• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEKUATAN PEMBUKTIAN (B E WIJS K R AC HT ) KETERANGAN PENYIDIK BERDASARKAN PENYADAPAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KEKUATAN PEMBUKTIAN (B E WIJS K R AC HT ) KETERANGAN PENYIDIK BERDASARKAN PENYADAPAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEKUATAN PEMBUKTIAN (BEWIJSKRACHT) KETERANGAN PENYIDIK BERDASARKAN PENYADAPAN

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

RAFLI PRAMUDYA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRACT

ANALYSIS OF THE EVIDENCE’S STRENGTH (BEWIJSKRACHT) OF

INVESTIGATOR’S TESTIMONY BASED ON WIRETAPPING IN

CORRUPTION CRIME

by

Rafli Pramudya

Corruption Eradication Commission (KPK) in order to attempt the eradication of corruption as referred to in Article 12 paragraph (1) letter a of Law 30 of 2002 on Corruption Eradication Commission granted some authority, one of them is tapping. The authority in practice actually causes some problems, one of them is when KPK investigators who tap are presented in the trial as a witness and give testimony based on wiretapping. Legal consideration by the judge in assessing the witness' testimony as valid evidence is important because, witness’s testimony in general is the most important evidence in criminal cases. The problems discussed in this paper is (1) how probative force investigator information by tapping (2) how probative force wiretaps in the process of proving in corruption court.

(3)

Based on the results of research conducted, that the strength of evidence in the investigation by tapping valuable information as valid evidence. investigator’s testimony as a witness , is free and is not perfect and does not specify or non-binding. Detachment judge in the sense that the judge is free to judge the perfection and the truth. In the next corruption cases, wiretaps worth as an evidence that the instructions as set out in the Criminal Procedure Code. Enforceability regulation No. 20 of 2001 on the Amendment of Act 31 of 1999 on Corruption Eradication governing wiretaps as evidence instructions embodies the principle of Lex Specialis derogat Lex Generalis which means that special laws override common law rules.

Based on research, the authors suggest that : (1) Assessment of witness’s testimony by the judge should be done very carefully considering the fact that not all witness’s statements to help the judge in making clear a crime, but not infrequently witness’s testimony presented by the judge actually misleading. (2) setting wiretaps as evidence in corruption cases should be fully utilized by all law enforcement agencies, particularly for judges. The information contained in the wiretap recordings are very effective in revealing the corruption on cases considering the conventional methods are no longer sufficient for uncovering corruption in the category of extraordinary crime.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk ... 13

B. Dasar Hukum Kewenangan Penyadapan oleh KPK ... 20

C. Macam-macam Alat Bukti 1. Alat Bukti berdasarkan KUHAP ... 23

2. Perkembangan Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi ... 25

3. Kekuatan Pembuktian terhadap Alat Bukti ... 26

D. Teori dan Sistem Pembuktian 1. Teori Pembuktian dalam Hukum Pidana ... 27

2. Sistem Pembuktian dalam KUHAP ... 30

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatakan Masalah ... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi ... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

(7)

XIV

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber ... 37 B. Kekuatan Pembuktian Keterangan Penyidik berdasarkan

Tindakan Penyadapan pada Sidang Tindak Pidana Korupsi ... 38 1. Kedudukan hukum keterangan saksi berdasarkan tindakan

Penyadapan ... 38 2. Implikasi Kedudukan Hukum Keterangan Saksi Berdasarkan Tindakan Penyadapan terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Hakim ... 45 C. Kekuatan Pembuktian Rekaman Penyadapan dalam Proses

Pembuktian pada Sidang Tindak Pidana Korupsi

1. Aspek Hukum Rekaman Penyadapan dalam Proses Pembuktian ... 47 a. Landasan Hukum Tindakan Penyadapan bagi Penyidik 47 b. Keberadaan Rekaman Penyadapan dalam Pengaturan

Hukum Pidana ... 50 2. Implikasi Kedudukan Hukum Rekaman Penyadapan Dalam

Putusan Hakim ... 52

V. PENUTUP

Simpulan ... 56 Saran ... 58

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

(9)

Status keterangan yang diberikan penyidik tersebut apakah masuk dalam apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP sehingga apa yang dikemukakan penyidik sebagai saksi dapat bernilai sebagai alat bukti setelah ia mengatakannya dalam persidangan dengan menyebut alasannya dan hasil rekaman penyadapan yang dihadirkan pada sidang pengadilan juga dapat bernilai sebagai alat bukti yang dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara.

Hal ini sangat penting mengingat dimana pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, sehingga keterangan saksi diluar apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti.1 Oleh karena hal tersebut maka apabila terjadi bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar.2 Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menilai berdasarkan undang-undang tentang keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah menjadi sangat penting dikarenakan, keterangan saksi pada umumnya merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.3

Contoh mengenai penilaian keterangan saksi dan rekaman penyadapan sebagai alat bukti dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung No.164 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 6 April 2010 dalam putusan tersebut majelis hakim tingkat peninjauan kembali Mahkamah Agung tidak menilai / mengesampingkan kebenaran terhadap keterangan penyidik KPK yang keterangannya didasarkan

1 M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, edisi kedua.Sinar Grafika. Jakarta. 2008 hlm 287

2 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. hlm.249 3

(10)

dari tindakan penyadapan sehingga dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara a quo, diantara pertimbangan hukumnya majelis hakim hanya menilai rekaman

penyadapan yang menerangkan terjadinya tindak pidana korupsi bukan keterangan saksi penyidik yang melakukan penyadapan.

