• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KOPIGMEN TANIN DAN ASAM GALAT TERHADAP WARNA JUS TERUNG BELANDA (Cyphomandra betacea Sendtn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH KOPIGMEN TANIN DAN ASAM GALAT TERHADAP WARNA JUS TERUNG BELANDA (Cyphomandra betacea Sendtn)"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE EFFECT OF TANNIN AND GALIC ACID COPIGMENTS ON COLOR OF TAMARILLO JUICE (Cyphomandra betaceaSendtn)

By

Elfrida Enzelina

(2)

concentrations of anthocyanin juice were significantly affected by molar ratio of copigments to anthocyanin. Furthermore, the molar ratio of 100 produced the best color retention (65,70%). Kinetic reaction parameters of copigmented juice indicated that galic acid was a more effective copigment indicated by lower value of kinetic constant (0,055 mM/hour) and longer half time (12,60 hours) at molar ratio of copigment to anthocyanin of 100.

(3)

ABSTRAK

PENGARUH KOPIGMEN TANIN DAN ASAM GALAT TERHADAP WARNA JUS TERUNG BELANDA (Cyphomandra betaceaSendtn)

Oleh Elfrida Enzelina

(4)

dibandingkan jus tidak dikopigmentasi (kontrol). Kopigmentasi pada rasio molar 100 mampu mempertahankan warna jus yang ditunjukkan oleh retensi warna paling tinggi (65,70%). Berdasarkan kinetika reaksi, kopigmen asam galat pada rasio molar 100 lebih efektif mempertahankan warna jus yang terlihat dari nilai konstanta (k) lebih kecil (0,005 mM/jam) dan waktu paruh yang lebih panjang (12,60 jam).

(5)

PENGARUH KOPIGMEN TANIN DAN ASAM GALAT TERHADAP WARNA JUS TERUNG BELANDA (Cyphomandra betaceaSendtn)

Oleh

ELFRIDA ENZELINA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

PENGARUH KOPIGMEN TANIN DAN ASAM GALAT TERHADAP WARNA JUS TERUNG BELANDA (Cyphomandra betaceaSendtn)

(Skripsi)

Oleh

ELFRIDA ENZELINA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Buah Terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn) ... 7

2. Struktur dasar antosianin ... 9

3. Bentuk-bentuk struktur antosianidin ... 11

4. Struktur delphinidin-3-rutinosida ... 11

5. Struktur antosianin pada kondisi pH yang berbeda ... 13

6. Berbagai bentuk kesetimbangan antosianin ... 14

7. Degradasi antosianin monoglukosida pada pH 3,7 oleh panas ... 15

8. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin ... 17

9. Interaksi intermolekul melalui ikatan hidrogen (A) dan hidrofobik (B) antara antosianin dan kopigmen... 18

10. Pembentukan ikatan melalui transfer muatan antosianin dengan senyawa fenolik (pirokatekol) ... 18

11. Efek hiperkromik dan batokromik dari proses kopigmentasi A). Sianidin-3-Glukosida, B) Sianidin-3-glukosida + asam rosmarinat… 19 12. Struktur dasar tanin ... 22

13. Struktur dasar asam galat ... 23

14. Jus terung Belanda ... 30

15. Pengaruh tanin terhadap batokromik dan hiperkromik jus terung Belanda terkopigmentasi ... 31

(8)

17. Rasio molar kopigmen terhadap konsentrasi antosianin ... 33

18. Faktor rasio molar kopigmen terhadap retensi warna antosianin jus terung Belanda. ... 36

19. Grafik kinetika reaksi degradasi antosianin jus terung Belanda terkopigmentasi tanin ... 38

20. Grafik kinetika reaksi degradasi antosianin jus terung Belanda terkopigmentasi asam galat ... 38

21. Proses pembuatan jus terung Belanda ... 61

22. Sampel setelah dikopigmentasi ... 61

23. Persiapan sampel... 61

24. Sampel dalam larutanbufferHCL-KCl pH 1 ... 62

25. Sampel dalam larutanbuffersitrat pH 4,5 ... 62

26. Sampel dalam larutanbuffersitrat pH 3,5 ... 62

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 4

1.4 Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn) ... 6

2.2 Antosianin. ... 8

2.3 Stabilitas Antosianin ... 11

2.4 Kopigmentasi ... 16

2.4.1 Mekanisme reaksi kopigmentasi ... 16

2.4.2 Faktor yang mempengaruhi kopigmentasi ... 19

2.4.3 Kopigmen ... 20

III. BAHAN DAN METODE ... 24

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

3.2 Alat dan Bahan ... 24

3.3 Metode Penelitian ... 25

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 25

3.4.1 Pembuatan larutanbufferpH 1, pH 3,5 dan pH 4,5 ... 25

3.4.2 Pembuatan jus terung Belanda ... 26

3.4.3 Kopigmentasi antosianin jus terung Belanda ... 26

3.5 Pengamatan ... 27

3.5.1 Pengamatan efek batokromik dan hiperkromik ... 27

3.5.2 Analisis konsentrasi antosianin ... 27

3.5.3 Retensi warna ... 28

(10)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Kadar Antosianin Jus Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) ... 30

4.2 Efek Batokromik dan Hiperkromik pada Jus Terung Belanda Terkopigmentasi ... 31

4.3 Konsentrasi Antosianin setelah Kopigmentasi ... 33

4.4 Retensi Warna ... 35

4.5 Kinetika Reaksi Degradasi Antosianin ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Komposisi kimia terung Belanda ... 7

2. Konstanta laju reaksi dan waktu paruh antosianin jus terung Belanda terkopigmentasi ... 39

3. Datapengamatan analisis konsentrasi antosianin ... 48

4. Konsentrasi antosianin ... 49

5. Uji kesamaan ragam (Bartlett's test) konsentrasi antosianin ... 49

6. Analisis ragam konsentrasi antosianin ... 50

7. Uji BNT terhadap faktor rasio ... 50

8. Data pengamatan analisis retensi warna ... 51

9. Hasil analisis retensi warna antosianin.... 52

10. Uji kesamaan ragam (Bartlett's test) retensi warna ... 53

11. Analisis ragam retensi warna antosianin ... 54

12. Uji BNT terhadap faktor rasio ... 54

13. Data pengamatan analisis kinetika reaksi antosianin ... 55

(12)
(13)
(14)
(15)

Dengan penuh syukur Kupersembahkan

Karya Sederhana ini

Kepada

Kedua orang tuaku Tercinta, Mama dan Alm.

Bapak Sebagai tanda bakti, kasih sayang, dan

cintaku atas segala doa, kasih sayang dan

perjuangan yang sangat luar biasa selama ini

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sidoharjo pada tanggal 17 November 1993, sebagai putri

pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak B. Sitorus (Alm) dan Ibu D.

Siagian. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 3 Negararatu pada

tahun 1999-2005; Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Natar pada tahun

2005–2008; Sekolah Menengah Atas (SMA) Yadika Natar pada tahun 2008–

2011. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi

Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Ujian

Mandiri (UM).

Selama kuliah di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unila, penulis mengikuti

kegiatan organisasi dan kemahasiswaaan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)

THP FP Unila sebagai anggota Bidang IV Dana dan Usaha Periode 2013/2014.

