• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan Masa Kerja pada Petugas Cleaning Service dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan Masa Kerja pada Petugas Cleaning Service dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

RELATION BETWEEN THE USE OF PERSONAL PROTECTIVE EQUIPMENT (PPE) AND PERIODS OF EMPLOYMENT ON CLEANING SERVICE OFFICERS SUFFERED FROM OCCUPATIONAL CONTACT DERMATITIS IN RSUD DR. H.

ABDUL MOELOEK LAMPUNG PROVINCE

BY

BELA RISKI DINANTI

Occupational skin disease is the most common occupational diseases, with approximately 50-75% cases worldwide. Occupational contact dermatitis is a skin disorder that is often encountered. Occupational diseases can affect all workers in hospital, both medical (such as nurses, doctors and dentists) and non-medical such as cleaners (cleaning service officers).

This study used a descriptive analytical method with cross-sectional approach. These study population were 104 cleaning service officers in RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Lampung Province by using total sampling method and Chi square test (α=5%).

The results showed that 29,4 % of the officers do not use Personal Protective Equipment (PPE) and 70,6% use PPE, 46,1% of the officers have <3 years periods of employment and 53,9% have ≥3 years periods of employment. Statistical analysis showed a significant relation between the use of PPE and occupational contact dermatitis (p=0,02) and there was no significant relation between the period of employment and occupational contact dermatitis (p=0,59). The recommendation for all cleaning service officers is to use a standardized PPE while working to prevent an occupational contact dermatitis.

(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DAN MASA KERJA PADA PETUGAS CLEANING SERVICE DENGAN DERMATITIS

KONTAK AKIBAT KERJA DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

OLEH

BELA RISKI DINANTI

Penyakit kulit akibat kerja merupakan sebagian besar dari penyakit akibat kerja pada umumnya dan diperkirakan 50-75% dari seluruh penyakit akibat kerja. Dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu kelainan kulit yang sering dijumpai. Penyakit akibat kerja di rumah sakit dapat menyerang semua tenaga kerja, baik yang medis (seperti perawat, dokter dan dokter gigi), maupun non medis seperti petugas kebersihan (cleaning service) rumah sakit.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh petugas cleaning service di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung berjumlah 104 petugas. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Uji statistik yang digunakan yaitu menggunakan uji Chi square (α=5%).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29,4% petugas tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD) dan 70,6% memakai APD, 46,1% petugas memiliki masa kerja <3 tahun dan 53,9% memiliki masa kerja ≥3 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pemakaian APD dengan dermatitis kontak akibat kerja (p=0,02) dan tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan dermatitis kontak akibat kerja (p=0,59). Disarankan untuk petugas cleaning service agar selalu memakai APD dengan lengkap saat bekerja untuk mencegah dermatitis kontak akibat kerja.

(3)

HUBUNGAN PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DAN MASA KERJA PADA PETUGAS CLEANING SERVICE DENGAN DERMATITIS

KONTAK AKIBAT KERJA DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

Oleh

BELA RISKI DINANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Muara Enim pada tanggal 19 April 1994, sebagai anak

tunggal dari Bapak Iskandar dan Ibu Rasmiati.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Muhammadiyah

Tanjung Enim pada tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 18

Muara Enim pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di

SMPN 1 Muara Enim pada tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA)

diselesaikan di SMAN 1 Unggulan Muara Enim pada tahun 2011.

Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi

Negeri (SNMPTN) Undangan.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum Patologi

Klinik tahun 2013-2014 dan aktif pada organisasi Genitalial and Education Health (Gen-C) sebagai anggota dan wakil ketua Divisi Pelatihan dan Pengembangan tahun 2012–2013. Penulis juga aktif sebagai anggota pada

organisasi Forum Studi Islam Ibnu Sina tahun 2011-2013. Dan aktif pada Paduan

(8)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala

kasih, karunia, dan penyertaan-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan

Masa Kerja pada Cleaning Service dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat masukan, bantuan,

dorongan, saran, bimbingan, dan kritik dari berbagai pihak. Maka pada

kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Dr. Sutyarso, M.Biomed, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung;

3. dr. Hendra Tarigan Sibero, M.Kes, Sp.KK, selaku Pembimbing I yang telah

meluangkan waktu, memberikan kritik, saran serta nasihat yang bermanfaat

dalam penyelesaian skripsi ini;

4. dr. Fitria Saftarina, M.Sc, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan

waktu, memberikan kritik, saran serta nasihat yang bermanfaat dalam

(9)

5. dr. Arif Effendi, Sp.KK, selaku pembahas yang telah bersedia meluangkan

waktu dan memberikan ilmu, kritik, serta saran dalam skripsi ini;

6. dr. Reni Zuraida, M.Si, selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan arahan dan motivasi selama saya menempuh pendidikan di

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ini;

7. Seluruh staf pengajar Program Studi Pendidikan Dokter Unila atas ilmu yang

telah diberikan kepada saya untuk menambah wawasan yang menjadi

landasan bagi masa depan dan cita-cita;

8. Seluruh staf dan karyawan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

yang membantu dalam proses pembelajaran semasa kuliah dan penyelesaian

skripsi ini;

9. Mama, Papa, dan seluruh keluarga besar atas dukungan, semangat, doa,

motivasi, dan kasih sayang yang selalu menjadi alasan saya untuk terus

berjuang sampai saat ini;

10. Teman-teman Sawityowit (Giani, Yolci, Putri, Zara, Mentari, Priske, Heny,

Susan, Mutia, Emi) tersayang, yang hampir setengah perjalanan hidup telah

mendoakan, mendukung dan mewarnai hari-hariku;

11. Teman-teman 17cm (Yolci, Gede, Lian, Desta, Filla, Wayan, Robby, Bajie,

Rifka, Ririn, Ferina, Sakinah, Felis, Dila, Naomi, Agatha) yang telah

menemani hari-hari dan perjuangan sampai hari ini dan seterusnya;

12. Teman-teman ABC (Aryati dan Caca) para wanita-wanita tercantik dan

tersayang, terima kasih telah menemani dikala suka dan duka;

13. Vandy Ikra yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu

(10)

14. Robby teman seperjuangan penelitian skripsi, dan teman-teman tim

bimbingan dokter Hendra ayo semangat semua!;

15. Niken Wiandhani dan Okta Casebella yang selalu ada dikala suka dan duka

selama KKN sampai sekarang;

16. Teman-teman asisten dosen Patologi Klinik (Sakinah, Diah, Novita, Nurul,

Gita, Gusti Ayu, Gusti Indra, Ario) terima kasih telah memberikan

pengalaman yang tak terlupakan selama menjalankan tugas;

17. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 atas kebersamaannya selama ini.

Semoga kita menjadi dokter-dokter yang profesional;

18. Adik-adik angkatan 2012, 2013, dan 2014, terimakasih atas dukungan dan

doanya, tetap berjuang dan semangat!

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena

itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi

perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembacanya.

