• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MELALUI PROSES TENDER SECARA ADIL (FAIRNESS) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MELALUI PROSES TENDER SECARA ADIL (FAIRNESS) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MELALUI

PROSES TENDER SECARA ADIL (

FAIRNESS

) DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

Oleh

GALUH KAFHI HUSSEIN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

i

ABSTRAK

PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MELALUI PROSES TENDER SECARA ADIL (FAIRNESS) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NO. 5 TAHUN 1999

Oleh

GALUH KAFHI HUSSEIN

Pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJP) merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan/penyediaan sumber daya, baik itu berupa barang atau berupa jasa pada suatu instansi atau institusi negara. Kegiatan PBJP yang dilakukan dengan proses tender rentan terjadi kegiatan persekongkolan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 (UU No. 5 Tahun 1999) melarang kegiatan persekongkolan yang salah satunya adalah persekongkolan tender untuk mengatur pemenang tender. Pedoman Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 menjelaskan secara rinci mengenai indikasi-indikasi persekongkolan yang dapat terjadi dalam tataran teknis. Aturan teknis mengenai tata cara pelaksanaan tender PBJP sudah diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 (Perpres No. 54 Tahun 2010), namun aturan pelaksana tersebut masih saja memberikan peluang untuk dilakukannya persekongkolan. UU No. 5 Tahun 1999 seharusnya mampu menjadi pondasi dasar kesadaran hukum dan menjadi batasan dalam bertindak, serta mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang dirugikan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diketahui pertama, bagaimanakah kriteria PBJP melalui tender berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999. Kedua, bagaimanakah tata cara pelaksanaan tender berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010. Ketiga, bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh para pihak yang dirugikan dengan adanya persekongkolan tender yang berakibat pada persaingan usaha tidak sehat.

(3)

ii

kepustakaan. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan pemeriksaan data, klasifikasi data, dan sistematika data yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pertama, Pelaksanaan PBJP harus berlandaskan prinsip efisiensi, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel sehingga PBJP akan terhindar dari kegiatan persekongkolan tender yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Persekongkolan dirumuskan dengan pendekatan Rule of Reason, yaitu bahwa suatu tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat atau tidak. Pembuktian dilakukan dengan melihat tindakan penyimpangan yang dilakukan dalam tataran teknis. Kedua, tata cara pelaksanaan tender dilakukan oleh pihak penyelenggara mulai dari tahap perencanaan sampai tahap penentuan pemenang. Dalam pelaksanaan PBJP dibutuhkan korelasi antara Perpres No. 54 Tahun 2010 sebagai tata cara untuk bertindak dengan UU No. 5 Tahun 1999 sebagai batasan dalam bertindak. Ketiga, upaya yang dapat dilakukan oleh pihak pelaku usaha (selain pemenang tender) dan masyarakat sebagai konsumen dapat melakukan upaya sanggahan saat proses tender berlangsung dan melakukan pelaporan ke KPPU. Pemerintah selaku pihak penyelenggara dapat melakukan upaya dengan mengajukan pelaporan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan pemutusan kontrak secara sepihak, serta dapat melakukan upaya pencegahan dengan memaksimalkan penggunaan e-procurement.

(4)
(5)
(6)

xiv A. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ... 12

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.. . 12

2. Dasar Hukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 13

3. Komponen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 14

B. Metode Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstrksi/Jasa Lainnya ... 17

C. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 20

1. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ... 20

2. Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran (PA dan KPA) .. 21

(7)

xv

4. Unit Layanan Pengadaan (ULP) ... 25

5. Panitia atau Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)... 27

6. Penyedia Barang dan/atau Jasa (Rekanan/Kontraktor) ... 28

D. Hukum Persaingan Usaha... 32 A. Kriteria Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Melalui Tender Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ... 49

1. Kriteria Tender Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ... 50

2. Kegiatan yang Harus Dihindari Pada Proses Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ... 57

B. Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 ... 66

(8)

xvi

1. Pelaku Usaha ... 77

2. Pemerintah selaku Pengguna Anggaran dan Pengguna Barang/Jasa .... 81

3. Masyarakat Pengawas ... 84

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 91

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam era globalisasi ekonomi saat ini, dunia usaha merupakan salah satu

kegiatan yang diminati oleh banyak orang di Indonesia. Lahirnya

pengusaha-pengusaha baru dalam segmentasi pasar yang sama di Indonesia tentunya menjadi

suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih

dahulu terjun dalam dunia usaha, terlebih lagi apabila barang/jasa yang

ditawarkan serupa atau sejenis yang nantinya dapat mensubstitusikan barang/jasa

yang mereka tawarkan. Kondisi tersebut tentunya akan berimplikasi pada

terciptanya suatu iklim persaingan usaha.

Terciptanya iklim persaingan usaha akan berdampak positif apabila persaingan

tersebut dilakakukan secara sehat, jujur dan adil (fairness). Persaingan yang sehat

akan membuat para pengusaha berlomba-lomba untuk terus meningkatkan

kualitas barang/jasa yang dihasilkan, meningkatkan kualitas sumber daya

pendukung untuk menghasilkan barang/jasa, meningkatkan pelayanan terhadap

pengguna barang/jasa dan menstabilkan nilai harga jual barang/jasa agar dapat

bersaing di dalam pasar. Dengan adanya persaingan usaha yang sehat bukan

(10)

(konsumen) juga ikut diuntungkan untuk memperoleh barang/jasa yang

berkualitas dengan harga yang terjangkau.

Kenyataannya dari dahulu sampai saat ini banyak persaingan usaha yang

dilakukan secara tidak sehat. Berbagai cara dapat dilakukan oleh salah satu atau

beberapa perusahaan untuk dapat menguasai pasar dan menghambat perusahaan

lain untuk dapat masuk ke dalam pasar. Padahal aturan hukum secara tegas

melarang pelaku usaha melakukan praktek monopoli dan melarang segala bentuk

kegiatan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Aturan ini

diberlakukan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap

pelaku usaha dan konsumen, karena konsumen dapat merasakan dampak dari

adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Aturan hukum yang mengatur dan

memberikan perlindungan serta kepastian hukum tersebut adalah Undang-Undang

No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999). Salah satu kegiatan yang

sering terjadi dan merupakan kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999

adalah kegiatan persekongkolan (conspiracy). Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU

No. 5 Tahun 1999 persekongkolan adalah salah satu kegiatan kerjasama yang

dilakukakan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk

menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.

Kegiatan persekongkolan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dapat

menimbulkan rasa ketidakadilan yang cenderung diskriminatif terhadap satu atau

beberapa pelaku usaha. Hal ini terlihat ketika tidak adanya kesempatan yang sama

bagi sesama pelaku usaha untuk dapat masuk ke dalam suatu segmentasi pasar.

