• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Jaksa Agung Dan Presiden Dalam Ketatanegaraan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Jaksa Agung Dan Presiden Dalam Ketatanegaraan Indonesia"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN JAKSA AGUNG DAN PRESIDEN

DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

080200424

BARIT A NEWS LUMBANBATU DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

HUBUNGAN JAKSA AGUNG DAN PRESIDEN

DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

080200424

Bari ta N ews Lu mba nbatu

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

NIP. 195810071986011002 Armansyah, S.H., M. Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Nazaruddin, S.H., M.A

NIP. 19550611980031004 NIP. 19750612202121002 Yusrin, S.H., M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAKSI

Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dilakukan sebanyak empat kali telah mempengaruhi secara substansial dan mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. Konstitusi atau Undang Undang Dasar disusun dan ditetapkan untuk mencegah adanya kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4 disebutkan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Hal itu menimbulkan dualisme kedudukan institusi kejaksaan sebagai institusi yang berada di dalam ranah yudikatif, sementara jabatan Jaksa Agung berada di bawah kekuasaan eksekutif sebagai pejabat setingkat menteri. Maka dari itu penulis meneliti bagaimana sejarah perkembangan institusi Kejaksaan di Indonesia, hubungan kelembagaan Presiden dan Kejaksaan serta dampak Implementasi Kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung maka penulis melakukan pendekatan terhadap UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kepres Nomor 84/P tahun 2009 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 sehingga dapat diketahui hubungan kelembagaan negara tersebut.

Pada masa zaman kerajaan majapahit institusi kejaksaan (Satya Adhi Wicaksana) diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Pada masa pendudukan Belanda, istilah kejaksaan diganti dengan nama

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya yang telah memberikan pengetahuan dan kesehatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga Tugas Sarjana ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

Tugas Sarjana ini merupakan salah satu dari kurikulum dan suatu persyaratan dalam tugas akhir pada jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tugas sarjana ini penulis mengangkat judul mengenai suatu “Hubungan Jaksa Agung dan Presiden dalam Ketatanegaraan Indonesia”. Dimana Tugas Sarjana ini membahas tentang dampak implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tentang Kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. Hal demikian menimbulkan dualisme kedudukan institusi kejaksaan yaitu di bawah ranah kekuasaan yudikatif atau di bawah ranah eksekutif.

Dalam penyelesaian Tugas Sarjana ini akan diuraikan bagaimana penyelesaian masalah tersebut secara hukum apabila dikaitkan dengan Undang No. 16 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010.

(5)

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah memberiku inspirasi dan kekuatan secara spiritual.

2. Kedua Orangtua Penulis, yaitu Bapak R. Edison Lumbanbatu S.H, dan Rosintan Br. Manullang yang telah memberikan dukungan moril dan materiil sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahannya. Begitu juga buat abang, kakak, yaitu; Pahala Shetya Lumbanbatu S.H, Huttal Paillohot Lumbanbatu S.H, Rudi Guntar Lumbanbatu, Ivanna Linda Lumbanbatu S.Sos, dan adik-adik saya yaitu; Nommensen Lumbanbatu, Pesta Parjagal Lumbanbatu.

3. Bapak Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum. 4. Bapak Pembantu Dekan I, Prof. Dr. Budiman Ginting S.H, M.Hum.

5. Bapak Pembantu Dekan II, Syarifuddin Hasibuan S.H., DFM, M.H. 6. Bapak Pembantu Dekan III, Muhammad Husni S.H., M.H.

7. Bapak Ketua Jurusan Hukum Tata Negara, Armansyah, SH, M.Hum. 8. Bapak Dosen Pembimbing I, Drs. Nazaruddin, SH, M.Hum.

9. Bapak Dosen Pembimbing II, Yusrin, SH, M.Hum.

10.Seluruh dosen/staf/karyawan di Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Kepada rekan seperjuangan saya dan adik-adik saya ‘Natural Justice’ yang tidak tak berjuang melawan arus global warming.

(6)

13.Kepada komunitas anak jalanan ‘KOALA’ yang mengajarkan aku tentang status sosial

14.Kepada anak-anak Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Pertanian yang memberiku sinyal kekerabatan

15.Kepada Kekasih Hati yang belum sempat aku nyatakan.

Medan, April 2013 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Tinjauan Pustaka ... 13

E. Keaslian Penulisan ... 26

F. Metode Penulisan ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II : KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA ... 31

A. Sistem Pemerintahan Indonesia ... 31

B. Tugas dan Kewenangan Presiden ... 36

C. Presiden Sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia ... 40

BAB III : JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT NEGARA ... 43

A. Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia ... 43

1. Sejarah Perkembangan Institusi Kejaksaan ... 43

(8)

B. Struktur Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia... 49

C. Wewenang Jaksa Agung dan Syarat Menjadi Jaksa Agung 54 1. Wewenang Jaksa Agung ... 54

2. Syarat Menjadi Jaksa Agung ... 58

BAB IV : JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT PEMBANTU PRESIDEN ... 60

A. Penetapan Masa Jabatan Jaksa Agung dalam Sistem Penetapan Jabatan Pejabat Negara ... 60

B. Kedudukan Institusi Kejaksaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Negara... 64

C. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 ... 68

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran-saran ... 76

(9)

ABSTRAKSI

Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dilakukan sebanyak empat kali telah mempengaruhi secara substansial dan mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. Konstitusi atau Undang Undang Dasar disusun dan ditetapkan untuk mencegah adanya kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4 disebutkan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Hal itu menimbulkan dualisme kedudukan institusi kejaksaan sebagai institusi yang berada di dalam ranah yudikatif, sementara jabatan Jaksa Agung berada di bawah kekuasaan eksekutif sebagai pejabat setingkat menteri. Maka dari itu penulis meneliti bagaimana sejarah perkembangan institusi Kejaksaan di Indonesia, hubungan kelembagaan Presiden dan Kejaksaan serta dampak Implementasi Kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung maka penulis melakukan pendekatan terhadap UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kepres Nomor 84/P tahun 2009 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 sehingga dapat diketahui hubungan kelembagaan negara tersebut.