Pada tahun 2014 penulis melaksanakan Praktik Umum di PT. Indofood Sukses

Makmur Tbk. BogasariFlour Mills-Jakarta dengan judul”Mempelajari Penerapan

Good and Halal Manufacturing Practice (GHMP) di PT. Indofood Sukses

Makmur Tbk. Bogasari Flour Mills–Jakarta Divisi Pasta”. Pada tahun 2014

penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Tanjung

(17)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat

dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Pengaruh Kopigmen Tanin dan Asam Galat terhadap Warna Jus Terung Belanda

(Cyphomandra betacea Sendtn)’’ sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan

terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si. selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian yang

telah memberikan izin penyusunan skripsi.

3. Ibu Prof. Dr. Tirza Hanum selaku pembimbing akademik sekaligus dosen

pembimbing atas segala kebaikan, motivasi, bimbingan, dukungan, saran dan

pengarahan kepada penulis sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Ir. Ribut Sugiharto, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing atas

segala dukungan, saran, arahan, motivasi dan bimbingan yang diberikan

(18)

5. Bapak Drs. Azhari Rangga, M.App.Sc. selaku penguji utama yang telah

banyak memberikan masukan, saran dan bimbingan terhadap karya skripsi

penulis.

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen THP serta seluruh karyawan yang telah sangat

membantu selama perkuliahan dan penelitian, serta atas semua bimbingan dan

disiplin ilmu yang diberikan selama penulis menjalani studi.

7. Mama dan Alm. Bapak tercinta serta adik-adikku tersayang (Dewi, Lestari,

Kristiani) atas segala pengorbanan, doa, perhatian, motivasi, serta kasih

sayang yang tiada henti demi keberhasilanku.

8. Sahabat tersayang Ani, Artha, Neri, Via, dan Pawe atas segala bantuan,

semangat, kebersamaan, dan kebahagiaan selama ini.

9. Keluargaku angkatan 2011 “Janji Gerhana” terima kasih atas kekeluargaan

dan kebersamaan yang sangat berharga 4 tahun ini.

10. Teman satu tim penelitian Mba Dian dan Algi terimakasih atas semangat,

bantuan, dan menjadi tempat berbagi selama penelitian.

Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan kalian

dan penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat.

Bandar Lampung, Oktober 2015 Penulis

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Warna merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan mutu suatu produk

pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu

karakteristik utama sensori minuman jus yang dapat mempengaruhi penerimaan

konsumen. Jus terung Belanda merupakan salah satu produk olahan yang terbuat

dari buah terung Belanda atauTamarillo(Cyphomandra betaceaSendtn),

tanaman yang sangat terkenal di New Zealand dan di Indonesia tanaman ini dapat

di jumpai di daerah Sumatera Utara. Jus terung Belanda memiliki rasa agak asam

hingga manis yang banyak disukai masyarakat. Jus ini mengandung sejumlah

nutrisi yang baik untuk kesehatan, seperti vitamin, karotenoid, dan serat

(Sembiring, 2013). Selain itu, secara alami jus terung Belanda juga mengandung

antosianin berupa delphinidin-3-rutinosida yang memberikan warna merah

keunguan pada jus (Listeret al., 2005).

Antosianin adalah satuan gugus glikosida yang terdiri dari gugus aglikon dan

glikon yang merupakan hasil hidroksilasi dan turunan metoksilasi dari

2-benzopirilium atau garam flavilium (Jettanapornsumran, 2009). Antosianin

sangat mudah mengalami degradasi yang mengakibatkan warna menjadi pudar.

(20)

2

cenderung meningkat selama proses penyimpanan yang diiringi oleh kenaikan

suhu sehingga menyebabkan mutu jus menurun. Hal tersebut mendorong banyak

produsen menggunakan bahan tambahan makanan berupa pewarna untuk

meningkatkan warna alami produk. Umumnya pewarna yang digunakan adalah

pewarna sintetis yang berbahaya jika digunakan dalam jangka waktu panjang

karena bersifat toksik bahkan karsinogenik (Sembiring, 2013). Oleh karena itu,

penggunaan pewarna alami mulai menjadi perhatian konsumen. Selain

penambahan pewarna alami, warna produk minuman jus juga dapat diperkuat atau

dipertahankan dengan penambahan senyawa kopigmen yang berinteraksi dengan

zat warna alami dalam jus membentuk ikatan yang menstabilkan warna yang

disebut kopigmentasi (Rein, 2005).

Kopigmentasi adalah suatu interaksi antara pigmen dengan senyawa lain

(kopigmen) seperti senyawa polifenol, flavonoid, alkaloid, asam amino, asam

organik, logam bahkan molekul antosianin itu sendiri (Del Pozo-Insfran, 2006)

melalui ikatan lemah (hidrofobik atau ikatan hidrogen) (Talcottet al., 2003).

Menurut Rein (2005), pada saat kopigmentasi akan terbentuk suatu ikatan baru

antar molekul-molekul kopigmen dengan molekul antosianin yang akan

melindungi kation flavilium antosianin yang reaktif dari serangan molekul air,

sehingga warna pigmen antosianin menjadi lebih kuat dan stabil. Fenomena

kopigmentasi ditunjukkan oleh pergeseran panjang gelombang maksimum kurva

spektrofotometri atau biasa disebut efek batokromik (∆λmax) dan peningkatan

absorban maksimum kurva spektrofotometri (∆A, intensitas warna) yang disebut

(21)

3

Efektifitas suatu kopigmentasi dapat dipengaruhi oleh jenis kopigmen yang

ditambahkan pada antosianin (Schwarzet al., 2005). Tanin dan asam galat

merupakan kopigmen yang berinteraksi dengan antosianin melalui interaksi

intermolekul. Kopigmen-kopigmen ini dapat diperoleh secara mudah di alam,

dengan cara memanfaatkan limbah kulit tanaman dan buah-buahan, seperti pada

kulit kayu (tanin) dan kulit anggur (asam galat) dengan cara diekstraksi.

Kopigmentasi tanin pada antosianin ekstrak kulit terung Belanda (Cyphomandra

betaceaSendtn) dilaporkan mampu menstabilkan warna ekstrak antosianin

sampai 40 hari penyimpanan (Wahyuni, 2014). Namun, kopigmen ini belum

diteliti pada jus terung Belanda. Selain tanin, asam galat juga dilaporkan efektif

dalam mempertahankan warnared currant juiceselama 30 hari penyimpanan

(Kopjaret al., 2009). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kedua kopigmen ini

diharapkan dapat mempertahankan warna jus. Oleh karena itu, pada penelitian ini

akan diteliti efektivitas jenis kopigmen (tanin dan asam galat) dalam

mempertahankan warna jus terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn)

melalui interaksi intermolekul.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menentukan jenis kopigmen (tanin atau asam galat) terbaik, dalam

mempertahankan warna jus terung Belanda (Cyphomandra betacea

(22)

4

2. Menentukan rasio molar kopigmen (tanin atau asam galat) terhadap

antosianin terbaik, dalam mempertahankan warna jus terung Belanda

(Cyphomandra betaceaSendtn).

1.3 Kerangka Pemikiran

Kopigmentasi secara alami dapat menstabilkan warna antosianin dengan cara

melindungi kation flavilium dari serangan molekul air (Kopjar dan Pilizota,

2009). Menurut Rein (2005), kopigmentasi dapat terjadi melalui empat

mekanisme interaksi yaitu intermolekul, intramolekul,pembentukan kompleks

dengan logam dan interaksi molekul sejenis. Jenis interaksi antara kopigmen dan

antosianin akan menghasilkan kekuatan kopigmentasi yang berbeda-beda dalam

melindungi kation flavilium dari serangan molekul air, sehingga kecocokan jenis

kopigmen untuk antosianin tertentu perlu diteliti satu per satu (Heet al., 2012).