(11)

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut PBJP) karena

mengingat pendanaan dari PBJP bersumber dari APBN. Dalam hal ini pihak

konsumen bukan hanya pemerintah selaku pengguna anggaran tetapi masyarakat

luas pun ikut merasakan baik atau buruknya dari suatu kegiatan PBJP, karena

dalam setiap kegiatan PBJP akan berdampak pada pelayanan masyarakat, artinya

masyarakat juga termasuk sebagai pihak konsumen dalam kegiatan PBJP.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan suatu kegiatan yang berkaitan

dengan pemenuhan kebutuhan/penyediaan sumber daya, baik itu berupa barang

atau berupa jasa pada suatu instansi atau institusi negara. Pengadaan barang dan

jasa pemerintah yang lebih dikenal dengan istilah lelang (procurement)

melibatkan ratusan bahkan ribuan instansi/institusi negara di pusat dan di daerah,

serta melibatkan perusahaan BUMN dan BUMD. Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengadaan barang/jasa yang

dananya bersumber baik sebagian atau seluruhnya dari APBN/APBD. PBJP

dalam hal ini meliputi kegiatan pengadaan barang, pengadaan pekerjaan

konstruksi, pengadaan jasa konsultansi, dan pengadaan jasa lainnya sesuai dengan

kubutuhan pada setiap instansi/institusi negara.1

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) saat ini telah diatur dalam Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,

namun setelah dua tahun diberlakukan Perpres 54 Tahun 2010 disempurnakan

melalui Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011, kemudian terakhir

disempurnakan kembali melalui Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012

1

(12)

tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

merupakan pengganti dari Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada masa setelah

diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 juga mengalami

perubahan sebanyak tujuh kali yang pada akhirnya disahkan Peraturan Presiden

Nomor 54 Tahun 2010.

Sampai saat ini aturan mengenai PBJP telah banyak mengalami perubahan dan

perbaikan, namun masih saja banyak terjadi kegiatan persekongkolan yang

melibatkan pihak pemerintah (selaku pengguna barang/jasa) dengan salah satu

atau beberapa pelaku usaha untuk mengatur dan menentukan pemenang tender.

Artinya dalam peraturan pelaksanaannya masih ada kesempatan yang menjadi

peluang untuk dapat melakukan kegiatan persekongkolan oleh pihak-pihak yang

terkait dalam bisnis PBJP . Dengan adanya kegiatan persekongkolan dapat

memicu persaingan usaha yang tidak sehat sehingga nantinya akan ada

kecenderungan untuk bertindak diskriminatif tanpa memperdulikan rasa keadilan

oleh pihak panitia terhadap peserta tender.

Kegiatan PBJP seharusnya didasari dengan prinsip Good Governance and Clean

Government atau tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Untuk

menjalankan prinsip tersebut, pemerintah harus melaksanakan prinsip

akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya yang efisien, pembuatan peraturan

(13)

sosial antara pihak terkait secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.2

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan keuangan negara yang

dibelanjakan melalui PBJP, diperlukan upaya menciptakan keterbukaan,

transparasi, akuntabilitas serta prinsip persaingan usaha yang sehat dalam proses

PBJP sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat

dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi

kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 ditujukan untuk meningkatkan

keberpihakan pemerintah (selaku pengguna anggaran dan pengguna barang/jasa)

terhadap industri nasional dan usaha kecil serta menumbuhkan industri kreatif,

inovatif yang mandiri dengan mengutamakan penggunaan industri kreatif dalam

negeri.3 Keberpihakan pemerintah terhadap industri dalam negeri, tentunya akan

membuat para pengusaha dalam negeri tertarik dan tergiur untuk dapat ikut serta

dalam kegiatan PBJP. Ketika begitu banyak para pengusaha yang ikut serta dalam

kegiatan PBJP tentu akan memicu terjadinya persaingan usaha. Persaingan ini

akan berdampak positif apabila dilakukan oleh panitia dan peserta tender secara

sehat, jujur dan adil. Namun sudah menjadi rahasia umum dalam kegiatan PBJP

yang melalui proses tender rentan terjadi praktek persekongkolan untuk dapat

mengatur dan menentukan pemenang lelang.

Kegiatan persekongkolan secara tegas diatur dalam Pasal 22 oleh UU No. 5

Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha dilarang

bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang

(14)

tender, sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Aturan

mengenai persekongkolan secara lebih rinci diatur dalam Pedoman Pasal 22

tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender. Dalam Pasal 22 UU No. 5

Tahun 1999 disebutkan adanya unsur “pihak lain”. Secara rinci dijelaskan dalam

Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Tender, maksud dari kalimat

“pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan beberapa

pihak, baik itu persekongkolan secara horizontal (pelaku usaha dengan pelaku

usaha lain), vertikal (pelaku usaha dengan panitia pelaksana tender), dan

horizontal vertikal (melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses

tender, misalnya: melibatkan panitia, pemberi pekerjaan/pemegang anggaran, dan

pelaku usaha).4 Seharusnya dengan keberadaan Pedoman Pasal 22 tentang

Larangan Persekongkolan Tender mampu menjadi pondasi dasar untuk tidak

melakukan kegiatan yang dilarang bagi para pihak yang terlibat dalam bisnis

PBJP sehingga akan mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.

Aturan-aturan hukum tersebut harus diimbangi dengan adanya pengawasan yang

dilakukan oleh pemerintah sehingga UU No. 5 Tahun 1999 memang benar-benar

memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pengusaha dan

konsumen. Salah satu upaya pengawasan yang dilakukan pemerintah yaitu

membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selama periode 2006-2012 telah

menangani beberapa perkara terkait persekongkolan tender. Perkara

persekongkolan tender tersebut berjumlah 97 perkara atau sekitar 56 persen dari

173 perkara (total jumlah perkara). Sekitar 77 persen dari 97 perkara tersebut

4

(15)

terbukti terjadi persekongkolan yang totalnya senilai Rp 8,6 triliun, dengan rincian

24 perkara tender proyek APBN sebesar Rp. 6,6 triliun, 36 proyek APBD senilai

Rp. 1,6 triliun, dan 15 perkara tender di BUMN/BUMD sebesar Rp. 400 miliar.5

Kegiatan persekongkolan tender yang mengakibatkan persaingan usaha tidak

sehat dalam proses PBJP, sering terjadi praktek “lelang arisan” yang mana

pemenangnya sudah diatur secara bergiliran seperti arisan. Pemenang lelang

biasanya adalah orang yang sama walaupun identitas perusahaannya

beranekaragam. Pemenang lelang bahkan sudah ditentukan sebelum pelelangan

dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam Pelaksanaan PBJP rentan terjadi praktik

suap, korupsi dan persekongkolan tender yang melibatkan Pejabat Pengadaan

selaku pengguna anggaran (konsumen) dengan pengusaha selaku penyedia

barang/jasa.6

Kepala Kantor Perwakilan Daerah (KPD) Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU) Surabaya, Dendy R. Sutrisno mengatakan bahwa selama ini ada banyak

kesempatan yang bisa digunakan sebagai cara untuk melakukan kegiatan

persekongkolan tender. Belajar dari pengalaman KPPU terdapat 14 tahapan yang

biasanya muncul dalam melakukan persekongkolan, dimulai sejak dari

perencanaan sampai dengan pelaksanaan. Jika disistematiskan dari hal yang

terkecil, persekongkolan itu bisa dimulai dari perencanaan, penyusunan Daftar

Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), pembentukan panitia, dari dokumen

persyaratan, prakualifikasi, penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), pada saat

pembukaan tender, bahkan pada tahap paling akhir, yakni evaluasi pelaksanaan,

5 www.tribunnews.com dikutip dari artikel “KPPU: Persekongkolan Tender Usaha Masih

Mendominasi”. Selasa, 26 Maret 2013. Pukul 13.45 WIB. Sumber: Kompas.

