Pemeliharaan Anjing Dalam Perspektif Hadis
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh :
Nur Ashlihah Mansur
NIM : 1112034000105
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Pemeliharaan Anjing dalam Perspektif Hadis” telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
2017 Januari 24
Jakarta,
Sidang Munaqasah,
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Dra. Banun Binaningrum, M.Pd NIP. 19711003 199903 2 001 NIP. 19680618 199903 2 001
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. M. Zuhdi Zaini, M. Ag Drs. Harun Rasyid, MA NIP. 19650817200003 1 001 19600902 198703 1 001
Pembimbing,
ABSTRAK
NUR ASHLIHAH MANSUR
Pemeliharaan Anjing dalam Perspektif Hadis
Penggunaan metode maupun pendekatan yang berbeda, akan mengahasilkan perbedaan pemahaman dalam memahami suatu teks, baik itu al-Qur’an maupun hadis. Dalam skripsi ini penulis akan membahas pemahaman hadis terkait dengan pemeliharaan anjing. Dua hadis yang akan penulis bahas adalah hadis tentang tidak masuknya malaikat ke dalam rumah yang terdapat anjing di dalamnya dan hadis tentang berkurangnya pahala seseorang apabila memelihara anjing selain untuk berburu, menjaga ternak dan menjaga ladang.
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan metode pemahaman hadis Syuhudi Ismail yang penulis rangkum dari buku karya beliau yang berjudul “Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Telaah Ma’ani al -Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal)”. Empat langkah yang digunakan adalah mencari tahu seputar bentuk matan hadis Nabi dan cakupan petunjuknya, kandungan hadis dihubungkan fungsi Nabi Muhammad, Petunjuk hadis Nabi dihubungkan dengan latar belakang terjadinya, dan petunjuk hadis Nabi yang tampak saling bertentangan.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji saya panjatkan kepada Allah SWT. yang memberikan begitu banyak nikmat dalam kehidupan yang saya jalani ini, terlebih nikmat untuk menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang kuliah S1 saya ini. Selanjutnya tak lupa saya haturkan shalawat serta salam kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta kepada seluruh umatnya.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) dari Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis, dan kini telah berubah menjadi jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan Ilm Hadis sebagaimana Surat Keputusan dari Kementrian Agama. Dan Judul yang penulis ajukan adalah “Pemeliharaan Anjing dalam Perspektif Hadis”.
Dalam penyusunan Skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosada, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti perkuliahan di Fakultas tersebut hingga akhir.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir) dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd (selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir) yang selalu memberikan kemudahan, baik dalam hal administari maupun yang lainnya kepada saya.
4. Dr. M. Isa HA. Salam, M.Ag selaku dosen pembimbing yang selalu sabar membimbing saya selama proses pembuatan skripsi.
v
6. Jauhar Azizy, MA yang telah membantu saya menguatkan hati untuk tetap mempertahan judul skripsi yang saya buat, serta membantu memberikan pengarahan terkait skripsi yang saya buat ini.
7. Rifqi Muhammad Fatkhi, MA yang juga turut membantu memberikan pengarahan kepada saya saat awal pembuatan skripsi ini.
8. Drs. Mansur HM dan Eviyana, S.Pd kedua orang tua yang tak pernah lelah mendoakan kebaikan untuk anaknya ini, saya mampu menyelesaikan tugas akhir ini tentunya berkat doa dari mereka berdua. Juga adik-adikku tercinta yang berkat merekalah aku semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini As’ad Kholilullah, M. Irsyad Fuadi, dan bidadari kecilku Sayyidah Aliyatul Azizah.
9. Para guru dan dosen yang telah mengajarkan dan memberikan saya ilmu pengetahuan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka semua.
10.Keluarga Besar PMII Komfuspertum, para senior; k’Baiquni, k’Najib, k’Umam, k’Bahar, k’Rasyididan k’Ali yang membantu banyak hal selama saya kuliah. Baik dalam hal akademik mapun yang lainnya. Dan juga sahabat-sahabati yang lain semoga bisa segera menyusul menyelesaikan tugas akhir.
11.Sahabat-sahabat seperjuangan TH 2012 terkhusus TH C, semoga persahabatan kita tak hanya berakhir sampai sini, terima kasih telah menjadi hal yang berharga karna telah hadir melengkapi hari-hariku. Ala, ninu, zulfa, lia, kang ayat, dll. yang tak bisa disebutkan satu persatu.
12.Ada banyak orang lagi, namun tidak bisa saya sebutkan semuanya. Tapi yang pasti saya sangat berterima kasih atas apa yang telah mereka lakukan.
Saya berharap Allah membalas semua kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat.
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK...iii
KATA PENGANTAR...iv
DAFTAR ISI...vi
PEDOMAN TRANSLITERASI...viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Permasalahan...7
C. Tujuan dan Manfaat...9
D. Kajian Pustaka...10
E. Metodelogi Penelitian...12
F. Sistematika Penulisan...13
BAB II METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS A. Pengertian Metode Pemahaman Hadis...15
B. Sejarah Metode Pemahaman Hadis...16
1. Ulama Klasik...16
2. Ulama Kontemporer...18
C. Metode Pemahaman Hadis Syuhudi Ismail...20
vii
B. Hadis Tentang Memelihara Anjing...40
C. Pemahaman Hadis...56 1. Hadis Ditinjau dari Bentuk Makna dan Cakupan Petunjuknya………...56
2. Kandungan Hadis dihubungkan dengan Fungsi Nabi……60 3. Petunjuk Hadis Dihubungkan dengan Latar Belakang Terjadinya………..62
4. Petunjuk Hadis yang Tampak Saling Bertentangan……..63
D. Manfaat Kegunaan Anjing...68
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan...69
B. Saran-Saran...69
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Padana Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan
b be
t te
ث ts te dan es
j Je
ح h ha dengan garis bawah
kh ka dan ha
d de
dz de dan zet
r Er
z Zet
s Es
sy es dan ye
s es dengan garis di bawah
ḏ de dengan garis di bawah
ṯ te dengan garis di bawah
ظ ẕ zet dengan garis di bawah
‘ koma terbalik di atas hadap kanan
gh ge dan ha
ف f Ef
q Ki
k Ka
l El
m Em
ix
w We
h Ha
ء ` apostrof
y Ye
B. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َ a fatḫah
َ i kasrah
َ u ḏammah
Adapun untuk vocal rangkap :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َ ai a dan i
َ au a dan u
C. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokla Latin Keterangan
ى â a dengan topi di atas
ي ى î i dengan topi di atas
ى û u dengan topi di atas
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf “l”, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
E. Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
x
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh haruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
ل
ْ
tidak ditulis dengan ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.F. Ta Marbȗtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berarti sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h”. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t). namun jika huruf ta marbûtah diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t”
G. Huruf Kapital
1
A. Latar Belakang
Hadis Nabi merupakan landasan ajaran kedua setelah al-Qur’an. Selain
sebagai penjelas al-Qur’an, hadis terkadang mengkhususkan makna ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum1, serta menjadi penguat terhadap hukum-hukum yang
terkandung di dalam al-Qur’an.2 Bahkan terkadang juga hadis menciptakan hukum
syari’at yang belum dijelaskan dalam nash al-Qur’an meskipun yang demikian ini
masih menjadi perdebatan apakah hadis berdiri sendiri sebagai dalil hukum atau hadis menetapkan dalil yang terkandung atau secara tersirat dalam teks al-Qur’an.
Pemahaman terhadap hadis juga tidak jauh berbeda dengan pemahaman
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang senantiasa mengalami perkembangan, baik dalam hal metode maupun pendekatan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar
karena permasalahan masyarakat terus berkembang, maka pemahaman terhadap hadis ataupun teks-teks agama juga harus berkembang semata-mata untuk mengali pesan-pesan agama yang sesuai dengan konteks kekinian. Proses pemahaman
Nisa’ [4]:11 yang berbunyi
-Salah satu ayat yang dikhususkan oleh hadis adalah QS. An
م ك ل ۖۡم ك ٰ ل ۡ ٓي ف َٱ م ي ص ي نۡي ي ن ۡۡٱ ظ ح لۡ
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” Dikhususkan dengan hadis
م ث ْ ن ا ء ي ن ا ش م نْ ن
ق ص ك ت “kami para nabi tidak diwarisi, sesuatu yang kami tinggalkan menjadi sedekah”.(HR. Muslim) hadis tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat
al-Qur’an yang menjelaskan tentang disyari’atkannya waris bagi umat Islam.