Menurut Del Pozo-Insfran (2006), kopigmentasi intermolekul merupakan jenis

kopigmentasi yang paling sering diteliti dan dilaporkan mampu menghambat laju

degradasi antosianin. Interaksi intermolekul terjadi melalui ikatan hidrogen dan

interaksi hidrofobik (Jettanapornsumran, 2009). Tanin dan asam galat merupakan

jenis kopigmen yang berinteraksi dengan antosianin melalui interaksi

intermolekul (Heet al., 2012). Kedua jenis kopigmen ini memiliki gugus

hidroksil yang kelebihan elektron, sehingga terjadi transfer elektron dari tanin dan

asam galat yang memiliki elektron bebas ke kation flavilium (kekurangan

elektron) membentuk kesetimbangan elektron (Castenada-Ovandoet al., 2009),

(23)

5

(Jettanapornsumran, 2009). Kopigmen-kopigmen ini dapat ditemukan dengan

mudah di alam.

Efek kopigmentasi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti rasio molar kopigmen

terhadap antosianin (Boulton, 2001). Menurut Kopjar dan Pilizota (2009)

penambahan kopigmen pada rasio yang berbeda yaitu 50:1 dan 100:1

mempengaruhi konsentrasi antosianin, kinetika reaksi, dan retensi warna

antosianin. Wahyuni (2014) juga melaporkan bahwa rasio molar tanin terhadap

ekstrak antosianin terbaik adalah 100. Pada penelitian ini (jus) akan diteliti rasio

molar yang lebih besar untuk mengetahui rasio molar yang paling optimal dalam

mempertahankan warna jus terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn). Oleh

karena itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui efektifitas dari setiap

jenis kopigmen pada rasio molar kopigmen terhadap antosianin terbaik, dalam

mempertahankan warna jus terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn).

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :

1. Terdapat jenis kopigmen (tanin atau asam galat) terbaik yang dapat

mempertahankan warna jus terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn).

2. Terdapat rasio molar kopigmen (tanin atau asam galat) terhadap antosianin

terbaik, dalam mempertahankan warna jus terung Belanda (Cyphomandra

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn)

Terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn) atau disebut jugaTamarillo

merupakan tanaman jenis terung-terungan yang berasal dari familySolanaceae

dan termasuk salah satu jenis tanaman semak atau perdu yang dapat tumbuh

dengan baik pada ketinggian 1000-2000 m dpl, dengan tinggi batang 2-3 m dan

diameter batang 4 cm. Buah terung Belanda berbentuk oval seperti telur dengan

ukuran panjang sekitar 5-6 cm (Gambar 1) dan terletak pada ujung batang

biasanya dalam bentuk berkelompok. Terung ini berwarna merah muda, orange

atau kuning sampai biru terung atau ungu gelap dengan diameter 1 cm, serta

memiliki biji buah yang pipih, tipis dan keras. Warna terung ini akan berubah

menjadi merah kecoklatan ketika sudah matang (Kumalaningsih dan Suprayogi,

2006).

Terung Belanda banyak dijumpai di daerah Sumatera Utara dan banyak

dimanfaatkan sebagai buah yang dikonsumsi segar, bumbu masak serta dibuat

(25)

7

Gambar 1. Buah terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn)

Terung Belanda memiliki banyak manfaat yang baik bagi kesehatan. Kandungan

gizi terung Belanda dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia terung Belanda

Komponen Kandungan (tiap 100 g)

Kalori (kal) 48

Sumber: (Kumalaningsih dan Suprayogi, 2006).

Menurut Kumalaningsih dan Suprayogi (2006) terung Belanda mengandung

betakaroten yang sangat berperan penting dalam menangkal radikal bebas. Selain

itu, vitamin C yang terkandung dalam terung Belanda juga bermanfaat untuk

(26)

8

untuk menurunkan kolesterol (Syariahet al., 2011). Buah ini juga dilaporkan

mengandung antosianin (Listeret al., 2005). Antosianin terung Belanda

merupakan sumber antioksidan alami yang dapat digunakan untuk memperkecil

reaksi oksidasi dan menangkal radikal bebas (Herani dan Rahardjo, 2005).

Pigmen antosianin yang terkandung dalam terung Belanda dapat dijadikan sebagai

salah satu alternatif pewarna alami (Diniyahet al., 2010).

2.2 Antosianin

Antosianin adalah zat warna alami yang bersifat sebagai antioksidan yang terdapat

dalam tumbuh-tumbuhan (Wrolstad, 2001). Pigmen ini larut dalam air, berwarna

merah sampai biru dan terdapat pada buah-buahan, bunga dan sayur-sayuran yang

termasuk dalam kelompok flavonoid (Jettanapornsumran, 2009). Antosianin

dapat ditemui pada sejumlah besar buah-buahan, sayur, maupun umbi seperti :

cherry, raspberry, mulberry, bluberry, blackberry, strawberry (Boulton, 2001),

java plum (duwet) (Satyatama, 2008), rosella (Catrien, 2009), katul beras ketan

hitam (Hanum, 2000), kulit terung ungu (Diniyahet al., 2010), ubi jalar ungu

(Santoso dan Teti, 2014). Antosianin telah banyak dimanfaatkan dalam proses

pengolahan pangan, baik untuk makanan maupun minuman (Satyatama, 2008).

Menurut Sembiring (2013), pewarna sintetis diketahui bersifat toksik dan

karsinogenik, maka keberadaan antosianin sebagai pewarna alami sangat penting.

Clifford (2000) dan JEFCA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food

Additives) menyatakan bahwa ekstrak yang mengandung antosianin memiliki efek

toksisitas yang rendah. Antosianin dapat digunakan sebagai pewarna alami untuk

(27)

9

pada produk pangan. Selain sebagai pewarna alami, antosianin juga berperan

penting sebagai antioksidan (Listeret al., 2005) yaitu zat yang dapat menangkal

atau mencegah reaksi oksidasi dari radikal bebas (Changet al., 2002),cardio

protective capacity, dan memiliki kemampuan untuk menghambat tahap inisiasi

reaksi kimiawi yang menyebabkan karsinogenesis (Smithet al., 2000).

Antosianin secara kimia memiliki struktur utama berupa dua cincin aromatik

benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk

cincin (Rein, 2005) merupakan hasil turunan dari glikosilasi polihidroksi dan/atau

polimetoksi dari garam 2-benzopirilium atau dikenal dengan struktur kation

flavilium atau benzilflavilum (3,5,7,4’-tetrahidroksiflavilum) (Jettanapornsumran,

2009). Struktur dasar antosianin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sruktur dasar antosianin (Brouillard, 1982)

Keterangan : R3’ dan R5’ : Gugus substitusi

R : Jenis glikon (gula atau gula terasilasi)

Antosianin terdiri dari gugus gula (glikon) dan antosianidin (aglikon). Subsituen

gula pada antosianin biasanya glukosa, ramnosa, galaktosa, xilosa, fruktosa, dan

arabinosa (Del Pozo-Insfran, 2006). Keragaman antosianin dapat terjadi karena

(28)

10

gulanya (Catrien, 2009). Selain gula, molekul lain yang terdapat pada inti kation

flavilium adalah gugus asil antara lain asam kumarat, asam ferulat, asam asetat,

asam malonat, asam galat, asam kafeat, asam sinapat, asam malat, asam oksalat

dan asam suksinat. Satu atau lebih molekul tersebut terasilasi pada molekul gula

(Jettanapornsumran, 2009). Keberadaan gugus asil dalam jumlah dan posisi

tertentu dapat meningkatkan kestabilan antosianin terutama terhadap cahaya dan

pH (Rein, 2005). Keberadaan dua grup asil, yaitu grup asil yang terletak di atas

dan di bawah cincin pirilium dibutuhkan untuk retensi warna maksimum.