Pada masa zaman kerajaan majapahit institusi kejaksaan (Satya Adhi Wicaksana) diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Pada masa pendudukan Belanda, istilah kejaksaan diganti dengan nama

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang telah dilakukan sebanyak empat kali telah mempengaruhi secara substansial dan telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. Aturan dasar atau yang disebut dengan konstitusi ini, pada hakekatnya merupakan landasan eksistensi suatu negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian dan pembatasan kekuasaan. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem hukum yang berlaku tidak segera mengalami perubahan. Untuk mengatasi agar tidak terjadi situasi tersaebut, maka undang-undang maupun peraturan-peraturan yang ada sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.1

Konstitusi atau Undang Undang Dasar yang disusun dan ditetapkan untuk mencegah adanya kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan. Dengan perkataan lain, dalam konstitusi berisi pembatasan kekuasaan dalam negara. Adapun pembatasan kekuasaan tersebut terlihat dengan adanya tiga hal dalam setiap konstitusi, yaitu (a) Bahwa Konstitusi atau Undang Undang Dasar harus menjamin hak-hak manusia atau warga negara; (b) Konstitusi atau Undang Undang Dasar juga harus memuat suatu ketatanegaraan pada suatu negara yang bersifat mendasar; (c)

1

(11)

Konstitusi harus mengatur tugas serta wewenang dalam negara yang juga bersifat mendasar.2

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, konstitusi yang diberlakukan di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan dan masa berlakunya sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi yaitu; UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949); Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950); UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999); UUD 1945 ( 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999) UUD 1945 dan Perubahan Pertama ( 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000); UUD 1945 dan Perubahan Pertama, dan Kedua ( 18 Agustus 2000 – 10 November 2001 ); UUD 1945 dan Perubahan Pertama, Kedua dan Ketiga ( 10 November 2001 – 10 Agustus 2002); dan UUD 1945 dan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (10 Agustus 2002 – sekarang).3

Perubahan Pertama terjadi pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999, kemudian Perubahan Kedua berlangsung dalam Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga berlangsung pada Sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November 2001, dan Perubahan Keempat berlangsung pada Sidang Tahunan MPR dari tanggal 1-11 Agustus 2002.4

2

PadmoWahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1984, hal.4 3

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Prenada Media Group, 2010 hal. 15

4

Firdaus, Perubahan Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Bandung, Yrama Widya, 2007 hal.56

(12)

adalah adanya perubahan terhadap lembaga-lembaga negara. Ada yang dihapuskan, dan sebaliknya timbul pula beberapa lembaga baru.5

Perubahan pertama, UUD 1945 memuat pengendalian kekuasaan presiden dan tugas serta wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam hal pembentukan undang-undang.

Secara kronologis substansi pengaturan kelembagaan negara dalam perubahan UUD 1945 terdapat pada setiap masa perubahannya.

6

Perubahan kedua, UUD 1945 menata ulang keanggotaan, fungsi, hak maupun cara pengisian lembaga negara.7

Dan perubahan keempat, UUD 1945, meliputi keanggotaan MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua dan kemungkinan presiden/wakil presiden berhalangan tetap serta kewenangan presiden.

Perubahan ketiga, membahas ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan Presiden yang berkaitan dengan tata cara pemilihan dan pemilihan secara langsung, pembentukan lembaga negara baru meliputi Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan (DPD), dan Komisi Yudisial (KY) serta pengaturan tambahan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

8

Menurut Prof. Jimly Assidiqie ada beberapa lembaga-lembaga Negara Indonesia yang menjadi organ konstitusional dan subjek jabatan atau subjek hukum

5

Ibid., hal. 1-2 6

Titik Triwulan Tutik, posit., hal. 19. 7

Ibid.,

(13)

kelembagaan yang ditentukan oleh Undang Undang Dasar 1945 maupun undang-undang di luar UUD 1945 yaitu:9

1. Presiden

2. Wakil Presideen

3. Dewan Pertimbangan Presiden; 4. Kementerian Negara;

5. Menteri Luar Negeri; 6. Menteri Dalam Negeri; 7. Menteri Pertahanan; 8. Duta;

9. Pemerintahan Daerah Provinsi;

10.Gubernur/ Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi; 11.DPRD Provinsi;

12.Pemerintahan Daerah Kabupaten;

13.Bupati/ Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten; 14.DPRD Kabupaten;

15.Pemerintahan Daerah Kota;

16.Walikota/ Kepala Pemerintahan Daerah Kota; 17.DPRD Kota;

18.Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR); 19.Dewan Perwakilan Rakyat;

9

(14)

20.Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri, yang diatur lebih lanjut dengan undang undang;

21.Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur lebih lanjut dengan undang undang;

22.Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 23.Mahkamah Agung (MA);

24.Mahkamah Konstitusi (MK); 25.Komisi Yudisial (KY);

26.Tentara Nasional Indonesia (TNI);

27.Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); 28.Angkatan Darat (AD);

29.Angkatan Laut (AL); 30.Angkatan Udara (AU);

31.Satuan Pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa;

32.Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan sebagainya;

33.Kesatuan masyarakat hukum adat.

(15)

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan yang dimaksudkan untuk menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

Hal ini tercantum dalam perubahan konstitusi, khususnya Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:

“ Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”10

Fungsi Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai salah satu bentuk Judicial Control dalam kerangka sistem check and balances diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan 11

“Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”

yang pada hakikatnya mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitutions) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of constitutions).

Berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 bahwa;

12

Pengangkatan atau penetapan hakim konstitusi dilakukan oleh Presiden dengan menerbitkan Keputusan Presiden, tetapi bukan berarti para hakim konstitusi

10

Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 11

Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Prestasi Pustaka PUB, Jakarta, 2007, hal.xi

12

(16)

berada di bawah Presiden, melainkan dipandang sebagai salah satu tugas Presiden dalam kapasitasnya selaku kepala negara.13

Secara konsepsional ada empat pokok pikiran yang menjadi landasan Mahkamah Konstitusi dalam kerangka amandemen UUD 1945, antara lain: Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara saling melengkapi; Pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances; Pemurnian sistem

Presidensial; dan Penguatan cita persatuan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

14

Namun sistem presidensial pada masa tersebut berdampak positif bagi kelangsungan kinerja pemerintahan karena Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan karena konflik dan pertentangan antar pejabat negara dapat dihindari.