6

(16)

semuanya bisa bersekongkol.7 Dengan demikian terlihat begitu banyaknya

tahapan yang memberikan peluang untuk dapat melakukan persekongkolan

tender. Selain itu jumlah APBN/APBD yang cukup besar membuat para pihak

tertarik dan tergiur untuk dapat mengambil keuntungan lebih dari kegiatan belanja

barang/jasa pemerintah. Hal inilah yang menyebabkan mendominasinya perkara

terkait persekongkolan tender PBJP yang ditangani oleh KPPU.

Dengan adanya persekongkolan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

akan ada indikasi terjadinya penurunan kualitas barang/jasa, penurunan pelayanan

terhadap pengguna barang/jasa yang tidak diimbangi dengan nilai harga jual dari

suatu barang/jasa. Ketika hal itu terjadi banyak pihak yang dirugikan, bukan

hanya sekedar terjadinya kebocoran keuangan negara, namun masyarakat luas pun

ikut dirugikan jika kegiatan persekongkolan berdampak pada penurunan kualitas

pelayanan terhadap publik. Selain itu para pengusaha lain (peserta tender selain

pemenang) yang ikut serta dalam kegiatan PBJP juga ikut dirugikan. Dalam hal

ini tentunya ada unsur ketidakadilan yang cenderung diskriminatif terhadap para

peserta tender. Seharusnya UU No. 5 Tahun 1999 dapat menjadi pondasi dasar

kesadaran hukum dan mampu memberikan perlindungan serta kepastian hukum

bagi para pihak yang dirugikan dengan adanya kegiatan persekongkolan. Salah

satu bentuk perlindungan adalah dengan memberikan upaya hukum yang dapat

ditempuh oleh para pihak yang dirugikan oleh adanya kegiatan persekongkolan.

Dari latar belakang permasalahan diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih

dalam mengenai pengadaan barang dan jasa secara adil yang dituangkan dalam

7

(17)

skripsi berjudul “Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Melalui Proses

Tender Secara Adil (Fairness) Ditinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun

1999”.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengadaan barang dan

jasa pemerintah melalui proses tender secara adil (fairness) ditinjau dari

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Sedangkan pokok bahasan penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana kriteria pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui tender

berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999?

2. Bagaimana tata cara pelaksanaan tender berdasarkan Peraturan Presiden No.

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah?

3. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh para pihak yang merasa

dirugikan dengan adanya kegiatan persekongkolan tender dalam proses

pelaksanaan PBJP?

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi ruang lingkup pembahasan dan ruang

lingkup bidang ilmu. Ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah

pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui proses tender secara adil (fairness)

ditinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Sedangkan ruang lingkup bidang

ilmu dalam penelitian ini adalah Hukum Perdata Ekonomi khususnya Hukum

(18)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan ruang lingkup di atas, maka tujuan penelitian

ini adalah untuk memaparkan secara rinci, jelas dan sistematis mengenai:

1. Kriteria pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui tender berdasarkan

UU No. 5 Tahun 1999.

2. Tata cara pelaksanaan tender yang sesuai Peraturan Presiden No. 54 Tahun

2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

3. Upaya yang dapat dilakukan oleh para pihak yang merasa dirugikan dengan

adanya kegiatan persekongkolan tender dalam proses PBJP.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan

praktis:

1. Kegunaan Teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu hukum

khususnya hukum persaingan usaha.

b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk dijadikan arah

penelitian lebih lanjut pada masa yang akan datang.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi pemerintah baik itu kementerian, lembaga, satuan kerja daerah dan

intitusi yang terkait, dapat memberikan masukan bagi kinerja pengadaan

(19)

sehingga dapat meminimalisir persekongkolan tender dan terciptanya

persaingan usaha yang sehat.

b. Bagi masyarakat, dapat memberikan masukkan bagi masyarakat umum,

berupa informasi-informasi mengenai mekanisme pengadaan barang dan jasa

pemerintah yang diatur dalam Perpres No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang dan Jasa Pemerintah, yang dilaksanakan secara transparan, akuntabel,

profesional, adil, jujur dan sehat, sehingga sesuai dengan amanat

Undang-Undang Anti Monopoli.

c. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan mengenai pengadaan barang dan

jasa pemerintah melalui proses tender yang dilaksanakan secara adil

(fairness) sabagai sarana untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang

sehat ditinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, selain itu berguna

untuk melengkapi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata

(20)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJP)

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengadaan Barang dan jasa Pemerintah

Pengadaan barang dan jasa identik dengan adanya berbagai fasilitas baru,

berbagai bangunan, jalan, rumah sakit, gedung perkantoran, alat tulis, sampai

dengan kursus bahasa inggris yang dilaksanakan di sebuah instansi pemerintah.

Pengadaan barang dan jasa yang biasa disebut tender ini sebenarnya bukan hanya

terjadi di instansi pemerintah. Pengadaan barang dan jasa bisa terjadi di BUMN

dan perusahaan swasta nasional maupun internasional. Intinya, pengadaan barang

dan jasa dibuat untuk memenuhi kebutuhan perusahaan atau instansi pemerintah

akan barang dan/atau jasa yang dapat menunjang kinerja dan performance

mereka.1

Definisi pengadaan barang dan jasa secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), yaitu berarti tawaran untuk mengajukan harga dan memborong

pekerjaan atas penyediaan barang/jasa. Di sinilah tumbuh pengertian bahwa ada

dua pihak yang berkepentingan. Pihak pertama adalah instansi pemerintah,

BUMN, atau perusahaan swasta yang mengadakan penawaran pengadaan barang

dan jasa. Pihak kedua adalah personal atau perusahaan kontraktor yang

1

(21)

menawarkan diri untuk memenuhi permintaan akan pengadaan barang dan jasa

tersebut.

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang dan Jasa Pemerintah (Perpres 54 Tahun 2010) menerangkan secara lebih

jelas, bahwa PBJP merupakan kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh

kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi (selanjutnya disebut

K/L/D/I) lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai

diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Selain itu, ruang

lingkup PBJP yang diatur dalam Pasal 2 Perpres No. 54 Tahun 2010 meliputi:

a. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik

sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/ APBD.

b. Pengadaan untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum

Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha milik

Daerah (BUMD) yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan

pada APBN/APBD. Investasi di sini merupakan pembelanjaan modal sebagai

penambahan aset atau untuk peningkatan kapasitas instansi tersebut.

c. Pengadaan barang dan jasa yang seluruhnya atau sebagian dananya

bersumber dari pinjaman atau hibah. Pinjaman atau hibah dalam hal ini

berasal dari luar negeri yang diterima oleh pemerintah pusat atau daerah.

2. Dasar Hukum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan:

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

(22)

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan nasional.” Secara jelas dalam Pasal 33 UUD 1945 termuat pemikiran

demokrasi ekonomi, dimana demokrasi memiliki ciri khas yang proses

perwujudannya diwujudkan oleh semua anggota masyarakat untuk kepentingan

seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh rakyat.2

Sebagai salah satu implementasinya adalah dikeluarkannya Perpres No. 54 Tahun

2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perpres tersebut seharusnya

dilaksanakan sesuai dan sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Prinsip PBJP

yang diatur berlandaskan pada prinsip demokrasi ekonomi, dalam rangka untuk

mewujudkan kemandirian bangsa, efisiensi keuangan negara, menjaga

keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional.