Antosianin merupakan senyawa yang bersifat amfoter, yaitu memiliki

kemampuan untuk bereaksi baik dengan asam maupun basa. Antosianin akan

berwarna merah dalam media asam, berwarna ungu di lingkungan netral, dan

berwarna biru di lingkungan basa. Perubahan warna ini terjadi karena adanya

perubahan lingkungan dan tergantung dari gugus yang terikat pada struktur dasar

dari posisi ikatannya (Santoso dan Teti, 2014). Beberapa gugus pengganti yang

terikat pada struktur dasar antosianin membentuk stuktur antosianidin dan

memiliki peranan penting dalam bahan pangan (Gambar 3), yaitu pelargonidin

(orange), sianidin (orange-merah), peonidin (orange-merah), delphinidin

(biru-merah), petunidin (biru-merah) dan malvidin (biru-merah) (Fernando dan

(29)

11

Gambar 3. Bentuk-bentuk struktur antosianidin (Brouillard, 1982)

Antosianin terung Belanda (Chypomandra betaceaeSendtn) memiliki struktur

kimia delphinidin-3-rutinosida (Listeret al., 2005) ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur delphinidin-3-rutinosida

2.3 Stabilitas antosianin

Antosianin memiliki struktur berbentuk kation flavilium, yang terikat pada gugus

hidroksi, metoksi, atau o-glikosil (Catrien, 2009). Antosianin memiliki stabilitas

yang rendah, sehingga mudah mengalami kerusakan selama proses pengolahan

(30)

12

karena adanya reaksi-reaksi yang terjadi akibat kekurangan elektron yang

menyebabkan kation flavilium menjadi sangat reaktif. Degradasi warna dari

pigmen antosianin disebabkan oleh berubahnya kation flavilium yang berwarna

merah menjadi bentuk kesetimbangan yaitu basa karbinol dan kalkon yang tidak

berwarna (Mateus dan Freitas, 2009). Rein (2005) menyatakan bahwa reaksi

degradasi pada antosianin mengikuti laju reaksi ordo pertama. Laju degradasi

warna antosianin dipercepat dengan adanya asam askorbat, asam amino, fenol,

dan gula. Senyawa-senyawa tersebut dapat berkondensasi dengan molekul

antosianin melalui suatu reaksi yang kompleks (Del pozo-insfran, 2006).

Sifat dan warna antosianin dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa

faktor, antara lain jumlah pigmen, letak dan jumlah gugus hidroksi dan metoksi

(Santoso dan Teti, 2014). Konsentrasi pigmen yang tinggi di dalam jaringan akan

menyebabkan warna merah hingga gelap, sedangkan konsentrasi pigmen yang

sedang akan menyebabkan warna ungu, dan konsentrasi pigmen yang rendah akan

menyebabkan warna biru (Rein, 2005). Penambahan gugus glikosida atau

peningkatan jumlah gugus hidroksi bebas pada rantai karbon nomor 5 (cincin A)

yang dominan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak stabil,

sedangkan metilasi atau penambahan jumlah gugus metoksi akan menyebabkan

warna cenderung merah dan relatif stabil (Jettanapornsumran, 2009).

Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH,

temperatur, cahaya, oksigen, dan enzim (Niendyah, 2004; Rein, 2005;

Jettanapornsumran, 2009; Jianteng xu, 2013). Antosianin sangat sensitif dan tidak

(31)

13

pada larutan asam dibanding larutan basa. Struktur kation flavilium (merah) akan

dominan pada pH rendah yaitu < 2, sedangkan pada pH 3-6, struktur kation

flavilium mengalami serangan nukleofilik oleh molekul air, menghasilkan struktur

basa karbinol/hemiasetal (tidak berwarna). Pada pH yang lebih tinggi (pH 6-8)

terjadi reaksi deprotonisasi menghasilkan struktur basa quinonoidal (ungu)

(Jettanapornsumran, 2009). Semakin meningkatnya pH maka akan semakin

banyak terbentuk senyawa basa karbinol dan kalkon yang menyebabkan tidak

berwarna (Rein, 2005). Struktur antosianin pada kondisi pH yang berbeda

ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur antosianin pada kondisi pH yang berbeda (Giusti dan Wrolstad, 2001)

Kopjar dan Pilizota (2009) juga menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh

nyata terhadap degradasi antosianin. Pemanasan pada suhu tinggi selama waktu

tertentu dapat menggeser kesetimbangan antosianin menuju bentuk yang tidak

berwarna, yaitu bentuk basa karbinol dan kalkon (Mateus dan Freitas, 2009).

(32)

14

Gambar 6. Berbagai bentuk kesetimbangan antosianin (Mateus dan Freitas, 2009)

Rein dan Heinonen (2004) menyatakan bahwa stabilitas warna antosianin sebagai

fungsi suhu dan lama pemanasan dinyatakan sebagai persen retensi warna

antosianin. Penurunan nilai retensi warna selama perlakuan pemanasan terjadi

karena terbentuknya senyawa seperti karbinol dan turunannya yang tidak

berwarna. Selain pemanasan, suhu penyimpanan juga berperan penting dalam

pembentukan kalkon (Rein, 2005). Amr dan Al-Tamimi (2007) melaporkan

bahwa antosianin dalam model minuman berkarbonasi yang disimpan selama 180

hari pada suhu ruang dan 4°C masing-masing mengalami degradasi warna sebesar

90% dan 30%. Menurut Kopjar dan Pilizota (2009), suhu juga mempengaruhi

stabilitas warna antosianinred currant juicesehingga pengendalian pada suhu

penyimpanan merupakan salah satu faktor penting untuk menjaga stabilitas

(33)

15

Gambar 7. Degradasi antosianin monoglukosida pada pH 3,7 oleh panas (Rein, 2005)

Cahaya menjadi salah satu faktor yang menentukan kestabilan antosianin.