Jika kita melihat perkembangan sistem presidensial Indonesia yang dianut pada masa sebelum perubahan UUD 1945 terjadi pemusatan kekuasaan negara kepada satu lembaga yaitu Lembaga Kepresidenan dan Presiden tidak bertanggung jawab langsung kepada DPR. Pada masa ini pejabat-pejabat negara yang diangkat cenderung dimanfaatkan untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan kekuasaan presiden. Oleh karena hal tersebut, maka kekuasaan Presiden sebagai kepala negara ‘tidak tak terbatas’ ditutupi oleh kekuasaan tertinggi negara yaitu di tangan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

13

Ibid., hal.21 14

(17)

Sebelum Perubahan UUD 1945, lembaga kepresidenan merupakan salah satu lembaga negara yang dominan karena memiliki kekuasaan yang besar. Atas dasar itulah Ni’matul Huda menyebutkan bahwa UUD 1945 biasa disebut executive heavy,

menurut istilah Soepomo : “concentration of power and responsibility upon the president”.15

Dalam sejarah perjalanan Lembaga Kepresidenan (presidential institution)

sebagai penyelenggaraan negara Indonesia dimana pada awal kemerdekaan penyelenggaraan negara Indonesia dimana pada awal kemerdekaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD 1945 telah menganut sistem presidensial. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan Presiden yang memegang kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai Kepala Negara, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar” artinya Presiden dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menterinya (kabinet).16

Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. Walaupun demikian sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, Presiden dalam menggunakan kewenangannya

15

Ibid., hal.3 16

(18)

haruslah berjalan dengan baik dengan menjalin hubungan antar lembaga-lembaga yang lain termasuk juga lembaga pemerintahan yaitu Kejaksaan.17

Dalam sistem ketatanegaran Indonesia, menurut Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4 disebutkan bahwa ”badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan tentang badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan ketentuan dasar tersebut, kejaksaan berfungsi sebagai aparat penegak hukum yang melaksanakan tugasnya dan mewujudkan supremasi hukum dalam suatu negara hukum (rechstaat).18

Dari latar belakang sistem ketatanegaraan Indonesia di atas, menimbulkan dampak terhadap hubungan antar lembaga yang tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010 melalui permohonan yang diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dengan materi Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004, bahwa Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara ( yang pada masa itu diduduki oleh Hendarman Supandji S.H., CN,) seharusnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden berdasarkan kondisi yang pasti, yaitu, jika ia meninggal dunia, atas permintaan sendiri, atau karena sakit jasmani dan rohani terus-menerus, namun demikian tentang kapan “berakhir masa jabatannya” merupakan kondisi yang tidak menentu.19

17

Ibid., hal.2 18

Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,

Jakarta, Gramedia, 2009, hal. 19 19

(19)

Hal itu menimbulkan perbedaan pendapat dengan para ahli, bahwa jika Jaksa Agung yang diangkat dalam jabatan politik setingkat Menteri maka masa jabatannya harus sudah berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, sedangkan apabila Jaksa Agung diangkat berdasarkan karirnya sebagai Jaksa maka masa tugasnya harus berakhir pada saat mencapai usia pensiun.20

Ada juga yang berpendapat bahwa jika masa bakti Jaksa Agung yang dilantik bersamaan dengan Kabinet Indonesia Bersatu (periode 2004-2009, yang dikenal dengan KIB I) telah berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009 maka bersamaan berakhirnya masa pemerintahan (yang pada saat itu diduduki oleh Susilo BAmbang Yudhoyono sebagai Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla) telah berakhir pula masa jabatan Jaksa Agung.21

Berangkat dari perbedaan pendapat tersebut, kedudukan Kejaksaan sebagai non Departemen maka Jaksa Agung dimasukkan menjadi anggota kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara sesuai dengan masa jabatan Presiden. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004.22

Sebagai rujukan, bahwa berdasarkan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009, yang telah membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Periode 2004-2009 pada tanggal 20 Oktober 2009, maka berakhir pula masa jabatan Hendarman Supandji selaku Jaksa Agung dengan

20

Ibid., hal. 19 21

Ibid., hal.20 22

(20)

kedudukan setingkat Menteri Negara berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007.23

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat latar belakang, penulis berpendapat bahwa studi Hubungan Jaksa Agung dan Presiden dalam Ketatanegaraan Indonesia menjadi perhatian para ahli hukum, khususnya hukum tata negara. Hal ini disebabkan Pejabat Negara setingkat menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden yang secara otomatis berakhir masa jabatannya sesuai dengan masa jabatan Presiden, namun belum ada undang undang yang mengatur hal tersebut.

Maka penulis melakukan suatu penelitian, yang pada hakekatnya setiap permasalahan yang akan diteliti berkaitan dengan latar belakang dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sejarah perkembangan institusi Kejaksaan di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan kelembagaan Presiden dan Kejaksaan?

3. Bagaimana dampak Implementasi Kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 ?

(21)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui sejarah institusi Kejaksaan Republik Indonesia

b. Untuk mengetahui hubungan kelembagaan antara Mahkamah Konstitusi, Presiden dan Kejaksaan

c. Untuk mengetahui dampak implementasi kewenangan Presiden tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

(22)

b. Secara Praktis

Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum khususnya Hukum Tata Negara dan untuk sumbang pemikiran ilmiah hukum positif di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari penempatan hukum tata negara sebagai unsure terpenting dalam sistem hukum Indonesia, dimana salah satu ciri dari negara yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum (supremacy of law). Penulisan ini diharapkan mampu menggambarkan hubungan kelembagaan pemerintahan khususnya Presiden dan Jaksa Agung terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010.

D. Tinjauan Kepustakaan

Adapun definisi negara menurut para ahli adalah sebagai berikut; Menurut

Aristoteles, Negara adalah persekutuan dari pada keluarga24 dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya; Menurut Jean Bodin, Negara adalah suatu persekutuan dari pada keluarga dan keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.25

Menurut Hugo de Groot, Negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum.

26

24

Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Refika Aditama, Jakarta. 2005, hal. 15

25

Ibid.,

26

(23)

Menurut Bluntschil, Negara adalah suatu diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di suatu daerah tertentu.27

Menurut Hans Kelsen, Negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.