Bandar Lampung, Januari 2015

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C.Tujuan Penelitian ... 4

D.Manfaat Penelitian ... 5

II.TINJAUAN PUSTAKA A.Dermatitis Kontak ... 7

1. Dermatitis Kontak Iritan ... 7

a. Definisi ... 7

b. Epidemiologi ... 8

c. Etiologi ... 8

d. Patogenesis ... 10

e. Klasifikasi... 11

f. Gejala Klinis ... 12

g. Diagnosis ... 14

h. Penatalaksanaan ... 15

2. Dermatitis Kontak Alergik ... 16

(12)

b. Epidemiologi ... 16

3. Sistem Kerja Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. H Abdul Moeloek Bandar Lampung ... 40

4. Alat Kebersihan dan Obat Pembersih ... 42

G.Kerangka Teori ... 43

H.Kerangka Konsep ... 46

(13)

III. METODE PENELITIAN

1. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 59

(14)

3. Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Petugas

Cleaning Service di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung ... 60

C. Analisis Bivariat... 61

1. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada Petugas Cleaning Service dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 62

2. Hubungan Masa Kerja pada Petugas Cleaning Service dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 63

D. Pembahasan... 64

1. Dermatitis Kontak Akibat pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 64

2. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada Petugas Cleaning Service dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 69

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Iritan yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan ... 9 2. Alergen yang Sering Menyebabkan Dermatitis Kontak Alergik

(North American Contact Dermatitis Group) ... 17

3. Definisi Operasional... 50 4. Karakteristik Jenis Kelamin Petugas Cleaning Service di

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 58 5. Karakteristik Umur Petugas Cleaning Service di

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 58 6. Distribusi Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada

Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 59 7. Distribusi Masa Kerja pada Petugas Cleaning Service di

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 60 8. Distribusi Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada

Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 61 9. Tabulasi Silang Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada

Petugas Cleaning Service dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 62 10.Tabulasi Silang Masa Kerja pada Petugas Cleaning Service

dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut ... 13

2. Dermatitis Kontak Iritan Kronis... 14

3. Dermatitis Kontak Alergik ... 20

4. Kerangka Teori... 45

5. Kerangka Konsep ... 46

6. Alur Penelitian ... 51

7. Petugas Cleaning Service Tim Lapangan ... 116

8. Petugas Cleaning Service Tim Taman ... 116

9. Petugas Cleaning Service Tim Ruangan ... 117

10.Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Jari Kaki Petugas Cleaning Service ... 117

11.Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Telapak Kaki Petugas Cleaning Service ... 118

12.Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Kaki Petugas Cleaning Service ... 118

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Lampiran 1. Etik Penelitian ... 85

2. Lampiran 2. Lembar Informed Consent ... 86

3. Lampiran 3. Lembar Kuesioner ... 87

4. Lampiran 4. Lembar Check List ... 91

5. Lampiran 5. Tabel Data ... 92

6. Lampiran 6. Pengolahan Data ... 95

(18)

I.PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 432

tahun 2008, rumah sakit termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan

berbagai bahaya potensial yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak

hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di rumah sakit, tapi juga

terhadap pasien maupun pengunjung rumah sakit. Faktor biologi, kimia,

ergonomi, fisik, dan psikososial merupakan bahaya potensial yang ada di

rumah sakit dan dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja

bagi pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat di lingkungan sekitarnya.

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk

upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, sehingga dapat

mengurangi risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada

akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Salah satu

tujuan dari program K3 adalah untuk mencegah terjadinya penyakit akibat

kerja pada pekerja. Penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang disebabkan

oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja (Anies,

(19)

Penyakit-penyakit akibat kerja telah lama dikenal dan diketahui, termasuk

penyakit kulit akibat kerja yang lebih dikenal dengan occupational dermatitis. Penyakit kulit akibat kerja merupakan sebagian besar dari penyakit akibat kerja

pada umumnya dan diperkirakan 50-75% dari seluruh penyakit akibat kerja

(Sulaksmono, 2006).

Penyakit kulit diperkirakan menempati 9% sampai 34% dari penyakit yang

berhubungan dengan pekerjaan. Dermatitis kontak akibat kerja merupakan

salah satu kelainan kulit yang sering dijumpai. Kelainan kulit ini dapat

ditemukan sekitar 85% sampai 98% dari seluruh penyakit kulit akibat kerja.

Insiden dermatitis kontak akibat kerja diperkirakan sebanyak 0,5 sampai 0,7

kasus per 1000 pekerja per tahun. Dermatitis kontak akibat kerja biasanya

terjadi di tangan dan angka insiden untuk dermatitis bervariasi antara 2%

sampai 10%. Di Bandar Lampung, terdapat sekitar 63% kejadian dermatitis

kontak menurut surveilans tahunan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota

Bandar Lampung pada tahun 2012 dan menjadi peringkat pertama penyakit

kulit yang paling sering dialami (Tombeng, 2013; Dinkes, 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit dermatitis kontak

merupakan penyakit yang lazim terjadi pada pekerja-pekerja yang berhubungan

dengan bahan kimia dan panas, serta faktor mekanik sebagai gesekan, tekanan,

trauma. Beberapa jenis dermatitis kontak seperti dermatitis kontak iritan yang

disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam basa, basa kuat, logam berat

dengan konsentrasi kuat dan bahan relatif iritan, misalnya sabu, detergen dan

(20)

disebabkan oleh paparan bahan-bahan kimia atau lainnya yang meningkatkan

sensitivitas kulit (Erliana, 2009).

Penyakit akibat kerja di rumah sakit dapat menyerang semua tenaga kerja, baik

yang medis (seperti perawat, dokter dan dokter gigi), maupun non medis

seperti petugas kebersihan (cleaning service) rumah sakit. Petugas cleaning service mempunyai risiko untuk terpajan bahan biologi berbahaya (biohazard). Kontak dengan alat medis sekali pakai (disposable equipment) seperti jarum

suntik bekas maupun selang infus bekas, serta membersihkan seluruh ruangan

di rumah sakit dapat meningkatkan risiko untuk terkena penyakit infeksi bagi

petugas kebersihan (cleaning service) rumah sakit (Lestari, 2010).

Di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung terdapat 104 orang

petugas cleaning service. Sebanyak 30% petugas mengeluhkan adanya kelainan pada kulit berupa kulit memerah, kering, mengelupas serta terasa gatal

dan perih setelah kontak dengan bahan kimia yang digunakan saat bekerja

sebagai cleaning service. Namun para petugas cleaning service mengaku, selama ini tidak pernah memeriksakan kondisi tersebut ke dokter.

Penelitian yang dilakukan oleh Erliana (2009), mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi timbulnya dermatitis kontak akibat kerja, didapatkan adanya

hubungan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan masa kerja dengan

dermatitis kontak akibat kerja. Hasil penelitian Nuraga (2008), menyatakan

bahwa pemakaian APD mempengaruhi timbulnya dermatitis kontak akibat

(21)

Hasil penelitian Octaviani (2009), menyatakan bahwa perilaku pemakaian Alat

Pelindung Diri (APD) dan masa kerja tidak memiliki hubungan dengan

dermatitis kontak akibat kerja. Penelitian Lestari & Utomo (2007) menyatakan

bahwa pemakaian APD saat bekerja tidak memiliki hubungan yang bermakna

dengan timbulnya dermatitis kontak akibat kerja. Penelitian yang dilakukan

oleh Florence (2008), juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara masa kerja dengan dermatitis kontak akibat kerja.