Menurut Rein (2005), cahaya mempengaruhi antosianin dalam dua cara yang

berbeda, yaitu berperan penting dalam biosintesis antosianin dan mempercepat

degradasi. Antosianin dalam kondisi netral atau basa bahkan asam akan

mengalami perubahan warna jika terkena paparan cahaya, sehingga larutan perlu

disimpan di tempat gelap (Jawiet al., 2007). Stabilitas antosianin juga

dipengaruhi oleh oksigen. Adanya oksigen disertai suhu tinggi merupakan faktor

yang dapat yang menyebabkan kerusakan pada berbagai jus berry dan isolasi

antosianin (Rein, 2005). Proses rusaknya antosianin karena pengaruh oksigen

dapat terjadi melalui mekanisme oksidasi langsung dan/atau melalui oksidasi

tidak langsung, di mana komponen yang teroksidasi dari bahan bereaksi dengan

antosianin menghasilkan produk tidak berwarna atau coklat (Rein, 2005). Talcott

et al. (2003) melaporkan bahwa kehadiran enzim antosianase atau polifenol

oksidase juga mempengaruhi kestabilan antosianin karena bersifat merusak

(34)

16

2.4 Kopigmentasi

2.4.1 Mekanisme reaksi kopigmentasi

Kopigmentasi merupakan salah satu cara untuk menstabilkan dan memperkuat

warna antosianin. Fenomena kopigmentasi pertama kali teramati pada tahun 1916

oleh Willstatter dan Zollinger yang mengamati warna pigmen anggur, oenin

(malvidin 3-glukosida) dengan penambahan tanin dan asam galat mengalami

perubahan warna dari merah menjadi merah kebiruan (Rein, 2005). Pada anggur,

ketidakstabilan dan reaktivitas antosianin bersama-sama dengan reaksi

kopigmentasi diperkirakan bertanggung jawab terhadap perubahan warna pada

proses pemeraman anggur. Kopigmentasi juga berperan dalam mempertajam dan

menstabilkan warna jus,buah dan produk berry,puree,jam, dan sirup sehingga

mampu meningkatkan penerimaan konsumen dan memperpanjang umur simpan

produk (Rein dan Heinonen, 2004). Kopigmentasi merupakan interaksi antara

struktur antosianin dengan molekul lain seperti logam (Al3+, Fe3+,Sn2+, Cu2+) dan

molekul organik lain seperti senyawa falvonoid (flavon, flavonon, dan flavonol),

senyawa alkaloid (kafein), dan sebagainya (Rein, 2005), sehingga terbentuk ikatan

antara molekul antosianin dengan kopigmen yang berperan dalam memperlambat

proses degradasi dan cenderung meningkatkan dan menstabilkan antosianin

selama penyimpanan (Tallcotet al., 2003).

Kopigmentasi dapat terjadi melalui beberapa interaksi (Gambar 8) yaitu

kopigmentasi intermolekul (intermolecular copigmentation),kopigmentasi

intramolekul (intramolecular copigmentation), kopigmentasi pembentukan

(35)

17

sejenis (self association). Beberapa interaksi kopigmentasi ditunjukkan oleh

Gambar 8.

Gambar 8. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin (Rein, 2005)

Kopigmentasiself associationmerupakan interaksi antara antosianin dengan

antosianin lain yang berperan sebagai senyawa kopigmen dengan bantuan gugus

gula sebagai pengikat (Rein dan Heinonen, 2004). Pada mekanisme kopigmentasi

intramolekul,interaksi terjadi antara antosianin dengan bagian dari molekul

antosianin itu sendiri, misalnya dengan gugus asil melalui reaksi kimia atau

dengan bantuan perlakuan fisik yang proses pengikatannya dapat terjadi dengan

bantuan gugus gula. Berdasarkan penyusunannya, interaksi intramolekul terbagi

atas 2 yaitu mono-asilasi pigmen dan di-asilasi pigmen. Kopigmentasi

pembentukan kompleks dengan logam merupakan interaksi pembentukan

kompleks antara antosianin dengan logam sebagai senyawa kopigmen. Namun,

kopigmentasi logam kurang menarik dalam bidang pangan karena pada umumnya

kontaminasi produk oleh logam sangat dihindari.

Reaksi kopigmentasi dalam penelitian ini termasuk ke dalam kopigmentasi

(36)

18

karena adanya interaksi antara antosianin dengan senyawa kopigmen seperti

flavonoid atau fenolik melalui ikatan lemah (hidrofobik atau ikatan hidrogen)

yang ditunjukkan oleh Gambar 9.

Antosianin B Kopigmen

A

Gambar 9. Interaksi intermolekul melalui ikatan hidrogen (A) dan hidrofobik (B) antara antosianin dan kopigmen

Menurut Castenada-Ovandoet al.(2009) secara garis besar, mekanisme

kopigmentasi dapat terjadi ketika kation flavilium yang bermuatan positif

(kekurangan elektron), menerima elektron dari senyawa kopigmen yang memiliki

elektron bebas, sehingga terjadi kesetimbangan elektron. Mekanisme

kopigmentasi intermolekuler antara antosianin dengan senyawa kopigmen yang

bukan berasal dari molekul antosianin itu sendiri dapat dilihat pada Gambar 10.

(37)

19

Fenomena kopigmentasi teramati sebagai pergeseran panjang gelombang

maksimum yang dikenal dengan nama efek batokromik atau efek hiperkromik.

Efek batokromik(Δ λmax)yaitu pergeseran absorpsi panjang gelombang

maksimum(λmax), contohnya terjadi perubahan warna pada antosianin dari

merah menjadi merah kebiruan (bluing effect) karena kopigmentasi (Rein, 2005).

Efek hiperkromik (Δ A) merupakan peningkatan intensitas warna antosianin

setelah kopigmentasi (Rein, 2005). Perubahan penyerapan panjang gelombang

maksimum (pergeseran batokromik) dan peningkatan intensitas warna (efek

hiperkromik) untuk sianidin 3 -glucosideterkopigmentasi dengan asam

rosmarinat ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Efek hiperkromik dan batokromik dari proses kopigmentasi A) Sianidin-3-glukosida, B) Sianidin-3-glukosida + asam rosmarinat

2.4.2 Faktor yang mempengaruhi kopigmentasi

Seperti halnya antosianin, reaksi kopigmentasi juga dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti pH, suhu, dan konsentrasi (Bakowskaet al., 2003). Kopigmentasi

(38)

20

terdapat kesetimbangan dengan bentuk quinoidalnya (Jettanopornsumran, 2009).

Menurut Yuwono dan Choirunnisa (2009), peningkatan pH dapat menyebabkan

penurunan monomer dan absorbansi antosianin. Peningkatan suhu dapat

menyebabkan kopigmentasi yang terjadi tidak stabil. Hal ini terjadi karena

kerusakan parsial pada ikatan hidrogen. Konsentrasi kopigmen yang ditambahkan

juga mempengaruhi kopigmentasi. Efek kopigmentasi akan lebih efisien jika

konsentrasi kopigmen lebih besar dibandingkan konsentrasi antosianin.

Konsentrasi antosianin sebelum reaksi kopigmentasi harus di atas 3,5 x 10-5M

agar kopigmentasi efektif (Rein, 2005).

Rein (2005) menyatakan bahwa penggunaan rasio molar kopigmen terhadap

antosianin yang terlalu rendah akan menyebabkan kopigmentasi tidak efektif, dan

rasio terlalu tinggi menyebabkan tidak efisien terhadap penggunaan kopigmen.

Menurut Boulton (2001), rasio yang terlalu rendah K=1 menghasilkan

pembentukan ikatan yang lemah, pada penggunaan rasio yang lebih tinggi yaitu

K=10 sampai K=100 menghasilkan pembentukan ikatan kopigmen terhadap

antosianin yang kuat sehingga dapat menstabilkan antosianin. Kopigmentasi

senyawa tanin dengan ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Chypomandra

betaceaeSendtn) pada perlakuan rasio molar 100:1 dilaporkan dapat

meningkatkan kestabilan warna ekstrak antosianin sampai 40 hari penyimpanan

(Wahyuni, 2014).