28

Menurut Prof. Sumantri, Negara adalah suatu organisasi kekuasaan oleh karenanya dalam setiap organisasi yang bernama Negara selalu kita jumpai adanya organ atau alat perlengkapan yang mempunyai kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaannya.29

Menurut Leon Duguit, Negara adalah kekuasaan orang-orang yang kuat, yang memerintah orang-orang yang lemah dan kekuasaan orang-orang yang kuat tersebut diperoleh karena faktor-faktor publik.

30

Menurut Herman Finer, Negara adalah organisasi kewilayahan yang bergerak di bidang kemasyarakatan dan kepentingan perseorangan dari segenap kehidupan yang multidimensional untuk pengawasan pemerintahan dengan legalitas kekuasaan tertinggi (kedaulatan yang sah).31

Pemerintahan adalah suatu ilmu dan seni. Dikatakan sebagai seni karena berapa banyak pemimpin pemerintahan yang tanpa pendidikan pemerintahan mampu berperan serta dengan kharismatik menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan

J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1998, hal. 123 30

Ibid.,

31

(24)

dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan adalah karena memenuhi syarat-syaratnya yaitu dapat dipelajari dan diajarkan, memiliki objek, baik objek material maupun formal, universal sifatnya, sistematis secara spesifik (khas).32

Adapun ilmu pemerintahan menurut para ahli adalah sebagai berikut; Menurut

D.G.A van Poelje “De bestuurskunde leert, hoe men de openbare dienst het beste

inricht en leidt”, maksudnya adalah ilmu pemerintahan mengajarkan bagaimana dinas umum disusun dan dipimpin dengan sebaik-baiknya.33

Menurut U. Rosenthal “De bestuurwetenschap is de wetenschap die zich uitsluitend bezighoudt met de studie van interneen externe werking van de structuren

en prosessen”, maksudnya ilmu pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang penunjukkan cara kerja ke dalam dan keluar struktur dan proses pemerintahan umum.34

Menurut H.A. Briasc: “De bestuurwetenschap waaronder het verstaat de wetenschap die zich bezighoudt met de wijze waarop de openbare dienst is ingericht

en functioneert, intern en naar buiten tegenover de burgers”, maksudnya ilmu pemerintahan dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana lembaga pemerintahan umum itu disusun dan difungsikan baik secara ke dalam maupun ke luar terhadap warganya. Maksudnya pemerintah dalam definisi terbaiknya

32

Inu Kencana Syafie, Sistem Pemerintahan Indonesia Jakarta, Refika Aditama, 2005, hal.11

33

(25)

adalah sebagai organisasi dari negara, yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya.35

Menurut C.F. Strong: “Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore,

have first military poweror the control of armed forces, secondly legislative power or

the mean’s of making laws, thirdly financial power or the ability to extract sufficient

money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing

the law it makes on the state’s behalf.” Maksudnya adalah pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara keamanan dan kedamaian negara, ke dalam dan ke luar. Oleh karena itu pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan financial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.36

Menurut R. Mac. Iver “Government is the organization of men under authority…how men can be governed”, maksudnya pemerintahan itu adalah sebagai suatu organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan bagaimana manusia itu

35

Ibid.,

36

(26)

bisa diperintah. Jadi bagi Mac Iver ilmu pemerintahan sebuah ilmu tentang bagaimana manusia-manusia dapat diperintah (a science of how men are governed).37

Menurut Wilson, Government in last analysis, is organized armed force, but two of a few men, of many men, or of a community prepared by organization to

realize its own purpose with references to the common affairs or the community,

artinya bahwa Pemerintah dalam akhir uraiannya adalah suatu pengorganisasian kekuaatan angkatan bersenjata, tetapi dua atau kelompok orang yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk mewujudkan maksud-maksud bersama mereka, dengan hal-hal yang memberikan keterangan bagi urusan-urusan umum kemasyarakatan.38

Menurut Apter, Government is the most generalized membership unit possessing (a) defined responsibilities for maintenance of the system of which it is a

part and (b) a practical monopoly of coercive power, bahwa Pemerintah itu merupakan satuan anggota yang paling umum yang memiliki (a) tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mencakupnya, itulah bagian dan (b) monopoli praktis mengenai kekuasaan paksaan.39

Menurut Merriam, tujuan pemerintah meliputi external security, internal order, justice, general welfare dan freedom, maksudnya bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menyeimbangkan pelaksanaan kepengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi

37

Ibid., hal. 14 38

(27)

pemerintahan (baik pusat dengan daerah, maupun rakyat dengan pemerintahannya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik dan benar.40

Presiden dalam kamus bahasa Indonesia dipergunakan dalam dua arti yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambtsdarager). Dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, dipergunakan istilah yang berbeda. Untuk lingkungan jabatan dipergunakan istilah presidency atau kalau sebagai ajektif presidential seperti

presidential government. Sebagai pejabat digunakan istilah president. Untuk menghindari kerancuan pemakaian dua pengertian tersebut, penulisan skripsi ini mempergunakan istilah lembaga kepresidenan sebagai lingkungan jabatan dan

presiden sebagai pejabat.41

Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia jabatan kepala negara dan kepala pemerintahannya hanyalah dijabat oleh satu orang yang sama yaitu Presiden. Di dalam suatu negara pada umumnya kepala negara adalah symbol dari suatu negara, sedangkan kepala pemerintahan yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republic. Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republic, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi,

40

Inu Kencana Syafiie, op.cit. hal.14 41

(28)

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”.42

Secara umum kewenangan Presiden berdasarkan UUD 1945 terbagi atas beberapa kewenangan seperti: (a) kewenangan yang bersifat eksekutif atau kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang undang dasar; (b) kewenangan yang bersifat legislatif atau kewenangan untuk mengatur kepentingan; (c) kewenangan yang bersifat judicial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi masa hukuman, pengampunan ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait dengan kewenangan pengadilan; (d) kewenangan yang bersifat diplomatik yaitu kewenangan dalam menjalin hubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional yang lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang atau damai; (e) kewenangan bersifat administratif.43

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut44

a. Penyelenggara negara berada di tangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.

;

b. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh Presiden. Kabinet bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.