Berdasarkan hal tersebut, petugas cleaning service memiliki potensi untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja. Maka penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui hubungan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan masa kerja

pada petugas cleaning service dengan dermatitis kontak akibat kerja di RSUD

Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

B.Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan

masa kerja pada petugas cleaning service dengan dermatitis kontak akibat kerja

di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung?

C.Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan masa

kerja pada petugas cleaning service dengan dermatitis kontak akibat kerja di

(22)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) saat

bekerja pada petugas cleaning service di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

b. Mengetahui gambaran masa kerja pada petugas cleaning service di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

c. Mengetahui hubungan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) saat

bekerja pada petugas cleaning service dengan dermatitis kontak akibat kerja di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

d. Mengetahui hubungan masa kerja pada petugas cleaning service dengan

dermatitis kontak akibat kerja di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung.

D.Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana dan menambah

pengetahuan tentang hubungan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan

masa kerja dengan dermatitis kontak akibat kerja.

2. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi

Dapat menjadi masukan tentang penyakit dermatitis kontak akibat kerja

(23)

datang akan ada suatu program kesehatan kerja yang dapat menjangkau para

petugas cleaning service.

3. Bagi Petugas Cleaning Service

Menambah pengetahuan para petugas cleaning service mengenai dermatitis

kontak akibat kerja, penyebab, pencegahan, dan pengobatannya. Sehingga

petugas cleaning service dapat melakukan pengobatan, pencegahan dan

menjaga kebersihan diri maupun lingkungan sekitar.

4. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat dijadikan suatu penelitian dasar untuk penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan dermatitis kontak akibat kerja pada

petugas cleaning service di RSUD Dr. H. Moeloek Provinsi Lampung dan

dermatitis kontak akibat kerja pada umumnya.

E.Kerangka Teori

Dermatitis kontak akibat kerja menurut Wolff et al (2008), merupakan penyakit kulit multifaktoral yang dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor

endogen. Faktor eksogen merupakan faktor yang berasal dari luar, berupa

karakteristik bahan kimia, paparan dan faktor lingkungan. Karakteristik bahan

kimia meliputi pH bahan kimia, jumlah dan konsentrasi, berat molekul, serta

kelarutan dari bahan kimia yang dipengaruhi oleh sifat ionisasi dan

polarisasinya. Karakteristik paparan meliputi frekuensi paparan dengan agen,

lama bekerja, tipe kontak, paparan dengan lebih dari satu jenis bahan kimia,

(24)

temperatur ruangan dan faktor mekanik yang dapat berupa tekanan, gesekan,

atau lecet, juga dapat meningkatkan permeabilitas kulit terhadap bahan kimia

akibat kerusakan stratum korneum pada kulit. Faktor endogen adalah faktor

yang berasal dari dalam dan turut berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis

kontak meliputi faktor genetik, jenis kelamin, usia, ras, lokasi kulit, riwayat

atopi serta faktor lain dapat berupa perilaku individu berupa kebersihan

perorangan, hobi dan pekerjaanan sambilan, serta pemakaian alat pelindung

diri saat bekerja (Wolff et al, 2008).

Ada banyak pekerjaan yang berhubungan dengan dermatitis kontak akibat

kerja, dan hal tersebut berkaitan dengan paparan pada pekerjaan tertentu. Ada

pekerja industri tekstil, dokter gigi, pekerja konstruksi, elektronik, dan industri

lukisan, rambut, industri sektor makanan dan logam, dan industri produk

pembersih (Sanja, 2009).

Erliana (2009) menyatakan bahwa beberapa penelitian menunjukkan penyakit

dermatitis kontak merupakan penyakit yang lazim terjadi pada pekerja-pekerja

yang berhubungan dengan bahan kimia dan panas, serta faktor mekanik

sebagai gesekan, tekanan, trauma. Beberapa jenis dermatitis kontak seperti

dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam

basa, basa kuat, logam berat dengan konsentrasi kuat dan bahan relatif iritan,

misalnya sabu, detergen dan pelarut organik, dan jenis dermatitis lain adalah

dermatitis kontak alergik biasanya disebabkan oleh paparan bahan-bahan kimia

atau lainnya yang meningkatkan sensivitas kulit pada jenis pekerjaan tertentu.

(25)

kerja menurpakan salah satu dari penyakit akibat kerja yang banyak di temukan

dirumah sakit, dan dapat menyerang semua tenaga kerja, baik yang medis

(seperti perawat, dokter dan dokter gigi), maupun non medis seperti petugas

kebersihan (cleaning service). Kerangka teori pada penelitian ini tersaji pada

(26)
(27)

F. Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini tersaji pada gambar 5.

Gambar 2. Kerangka Konsep.

G. Hipotesis

Ada hubungan antara pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan masa kerja

pada petugas cleaning service dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja

di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Variabel Terikat Variabel Bebas

Variabel Perancu

- Hobi

- Aktivitas rumah tangga

- Pekerjaan di luar cleaning service

- Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)

- Masa Kerja

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak ialah respon inflamasi akut ataupun kronis yang disebabkan

oleh bahan atau substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam

dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik,

keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis iritan merupakan

reaksi peradangan kulit non imunologik disebabkan oleh bahan kimia iritan.

Sedangkan, dermatitis alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami

sensitisasi terhadap suatu alergen dan merangsang reaksi hipersensitivitas tipe

IV (Wolff & Johnson, 2009).

1. Dermatitis Kontak Iritan

a. Definisi

Dermatitis kontak iritan adalah suatu peradangan pada kulit yang

disebabkan oleh kerusakan langsung ke kulit setelah terpapar agen

berbahaya. Dermatitis kontak iritan dapat disebabkan oleh tanggapan

(29)

kronis kumulatif untuk iritasi ringan (air, detergen, bahan pembersih

lemah) (NIOSH, 2010).

b. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai

golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita dermatitis

kontak iritan diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan

dengan pekerjaan (dermatitis kontak iritan akibat kerja), namun angka

secara tepat sulit untuk diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh

banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau

bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2010).

c. Etiologi

Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan,

misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumnas, asam, alkali dan

serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran

molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga

dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak,

kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan

kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisik. Suhu dan

kelembaban lingkungan juga ikut berperan (Djuanda, 2010).

Faktor individu juga ikut berpengaruh pada dermatitis kontak iritan,

(30)

perbedaan permeabilitas, usia (anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih

mudah teriritasi), ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis

kelamin (insidensi dermatitis kontak iritan lebih banyak pada wanita),

penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang

terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Djuanda,

2010).

Bahan iritan yang sering menimbulkan dermatitis kontak iritan terdapat

pada tabel 1.

Tabel 1. Iritan yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan.

Iritan yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan Asam kuat (Hidroklorida, Asam nitrat, Asam sulfat)

Basa kuat (Natrium hidroksida, Kalium hidroksida) Detergen

Resin epoksi Etilen oksida Fiberglass

Minyak (lubrikan) Pelarut-pelarut organik Agen oksidator

(31)

d. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan

iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan

tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan

mengubah daya ikat di kulit (Djuanda, 2010).

Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit,

tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom,

mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran akan

mengaktifkan enzim fosfolipase yang akan merubah fosfolipid menjadi

asam arakhidonat, diasilgliserida, platelet activating factor, dan inositida.

Asam arakhidonat diubah menjadi prostaglandin dan leukotrin.

Prostaglandin dan leukotrin menginduksi vasodilatasi dan meningkatkan

permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen

dan kinin. prostaglandin dan leukotrin juga bertindak sebagai

kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi sel

mast melepaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin lain, sehingga

memperkuat perubahan vaskular (Djuanda, 2010).

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik

ditempat terjadinya kontak di kulit yang berupa eritema, edema, panas,

nyeri, bila iritannya kuat. Apabila iritan lemah, akan menimbulkan

kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan

(32)

kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di

bawahnya (Djuanda, 2010).

e. Klasifikasi

Dermatitis kontak iritan diklasifikasikan menjadi dermatitis kontak iritan

akut dan dermatitis kontak iritan kumulatif (kronis) (Wolff & Johnson,

2009).

1) Dermatitis kontak iritan akut

Di tempat kerja, kasus dermatitis iritan akut sering timbul akibat

kecelakaan atau akibat kebiasaan kerja yang buruk, misalnya tidak

memakai sarung tangan, sepatu bot, atau apron bila diperlukan, atau

kurang berhati-hati saat menangani iritan. Hal ini juga disebabkan

kegagalan pekerja biasanya karena ketidak tahuan mengenali material

korosif. Dermatitis iritan akut dapat dicegah dan pekerja yang terkena

tidak perlu berpindah pekerjaan. Pendidikan kesehatan sangat penting

disini. Pemakaian sarung tangan, apro, dan sepatu bot yang kedap air

saat bekerja dapat mencegah terjadinya dermatitis iritan akut

(Djuanda, 2010).

2) Dermatitis kontak iritan kumulatif (kronis)

Dermatitis kontak iritan jenis ini disebabkan kontak kulit berulang

dengan iritan lemah. Iritan lemah menyebabkan dermatitis kontak

iritan pada individu yang rentan saja. Lama waktu sejak pajanan

(33)

mingguan hingga tahunan, tergantung sifat iritan, frekuensi kontak,

dan kerentanan pejamu. Dermatitis akibat iritan yang terakumulasi

misalnya dermatitis kronis pada tangan yang disebabkan oleh air dan

detergen di antara pencuci piring dan ibu rumah tangga, dan dermatitis

akibat cairan pemotong logam di antara pekerja logam. Pelarut seperti

bahan pengencer dan minyak tanah bila dipakai tidak semestinya

seperti sebagai pembersih kulit sering menyebabkan dermatitis akibat

iritan yang terakumulasi (Djuanda, 2010).

f. Gejala Klinis

Pada beberapa orang keluhan hanya berupa gejala subjektif seperti rasa

terbakar, tersengat. Dapat juga sensasi nyeri beberapa menit setelah

terpajan, misalnya terhadap asam, kloroform, methanol. Rasa seperti

tersengat cukup lambat terjadi yaitu dalam 1-2 menit, puncaknya dalam

5-10 menit dan berkurang dalam 30 menit, yang disebabkan oleh

aluminium klorid, fenol, propilen glikol, dan lain-lain (Kartowigno,

2012).

Gejala pada dermatitis kontak iritan akut, kulit terasa pedih, panas, rasa

terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema, edema, bula, dan dapat

ditemukan nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan pada

umumnya asimetris. Biasanya terjadi karena kecelakaan, dan reaksi

(34)

Gambar 3. Dermatitis Kontak Iritan Akut

(Wolff & Johnson, 2009).

Gejala dermatitis kontak iritan kumulatif (kronis) merupakan gejala

klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit menjadi

tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus

berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya

pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus

dengan detergen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri

karena keluhan kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa

kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh

(35)

Gambar 4. Dermatitis Kontak Iritan Kronis

(Wolff & Johnson, 2009).

g. Diagnosis

Pada dermatitis kontak tidak memiliki gambaran klinis yang tetap. Untuk

menegakkan diagnosis dapat didasarkan pada:

1) Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat. Anamnesis dermatologis

terutama mengandung pertanyaan-pertanyaan seperti onset dan durasi,

fluktuasi, perjalanan gejala-gejala, riwayat penyakit terdahulu, riwayat

keluarga, pekerjaan dan hobi, kosmetik yang digunakan, serta terapi

yang sedang dijalani (Graham, 2005).

2) Pemeriksaan klinis, hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang

baik adalah:

a. Lokasi dan atau distribusi dari kelainan yang ada

b. Karakteristik dari setiap lesi, dilihat dari morfologi lesi (eritema,

(36)

c. Pemeriksaan lokasi-lokasi sekunder

d. Teknik-teknik pemeriksaan khusus, dengan patch test.

(Graham, 2005)

Dermatitis kontak iritan akut lebih mudah diketahui karena munculnya

lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang

menjadi penyebabnya. Sebaliknya, dermatitis kontak iritan kronis

timbulnya lambat dan memiliki gambaran klinis yang luas, sehingga

terkadang sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk ini

diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2010).

Kriteria diagnostik primer dermatitis kontak iritan meliputi makula

eritema, hiperkeratosis atau fisura yang menonjol, kulit seperti

terbakar. Kriteria objektif minor meliputi batas tegas pada dermatitis,

dan kecenderungan untuk menyebar lebih rendah dibanding dermatitis

kontak alergik (Hogan, 2009).

h. Penatalaksanaan

Untuk mengobati dermatitis kontak iritan perlu diketahui zat iritan

penyebabnya dan proteksi terhadap bahan tersebut. Jika sudah terjadi

dermatitis kontak iritan, pengobatan topikal perlu dilakukan. Peran

kortikosteroid masih kontroversi, namun steroid dapat menolong karena

efek anti inflamasinya. Pada pasien yang kulitnya kering dan mengalami

(37)

kulit. Jika ada infeksi bakteri dapat diberi antibiotik baik topikal maupun

sistemik (Kartowigno, 2012).

2. Dermatitis Kontak Alergik

a. Definisi

Menurut National Occupational Health and Safety Commision (2006), dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi

hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak

dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergik.

b. Epidemiologi

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita

dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang

yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi

mengenai prevalensi dermatitis ini di masyarakat (Djuanda, 2010).

Dalam data terakhir, penyakit ini terhitung sebesar 7% dari penyakit yang

terkait dengan pekrjaan di Amerika Serikat. Dan angka kejadian

dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan

di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis kontak akibat

(38)

c. Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa

bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga

disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh

potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit

(Djuanda, 2010).

Macam-macam alergen yang paling sering menyebabkan dermatitis

kontak alergik menurut North American Contact Dermatitis Group terdapat pada tabel 2.

(39)

d. Patogenesis

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergik

adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated

immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed hypersensitivity),

umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.

Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase,

yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi (Djuanda, 2010).

Fase sensitisasi dimulai saat adanya kontak dengan bahan kimia

sederhana yang disebut hapten (alergen yang memiliki berat molekul

kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan

protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian

berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrisit, dan sel langerhans (Hogan, 2009).

Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh antigen presenting cells ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T

menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan

berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik

dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke

seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan

sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase ini rata-rata

(40)

Fase elisitasi terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama

dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen

dermis. Sel Langerhans akan mensekresi interleukin-1 yang akan

merangsang sel T untuk mensekresi interleukin-2. Selanjutnya

interleukin-2 akan merangsang interferon gamma. Interleukin-1 dan

interferon gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1

(intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan leukosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan

mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin

sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat.

Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema

dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau

penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses

skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans

dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1,2 oleh sel makrofag

akibat stimulasi interferon gamma. prostaglandin E-1,2 berfungsi

menekan produksi interleukin-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T

dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan

dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan

antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang

bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan

sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan

(41)

e. Gejala Klinis

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung

pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak

eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel

atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi

(basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,

likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini

sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis (Djuanda, 2010).

Gambar 5. Dermatitis Kontak Alergik (Wolff & Johnson, 2009).

f. Diagnosis

Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik

diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap,

pemeriksaan fisik dan uji tempel. Pertanyaan mengenai kontaktan yang

dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada

(42)

hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu

ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat

pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari

anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang

pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui

menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit

kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik) (Trihapsoro, 2003;

Djuanda, 2010).

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan

pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.

Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam

tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan

pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit

lain karena sebab-sebab endogen (Djuanda, 2010).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula

disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk

dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat

kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya.

Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan

bagian tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu

(43)

Pemeriksaan penunjang salah satu yang paling sering digunakan adalah

patch test. Dasar pelaksanaan patch test adalah sebagai berikut:

a. Bahan yang diujikan (dengan konsentrasi dan bahan pelarut yang

sudah ditentukan) ditempelkan pada kulit normal, kemudian ditutup.

Konsentrasi yang digunakan pada umumnya sudah ditentukan

berdasarkan penelitian-penelitian.

b. Biarkan selama 2 hari (minimal 24 jam) untuk memberi kesempatan

absorbsi dan reaksi alergi dari kulit yang memerlukan waktu lama.

Meskipun penyerapan untuk masing-masing bahan bervariasi, ada

yang kurang dan ada yang lebih dari 24 jam, tetapi menurut para

peniliti waktu 24 jam sudah memadai untuk kesemuanya, sehingga

ditetapkan sebagai standar.

c. Kemudian bahan tes dilepas dan kulit tempat penempelan tersebut

diamati perubahan atau kelainan yang terjadi pada kulit. Pada tempat

tersebut bisa kemungkinan terjadi dermatitis berupa eritema, papul,

edema, fesikel, dan bahkan kadang-kadang bisa terjadi bula atau

nekrosis.

(Sulaksmono, 2006)

Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang),

bila mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya

di punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan

pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup

dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48

(44)

Pembacaan dilakukan 15-25 menit kemudian, supaya kalau ada

tanda-tanda akibat tekanan, penutupan dan pelepasan dari Unit uji temple yang

menyerupai bentuk reaksi, sudah hilang. Cara penilaiannya ada

bermacam-macam pendapat, yang dianjurkan oleh International Contact

Dermatitis Research Group (ICDRG) adalah sebagai berikut: NT : Tidak diteskan

+ : Hanya eritem lemah: ragu-ragu

++ : Eritema, infiltrasi (edema), papul: positif lemah

+++ : Bula: positif sangat kuat

- : Tidak ada kelainan iritasi

(Sulaksmono, 2006)

g. Penatalaksanaan

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak alergik

adalah upaya pencegahan kontak berulang dengan alergen penyebab, dan

menekan kelainan kulit yang timbul. Pada dermatitis kontak alergik,

pemberian obat yang penting untuk menghilangkan gejala keterbatasan

fisik akibat timbulnya erupsi. Pada lesi akut vesikuler, diberikan

kompres, misalnya dengan solusio NaCl 0,9% atau lainnya. Pada yang

kronik dengan lesi likenifikasi paling baik diberi emolien. Keluhan gatal

dapat diberi anti pruritus topikal atau anti histamin oral. Kortikosteroid

topikal dan sistemi merupakan gold standard unruk menghilangkan gejala dan perbaikan cepat. Sebaiknya obat ini digunakan dalam jangka

(45)

B.Penyakit Kulit Akibat Kerja

1. Definisi

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab spesifik

atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, dan pada umumnya terdiri dari

satu agen penyebab yang sudah diakui. Sedangkan penyakit kulit akibat

kerja atau occcupational dermatitis merupakan inflamasi pada kulit yang disebabkan oleh paparan dari bahan kimia yang berada di tempat kerja.

Paparan biasanya terjadi secara langsung, tidak langsung ataupun melalui

sirkulasi udara (ILO, 2003; ODWG, 2006).

2. Epidemiologi

Dari 10 penyakit terbesar pada pekerja, diketahui penyakit kulit akibat kerja

merupakan sebagian besar dari penyakit akibat kerja pada umumnya dan

diperkirakan penyakit kulit akibat kerja 50-75% dari penyakit akibat kerja.

Sensitisasi sesuai dengan jenis pekerjaan terjadi pada 52% kasus. Di

beberapa negara maju telah berhasil mendata penyakit kulit akibat kerja,

misalnya di Swedia prosentase penyakit kulit akibat kerja 50% dari seluruh

jenis penyakit akibat kerja. Sedangkan di Singapura, angka ini berkisar

20%. Ada dua kelompok besar dalam penggolongan penyakit kulit akibat

kerja, yakni penyakit kulit akibat kerja eksematosa/dermatitis dan penyakit

kulit akibat kerja non-eksematosa/non-dermatitis (Sulaksmono, 2006;

(46)

3. Etiologi

Terdapat beberapa penyebab penyakit kulit akibat kerja yang umum terjadi

di tempat kerja, berikut beberapa jenisnya:

1. Golongan fisik: Bising, radiasi, suhu ekstrem, tekanan udara, vibrasi, dan

penerangan.

2. Golongan kimiawi: Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, gas,

larutan, dan kabut.

3. Golongan biologik: Bakteri, virus, jamur dan lain-lain.

4. Golongan fisiologik/ergonomik: Desain tempat kerja dan beban kerja.

5. Golongan psikososial: Stress psikis, monotoni kerja, tuntutan pekerjaan,

dan lain-lain.

(BKKOKK, 2012)

4. Diagnosis

Untuk dapat mendiagnosis penyakit akibat kerja pada individu, Direktorat

Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementrian Kesehatan (2012),

menyatakan perlunya dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk

mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara

tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat

digunakan sebagai pedoman, yaitu:

1. Tentukan diagnosis klinisnya

2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini

(47)

4. Tentukan apakah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat

mengakibatkan penyakit tersebut

5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat

mempengaruhi

6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat menyebabkan penyakit

7. Buat keputusan penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaanya

C.Dermatitis Kontak Akibat Kerja

1. Definisi

Dermatitis kontak akibat kerja (occupational contact dermatitis) secara

medis dapat diartikan sebagai dermatitis kontak yang disebabkan oleh

pekerjaan, atau pekerjaan merupakan penyebab utama atau salah satu

diantara faktor-faktor yang menyebabkan dermatitis kontak tersebut (Wolff

et al, 2008).