Perpres No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah selama

dua tahun terakhir mengalami perubahan, yaitu Perpres No. 35 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kemudian disempurnakan Kembali dalam

Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden

No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

3. Komponen dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Ada empat komponen yang menjadi intisari dalam kegiatan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah (PBJP), keempat komponen tersebut berkaitan erat dan

sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 4 Perpres No.54 Tahun 2010, Yaitu

meliputi:

2

(23)

a. Pengadaan barang

Berbicara tentang pengadaan barang, yang terbayang adalah benda yang yang

berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun diam, asalkan dapat

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh si pengguna

barang tersebut. Barang dalam konteks pengadaan barang dan jasa

pemerintah meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi atau

peralatan, dan makhluk hidup.

b. Pengadaan pekerjaan atau konstruksi

Komponen kedua adalah pengadaan pekerjaan atau konstruksi suatu

bangunan. Konstruksi tersebut bisa meliputi pembangunan utuh atau

keseluruhan, bisa juga sebagian saja. Pada dasarnya, pengadaan pekerjaan

atau konstruksi ini dibagi menjadi dua, yaitu :

(1) Pelaksanaan konstruksi bangunan

Meliputi keseluruhan atau sebagian kegiatan arsitektur, sipil, mekanik,

elektrik, dan tata lingkungan. Setiap pekerjaan tersebut disertai dengan

kelengkapan dalam mewujudkan pembangunan yang diinginkan.

(2) Pembangunan fisik lainnya

Meliputi keseluruhan atau sebagian bangunan dalam hal konstruksi

bangunan alat transportasi, pembukaan lahan, penggalian atau penataan

lahan, perakitan komponen yang berhubungan dengan alat-alat pabrik,

pekerjaan penghancuran dan pembersihan, serta pekerjaan penghijauan

(24)

c. Pengadaan jasa konsultansi

Pengadaan jasa konsultansi adalah jasa layanan profesional dari perseorangan

atau lembaga yang memiliki keahlian tertentu dalam berbagai bidang

keilmuan. Jasa konsultansi ini mengutamakan pemikiran atau pola pikir yang

akan dilakukan untuk menunjang kinerja instansi K/L/D/I dan instansi lain

milik pemerintah. Berikut ini adalah beberapa jasa yang termasuk dalam jasa

konsultansi:

(1) Jasa rekayasa, memuat pemikiran tentang bagaimana mengubah atau

menambah kapasitas alat yang berhubungan dengan mesin.

(2) Jasa Perencanaan, perancangan, dan pengawasan, saling berkaitan untuk

diaplikasikan dalam bidang selain konstruksi karena jasa konstruksi

sudah diatur tersendiri. Bidang yang dibuka untuk direncanakan,

dirancang, dan diawasi mencakup semua bidang kehidupan dan jasa

keahlian profesi yang membutuhkan keahlian tertentu seperti jasa

penasihatan, jasa penilaian, jasa pendampingan, jasa bantuan teknis, jasa

konsultan manajemen dan jasa konsultan hukum.

d. Pengadaan jasa lainnya

Pengadaan jasa lainnya ini meliputi jasa yang mengutamakan keterampilan,

antara lain;

(1) Jasa catering;

(2) Jasa cleaning service;

(3) Jasa outsuourching;

(4) Jasa asuransi, perbankan, dan keuangan;

(25)

(6) Jasa pendidikan, pengembangan SDM, dan kependudukan;

(7) Jasa iklan dan penerangan;

(8) Jasa pencetakan dan penjilidan buku atau makalah;

(9) Jasa pemeliharaan atau perbaikan barang-barang inventaris;

(10) Jasa pemeliharaan gedung dari hama, fooging, dan pemeliharaan lain;

(11) Jasa pengepakan dan ekspedisi;

(12) Jasa konveksi;

(13) Jasa ekspor-impor;

(14) Jasa penulisan buku atau makalah dan terjemahan;

(15) Jasa penyewaan;

(16) Jasa penyelaman;

(17) Jasa akomodasi dan transportasi penumpang;

(18) Jasa pelaksanaan dan transaksi instrument keuangan tertentu;

(19) Jasa event organizer;

(20) Jasa pengamanan dan pengelolaan asset; serta

(21) Jasa pos, telekomunikasi, dan internet.3

B. Metode Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya

Dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan perubahannya yang tercantum dalam

Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun 2012, penetapan metode

pemilihan penyedia barang dan jasa terdiri dari:

3

(26)

1. Kontes

Metode ini dilakukan apabila uraian paket pekerjaan berupa industri kreatif,

inovatif dan budaya dalam negeri dalam bentuk barang yang tidak

mempunyai harga pasar dan harga/biayanya tidak dapat ditetapkan

berdasarkan harga satuan. Metode ini memerlukan tim juri/tim ahli dalam hal

penentuan pemenang tender.

2. Sayembara

Metode pemilihan secara sayembara memperlombakan gagasan orisinal,

kreatifitas dan inovasi tertentu dalam bentuk jasa yang harga/biayanya tidak

dapat ditetapkan berdasarkan harga satuan. Sama halnya dengan metode

kontes, metode sayembara memerlukan tim juri/tim ahli dalam penentuan

pemenang tender.

3. Penunjukan Langsung

Metode ini dilakukan apabila uraian paket pekerjaan tidak berupa industri

kreatif, tetapi hanya dalam keadaan tertentu atau khusus dan pada pengadaan

barang/jasa khusus. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah sesuai dengan

yang dijelaskan dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010, yang meliputi

hal-hal sebagai berikut:

a. Penanganan darurat yang tidak dapat direncanakan sebelumnya dan

waktu penyelesaian pekerjaan harus segera/tidak dapat ditunda untuk

pertahanan negara, keamanan dan ketertiban masyarakat.

b. Pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) penyedia barang atau

jasa, seperti pengadaan bagi penyedia barang yang sudah terdaftar dan

(27)

4. Pengadaan Langsung

Metode ini dilakukan apabila uraian paket pekerjaan tidak berupa industri

kreatif dan tidak dalam keadaan tertentu atau khusus, tetapi lebih berdasarkan

nilai atau harga pekerjaan dengan jumlah paling tinggi 200 juta rupiah untuk

pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, dan paling tinggi 50 juta

rupiah untuk jasa konsultansi. Metode ini dilakukan tanpa melalui

pelelangan/sekesi/penunjukan langsung.

5. Pemilihan Langsung

Metode ini dilakukan apabila uraian paket pekerjaan yang berupa pekerjaan

konstruksi dengan nilai paket paling tinggi bernilai 5 miliar rupiah.

6. Seleksi sederhana

Metode ini dilakukan apabila uraian paket pekerjaan berupa jasa konsultansi

dengan nilai paling tinggi 200 juta rupiah.

7. Pelelangan Sederhana

Metode ini dilakukan apabila uraian paket penyedia barang/jasa lainnya untuk

pekerjaan yang bernilai paling tinggi 5 miliar rupiah dan untuk pekerjaan

yang bersifat tidak kompleks.