42

http://arwan black74.blogspot.com, terakhir diakses tanggal 14 Februari 2013 43

Ibid.,

(29)

c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.

d. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti pada sistem parlementer. e. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan.

Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.

f. Presiden tidak berada di bawah pengawasan langsung parlemen.

Adapun kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial antara lain45

A. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.

;

B. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.

C. Penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.

D. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.

45

(30)

Namun adapun kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial antara lain46

a. Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.

;

b. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.

c. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksud adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.47 Selain istilah konstitusi dikenal pula istilah “konstitusional” dan “konstitusionalisme”. Secara etimologis antara ketiga kata tersebut ini maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang Undang Dasar, dsb), atau undang undang dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku sesorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpang dari konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional.48

46

Ibid.,

47

Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Edisi Revisi, Rajawali Press, 2003, hal.7

48

(31)

K. C. Wheare menulis, bahwa istilah konstitusi yang dipakai untuk menyebut sekumpulan prinsip fundamental pemerintahan, baru dimulai digunakan ketika bangsa Amerika mendeklarasikan konstitusinya, pada tahun 1787.49

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa istilah konstitusi berasal dari kata kerja costituer (bahasa Perancis) yang berarti membentuk suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara, dengan demikian suatu konstitusi memuat suatu peraturan pokok (fundamental)

mengenai pertama untuk menegakkan bangunan besar, yaitu negara.50

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim berpendapat bahwa “Konstitusi yang berasal dari istilah constitution (bhs. Inggris dan Perancis), constitution (bahasa Latin) atau Verfasung (Bahasa Belanda) memiliki perbedaan dari undang undang dasar atau Grundgesetz. Jika ada kesamaan, itu merupakan kekhilafan pandangan di negara-negara modern. Kekhilafan tersebut disebabkan oleh pengarus paham kodifikasi yang mengkehendaki setiap peraturan harus tertulis, demi mencapai kesatuan hukum, kesadaran hukum dan kepastian hukum”.

51

49

Wheare, K.C., Konstitusi Konstitusi Modern, Surabaya, Terj. Muhammad Hardani Penerbit Uereka, 2003, hal.4

50

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Prenada Media Group, 2010, Hal. 87

51

(32)

Sehubungan dengan istilah konstitusi tersebut para sarjana dan ilmuan Hukum Tata Negara terjadi perbedaan pendapat:

1. Kelompok yang mempersamakan konstitusi dengan UUD, antara lain;

G.J. Wolhaff berpendapat bahwa kebanyakan negara-negara modern adalah berdasarkan atas suatu UUD (konstitusi). Sementara itu Sri Sumantri menggunakan istilah konstitusi sama dengan UUD (grondwet) dan J.C.T. Simorangkir menganggap bahwa konstitusi adalah sama dengan UUD.

2. Kelompok yang membedakan konstitusi dengan UUD, antara lain;

van Apeldoorn, bahwa UUD adalah bagian tertulis dari konstitusi. Konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis; M Solly Lubis, ‘akhirnya jika kita lukiskanpembagian konstitusi itu dalam suatu skema, maka terdapatlah skema sebagai konstitusi tertulis (UUD) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi)’; Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim berpendapat bahwa setiap peraturan hukum, karena pentingnya harus ditulis dan kontitusi yang ditulis itu adalah UUD.52

Secara etimologi bahasa, Jaksa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “Adhyaksa”. Kata tersebut dari yang dapat diartikan dalam berbagai arti, seperti:

Pengertian Kejaksaan menurut Undang Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan pada Pasal 1 ayat 1 (1) ialah : “Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah Alat Negara Penegak Hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum.”

(33)

Superintendant atau superintendence (Mr. Susanto Kartoatmodjo, dalam Varia Perailan No.2 Tahun I) berfungi sebagai Pengawasan dalam urusan kependetaan, baik agama Budha maupun Syiwa dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan di sekitar istana. Disamping itu juga bertugas sebagai Hakim dan demikian ia berada di bawah perintah serta pengawasan Maha Patih (Dr. W.F. Stutterheim, “Het Hindoisme in de Archipel”). Adhyaksa” sebagai opperechter-nya (Geireke dan Roorda, kamus Jawa Belanda”, dikutip dari Susanto Kartoatmodjo).53

“Adhyaksa” sebagai “Rechter vab instuctie bijde Landraad”, yang kalau dihubungkan dengan jabatan dalam dunia modern sekarang dapat disejajarkan dengan Hakim Komisaris (Dr. Th Pigeaud Kamus Jawa Modern — Belanda”, dikutip dari Mr. Susanto Kartoatmodjo).54

Dalam hal kedudukan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, merupakan satu-satunya lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum.55

53

Djoko Prakoso, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1987, hal 16.

54

Ibid.,

55

(34)

Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang Undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991 ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.56

Penjelasan pasal tersebut menguraikan bahwa jabatan Jaksa sebagai jabatan fungsional, terkait dengan fungsi yang secara khusus dijalankan oleh Jaksa dalam bidang penuntutan sehingga memungkinkan organisasi Kejaksaan menjalankan tugas pokoknya.57

Ditentukan Jaksa adalah pejabat fungsional dimaksudkan untuk memungkinkan terlaksananya tugas dan wewenang Kejaksaan dengan lebih baik dan untuk lebih mengembangkan profesionalisme Jaksa. Dengan adanya jabatan fungsional memungkinkan Jaksa berdasarkan prestasinya mencapai pangkat puncak. Dan sebaliknya Jaksa yang tidak cakap menjalankan tugas misalnya banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalan tugasnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sesuai dengan ketentuan Pasal 12 huruf a Undang Undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991. Atau bila seorang Jaksa terus menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalan tugas/pekerjaannya maka menurut Pasal 13 huruf b UU No. 5 Tahun 1991, ia diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya.58

56

Ibid., hal. 39 57

Ibid.,

(35)

E. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan Penulis, “HUBUNGAN JAKSA AGUNG DAN PRESIDEN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum eprnah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Topik permasalahan ini sengaja dipilih dan diulas oleh penulis karena sepengetahuan penulis, topic permasalahan ini semakin menghangat pembahasannya dalam amsyarakat.