2 ا ه ل ا ْ ش سْ خ ع اْسإ ي ب م س هي ع ه ص ه س ق ق ع ه يض ع نب نع
terhadap hadis tersebut kemudian menjadi tidak terbatas dan terus berkembang
hingga tak terhitung jumlahnya.
Salah satu permasalahan yang tengah dihadapi umat Islam saat ini adalah
tentang memelihara anjing. Mayoritas umat Islam menganggap bahwa anjing adalah binatang yang najis dan haram dipelihara. Namun di samping itu, saat ini tidak sedikit masyarakat muslim yang memelihara anjing.
Apabila kita merujuk kepada al-Qur’an, terdapat kata anjing atau “al-Kalb” dalam empat ayat pada tiga surat al-Qur’an. Pertama, yakni pada surat al-Maidah
ayat 4, ayat ini menjelaskan tentang halalnya daging hasil buruan hewan yang telah dilatih dan dilepas dengan menyebut nama Allah. Kedua, pada surat al-A’raf ayat 176 menjelaskan tentang manusia yang tergila-gila kepada dunia dan selalu
mengikuti hawa nafsunya diibaratkan seperti anjing yang selalu menghulurkan lidahnya. Dan ketiga, pada surat al-Kahfi ayat 18 dan 22 yang menjelaskan tentang
anjing yang menjadi teman sekaligus pelindung pemuda-pemuda beriman yang bersembunyi di dalam gua demi menyelamatkan keimanan mereka.3
Sedangkan di dalam hadis, cukup banyak pembahasan yang berkaitan
dengan anjing. Para ulama klasik berbeda pendapat dalam memahami hadis-hadis tentang memelihara anjing. Pemahaman tersebut tentunya tidak terlepas dari
beragam cara yang mereka gunakan dalam memahami hadis sehingga
3Munirah Abdurrazaq, “Hadis-hadis mengenai anjing: Tumpuan Kepada Isu Pemeliharaan
menghasilkan hukum sesuai ijtihad mereka masing-masing yang kemudian
menghasilkan perbedaan sikap dan perilaku terhadap binatang tersebut.
Dalam hal ini ulama fiqih sebagai pemegang porsi paling besar dalam
membahas masalah memelihara anjing. Hal tersebut bermula dari pemahaman mereka tentang najis atau tidaknya tubuh anjing.
ْ ع ث ح
ه
ق ْي ه ي ب ْن ع ْع ْۡ ْن ع ن ل ي ب ْن ع ك ل م ْن ع ف س ي نْب
س
ه
ص
ه
ْ س هْ ْغ يْ ف ْم ك ح ء ن ي ف بْ ْل ش ق م س هْي ع
“Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yûsuf dari Mâlik dari Abu Al-Zinâd dari Al-A'raj dari Abu Hurairah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: "Jika anjing menjilat bejana seorang dari kalian, maka hendaklah ia cuci hingga tujuh kali5.”
Berdasarkan hadis ini, Imam Syâfi’î menganggap bahwa anjing adalah
binatang yang najis, sebab kenajisannya maka Rasul memerintahkan untuk mencuci bekas jilatannya hingga tujuh kali yang mana hal ini menunjukkan bahwa najis
anjing adalah najis yang berat. Karena hal itu, Imam Syâfi’î yang dikenal sangat berhati-hati dalam mementapkan suatu hukum, maka memilih untuk menetapkan hukum memelihara anjing untuk keperluan apapun adalah haram. Berbeda halnya
dengan Imam Maliki yang tidak menganggap anjing sebagai hewan yang najis dan beliau justru lebih longgar dalam menetapkan hukum dan mengatakan bahwa
memelihara anjing untuk keperluan mengamankan rumah hukumnya adalah
4Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâil al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahih (selanjutnya disebut Sahih al-Bukhârî), (Beirut:Dar al-Fikr, tt.) kitab al-Tahârah no. 167.
mubah. Maka apabila terkena jilatan atau tetesan air liurya maka wajib dibersihkan
sesuai syari’at Nabi.6
Pendapat beliau tersebut berdasarkan ayat:
ۡ ي
ت ني م ح وۡلٱ ن م م م ۡ ع م ٰ يَلٱ م ل ل ح ۡل ق ۖۡم ل ل ح ٓ م ك ن
ع م ن ن
م
ۡٱ ۡم ۡي ع نۡ ۡم ٓ م ْ ف ۖ َٱ
ۡلٱ عي س َٱ َٱ ْ تٱ ۖ هۡي ع َٱ مۡسٱ ْ ك
“Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?".
Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.”7
Di samping perdebatan tentang kenajisan anjing, terdapat pula golongan
yang menunjukkan sikap tidak senang terhadap anjing bahkan sampai dengan tega membunuhnya. yang demikian itu berdasarkan sebuah hadis Nabi yang memerintahkan untuk membunuh anjing.
ْ ع ث ح
ه
ْ ع ْن ع ، ع ف ن ْن ع ، ك ل م ن ْخ ، ف س ي نْب
ه
ي ض ، ع نْب
ه
ْ ع
س "
ه
ص
ه
". ا ْل لْم ب م م س هي ع
“sesungguhnya Rasulullah saw. memerintahkan untuk membunuh anjing
.”8
Dalam sebuah artikel didapatkan informasi bahwa setiap bulan Ramadhan banyak masyarakat muslim yang membawa anjing mereka ke rumah sakit hewan atau klinik untuk memberikan suntikan mematikan. Alasan yang diberikan oleh
6Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’atsir, 1985), c. 2, jilid 1, h. 153.
7 QS. Al-Maidah [5]:4.
mayoritas Muslim ini adalah bahwa Islam melarang mereka untuk memelihara
anjing. Selain itu juga terjadi penelantaran terhadap anjing yang akhirnya membuat hewan tersebut mati karena kelaparan tidak mendapatkan makanan, 9 hal tersebut
menurut penulis merupakan salah satu akibat dari pemahaman yang kurang tepat yang dilakukan oleh umat Islam terhadap sebuah teks hadis.
Kajian tentang memelihara anjing menjadi penting sebab tidak semua umat
Islam melarang untuk memelihara anjing dengan menimbang bahwa banyak manfaat yang dihasilkan dari memelihara anjing. Hal tersebut tentunya tidak
terlepas dari bagaimana hadis tentang anjing tersebut dipahami.
Selain hadis yang telah disebutkan di atas, ada beberapa hadis lain yang juga menjadi penyebab perbedaan pemahaman tentang memelihara anjing. Di antara
hadis tersebut adalah yang menjelaskan bahwa malaikat tidak akan memasuki rumah yang terdapat anjing di dalamnya.
س ن ي ي ن ْخ بْه نْب ن ْخ يْ ي نْب م ْ ح ي ث ح
ل نْب ْن ع ش نْب ْن ع
ْ ع
ه
س ن ْي م ي ْت ْخ ق ع نْب
ه
ص
ه
ْ ي ح ْص م س هْي ع
م
س ي ن ْي م ْ ل ف ج
ه
ك م ْي ه ْ ْ مْس ْ ل
س ق ْ يْل ْ م
ه
ص
ه
هْي ع
ي ْ ي ْم ف ْي ل ي ن ْ ي ْ ي ن ع ك لي ْ ج م س
ه
س ل ف ق ي ْخ م
ه
ص
ه
ع ك ل ه م ْ ي م س هْي ع
ه ب م أ ف ل َْ ف ْ ت بْ ك ْ ج ه ْ ن ي ف ع ق م ث ك ل
ْ ع ْ ك ْ ق ه ل ف لي ْ ج ه ي ل ْم ف ه ن م ح ف ء م ي ب خ م ث ْخ أ ف
ي ت
ي ن ْ ت ْ
ج ق ح ْل
س ح ْص أ ف ص ا بْ ك هي ف مْي ب ل خْ ن ا ل ْل
ه
ص
ه
هْي ع
ك ْم ي ي غ ل ط ئ ْل بْ ك لْم ب مْأ ي هن م ح ا ْل لْم ب م أ ف م ْ ي م س
ْ
ط ئ ْل ب
ْل
ي
“Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya; Telah mengabarkan kepada kami Ibn Wahb; Telah mengabarkan kepadaku Yunûs dari Ibn Syihâb dari Ibn al-Sabbâq bahwa 'Abdullah bin 'Abbâs berkata; Telah mengabarkan kepadaku Maimûnah; bahwa pada suatu pagi Rasulullah saw. kelihatan diam karena susah dan sedih. Maimunah berkata; "Ya, Rasulullah! Aku heran melihat sikap Anda sehari ini. Apa yang telah terjadi?" Rasulullah saw. menjawab: 'Jibril berjanji akan datang menemuiku malam tadi, ternyata dia tidak datang. Ketahuilah, dia pasti tidak menyalahi janji denganku! ' Demikianlah Rasulullah saw. senantiasa kelihatan susah dan sedih sehari itu. Kemudian beliau melihat seekor anak anjing di bawah tempat tidur kami, lalu beliau menyuruh keluarkan anak anjing itu. Kemudian diambilnya air lalu dipercikinya bekas-bekas tempat anjing itu. Ketika hari sudah petang, Jibril datang menemui beliau. Kata beliau kepada Jibril: 'Anda berjanji akan datang pagi-pagi.' Jibril menjawab; 'Benar! Tetapi kami tidak dapat masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar.' Pada pagi harinya Rasulullah memerintahkan supaya membunuh semua anjing, sampai anjing penjaga kebun yang sempit, tetapi beliau membiarkan anjing penjaga kebun yang luas.