Kondisi yang dihadapi oleh hakim yaitu harus menilai kedudukan saksi penyidik tersebut bahwa disatu sisi keterangan saksi penyidik memenuhi syarat formal dalam pemeriksaan saksi karena penyidik telah memberikan keterangannya dipersidangan dan keterangan tersebut mengandung informasi yang dapat menjelaskan telah terjadi peristiwa pidana namun disisi lain keterangan penyidik sebagai saksi tidak memenuhi syarat materil bahwa saksi adalah orang yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri tentang tindak pidana yang terjadi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.

Selanjutnya untuk rekaman sebagai hasil penyadapan yang merupakan bagian dari kewenangan penyidik dalam proses penyidikan, rekaman penyadapan yang dihadirkan pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi apakah termasuk dalam alat bukti yang sah sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP4 sehingga dapat menjadi dasar keyakinan bagi hakim dalam memutus perkara oleh karena dalam KUHAP tidak mengenal adanya rekaman sebagai alat bukti yang sah sehingga putusan yang dikeluarkan hakim telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP5.

4 Alat bukti yang sah adalah ; Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa 5

(11)

KUHAP sebagai pedoman dalam pelaksanaan hukum acara pidana menjadi acuan dasar dalam rangka penegakan hukum (Law enforcement) yang harus dijalankan demi kepastian hukum namun tetap memerhatikan segi penegakan hukum itu sendiri. Jaminan kepastian hukum terhadap proses pembuktian keterangan saksi dan kedudukan hasil rekaman sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi harus dijamin dalam prakteknya sehingga efek negatif dalam pelaksanaan hukum acara tidak terjadi. Terpenuhinya hal tersebut mengarah pada kebijakan prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum yang menjadi kebijakan dasar dalam penegakan hukum pidana dapat berjalan dengan baik.6

Berdasarkan uraian tersebut penting untuk mengetahui bagaimana status keterangan penyidik yang keterangannya berdasarkan penyadapan dan ketentuan mengenai alat bukti yang ada dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hukum khusus (lex specialis) tidak bertentangan dengan KUHAP sebagai hukum yang bersifat

umum (lex generalis). Kepastian hukum dari proses yang dilalui dalam keberadaan dan status keterangan yang didasarkan dari penyadapan serta kedudukan rekaman penyadapan dapat tercapai dan tujuan dari hukum acara pidana yang salah satunya menjelaskan bahwa untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, dapat terpenuhi. 7

6 Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 1995.

hlm.198

7 Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03

(12)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan suatu permasalahan yaitu:

a. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan penyidik berdasarkan penyadapan pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi

b. Bagaimana kekuatan pembuktian rekaman penyadapan dalam proses pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup bahasan penelitian meliputi bahasan dari sudut pandang doktrin ilmu hukum tentang pembuktian, peraturan perundang-undangan maupun aturan hukum lain yang berkaitan dengan pembuktian dan kewenangan penyadapan dalam tindak pidana korupsi.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui:

a. Kekuatan pembuktian keterangan penyidik berdasarkan penyadapan pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi

(13)

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperluas juga memperdalam ilmu hukum pidana dan memberikan kontribusi kajian pada hukum acara pidana khususnya mengenai pembuktian yang berasal dari tindakan penyadapan dan hasil rekamannya untuk mengetahui kedudukannya dalam hukum Indonesia.

b. Kegunaan Praktis

1. Mengetahui kekuatan pembuktian keterangan penyidik berdasarkan tindakan penyadapan dalam proses pembuktian pada perkara tindak pidana korupsi 2. Mengetahui kekuatan pembuktian tindakan rekaman penyadapan dalam

proses pembuktian perkara tindak pidana korupsi

3. Memberikan masukan terhadap pelaksanaan dalam mengoptimalkan praktek terhadap pembuktian pada rangkaian hukum acara pidana khususnya tindak pidana korupsi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.8

Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan

8

(14)

pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kekuatan pembuktian bebas, lex specialis derogat lex generalis, dan negatief wettelijk bewijstheorie.

Kekuatan pembuktian bebas, merupakan cara penilaian terhadap alat bukti apakah alat bukti tersbut dapat diketegorikan sebagai alat bukti yang sah. Kekuatan atas penilaian alat bukti saksi sebagai alat bukti yang sah yang pada alat bukti tersebut tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat didalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht).9

Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan sama sekali tidak mengikat hakim.10 Oleh karena tidak mengikat hakim maka hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya, tidak ada keharusan hakim untuk menerima kebenaran keterangan saksi.

Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu dan dapat menerima atau menyingkirkannya.11 Namun demikian, hakim dalam mempergunakan kebebasannya harus benar-benar bertanggungjawab, oleh karena batasan tersebut merupakan batasan kekuasaan kehakiman agar independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang. Kebebasan hakim menilai kebenaran dan keterangan saksi dalam satu kasus harus berpedoman pada

9

M.Yahya Harahap. Op.Cit. hlm 294

10 Ibid. hlm 295 11

(15)

kebenaran sejati dan pada perwujudan kebenaran sejati itulah tanggungjawab moral kebebasan penilaian diletakkan hakim.12

Lex specialis derogat lex generalis merupakan asas hukum yang bermakna bahwa

ketentuan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan ketentuan hukum yang bersifat umum. Ditambahkannya alat bukti rekaman yang terdapat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga menjadi salah satu alat bukti yang sah yang masuk dalam alat bukti petunjuk merupakan penerapan atas pengaturan mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana yang ditentukan KUHAP. Berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP bahwa dijelaskan mengenai alat bukti yang sah yaitu :

1. Keterangan Saksi 2. Keterangan Ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah, diluar ini tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Bahwa berdasarkan asas Lex specialis derogat lex generalis maka ketentuan mengenai rekaman dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang terdapat pada Pasal 26A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur khusus rekaman dalam tindak pidana korupsi dimasukkan sebagai alat bukti petunjuk.