Penulisan skripsi ini oleh penulis adalah berdasarkan hasil pemikiran penuli sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat,. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengarahkan pembahasannya ke arah bagaimana hubungan kelembagaan Presiden dengan Kejaksaan. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penulisan

Metode dapat diartikan sebagai jalan kea tau suatu jalan/cara untuk mencapai sesuatu. Namun demikian, menurut kebiasaan,metode dfapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian 2. Suatu proses pelaksanaan

(36)

Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normative. Dalam hal penelitian hukum normative, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis ini, yaitu “HUBUNGAN JAKSA AGUNG DAN PRESIDEN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA” (Sudy Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010)”.

2. Metode Pendekatan

Dalam menyelesaiakan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung maka penulis melakukan pendekatan terhadap Undang Undang Kejaksaan Republik Indonesia dengan Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010). Sehingga dapat diketahui hubungan kelembagaan negara tersebut.

3. Alat Pengumpul Data

(37)

hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literature-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana implementasi kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat negara khususnya Jaksa Agung.

Analisis deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data yang sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat negara khususnya Jaksa Agung.

(38)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan ini maka diperlukan sistematika penulisan yang teratur, terbagi dalam bab/sub bab, serta berkaitan satu dengan yang lain.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN, yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Keaslian, Metode Penelitian, dan kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

BAB II : KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA, yang didalamnya meliputi tentang Sistem Pemerintahan Indonesia, Tugas dan Wewenang Presiden dan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.

BAB III : JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT NEGARA, yang didalamnya terurai tentang Sejarah Kejaksaan Indonesia, Susunan Organisasi Kejaksaan RI, Wewenang Jaksa Agung dan Syarat Menjadi Jaksa Agung.

(39)

Kekuasaan Negara dan Implementasi Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor 49/PUU-VIII/2010.

(40)

BAB II

KEDUDUKAN PRESIDEN

DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Sistem Pemerintahan Indonesia

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah dipilih sebagai bentuk pemerintahan, yaitu melalui sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau disebut juga dengan Dokuritsu Zyumbi Tyosakaai.

Ketentuan mengenai bentuk republik kemudian tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.59 Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia tidak menganut suatu sistem negara manapun tetapi adalah suatu sistem yang khas menurut kepribadian bangsa Indonesia.60 Artinya bahwa negara Indonesia yang dikenal dengan keanekaragaman bangsa haruslah berdasarkan aliran pengertian Negara Persatuan (paham unitarismus) yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara.61

59

Ketentuan dalam pasal ini tetap dipertahankan walaupun telah dilakukan empat kali perubahan terhadap UUD 1945.

60

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1986, hal. 41.

(41)

Untuk mengetahui sistem pemerintahan selama Indonesia merdeka, maka konstitusi-konstitusi tersebut harus dianalisis satu per satu;

1. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) Tahun 1949;

Pasal 1 ayat 2 KRIS 1949 menyatakan: “Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan senat”. Lembaga-lembaga negara tersebut secara bersama-sama mempunyai kewenangan membentuk undang-undang yang menyangkut hal-hal khusus.62 Untuk undang-undang yang tidak bersifat khusus maka pembentukannya hanya dilakukan oleh pemerintah dan DPR saja, tidak melibatkan senat.63

Pemegang kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi RIS adalah Presiden dengan seseorang atau beberapa menteri.64 Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat diganggu gugat.65

62

Pasal 127 huruf a Konstitusi RIS berbunyi, “Pemerintah bersama-sama dnegan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat sekadar hal itu mengenai peraturan-peraturan mengenai hal khusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam Pasal 2.”

63

Pasal 127 huruf b Konstitusi RIS berbunyi, “Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam seluruh lapangan pengaturannya selebihnya.” 64

Pasal 68 Ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi, “Presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah.”

65

Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 118 Ayat (1) Konstitusi RIS.

(42)

mempertanggungjawabkan roda pemerintahan, baik secara bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.66

2. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950);

Dalam UUDS 1950, kedudukan presiden sebagai kepala negara jelas disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) berbunyi: “Presiden ialah Kepala Negara.”67 Pasal 45 ayat (2) berbunyi: “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden.”68

Sedangkan Pasal 83 ayat (1) mengatakan: “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.”69 Pasal 83 ayat (2) mengatakan: “Menteri-menteri bertanggung jawab seluruhnya maupun masing-masing untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.”70

Dari pemaparan pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan negara menurut UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Hal ini disebabkan karena menteri-menteri baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri yang mempertanggungjawabkan pemerintahannya. Sedangkan Presiden dalam hal ini selaku kepala negara tidak dapat diganggu gugat, karena

66

Pasal 118 Ayat (2) Konstitusi RIS berbunyi, “Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik secara bersama-sama, seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu.”

67

Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Pasal 45 ayat (1). 68

Ibid., Pasal 45 Ayat (2). 69

(43)

seorang kepala negara dianggap tidak pernah melakukan kesalahan (the king can do no wrong).

3. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan;

Menurut Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan menganut sistem pemerintahan campuran, karena mengandung unsur sistem parlementer dan unsur sistem pemerintahan presidensiil.71

Ada beberapa factor yang menyebabkan UUD 1945 dianggap menganut sistem pemerintahan campuran yaitu; karena Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR; MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi; Presiden adalah mandataris MPR; Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR; dan Presiden untergeordnet

kepada Majelis.72

4. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Setelah perubahan UUD 1945

Setelah UUD 1945 mengalami perubahan dari yang hanya 37 pasal menjadi 73 pasal, banyak yang telah berubah. Begitu juga dalam sistem pemerintahan. Perubahan-perubahan tersebut ditandai pada perubahan Pasal-pasal mengenai

71

Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Bandung, Tarsito, 1976, hal. 56.

72

(44)

kekuasaan presiden yang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD.73

Selain itu Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.74 “Presiden dan Wakil Presiden terpilih memegang jabatan selama lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.75 Kemudian Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR karena sebelumnya ketentuan ini tidak ada diatur oleh Undang Undang Dasar.76

Presiden juga dapat memberi grasi dan rehabilitasi kepada para pelaku tindak pidana meskipun dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan Presiden berhak memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.77 Dalam perubahan tersebut juga menyatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.78

73

Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 74

Pasal 6A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Ketiga).