2. Epidemiologi

Dermatitis kontak akibat kerja adalah bentuk paling umum dari penyakit

kulit akibat kerja. Data epidemiologi di negara Jerman terdapat 50-190

kasus pada 100.000 pekerja, dan terdapat 20,5 kasus pada 100.000 pekerja

di Victoria. Dimana dermatitis kontak iritan memiliki tingkat insidensi yang

(48)

3. Faktor yang Mempengaruhi

Dermatitis kontak akibat kerja merupakan penyakit kulit multifaktoral yang

dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen (Wolff et al, 2008).

a. Faktor Eksogen

Faktor yang berasal dari luar tubuh. Beberapa faktor berikut dianggap

memiliki pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak.

1) Karakteristik bahan kimia

Meliputi pH bahan kimia (pH terlalu tinggi yaitu lebih dari 12 atau

terlalu rendah kurang dari 3, dapat menimbulkan gejala iritasi segera,

sedangkan pH yang sedikit lebih tinggi lebih dari 7 atau sedikit lebih

rendah kurang dari 7, memerlukan paparan ulang untuk mampu

timbulkan gejala), jumlah dan konsentrasi (semakin pekat konsentrasi

bahan kimia maka semakin banyak pula bahan kimia yang terpapar

dan semakin mampu untuk merusak lapisan kulit), berat molekul

(molekul dengan berat kurang dari 1000 Dalton sering menyebabkan

dermatitis kontak, biasanya jenis dermatitis kontak alergik), kelarutan

dari bahan kimia (bahan kimia dengan sifat lipofilik akan mudah

menembus stratum korneum kulit masuk mencapai sel epidermis

dibawahnya).

2) Karakteristik paparan

Meliputi frekuensi paparan dengan agen (bahan kimia asam atau basa

kuat dalam sekali paparan bisa menimbulkan gejala, untuk basa atau

(49)

gejala), lama bekerja (semakin lama durasi paparan dengan bahan

kimia maka semakin banyak pula bahan yang mampu masuk ke kulit

sehingga semakin poten pula untuk timbulkan reaksi), tipe kontak

(kontak melalui udara maupun kontak langsung dengan kulit), paparan

dengan lebih dari satu jenis bahan kimia (adanya interaksi lebih dari

satu bahan kimia dapat bersifat saling mendukung ataupun antagonis).

3) Faktor lingkungan

Meliputi temperatur ruangan (kelembapan udara yang rendah serta

suhu yang dingin menurunkan komposisi air pada stratum korneum

yang membuat kulit lebih permeable terhadap bahan kimia) dan faktor

mekanik yang dapat berupa tekanan, gesekan, atau lecet, juga dapat

meningkatkan permeabilitas kulit terhadap bahan kimia akibat

kerusakan stratum korneum pada kulit .

b. Faktor Endogen

Faktor endogen merupakan faktor yang berasal dari dalam dan turut

berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak meliputi:

1) Faktor genetik, mempunyai kemampuan untuk mereduksi radikal

bebas, perubahan kadar enzim antioksidan, dan kemampuan

melindungi protein dari trauma panas, semuanya diatur oleh genetik.

Predisposisi terjadinya suatu reaksi pada tiap individu berbeda dan

(50)

2) Jenis kelamin, mayoritas merupakan pasien perempuan, dibandingkan

laki-laki. Hal ini karena perempuan lebih sering terpapar dengan

bahan iritan dan pekerjaan yang lembap.

3) Usia, anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap

bahan kimia, sedangkan pada orang yang lebih tua bentuk iritasi

dengan gejala kemerahan sering tidak tampak pada kulit.

4) Ras, hasil studi yang baru, menggunakan adanya eritema pada kulit

sebagai parameter menghasilkan orang berkulit hitam lebih resisten

terhadap dermatitis, akan tetapi hal ini bisa jadi salah, karena eritema

pada kulit hitam sulit terlihat.

5) Lokasi kulit, terdapat perbedaan yang signifikan pada fungsi barier

kulit pada lokasi yang berbeda. Wajah, leher, skrotum, dan punggung

tangan lebih rentan dermatitis.

6) Riwayat atopi, adanya riwayat atopi, akan meningkatkan kerentanan

terjadinya dermatitis karena adanya penurunan ambang batas

terjadinya dermatitis, akibat kerusakan fungsi barier kulit dan

perlambatan proses penyembuhan.

7) Faktor lain dapat berupa perilaku individu, kebersihan perorangan,

hobi dan pekerjaanan sambilan, serta pemakaian Alat Pelindung Diri

(51)

4. Diagnosis

Dalam anamnesis perlu ditanyakan riwayat paparan saat bekerja dan bukti

yang jelas adanya agen penyebab dalam bahan yang ditangani oleh

karyawan, untuk memastikan dermatitis kontak berhubungan dengan

pekerjaan seseorang. Untuk memastikan bahwa dermatitis kontak tersebut

akibat kerja, berdasarkan kriteria Mathias, perlu ditemukan minimal empat

dari tujuh kriteria di bawah ini:

a. Apakah gambaran klinis sesuai dengan dermatitis kontak?

b. Apakah ada paparan terhadap iritan atau alergen kulit yang potensial

pada tempat kerja?

c. Apakah distribusi anatomik dari dermatitisnya sesuai dengan bentuk

paparan terhadap kulit dalam hubungannya dengan tugas pekerjaannya?

d. Apakah hubungan waktu antara paparan dan awitannya sesuai dengan

dermatitis kontak?

e. Apakah paparan non-pekerjaan telah disingkirkan sebagai penyebab

yang mungkin?

f. Apakah menghindari paparan memberikan perbaikan pada

dermatitisnya?

g. Apakah uji tempel atau uji provokasi melibatkan suatu paparan pada

tempat kerja yang bersifat spesifik?

(52)

D.Alat Pelindung Diri (APD)

1. Definisi

Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang

digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya

dari kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja

terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Perlindungan tenaga kerja

dengan cara usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan

lingkungan kerja adalah sangat perlu di utamakan. Keadaan bahaya masih

belum dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga alat pelindung diri

diperlukan untuk melindungi kesehatan (Tarwaka, 2008; Harrington & Gill,

2005).

2. Kriteria Alat Pelindung Diri

Beberapa kriteria dalam pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) sebagai

berikut (Tarwaka, 2008) :

a. Alat Pelindung Diri (APD) harus mampu memberikan perlindungan

efektif kepada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi ditempat kerja.

b. Alat Pelindung Diri (APD) mempunyai berat yang seringan mungkin,

nyaman dipakai dan tidak menjadi beban tambahan bagi pemakainya.

c. Bentuknya cukup menarik, sehingga tenaga kerja tidak malu

(53)

d. Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena jenis

bahayanya maupun kenyamanan dan pemakiannya.

e. Mudah untuk dipakai dan dilepas kembali.

f. Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernapasan serta

gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam wktu yang cukup

lama.

g. Tidak mengurangi persepsi sensoris dalam menerima tanda-tanda

peringatan.

h. Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia

dipasaran.

i. Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.

j. Alat Pelindung Diri (APD) yang dipilih harus sesuai dengan standar yang

ditetapkan dan sebagainya.

