yang biasa antara
lain: dapat makan dan minum sendiri, menjaga kebersihan diri, memakai pakaian
sendiri, mengerti instruksi yang disampaikan, mudah mengekspresikan kebutuhan,
mampu menggunakan tanda-tanda dan gerakan-gerakan untuk komunikasi yang
dimengerti oleh orang lain, dapat berkomunikasi dengan berbicara dan
menggunakan bahasa dengan individu lain di sekelilingnya, ikut bergabung dalam
aktivitas keluarga, turut melakukan aktivitas dalam masyarakat, mampu bekerja,
tidak mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
2.2.4 Aspek-Aspek Kemampuan Bersosialisasi
Menurut Kuntjoro (1989, dalam Purba, 2009) aktivitas individu yang
memiliki kemampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu (a). Tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan kebutuhan hidup
sehari-hari (activity daily living= ADL), (b). Tingkah laku sosial dan (c). Tingkah
laku okupasional yang dapat, dijabarkan sebagai berikut:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
sehari- hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan individu sewaktu bangun
tidur.
2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk
tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan
mandi dan sesudah mandi.
4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan
5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang
dan setelah makan dan minum.
6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan
kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan
pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana individu mengerti dan dapat
menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh
benda tajam sembarangan, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan
yang positif.
8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang individu untuk pergi
tidur.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial individu
dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi
1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku individu untuk melakukan
hubungan sosial dengan sesama individu, misalnya menegur kawannya,
berbicara dengan kawannya dan sebagainya.
2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku individu untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab
pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.
3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap individu sewaktu berbicara
dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda
4) Bergaul, yaitu tingkat laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul
dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.
6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau
sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.
7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku individu yang bersifat
mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak
meludah sembarangan, tidak membuang sampah sembarangan dan
sebagainya.
c. Tingkah laku okupasional
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk
melakukan pekerjaan, hobby dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan
kehidupannya yang meliputi:
1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat
sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu,
membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.
2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang
dilakukan individu untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau
melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca.
3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku individu
yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan
4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang
dapat diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.
5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana individu
memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan
tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak
menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).
6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku individu
untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya
sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.
7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan
individu terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap
dan perbuatan tersebut berupa reaksi individu bila diperintah/disuruh,
dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak
mengindahkan dan sebagainya.
2.2.5 Tahap-tahap Sosialisasi
Menurut Mead G.H (dalam Abdullah, 2006) menjelaskan bahwa proses sosialisasi terdiri dari tiga tahap yaitu: tahap meniru (play stage), siap bertindak
dalam permainan (game stage), dan penerimaan norma (generalized other).
Tahap 1: play stage, atau tahap meniru, seorang anak mengambil (meniru)
sikap orang lain untuk dijadikan sikapnya sendiri, tahap 2: gamestage, pada tahap
ini anak tidak hanya telah mengambil peran yang telah harus dijalankannya tetapi
generalized other, pada tahap ini individu telah mampu mengambil peran yang
dijalankan oleh orang-orang dalam masyarakatnya, ia telah mampu berinteraksi
dan memainkan perannya dengan berbagai macam orang dengan status, peran dan
harapan yang berbeda-beda dalam komunitas atau kelompoknya.
2.2.6 Agen Sosialisasi
Menurut Jacobs dan Fullerdalam Abdullah (2006), mengidentifikasi empat
agen utama sosialisasi, yaitu: (1) keluarga, (2) kelompok pertemanan, (3) lembaga
pendidikan, dan (4) media massa. Para ahli sosiologi menambahkan juga peran
dan pengaruh dari lingkungan kerja.
a) Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang didasarkan pada hubungan darah
(genealogis), dapat berupa keluarga inti (ayah, ibu, dan atau tanpa
anak-anak baik yang dilahirkan maupun diadopsi), dan keluarga luas, yaitu
keluarga yang terdiri atas lebih dari satu keluarga inti yang mempunyai
hubungan darah baik secara hirarki maupun horizontal. Nilai dan norma
yang disosialisasikan di keluarga adalah nilai norma dasar yang diperlukan
oleh seseorang agar nanti dapat berinteraksi dengan orang-orang dalam
masyarakat yang lebih luas.
b) Kelompok Pertemanan
Dalam lingkungan teman sepermainan lebih banyak sosialisasi yang
berlangsung seseorang belajar bersikap dan berperilaku terhadap
hidupnya. Melalui lingkungan teman sepermainan seseorang mempelajari
nilai-nilai dan norma-norma dan interaksinya dengan orang-orang lain
yang bukan anggota keluarganya. Di sinilah seseorang belajar mengenai
berbagai keterampilan sosial, seperti kerjasama, mengelola konflik, jiwa
sosial, kerelaan untuk berkorban, solidaritas, kemampuan untuk mengalah
dan keadilan. Di kalangan remaja kelompok sepermainan dapat
berkembang menjadi kelompok persahabatan dengan frekuensi dan
intensitas interaksi yang lebih mantap. Bagi seorang remaja, kelompok
persahabatan dapat berfungsi sebagai penyaluran berbagai perasaan dan
aspirasi, bakat, minat serta perhatian yang tidak mungkin disalurkan di
lingkungan keluarga atau yang lain.