8. Pelelangan Terbatas

Metode ini dilakukan apabila uraian paket pengadaan barang/pekerjaan

konstruksi dan termasuk ke dalam pekerjaan yang kompleks, memerlukan

teknologi tinggi, mempunyai resiko tinggi, serta menggunakan peralatan yang

didesain khusus. Pelelangan terbatas dilakukan karena calon rekanan atau

penyedianya diyakini akan terbatas pada orang-orang atau badan usaha

(28)

9. Seleksi Umum

Metode ini dilakukan apabila uraian paket pekerjaan berupa jasa konsultansi

yang diumumkan sekurang-kurangnya di website K/L/D/I dan papan

pengumuman resmi untuk masyarakat sehingga masyarakat luas dan dunia

usaha yang memenuhi syarat dapat mengikutinya.

10. Pelelangan Umum

Metode pemilihan penyedia barang/jasa lainnya untuk semua pekerjaan yang

dapat diikuti oleh semua penyedia barang atau jasa lainnya yang memenuhi

syarat.4

C. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah yaitu

sebagai berikut:

1. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut

LKPP) adalah lembaga pemerintah Depatemen (Lembaga Pemerintah

Non-Kementerian) yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

LKPP bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang

dan jasa pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 106

Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Berdasarkan Perpres No. 106 Tahun 2007 dalam menjalankan tugas, LKPP

melaksanakan fungsi sebagai berikut:

4

(29)

a. Penyusunan dan perumusan strategi serta penentuan kebijakan dan standar

prosedur di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah, termasuk

pengadaan badan usaha dalam rangka kerja sama Pemerintah dengan badan

usaha.

b. Penyusunan dan perumusan strategi serta penentuan kebijakan pembinaan

sumber daya manusia di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

c. Memantauan dan evaluasi pelaksanaan.

d. Pembinaan dan pengembangan sistem informasi serta pengawasan

penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik

(electronic procurement atau e-procurement).

e. Pemberian bimbingan teknis, advokasi dan bantuan hukum.

f. Penyelenggaraan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan,

penatausahaan, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan serta rumah

tangga.

2. Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran (PA dan KPA)

Pengguna anggaran ini biasanya adalah seorang dengan jabatan tertinggi pada

instansi yang membuka pengadaan barang dan jasa, misalnya pada kementerian,

pengguna anggarannya adalah menteri itu sendiri. Pada BUMN, pengguna

anggaran adalah pemimpin BUMN itu sendiri, demikian juga pada lembaga

lainnya. Oleh karena itu, tanggung jawab penuh atas Penggunaan Anggaran

(selanjutnya disebut PA) yang telah disediakan untuk pengadaan barang dan jasa

berada ditangan PA sebagai pembawa anggaran dan kebijakan. Agar tidak

(30)

(selanjutnya disebut KPA). KPA bisa terdiri dari satu orang atau beberapa orang

yang memiliki kekuasaan terhadap operasional anggaran yang disediakan untuk

pengadaan barang dan jasa pemerintah tersebut.5

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menjelaskan

bahwa “Pengguna Anggaran” adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan

anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Sedangkan

yang dimaksud dengan “Pengguna Barang” adalah pejabat pemegang kewenangan

penggunaan barang milik negara/daerah.

Menurut Perpres No. 54 Tahun 2010 yang kemudian disempurnakan dalam

Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No 70 Tahun 2012, tugas dan wewenang

PA dan KPA adalah sebagai berikut:

a. Menetapkan rencana umum pengadaan barang dan jasa yang dimaksud,

b. Menampilkan pengumuman tentang adanya pencarian rekanan dalam

pengadaan barang dan jasa di website resmi K/L/D/I,

c. Menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (selanjutnya disebut PKK),

d. Menetapkan pejabat atau membentuk panitia yang menerima hasil pekerjaan

barang atau jasa yang diadakan,

e. Menetapkan pemenang yang akan dijadikan sebagai rekanan dalam metode

penunjukan langsung maupun pelelangan untuk pengadaan barang dan jasa.

f. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang dan jasa,

g. Membuat dan menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan

yang telah diatur dalam undang-undang,

5

(31)

h. Menyelesaikan perselisihan atau perbedaan pendapat antara pihak-pihak

yang terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah tersebut,

i. Mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan semua dokumen pengadaan

barang dan jasa sehingga ada bukti autentik tentang pengerjaannya,

j. Menentukan tim teknis yang bertugas membantu PA dan KPA dalam

melaksanakan tugasnya di lapangan, serta

k. Menetapkan tim juri yang akan menilai apabila metode pengadaan barang

dan jasa pemerintah menggunakan kontes atau sayembara.

3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Berdasarkan Pasal 11 Perpres No. 54 Tahun 2010 dalam melaksanakan tugasnya

PA dan KPA perlu menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen. Pejabat Pembuat

Komitmen ini nantinya bertugas untuk mengurusi hal-hal yang berhubungan

dengan rencana pengadaan, surat menyurat, penandatanganan kontrak, dan

beberapa hal berikut:

a. Menetapkan rencana yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa

pemerintah meliputi spesifikasi teknis barang dan jasa yang dimaksud, Harga

Perkiraan Sendiri (HPS), dan rancangan kontrak dengan rekanan nantinya.

b. Menerbitkan surat penunjukan kepada rekanan atau kontraktor penyedia

barang dan jasa yang dimaksud setelah terpilih.

c. Menandatangani kontrak apabila mewakili dan mendapat wewenang dari PA

atau KPA.

d. Sebagai pelaksana kontrak dengan rekanan penyedia barang dan jasa

(32)

e. Bertugas mengendalikan pelaksanaan kontrak yang telah dibuat sehubungan

dengan pengadaan barang dan jasa tersebut.

f. Membuat laporan tentang pelaksanaan pengadaan barang dan jasa kepada PA

atau KPA yang bertanggung jawab terhadap anggaran yang dipergunakan.

g. Setelah pekerjaan atau pengadaan barang selesai, PPK menyerahkan kepada

PA dan KPA untuk kemudian dipergunakan sebagaimana mestinya.

h. Melaporkan setiap hasil yang diperoleh dalam pengerjaan pengadaan barang

dan jasa, melaporkan kemajuan pekerjaan, serta kendala yang dihadapi di

lapangan.

i. Bertugas menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen yang menjadi

landasan terselenggaranya pengadaan barang dan jasa tersebut.

j. Apabila dirasa perlu, PPK bisa mengusulkan kepada PA dan KPA untuk

mengubah paket pekerjaan dan mengubah jadwal atau waktu pengerjaan.

k. PPK bisa menetapkan tim pendukung suksesnya pengadaan barang dan jasa

apabila memang kinerja dan keberadaan tim ini sangat diperlukan.

l. Menetapkan tim atau tenaga ahli apabila diperlukan untuk membantu

pihak-pihak terkait lainnya agar pekerjaan menjadi lancar dan berhasil dengan baik.

m. Menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada penyedia

barang dan jasa pemerintah apabila memang diperlukan. Semua dilakukan

demi lancarnya penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa agar bisa

dipergunakan sebagaimana mestinya.