12

(16)

Menurut Yahya Harahap, Negatief wettelijk bewijstheorie merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.13 Negatief wettelijk bewijstheorie mengajarkan bahwa, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan undang-undang.

Berdasarkan rumusan diatas maka menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata atau hanya didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim atau dengan kata lain tidak terjadi kesalahan yang tidak dapat dibenarkan yaitu menghukum seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang.

Kecermatan hakim dalam menilai alat-alat bukti yang diajukan pada persidangan sangat berkaitan dengan kekuatan pembuktian atas alat bukti yang diajukan karena akan berimplikasi pada penilaian hakim mengenai bobot alat-alat bukti, apakah diterima sebagai alat bukti sah, menguatkan keyakinan hakim atau bukan alat bukti yang sah.14 Kecermatan pada hakim yang memeriksa dan memutus

13

M.Yahya Harahap. Ibid hlm 278

14 Hari Sasangka dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian Perkara Pidana. Mandar Maju. Bandung. 2003. hlm.

(17)

perkara akan mengantarkan kepada putusan yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan oleh setiap orang.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti.15

Untuk memberikan kesatuan pemahaman terhadap judul skripsi ini, maka di bawah ini akan dibahas mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi.

a. Kekuatan pembuktian (bewijskracht) yaitu bobot alat-alat bukti, apakah

diterima sebagai alat bukti sah, menguatkan keyakinan hakim atau bukan alat bukti yang sah.16

b. Keterangan saksi, berdasarkan Pasal 1 angka 27 adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

c. Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 Ayat (1) Undang-undang No.30 Tahun 2002 d. Tindakan penyadapan adalah salah satu kewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) huruf a Undang-undang No.30 Tahun 2002.

15 Soerjono Soekanto. Op.Cit, hlm. 132 16

(18)

e. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang No. 46 Tahun 2009

E. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian ini disusun dalam 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, permasalahan penelitian dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dikemukakan tinjauan umum perihal saksi, dasar hukum kewenangan penyadapan oleh KPK, macam-macam alat bukti, dan sistem atau teori pembuktian.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas metode penelitian yang digunakan penulis dimulai dari jenis penelitian, pendekatan masalah, data, metode pengumpulan dan pengolahan data dan analaisis data.

IV. PEMBAHASAN

(19)

hukum tindakan penyadapan dan rekaman penyadapan dalam pembuktian di sidang pengadilan tindak pidana korupsi.

V. PENUTUP

(20)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk

1. Perihal Saksi

Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.1 Begitu pula dalam tindak pidana korupsi, apabila penyidik2 dianggap perlu untuk memberikan keterangan pada sidang di pengadilan maka penyidik harus memberikan keterangannya.

Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

a. Ketentuan Saksi yang mempunyai nilai dan kekuatan Pembukian

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau degree of evidence keterangan saksi, agar keterangan saksi mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian perlu dipenuhi ketentuan sebagai berikut :

1Mohammad Taufik Makaro dan Suhasril. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia.

Bogor. 2010. hlm. 107

2Penyidik dalam hal ini adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan

(21)

Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu keterangan yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.Selanjutnya berdasarkan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP keterangan saksi dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut dinyatakan dalam sidang pengadilan. Dari ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP tersebut dapat dipahami bahwa setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi , tidak dapat dijadikan dan bernilai sebagai alat bukti sehingga keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian oleh karena keterangan tersebut mengarah kepada testimonium de auditu dan sebatas pendapat atau rekaan.

1.a) Testimonium de auditu

Testimonium de auditu merupakan keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil

pendengaran dari orang lain.3 Keterangan saksi yang diperoleh bukan dari apa yang ia lihat, dengar, dan dialami sendiri hanya akan menimbulkan pendapat atau rekaan semata dan keterangan saksi semacam ini disidang pengadilan tidak dapat dinilai sebagai alat bukti sehingga hakim tidak bisa menjadikannya sebagai dasar pertimbangan untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang oleh karena keterangan tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti.

3

(22)

Setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti oleh karena hasil pemikiran tersebut merupakan rekaan dan bukan keterangan yang asalnya saksi lihat, dengar dan alami sendiri terhadap suatu peristiwa pidana.

2) Harus mengucapkan sumpah atau janji

Berdasarkan Pasal 160 Ayat (3) KUHAP sebelum saksi memberikan keterangan, wajib mengucapkan sumpah atau janji. Sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya. Pada prinsipnya sumpah atau janji diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan, akan tetapi Pasal 160 Ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah, dalam Pasal 161 KUHAP ditentukan bahwa terhadap saksi dapat dikenakan sandera yang dilakukan berdasarkan penetapan hakim ketua sidang dan penyanderaan dilakukan untuk paling lama selama empat belas hari.

3) Keterangan seorang saksi tidak cukup

(23)

bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Bahwa berdasarkan Pasal 185 Ayat (2) KUHAP keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau unus testis nullus testis, kesaksian semacam ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.