Peran positif kelompok sepermainan/persahabatan: memberikan rasa
aman dan rasa yang dianggap penting dalam kelompok yang berguna bagi
pengembangan jiwa, menumbuhkan dengan baik kemandirian dan
kedewasaan, tempat yang baik untuk mencurahkan berbagai perasaaan:
kecewa, takut, kawatir, suka ria, dan sebagainya. Merupakan tempat yang
baik untuk mengembangkan ketrampilan sosial: kemampuan memimpin,
menyamakan persepsi, mengelola konflik, dan sebagainya.
c) Lingkungan Pendidikan (Sekolah)
Di lingkungan pendidikan/sekolah anak mempelajari sesuatu yang baru
yang belum dipelajari dalam keluarga maupun kelompok bermain, seperti
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Lingkungan sekolah
nilai-nilai kebudayaan yang dipandang luhur dan akan dipertahankan
kelangsungannya dalam masyarakat melalui pewarisan (transformasi)
budaya dari generasi ke generasi berikutnya.
Fungsi sekolah sebagai media sosialisasi antara lain: mengenali dan
mengembangkan karakteristik diri (bakat, minat dan kemampuan),
melestarikan kebudayaan, merangsang partisipasi demokrasi melalui
pengajaran ketrampilan berbicara dan pengembangan kemampuan berfikir
kritis, analistis, rasional dan objektif, mengembangkan kemampuan
menyesuaikan diri dan kemandirian dan lain-lain.
d) Peran Media Massa
Para ilmuwan sosial telah banyak membuktikan bahwa pesan-pesan yang
disampaikan melalui media massa (televisi, radio, film, internet, surat
kabar, makalah, buku.) memberikan pengaruh bagi perkembangan diri
seseorang, terutama anak-anak. Beberapa hasil penelitian menyatakan
bahwa sebagaian besar waktu anak-anak dan remaja dihabiskan untuk
menonton televisi, bermain game online dan berkomunikasi melalui
internet, seperti yahoo messenger, google talk, friendster, facebook, dan
lain-lain.
e) Sistem/lingkungan Kerja
Di lingkungan kerja seseorang juga belajar tentang nilai, norma dan cara
hidup. Tidaklah berlebihan apabila dinyatakan bahwa cara dan prosedur
kerja di lingkungan militer berbeda dengan di lingkungan sekolah atau
kerja lingkungan militer dengan garis komando yang tegas. Dosen atau
guru lebih banyak bersosialisasi dengan iklim kerja yang lebih demokratis.
2.2.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Bersosialisasi
Ada dua faktor yang secara garis besar dapat mempengaruhi proses
sosialisasi, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.
a. Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang
melakukan sosialisasi. Sejak lahir manusia sesungguhnya telah memiliki sifat-sifat
dasar berupa bakat, ciri-ciri fisik, dan kemampuan-kemampuan khusus warisan
dari orang tua, minat, motivasi, serta kemampuan yang dimiliki individu dalam
rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang ada dimasyarakat.
Faktor ini akan menjadi bekal seseorang untuk melaksanakan beragam aktivitas
dalam sosialisasi. Hasilnya akan sangat berpengaruh terutama dalam perolehan
keterampilan, pengetahuan, dan nilai-nilai dalam sosialisasi itu sendiri.
b. Faktor Ekstrinsik
faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu. Faktor ini
dapat berupa nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, norma-norma, sistem
sosial, sistem budaya, dan sistem mata pencaharian yang ada dalam masyarakat.
Nilai dan norma yang ada dalam masyarakat menjadi pedoman bagi seseorang
untuk melakukan berbagai aktivitas agar sikap dan perilakunya sesuai dengan
berakumulasi pada diri seseorang dalam melaksanakan sosialisasi
(Alfinnitihardjo, 2010).
2.3REMAJA
2.3.5 Defenisi Remaja
DeBrun dalam Jahja (2011) mendefenisikan remaja sebagai periode
pertumbuhan antara kanak-kanak dan dewasa. Papalia dan Olds dalam Jahja
(2011), tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit
melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence) adalah
masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada
umumnya dimulai pada usi 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan
tahun atau awal dua puluh tahun.