3. Jenis-Jenis Alat Pelindung Diri

Jenis-jenis Alat Pelindung Diri (APD) berdasarkan fungsinya terdiri dari

beberapa macam. APD yang digunakan tenaga kerja sesuai dengan bagian

tubuh yang dilindungi, antara lain (Tarwaka, 2008) :

a. Alat Pelindung Kepala

Digunakan untuk melindungi rambut terjerat oleh mesin yang berputar

dan untuk melindungi kepala dari benturan benda tajam atau keras,

(54)

bahan kimia korosif, panas sinar matahari. Jenis alat pelindung kepala

antara lain :

1) Topi Pelindung (Safety Helmets)

Berfungsi untuk melindungi kepala dari benda-benda keras yang

terjatuh dan terkena arus listrik. Topi pelindung harus tahan terhadap

pukulan, tidak mudah terbakar, tahan terhadap perubahan iklim dan

tidak menghantarkan arus listrik. Topi pelindung biasanya dilengkapi

dengan anyaman penyangga yang berfungsi untuk menyerap keringat

dan mengatur pertukaran udara.

2) Tutup Kepala

Berfungsi untuk melindungi kepala dari kebakaran, korosi, suhu panas

atau dingin. Tutup kepala ini biasanya terbuat dari asbestos, kain tahan

api/korosi, kulit dan kain tahan air.

3) Topi (Hats/cap)

Berfungsi untuk melindungi kepala atau rambut dari kotoran/debu

atau mesin yang berputar. Topi ini biasanya terbuat dari kain katun.

b. Alat Pelindung Mata

Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi mata dari percikan

bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di

udara, gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi

gelombang elektronik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau

(55)

1) Kacamata (Spectacles)

Berfungsi untuk melindungi mata dari partikel-partikel kecil, debu dan

radiasi gelombang elektromagnetik.

2) Goggle

Berfungsi untuk melindungi mata dari gas, debu, uap dan percikan

larutan bahan kimia. Goggle biasanya terbuat dari plastik transparan

dengan lensa berlapis kobalt untuk bahaya radiasi gelombang

elektromagnetik mengion.

c) Alat Pelindung Telinga

Alat pelindung jenis ini digunakan untuk mengurangi intensitas yang

masuk kedalam telinga.

1) Sumbat Telinga (Ear Plug)

Ear plug dapat terbuat dari kapas, plastik, karet alami dan bahan sintetis. Ear plug yang terbuat dari kapas, spon malam (wax) hanya dapat digunakan untuk sekali pakai (disposable). Sedangkan yang

terbuat dari bahan dan plastik yang dicetak dapat digunakan berulang

kali.

2) Tutup Telinga (Ear Muff)

Alat pelindung jenis ini terdiri dari 2 (dua) buah tutup telinga dan

sebuah headband. Isi dari tutup telinga ini berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi. Pada

pemakaian untuk waktu yang cukup lama, efektivitas ear muff dapat menurun karena bantalannya menjadi mengeras dan mengerut sebagai

(56)

permukaan kulit. Alat ini dapat mengurangi intensitas suara 30 dBA

dan juga dapat melindungi bagian luar telinga dari benturan benda

keras atau percikan bahan api.

d) Alat Pelindung Pernapasan

Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi pernapasan dari

risiko paparan gas, uap, debu, atau udara terkontaminasi atau beracun,

korosi atau yang bersifat rangsangan. Sebelum melakukan pemilhan

terhadap suatu alat pelindung pernapasan yang tepat, maka perlu

mengetahui informasi tentang potensi bahaya atau kadar kontaminan

yang ada di lingkungan kerja. Secara umum, jenis alat pelindung

pernapasan yang banyak digunakan antara lain:

1) Masker

Digunakan untuk mengurangi paparan debu atau partikel-partikel

yang lebih besar masuk ke dalam saluran pernapasan.

2) Respirator

Digunakan untuk melindungi pernapasan dari paparan debu, kabut,

uap logam, asap dan gas-gas berbahaya.

e. Alat Pelindung Tangan

Digunakan untuk melindungi tangan dan bagian lainnya dari benda tajam

atau goresan, bahan kimia, benda panas dan dingin, kontak dengan arus

listrik. Sarung tangan terbuat karet untuk melindungi kontaminasi

(57)

untuk melindungi kontak dengan panas dan dingin. Hal-hal yang perlu

dipertimbangkan dalam pemilihan sarung tangan sebagai berikut :

1) Potensi bahaya yang ada di tempat kerja, berupa bahan kimia korosif,

benda panas, dingin, tajam atau benda keras.

2) Daya tahan bahan terhadap bahan kimia, seperti sarung tangan karet

alami tidak tepat pada paparan pelarut organik, karena karet alami

larut dalam pelarut organik.

3) Kepekaan objek yang digunakan, seperti pekerjan yang halus dengan

memberikan benda-benda halus lebih tepat menggunakan sarung

tangan yang tipis.

4) Bagian tangan yang dilindungi, hanya bagian jari saja, tangan, atau

sampai bagian lengan.

f. Alat Pelindung Kaki

Digunakan untuk melindungi kaki dan bagian lainnya dari benda-benda

keras, benda tajam, logam/kaca, larutan kimia, benda panas, kontak

dengan arus listrik. Menurut jenis pekerjaan yang dilakukan sepatu

keselamatan dibedakan menjadi :

1) Sepatu pengaman pada pengecoran baja

Sepatu ini terbuat dari bahan kulit yang dilapisi krom atau asbes dan

tingginya sekitar 35 cm. Pada pemakaian sepatu ini, celana

dimasukkan ke dalam sepatu lalu dikencangkan dengan tali pengikat.

2) Sepatu pengaman pada pekerjaan yang mengandung bahaya

peledakan. Sepatu ini tidak boleh memakai paku-paku yang dapat

(58)

3) Sepatu pengaman untuk pekerjaan yang berhubungan dengan listrik.

Sepatu ini terbuat dari karet anti elektronik, tahan terhadap tegangan

listrik sebesar 10.000 volt selama 3 menit.

4) Sepatu pengaman pada pekerjaan bangunan konsentrasi. Sepatu ini

terbuat dari bahan kulit yang dilengkapi dengan baja pada ujung

depannya.

g. Pakaian Pelindung

Digunakan untuk melindungi seluruh atau bagian tubuh dari percikan api,

suhu panas atau dingin, cairan bahan kimia. Pakaian pelindung dapat

berbentuk apron yang menutupi sebagian tubuh pemakainya yaitu mulai

daerah dada sampai lulut atau menutupi suluruh bagian tubuh. Apron

dapat terbuat dari kain dril, kulit, plastik polyethyline, karet, asbes atau kain yang dilapisi alumunium. Apron tidak boleh digunakan di

tempat-tempat kerja dimana terdapat mesin-mesin yang berputar.

h. Sabuk Pengaman Keselamatan

Digunakan untuk melindungi tubuh dari kemungkinan terjatuh dari

ketinggian, seperti pekerjaan mendaki, memanjat dan pada pekerjaan

kontruksi bangunan.