75

Pasal 7 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Ketiga).

76

Pasal 7C Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Ketiga).

77

Pasal 14 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Pertama).

78

(45)

Menurut Dasril Radjab, dari pasal-pasal yang dianut oleh UUD 1945 setelah perubahan adalah sistem presidensial, karena:79

a. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus meraqngkap kepala pemerintahan yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.

b. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka tidak bertanggung jawab kepada parlemen baik kepada DPR maupun kepada MPR. c. Presiden dan DPR menempati kedudukan yang sejajar sehingga PResiden tidak

berwenang membubarkan Parlemen.

d. Presiden menagngkat dan memberhentikan menteri-menteri.

e. Presiden melaksanakan tugas dan wewenangnya selama 5 (lima) tahun atau dalam masa jabatan yang tetap (fixed term).

B. Tugas dan Kewenangan Presiden

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar.” Demikian bunyi Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yang menjadi dasar presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pasal tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan.80

Menurut Bagir Manan, ditinjau dari teori pembagian kekuasaan yang dimaksud kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan presiden dapat

79

Firdaus, opcit., hal. 60. 80

(46)

dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus.81

1. Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersifat Umum

Bahwa Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan memiliki kekuasaan menyelenggarakan fungsi administrasi negara. Presiden adalah pimpinan penyelenggaraan administrasi negara tertinggi. Penyelenggaraan administrasi negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, yaitu setiap bentuk perbuatan atau kegiatan administrasi negara. Lingkup tugas dan wewenang ini makin meluas sejalan dengan makin meluasnya tugas-tugas dan wewenang negara atau pemerintah, yaitu:82

a. Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat-menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain. Maksudnya adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki tugas dan wewenang memelihara, menjaga, dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum yang merupakan tugas dan wewenang paling awal dan tradisional setiap pemerintahan. Bahkan dapat dikatakan bahwa asal mula pembentukan negara dan pemerintahan ditunjukkan pertama-tama ditujukan pada usaha memelihara, menjaga, dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum. Tugas semacam ini terdapat juga

81

(47)

dalam tujuan membentuk pemerintahan Indonesia merdeka, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

b. Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulaid ari surat-menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain. Maksudnya adalah tugas-tugas ketatausahaan ini termasuk salah satu tugas tradisional pemerintahan yang baik berupa surat-menyurat maupun pencatatan-pencatatan untuk mengetahui keadaan dalam bidang-bidang tertentu serta memberi pelayanan administratif kepada masyarakat.

c. Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan umum. Maksudnya adalah Presiden sebagai penyelenggara negara memiliki tugas dan wewenang melayani masyarakat secara umum. Tugas ini dianggap penting sehingga pekerjaan dan tugas administrasi negara yang lazim disebut sebagai

public service. Melayani masyarakat, pada saat ini dipandang sebagai hakikat penyelenggaraan administrasi negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum, sehingga sering disebut the service state. Sebagai contoh pelayanan umum meliputi penyediaan fasilitas umum seperti jalan, taman, dan lapangan olahraga. Hal-hal seperti perizinan, pemberian dispensasi, dan semacamnya dapat juga digolongkan sebagai bentuk-bentuk pelayanan umum. Termasuk pula ke dalam tugas-tugas pelayanan adalah bantuan-bantuan seperti subsidi atau bentuk-bentuk bantuan lain, yang sekaligus mengandung pula fungsi pengawasan dan ketertiban. d. Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan

(48)

Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasan UUD 1945, yang terdapat berbagai ketentuan dan keterangan mengenai kewajiban negara atau pemerintah untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, membangun sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang bersendikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersifat khusus

Tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahn yang bersifat khusus adalah penyelenggara tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada Presiden pribadi yang memiliki sifat prerogatif (di bidang pemerintahan). Tugas dan wewenang tersebut adalah Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang, hubungan luar negeri, dan hak memberi gelar dan tanda jasa.83

83

(49)

C. Presiden Sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia

Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia jabatan kepala negara dan kepala pemerintahannya hanyalah dijabat oleh satu orang yang sama, yaitu Presiden. Di dalam suatu negara pada umumnya kepala negara adalah simbol dari suatu negara, sedangkan kepala pemerintahan yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adlaah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan dan bentuk pemerintahannya adalah republik. Sehingga PResiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

(50)

Maka dari itu, dalam hal menjalankan fungsi Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sudah diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 sesudah perubahan, yaitu;

a. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan84

b. Kekuasaan mengajukan RUU, dan membahasnya bersama dengan DPR85

c. Kekuasaan membentuk Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang Undang (Perppu)86

d. Kekuasaan menetapkan Peraturan Pemerintah87

e. Kekuasaan memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi88 f. Kekuasaan mengadakan perjanjian dengan negara lain89

g. Kekuasaan mengadakan perdamaian dengan negara lain90 h. Kekuasaan mengangkat dan menerima duta dan konsul91 i. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya92

j. Kekuasaan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata93 k. Kekuasaan memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya94

84

Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 85

Pasal 5 UUD 1945 (Perubahan Pertama) 86

Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 87

Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 88

Pasal 14 UUD 1945 Perubahan Pertama, grasi dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung. Amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR

89

Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) 90

Pasal 11 UUD 1945 (Perubahan Ketiga) 91

Pasal 13 UUD 1945 92

(51)

l. Kekuasaan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden95

m. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri96 n. Kekuasaan meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)97 o. Kekuasaan untuk menetapkan calon hakim agung98

p. Kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial99 q. Kekuasaan untuk mengusulkan dan menetapkan hakim konstitusi100

94

Pasal 15 UUD 1945 (Perubahan Pertama) 95

Pasal 16 UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dulunya adalah dewan pertimbangan agung

96

Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Pertama) 97

Pasal 23F UUD 1945 (Perubahan Ketiga), anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Sementara itu Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota

98

Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), usulan Komisi Yudisial yang telah disetujui DPR

99

Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dengan persetujuan DPR

100

(52)

BAB III

JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT NEGARA

A. Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia

1. Sejarah Perkembangan Institusi Kejaksaan

Hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah institusi yang disebut dengan istilah “kejaksaan”, yang mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara pidana ke pengadilan. Istilah “jaksa” atau “kejaksaan” sebagai institusi dalam bahsa Indonesia tidaklah mudah untuk dipersamakan dengan istilah yang sama dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara

“attorney general” (jaksa agung) dengan “public prosecutor” (penuntut umum). Demikian pula dalam Bahasa Belanda, dibedakan antara “officer van justitie”

untuk istilah “jaksa” dan “openbaar aanklager” untuk “penuntut umum”. Sementara dalam bahasa Melayu Malaysia digunakan istilah “peguam negara” untuk jaksa, dan “pendakwa negara” untuk penuntut umum, yang kesemuanya berada dibawah Jabatan Peguam Negara. Jabatan ini adalah semacam Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam Negeri.101

Sebelum masa reformasi istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu

101

(53)

pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan, istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam bahasa sansekerta.102

Dalam doktrin kejaksaan ‘Trikarma Adhyaksa’ mengatakan bahwa kejaksaan ialah Satya Adhi Wicaksana yang berarti bahwa ‘Satya’ adalah kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia, ‘Adhi’ adalah kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pada rasa yang bertanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan sesame manusia, dan ‘Wicaksana’ adalah bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.103

Seorang peniliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa

adalah pejabat negara di zaman kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam siding pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.104

Kesimpulan tersebut didukung oleh peneliti lainnya, yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi

(oppenrechter). Sementara itu, Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti

102

http//kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, terakhir diakses 12 Januari 2012

103

Ibid.,

104

(54)

Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang ‘adhyaksa’. Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan

Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hoogerechtshof (Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari Residen / assisten Residen. 105

Lalu Belanda mengambil alih Lembaga Penuntut Umum dari Prancis dan memasukkannya dalam Undang Undang Hukum Acara Pidananya (1838) yang berdasarkan IR (1848) ditetapkan pula di Indonesia, khususnya Jawa dan Madura. IR ini kemudian diperbaharui dengan Staatsblad 1941 No. 44 sehingga menjadi HIR. HIR inilah yang kemudian didasarkan pada Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, sedapat mungkin dijadikan pedoman Hukum Acara Pidana seluruh Indonesia.

106

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan,

105

Ibid.,

106

(55)

yakni sejak Saaiko Hooin (pengadilan agung), Kootoo Hooin (pengadilan tinggi) dan

Tihooo Hopoin (pengadilan negeri).107

Secara yuridis formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktut Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.

Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara dan menjalankan putusan pengadilan dalam perkara criminal, serta mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

108

Namun pada masa reformasi lembaga Kejaksaan hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang Undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991.109

107

Ibid.,

108

Ibid.,

109

(56)

2. Visi dan Misi Kejaksaan Republik Indonesia

Kehadiran Undang Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan disambut gembira oleh banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pihak lainnya.

Setelah mengalami proses dinamika yang sangat panjang, akhirnya lembaga Kejaksaan Republik Indonesia mempunyai visi dan misi sebagai landasan institusi.

Adapun yang merupakan visi misi kejaksaan ialah sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntanbel, untuk dapat memberikan pelayanan prima dalam mewujudkan supremasi hukum secara professional, proporsional dan bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran, serta nilai-nilai kepatutan.110

Selain itu, kejaksaan juga memeiliki beberapa misi yaitu; (a) Mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas penanganan perkara seluruh tindak pidana, penangan perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, serta pengoptimalan kegiatan Intelijen Kejaksaan, secara professional, proposional dan bermartabat melalui penerapan Standard Operating Procedure (SOP) yang tepat, cermat, terarah, efektif dan efisien; (b) Mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya, terutama terkait dengan upaya

110

(57)

penegakan hukum; (c) Mengoptimalkan tugas pelayanan publik di bidang hukum dengan penuh tanggung jawab, taat azas, efektif dan efisien, serta penghargaan terhadap hak-hak publik; (d) Melaksanakan pembenahan dan penataan kembali struktur organisasi Kejaksaan, pembenahan sistem informasi manajemen terutama pengimplementasian program quickwins agar dapat segera diakses oleh masyarakat, penyusunan cetak biru (blue print) pembangunan sumber daya manusia Kejaksaan jangka menengah dan jangka panjang tahun 2025, menerbitkan dan menata kembali manajemen administrasi keuangan, peningkatan sarana dan prasarana, serta peningkatan kesejahteraan pegawai melalui tunjangan kenerja atau remunerasi, agar kenerja Kejaksaan dapat berjalan lebih efektif, efisien, transparan, akuntanbel dan optimal; (e) Membentuk aparat kejaksaan yang handal, tangguh, professional, bermoral dan beretika guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan wewenang, terutama dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan serta tugas-tugas lainnya yang terkait.111

B. Struktur Organisasi Kejaksaan RI

Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus-menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung.

111

(58)

Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia dan Undang Undang Dasar 1945, kedudukan dan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia juga mengalami perubahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Hal itu juga ditandai dengan perubahan undang undang tentang kejaksaan dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 menjadi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004, sehingga secara langsung mengubah tentang struktur organisasi kejaksaan.

Maka dari itu, Presiden sebagai kepala pemerintahan telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dengan susunan organisasinya dalam melaksanakan fungsinya di dalam wilayah hukumnya masing-masing yaitu;112

a. Kejaksaan Agung

b. Kejaksaan Tinggi; dan c. Kejaksaan Negeri.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Jaksa Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Jaksa

Meskipun demikian, Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam mengambil keputusan atau kebijakan publik umumnya adalah hasil tawar

Secara umum kewenangan Presiden berdasarkan UUD 1945 terbagi atas beberapa kewenangan seperti: (a) kewenangan yang bersifat eksekutif atau kewenangan dalam

Sosialisasi kepada Warga Masyarakat bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang isi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik

Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara seharusnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden berdasarkan kondisi yang pasti, yaitu, jika ia meninggal dunia, atas

2) Mengalihkan kewenangan penyidikan dan penuntutan dari Jaksa Agung kepada Komnas HAM dengan merevisi Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

Pemerintah dan DPR akhirnya sama-sama menyepakati bahwa Jaksa Agung tetaplah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, karena dalam sistem

Apa yang diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dapat disimpulkan bahwa Jaksa Agung pada hakekatnya adalah