Menurut Adam dan Gullota masa remaja meliputi usia 11-20 tahun (Jahja,
2011). Adapun Hurlock (2006), membagi masa remaja menjadi masa remaja awal
(13 hingga 16/17 tahun) dan masa remaja akhir (16/17 tahun hingga 18 tahun).
Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja
akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa
dewasa. Sedangkan menurut Freud (dalam Jahja, 2011), berpendapat bahwa pada
masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang
berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan
dalam hubungan dengan orang tua dan cita mereka dimana pembentukan
cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja
dewasa. Masa remaja dimulai dari usia 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi
wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Pada masa ini, individu
mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak
jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai
bentuk tubuh orang dewasa yang disertai juga dengan berkembangnya kapasitas
reproduktif.
2.3.6 Tugas Perkembangan Masa Remaja
Kay W, dalam Jahja (2011) mengatakan bahwa terdapat beberapa tugas
perkembangan yang harus dipenuhi pada masa remaja, yaitu:
a) Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya
b) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan figur-figur yang
mempunyai otoritas
c) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar
bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual
maupun kelompok.
d) Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya
e) Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap
kemampuannya sendiri.
f) Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar
skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup. (Weltan-schauung)
g) Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku)
2.3.7 REMAJA PUTRI
Menurut Kartono (1992) masa pubertas sebenarnya masa yang segera akan
dilanjutkan oleh masa adolesensi (masa pubertas lanjut). Masa pubertas mulai
kurang lebih usia 14 tahun; namun bagi anak perempuan pada umumnya terjadi
lebih awal daripada anak laki-laki. Dan akan berakhir pada usia kurang lebih usia
17 tahun. Sedangkan masa adolesensi diperkirakan mulai usia 17 tahun sampai
sekitar 19-22 tahun.
Kematangan seksual (kematangan fisik) yang normal pada umumnya
berlangsung pada usia 11-18 tahun; ada kalanya berlangsung lebih cepat ataupun
lebih lambat. Sebab dari percepatan atau pun kelambatan itu belum dapat
diterangkan dengan jelas. Namun ada pendapat yang mengatakan, bahwa
peristiwa ini disebabkan oleh pengaruh ras, iklim setempat, cara hidup.
Kematangan seksual berupa kematangan kelenjar kelamin yaitu testis pada anak
laki-laki dan ovarium pada anak wanita, serta membesarnya alat-alat kelaminnya
(ciri kelamin primer). Sebelumnya, peristiwa ini didahului oleh tanda-tanda
kelamin sekunder yaitu: gangguan peredaran darah, berdebar-debar, mudah capai,
dan kepekaan yang meninggi dari sistem syaraf; pertumbuhan rambut pada alat
kelamin dan perubahan suara (Kartono, 1992).
Beberapa sifat khusus kewanitaan yang banyak dituntut oleh masyarakat
yaitu: keindahan, kelembutan dan kerendahan hati. Keindahan psikis wanita yang
sangat dihargai antara lain: kehalusan, keramahan, keriangan (tidak bermuka
Apabila sifat-sifat positif ini tidak dimiliki seorang wanita maka wanita yang
bersangkutan disebut sebagai “tidak menarik” (Kartono, 1992).
Kelembutan itu mengandung unsur kehalusan; selalu menyebar iklim psikis
yang menyenangkan. Di samping itu kelembutan juga diperlukan untuk
“membantali” kekerasan, kesakitan dan kepedihan atau duka nestapa. Sedangkan
kerendahan hati itu artinya tidak angkuh, tidak mengunggulkan diri sendiri; tetapi
selalu bersedia mengalah, dan berusaha memahami kondisi pihak lain. Ciri khas
kewanitaan lainnya yaitu: memelihara (open, besorgend) yang kemudian
dikembangkan menjadi tuntutan etis, sebab bersumber dari cinta-kasih tanpa
pamrih, disertai pengorbanan (sering juga pengorbanan diri) dan atau penyerahan
diri (Kartono, 1992).