E.Masa Kerja

Masa kerja adalah jangka waktu seseorang sudah bekerja. Masa kerja

(59)

1. Masa kerja kategori baru : <3 tahun

2. Masa kerja kategori lama : ≥3 tahun

Pada setiap kelompok tertentu dari orang-orang yang dipekerjakan, dua pertiga

sampai tiga perempat bagian dari mereka yang keluar terjadi pada akhir tiga

tahun pertama masa bakti, lebih dari setengahnya sudah terjadi pada akhir

tahun pertama (Kemdikbud, 2008; Istijanto, 2010).

Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah terpajan

dengan bahan kimia. Kontak kulit dengan bahan kimia yang bersifat iritan atau

alergen secara terus menerus dengan durasi yang lama, akan menyebabkan

kerentanan pada pekerja mulai dari tahap ringan sampai tahap berat (Hudyono,

2002).

Masa kerja juga berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis. Hal ini

berhubungan dengan pengalaman kerja, sehingga pekerja yang lebih lama

bekerja jarang terkena dermatitis dibandigkan dengan pekerja yang masih

sedikit pengalamannya. Namun, pekerja yang telah lebih lama bekerja akan

meningkatkan risiko terkena dermatitis karena lebih banyak terpajan bahan

kimia (Budiyanto, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Erliana (2009), pada karyawan paving block Cv. F Lhoksumawe, menyatakan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja 6-9

tahun lebih banyak menderita dermatitis kontak akibat kerja, daripada pekerja

dengan masa kerja 1-5 tahun. Penelitian Suryani (2008), pada pekerja pencuci

(60)

banyak menderita dermatitis kontak akibat kerja, daripada yang masa kerjanya

≤ 1 tahun.

F.Cleaning Service

1. Definisi

Cleaning service adalah pekerjaan yang memiliki tugas untuk memelihara kebersihan dan memberikan pelayanan kebersihan di suatu tempat, kantor,

atau instansi. Hingga saat ini, hampir di setiap gedung dan tempat-tempat

umum memiliki petugas cleaning service. Hal ini dikarenakan saat ini kebersihan tempat atau fasilitas gedung merupakan hal yang perlu

diperhitungkan, karena lingkungan yang bersih dan sehat tidak hanya

menjadi prasyarat untuk lingkungan fungsional, melainkan juga merupakan

dasar untuk kesejahteraan dan produktivitas karyawan (Calmes & Markman,

2006).

2. Jenis Cleaning Service

Cleaning service memiliki beragam jenis dan spesialisasi di dalamnya. Berikut beragam jenis cleaning service menurut Morrow (2008):

a. Residential cleaning service

(61)

pembantu rumah tangga, yang bertugas untuk membersihkan rumah

(menyapu, mencuci baju, mengepel, membersihkan piring kotor).

b. Commercial cleaning service

Commercial cleaning service atau layanan pembersihan komersial adalah layanan cleaning service yang memiliki ruang lingkup di area gedung-gedung perkantoran, mall, tempat hiburan. Umumnya commercial cleaning service berupa perusahaan outsourcing bagian cleaning service, yang kemudian memperkerjakan karyawan cleaning service-nya di gedung-gedung perkantoran.

3. Sistem Kerja Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Petugas Cleaning service di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung merupakan jenis commercial cleaning service yang dipekerjakan

oleh PT. Arjuna Jaya Lestari. Jam kerja petugas cleaning service dimulai pukul 06.00 WIB sampai dengan 21.00 WIB. Terbagi menjadi 2 shift, yaitu:

a. Shift 1 (Pukul 06.00 WIB - 14.00 WIB)

b. Shit 2 (Pukul 14.00 WIB-21.00 WIB)

Petugas cleaning service di RSUD Dr. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung

memiliki beberapa tugas, antara lain:

1. Membersihkan setiap ruangan kantor, poliklinik, kamar pasien, kamar

(62)

2 Membersihkan seluruh taman dan halaman yang ada di area rumah sakit

(out side).

3 Mengangkut sampah non medis yang terdapat di area rumah sakit ke

Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah yang ada di area rumah

sakit, dan mengangkut sampah medis rumah sakit ke incenerator medis rumah sakit.

Untuk melaksanakan tugas-tugas di atas, maka setiap harinya dibentuk tim

yang terdiri atas 3 (tiga) tim, yaitu:

a. Tim pembersih ruangan, yang bertugas melaksanakan pembersihan pada

setiap ruangan yang ada di area rumah sakit.

b. Tim pembersih taman, yang bertugas membersihkan halaman dan

merapikan taman di area rumah sakit.

c. Tim pembersih lapangan, yang bertugas untuk membersihkan lapangan

parkir dan jalan yang ada di dalam area rumah sakit.

Terdapat alat pelindung diri yang disediakan oleh pihak perusahaan

outsourcing untuk petugas cleaning service, yaitu:

a. Tim pembersih ruangan disediakan masker dan sarung tangan.

b. Tim taman disediakan helm, masker, sepatu bot, dan sarung tangan.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori (Wolff et al, 2008; Sanja, 2009).
Gambar 2. Kerangka Konsep.
Gambar 3. Dermatitis Kontak Iritan Akut
Gambar 4. Dermatitis Kontak Iritan Kronis
+5

Referensi

Dokumen terkait

“Faktor Pelaporan, Sistem Pelaporan itu sendiri dilakukan berdasarkan apabila dana yang diminta setiap pos sudah diberikan lalu digunakan untuk tujuan

The concept of land waqf is muzara'ah , there is an agreement between the local governance (as the manager of land waqf) and farmers (as the workers) to cultivate

Kemauan berbagai individu yang terkait dengan sistem CG untuk taat asas dan taat hukum serta berpedoman pada etika bisnis di dalam melaksanakan aktivitasnya,

Keluaran Terlaksananya tudang sipulung 1 Kegiatan Hasil Meningkatnya kesejateraan petani 100%. Kelompok Sasaran Kegiatan : Aparatur

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penolakan vaksin, kompetensi komunikasi lintas budaya, serta hambatan dan tantangan dokter dalam menghadapi orangtua penolak

Skripsi dengan judul ”Jedor Sebagai Media Penyebaran Agama Islam Di Tulungagung” yang ditulis oleh Anita Widyasari, NIM. Rizqon Khamami, MA

T{ant}a&gt;wi&gt; melihat teks ayat ini, tidak seperti al-’Asma&gt;wi&gt; yang ‘meng abaikan’ penafsiran teks sebelum dan sesudahnya, sejatinya ter fokus ( mah all al-sha } &gt;

Yang dimaksud keadaan suatu kaum adalah bentuk lahiriah dari masyarakat, sedangkan apa yang terdapat dalam diri mereka adalah pandangan hidup dan kemauan atau tekadnya