4) Keterangan saksi yang saling berhubungan

Keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian apabila keterangan para saksi tersebut saling berhubungan dan saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu sebagaiman yang ditentukan Pasal 185 Ayat (4) dengan kata lain bahwa saksi yang banyak tapi berdiri sendiri-sendiri, masing-masing mereka dikategorikan “saksi tunggal” yang tidak memiliki kekuatan pembuktian karena

keterangan saksi tunggal tidak memadai untuk membukikan kesalahan terdakwa.4 Ketentuan yang sudah terpenuhi selanjutnya akan dinilai oleh hakim dan direkonstruksikan kembali mengenai kebenaran keterangan saksi yang berdasarkan Pasal 185 Ayat (6) KUHAP hakim ditunut untuk memperhatikan :

1. Persesuaian antara keterangan saksi

2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain 3. Alasan saksi memberikan keterangan

Hakim harus mencari alasan saksi kenapa memberikan keterangan seperti itu, tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti, akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diberikan saksi.

4

(24)

b. Sifat Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi

Pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht).5

Sebagaiamana penjelasan sebelumnya, ada beberapa ketentuan pada keterangan saksi agar keterangan itu bersifat alat bukti yang sah, yaitu :

1). saksi harus mengucap sumpah atau janji bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya.

2). keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan menyebut secara jelas sumber pengetahuannya.

3). keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan. Pernyataan keterangan diluar sidang pengadilan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah.

Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, barulah keterangan itu mempunyai nilai sebagai alat bukti dan dengan sendirinya pula pada keterangan saksi tersebut melekat nilai kekuatan pembuktian.6

2. Perihal Petunjuk a. Pengertian

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

5 M.Yahya Harahap. Op.Cit. hlm 294 6

(25)

siapa pelakunya.

Menurut praktek pada kenyataannya rumusan Pasal ini sulit untuk dipahami secara menyeluruh, dikarenakan dari pengertian tersebut pada prakteknya banyak hakim dalam putusannya mengandung penilaian subjektif yang berlebihan.7

Yahya Harahap menyatakan bahwa akan lebih mudah untuk dipahami jika rumusan tersebut dituangkan dengan cara menambah beberapa kata kedalamnya menjadi:

Petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.8

Penafsiran secara berlebihan terhadap pengertian yang ditentukan dalam KUHAP tersebut namun tetap memiliki rambu bagi hakim dengan memperhatikan ketentuan yang dijelaskan pada Pasal 188 Ayat (3) yang menyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

b. Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk

Pasal 188 Ayat (2) KUHAP membatasi kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk, bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Sumber inilah yang secara limitatif dapat

7 M.Yahya Harahap. Op.Cit. hlm 312 8

(26)

bukti yang disebutkan itu saja hakim dapat mengolah alat bukti petunjuk dan dari ketiga alat bukti tersebut persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan.9

c. Urgensi Alat Bukti Petunjuk

Semua alat bukti pada prinsipnya sama nilai dan pentingnya, namun pada prakteknya tetap tergantung kepada peristiwa pidana yang bersangkutan.10 Apabila alat bukti keterangan saksi ataupun alat bukti lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka alat bukti petunjuk merupakan sarana yang efektif sehingga dapat memenuhi batas minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP. Mengingat sulitnya proses pembuktian dalam tindak pidana korupsi, maka keberadaan alat bukti petunjuk sangat dibutuhkan dalam rangka memperjelas dan membuat terang tentang suatu keadaan tertentu yang terkait dengan tindak pidana sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.

d. Sifat Kekuatan Pembuktian Petunjuk

Sifat kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat. Bahwa sifat kekuatan pembuktian terhadap alat bukti petunjuk mempunyai sifat pembuktian yang bebas, yaitu :

1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

9 M.Yahya Harahap. Ibid, hlm 315 10

(27)

terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain.11

B. Dasar Hukum Kewenangan Penyadapan oleh KPK

Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa KPK mempunyai tugas :

1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

5. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :

11

(28)

ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Lebih lanjut dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sebagaimana terdapat pada Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyadapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”

Kewenangan yang diberikan dalam Undang-undang KPK berkaitan dalam rangka tugas penegakan hukum, sehingga penyadapan yang dilakukan bukanlah suatu hal yang ilegal ataupun justru melanggar hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni :

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.

(29)

sedang ditransmisikan.

Pengecualian tersebut bersumber pada pertimbangan bahwa penyadapan yang dilakukan juga tetap melindungi hak pribadi seseorang. Perlindungan tersebut dijelaskan dalam Pasal 31 Ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 bahwa :

“Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang”.

Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah sudah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup. Walaupun KPK secara legalitas formal mempunyai wewenang melakukan penyadapan, tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang menggunakannya, namun harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan.12 Oleh karena itu pula dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada :

a. kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK

b. keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya

c. akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif

e. proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggungjawab dan kewajiban KPK.13

12

Sudiman Sidabukke. Tinjauan Kewenangan Penyadapan oleh KPK dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Makalah Penyadapan KPK. Jakarta. 2010

13

(30)

Dalam kasus korupsi, penyadapan sangat diperlukan untuk mendapatkan bukti oleh karena sulitnya mendapatkan bukti dalam perkara ini sehingga cara konvensional dianggap sudah tidak lagi efektif digunakan. Poin penting pada kewenangan penyadapan yang dimiliki oleh KPK bahwa dalam penyadapan, terdapat sesuatu hal yang diambil, yaitu informasi.