Sesungguhnya ada perbedaan esensial pada karakter wanita dewasa dan pria
dewasa yang telah diakui sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Perbedaan-perbedaan
fundamental tersebut antara lain:
a) Betapa pun baik dan cemerlangnya intelegensi wanita, namun pada intinya
wanita itu hampir tidak pernah tertarik secara menyeluruh pada soal-soal
teroritis seperti pada laki-laki.
b) Kaum wanita lebih praktis, labih langsung, dan labih meminati segi
kehidupan konkrit, serta segera.
c) Wanita pada umumnya sangat bergairah, vivid dan penuh vitalitas hidup
karena itu wanita tampak lebih spontan dan impulsif.
d) Wanita pada hakekatnya lebih bersifat hetero-sentris dan lebih sosial
e) Wanita lebih banyak mengarah keluar, kepada subjek lain.
f) Kaum laki-laki disebut sebagai lebih egosentris atu lebih self-oriented.
g) Menurut professor Heymans (dalam Kartono 1992), perbedaan antara
laki-laki dan wanita terletak pada sifat-sifat sekundaritas, emosionalitas, dan
aktivitas dari fungsi-fungsi kejiwaan. Pada wanita, fungsi sekunderitasnya
tidak terletak pada bidang intelek, akan tetapi pada perasaan. Oleh karena
itu nilai perasaan dan pengalaman-pengalamannya jauh lebih lama
mempengaruhi struktur kepribadiannya.
h) Kebanyakan wanita kurang berminat pada masalah-masalah politik;
terlebih-lebih politik yang menggunakan cara-cara licik, munafik, dan
kekerasan.
i) Wanita juga sangat peka terhadap nilai-nilai estetis.
j) Dalam kehidupan sehari-hari, wanita lebih aktif dan tegas. Jika seorang
wanita telah memilih sesuatu dan telah memutuskan untuk melakukannya,
maka tidak banyak berbimbang hati melakukan langkah-langkah
selanjutnya.
k) Pada kaum pria terdapat garis pemisah yang jelas antara kehidupan
indriawi, dan kehidupan intersse pribadi dengan tugas kewajiban yang
formal sehari-hari.
l) Kesatuan totalitas dari tingkah laku wanita itu bukan terletak pada
kesadaran obyektif menuju pada suatu tujuan; akan tetapi lebih terletak
pada kehidupan perasannya.
n) Perbedaan lain antara kaum pria dan wanita dalam hal aktivitasnya ialah:
wanita lebih suka menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan
ringan (Kartono, 1992).
2.4PANTI ASUHAN 2.4.1 Defenisi Panti Asuhan
Panti asuhan adalah suatu lembaga untuk mengasuh anak, menjaga dan
memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka
menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas
dirinya dan terhadap masyarakat di kemudian hari. Panti asuhan sebagai pengganti
orang tua, sehubungan dengan orang tua anak tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya dalam mendidik dan mengasuh anak (BPKKS dalam Margareth, 1999).
2.4.2 Penghuni Panti Asuhan
Menurut ketentuan dari Departemen Sosial Republik Indonesia berdasarkan
ketentuan tahun 1981 (dalam Margareth, 1999), anak yang diasuh di panti asuhan
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Sudah tidak memiliki orang tua sama sekali (yatim piatu)
b) Memiliki orang tua tetapi tidak lengkap (yatim/piatu)
c) Memiliki lingkungan keluarga yang mengalami perpecahan (orang tua
bercerai) atau yang mengalami keregangan dan sudah tidak mengalami
kasih sayang dan suasana akrab dalam keluarga
e) Masih memiliki orang tua namun karena satu atau lain hal mengalami
keterlantaran.
Penyebab keterlantaran adalah:
1) Keberadaan orang tua sudah tidak ada, karena meninggal dan tidak
memiliki sanak saudara yang dapat merawat
2) Tingkat sosial ekonomi yang rendah sehingga kebutuhan pokok tidak
terpenuhi
3) Keluarga tidak menginginkan keberadaan anak dengan berbagai macam
alasan, misalkan anak lahir di luar perkawinan yang sah
4) Orang tua tidak dapat dan tidak mau menjalankan perannya sebagai orang
tua dalam jangka waktu lama, misalkan orang tua terlalu sibuk, dipenjara,
menderita penyakit kronis dan lain-lain.
2.5 Hubungan Penerimaan Diri Dengan kemampuan Bersosialisasi Remaja Putri
Penerimaan diri merupakan bagian dasar dari harga diri. Harga diri
merupakan salah satu bagian dari konsep diri individu dimana konsep diri yaitu
semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat individu mengetahui
tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri
individu tidak terbentuk waktu lahir tetapi dipelajari sebagai hasil dari
pengalaman unik individu dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan
dengan realita hidup. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan
individu akan lebih mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya
sedangkan harga diri rendah akan menunjukkan penghargaan buruk terhadap
dirinya sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial
(Stuart dan Sudden, 1998).
Penerimaan diri baik akan menghasilkan harga diri tinggi yang akan
mempengaruhi penyesuaian sosial individu dimana semakin baik penyesuaian
sosial maka akan mempengaruhi kemampuan bersosialisasi individu tersebut
(Stuart dan Sudden, 1998).