2.4.3 Kopigmen

Kopigmen adalah senyawa yang digunakan dalam proses kopigmentasi yaitu

(39)

21

berwarna kekuningan yang terdapat secara alami dalam sel tanaman. Kopigmen

dilaporkan mampu meningkatkan warna antosianin yang ditandai dengan

pergeseran batokromik dan peningkatan penyerapan warna pada panjang

gelombang penyerapan warna maksimum. Senyawa ini juga memiliki

kemampuan menstabilkan selama proses dan penyimpanan. Senyawa yang umum

menjadi kopigmen adalah senyawa dari golongan flavonoid, polifenol, alkaloid,

asam amino, dan asam organik (Rein, 2005).

Banyak kopigmen yang telah diteliti dan menunjukkan hasil yang efektif dalam

proses kopigmentasi. Markovicet al. (2000) menyatakan bahwa asam ferulat

yang berasal dari golongan asam fenolik merupakan salah satu jenis kopigmen

yang tergolong efisien. Rutin dan quercetin dari jenis flavonol merupakan jenis

kopigmen yang menghasilkan efek kopigmentasi yang paling efisien dan kuat

(Bakowskaet al., 2003). Rein dan Heinonen (2004) menggunakan asam ferulat,

asam sinapat, dan asam rosmarinat untuk memperbaiki kualitasberry juice.

Selain itu, katekin dan asam galat (Kopjar dan Pilizota, 2009) serta tanin

(Wahyuni, 2014) juga dapat digunakan sebagai kopigmen. Kopigmen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah tanin dan asam galat.

Tanin atau lebih dikenal dengan asam tanat merupakan salah satu jenis senyawa

dengan rumus molekul C76H52O46yang termasuk ke dalam golongan polifenol

yang larut dalam air dengan berat molekul 1701 mg/mMol (Ismarani, 2012) dan

mempunyai gugus hidroksil dan gugus lainnya (karboksil) sehingga dapat

membentuk kompleks dengan protein (Rahimet al.,2007 ). Senyawa tanin

(40)

22

batang, daun dan buah–buahan (Danartoet al., 2011). Beberapa jenis tumbuh–

tumbuhan atau tanaman yang dapat menghasilkan tanin, antara lain : tanaman

pinang, tanaman akasia, gabus, bakau, pinus dan gambir. Tanin juga banyak

ditemukan pada teh.

Tanin memiliki struktur kimia yang kompleks (Gambar 12). Berdasarkan

strukturnya, tanin dapat diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu condensed tannin

(tanin yang dapat terkondensasi dan tidak dapat dihidrolisis kecuali dalam suasana

asam, contoh: katekin, proantocyanidin) danhidrolisable tannin(tanin yang

terhidrolisis dalam air, contoh: galotanin, caffetanin) (Danartoet al., 2011). Tanin

secara alami umumnya ada yang tidak berwarna tetapi ada juga yang berwarna

kuning sampai coklat terang. Dalam industri pangan, tanin sering dimanfaatkan

sebagai zat pewarna dan bahan pengawet minuman (Hagerman, 2002).

Gambar 12. Struktur dasar tanin (Hagerman, 2002)

Asam galat merupakan salah satu jenis kopigmen yang merupakan senyawa

fenolik C6-C1dengan rumus molekul C7H6O5. Struktur asam galat ditunjukkan

oleh Gambar 13. Asam galat memiliki karakteristik yaitu berwarna putih

(41)

23

biasanya digunakan untuk menentukan fenol dan memiliki aktivitas sebagai

antioksidan. Asam galat dapat ditemukan pada anggur (Belinda, 2011).

(42)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan

Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian dan Laboratorium Biomassa Jurusan

Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April sampai dengan Juni 2015.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah spektrofotometer Varian tipe

cary 50 probe, sentrifius merk Hitachi tipe CF16RX II,shaker, pH meter,

timbangan, botol gelap, mikropipet, pipet tip, baskom,juice extractormerk

Cosmos, dan alat-alat gelas.

Bahan baku yang digunakan adalah terung Belanda (Cyphomandra betacea

Sendtn) sebagai bahan baku jus, asam galat, dan tanin. Bahan-bahan kimia yang

diperlukan untuk keperluan analisis seperti larutanbufferHCl-KCl pH 1, larutan

buffersitrat pH 3,5 dan 4,5, air suling, serta bahan pembantu seperti kain saring,

(43)

25

3.3 Metode Penelitian

Percobaan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial (2 x 4) dengan 3 ulangan. Faktor

pertama adalah jenis kopigmen (K) yaitu tanin (K1) dan asam galat (K2). Faktor

kedua adalah rasio molar kopigmen terhadap antosianin (R), yaitu Kontrol (R0),

50 (R1), 100 (R2) dan 150 (R3).

Data yang diperoleh diuji kemenambahan datanya dengan menggunakan uji

Tuckey dan kesamaan ragam data diuji dengan menggunakan uji Bartlet. Data

dianalisis dengan analisis ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat dan

mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan, kemudian untuk mengetahui

perlakuan terbaik pengujian dilanjutkan dengan BNT pada taraf uji 5% (Steel dan

Torrie, 1991).

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembuatan larutanbufferpH 1, pH 3,5 dan pH 4,5

PembuatanbufferpH 1, pH 3,5 dan pH 4,5 menggunakan metode Sudarmadjiet

al. (1997). BufferHCl-KCl pH 1 dibuat dengan cara mencampurkan 50 mL

larutan HCl 0,2 M dengan 97 mL larutan KCl 0,2 M, kemudian diencerkan

dengan menambahkan air suling hingga volume 200 mL. Buffersitrat pH 3,5

dibuat dengan cara mencampurkan 40 mL larutan asam sitrat 0,1 M dengan 11

mL larutan natrium sitrat 0,1 M, kemudian ditambahkan air suling hingga volume

(44)

26

asam sitrat 0,1 M dengan 23 mL larutan natrium sitrat 0,1 M, dan kemudian

ditambahkan air suling hingga volume 100 mL.

3.4.2 Pembuatan jus terung Belanda

Jus terung Belanda dibuat dengan cara mengambil sebanyak 3 kg terung Belanda

dicuci, dipotong delapan, kemudian diambil sarinya dengan menggunakanjuice

extractor. Sari buah yang di dapat kemudian di saring dengan menggunakan kain

saring, lalu disentrifius dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 5oC selama 10

menit. Jus kemudian diambil cuplikannya untuk mengukur pH dan konsentrasi

awal antosianin yang ditentukan secara spektrofotometri. Jus yang diperoleh

kemudian dimasukkan ke dalam botol dan di simpan dalam refrigerator untuk

perlakuan selanjutnya.

3.4.3 Kopigmentasi antosianin jus terung Belanda

Kopigmentasi dilakukan dengan mengambil sebanyak 18 mL jus, kemudian

dimasukkan ke dalam botol gelap, lalu ditambahkan kopigmen yaitu tanin dan

asam galat. Jumlah kopigmen tanin dan asam galat yang akan ditambahkan

dihitung sesuai dengan masing-masing perlakuan rasio molar kopigmen terhadap

antosianin (50, 100, dan 150) dengan perhitungan sebagai berikut :

Jumlah kopigmen = C x BM x V/1000 x R

Keterangan :

C = Konsentrasi antosianin awal (mMol)

BM = Berat molekul (BM tanin = 1701 mg/mMol dan BM asam galat = 170 mg/mMol)

V = Volume sampel

(45)

27

Botol sampel berisi jus yang telah ditambahkan tanin (315,11 mg, 630,21 mg,

945,32 mg) dan asam galat (31,49 mg, 62,98 mg, 94,47 mg) untuk masing-masing

rasio (50, 100, dan 150) ditutup dan homogenkan dengan menggunakanshaker

dengan kecepatan 100 rpm selama 10 menit hingga tanin dan asam galat

bercampur dengan jus. Masing-masing sampel disimpan di refrigerator selama ±7

hari, waktu yang diperkirakan cukup untuk berlangsungnya kopigmentasi.