Pejabat Pebuat Komitmen (PPK) atau pimpinan proyek pengadaan barang dan

jasa pemerintah dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani

(33)

tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkan dilampauinya batas

anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari APBN/APBD. PPK juga

diwajibkan untuk menandatangani pakta integritas sebelum menjalankan

tugasnya, pakta integritas adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk

mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pengadaan

barang dan jasa pemerintah. 6

4. Unit Layanan Pengadaan (ULP)

Pihak ULP merupakan pihak yang dibentuk oleh instansi pemerintah pemberi

lowongan pengadaan barang dan jasa kepada mereka yang akan terlibat langsung

dalam proses pengadaan tersebut. Ketentuan pembentukan ULP ini diatur

sedemikian rupa sehingga yang menjabat adalah mereka yang ditunjuk atau

dibentuk langsung oleh pimpinan instansi pemerintahan yang akan mengadakan

lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah.7

Berdasarkan Pasal 15 dan 16 Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang

Perubahan kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah, ULP sebagai unit yang melayani pengadaan,

keanggotaan kelompok kerja ULP wajib ditetapkan untuk:

a. Pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dengan nilai diatas 200

juta rupiah,

b. Pengadaan jasa konsultasi dengan nilai diatas 50 juta rupiah

Pasal 17 Perpres No. 70 Tahun 2012 menyebutkan bahwa tugas serta kewenangan

yang bisa dilakukan oleh ULP, antara lain:

6

Ir. R. Serfianto D.P dan Iswi Hariyani. Op. Cit., hlm. 40.

7

(34)

a. Menyusun perencanaan pemilihan rekanan atau kontraktor yang akan

melaksanakan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

b. Menetapkan dokumen yang berhubungan dengan pengadaan tersebut.

c. Menetapkan besaran nominal jaminan penawaran dari calon rekanan atau

kontrakor yang mengajukan diri.

d. Mengadakan pengumuman baik melalui website resmi K/L/D/I maupun

melalui papan-papan pengumuman di instansi terkait.

e. Menilai kualifikasi calon penyedia barang dan jasa melalui prakualifikasi dan

pascakualifikasi.

f. Melakukan evaluasi secara administratif, teknis, dan harga dari penawaran

yang masuk.

g. Diharuskan menjawab sanggahan dan menetapkan penyedia barang dan jasa

apabila dilakukan dengan metode pelelangan atau penunjukan langsung untuk

paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai

paling tinggi 100 miliar rupiah, dan untuk seleksi atau penunjukan langsung

pada paket pengadaan jasa konsultansi yang bernilai paling tinggi 100 miliar

rupiah.

h. Memberikan salinan dokumen pengadaan kepada PPK dan menyimpan

aslinya.

i. Menyerahkan dokumen asli pemilihan penyedia kepada PA atau KPA.

j. Membuat laporan mengenai proses dan hasil dari pengadaan barang dan jasa

kepada pemimpin instansi terkait.

k. Memberikan pertanggungjawaban atas kinerjanya kepada PA atau KPA.

(35)

Ruang lingkup pelaksanaan tugas ULP meliputi penyelenggaraan pengadaan

barang dan jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh penyedia barang dan jasa

melalui proses pelelangan atau seleksi. Sedangkan pengadaan barang dan jasa di

luar proses pelelangan /seleksi dilaksanakan oleh pejabat atau penitia pengadaan

barang dan jasa sesuai dengan peraturan yang berlaku.8

5. Panitia atau Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)

Panitia atau pejabat penerima hasil pekerjaan merupakan seorang atau

sekelompok orang dari lingkungan PNS atau BUMN dan instansi yang

bersangkutan yang bertugas menerima hasil pekerjaan. Pekerjaan yang dimaksud

tentunya pengadaan barang dan jasa pemerintah pada instansi masing-masing.

Panitia atau pejabat penerima hasil pekerjaan juga memeriksa hasil pekerjaan

rekanan dalam pengadaan barang dan jasa, menerima hasilnya setelah melalui

pemeriksaan tersebut, lalu menandatangani berita acara serah terima hasil

pekerjaan tersebut.9

Dalam memeriksa hasil pekerjaan, ada dua hal yang perlu dicermati oleh panitia

atau pejabat penerima hasil pekerjaan, yaitu:

a. Pemeriksaan kesesuaian hasil pekerjaan dengan kontrak yang telah

disepakati, meliputi jenis, spesifikasi teknis, jumlah, waktu, tempat fungsi dan

ketentuan lain.

8

Lihat Pasal 3 hingga 7 Perka LKPP No. 002/PRT/KA/VII/2009 tentang Pedoman Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah.

9

(36)

b. Pemeriksaan kesesuain untuk para ahli dan jasa konsultan yang menjadi

rekanan penyedia jasa di lingkungan pemerintahan tersebut.10

6. Penyedia Barang dan/atau Jasa (Rekanan/Kontraktor)

Penyedia barang atau jasa merupakan perseorangan atau suatu badan usaha yang

menjadi penyedia barang atau jasa yang dibutuhkan instansi pemerintah atau

lembaga terkait lainnya. Rekanan ini dipilih berdasarkan beberapa metode yang

telah diuraikan, diantaranya penunjukan langsung, seleksi, dan pelelangan.11

Syarat-sayarat untuk menjadi calon penyedia barang dan jasa pemerintah, antara

lain:

a. Calon rekanan harus memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku

sesuai dengan permintaan barang atau jasa yang dimaksud, misalnya apabila

lembaga pemerintah mencari rekanan terkait penyedia jasa konstruksi

bangunan, calon rekanan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan tingkat

pengerjaannya. Oleh karena itu, ada penggolongan kontraktor yang berkelas

1A, 2B, dan kelas lainnya sesuai dengan pengerjaan yang dimaksud.

Demikian pula apabila pengadaan barang dan jasa terkait dengan bidang

tertentu maka si kontraktor atau calon rekanan juga harus menguasai bidang

lain, misalnya bidang migas dan bidang kesehatan.

b. Calon rekanan harus memiliki keahlian, pengalaman dan kemampuan teknis

untuk mengatur permintaan penyediaan barang atau jasa seperti yang

dimaksud.

10Ibid.

(37)

c. Calon rekanan memiliki pengalaman menyediakan barang atau jasa minimal

sekali dalam jangka waktu empat tahun terakhir baik pada lingkungan

lembaga pemerintahan maupun swasta. Hal ini tidak diberlakukan bagi badan

usaha yang berumur kurang dari tiga tahun dan bagi perseorangan yang

mengikuti tender.

d. Sebelum ikut dalam proses pelelangan, harus dipastikan dahulu bahwa

perusahaan calon rekanan memiliki sumber daya manusia yang sesuai. Harus

dipastikan juga peralatan, fasilitas, dan kemampuan yang mereka miliki untuk

mengerjakan pengadaan barang dan jasa yang dimaksud.

e. Apabila dirasa pekerjaaan membutuhkan kemitraan dengan badan usaha

lainnya, perlu dilihat dan dipilih mitra yang akan diajak bekerja sama.