Sesuai dengan prinsip information is power dalam masyarakat, maka informasi yang disadap juga dapat sangat penting bagi yang bersangkutan, dan boleh jadi mempunyai nilai yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan uang atau barang lainnya.14

C.Macam-macam Alat Bukti

1. Alat Bukti berdasarkan KUHAP

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.15

Darwan prinst mengemukakan definisi alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.16

Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP adalah :

14 Chairul Huda (dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No 012-016-019/PUU-IV/2006, pendapat

sebagai ahli pada uji materi UU KPK tahun 2006)

15 Hari Sasangka dan Lily Rosita. Op.Cit. hlm.11 16

(31)

a. Keterangan Saksi

Menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

b. Keterangan Ahli

Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

c. Surat

Menurut Pasal 187 KUHAP, surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

1. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

2. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

(32)

pembuktian yang lain.

d. Petunjuk

Pasal 188 Ayat (1) KUHAP menjelaskan petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya

e. Keterangan Terdakwa

Menurut Pasal 189 Ayat (1) KUHAP, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri

2. Perkembangan Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi

(33)

perforasi yang memiliki makna.

3. Kekuatan Pembuktian terhadap alat bukti

Alat bukti menjadi sarana dalam upaya hakim untuk melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa hukum yang diajukan kepada hakim di depan persidangan. Oleh karena itu hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana tidak terlepas dari alat bukti. Pada tahap tersebut, maka berkaitan erat dengan asas hukum pembuktian.17

Adapun hukum pembuktian (law of evidence) dalam perkara pidana, meliputi : a. Alat-alat pembuktian (bewijsmiddelen);

adalah alat yang ditentukan UU secara limitatif, digunakan hakim untuk menggambarkan kembali peristiwa pidana yang telah terjadi lampau dan bersifat mengikat secara hukum. Jenis-jenis alat bukti dalam perkara pidana telah ditetapkan secara limitatif dalam UU.

b. Penguraian pembuktian (bewijsvoering);

yaitu cara-cara dan prosesdur menggunakan alat bukti c. Kekuatan Pembuktian (bewijskracht);

yaitu bobot alat-alat bukti, apakah diterima sebagai alat bukti sah, menguatkan keyakinan hakim atau bukan alat bukti yang sah;

d. Dasar Pembuktian (bewijsgrond);

Merupakan alasan dan keadaan dalam menentukan penggunaan alat bukti e. Beban Pembuktian (bewijslast) ;

pihak yang diwajibkan untuk membuktikan dugaan adanya peristiwa pidana, yaitu jaksa penuntut umum

f. Objek pembuktian

yaitu ikhwal yang dibuktikan surat dakwaan penuntut umum, kecuali segala hal yang secara umum telah diketahui (Facta Notoir).18

17 J. Pajar Widodo. Op.Cit hlm 34 18

(34)

memutus perkara yang sedang diperiksa untuk menghasilkan putusan pemidanaan yang berkepastian hukum dan berkeadilan.

D. Teori Pembuktian

1. Teori Pembuktian dalam Hukum Pidana

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.19 Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembuktian merupakan proses membuktikan sesuatu hal yang didalamnya berisi ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.20 Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Secara teoritis dikenal 4 (empat) macam teori pembuktian, yaitu :

a. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positive wettelijk Bewijstheorie) 21

Teori pembuktian undang secara positif hanya berdasarkan pada undang-undang. Sarana untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah.22 Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie) yang menurut D. Simons berusaha

19 M.Yahya Harahap. Op.Cit. hlm 273 20

Mahrus Ali. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. UII Press. Yogyakarta. 2011. hlm 68

21 Andi Hamzah. Op.Cit. hlm 251 22

(35)

scara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.23

b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction in time)

Berdasarkan teori keyakinan hakim, dalam menjatuhkan pidana semata-mata atas keyakinan pribadi hakim dan oleh karena itu dalam amar putusan tidak perlu menyebutkan alasan-alasannya.24 Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Dikatakan demikian karena hakim dapat saja menjatukan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini, sehingga terhadap alat-alat bukti yang dihadirkan tidak menjadi dasar bagi hakim dalam memberikan putusan pemidanaan.25

c. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee)

Teori laconviction raisonnee, mengajarkan bahwa hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berdasarkan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.26

23 Andi Hamzah. Op.Cit

24

Darwan Prinst. Pemberantasan Tindak pidana korupsi. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002 hlm.114

25 Mohammad Taufik Makaro dan Suhasril. Op.Cit. hlm.103 26

(36)

dengan alasan-alasan yang jelas.27 Sistem pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas, karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie), dan alasan itu harus mempunyai dasar alasan yang logis yang dapat diterima akal.28

d. Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie)

Negatief wettelijk bewijstheorie mengajarkan bahwa pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag) yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, bahwa menurut undang-undang keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.29 Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitnya ada 2 (dua) alat bukti yang telah ditentukan undang-undang dan ditambah keyakinan hakim yang diperoleh hakim dari alat bukti tersebut.30

Begitupun dengan ketentuan yang ada pada Pasal 294 ayat (1) HIR menentukan bahwa :

“ Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat

keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu”.

27 M.Yahya Harahap. Op.Cit.

28 Ibid

29 Andi Hamzah. Op.Cit. hlm 252 30

(37)

memidana tiadalah lain daripada pengakuan kepada kekuatan pembuktian yang sah (yang disebut undang-undang).31

Perbedaannya dengan laconviction raisonnee ialah berpangkal tolak pada keyakinan hakim, bahwa dalam laconviction raisonnee keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusive) yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, sedangkan yang negatief wettelijk bewijstheorie berpangkal pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara

limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

2. Sistem Pembuktian dalam KUHAP

Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP dapat dilihat dari Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Bahwa berdasarkan rumusan Pasal 183 KUHAP tersebut mengenai sistem pembuktian mengatur bagaimana untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:

1. kesalahannya dibuktikan sekurangnya dua alat bukti yang sah

2. setelah terpenuhi kesalahannya dengan sekurangnya dua alat bukti yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya.

31

(38)

penjelasannya merupakan sistem yang paling tepat bagi Indonesia demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Bahwa seperti yang tercantum dalam Pasal 183 KUHAP dapat diketahui sistem pembuktian yang dianut adalah negatief wettelijk stelsel, karena terpadu kesatuan penggabungan antara sistem positief

wettelijk stelsel dan conviction-in time32 yang masing-masing dari sistem tersebut

menentukan adanya minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

32

(39)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan hal yang ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian.1 Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya..

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif atau penelitian kepustakaan (library research). Mengenai penelitian semacam ini lazimnya juga disebut “Legal Research” atau “Legal Research Instruction”.2 Penelitian hukum semacam ini tidak mengenal penelitian lapangan (field research) karena yang diteliti adalah bahan-data sehingga dapat dikatakan sebagai library based, focusing on reading and analysis of the primary and secondary materials.3

A. Pendekatakan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.4 Konsep tersebut menjelaskan bahwa yang dikehendaki adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan menghendaki makna yang berada di balik data.

1

Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. hlm 57.

2

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat. Rajawali Pers.Jakarta. 2006. hlm.23

3

Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing. Malang. 2006. hlm.46

4

(40)

normatif (yuridis normatif), maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan doktrin ilmu hukum dan perundang-undangan (Statute Approach).5

Pendekatan undangan dilakukan untuk meneliti aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keterangan saksi dan tindakan penyadapan serta rekamannya pada tindak pidana korupsi apakah bernilai sebagai alat bukti, sehingga nantinya akan ditemukan sebuah titik temu yang akan membantu dalam proses analisis.

B.Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka yang meliputi perundang-undangan, yurisprudensi dan buku literatur hukum tertulis lainnya. Di samping studi pustaka, juga studi dokumen yang meliputi dokumen hukum yang tidak dipublikasikan melalui perpustakaan umum.6

Data sekunder dibedakan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.7 Dalam penelitian ini penulis memperoleh data yang diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer (primary law material) merupakan data yang bersifat

mengikat berupa perundang-undangan yang terdiri dari :

1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76) tentang Hukum Acara Pidana.

5

Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 113

6Ibid, hlm. 151 7

(41)

Tahun 1999 Nomor 140) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134) tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155) tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

6. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157) tentang Kekuasaan Kehakiman

7. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 ) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berupa literatur-literatur yang berkaitannya dengan permasalahan yang ditulis oleh peneliti.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer yang lebih dikenal dengan nama acuan bidang hukum, misalnya jurnal hukum, kamus hukum dan majalah hukum dan bahan-bahan diluar bidang hukum, seperti majalah dan pencarian data melalui internet.

(42)

karakteristik yang sama. Sehubungan dengan penelitian pada skripsi ini, maka yang dijadikan populasi adalah Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Lampung, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Sedangkan sample adalah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Sesuai dengan metode pengambilan sample dan populasi yang akan diteliti diatas adalah propotional purposive sampling, oleh karena itu sampel dalam membahas skripsi ini meliputi :

a. Hakim Ad Hoc Tipikor

Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang b. Hakim Ad Hoc Tipikor

Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 Orang c. Dosen Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 Orang

Jumlah : 3 Orang

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan (documentary study)8 dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mencatat, memahami dan mengutip data-data yang diperoleh dari beberapa literatur berupa buku-buku, peraturan hukum, yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Pengolahan Data

8

(43)

langkah-langkah sebagai berikut : a. Seleksi Data

Seleksi data yaitu memilih data yang sesuai dengan objek yang akan dibahas dalam penelitian.

b. Klasifikasi Data

Klasifikasi data yaitu pengelompokan data menjadi pokok bahasan sehingga sesuai dengan tujuan agar mudah menganalisis data yang akan ditentukan.

c. Sistematisasi Data

Yaitu data yang telah diklasifikasi kemudian ditempatkan dengan sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis

E.Analisis Data

(44)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dan telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil simpulan yaitu:

1. Kekuatan pembuktian keterangan penyidik berdasarkan penyadapan bernilai sebagai alat bukti yang sah. Keterangan penyidik sebagai saksi, bersifat bebas dan tidak sempurna atau tidak mengikat. Bahwa dengan sifat kekuatan pembuktian bebas pada alat bukti keterangan saksi yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan tidak menentukan, maka terhadapnya sama sekali tidak mengikat hakim. Ketidakterikatan hakim dalam arti bahwa hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya.

2. Rekaman penyadapan dalam perkara tindak pidana korupsi masuk dalam alat bukti petunjuk seperti yang diatur dalam KUHAP. Dasar hukum mengenai kedudukan rekaman penyadapan sebagai alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 26A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan :

(45)

atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

(46)

Berdasarkan simpulan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dalam kesempatan ini disarankan sebagai berikut :

1. Penilaian keterangan saksi oleh hakim hendaknya dilakukan dengan sangat teliti mengingat pada kenyataannya tidak semua keterangan saksi membantu hakim dalam membuat jelas suatu tindak pidana namun tidak jarang keterangan saksi yang dihadirkan justru menyesatkan hakim. Ketelitian dalam penilaian keterangan saksi tersebut dalam rangka menggunakan kebebasan yang dimiliki hakim sehingga pada akhirnya penilaian tentang kebenaran keterangan saksi dan terhadap alat bukti lain dapat dilakukan dengan optimal mengarah kepada putusan hakim yang berkeadilan dan berkepastian hukum. 2. Keberadaan rekaman penyadapan sebagai alat bukti pada tindak pidana

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Ali, Mahrus. 2011. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. UII Press. Yogyakarta. Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum

Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua. Sinar Grafika. Jakarta.

Harahap, M.Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, edisi kedua. Sinar Grafika. Jakarta.

Hariyadi, Slamet. 2013. Moral, Hukum dan Keadilan Ditengah Pusaran Korupsi. Indepth Publishing. Bandar Lampung

Ibrahim, Jhonny. 2006. Teori dan Metodologi Pelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing. Malang

Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Makaro, Mohammad Taufik dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia. Bogor

Muladi.1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Prinst, Darwan. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Djambatan. Jakarta --- 2002. Pemberantasan Tindak pidana korupsi. Citra Aditya Bakti.

Bandung

Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta.

Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Mandar Maju, Bandung

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum Universitas Indonesia. UI Press. Jakarta.

(48)

Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika. Jakarta

Widodo, J.Pajar. 2013. Menjadi Hakim Progresif. Indepth Publishing. Bandar Lampung.

Putusan

Mahkamah Agung No. 164 PK/ Pid.Sus/ 2009 tanggal 06 April 2010 Mahkamah Agung No.147 K/ Pid.Sus/ 2009 tanggal 20 Februari 2009

Pengadilan Tinggi Jakarta No.10/ PID/ TPK/ 2008/ PT.DKI tanggal 4 November 2008

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.07/ PID.B/ TPK/ 2008/ PN.JKT.PST tanggal 29 Juli 2008

Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 uji materi Pasal 6 huruf c dan Pasal 12 Ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 65/PUU-VIII/2010 uji materi Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Makalah

Sidabukke, Sudiman. 2010. Tinjauan Kewenangan Penyadapan oleh KPK dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jakarta

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

(49)

Subjek bernama Ahmad Baharudin Naim Pekerjaan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang sejak tahun 2011. Sebelum menjadi hakim, narasumber merupakan dosen pengajar selama 20 tahun pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Wawancara dilakukan di kediaman Jl. Panglima Polim Gang Randu, Bandar Lampung pada tanggal 31 Agustus 2013.

Baris ke

Uraian Wawancara Penjelasan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36

Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi ?

Mohon dijelaskan mengenai penyidik yang menjadi saksi dalam persidangan ?

Dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi berdasarkan pada KUHAP, UU. No. 31 tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan UU. No. 20 tahun 2001 dan UU. No. 46 tahun 2009.

Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kekhususan hukum acara dalam perkara tindak pidana korupsi antara lain mengatur:

a. penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

b.mengenai komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan baik pada tingkat pertama, banding maupun kasasi;

c. jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan;

d. alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e. adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

ketika penyidik dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan, penyidik yang dihadirkan harus dibedakan antara penyidik yang melakukan penyadapan dan penyidik yang melakukan pemberkasan.

(50)

40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82

Yang dikatakan saksi fakta dalam hal ini adalah saksi yang mengetahui langsung atau mendengar langsung terhadap peristiwa pidana. Pengetahuannya terhadap adanya peristiwa pidana tersebut berdasarkan dari apa yang ia alami.

Kualifikasi saksi, adanya saksi fakta (penyidik yang meakukan penyadapan) dan penyidik yang melakukan pemberkasan. Penghadiran penyidik yang melakukan pemberkasan sepanjang keterangan yang dibuat itu tidak dibantah oleh saksi tidak ada kepentingan bagi hakim untuk menghadirkannya, kecuali jika keterangan yang diberikan saksi dicabut/diubah, maka penyidik akan dihadirkan untuk mengkonfrontasi perihal keterangan yang dicabut tersebut. Hal demikian yang disebut dengan verbal lisan (saksi verbal) dalam hal ini penyidik tersebut hanya mengetahui “fakta pada saat pembuatan berkas perkara”, bukan “fakta terjadinya tindak pidana”.

Harus diperhatikan juga urgensi dari menghadirkan saksi penyidik. Penghadiran penyidik sebagai saksi dalam persidangan biasanya bertujuan untuk meng-compare / membandingkan dalam hal mengetahui suasana kebatinan penyadapan dilakukan, dalam arti bahwa siapa saja yang melakukan penyadapan, kapan dilakukannya penyadapan, alat apa yang dipakai, serta dalam kondisi apa dilakukan penyadapan. Hal yang lebih urgen dari menghadirkan penyidik sebagai saksi pada persidangan bagi hakim adalah mengetahui dasar hukum penyidik melakukan penyadapan. Hal ini terkait dengan ada indikasi apa dilakukannya penyadapan, atas perintah siapa ia melakukan penyadapan, dan maksud dilakukannya penyadapan. Karena hasil penyadapan diperdengarkan dalam persidangan maka kehadiran penyidik akan menguatkan dan mendukung informasi apa yang terdapat dalam rekaman hasil penyadapan.

(51)

86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127

Mohon dijelaskan tentang “hakim tidak terikat dengan alat bukti keterangan saksi “ ?

Terhadap alat bukti yang dinilai akan sampai pada suatu konklusi terbukti atau tidak terbukti, yang pada akhirnya Tujuan pembuktian adalah untuk menarik kesimpulan bahwa terdakwa bersalah atau tidak.

Hal yang juga harus diingat bahwa, terhadap alat bukti keterangan saksi, hakim tidak terikat untuk menilai kebenarannya.

Dalam persidangan, kadang kala hakim dibatasi waktu dan juga kemampuan hakim unutk membuat pertanyaan. Pertanyaan yang dibuat oleh hakim harus mengarah pada unsur tindak pidana korupsi. Harus dibedakan antara fakta (persidangan) dan fakta hukum. Tidak semua fakta (persidangan) adalah fakta hukum, namun fakta hukum pasti merupakan fakta (persidangan), terkadang oleh saksi yang hadir ia memberikan keterangan yang tidak relevan dengan perkara yang sedang diperiksa. Kadang kala juga keterangan saksi satu sama lain bertolak belakang. Menghadapai kondisi ini ada 2 sikap yang diambil.

1. Antar keterangan saksi akan dikonfrontir, dengan tujuan untuk mengetahui kebenaran keterangan saksi.

2. Hakim tidak mengkonfrontir, dan hanya meyakini salah satu keterangan saksi. Oleh karena itu idealnya hakim juga harus mengetahui kualitas saksi, akan lebih baik lagi jika hakim turun ke lapangan untuk mengetahui secara langsung mengenai kualitas saksi. Selain itu juga hakim harus melihat kondisi psikologi saksi dengan maksud mengetahui kebenaran keterangan yang diberikan sehingga hakim tahu mana keterangan yang mengarah pada unsur tindak pidana dan mana eterangan yang menyesatkan dan menjerumuskan terhadap perkara yang sedang diperiksa.

(52)

131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160

bagaimna penilaian terhadap rekaman hasil penyadapan sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi ?

UU No.20 tahun 2001. Adapun yang dijelaskan disana adalah :

1. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Tentang penyadapan, selain dalam UU Tindak Pidana Korupsi juga diatur dalam UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU tersebut lebih ditegaskan bahwa rekaman penyadapan dikategorikan dalam alat bukti petunjuk.

Alat bukti petunjuk, tidak bisa berdiri sendiri. Dalam hal ini mengenai hasil rekaman penyadapan, ia didukung oleh alat bukti lain seperti keterangan saksi, keterangan ahli, maupun surat yang dapat menjelaskan ataupun melengkapi dari informasi yang terkandung dalam rekaman tersebut.

[image:52.595.99.530.81.637.2]
(53)

Subjek bernama Slamet Hariyadi Pekerjaan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang sejak tahun 2011. Saat ini selain sebagai hakim, narasumber juga aktif sebagai dosen pengajar Hukum. Wawancara dilakukan di ruang kerja narasumber kantor Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 3 September 2013.

Baris ke

Uraian Wawancara Penjelasan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36

Penelitian ini berhubungan dengan keterangan penyidik sebagai saksi yang alasan keterangannya berdasarkan

penyadapan dan perihal rekaman penyadapan dalam tindak pidana korupsi. Mohon dijelaskan dalam kasus yang pernah terjadi selama ini ?

Apakah keterangan penyidik berdasarkan penyadapan, dapat dikatakan masuk sebagai rumusan saksi yang dimaksud dalam KUHAP ?

Untuk memahaminya, kita harus pisahkan dulu antara ;

1. Penyidik sebagai orang yang berfungsi untuk melakukan/ meyusun BAP terdakwa

2. Adanya bukti atau dokumen yang diperoleh dari alat elektornik.

Keterangan penyidik tanpa didukung oleh bukti, maka akan menjadi lemah keterangannya. Lain hal apabila keterangan tersebut diperkuat oleh bukti lain yang berhubungan dgn keterangan tersebut.

Sebenarnya tidak harus penyidik, warga masyarakat pun bisa, apabila dia punya informasi tentang hal tersebut untk selanjutnya kemudian di uji kebenarannya dalam persidangan.

Bahwa sering jg yang terjadi adalah cara pandang hukum yg bersifat legalistik yang kemudian memunculkan perbedaan penafsiran suatu peraturan. Tidak hanya sudut pandang hakim, tapi juga sudut pandang semua penegak hukum, baik itu Polisi, Penunutut umum, maupun Penasehat Hukum.

Selama itu masih bisa di nilai oleh hakim ditambah

dengan keyakinannya dan dapat

(54)

40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82

Apa yang menjadi alasan utama menghadirkan Penyidikdan rekaman penyadapan dalam persidangan ? Bagaimana kedudukan rekaman penyadapan apabila keterangan saksi yang mengikuti itu justru dikesampingkan ?

Dalam hal terdapat pertentangan batin ketika hakim memeriksa suatu kasus, apakah yang paling menjadi hal utama kaitannya dengan tugas seorang hakim ?

Sebenarnya, sifat menghadirkan penyidik adalah untuk meng- confirm saja. Tujuan utam

Gambar

gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi Singkat tentang motivasi dan action plan Short Term Training Bagi Dosen Bidang Kesehatan..

[r]

Rancangan aplikasi web ini diharapkan akan lebih memperluas informasi dan mengenalkan website toko busana muslim melalui media komputer secara interaktif, sehingga memberikan

[r]

Pada website ini anggota klub motor ataupun pengguna lainnya dapat mencari informasi seputar klub motor dari seputar kegiatan, struktur organisasi sampai tips tentang sepeda

Hasil penelitian didapatkan ada perbedaan kesehatan psikologis penderita Tb paru yang menjalani pengobatan fase awal dan fase lanjutan (p=0,036) dan tidak terdapat

Pada siklus I ini hanya 34 peserta didik yang menjadi responden dari 35 peserta didik, dikarenakan satu siswa sedang sakit pada saat tes siklus dilaksanakan. terdiri dari

Komputer generasi kedua menggantikan bahasa mesin dengan bahasa assembly. Bahasa assembly adalah bahasa yang menggunakan singkatansingkatan untuk menggantikan kode biner. Pada