Diantara sebab malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat
anjingnya adalah karena anjing memakan apa saja termasuk kotoran (barang najis), Sebab anjing memiliki bau yang buruk, dan malaikat tidak suka terhadap bau yang buruk, dan juga karena dalam suatu riwayat menyebutkan bahwa sebagian anjing
adalah setan, dan malaikat adalah kebalikan (musuh) dari setan.11
Selain itu, ada juga hadis yang menyebutkan bahwa pahala akan berkurang
tiap harinya apabila seseorang memelihara anjing.
ْي ه ي ب ْن ع س ي ب ْن ع ي ك ي ب نْب يْ ي ْن ع ه ث ح ل ف نْب م ث ح
ي ض
ه
س ق ق هْ ع
ه
ص
ه
ْ ي ل ك ص ْ ي هن إ ف ْ ك ك ْم ْن م م س هْي ع
ْن م
ل ْن ع ْي ه ي ب ْن ع ح ل ص ب ني ي س نْب ق ي ش م ْ ث ْ ح بْ ك ا ي ق ه ع
ي
ص
ه
ْي ه ي ب ْن ع ح ب ق ْي ص ْ ث ْ ح ْ م غ بْ ك ا م س هْي ع
ل ْن ع
ي
ص
ه
ي ش م ْ ْي ص بْ ك م س هْي ع
“Telah menceritakan kepada kami Mu'âdz bin Fadâlah telah menceritakan kepada kami Hisyâm dari Yahya bin Abî Katsîr dari Abî Salamah dari Abî Hurairah ra. berkata; Rasulullah saw. bersabda: "Siapa yang menyentuh anjing berarti sepanjang hari itu dia telah menghapus amalnya sebanyak satu qîrâth13 kecuali menyentuh anjing ladang atau anjing jinak". Berkata, Ibn Sîrîn dan Abû Sâlih dari Abî Hurairah ra. dari Nabi saw,: "Kecuali anjing untuk mengembalakan kambing atau ladang atau anjing pemburu". Dan berkata, Abû Hâzim dari Abî Hurairah dari Nabi saw. : "Anjing pemburu atau anjing yang jinak”.
Menurut penulis, kedua hadis inilah yang mengindikasikan bahwa memelihara anjing adalah dilarang. Dengan kedua hadis inilah penulis akan
meneliti lebih lanjut untuk mendapatkan pemahaman tentang memelihara anjing. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan di atas, penting
kiranya bagi penulis untuk menuangkan karya ilmiah berupa skripsi dengan judul :
Pemeliharaan Anjing dalam Perspektif Hadis
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
12 Sahîh Bukhârî, Jilid 3, h. 136.
13 Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pahala akan berkurang dua qirath tiap harinya apabila memelihara selain anjing yang disebutkan dalam hadis. Sedangkan besaran ukuran qirath
tersebut hanya Allah yang tahu maksud sebenarnya. Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang redaksi yang menyebutkan akan berkurang dua qirath , ada yang berpendapat bahwa berkurangnya
dua qirath hanya berlaku di Madinah, sedangkan selain di sana, maka pahala yang berkurang satu
qirath. Dalam kitab al-Bahr disebutkan bahwa berkurannya pahala adalah dari amalan yang telah
lalu, maupun yang yang akan datang. Dikatakan pula bahwa berkurangnya dua qirath tersebut
adalah berkurang satu qirath pada siang hari, dan satu qirath pada malam hari. Disebutkan pula
bahwa pengurangan tersebut satu qirath untuk amalan yang yang fardu dan satu qirath lagi untuk
amalan yang Sunnah.
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas menghasilkan
perbedaan dalam menentuan sikap dalam masalah memelihara anjing. Pemahaman boleh atau tidaknya memelihara anjing menjadi meluas yang kemudian menjadi
permasalahan yang kini terjadi di masyarakat. Di sini lah penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana perlakuan umat Islam pada masa Nabi saw. terhadap
anjing?
b. Bagaimana hukum memelihara anjing dalam konteks kekinian?
c. Model metode pemahaman hadis apa yang tepat untuk memahami hadis tentang memelihara anjing?
d. Apa yang melatarbelakangi munculnya hadis yang mengindikasikan
‘larangan memelihara anjing?’
e. Bagaimana memahami hadis tentang memelihara anjing dalam
konteks kekinian?
2. Batasan Masalah
Berdasarkan beberapa identifikasi yang telah penulis ungkap sebelumnya,
penulis memfokuskan pada poin d dan e yaitu tentang latar belakang munculnya
hadis yang mengindindikasi ‘larangan memelihara anjing’ dan bagaimana
pemahaman hadits tentang memelihara anjing dalam konteks kekinian. Penulis
menggunakan Metode Pemahaman Hadits Syuhudi Ismail dalam memahami hadis tersebut. Sedangkan hadis-hadis tentang memelihara anjing, penulis batasi hanya
tentang memelihara anjing yaitu malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya
terdapat anjing dan tentang pahala atau amal perbuatan yang akan berkurang bagi orang yang memelihara anjing.
3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah skripsi ini adalah “Bagaimana memahami hadis tentang
memelihara anjing dalam konteks kekinian?”
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui beberapa metode pemahaman hadis.
b. Untuk menjelaskan beberapa perbedaan dalam memahami hadis tentang memelihara anjing.
c. Untuk menjelaskan kondisi sosial dan sebab munculnya hadis tentang memelihara anjing.
d. Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat secara metodik dalam memahami hadis dalam konteks kekinian.
2. Manfaat Penelitian
a. Pembaca memahami hadis tentang memelihara anjing dalam konteks kekinian dari perspektif Syuhudi Ismail.
b. Pembaca mengetahui kondisi sosial dan sebab munculnya hadis tentang memelihara anjing.
D. Kajian Pustaka
Penulis menemukan beberapa tulisan yang membahas perihal metode pemahaman hadis serta pemeliharaan anjing, di antaranya :
Pertama, “Metode Pemahaman Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan
Asbâb al-Wurûd (Studi Komparasi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dengan M. Syuhudi Ismail)”, ditulis oleh Siti Fatimah berisi tentang perbandingan metode
pemahaman hadis yang salah satunya adalah dengan mempertimbangkan asbâb
al-wurûd oleh Yûsuf al-Qarḏâwî dan M. Syuhudi Ismail yang mana keduanya memiliki perbedaan dari segi pengungkapan. M. Syuhudi Ismail mengungkapkan bahwa turunnya suatu hadis, adakalanya didahului oleh sebab tertentu, namun adakalanya juga tanpa didahului oleh sebab tertentu sehingga kandungannya harus
dipahami secara tekstual maupun kontekstual. Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam Islam terdapat ajaran yang bersifat universal, temporal, dan lokal.