3.5 Pengamatan

Pengamatan dilakukan untuk melihat efek batokromik dan hiperkromik dengan

spektrofotometri, konsentrasi antosianin, retensi warna dan kinetika reaksi.

3.5.1 Pengamatan efek batokromik dan hiperkromik

Sampel antosianin yang tidak dikopigmentasi dan antosianin terkopigmentasi

masing-masing sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam 3 mL larutanbufferpH 3,5.

Absorban sampel diukur dengan spektrofotometer pada berbagai panjang

gelombang 450 nm–600 nm (scanning) sampai diperoleh Absorban tertinggi

(Aλmax) (Rein, 2005). Analisisscanningdilakukan pada hari ke–7

(diperkirakan sudah terjadi kopigmentasi) untuk mengamati peningkatan

absorbansi maks (hiperkromik) dan pergeseran λ maks(batokromik).

3.5.2 Analisis konsentrasi antosianin

Penentuan kadar antosianin yang dinyatakan sebagai delphinidin-3-rutinosida

dilakukan dengan metode perbedaan pH pada spektrofotometer (Giusti dan

(46)

28

terkopigmentasi dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi yang berisi larutan

bufferpH 1 dan 4,5 masing-masing 3 mL. Masing-masing sampel diukur dengan

menggunakan spektrofotometer pada λ 525 nm dan 700 nmmenggunakan air

suling sebagai blanko. Konsentrasi antosianin dihitung menggunakan persamaan

berikut :

Absorban sampel (A) = (Aλmax–A700)pH1–(Aλmax–A700)pH4,5

Total antosianin (mMol) = (A x DF x 1000) / (ε x 1)

Total antosianin (mg/L) = (A x MW x DF x 1000) / (ε x 1)

Keterangan :

Aλmax= Absorban pada panjang gelombang maksimal MW Delphinidin-3-rutinosida = 647,0 g/mol

DF = Faktor pengenceran

Konstanta absortivitas molar = ε =26.900 L mol-1cm-1

3.5.3 Retensi warna

Perubahan warna antosianin jus terung Belanda tidak dikopigmentasi maupun

terkopigmentasi dilakukan dengan pengukuran absorbansi pada larutanbuffer

sitrat pH 3,5 dan λ 525 nm. Retensi warna dihitung dengan rumus :

Retensi Warna (%) = (At/A0) x 100%

Keterangan :

A0: absorban pada hari ke-0

(47)

29

3.5.4 Kinetika reaksi antosianin

Pengujian kinetika degradasi antosianin dilakukan pada suhu 60oC dengan

melarutkan 1 mL jus terung Belanda ke dalam 3 mL larutanbufferuntuk

masing-masing pH (1 dan 4,5) kemudian dipanaskan menggunakanwaterbathpada suhu

60oC selama 8 jam dengan interval waktu 2 jam, selanjutnya larutan diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 525 nm (Shiet al., 1992). Konstanta laju

reaksi ordo pertama (k) ditentukan dari kemiringan garis, sedangkan waktu paruh

(t1/2) dihitung dengan menggunakan persamaan laju reaksi ordo satu sebagai

berikut :

C0adalah konsentrasi awal antosianin

Ctadalah konsentrasi antosianin setelah pemanasan waktu t

(48)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:

1. Jus terung Belanda terkopigmentasi tanin dan asam galat menunjukkan tidak

ada efek batokromik tetapi terjadi hiperkromik pada rasio molar yang berbeda.

2. Kopigmentasi dengan tanin dan asam galat mampu mempertahankan stabilitas

antosianin jus yang ditunjukkan oleh konsentrasi dan retensi warna antosianin

jus terkopigmentasi lebih tinggi (65,70%) dibandingkan jus tidak

dikopigmentasi (kontrol).

3. Uji kinetika reaksi pada suhu 60oC menunjukkan kopigmen asam galat pada

rasio molar 100 lebih efektif mempertahankan warna jus ditunjukkan oleh

konstanta kinetik yang lebih rendah (0,055 mM/jam) dan waktu paruh yang

lebih panjang 12,60 jam.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan

untuk mengetahui pengaruh penambahan kopigmen asam galat terhadap stabilitas

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Amr, A. dan E. Al-Tamimi. 2007. Stability of the Crude Extracts of Ranunculus Asiaticus Anthocyanins and Their Use as Food Colourants.International Journal of Food Science & Technology. 42(8):985–991.

Asen, S., R.N. Stewart, dan K.H. Norris. 1972. Copigmentation of Anthocyanins in Plant Tissues and its Effect on Color.Phytochemistry. 11:1139-1145.

Bakowska, A., A.Z. Kucharska, dan J. Oszmiansk. 2003. The Effects of Heating, UV Irradiation, and Storage on Stability of the Anthocyanin-Polyphenol Copigment Complex.J. Food Chemistry. 81(3):349-355.

Belinda, P. 2011. Studi Reaksi Esterifikasi antara Asam Galat dan Gliserol dengan Menggunakan Gelombang Mikro. (Skripsi). Universitas Indonesia. Depok. 71 hlm.

Boulton, R. 2001. The Copigmentation of Anthocyanins and Its Role in the Color of Red Wine: A Critical Review.J. Enol Vitic. 52(2):67-87.

Brouillard, R. 1982. Chemical Structure of Anthocyanin. In: Anthocyanins as Food Colors. P. Markakis (Ed). Academic Press. New York. Pp 1-38.

Castaneda-Ovando, A., M.L. Pacheo-Hernandez, M.E. Paez-Hernandez, J.A Rodriguez, dan C.A. Galan-Vidal. 2009. Chemical Studies of Anthocyanins: A Review.J. Food Chemistry. 113(4):859–871.

Catrien. 2009. Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Rosmarinic Acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 hlm.

Chang, L., Yen, Wen-Jhe, S. C. Huang, Duh, dan Pir-Der. 2002. Antioxidant Activity of Sesame.Food Chemistry. 78:347-354.

(50)

43

Danarto, YC., S.A. Prihananto, dan Z.A. Pamungkas. 2011. PemanfaatanTanin dari Kulit Kayu Bakau sebagai Pengganti Gugus Fenol pada Resin Fenol Formaldehid.Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia.5 hlm.

Del pozo-insfran, D. 2006. Emerging Technologies and Strategies to Enhance Anthocyanin Stability. (Dissertation). University of Florida. Gainesville.Pp 144.

Diniyah, N., T. Susanto, dan F. Choirunnisa. 2010. Uji Stabilitas Antosianin pada Kulit Terung.Jurnal Agrotechno. 1:9.

Fernando, J.M.R.C. dan G.K.R. Senadeera. 2008. Natural Anthocyanins as Photosensitizers for Dye-sensitized Solar Devices.Current Science. 95(5):663-666.

Giusti, M.M. dan R. E. Wrolstad. 2001. Characterization and Measurement of Anthocyanins by UV-Visible Spectroscopy in Current Protocols. In:Food Analytical Chemistry. Leon, B (ed). John Wiley and Sons, Inc. New York. Pp 241-259.