Sementara, penyedia barang dan jasa perseorangan tidak boleh menggunakan

sistem kemitraan dalam pemenuhan tanggungjawabnya untuk mengadakan

barang dan jasa yang dimaksud.

f. Calon rekanan perlu memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan usaha

mikro, usaha kecil serta koprasi kecil sehingga mampu untuk menangani

pekerjaan yang lebih besar dari itu.

g. Calon rekanan harus memiliki kemampuan dasar minimal sama dengan nilai

HPS dan Sisa Kemampuan Paket (SKP) dengan merujuk kepada beberapa

ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kemampuan dasar ini

berkaitan dengan pengalaman mengerjakan proyek serupa dan jumlah

pekerjaan yang jelah ditangani.

h. Calon rekanan tidak sedang dalam masalah yang berhubungan dengan hukum

(38)

juga tidak dalam keadaan pailit, direksi dan jajaran pimpinan dalam keadaan

bersih, dan menjalankan usaha dengan baik. Ada dua keadaan penting dari

calon rekanan, yaitu dengan menurunkan ULP atau pejabat pengadaan untuk

mengetahui keadaannya atau dengan membuat surat pernyataan dalam

keadaan bersih dari hal yang dilarang tersebut.

i. Calon rekanan memenuhi semua kewajiban sebagai wajib pajak dan

menjalankan ketentuan dengan sebaik-baiknya. Hal ini dibuktikan dengan

adanya nomor NPWP aktif, pembayaran pajak, dan pelaporan SPT tahunan

yang rutin.

j. Calon rekanan memiliki kapasitas untuk menandatangani kontrak kerja sama

dengan pemerintah sehubungan dengan pengajuannya menjadi rekanan atau

kontraktor pengadaan barang dan jasa pemerintah.

k. Perseorangan atau badan usaha calon rekanan tersebut tidak termasuk dalam

daftar hitam di K/L/D/I.

l. Calon rekanan memiliki alamat yang lengkap dan jelas serta dapat dijangkau

dengan mudah. Hal ini untuk memudahkan berbagai urusan di kemudian hari

setelah menjadi rekanan dalam pengadaan barang dan jasa yang dimaksud.

m. Calon rekanan tidak memiliki status sebagai pegawai dilingkungan K/L/D/I

kecuali yang bersangkutan tengah cuti dan pensiun.

n. Keberadaan calon rekanan tersebut tidak menimbulkan kesalahpahaman dan

perbedaan kepentingan yang berujung pada ketidaknyamanan proses

(39)

o. Untuk penyedia jasa konstruksi, diharapkan ada permodalan dari pihak bank

sebanyak minimal 10% dari keseluruhan jumlah dana jasa konstruksi yang

dikerjakan.

p. Persyaratan tersebut bisa dikecualikan apabila tidak ada perusahaan sejenis

yang dapat memenuhi permintaan akan pengadaan barang dan jasa

pemerintah yang dimaksud, bisa juga dikecualikan terhadap penyediaan

barang dan jasa yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu perusahaan tapi

diselesaikan dengan mengerahkan rekanan pembantu lainnya. 12

Untuk mengetahui apakah badan usaha yang nantinya akan menjadi calon rekanan

pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa di instansi terkait memang tepat,

perlu dilakukan pengecekan atas status badan usaha sesuai dengan Peraturan

Menteri Perdagangan No. 46/MDAG/9/2009 menurut peraturan tersebut,

penggolongan badan usaha bisa dilakukan dengan melihat permodalan.

Beberapa klasifikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Usaha kecil mikro memiliki kekayaan bersih sebesar kurang dari 50 juta

rupiah.

b. Usaha kecil dan koperasi kecil memiliki kekayaan bersih antara 50 juta rupiah

sampai dengan 500 juta rupiah.

c. Usaha menengah atau usaha non kecil memiliki kekayaan bersih antara 500

juta rupiah sampai dengan 10 miliar rupiah.

d. Perusahaan besar memiliki kekayaan bersih di atas 10 miliar rupiah. 13

12Ibid.

13

(40)

D. Hukum Persaingan Usaha

1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi

perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika

berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi.14 Pengertian persaingan usaha

secara yuridis selalu dikaitkan dengan persaingan dalam arti ekonomi yang

berbasis pada pasar, dimana pelaku usaha baik perusahaan maupun penjual secara

bebas berupaya untuk mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan usaha atau

perusahaan tertentu yang didirikannya.15

Ditinjau dari kalimat persaingan usaha sehat, Arie Siswanto berpendapat bahwa

persaingan usaha sehat adalah:

a. Persaingan yang pelaku usahanya tidak terpusat pada tangan tertentu dan

tersentralisasi pada beberapa pihak saja, akan tetapi berjalan sesuai

mekenisme pasar yang sehat yaitu dalam dunia ekonomi semua pelaku usaha

mempunyai hak dan kewajiban yang sama;

b. Persaingan usaha sehat adalah dimana bila ada perikatan berbentuk perjanjian

tidak merugikan secara sepihak kepada pihak lain yang tidak terlibat dalam

perjanjian tersebut;

14

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. (Jakarta:Creative Media,2009), hlm.21.

15

(41)

c. Persaingan yang sehat yaitu dalam kegiatannya tidak adanya pengusaan

terhadap produksi barang dan jasa, baik dari produksi sampai pada

pemasarannya. 16

Ada beberapa aspek positif persaingan usaha dalam perspektif ekonomi, yaitu

sebagai berikut:

a. Persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi

terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan menyebabkan

kekuatan ekonomi para pelaku ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu.

b. Persaingan mendorong alokasi dan realokasi sumber-sumber daya ekonomi

sesuai dengan keinginan konsumen, karena ditentukan oleh permintaan,

perilaku para penjual dalam kondisi persaingan akan cenderung mengikuti

pergerakan permintaan para pembeli.

c. Persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber

daya ekonomi dan metode pemanfaatannya secara efisien. Dalam hal

perusahaan bersaingan secara bebas, maka mereka akan cenderung

menggunakan sumber daya yang ada secara efisien.

d. Persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, proses

produksi, dan teknologi. Dalam kondisi persaingan setiap pesaing akan

berusaha mengurangi biaya produksi serta memperbesar pangsa pasar. 17

16

Ari Siswanto, Hukum Persaingan Usaha (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), hlm. 17.

(42)

2. Dasar Hukum Persaingan Usaha

Kegiatan perekonomian nasional dalam pengaturannya diatur dalam Pasal 33

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan tegas Pasal 33 ayat (4) UUD 1945

menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan

kesatuan ekonomi nasional. Pasal 33 UUD 1945 dengan demikian termuat

pemikiran demokrasi ekonomi.

Pemikiran demokrasi ekonomi perlu diimplementasikan secara nyata untuk

menciptakan kegiatan persaingan ekonomi yang sehat serta berlandaskan prinsip

keadilan bagi setiap pelaku usaha, maka dari itu perlu disusun suatu aturan terkait

larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Aturan hukum

tersebut yang menjadi dasar hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang No.

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat. Lembaga yang berhak dan berwenang dalam hal melakukan pengawasan

terhadap pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebagai Lembaga negara maka KPPU

berwenang mengeluarkan dan megesahakan suatu peraturan lembaga terkait

kegiatan persaingan usaha, salah satunya adalah Peraturan KPPU No. 2 Tahun

(43)

3. Bentuk Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 telah mengatur bahwa praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu perjanjian yang

dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan.

a. Perjanjian yang dilarang

Pengertian perjanjian ditentukan dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999 yang mengartikan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap pelaku usaha

lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang,

yaitu:

(1) Oligopoli, yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) dan (2);

(2) Penetapan harga, yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (1);

(3) Pembagian wilayah, yang diatur dalam Pasal 9;

(4) Pemboikotan, yang diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2);

(5) Kartel, yang diatur dalam Pasal 11;

(6) Trust, yang diatur dalam Pasal 12;

(7) Oligopsoni, yang diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) dan (2);

(8) Integrasi vertikal, yang diatur dalam Pasal 14;

(9) Perjanjian tertutup, yang diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) sampai (3);