Sedangkan Yûsuf al-Qarḏâwî mengungkapkannya secara global yakni suatu hadis harus dipahami berdasarkan kondisi yang meliputinya serta dimana dan untuk tujuan apa hadis tersebut diucapkan. Sehingga maksud hadis dapat diketahui
dengan jelas dan terhindar dari perkiraan yang menyimpang serta dapat dibedakan mana hadis yang mempunyai sebab umum atau khusus, dan mana yang bersifat
temporal, kekal, parsial atau total.14
Kedua, satu-satunya skripsi yang penulis temukan yang berkaitan dengan
anjing adalah “Hukum Jilatan Anjing Menurut Madzhab Maliki dan Madzhab
14 Siti Fatimah, “Metode Pemahaman Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan Asbabul
Wurud : Studi Komparasi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dengan M. Syuhudi Ismail”, (Skripsi S1
Syâfi’î”, ditulis oleh Muhammad Karbi. Skripsi ini menjelaskan tentang hukum
jilatan anjing menurut madzhab Maliki dan Syâfi’î yang mana terdapat perbedaan dari keduanya. Madzhab Maliki menetapkan hukum jilatan anjing anjing adalah
suci dengan alasan bahwa perintah membasuh hingga tujuh kali bejana yang dijilat anjing sebagai ta’abbud (bentuk ibadah). Sedangkan madzhab Syâfi’î menetapkan hukum jilatan anjing itu adalah najis mutlak karena perintah membasuh hingga
tujuh kali itu tidak lain adalah karena najis atau adanya hadas. Dari hal itu mengingat lidah dan mulut adalah anggota utama hewan dan ia dikategorikan
sebagai najis, maka sudah tentu seluruh badannya termasuk air yang keluar dari tubuh anjing baik air kencing, kotoran dan juga keringatnya adalah najis.15
Ketiga, pembahasan perihal anjing dalam bentuk buku adalah Sunah Nabi
–Realiti dan Cabaran Semasa” yang berisi kumpulan artikel. Salah satu artikel
berjudul Hadis-hadis mengenai anjing: Tumpuan Kepada Isu Pemeliharaan dan
Pengaruhnya daripada Perspekti Hadis Ahkam. Artikel ini ditulis oleh Munirah Abdurrazaq yang di dalamnya membahas tentang hadis-hadis larangan dan kebolehan memelihara anjing antara hadis dan fiqih kemudian dikaitkan sama
kebiasaan orang Malaysia yang sering memelihara anjing dan nampaknya makalah ini hanya membahas tentang keharamannya saja tanpa mempertimbangkan
persoalan dan kondisi yang lain.16
15 Muhammad Kurbi, “Hukum Jilatan Anjing Menurut Madzhab Maliki dan Madzhab
Syâfi’î”, (Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011).
16 Munirah Abdurrazaq, “Hadis-hadis mengenai anjing: Tumpuan Kepada Isu
Kemudian keempat, penulis menemukan skripsi tentang metode
pemahaman hadis dengan judul “Memahami Hadis dengan Pemilahan Posisi Nabi.
saw.” ditulis oleh M. Khoirul Huda membahas tentang penerapan metode
pemahaman hadis dengan memilah posisi Nabi saw. yang dikebangkan oleh Ibnu
‘Âsyûr kemudian dibadingkan dengan metode yang seperti Ushul Fiqh serta metode
yang dikembangkan dalam ilmu matan hadis seperti Mukhtalif al-Hadîts, Gharîb
al-Hadîts dan Asbâb al-Wurûd menggunakan analisis wacana.17
Berangkat dari penelusuran yang penulis lakukan, tentunya bisa dipastikan
bahwa pembahasan yang akan penulis kaji dalam skrispi ini berbeda dengan tulisan sebelumnya. Dalam kajian metode pemahaman hadis, penulis hanya terfokus pada metode pemahaman Syuhudi Ismail dengan studi kasus memelihara anjing.
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan
(Library Research) dengan menggunakan sumber primer seperti kitab Sahih Bukhârî, Sahih Muslim dan kitab hadis lain yang tergolong dalam Kutub al-Sittah,
dan buku-buku karya Syuhudi Ismail yang berkaitan dengan metode pemahaman hadis.
Sumber pendukung yang akan penulis gunakan adalah kitab-kitab syah hadis Kutub al-Sittah serta referensi-referensi lain, baik dalam bentuk buku, jurnal,
artikel maupun hasil penelitian yang terkait dengan kajian/penelitian penulis.
2. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini adalah dengan mengumpulkan hadis-hadis yang membahas mengenai anjing dalam kitab-kitab hadis (Kutub al-Sittah) dengan
cara pengumpulannya yaitu dengan mencari kata kunci يب ئا ل , ص ن , ب لdan hanya dipilih tema-tema yang mengindikasikan memelihara anjing yaitu tentang malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat anjing dan tentang pahala atau
amal yang ebrkurang tiap harinya karena memelihara anjing. Metode pencarian ini menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâẓ al-Hadîts al-Nabawî karya A.
J. Wensinck serta dibantu aplikasi Maktabah Syamilah dan Lidwa.
3. Analisis Data
Setelah data terkumpul penulis akan menganalisis data menggunakan
pendekatan sejarah dan kebahasaan. Pendekatan sejarah di sini tentunya tidak akan terlepas dari sebab turunya hadis (Asbâb al-Wurûd) tersebut dan juga konteks sosial
yang terjadi pada saat itu. Adapun pendekatan kebahasaan adalah mengkaji dari segi bahasa teks hadis tersebut supaya mendapatkan makna yang lebih mendalam mengenai apa yang diriwayatkan pada hadis tersebut. Setelah itu penulis
mengaplikasikan metode pemahaman yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail yaitu pendekatan kontektual.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan pembahasan yang utuh maka diperlukan adanya sistematika penulisan. Dalam sistematika penulisan ini, dibagi menjadi lima bab,
dan masing-masing bab memiliki sub pokok bahasan.
BAB pertama adalah Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB kedua akan menguraikan tentang teori pemahaman hadis yang
selanjutnya akan lebih terfokus pada metode pemahaman hadis Syuhudi Ismail.
BAB ketiga akan memberikan penjelasan sekitar hadis tentang memelihara anjing terutama pada proses pengumpulan hadis (takhrîj), kemudian melakukan
pendekatan kebahasaan, sejarah serta setting sosial pada masa Nabi, serta pengaplikasian metode Syuhudi Ismail pada hadis memelihara anjing yang mana
kemudian menghasilkan pemahaman kontekstual terhadap hadis memelihara anjing.
BAB keempat yakni penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh uraian
yang telah dikemukakan atas permasalahan yang diteliti, kemudian disertai dengan saran-saran yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi untuk kajian lebih
15
Diperlukan adanya analisa untuk menemukan dan mengungkapkan pesan-pesan moral atau agama yang terkandung dalam teks hadis. Analisa tersebut memerlukan adanya proses disebut metode pemahaman hadis. Ibn al-Qayyim
dalam kitabnya al-Rûh sebagaimana dikutip oleh Yûsuf al-Qarḏâwî mengatakan bahwa perlu adanya pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Rasulullah,
tanpa dilebih-lebihkan maupun dikurang-kurangi.1 A. Pengertian Metode Pemahaman Hadis
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani metodhos, yang berarti cara atau
jalan.2 Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan dalam bahasa Arab disebut tharîqah dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung
arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuatu dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai yang ditentukan.3
Sedangkan pemahaman dalam Kamus Bahasa Indonesia merupakan kata benda yang merujuk pada proses, cara, perbuatan untuk mengerti atau memahami.4
1 Yusuf al- Qardawi, Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo : Dar al-Syuruq, 2004), cet. 3, h. 39.
2 Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia. 1997), h. 16
3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h.1022.
Kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab , al-Fahm (م ل) yang berarti
mengenali suatu objek dengan hati (ma’rifatuka al-syai’a bi al-qalb).5 Kata al-fahm semakna dengan kata understand, graps, comprehend, realize dan see dalam bahasa
Inggris yang berarti tahu, menangkap sesuatu yang sulit dimengerti, mengenal secara sempurna, mengetahui situasi yang terkadang terjadi tiba-tiba dan menemukan suatu pengertian.6
Sehingga penulis bisa katakan bahwa metode pemahaman hadis adalah sebuah cara yang digunakan untuk menangkap maksud dari suatu hadis untuk
menemukan suatu pemahaman yang benar. B. Sejarah Metode Pemahaman Hadis
Terdapat pembatasan dalam mengkasifikasikan ulama klasik dan ulama
kontemporer. Pembatasan yang di maksud dengan ulama klasik dalam di sini adalah dimulai dari masa Nabi hingga masa al-Khatîb al-Bagdâdî (464 H)7. Di antaranya
adalah para sahabat, tâbi’ dan tâbi’ tâbi’în yang mana di dalamnya termasuk para pensyarah hadis seperti Imam Nawawî, Ibn Hajar al-Asqalânî, dst. Sedangkan ulama klasik adalah masa setelah itu. Dan di antara ualam yang termasuk dalam
ulama klasik adalah Imam al-Ghazalî, Yûsuf al-Qardawî dan Syuhudi Ismail. 1. Ulama Klasik
Apabila dirunut dalam sejarah, praktik pemahaman hadis sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw. yakni sejak beliau menyampaikan sabdanya kepada
5 Ibn Mandzur, Lisan al-Arab (Dar al-ma’arif)tt. Jilid 5, h. 3481.
6M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilah Posisi Nabi saw.”, (Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 20.
7 M. Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran ‘Ulum al-Hadîs dari Klasik Sampai
sahabat. Demikian pula setelah sabda beliau dikutip, diriwayatkan dan dipahami
guna mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dari sanalah proses memahami terjadi dan berkembang semakin sistematis dan kompleks.8
Sahabat diyakini sebagai generasi paling baik dalam memahami hadis karena mereka tidak lain adalah pendengar langsung dari penyampai hadis itu sendiri.9 Namun setelah wafatnya nabi, para sahabat atau lebih tepatnya khalîfah
al-Râsyidîn yang menerima estafet kepemimpinan nabi serta generasi setelahnya
menghadapi masalah yang tidak terjadi pada masa nabi, sehingga mereka
menghasilkan ijtihad sendiri dalam mengambil keputusan. Tentunya keputusan yang mereka ambil berdasarkan nash-nash yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Sunnah nabi serta tidak bertentangan dengan keduanya. Dari sinilah muncul
beberapa tokoh yang memberikan alternatif dalam memahami setiap persoalan, salah satunya adalah Imam al-Syâfi’î.10
8Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw.”, h. 19.
9M. Khoirul Huda, Metode Pemahaman Hadis dalam Lintas Sejarah” artikel diakses pada 13 Agustus 2016 pada pukul 20.45 dari http://jurnalulumulhadis.blogspot.co.id/2014/01/metode-pemahaman-hadis-dalam-lintasan.html .
10 Imam al-Syafi’î memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin al-Said bin Abdil Manaf al-Mutalibi al-Quraisyi. Lahir pada tahun 150 Hijriah (767 Masehi) di Gaza, Palestina. Saat usia 2 tahun beiau dibawa ibunya ke Mekkah dan kemudian dibesarkan dan belajar agama. Belajar dan menghafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun,
dan beliau juga hafal kitab al-Muwatta’ ketika berusai tiga belas tahun dan membacanya dihadapan gurunya Imam Malik di Madinah. Beliau mengadakan dua kali perjalanan ke Baghdad untuk mempelajari fiqh yakni pada tahun 184 dan 195 H, serta melakukan perjalanan ke Mesir pada tahun 199 H. Beliau belajar fiqh dari seorang guru yang bernama Muslim bin Khalid al-Zanji, dan dari gurunya inilah beliau mendapatkan iziin untuk berfatwa sebelum umur dua puluh tahun. Beliau
adalah pendiri madzhab Syafi’iyah yang tersebar luar ke seluruh penjuru dunia Islam. Ia menguasai
bahasa dan syair Arab dengan sangat baik, serta memiliki argumentasi yang sangat kuat ketika berdebatdan dapat menundukkan lawan, baik dari ulama Irak maupun ulama Mesir. Pendapatnya memiliki kelebihan karena mengkkompromikan antara fiqh ulama Hijaz, Irak, dan Mesir. Ulama
Hijaz dikenal sebagai ahli hadis, ulama Irak dikenal sebagai ahli ra’yu, sedangkan ulama Mesir dikenal sebagai ahli hadis dan ahli ra’yu. Dengan demikian madzhab Syâfi’î berada di antara ahli hadis dan ahli ra’yu. Subhi al-Sâlih dalam Ulûm al-Hadîts wa Mushtalatuh serta Abdul Majid Khon
Imam Syâfi’î hadir menawarkan alternatif dalam memahami hadis yang
berkaitan dengan hukum fiqh. Dalam kitabnya yang berjudul ikhtilâf al-hadîts beliau menawarkan metode jam’ dan naskh. Selain itu, ada Ibnu Qutaibah yang
hadir memberikan metode dalam memahami hadis seputar perdebatan ilmu kalam dengan kitabnya ta’wîl mukhtalif al-hadits.11
Setelah itu juga, para pengumpul hadis-pun mempunyai andil yang sangat
besar dalam memberikan menafsirkan atau memberikan pemahaman terhadap hadis, sebagian pensyarah hadis sahîh Bukhârî menyatakan bahwa pendapat
al-Bukhârî dapat dilihat pada judul bab yang dibuatnya.12
Selanjutnya muncul para pensyarah kitab hadis, di antaranya adalah
al-Nawawî13 dan Ibn Hajar al-Asqalanî14 sebagai pensyarah kitab Sahîh Bukhârî dan
Sahîh Muslim.
2. Ulama Kontemporer
11M. Khoirul Huda, Metode Pemahaman Hadis dalam Lintas Sejarah.” 12Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw.”, h. 20.
13 Imam Nawawî penulis kitab Syarh Sahih Muslim memiliki nama lengkap Abû Zakariyâ Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Hizm al-Huzami al-Nawawî. Lahir pada bulan Muharram 631 Hijriah di Nawa. Dalam bidang hadis guru-gurunya antara lain adalah ‘Abd al-Azîz bin
Muhammad bin ‘Abd al-Muhsin al-Ansârî, Abû Ishâq bin Ibrâhîm bin ‘Umar al-Zain, Khâlid bin
Yûsuf bin Sa’ad, Ahmad bin ‘Abd al-Daim, dan Kamâl ‘Abd al-Azîz bin ‘Abd al-Mun’îm. Sementara dalam bidang fiqh gurunya antara lain adalah Ishâq bin Ahmad bin Utsmân al-Ma’ârri
dan Kamâl Sallar bin Hasan bin ‘Umar al-Irbilî. Selain syarh sahih muslim, karya lain beliau adalah al-Adzkar al-Nawawî, Riyâdh al-Sâlihîn, Bustân al-‘Ârifîn, al-Rauḏah, Minhâj Tibyân, al-‘Arqâ’ûn, Tahdzîb al-Asma’ wa al-Lughâh, dan Tabaqâh al-Fuqaha. Dalam Abdul Majid Khon
Takhrij dan metode memahami hadis.
14 Ibn Hajar al-Asqalânî memiliki nama lengkap Abû Faḏl Ahmad bin ‘Alî bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Alî bin Ahmad al-Kinanî al-Asqalânî al-Qahirî al-Syâfi’î. Lahir pada tahun 773 Hijriah di Mesir. Sejak tahun 777 ia sudah menjadi yatim piatu. Ia mulai belajar al-Qur’an pada usia
lima tahun, dan berhasil menghafal al-Qur’an ketika usia Sembilan tahun dan menjadi imam sholat
tarawih ketika berumur dua belas tahun. Ia tekun memepelajari hadis dan berguru pada al-Araqi yang memiliki ilmu yang sangat luas. Ia juga berrihla ke Syam, Hijaz dan Yaman. Selanjutnya ia memusatkan perhatiannya pada pengembangan hadis, dan upayanya ini membuat sejumlah ulama mengakuinya sebagai hafiz besar yang sangat masyhur dan tidak ada tandingannya di kalangan
muta’akhirin. Salah satu karyanya yang bermanfaat bagi umat islam adalah fath al-bârî. Dalam
Zaman semakin berkembang dan metode pemahaman terhadap hadis pun
semakin mengalami perkembangan. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya karya Muhammad al-Ghazâlî dengan kitabnya Al-Sunnah Nabawiyyah Bayn Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts.15 Buku tersebut diterbitkan pada awal tahun 1989 dan mendapat sambutan yang luar biasa hingga dicetak berulang kali. Namun di samping itu, buku tersebut juga menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang
hangat antara pro dan kontra yang mana disebabkan oleh rincian atau contoh-contoh hadis dalam buku tersebut yang menyatakan bahwa hadis-hadis sahîh yang
dicantumkan perlu dipertanyakan kembali karena dianggap berlawanan dengan al-Qur’an, kebenaran ilmiah maupun fakta historis.
Karena kontroversi yang terjadi akibat munculnya buku Muhammad
al-Ghazâlî, maka al-Ma’had al-‘Alamî Li Fikr al-Islamî (Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam) meminta Yûsuf al-Qardâwî untuk membuat buku yang
membahas luas tentang berbagai metodologi untuk memahami hadis, yang mana lembaga ini pula lah yang sebelumnya meminta kepada Muhammad al-Ghazâlî untuk menulis buku tentang kajian metode pemahaman hadis. Lalu kemudian
hadirlah buku Kaifa Nata’ammalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah.16 Buku ini juga mendapat sambutan yang luar biasa dan banyak dijadikan panduan dalam
mendapatkan metode pemahaman terhadap hadis Nabi.
15 Buku tersebut telah diterjemahkan Muhammad al-Baqir ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan dengan judul “Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw. : Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual”.
Selanjutnya lahirlah pemikiran baru tentang pengembangan metode
pemahaman hadis dari Syuhudi Ismail (1943-1995) yakni seorang ilmuan yang memiliki dedikasi tinggi terhadap pengembangan-pengembangan ilmu hadis di
Indonesia. Beliau melontarkan metode kritik matan hadis dengan melihat nuansa tekstual dan kontekstual hadis dengan tinjauan makna mempertimbangkan ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal.
C. Metode Pemahaman Hadis Syuhudi Ismail
Metode Pemahaman hadis Syuhudi Ismail tidak terkonsep secara langsung,
tetapi metodenya tergambar dalam buku karyanya yang berjudul “Hadis yang
Tekstual dan Kontekstual”. Buku tersebut menjelaskan secara rinci bagaimana cara
memahami hadis yang benar, Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa dalam
memahami hadis terkadang harus tesktualis, kontekstualis atau menggunakan keduanya tergantung konten dari hadis yang ingin dipahami17.
Syuhudi dalam pendahuluan buku tersebut mengungkapkan “kalau ajaran Islam yang sesuai dengan waktu dan tempat itu dihubungkan dengan berabagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat tersebut, maka berarti dalam Islam ada ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan tempat, selain itu ada ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu. Jadi, dalam Islam ada ajaran
yang bersifat universal, yang temporal dan ada yang lokal” 18
Pernyataan Syuhudi ini mengambarkan bahwa dalam memahami hadis harus sesuai dengan tempat, lokasi dan hal-hal yang bersifat umum. Namun demikian, Syuhudi dalam paparannya juga memberikan kaidah dan cara memahami hadis dengan
memperhatikan kaidah-kaidah sebagai berikut ini :
17 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2009)cet 2 h. 89.
1. Memperhatikan Bentuk Matan Hadis (Ditinjau dari Makna Bahasa dan
Kandungannya)
a. Jawâmi’ al-Kalim
Maksud Jawâmi’ al-Kalim ini adalah ungkapan yang singkat namun padat makna.Jawâmi’ al-Kalim merupakan indikator dari ciri khas kenabian.
Nabi bersabda :
ي ض ، ْي ه ي ب ْن ع
ه
س ، هْ ع
ه
ص
ه
: ق م س هي ع
م ل ع م و ب ْ ب
Dari Abî Hurâirah r.a Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda : Saya dibangkit (oleh Allah) dengan kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan yang singkat, namun padat makna19
Syuhudi menyebutkan bahwa dengan pernyataan tersebut, tidak diherankan
apabila tidak sedikit dijumpai matan hadis yang berbetuk Jawâmi’ al-Kalim. Sejalan dengan Syuhudi Ismail, Imam al-Bukhari sebagaimana dikutip oleh Daniel
Juned mengatakan bahwa “Jawâmi’ al-Kalim adalah khusus untuk Muhammad,
Allah memadukan persoalan yang banyak, yang termaktub dalam kitab-kitab
sebelumnya, ke dalam satu atau dua persoalan saja atau yang sama”20. Sedangkan
Ibnu Abd Al-Barr “Jawâmi’ al-Kalim adalah hadis yang ucapannya sedikit tetapi
mencakup makna yang banyak dan faidahnya bernilai tinggi”21.
Daniel Juned menyimpulkan dalam bukunya, bahwa Jawâmi’ al-kalim adalah nas-nas agama baik al-Qur’an atau hadis yang mengandung makna kuliyyah, yakni mengandung makna umum dan luas. Walaupun ada beberapa pendapat yang
19 Sahîh Bukhârî dalam kitab bada’ al-Khalq Juz 4 h. 65.
20 Daniel Juned, Ilmu Hadis: Pradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 191
mengatakan bahwa Jawâmi’ al-kalim hanya terdapat dalam al-Qur’an. Namun,
pernyataan ini terbantahkan dengan sendirinya karena kenyataan empiris membuktikan bahwa Jawâmi’ al-kalim juga banyak terdapat dalam hadis, atas dasar
inilah para ahli hadis mengatakan bahwa Jawâmi’ al-kalim diberikan oleh Allah kepada Rasulullah terdiri dari dua macam, yang pertama, terdapat dalam al-Qur’an
seperti terdapat dalam ayat yang menjelaskan tentang perintah berlaku adil. Kedua,
Jawâmi’ al-kalim terdapat dalam hadis-hadis Nabi yang tersebar dalam kitab induk
hadis dan jumlah ulama telah menghimpun Jawâmi’ al-kalim dalam beberapa
kitab.22
Ada beberapa kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi yang berbentuk
Jawâmi’ al-kalim, misalnya al-Ijaz wa Jawâmi’ Kalim min Sunan
al-Ma’tsurah yang disusun Abu Bakr bin Al-Sina, Al-Syihab fi Hakam wa al-Adab
susunan Abu ‘Abd Allah al-Qadha’i, al-Ahadits al-Kulliyah susunan Abu ‘Amr bin
al-Shalah; dan Jami’ al-Ulum wa al-Hikam fi Syarh Khamsina Haditsan min
Jawâmi’ al-Kalim susunan Zain al-Din Abu Fajr ‘Abd al-Rahman bin Rajab
al-Hanbali.23
Hadis yang diambil Syuhudi untuk memberikan contoh hadis yang Jawâmi’ al-kalim ini adalah hadis yang menjelaskan bahwa perang itu siasat.
ْ ع نْب ب ج ع س ْ ع ْن ع ْي ي ع نْب ن ْخ ، لْ ْل نْب ق ص ث ح
ه
،
ي ض
ه
ص ي ل ق : ق ، ْ ع
ه
عْ خ ْ ْل م س هي ع
."
22 Daniel Juned, Ilmu Hadis: Pradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, h. 193 23 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, h.10.
24 Sahîh Bukhârî dalam kitab bada’ al-wahy, jilid 4, h. 77 ; Sahîh Muslim dalam bab jawâz
al-khadâ’ fî al-harb, jilid 5, h. 143; serta diriwayatkan pula dalam Sunan Abû Dâud dan juga Sunan
“Menceriatakan kepada kami sadaqah bin al-Fasl, mengabarkan kepada
kami Ibn ‘Uyainah dari ‘Umar mendengar Jâbir bin ‘Abdullah ra. berkata : bersabda Nabi saw. Perang itu siasat(tipu daya).”
Syuhudi menjelaskan bahwa hadis ini harus dipahami sesuai teksnya karena
setiap perang pastilah memakai siasat, dan ini berlaku secara universal sebab tidak terkait dengan waktu dan tempat tertentu. Begitu pula dengan hadis lain yang
berbentuk Jawâmi’ al-kalim menuntut untuk melakukan pemahaman secara tekstual, namun di samping itu ada juga yang dapat dilakukan pemahaman secara
kontekstual dan menunjukkan adanya bagian ajaran Islam yang bersifat temporal di samping yang univesal.25
b. Bahasa Tamsil
Tamsil atau perumpamaan juga sering digunakan oleh Nabi dalam teks hadis. Salah satu hadis yang dijelaskan oleh Syuhudi Ismail adalah tentang dunia
sebagai penjara.
. هم هْت ل ْ ي ك ع ج ْق ْ ي ْم ل ْث ف ْ ي ْم ف َ ج ح ْن م
“Barang siapa melaksanakan ibadah haji karena Allah semata, lalu
(selama melaksakan ibadah haji itu) dia tidak melakukan pelanggaran seksual dan tidak berbuat fasik, niscaya dia seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya.”
Pemahaman kontekstual terhadap hadis di atas yakin yang dimaksud seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya itu adalah diampuni segala dosanya dan
dimaafkan segala kesalahannya oleh Allah apabila ia berhasil menunaikan ibadah haji menurut petunjuk syariat agama.27
c. Ungkapan Simbolik
25 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, h. 11-13. 26 Sahîh Bukhârî Juz 2, h. 164.
س
ع نب نع
ه
: ف . ل ي ن ظ نْي ب ج ل ك
ه
أ ب سْي ل ل ت
ع
ئ ي ع ه ْي ع أ ك يل نْي ل ع ج ل حي ل ا .
.“Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. menyebut Masih al-Dajjal di muka orang banyak. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah
Ta’ala tidak buta sebelah mata. Ketahuilah, sesungguhnya al-Masih al-Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, sedangkan matanya seperti buah anggur yang timbul.”
Apabila hadis ini dipahami secara tekstual, maka akan timbul pemahaman bahwa sosok Dajjal adalah yang bermata satu sebelah kanan, dan matanya seperti
buah anggur yang timbul. Syuhudi mengatakan bahwa hadis ini perlu dipahami secara kontekstual dan bermata satu dalam teks hadis tersebut dijadikan hanya sebagai simbol saja, yang mana menunjukkan adanya ketimpangan ketika penguasa
yang lalim, kaum miskin idak diperhatikan, amanah dikhianati dan kemaksiatan melanda. 29
d. Bahasa Percakapan (Dialog)
Nabi hidup di tengah-tengah masyarakat, tentunya sebagai seorang Rasul beliau sering mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang ajaran Agama Islam yang
dibawanya. Dari sini lah terjadi percakapan atau dialog yang kemudian menjadi sebuah hadis.30
Syuhudi dalam bukunya mencontohkan hadis-hadis tentang amalan utama yang diajarkan oleh Agama Islam. Dari beberapa hadis yang disebutkan terdapat jawaban berbeda-beda. Hal tersebut mungkin bermaksud untuk menyesuaikan
dengan keadaan si penanya ataupun keadaan kelompok masyarakat pada saat pertanyaan tersebut dilontarkan. Karena tentunya jawaban Nabi nantinya akan
28 Sahîh Bukhârî Juz 4, h. 278 ; Sahîh Muslim Juz 4 h. 2247.
menjadi petunjuk masyarakat pada saat itu. Dari sinilah bukti bahwa hadis nabi
bersifat temporal, atau lebih tepatnya disebut kondisional.31 e. Ungkapan Analogi
Analogi dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan persamaan atau persesuaian dari dua hal yg berlainan.32 Analogi dalam teks hadis dicontohkan oleh Syuhudi Ismail tentang laki-laki dari Bani Fazarah yang mengadu
kepada Nabi perihal istrinya yang melahirkan seorang anak laki-laki berkulit hitam dan sangat berbeda dengan kulitnya, hal tersebut membuat ia menyangkal anak
tersebut. Maka terjadi dialog sebagai berikut :
س ه ل ق
ه
ص
ه
ق ن ْل ف ق ْم ن ق ل ب ْن م ك ل ْل ه م س هي ع
س ي ق ه ء ج ك ل ت ن أ ف ق ق ْ ل ي ف ق ْ ْن م ي ف ْل ه ق ْ ح
ه
ع ن ْ ع
. هْ م ء مْن ا ي ف ه ل ْص خ ي ْم ل ه ع ن ْ ع ه ل ل ق
Nabi bertanya : “Apakah kamu mempunyai unta ?” orang itu menjawab : “Ya.” Nabi bertanya lagi : “Apa warna untamu itu” Dia menjawab : “Merah” Nabi bertanya lagi: “Apakah (mungkin untamu itu) dari (keturunan unta) yang berwarna abu-abu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya (bisa saja) untu itu berasal dari (unta yang) berwarna abu-abu.” Nabi bersabda : “Maka sesungguhnya saya menduga juga (untah merah) dating (berasal)dari (unta abu-abu).” Orang itu berkata : “Ya Rasulullah, keturunan (unta merahku) berasal darinya.” Nabi kemudia bersabda : “(Masalah anakmu yang berkulit hitam itu) semoga berasal juga dari keturunan
(nenek moyang)nya, dan (nenek moyang yang berkulit hita,) tidaklah menurunkan keturunan yang menghilangkan (tanda-tanda keturunan) darinya.”
Analogi dalam hadis tersebut yakni kesamaan antara ras yang diturunkan manusia dan unta. Terjadinya perbedaan warna kulit antara lelaki tersebut dengan
anaknya berasal dari nenek moyangnya.
2. Dihubungkan Dengan Fungsi Nabi (Sebagai Manusia Biasa atau Rasulullah)
Menurut Mahmud Syaltut, sebagaimana dikutip oleh Syuhudi bahwa sangat besar manfaatnya mengetahui posisi Nabi Muhammad yang selain berfungsi
sebagai seorang Rasul juga sebagai kepala negara, panglima perang, hakim, tokoh masyarakat, suami dan pribadi.34
Sebagian ulama menyatakan bahwa contoh hadis yang berhubungan dengan
fungsi Nabi sebagai Rasul adalah penjelasan Nabi tentang kandungan al-Qur’an, berbagai macam ibadah dan penetapan hukum tentang halal haramnya sesuatu, dan
hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah maka ulama menyatakan kesepakatan tentang wajib mematuhinya. Sedangkan hadis yang dikemukakan dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan pemimpin
masyarakat, kalangan ulama menyatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum. Dengan demikian, akal pikiran didorong
untuk mewujudkan kemaslahatan berdasarkan petunjuk-petunjuk umum syariat.35 Dalam hal ini, Syuhudi mencontohkan tentang keharaman kedelai kampung.
ي ض ، ع نْب ن ع
ه
ص ي ل ن : ق ، ْ ع
ه
لْك ْن ع م س هي ع
ي ْه ۡ ْل ل
.
“Dari Ibn ‘Umar ra. Berkata : Nabi saw. melarang makan daging keledai
kampung.”
34 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, h. 33. 35 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, h. 34.
Jika dipahami secara tektual makan akan menghasilkan sebuah pemahaman
bahwa memakan daging keledai kampung adalah haram atau makruh. Namun berbeda dengan Ibn Abbas, sahabat Nabi yang pakar dalam tafsir al-Qur’an dan
banyak meriwayatkan hadis Nabi. Beliau berpendapat daging keledai kampung halal dimakan berdasarkan salah satu ayat al-Qur’an.37 Dalam kitab fath al-bâri dan
Nail al-Auṯar sebagaimana dikutip oleh Syuhudi bahwa Ibn Abbas tidak mengerti tentang latar belakang keharaman daging keledai kampung tersebut, apakah bertujuan untuk memelihara populasi keledai kampung, atau larang tersebut hanya
berlaku dalam peperangan khaibar saja. Pendapat yang menyatakan keharaman ditetapkan oleh nabi antara lain adalah karena keledai kampung itu termasuk binatang yang kotor; binatang tersebut merupakan binatang piaraan di rumah; dan
karena Nabi telah melarangnya.38
Syuhudi menjelaskan bahwa “perbedaan pendapat tersebut menunjukkan adanya perbedaan pandangan tentang fungsi Nabi tatkala beliau menyatakan hadis tersebut. Sebagian golongan berpendapat bahwa pada saat itu fungsi Nabi sebagai Rsulullah; dan sebagian lagi berpendapat bahwa pada saat itu Nabi berfungsi sebagai kepala Negara atau pemimpinn masyarakat. Bagi golongan pertama, larangan tersebut bersifat universal, dengan bagi golongan yang disebutkan
terakhir, larangan bersifat temporal atau lokal.”39
Contoh lain yang disebutkan oleh Syuhudi adalah tentang pelukis yang disiksa:
ٓا ٓ ه َۡ ي ٖم ع ٰ ع م م ي ل ي ح ٓ م ي ف ج ٓا ل ق ۡ س ۡج هن إ ف ٖ ي خ م ۡ ل ۡ ح ۡ م م ۡ مۡي م ي
ٞمي ح ٞ غ كب إ ف ٖ ع ا ٖ ب ۡي غ َ ۡضٱ ن ف ه ب َٱ ۡي غ ل ل ه ۡ ف
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" Q.S al-An’am (6): 145.
ي ف ْ م ع م ك : ق م ْ م ْن ع ش ْع ۡ ث ح ، يْ س ث ح ، ْي ْل ث ح
ْ ع ْ س : ف لي ث ت ه م ص ي ف ف ْي ن نْب ي
ه
ص ي ل ْ س : ق
ه
هي ع
" ي م س
ْ ع ب ع ل ش
ه
."
ل م ي ل ْ ي
“Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di
hadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis.”
Syuhudi menjelaskan bahwa pemahaman secara kontekstual juga
diperlukan dalam memahami hadis. Berkaitan dengan hadis ini memang cukup banyak hadis yang melarang pembuatan dan pemajangan lukisan, sehingga tidak
heran jika pemahaman tekstual cukup banyak pendukungnya, namun meskipun demikian perlu diingat bahwa larangan melukis tersebut memiliki latar belakang hukum, yakni masyarakat pada zaman Nabi belum lama terlepas dari kepercayaan
menyekutukan Allah yakni dengan menyembah patung dan semacamnya. Dan sebagai Rasul, tentunya beliau ingin umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut.
Dengan alasan itulah, maka Nabi mengeluarkan larangan membuat lukisan maupun memajang lukisan dengan ancaman siksaan yang berat.41
Jika memang latar belakang hukum yang dikemukakan di atas adalah benar,
maka apabila kekhawatiran akan kemusyrikan tersebut tidak lagi terjadi, maka melukis maupun memajang lukisan diperbolehkan, sebagaimana kaidah ushul fikih
م ع ج ل ع م ْ ي م ل maksudnya yakni hukum itu ditentukan oleh illat-nya, jika illat-nya ada, maka hukumnya ada, dan sebaliknya.
40Sahîh Bukhârî dalam kitab bada’ al-Khalq Juz 7, h. 215.
3. Melihat Latar Belakang Munculnya Hadis (Asbâb al-Wurûd al-Hadîts)
Menurut Abdul Aziz dalam Ensiklopedia Hukum Islam. Sebagaimana dikutip oleh Miftahul Asror dan Imam Musbikin, bahwa pada mulanya dalam
kajian Ilmu Hadis, Asbâb al-Wurûd al-Hadîts dianggap cukup hanya masuk ke dalam pembahasan Ilmu Sejarah (Târîkh), namun dikarenakan tidak semua peristiwa yang menjadi sebab-sebab munculnya hadis itu tercakup di dalam Ilmu
Târîkh, maka kemudian dianggap penting untuk menjadikannya sebagai satu cabang Ilmu Pengetahuan tersendiri.42
Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa Ilmu Asbâb al-Wurûd al-Hadîts adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menyampaikan sabdanya dan waktu pada saat hadis itu didatangkan. Mengetahui ilmu ini sangat penting karena
sangat membantu untuk memahami sebuah hadis, sebagaimana Ilmu Asbâb al-Nuzûl yang membantu dalam memahami al-Qur’an.43
Yûsuf al-Qarḏâwî juga mengatakan bahwa mencari tahu latar belakang turunnya suatu hadis sangat penting dilakukan, sebab tiap hadis yang turun pasti ada kaitan dengan illah (alasan, sebab) tertentu yang berkaitan dengan kondisi pada
saat itu guna mendapat kemashlahatan, mencegah sesuatu yang mudharat, serta mengatasi masalah yang terjadi. Yang mana hal itu menunjukkan bahwa suatu
hadis adakalanya bersifat umum tanpa ada batas waktu, namun ada juga yang bersifat khusus berlaku pada waktu tertentu. Apabila ada hukum yang berkaitan
42 Miftahul Asror dan Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi SAW., (Yogyakarta: Jaya Star Nine, 2015) h. 251.
dengan illah tertentu, maka bila illah-nya hilang, maka hukum tersebut bisa jadi
tidak berlaku kembali.44
Adapun Daniel Juned menambahkan bahwa konteks asbâb al-wurûd bukan
hanya dalam konteks hadis qauliyyah (perkataan) melainkan juga hadis fi’liah (aksi nyata) dan taqririyyah (sikap). Dari sini dapat diperoleh informasi bahwa sabab al-wurûd erat kaitannya dengan waktu dan tempat terjadinya persitiwa yang melatar
belakangi lahirnya suatu hadis. Daniel menambahkan bahwa asbâb al-wurûd terjadi karena ada pertanyaan dari para sahabat, riwayat lain yang terkait dengan peristiwa,
tempat yang memperlihatkan para penerima hadis mendengar, melihat dan terlibat dalam penerimaan hadis. 45
Syuhudi membagi pembahasan asbâb al-wurûd ini menjadi tiga cabang
pembahasan antara lain sebagai berikut :
1) Hadis yang tidak mempunyai Asbâb al-Wurûd al-Hadîts secara khusus
نْب ْ ب ي ب ْن ع ، ش نْب ن ع ، لْي ع ْن ع ، ثْي ل ث ح ، ْي ب نْب يْ ي ي ث ح
، ن ْح ل ْ ع
س ، ْي ه ي ب ْن ع
ه
ص
ه
: ق م س هي ع
"
ي ن ل ي ن ْ ي ا
ْ ي ني ح ْ ي ا ، ن مْ م ْه ْ ي ني ح ْ ْل ْ ي ا ، ن مْ م ْه ي ن ْ ي ني ح
ْه
ن مْ م
ْ ن ب مْ ي ا
.ن مْ م ْه مْ ي ني ح ْم ه ْب ي ف هْي ل ل ع ف ْ ي
"
“
Pezina tidak akan berzina tatkala ia berzina dalam keadaan beriman; Peminum khamar tidak akan minum khamar tatkala dia minum dalam keadaan beriman, dan Pencuri tidak akan mencuri tatkala dia mencuri dalam keadaan beriman, begitu juga tidak akan merampas, merebut hak orang lain yang mempunyai nilai tinggi sehingga penglihatan manusia tertuju kepadanya, jika ketika itu dia di dalam keimanan.”
44 Yûsuf al- Qardawi, Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo : Dâr al-Syurûq, 2004), cet. 3, h. 145
Hadis Nabi ini tidak didahului oleh sebab tertentu. Secara tekstual, hadis ini
menyebutkan bahwa apabila seseorang berzina, mencuri dan meminum khamar tentunya ia tidak dalam keadaan beriman. Secara logika dipahami bahwa ia bukan
lagi orang mukmin.
Secara kontekstual, hadis ini dipahami bahwa keadaan iman dalam hati seseorang yang sedang berzina, mencuri, meminum khamar dan perbuatan maksiat
lainnya sedang berada pada titik paling bawah. Hal ini berdasarkan dari al-Qur’an yang menjelaskan bahwa keimanan seseorang dapat bertambah apabila seseorang
sedang dibacakan ayat-ayat al-Qur’an. Secara logika dapat pahami bahwa ketika intensitas keimanan bisa bertambah saat dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, maka saat mengerjakan maksiat pastinya keimanan tersebut sedang menurun dan berada pada
kumulasi paling bawah.47
2) Hadis yang mempunyai Asbâb al-Wurûd al-Hadîts secara khusus
ْ ع ْن ع
ه
ي ض ، ع نْب
ه
ْ ع
-
س
ه
ص
ه
: ق م س هي ع
.ْل مْغ يْ ف وْل م ك ح ء ج
“Apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan shalat) jum’at, makahendaklah (terlebih dahulu) mandi.”
Berdasarkan hadis ini bagi para ulama yang memahami secara tekstual,
mereka mengatakan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib.49
Syuhudi mengatakan bahwa “Hadis tersebut mempunyai sebab khusus. Pada waktu itu ekonomi para sahabat Nabi umumnya masih berada dalam keadaan sulit. Mereka memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka banyak yang
47 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, h. 50-51
48 Sahih Bukhâri juz 2, h. 2 dan lain-lain; Sahih Muslim juz 3, h. 2-3; Sunan Abû Dâud Juz 1, h. 134; Sunan al-Tirmidzî Juz 2, h. 364 ; Sunan al-Nasâî Juz 3 h. 93,dll. ; Sunan Ibn Mâjah Juz 2, h.197.
49 Pendapat-pendapat ulama terkait hadis ini dapat di lihat pada al-Syayyid Imam Muhammad bin Ismâ’îl al-Kahlanî, subul al-salâm, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1998)Juz 1, h.87-88 dan
menjadi pekerja kebun, setelah mereka menyiram tanam-tanaman, mereka banyak
yang langsung pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at. Pada saat shalat jum’at itu cuaca sedang sangat panas. Masjid masih sempit. Tatkala Nabi
berkhutbah, aroma keringat dari orang yang berbaju wol kasar dan jarang mandi itu menerpa hidung Nabi dan suasana dalam masjid terganggu oleh aroma yang tidak
sedap tersebut. Nabi lalu bersabda yang semakna dengan matan hadis di atas.”50
3) Hadis yang terkait dengan keadaan yang sedang terjadi (berkembang)
Adakalanya suatu hadis berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi atau dengan keadaan yang akan berkembang. Keadaan tersebut tentu tidak termuat
dalam matan hadis, namun dapat diketahui melalui ilmu pendukung lain seperti ilmu sejarah, asbâb al-wurûd, dan lainnya.
Salah satu contoh hadis terkait ini, Syuhudi mengambil contoh hadis tentang
mematikan lampu tatkala hendak tidur.
س ق : ق ب ج ْن ع
ه
ص
ه
: م س هي ع
"
لْي ل ب حي ب ْل ْ
." ل َل خ ي ْس ۡ ك ْ ْب ۡ غ ْم تْ ق
“Matikan lampu-lampu pada waktu malam ketika kamu seklaian hendak tidur; kuncilah pi