Hagerman, A.E. 2002. Tannin Chemistry. Journal of Range Management. 45:57-62.

Hanum, T. 2000. Ekstraksi dan Stabilitas Zat Pewarna Alami dari Katul Beras Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa).Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 11:17-23.

He, F., N. Liang., L.Mu., Q. Pan., J. Wang., M.J. Reeves. dan C.Q Duan. 2012. Anthocyanins and Their Variation in Red Wines I. Monomeric

Anthocyanins and Their Color Expression: Review.Molecules. 17:1571-1601.

Herani dan M. Rahardjo. 2005.Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Penebar Swadaya. Jakarta. 99 hlm.

Ismarani. 2012. Potensi Senyawa Tannin dalam Menunjang Produksi Ramah Lingkungan.Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah.3:46-55.

Jettanapornsumran, M. 2009. Copigmentation Reaction of Boysenberry Juice. (Thesis). Massey University. Albani, New Zealand. Pp 208.

(51)

44

Jianteng xu. 2013. Identification and Stability of Acylated Anthocyanins in Purple-Fleshed Sweetpotato p40. (Thesis). Kansas State University. Manhattan, Kansas. Pp 42.

Kopjar, M., V. Pilizota, D. Subaric., dan J. Babic. 2009. Prevention of Thermal Degradation of Red Currant Juice Anthocyanins by Phenolic Compounds Addition.Journal of Food Science Technology. 1(1):24-30.

Kopjar, M. dan V. Pilizota. 2009. Copigmentation Effect of Phenolic Componds on Red Currant Juice Anthocyanins During Storage.Journal of Food Science Technology. 1(2):16-20.

Kumalaningsih, S. dan Suprayogi. 2006. Antioksidan Alami Terong Belanda (Tamarillo).Trubus Agrisarana. Surabaya. 4-11 hlm.

Lister, CE., S.C Morrison, N.S. Kerkhofs, dan K.M. Wright. 2005.The

Nutritional Composition and Health Benefits of New Zealand Tamarillos. New Zealand Institute for Crop & Food Research Limited. Christchurch, New Zealand. Pp 28.

Markovic, J.M.D., N.A. Petranovic, dan J.M Baranac. 2000. A

Spectrophotometric Study of the Copigmentation of Malvin with Caffeic and Ferulic Acids.J Agric Food Chem. 48:5530-5536.

Mateus, N. dan V. de Freitas. 2009. Anthocyanins as Food Colorants. In:

Anthocyanins. Biosynthesis, Functions, and Applications. Gould, K., K. Davies, C. Winefield (eds). Springer. New York. Pp 345.

Niendyah, H. 2004. Efektifitas Jenis Pelarut dan Bentuk Pigmen Antosianin Bunga Kana (Canna coccinea mill.) serta Aplikasinya pada Produk Pangan. Universitas Brawijaya Malang.http://digilib.ti.itb.ac.id/go.php?id=jiptumm gdl-s1-2004-niendyaha1533. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2014.

Rahim, A.A., E. Rocca, J. Steinmetz, M.J. Kassim, R. Adnan, dan M.S. Ibrahim. 2007. Mangrove Tannins and Their Flavanoid Monomers as Alternative Steel Corrosion Inhibitors in Acidic Medium.Corrosion Science. 49:402–

417.

Rein, M. dan M. Heinonen. 2004. Stability and Enhancement of Berry Juice Color.Journal of Agricultural and Food Chemistry. 52(25):3106-3114.

Rein, M. 2005. Copigmentation Reaction and Color Stability of Berry Anthocyanin. (Dissertation). EKT series 1331. Department of Applied Chemistry and Microbiology, University of Helsinki. Finland. Pp 86.

(52)

45

Stabilitasnya terhadap Pemanasan: Jurnal Review.Jurnal Pangan dan Agroindustri.2:121-127.

Satyatama, D.I. 2008. Pengaruh Kopigmentasi terhadap Stabilitas Warna Antosianin Buah Duwet (Syzygium cumini). (Tesis). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 hlm.

Schwarz, M., J.J. Picazo-Bacete, P. Winterhalter, I. Hermosín-Gutiérrez. 2005. Effect of Copigments and Grape Cultivar on the Color of Red Wines Fermented after the Addition of Copigments.J. Agric. Food Chem. 53:8372–8381.

Sembiring, L.R. 2013. Pemanfaatan Ekstrak Terong Belanda (Cyphomandra BetaceaSendtn) sebagai Pewarna Alami Es Krim.

http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint.4373. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2014.

Shi, Z., F.J. Francis, dan H. Daun. 1992. Quantitative Comparison of the Stability of Anthocyanins fromBrassica oleraceaandTradescantia pallidain Non-Sugar Drink Model and Protein Model System.J. Food Science. 57:768-770.

Smith M, K., D. Marley, K. Seigler, Singletary, dan B. Meline. 2000. Bioactive Properties of Wild Blueberry Fruits.Journal of Food Science. 65:352–356.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991.Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia. Jakarta. 772 hlm.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997.Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. 54-56 hlm.

Syariah, W.A., Usmar, dan R. Syukur. 2011. Pengaruh Jus Buah Terung Belanda (Chypomandra betacea) terhadap Kadar Kolesterol Total Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan.Majalah Farmasi dan Farmakologi. 15(2):95-98.

Talcott S.T., C.H. Brenes, D.M. Pires, dan D. Del Pozo-Insfran. 2003.

Phytochemical Stability and Color Retention of Copigmented and Processed Muscadine Grape Juice.J Agric Food Chem.51: 957-963.

Wahyuni, H. 2014. Pengaruh Kopigmentasi terhadap Stabilitas Warna Antosianin Ekstrak Kulit Terung Belanda (Cyphomandra betaceaSendtn). (Tesis). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 50 hlm.

(53)

46

Yuwono, S.S. dan F. Choirunnisa. 2009. Stabilisasi Warna Antosianin Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.) selama Penyimpanan dengan Metode

Gambar

Gambar 1. Buah terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn)
Gambar 2. Sruktur dasar antosianin (Brouillard, 1982)
Gambar 3. Bentuk-bentuk struktur antosianidin (Brouillard, 1982)
Gambar 5. Struktur antosianin pada kondisi pH yang berbeda (Giusti danWrolstad, 2001)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucap puji syukur kehadirat kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Taufik dan Hidayah-Nya, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan

[r]

(2) There is a significant difference between the ability of reading recount text of the eighth grade students of MTs N Kudus in academic year 2011/2012 before and

Hasil dari penelitian bahwa orang tua yang melimpahkan Hak Asuh Anak kebanyakan tidak menjalankan prosedur yang seharusnya dalam penyelesaian pelimpahan Hak Asuh

Carlyle mengatakan, “Untuk mengubah dunia, untuk mengubah sesebuah bangsa, tiada orang bijak yang akan melakukannya; kecuali orang bodoh, semua orang tahu bahawa

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya yaitu tentang Faktor- faktor pendorong pemain sepak bola menggunakan doping golongan Psikotropika dan Upaya

Sehubungan dengan peningkatan kepuasan kerja pegawai pada kejaksaan tinggi Sulawesi utara dalam pencapaian visi dan misi, disarankan kepada pihak kejaksaan tinggi

Kepuasan orang tua akan layanan seperti ini yang diberikan oleh suatu Perguruan Tinggi akan menciptakan rasa percaya kepada Perguruan Tinggi tersebut dan mereka akan secara