(44)

b. Kegiatan yang dilarang

Di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tidak terdapat definisi kegiatan,

namun demikian jika ditafsirkan secara a contrario terhadap definisi

perjanjian yang diberikan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dapat

dikatakan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan kegiatan adalah

tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh satu pihak atau

kelompok pelaku usaha tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara

langsung dengan pelaku usaha lainnya.18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

menentukan bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang, meliputi:

(1) Monopoli, yang diatur dalam Pasal 17 Ayat (1) dan (2);

(2) Monopsoni, yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2);

(3) Penguasaan pasar, yang diatur dalam Pasal 19 sampai Pasal 21;

(4) Persekongkolan tender, yang diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 24.

c. Posisi Dominan

Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak

mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan

pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi

diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan

keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan

pasokan permintaan barang atau jasa tertentu.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 berpendapat bahwa melarang posisi

dominan karena dapat mengakibatkan pihak yang mempunyai posisi dominan

18

(45)

dapat dengan mudah mendikte pasar dan menetapkan syarat-syarat yang tidak

sesuai dengan kehendak pasar.19

Posisi dominan yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

tersebut meliputi:

(1) Posisi dominan secara umum, diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2);

(2) Jabatan rangkap, yang diatur dalam Pasal 26;

(3) Pemilikan saham mayoritas, yang diatur dalam pasal 27;

(4) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, yang diatur dalam

Pasal 28 sampai dengan Pasal 29.

E. Persekongkolan Tender

1. Pengertian Persekongkolan dalam Tender

Undang-Undang No. 5 tahun 1999 dalam Pasal 1 Ayat (8) menjelaskan bahwa

persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan

oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai

pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 persekongkolan termasuk dalam

bentuk kegiatan yang dilarang dan diatur dalam Pasal 22, 23, dan 24. Berdasarkan

Pasal tersebut ditentukan bentuk-bentuk persekongkolan, yaitu sebagai berikut:

19

(46)

a. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan

atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.

b. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan

informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia

perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak

sehat.

c. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat

produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya

dengan maksud agar barang dan jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar

bersangkutan menjadi kurang baik dari jumlah, kualitas maupun ketepatan

waktu yang dipersyaratkan.

2. Unsur-Unsur Persekongkolan Tender

Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa, pelaku usaha

dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan

pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Dengan demikian sesuai dengan Pedoman Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999

persekongkolan dalam tender dapat diuraikan kedalam beberapa unsur, yaitu

sebagai berikut:

a. Unsur Pelaku Usaha

Pelaku usaha adalah tiap orang atau badan usaha baik yang berbentuk badan

hukum atau yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

(47)

bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam

bidang ekonomi.

b. Unsur Bersekongkol

Bersekongkol adalah kerjasama dan dilakukan oleh pelaku usaha dengan

pihak lain atas inisiatif siapapun dengan cara apapun dalam upaya

memenangkan peserta tender tertentu. Unsur bersekongkol antara lain berupa:

(1) Kerjasama dua belah pihak atau lebih;

(2) Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan

penyesuaian dokumen dengan peserta lain;

(3) Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;

(4) Menciptakan persaingan semu;

(5) Menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan.

c. Unsur Pihak Lain

Pihak lain adalah para pihak (vertikal maupun horizontal) yang terlibat dalam

proses tender yang melakukan persekongkolan baik pelaku usaha sebagai

peserta tender dan atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender.

d. Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

persaingan usaha.

Berdasarkan uraian tersebut, maka praktek persaingan usaha tidak sehat dalam

persekongkolan tender akan terjadi apabila terdapat unsur-unsur, yaitu adanya

(48)

kegiatan melawan hukum/tidak jujur/menghambat persaingan usaha. Penelitian ini

akan mengkaji proses pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui proses

tender secara adil (fairness) ditinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa pengadaan barang dan jasa

pemerintah rentan terjadinya kegiatan persekongkolan dalam tender yang

dilakukan antara pihak-pihak yang terkait.

3. Bentuk Persekongkolan dalam Tender

Dalam Pedaman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Tender,

persekongkolan dalam tender dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu

persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan penggabungan

persekongkolan horizontal dan vertikal. Berikut adalah penjelasan atas ketiga

bentuk persekongkolan tender tersebut:

a. Persekongkolan Horizontal

Persekongkolan horizontal adalah persekongkolan yang terjadi antara pelaku

usaha atau penyedia barang atau jasa dengan sesama pelaku usaha atau

penyedia barang dan atau jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat

dikatekorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu

diantara peserta tender.

b. Persekongkolan Vertikal

Persekongkolan vertikal adalah persekongkolan yang terjadi di antara salah

satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan atau jasa dengan

panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan atau jasa atau

(49)

bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan

atau jasa atau pemilik atau pemeberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu

atau beberapa peserta tender.

c. Gabungan dari Persekongkolan Horizontal dan Vertikal

Gabungan dari persekongkolan horizontal dan vertikal adalah persekongkolan

antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan atau jasa

atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia

barang dan atau jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak

yang terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk tender ini adalah tender

fiktif yang hanya melakukan proses tender sebagai syarat administratif.

F. Kerangka Pikir

Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010

Kriteria Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Melalui Tender Berdasarkan UU No.

(50)

Berdasarkan skema tersebut dapat dijelaskan bahwa:

Pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJP) merupakan kegiatan untuk

memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat

Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan

sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.

Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 merupakan aturan dasar yang mengatur

tentang tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah serta dipakai sebagai acuan

dalam melaksanakan proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Salah satu metode

yang sering digunakan adalah melalui proses tender/proses pelelangan. Dalam

proses lelang/tender ada suatu tahap penyeleksian yang dilakukan oleh

pemerintah/pengguna anggaran terhadap calon penyedia barang/jasa. Tahap

penyeleksian ini dilakukan untuk menetapkan satu pelaku usaha yang berhak

memenangkan tender.

Dalam tender pengadaan barang dan jasa pemerintah, proses tender harus

dilaksanakan secara sehat, jujur dan adil (fairness) agar dalam pelaksanaan tender

terhindar dari kegiatan yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Pada prakteknya tidak sedikit tender yang mengalami

penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat (pengguna

anggaran/konsumen dan penyedia barang/jasa). Penyimpangan ini dilakukan

dengan mengatur dan menentukan pemenang tender yang sudah direncanakan

sebelum tender dilaksanakan. Sekalipun proses tender dilaksanakan sesuai

prosedural, namun masih saja memberikan peluang kepada para pihak untuk

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, penulis merasa perlu menganalisis bagaimana kedudukan dari para pihak dalam kontrak kerja kontruksi pengadaan barang dan jasa pemerintah pada

Peraturan Presiden Nomor O4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2O1O Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 25 ayat

Dalam organisasi pemerintah pusat,kegiatan pengadaan barang dan jasa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan barang atau jasa dalam mendukung

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan

KEBUTUHAN BARANG/JASA PEMERINTAH DIPERLUKAN KEGIATAN PENGADAAN BAGAIMANA CARA PENGADAANNYA PERATURAN PERUNDANGAN YANG TERKAIT RENCANA UMUM PENGADAAN MELALUI PENYEDIA

RENCANA UMUM PENGADAAN BARANG / JASA PEMERINTAH KUASA PENGGUNA ANGGARAN : Dra. NAMA PAKET PEKERJAAN CARA PENGADAAN

Dalam rangka pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Swakelola sebagaimana diatur Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut LKPP adalah lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan