• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI

LIMBAH KULIT PISANG KEPOK

(

Musa balbisiana

ABB)

SKRIPSI

VITA FITRIA

NIM. 109102000069

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI

LIMBAH KULIT PISANG KEPOK

(

Musa balbisiana

ABB)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

VITA FITRIA

NIM. 109102000069

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

Nama : Vita Fitria Program Studi : Farmasi

Judul : Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)

Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik. Senyawa pektin banyak digunakan dalam industri farmasi, makanan dan minuman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH keasaman dan suhu ekstraksi. Penelitian ini dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut asam laktat kemudian ditambahkan aseton ke dalam filtrat untuk mengendapkan pektin dan proses terakhir dilakukan pengeringan untuk mendapatkan pektin kering. Variasi keasaman pelarut adalah pH 1, 1,5 dan 2, suhu ekstraksi 80℃ dan 90℃ serta lama ekstraksi 80 menit. Pektin yang dihasilkan ditentukan karakteristiknya meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat dan derajat esterifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen pektin (5,02%-10,78%), rendemen tertinggi didapat pada pH 1,5 dan suhu 90℃. Kadar air berkisar antara 10,54%-11,96%, kadar air terendah didapat pada pH 2 dan suhu 80℃. Kadar abu berkisar antara 4,25%-8,05%, kadar abu terendah didapat pada pH 1,5 dan suhu 90℃. Berat ekivalen berkisar antara 4094,4-9534,71, berat ekivalen tertinggi didapat pada ekstraksi pH 2. Pektin termasuk dalam pektin metoksil rendah, dengan kadar metoksil antara 1,01%-2,70%. Kadar asam galakturonat berkisar antara 32,74%-78,60%. Derajat esterifikasi berkisar antara 17,13%-20,78%. Spektroskopi FTIR digunakan untuk membandingkan spektrum dari pektin sampel, komersial dan standard dan hasilnya menunjukkan kemiripan masing-masing serapan gugus fungsi.

(7)

Name : Vita Fitria Program Study : Pharmacy

Title : Characterization of Pectin Extracted from Banana Peels (Musa balbisiana ABB)

Pectin are polymer of D-galacturonic acids connected by α-1,4 glucosidic. Pectin are widely used in pharmaceutical, food dan beverage industries. This reaserch was aimed to investigate the characteristics of pectin extracted from banana peels (Musa balbisiana ABB) using lactic acid solvent with pH variation of acidity and temperature of extraction. The research used an extraction method by using lactic acid solvent in additional to acetone to form the sediment of pectin and the last step was drying in order to get dry pectin. Variation of solvent acidity was pH 1; 1,5 and 2, extraction temperature of 80℃, 90℃ and extraction time of 80 minute. Pectin determined characteristics include yield, water content, ash content, equivalent weight, methoxyl content, galacturonic acid content and degrees of esterification.

The results showed that the pectin yield (5.02%-10.78%), the highest yield obtained at pH 1.5 and temperature of 90℃. Water content ranged from 10.54%-11.96%, the lowest water content obtained at pH 2 and temperature of 80 ℃. Ash content ranged from 4.25%-8.05%, the lowest ash content obtained at pH 1.5 and temperature of 90℃. Equivalent weight ranged from 4094.47-9534.71, the highest equivalent weight obtained at pH 2. Pectin was included in the low methoxyl pectin, with a methoxyl content between 1.01%-2.70%. Galacturonic acid content ranged from 32.74%-78.60%. Degree of esterification ranged from 17.13%-20.78%. FTIR Spectroscopy was used to compare the spectrum of the sample, commercial and standard pectin and the result showed the similarity of each absorption functional groups.

(8)

Segala puji penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat kasih sayang, kenikmatan, dan kemudahan yang begitu

besar. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan baginda

Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk dan suri tauladan bagi umat

manusia, semoga kelak kita semua mendapat syafaat beliau.

Skripsi dengan judul: “Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah

Kulit Pisang Kepok (Musa balbisianaABB)” ini disusun untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Program studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam

kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya pada pihak yang membantu dan memberikan bimbingan dalam

penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis sampaikan

kepada:

1. Bapak Sukardi dan Ibu Saniyem, kedua orang tua tercinta yang tiada

henti-hentinya mendoakan di setiap waktunya, memberikan kasih sayang,

motivasi, semangat dan nasihat, tanpa Bapak dan Ibu penulis tidaklah

memiliki arti apa-apa. Adik tersayang Ade Rifky Amalia yang selalu

memberikan dukungan, semangat dan keceriaan, serta untuk kelurga

besar yang tak pernah lupa memberikan doa dan semangat.

2. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Diknas Sumatera Selatan serta

jajaran pengurus program Santri Jadi Dokter, selaku pemberi beasiswa

sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ofa Suzanti Betha M.Si, Apt, selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak

(9)

4. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt, selaku kepala prodi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak dan ibu staff pengajar dan karyawan yang telah memberikan

bantuan dan bimbingan kepada penulis selama menempuh pendidikan di

Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Rekan-rekan Santri Jadi Dokter (SJD-Sumsel), teman-teman Farmasi

2009 yang selalu memberikan dukungan, semangat perjuangan serta

pengalaman kebersamaan yang tak ternilai. Untuk Tika, Kiki, Rani,

Nurul, Maharani, dkk terima kasih atas segala semangat, dukungan,

keceriaan dan kebersamaan yang tak terlupakan, sukses untuk kita

semua. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan

dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberi sumbangan

pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagi pembaca

pada umumnya yang mempergunakannya terutama untuk proses kemajuan

pendidikan.

Jakarta, 12 September 2013

(10)
(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin ... 5

2.1.2 Jenis Pektin ... 7

2.2.6 Derajat Esterifikasi ... 16

2.2.7 Kekuatan Gel ... 17

2.2.8 Bilangan Asetil ... 17

2.3Pisang Kepok (Musa balbisiana) ... 18

2.3.1Uraian Umum Pisang ... 18

2.3.2Klasifikasi Pisang Kepok (Musa balbisiana) ... 19

2.3.3Kandungan Kimia Kulit Pisang ... 20

2.4Asam Laktat ... 21

(12)

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 24

3.5.2Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi ... 27

3.5.3Perbandingan Spektrum FTIR ... 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1Bahan Baku ... 30

4.1.1 Penentuan Bahan Baku ... 30

4.1.2Determinasi Tanaman Bahan Baku ... 30

4.1.3Persiapan Bahan Baku... 31

4.2Ekstraksi Pektin ... 32

4.3Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ... 34

4.4Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi... 36

4.4.1Rendemen ... 37

4.4.7Derajat Esterifikasi ... 48

4.5Perbandingan Spektrum FTIR ... 49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1Kesimpulan ... 53

5.2Saran ... 53

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur Dinding Sel Tanaman ... 5

Gambar 2.2. Struktur Pektin ... 7

Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi ... 8

Gambar 2.4. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah ... 8

Gambar 2.5. Pisang Kepok ... 20

Gambar 3.1. Alur Penelitian ... 24

Gambar 4.1. Persentase Rendemen ... 38

Gambar 4.2. Kadar Air ... 40

Gambar 4.3. Kadar Abu ... 41

Gambar 4.4. Berat Ekivalen ... 43

Gambar 4.5. Kadar Metoksil ... 45

Gambar 4.6. Kadar Asam Galakturonat ... 47

Gambar 4.7. Derajat Esterifikasi ... 49

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin ... 14

Tabel 2.2. Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope ... 14

Tabel 4.1. Bahan Baku ... 31

Tabel 4.2. Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ... 34

Tabel 4.3. Hasil Karakterisasi Pektin ... 36

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan ... 59

Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang ... 60

Lampiran 3. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi ... 61

Lampiran 4. Hasil Spektrum FTIR ... 70

(16)

1.1 Latar Belakang

Komoditas pisang di Indonesia menduduki tempat pertama di antara jenis

buah-buahan lainnya, baik dari segi luas pertanamannya maupun dari segi

produksinya. Pada tahun 2010, produksi pisang di Indonesia mencapai 5,8 juta

ton atau sekitar 30% dari produksi buah nasional (Kuntarsih, 2012).

Sentra produksi pisang di Indonesia adalah, NAD (Pidie, Aceh Besar),

Sumatera Utara (Deli Serdang, Serdang Begadai), Sumatera Barat (Pasaman

Barat), Lampung (Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Barat), Jawa

Barat (Cianjur, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, Garut), Jawa

Tengah (Kendal, Purbalingga, Banyumas, Cilacap), Jawa Timur (Lumajang,

Malang), NTT (Ngada, Nagageo, Ende, Sikka), Kalimantan Selatan (Tapin,

Banjar), Kalimantan Timur (Kutai Timur, Kutai Kertanegara) (Departemen

Pertanian, 2012).

Buah pisang sangat digemari untuk dikonsumsi baik secara langsung sebagai

buah segar ataupun sebagai produk olahan. Saat ini kulit pisang digunakan untuk

pakan ternak atau hanya dibuang sebagai limbah rumahan atau industri.

Pemanfaatan kulit pisang tersebut kurang optimal, padahal kulit pisang

mengandung komponen yang bermanfaat bagi manusia.

Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Industri,

tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula

pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, lemak kasar, serat kasar, dan abu.

Senyawa pektin cukup besar terkandung di dalam kulit pisang (Satria dan Ahda,

2009).

Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar tanaman

pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan

komponen utama dari lamela tengah pada tanaman, pektin juga berperan sebagai

(17)

glikosidik α(1-4). Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin mengalami

esterifikasi dengan metil (metilasi) menjadi gugus metoksil (Akhmalludin dan

Kurniawan 2009).

Pektin dapat dimanfaatkan dalam beberapa bidang industri, misalnya pada

industri pangan dan industri farmasi. Dalam industri pangan, pektin berperan

sebagai bahan pokok pembuatan jeli, selai, dan marmalade (Herbstreith dan Fox,

2005). Pektin dalam industri farmasi sebagai agen pembentuk gel, pengental,

penstabil dan pengemulsi (Commite on Food Chemical Codex, 1996). Pektin juga

dapat digunakan sebagai bahan terapi diare, sembelit, dan obesitas (Rowe, et al.,

2006).

Hingga tahun 2012, pektin yang digunakan di industri-industri Indonesia

merupakan barang impor. Data terakhir pada Januari sampai November 2012

jumlah impor substansi pektin, yaitu 2.276.742 kg dengan nilai sebesar US $

2.132.966 (Badan Pusat Statistik, 2012).

Pektin komersial biasanya diperoleh dari kulit buah sitrus atau apel, namun

dengan berkembangnya penelitian, pektin juga dapat diperoleh dari pengolahan

kulit pisang kepok, kulit pisang raja, buah naga, kulit coklat, limbah pengolahan

jeruk, cincau hijau, ampas nanas serta kulit durian. Baker (1997) menyebutkan

pektin juga dapat diperoleh dari lemon, aprikot, beri-berian, anggur, labu-abuan

dan semangka. Sebagian besar pektin diproduksi dengan mengekstraksi bahan

baku dengan larutan asam mineral panas (May, 1990) dan dapat pula

menggunakan asam organik (Kertesz, 1951).

Karakteristik pektin yang baik berdasarkan IPPA (2002) dan Food Chemical

Codex (1996) adalah memiliki kadar air maksimum 12%, kadar abu maksimum

10%, berat ekivalen 600-800 mg, kandungan metoksil tinggi jika >7,12%,

bermetoksil rendah jika 2,5-7,12%, kadar asam galakturonat minimal 35%, derajat

esterifikasi untuk pektin ester tinggi minimal 50% dan derajat esterifikasi untuk

pektin ester rendah maksimum 50%. Menurut Budiyanto dan Yulianingsih (2008)

perlakuan suhu, waktu ekstraksi pektin dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. Kondisi ekstraksi pektin

berpengaruh terhadap karakteristik pektin dan sifat fisik pektin tergantung dari

(18)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012) menunjukkan

bahwa karakteristik pektin terbaik hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok

menggunakan asam klorida (HCl) diperoleh pada temperatur 90℃, pH 1,5 selama

80 menit dengan perolehan rendemen tertinggi, kadar air 11,88%, kadar abu

0,98%, dan kadar metoksil 3,72%. Ekstraksi kulit papaya dengan pelarut asam

asetat (CH3COOH) oleh Sofiana, et al., (2012), pada temperatur 80℃ selama 2

jam menghasilkan karakteristik pektin terbaik dengan rendemen 3,26%, kadar

metoksil 4,65% dan kadar galakturonat 64,02%.

Penggunaan asam organik seperti asam laktat dalam ekstraksi pektin sangat

jarang dipublikasikan, sehingga peneliti sangat tertarik untuk mengetahui karakter

pektin yang dihasilkan. Pengkarakterisasian pektin hasil ekstraksi tersebut

diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi suatu peluang dalam

mengembangkan sumber pektin baru dengan memanfaatkan kulit pisang kepok

sebagai bahan bakunya yang selama ini hanya menjadi limbah.

1.2 Rumusan Masalah

Ditinjau dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Belum diketahuinya karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit

pisang kepok menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH dan suhu

ekstraksi.

2. Bagaimanakah karakteristik pektin yang dihasilkan dan apakah karateristik

tersebut sesuai dalam standar mutu yang telah ditetapkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data karakteristik pektin yang

dihasilkan dari ekstraksi limbah kulit pisang kepok menggunakan asam laktat

(19)

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi karakteristik

pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan asam laktat

(20)

2.1 Pektin

2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin

Berdasarkan Herbstreith dan Fox (2005) kata pektin berasal dari bahasa

Latin “pectos” yang berarti pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras atau padat. Pektin ditemukan oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun

yang lalu. Pada tahun 1790, pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali

digunakan pada tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang

dirintis oleh Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut

sebagai asam pektat.

Menurut Hasbullah (2001) yang dijelaskan dalam Tarigan, et al., (2012)

pektin merupakan polisakarida kompleks yang bersifat asam yang terdapat dalam

jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman. Umumnya

pektin terdapat di dalam dinding sel primer. Khususnya di sela-sela antara

selulosa dan hemiselulosa. Pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara

dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam

poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat

teresterifikasi sebagian dengan metanol.

Sumber: IPPA (2002)

(21)

Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat dan protopektin menurut

(Winarno, 1989 dan Klavons, 1995 dalam Tarigan, et al., 2012).

1. Asam Pektat

Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan

pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester.

2. Asam Pektinat

Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan

mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan

kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda.

3. Protopektin

Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat

dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan asam

pektinat.

Winarno (2002) mengemukakan komposisi kandungan protopektin, pektin,

dan asam pektat dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat

kematangan buah. Pada umumnya protopektin yang bersifat tidak larut dalam air

dan lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum matang. Dwidjoseputro

(1983) menjelaskan bahwa di dalam buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang

satu dengan sel-sel yang lain masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin

tersebut. Akan tetapi jika buah menjadi dewasa, maka sebagian dari protopektin

mengalami penguraian menjadi pektin karena pertolongan enzim protopektinase.

Hal ini mengakibatkan terlepasnya sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah

menjadi lunak. Selanjutnya enzim pektinase meneruskan pengubahan pektin

menjadi asam-pektat, hal mana menyebabkan buah menjadi matang.

Adapun Rowe, et al., (2006) menjelaskan bahwa pektin merupakan molekul

dengan bobot molekul tinggi, kunstituen dalam tanaman yang menyerupai

karbohidrat, terutama terdiri dari unit rantai asam galakturonat terikat dengan

ikatan 1,4-α-glukosida, dengan berat molekul 30.000-100.000. Pektin merupakan

kompleks polisakarida yang terutama terdiri dari residu asam D-galakturonat yang

teresterifikasi dalam rantai α-(1-4). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar teresterifikasi membentuk kelompok metoksil. Kadar metoksil pektin bervariasi

(22)

Asam α-galakturonat polimer asam α-galakturonat

Polimer asam α-galakturonat dimana sebagian gugus karboksilatnya teresterifikasi dengan metil menjadi gugus metoksil

Sumber: Tarigan, et al., (2012)

Gambar 2.2. Struktur Pektin

Beberapa gula juga ikut dalam pembentukan pektin, diantaranya adalah

rhamnosa, galaktosa dan xilosa (Winarno, 2002). Kelompok asam galakturonat

baik dalam bentuk bebas, dikombinasikan sebagai metil ester atau sebagai garam

natrium, kalium, kalsium atau amonium dan dalam beberapa kelompok pektin

amida (IPPA, 2002).

2.1.2 Jenis Pektin

Berdasarkan derajat esterifikasi (DE) pektin dibedakan menjadi dua

golongan, yaitu pektin dengan kadar metoksi tinggi (HM) dan pektin dengan

kadar metoksi rendah (LM). Nilai DE untuk pektin komersial dengan derajat

metoksi tinggi biasanya berkisar dari 60-75% dan untuk pektin dengan derajat

metoksi rendah berkisar dari 20-40%. Untuk pektin dengan kadar metoksi tinggi

memerlukan jumlah minimum padatan terlarut dan pH dalam kisaran yang sempit

sekitar 3,0 untuk membentuk gel. Pektin dengan kadar metoksi tinggi bersifat

termal reversibel dan secara umum larut terhadap air panas serta seringkali

mengandung zat terdispersi seperti dekstrosa untuk mencegah penggumpalan.

Pektin dengan kadar metoksi rendah menghasilkan pembentukan gel yang

(23)

adanya sejumlah kalsium atau kation divalent lainnya untuk pembentukan gel

(Sriamornsak, 2003). Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah derajat

esterifikasi (DE) yang misalnya menentukan tingkat reaktivitas dengan kalsium

dan kation lainnya (International Pectin Producers Association, 2002).

Sumber: IPPA (2002)

Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi

Sumber: IPPA (2002)

Gambar 2.4. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah

Pektin yang diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam yang

teresterifikasi sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangka modifikasi

proses ekstraksi atau dengan perlakuan lebih lanjut akan menghasilkan pektin

bermetoksil rendah dengan kurang dari 50% grup metil ester (IPPA, 2002).

2.1.3 Sifat Pektin

Commite on Food Chemical Codex (1996), menyatakan bahwa pektin

sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam poligalakturonat dan sodium,

potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin merupakan zat berbentuk serbuk

kasar hingga halus yang berwarna putih, kekuningan, kelabu atau kecoklatan dan

banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran matang.

Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) pektin berupa serbuk

kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai

rasa musilago. Pektin hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk

cairan kental, opalesen, larutan koloidal mudah dituang dan bersifat asam

terhadap lakmus, praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut organik lain. Pektin

(24)

gliserin, atau dengan sirup simplek atau jika permukaan dicampur dengan 3

bagian atau lebih sukrosa.

Menurut May (1990), pektin merupakan asam poligalakturonat yang

bermuatan negatif. Pektin bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif.

Pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini

dapat dihambat dengan penambahan garam.

Gliksman (1969) di dalam Hariyati (2006) memaparkan pembentukan gel

pektin metoksil tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil

bebas dan antara gugus hidroksil. Pada pektin metoksil rendah, kemampuan

membentuk gel dengan gula dan asam hilang. Sebaliknya pektin ini mampu

membentuk gel dengan adanya ion kalsium.

Rouse (1977) serta Chang dan Miyamoto (1992) menjelaskan faktor-faktor

yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan

tertentu meliputi pH, konsentrasi pektin, suhu, ion kalsium, dan gula (Hariyati,

2006). Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung

pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat.

Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan tanaman,

namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial sangat

terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk gel

tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi (DE). Pektin dari sumber

yang berbeda tidak memiliki kemampuan membentuk gel yang sama karena

adanya variasi dalam parameter ini (Sriamornsak, 2003).

2.1.4 Kegunaan Pektin

Pektin adalah produk alami yang dapat ditemukan dalam dinding sel dari

semua tanaman tingkat tinggi. Umumnya digunakan sebagai agen pembentuk gel,

penebal dan penstabil. Saat ini pektin merupakan komponen yang tak terpisahkan

dari berbagai macam produk baik dalam industri makanan, dimana ia digunakan

dalam produksi selai, gula-gula, pasta, dan produk susu. Pektin juga dapat

dimanfaatkan dalam industri non-pangan, seperti dalam kosmetik dan farmasi.

Beberapa tahun terakhir manfaat pektin semakin penting dan dibutuhkan oleh

(25)

Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut dalam air,

karena merupakan serat yang berbentuk gel, pektin dapat memperbaiki otot

pencernaan dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan. Pektin juga

dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang

merupakan hasil akhir metabolism kolesterol. Makin banyak asam empedu yang

berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, makin banyak kolesterol

yang dimetabolisme sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya.

Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus, memperlunak

feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Ide, 2009).

Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya dimanfaatkan

dalam industri farmasi, kesehatan dan pengobatan. Pektin telah digunakan secara

potensial sebagai karier atau pembawa untuk pengiriman obat ke saluran

pencernaan, seperti matriks tablet, gel beads dan film-coated. Pektin merupakan

senyawa menarik bagi keperluan dalam bidang farmasi, misalnya sebagai

pembawa berbagai obat untuk aplikasi pelepasan terkontrol. Banyak teknik telah

digunakan untuk memproduksi pektin berbasis sistem pengiriman, terutama

ionotropik gelasi dan gel coating. Dengan teknik sederhana dan dengan profil

toksisitas yang sangat aman, membuat pektin sebagai eksipien menarik dan

menjanjikan dalam bidang industri farmasi untuk aplikasi sekarang maupun masa

depan (Sriamornsak, 2003). Dalam usus besar, mikroorganisme mendegradasi

pektin dan membebaskan rantai pendek asam lemak yang memiliki pengaruh

positif pada kesehatan atau dikenal sebagai efek prebiotik (Srivastava dan

Malviya, 2011).

Srivastava dan Malviya (2011) menjelaskan pektin dapat digunakan sebagai

polimer mukoadhesiv, agen pembentuk gel, pengental, pengikat air dan stabilator.

Dalam bidang kedokteran dan farmasi, pektin digunakan untuk mengatasi

konstipasi dan diare, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam

Kaopektat, bersama dengan kaolinit. pektin juga digunakan dalam pelega

tenggorokan sebagai demulcent, sebagai sumber diet serat, sebagai komponen

propilaktit alami untuk melawan keracunan kation toksik, dalam formulasi

(26)

Sriamornsak (2003) menjelaskan dalam jurnalnya bahwa di bidang farmasi

pektin digunakan sebagai pembawa obat ke saluran pencernaan, seperti matriks

tablet dan sediaan salut tipis. Selain itu dijabarkan pula beberapa menfaat dari

pektin, diantaranya adalah mengkonsumsi setidaknya 6 gram per hari pektin

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan kolesterol, namun jika

kurang dari 6 gram per hari pektin tidak efektif. Pektin bertindak sebagai zat

penangkal alami terhadap keracunan dari kation beracun. Telah terbuksti efektif

dalam mengatasi keracunan timah dan merkuri pada saluran pencernaan dan organ

pernafasan. Ketika disuntikkan secara inravena, pektin menimbulkan efek

mempersingkat waktu koagulasi darah yang diambil, sehingga berguna dalam

pengendalian perdarahan. Pektin dan kombinasi dari pektin dengan koloid lain

yang telah digunakan efektif untuk mengobati diare, terutama pada bayi dan

anak-anak. Dalam kondisi in-vitro tertentu pektin mungkin memiliki efek antimikroba

terhadap Escherichia coli. Pektin dapat mengurangi laju pencernaan oleh

immobilisasi komponen makanan dalam usus, menyebabkan penyerapan makanan

menjadi lebih sedikit. Ketebalan lapisan pektin mempengaruhi penyerapan karena

mengurangi kontak antara enzim usus dan makanan sehingga mengurangi

ketersediaan sari makanan. Adanya kapasitas waterbinding yang besar, pektin

memberikan rasa kenyang sehingga mengurangi konsumsi makanan. Hasil

percobaan menunjukkan perpanjangan waktu paruh pengosongan lambung 23-50

menit dengan makanan yang diperkaya dengan pektin. Sifat-sifat pektin

dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan gangguan

makan yang berlebihan. Pektin hidrogel telah digunakan dalam formulasi tablet

sebagai agen pengikat dan telah digunakan dalam formulasi tablet lepas

terkontrol.

2.1.5 Ekstraksi Pektin

Ekstraksi pektin merupakan proses pengeluaran pektin dari sel pada

jaringan tanaman. Ekstraksi pektin dengan larutan asam dilakukan dengan cara

memanaskan bahan dalam larutan asam encer yang berfungsi untuk

menghidrolisis protopektin menjadi pektin. Ekstraksi ini dapat dilakukan dengan

(27)

ekstraksi, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil

yang maksimum. Tatapi dalam hal ini faktor keasaman yang digunakan tidak

bisa diabaikan. Kisaran pH yang dirokemendasikan 1,5 – 3,0 tetapi pH kisaran

pada pH 2,6 – 2,8 lebih sering dipakai (Kirk dan Othmer, 1958 di dalam

Akmalludin dan Kurniawan 2009).

Beberapa jenis asam dapat digunakan dalam ekstraksi pektin, diantaranya

adalah asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam fosfat

tetapi ada kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti

asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat (Kertesz, 1951 di dalam Hariyati,

2006).

Menurut Sriamornsak (2003) pektin komersial diekstraksi dengan

memperlakukan bahan baku dengan asam mineral encer panas pada pH sekitar 2.

Lama waktu ekstraksi bervariasi tergantung dengan bahan baku, jenis pektin yang

diinginkan dan tergantung oleh suatu produsen tertentu. Ekstrak pektin panas

dipisahkan dari residu padat semaksimal mungkin.

Berdasarkan May (2000) pektin kebanyakan diproduksi dengan

mengekstraksi bahan baku dengan larutan asam mineral panas. Setiap produsen

pektin telah mengembangkan kondisi yang sesuai dengan jenis bahan baku yang

diolah di pabrik mereka, namun tujuannya adalah selalu untuk menghasilkan

bubur yang mengandung residu padat yang dapat dengan mudah dipisahkan oleh

teknologi yang dipilih, dan fase cair (filtrat) yang mengandung pektin konsentrasi

tinggi dan berat molekul tinggi, tanpa menghasilkan viskositas yang berlebihan.

Menghilangkan kotoran pada ekstrak cair dilakukan sebelum dilanjutkan untuk

mengisolasi pektin padat. Pada prinsipnya, pektin murni dapat diisolasi dengan

berbagai cara. Metode yang paling umum digunakan adalah dengan mencampur

ekstrak pekat dengan pelarut organik yang melarutkan pektin, tapi memungkinkan

banyak kotoran tetap dalam larutan. Standar makanan internasional mengizinkan

penggunaan metanol, etanol, atau isopropanol sebagai pelarut organik. Dalam

proses ini, ekstrak pektin dapat diperoleh dengan konsentrasi sekitar 2%, dan

dicampur dengan alkohol yang cukup untuk membentuk endapan yang

selanjutnya dapat dilakukan pemisahan dengan penyaringan atau sentrifugasi.

(28)

beberapa kali dengan air dan alkohol untuk menghilangkan garam dan kotoran

lainnya. Menurut Ranganna (1977) pengumpulan pektin dapat dilakukan dengan

menggunakan alkohol 95% yang mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter

alkohol. Biasanya untuk pengendapan secara komersial digunakan alkohol dan

garam metal seperti alumunium hidroksida, kalium sulfat atau alumunium sulfat.

Penggunaan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk menghidrolisis

protopektin menjadi pektin yang larut dalam air ataupun membebaskan pektin dari

ikatan dengan senyawa lain, misalnya selulosa (Kaban, et al., 2012). Disini asam

dengan ion H+ berfungsi selain memecahkan ikatan protopektin dengan

senyawa-senyawa dalam dinding sel tanaman juga menyatukan satu molekul pektin yang

lain sehingga terbentuk sebuah jaringan yang dapat memerangkap air (Nurhikmat,

2003).

Berdasarkan Rouse (1977) di dalam Astuti (2007) penggumpalan atau

koagulasi pektin terjadi karena gangguan terhadap kestabilan dispersi koloidalnya.

Pektin adalah termasuk koloidal hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus

karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik. Seperti

koloid hidrofilik umumnya, pektin distabilkan terutama oleh hidrasi partikelnya

daripada oleh muatannya. Pektin distabilkan oleh selapis air melalui ikatan

elektrostatik antara muatan negatif molekul pektin dan muatan positif molekul air.

Penambahan zat pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi stabilitas disperse

pektin karena efek dehidrasi mengganggu keseimbangan pektin-air, sehingga

(29)

2.2 Karakteristik Pektin

Berikut adalah standar mutu pektin dan spesifikasi pektin, berdasarkan

standar mutu International Pectin Producers Association (2002), Food Chemical

Codex (1996) dan Hanbook of Pharmaceutical Excipiens (2006).

Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin

Tabel 2.2 Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope

(30)

Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin

Producers Association (IPPA) dan Food Chemical Codex serta spesifikasi dalam

Farmakope di atas. Karakteristik pektin tergantung dari kondisi ekstraksi pektin,

dan sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin. Pektin hasil

ekstraksi terbaik biasanya diperbandingkan dengan pektin komersial. Hal ini

dilakukan karena jika diaplikasikan pada industri kebutuhan energi untuk

peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan meningkatkan biaya produksi. Apabila

perlakuan suhu terendah dan waktu paling cepat dapat memberi hasil yang masih

diperbolehkan oleh International Pectin Producers Association, Food Chemical

Codex dan Farmakope maka hal ini akan sangat menguntungkan jika

diaplikasikan (Fitriani, 2003).

2.2.1 Kadar Air

Pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan (Departemen

Kesehatan, 2000). Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap masa simpan.

Kadar air yang tinggi menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba

(Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

2.2.2 Kadar Abu

Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa

bahan anorganik. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin

tinggi tingkat kemurnian pektin, kadar abu dalam pektin semakin rendah

(Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur

dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga

tinggal unsur mineral dan anorganik (Departemen Kesehatan, 2000).

2.2.3 Berat Ekivalen

Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam

galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin. Asam

pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam

(31)

esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat ekivalen

semakin rendah (Ranganna, 1977).

2.2.4 Kadar Metoksil

Constenla dan Lozano (2003) mendefinisikan kadar metoksil sebagai

jumlah mol etanol yang terdapat di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar

metoksil pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional

larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin.

Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua

golongan yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar

metoksil rendah (LMP). Pektin bermetoksil tinggi mempunyai kandungan

metoksil minimal 7%, sedangkan pektin bermetoksil rendah mempunyai

kandungan pektin maksimal 7%) (Guichard, 1991 di dalamHariyati, 2006).

2.2.5 Kadar Asam Galakturonat

Perhitungan kandungan asam galakturonat sangat penting untuk mengetahui

kemurnian pektin. Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki

peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin. Kadar

galakturonat dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Sofiana, et

al., 2012).

2.2.6 Derajat Esterifikasi (DE)

Derajat esterifikasi didefinisikan sebagai persentase grup karboksil yeng

teresterifikasi. Pektin dengan derajat esterifikasi di atas 50% dinamakan pektin

tinggi metoksi dan derajat esterifikasi di bawah 50% dinamakan pektin rendah

metoksi (Siamornsak, 2003).

Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam

D-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Semakin

tinggi suhu dan lama proses ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil

ester pada pektin menjadi asam karboksil oleh adanya asam. Ikatan glikosidik

gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam

(32)

asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah

gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi

atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

2.2.7 Kekuatan Gel

Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat

kekenyalan dan kekuatan tertentu (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Grade dari

pektin merupakan indikasi penting yang menggambarkan mutu pektin. Grade

pektin didefinisikan sebagai jumlah gula yang dibutuhkan oleh satu bagian pektin

untuk membentuk gel yang diinginkan pada kondisi yang sesuai. Pektin yang

mempunyai grade pektin 100 berarti dapat membentuk gel yang baik dengan 100

gram gula. Penentuan grade pektin biasanya menggunakan metode International

Food Technologist (IFT) yaitu dengan membuat gel dengan konsentrasi gula 65%

pada pH 2,2 - pH 2,4. Gel kemudian disimpan selama 18-24 jam dan kemudian

diuji dengan alat Ridgelimeter (Meilina dan Silah, 2003).

2.2.8 Bilangan Asetil

Pektin gula bit mengandung gugus asetil, dimungkinkan juga dalam pektin

lain mengandung gugus asetil ini. Jika gugus asetil hadir dalam pektin maka akan

menghambat pembentukan jelly. Analisis adanya gugus asetil menggunakan

prosedur saponifikasi alkali sederhana diikuti dengan titrasi kembali namun

(33)

2.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana)

2.3.1 Uraian Umum Pisang

Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara

(termasuk Indonesia). Tanaman buah ini kemudian menyebar luas ke kawasan

Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebaran

tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni meliputi daerah

tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Teduh

sampai ke Hawai. Selain itu tanaman pisang menyebar ke barat melalui Samudera

Atlantik, Kepulauan Kenari sampai Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi,

2008).

Produksi pisang dunia dalam 120 negara diperkirakan mencapai 68 juta

setiap tahunnya. Negara-negara Asia Tenggara penghasil pisang yang terkenal

diantaranya adalah Filipina, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Indonesia, Filipina

dan Thailand merupakan negara penghasil pisang nomor satu di kawasan Asia

Tenggara (Verheij dan Coronel, 1992).

Pisang merupakan tumbuhan basah yang besar, biasanya mempunyai batang

semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun. Tangkai daun jelas beralur pada

sisi atasnya, helaian daun lebar, bangun jorong memanjang, dengan ibu tulang

yang nyata dan tulang-tulang cabang yang menyirip dan kecil-kecil. Bunga dalam

suatu bunga majemuk dengan daun-daun pelindung yang besar dan berwarna

merah. Masing-masing bunga mempunyai tenda bunga yang menyerupai mahkota

atau jelas mempunyai kelopak dan mahkota yang biasanya berlekatan, zigomorf.

Benang sari 6 yang 5 fertil yang satu staminoidal. Bakal buah tenggelam, beruang

3 dengan 1 bakal biji dalam tiap ruang. Tangkai putik berbelah 3-6. Buahnya buah

buni atau buah kendaga. Biji mempunyai salut, endosperm dan juga perisperm

(Tjitrosoepomo, 1994).

Pemanfaatan pisang telah meluas di kalangan masyarakat, baik dari mulai

daun, batang, bunga, buah hingga kulitnya. Buah pisang memiliki kandungan

kalium yang tinggi, tingginya kandungan kalium dalam pisang membantu

mengatasi stress yang memacu gangguan sulit tidur dengan cara menurunkan

tekanan darah dan menyingkirkan rintangan berupa penyumbatan dalam

(34)

berfikir dan menghindari kepikunan atau mudah lupa (Suyanti dan Supriyadi,

2008). Kulit buah pisang selain untuk pakan ternak juga dapat dijadikan sebagai

bahan campuran krim antinyamuk. Kulit buah pisang juga dapat diekstrak untuk

dibuat pektin. Bagian dalam kulit pisang matang yang dikerok dan dihancurkan

dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata pisang. Sementara

tepung kulit pisang yang dicampur dengan ampas tahu dapat digunakan sebagai

pakan ayam buras untuk meningkatkan pertumbuhannya. Manfaat lainnya dapat

dijadikan sebagai pembunuh larva serangga, yakni dengan menambahkan sedikit

urea dan pemberian bakteri. Berdasarkan hasil temuan dari Taiwan diketahui

bahwa kulit pisang yang mengandung vitamin B6 dan serotonin dapat diekstrak

dan dimanfaatkan untuk kesehatan mata (Suyanti dan Supriyadi, 2008).

2.3.2 Klasifikasi Pisang Kepok (Musa balbisiana)

Berikut adalah klasifikasi dari pisang kepok berdasarkan Herbarium

Bogoriense:

Jenis : Musa balbisiana (grup ABB)

Suku : Musaceae

Sehingga taksonomi dari Musa balbisiana berdasarkan United States

Department of Agriculture (USDA) adalah:

Kerajaan : Plantae

Subkerajaan : Tracheobionta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Subkelas : Zingiberidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae

Genus : Musa L.

(35)

Sumber: Koleksi Pribadi

Gambar 2.5. Pisang Kepok

Pisang kepok (Musa balbisiana) merupakan jenis triploid diberi simbol

ABB (Nasir, 2003). Hibridisasi beragam Musa balbisiana menghasilkan

keturunan hibrida yang sebagian besar steril terutama genom AB (dessert

bananas), AAB (plantains) dan ABB (cooking bananas) (OECD, 2010).

Musa balbisiana tersebar dari India termasuk Kepulauan Andam hingga

Myanmar utara (Burma), Thailand dan Indocina ke Cina Selatan dan Filipina.

Musa balbisiana merupakan salah satu spesiea yang berasal dari Indocina (OECD,

2010).

Menurut Cahyono (2009) pisang kepok memiliki banyak jenis, namun yang

terkenal adalah pisang kepok kuning dan kepok putih. Daging buah pisang kepok

kuning berwarna putih sedangkan kepok putih berwarna putih. Daging buahnya

bertekstur agak keras. Pisang kepok kuning memiliki rasa yang lebih manis dan

enak dibandingkan kepok putih. Buah pisang kepok tidak beraroma harum. Kulit

buah pisang kepok sangat tebal, pada buah yang sudah masak berwarna hijau

kekuningan. Dalam satu tandan bisa terdapat hingga 16 sisir dan pada setiap

sisirnya terdapat hingga 20 pisang, berat setiap tandannya sekitar 14-22 kg. buah

pisang kepok cocok untuk disantap dalam bentuk olahan.

2.3.3 Kandungan Kimia Kulit Pisang

Kulit pisang merupakan sumber yang kaya pati (3%), protein kasar (6-9%),

lemak kasar (3,8-11%), serat makanan total (43,2-49,7%), dan asam lemak ganda

tak jenuh (PUFA), terutama asam linoleat dan α-linolenat, pektin, asam amino esensial (leusin, valin, fenilalanin dan treonin) dan mikronutrien (K, P, Ca, Mg).

(36)

(10-21%), selulosa (7,6-9,6%), hemiselulosa (6,4-9,4%) dan asam galaktouronat.

Pektin yang diekstrak dari kulit pisang juga mengandung glukosa, galaktosa,

arabinosa, rhamnosa, dan xilosa. Mikronutrien (Fe dan Zn) ditemukan dalam

konsentrasi tinggi pada kulit dibandingkan pada pulp. Sehingga, kulit bisa

menjadi bahan pakan yang baik untuk ternak dan unggas. Kulit pisang juga dapat

digunakan dalam minuman anggur, produksi etanol, sebagai substrat untuk

produksi biogas dan sebagai bahan dasar untuk ekstraksi pektin. Abu kulit pisang

dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman pisang dan sebagai sumber alkali

untuk produksi sabun. Ekstrak etanol kulit Musa sapientum dapat digunakan

penghambat korosi untuk baja ringan. kulit pisang juga dapat digunakan di pabrik

pengolahan air limbah (Mohapatra, et al., 2010).

2.4 Asam Laktat

Berdasarkan Rowe, et al., (2006) asam laktat (C3H6O3) memiliki sinonim

2-hydroxypropanoic acid; a-hydroxypropionic acid; DL-lactic acid; Lexalt L; milk

acid; Patlac LA; Purac 88 PH; racemic lactic acid. Berfungsi sebagai agen

pengasam. Asam laktat dibuat dari fermentasi karbohidrat, seperti glukosa,

sukrosa laktosa dengan Bacillus asam laktat atau mikroorganisme terkait lainnya.

- Titik didih: 122℃ pada 2 kPa (15mmHg)

- Konstanta disosiasi: pKa = 4,14 pada 22,5℃

- Kelarutan: larut dengan etanol (95%), eter dan air, praktis tidak larut

dalam kloroform.

- Stabilitas: Asam laktat bersifat higroskopis dan akan membentuk

produk kondensasi seperti asam polilaktat pada saat kontak dengan air.

Kesetimbangan antara asam polilaktat dan asam laktat tergantung pada

konsentrasi dan temperatur. Pada suhu tinggi asam laktat akan

membentuk laktida, yang mudah dihidrolisis kembali ke asam laktat.

Asam laktat harus disimpan dalam wadah tertutup baik dalam tempat

dingin dan kering.

- Inkompatibilitas: Kompatibel dengan oksidator, iodida, dan albumin.

(37)

Asam laktat termasuk dalam golongan asam organik (Dashek dan Micales,

1997). Asam laktat dapat digunakan untuk ekstraksi pektin menurut seperti halnya

jenis asam lain yakni asam tartarat, asam malat, asam sitrat, asam asetat dan asam

fosforat (Canteri-Schemin, et al., 2005)

2.5 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi antara energi cahaya dan

materi. Warna-warna yang nampak dan fakta bahwa orang bisa melihat adalah

akibat-akibat absorpsi energi oleh senyawa organik maupun anorganik, yang

merupakan perhatian primer bagi ahli kimia organik ialah fakta bahwa panjang

gelombang pada suatu senyawa organik menyerap energi cahaya, bergantung pada

struktur senyawa itu. Oleh karena itu teknik-teknik spektroskopi dapat digunakan

untuk menentukan struktur senyawa yang tidak diketahui dan untuk mempelajari

karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden,

1986).

Analisa spektroskopi inframerah mencakup beberapa metode yang

berdasarkan atas absorbsi atau refleksi dari radiasi elektromagnetik (Rousessac

dan Rousessac, 2000). Spektrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak

dan daerah microwave. Daerah spektrum yang paling baik digunakan untuk

berbagai keperluan praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1.

Rentang bilangan gelombang inframerah dibagi dalam tiga daerah, inframerah

jauh (200-10 cm-1), inframerah tengah (4000-200 cm-1) dan inframerah dekat

(12500-4000 cm-1) (Watson, 2009).

Dua jenis instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh spektrum

inframerah yaitu instrumen dispersi, yang menggunakan suatu monokromator

untuk memilih masing-masing bilangan gelombang secara berurutan untuk

memantau intensitasnya setelah radiasi telah melewati sampel, dan instrumen

transformasi Fourier, yang menggunakan suatu interferometer. Instrumen

tranformasi Fourier menghasilkan sumber radiasi dengan masing-masing bilangan

gelombang dapat dipantau dalam ± 1 detik pulsa radiasi tanpa memerlukan

dispersi. Dalam suatu instrumen inframerah transformasi Fourier (Fourier

(38)

suatu interferometer. Interferometer menggunakan cermin bergerak untuk

memindahkan bagian radiasi yang dihasilkan oleh satu sumber, sehingga

menghasilkan suatu interferogram yang dapat diubah dengan menggunakan suatu

persamaan yang disebut „Transformasi Fourier‟ untuk mengekstraksi spektrum

dari suatu seri frekuensi yang bertumpang tindih (Watson, 2009).

Spektroskopi FTIR memiliki banyak keunggulan dibanding spektroskopi

inframerah diantaranya yaitu lebih cepat karena pengukuran dilakukan secara

serentak (simultan), serta mekanik optik lebih sederhana dengan sedikit

komponen yang bergerak (Suseno dan Firdausi, 2008).

Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka

terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau

ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada

struktur pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap

energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi

rotasi. Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap

ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur

(stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) dimana sinar

(39)

3.1 Alur Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian

Kulit pisang kepok Pengeringan dalam oven

Dihaluskan menjadi serbuk

Ekstraksi menggunakan asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi selama 80 Penyaringan

(40)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium

Penelitian II, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Farmakognosi dan

Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Analisa Pangan dan Obat, Program Studi

Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2013.

3.3 Bahan Uji

3.3.1 Penyediaan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan berupa kulit pisang kepok yang masih mentah.

Bahan uji didapatkan dari limbah pengolahan kripik pisang kepok yang ada di

daerah Lampung. Pengambilan bahan baku pada pagi hari tanggal 14 Februari

2013.

3.3.2 Determinasi Bahan Baku

Bahan baku berupa kulit pisang kepok yang dilakukan identifikasi terlebih

dahulu di Laboratorium Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi LIPI,

Bogor, Jawa Barat.

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas

seperti, erlenmeyer (Schott Duran), gelas beker (Schott Duran), gelas ukur, pipet

tetes, pipet volume, batang pengaduk, botol timbang, buret, labu Buchner dll.

Adapun alat-alat lain diantaranya adalah corong Buchner, hot plate, oven,

blender, tanur, krustang, krus porselain, cawan porselain, desikator, kertas saring,

statif dan klem, termometer, pH meter, pH indikator universal, magnetic stirrer,

neraca analitik, dan Jasco FTIR-6100.

3.4.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam laktat,

aquades, asam klorida (HCl), natrium hidroksida (NaOH), natrium klorida (NaCl),

aseton teknis, indikator phenolptalein (PP), indikator fenol merah, pektin murni

(41)

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Produksi Pektin

a. Persiapan Bahan Uji

Kulit pisang yang didapatkan dari limbah pengolahan kripik pisang kepok

disortir (dipisahkan antara kulit pisang yang bagus dengan yang busuk). Kulit

pisang kepok yang berwarna hijau atau kekuningan yang dipilih. Bagian pucuk

dan tangkai kulit pisang tidak diambil. Kemudian dilakukan pencucian dengan

menggunakan air mengalir agar kulit pisang dapat bersih dari kotoran-kotoran

yang menempel. Setelah kulit pisang tersebut bersih, dilakukan pemotongan

kecil-kecil dan dilakukan pengeringan dengan cara diangin-anginkan yang selanjutnya

dikeringkan dalam oven suhu 50℃. Setelah didapatkan kulit pisang kering,

selanjutnya dilakukan penghalusan dengan cara diblender dan diayak dengan

ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 mikrometer) sehingga didapatkan serbuk

kering kulit pisang kepok yang kemudian diukur kadar airnya, kadar air

seharusnya tidak lebih dari 10% (Tarigan, et al., 2012).

b. Ekstraksi Pektin

Serbuk kulit pisang kepok yang dihasilkan dimasukkan ke dalam

erlenmeyer sebanyak 60,0 gram, kemudian ditambahkan larutan asam laktat

sebanyak 2000 mL dengan variasi pH 1, 1,5 dan 2. Pembuatan larutan asam laktat

dengan variasi pH dilakukan dengan cara melarutkan asam laktat dalam aquadest

dan pH larutan diukur menggunakan pH meter. Campuran 60,0 gram serbuk kulit

pisang kepok dan larutan asam laktat tersebut dipanaskan di atas pemanas listrik

dengan pengaturan suhu 80℃ dan 90℃ untuk masing-masing pH disertai

pengadukan menggunakan magnetic stirrer. Penghitungan waktu ekstraksi dari

saat tercapainya kondisi operasi percobaan yaitu 80 menit. Setelah dipanaskan,

campuran tersebut disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan penyaring

vakum guna memisahkan ampas dan filtratnya. Filtrat yang didapatkan disebut

dengan filtrat pektin (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009; Satria dan Ahda, 2009;

Tarigan, et al., 2012).

c. Pengendapan Pektin

Pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan aseton dalam filtrat

(42)

pektin tersebut didiamkan selama 10-14 jam. Endapan pektin yang terbentuk

kemudian dipisahkan dari larutannya menggunakan kertas saring dengan bantuan

penyaring vakum (Akhmalludin dan Kurniawan 2009).

d. Pencucian Pektin

Endapan pektin yang terbentuk ditambahkan dengan aseton sambil diaduk

untuk kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum.

Hal ini dilakukan beberapa kali sampai pektin tidak lagi meninggalkan residu

asam. Adapun pektin yang sudah tidak lagi meninggalkan residu asam adalah

pektin yang tidak berwarna merah bila ditambahkan dengan indikator

phenolphtalein (PP) (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009).

e. Pengeringan Pektin

Pektin basah hasil pengendapan yang telah bebas dari residu asam kemudian

dikeringkan dalam oven pada suhu 40℃ selama 8 jam. Hasil yang diperoleh

disebut dengan pektin kering (Tarigan, et al., 2012).

3.5.2 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi

1. Perhitungan Persen Rendemen

Persen rendemen adalah perbandingan gram pektin yang dihasilkan

dengan gram bahan baku kering.

Rendemen (%) = bobot total pektin yang diperoleh

bobot bahan baku kering x 100%

2. Penentuan Kadar Air

Sebanyak 0,300 gram sampel pektin dikeringkan di dalam oven pada

suhu 100oC selama 4 jam menggunakan botol timbang yang telah diketahui

bobot kosongnya. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang

sampai diperoleh bobot yang tetap.

Kadar Air (%) = Wa−Wb

W x 100% (Pardede, et al., 2013)

Dimana: Wa = bobot sebelum dikeringkan

(43)

3. Penentuan Kadar Abu (Ranganna, 1977)

Krus porselain dikeringkan di dalam tanur pada suhu 600oC kemudian

didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot wadah.

Selanjutnya sebanyak 0,500 gram pektin ditimbang dan di masukkan dalam

krus silikat yang telah diketahui bobotnya kemudian di masukkan dalam

tanur dengan suhu 600℃ selama 4 jam. Residu didinginkan dalam desikator

dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap.

Kadar Abu (%) = = W 1−W 2

W x 100%

Dimana: W = bobot sampel awal (g)

W1 = bobot wadah + sampel setelah pemanasan (g)

W2 = bobot wadah kosong (g)

4. Penentuan Berat Ekivalen (Ranganna, 1977)

Nilai berat ekivalen digunakan untuk perhitungan kadar asam

galakturonat dan derajat esterifikasi. Berat ekivalen ditentukan dengan

menimbang 0,25 gram pektin dimasukkan dalam Erlenmeyer 250 mL dan

dilembabkan dengan 1,0 mL alkohol. Air suling bebas O2 sebanyak 50,0 mL

dan 6 tetes indikator fenol merah ditambahkan. Campuran tersebut

kemudian diaduk dengan cepat untuk memastikan bahwa semua substansi

pektin telah terlarut dan tidak ada gumpalan yang menempel pada sisi

Erlenmeyer. Titrasi dilakukan perlahan-lahan dengan titran standar NaOH

0,1 N sampai warna campuran berubah menjadi merah muda (pH 7,5) dan

tetap bertahan selama setidaknya 30 detik. Larutan tersebut dinetralkan yang

kemudian digunakan untuk penentuan kadar metoksil.

Berat Ekivalen = bobot pektin (mg ) ml NaOH x N NaOH

5. Kadar Metoksil (Ranganna, 1977)

Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan menambahkan 25,0 mL

NaOH 0,25 N ke dalam larutan netral dari penentuan BE kemudian dikocok

dengan benar dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam

(44)

merah kemudian dititrasi dengan titran NaOH 0,1 N hingga larutan berubah

menjadi merah muda.

Kadar Metoksil (%) = ml NaOH x 31 x N NaOH x 100 bobot sampel mg

Dimana 31 adalah berat molekul (BM) dari metoksil

6. Kadar Galakturonat (Ismail, et al., 2012)

Kadar galakturonat dihitung dari miliekivalen NaOH yang diperoleh

dari penentuan BE (berat ekivalen) dan kandungan metoksil.

% Galakturonat = (meq dari NaOH untuk asam bebas + meq dari NaOH untuk metoksil ) x 176 x 100 bobot sampel (mg )

Dimana 176 adalah berat ekivalen terendah asam pektat

7. Derajat Esterifikasi (Schultz, 1965 dalam Hariyati, 2006)

Derajat esterifikasi (DE) dari pektin dapat dihitung dengan:

DE (%) = kadar metoksil x 176 x 100 kadar galakturonat x 31

3.6 Perbandingan Spektrum FTIR

Spektrum FTIR digunakan untuk memperoleh informasi serapan gugus

fungsional. Data FTIR diperoleh dengan menggunakan Jasco FTIR-6100 dengan

rentang panjang gelombang dari 4000 cm-1 sampai 400 cm-1 (Ismail, et al., 2012).

Perbandingan antara sebuk KBr dan masing-masing sampel pektin adalah

100:1 mg. Setelah didapatkan spektrum masing-masing sampel pektin, ketiganya

(pektin hasil ekstraksi, komersial dan standard) dibandingkan tiap serapan gugus

(45)

4.1 Bahan Baku

4.1.1 Penentuan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kulit pisang

kepok yang diperoleh dari pengolahan kripik pisang di daerah Lampung. Kulit

pisang merupakan bagian dari buah pisang yang umumnya dibuang sebagai

sampah. Limbah kulit pisang kepok dipilih sebagai bahan baku karena pisang

kepok lebih sering digunakan sebagai makanan olahan sehingga menghasilkan

limbah kulit yang cukup banyak. Pemilihan bahan baku berupa limbah kulit

pisang didasarkan pada pemanfaatan limbah yang tidak digunakan menjadi suatu

bahan baku produksi pektin. Cahyono (2009) mengungkapkan bahwa kulit buah

pisang kepok sangat tebal. Sedangkan pektin terdistribusi secara luas dalam

jaringan tanaman dan umumnya terdapat dalam dinding sel, sehingga pemilihan

kulit pisang kepok untuk produksi pektin diharapkan mampu menghasilkan pektin

yang melimpah pula. Menurut Mohapatra, et al., (2010) kandungan pektin dalam

kulit pisang berkisar antara 10-21%. Limbah kulit pisang diperoleh dengan tidak

mengeluarkan biaya karena limbah biasanya dibuang begitu saja. Keuntungan dari

pemanfaatan limbah tersebut adalah menjadikan biaya produksi pektin dapat lebih

ekonomis dan diharapkan tidak mengurangi kualitas pektin yang dihasilkan.

4.1.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku

Determinasi tanaman bahan baku dilakukan di Herbarium Bogoriense Pusat

Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan

bahwa tanaman bahan baku yang digunakan adalah benar tanaman pisang kepok

(Musa balbisiana ABB) famili Musaceae. Hasil determinasi dapat dilihat pada

(46)

4.1.3 Persiapan Bahan Baku

Bahan baku limbah kulit pisang yang digunakan adalah kulit pisang yang

masih mentah berwarna hijau atau kekuningan. Kebanyakan limbah kulit pisang

dari pengolahan kripik pisang menggunakan buah pisang yang masih mentah.

Limbah kulit pisang dipisahkan dari tangkai dan ujungnya kemudian dibersihkan

dengan dicuci menggunakan air mengalir, dipotong kecil-kecil dan dikeringkan

dengan diangin-anginkan dan selanjutnya dikeringkan lebih lanjut menggunakan

oven pada suhu 50℃ selama kurang lebih 3 hari hingga kulit pisang benar-benar

kering dengan kadar air kurang dari 10%. Kulit pisang yang telah kering

selanjutnya dihaluskan hingga berbentuk serbuk dan diayak dengan ayakan mesh

100 (ukuran partikel 105 mikrometer). Pemotongan dan pembelahan bahan-bahan

yang akan diekstraksi membantu pengontakan antara padatan dengan pelarut

karena pecahnya sel-sel yang mengandung solut (Perina, et al., 2007). Serbuk

kulit pisang yang dihasilkan ditentukan kadar airnya. Penentuan kadar air serbuk

kulit pisang menggunakan prinsip gravimetri. Kadar air serbuk kulit pisang adalah

8,39% kadar ini tidak lebih dari yang ditetapkan yakni tidak lebih dari 10%

(Tarigan, et al., 2012). Pemeriksaan kadar air dilakukan di BPPT LABTIAP

Serpong, Banten.

Tabel 4.1. Bahan Baku

Bahan Baku Hasil

Bobot kulit pisang kepok awal 5 kg

Bobot serbuk kulit pisang kepok setelah pengeringan 511 gram

Kadar air serbuk kulit pisang 8,39%

Kulit pisang kepok yang belum dipisahkan dari ujung dan tangkainya serta

belum dibersihkan dari pengotornya seperti tanah yang melekat adalah sebanyak 5

kilogram. Setelah dilakukan pembersihan, pengeringan dan penghalusan

menghasilkan serbuk kulit pisang sebanyak 511 gram. Dengan demikian,

dibutuhkan banyak bahan baku limbah kulit pisang yang diperlukan untuk

menghasilkan serbuk kulit pisang yang banyak pula. Sebab dengan 5 kg limbah

kulit pisang segar hanya menghasilkan serbuk kering kulit pisang sebanyak 511

(47)

sehingga setelah pengeringan menghasilkan sedikit serbuk kulit pisang. Begitu

pula dengan banyaknya bagian yang tidak diambil dari kulit pisang tersebut

seperti tangkai dan ujung kulit pisang.

4.2 Ekstraksi Pektin

Pektin diekstraksi dengan menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi

pH 1, 1,5 dan 2, variasi suhu ekstraksi 80℃ dan 90℃ dengan waktu ekstraksi

tetap yakni 80 menit. Waktu ekstraksi ditetapkan berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012) yang menyatakan bahwa waktu

optimum rendemen tertinggi yang diperoleh dari hasil ekstraksi kulit pisang kepok

menggunakan pelarut asam klorida adalah selama waktu 80 menit. Sehingga

waktu optimum tersebut yang digunakan dalam penelitian ini. Ekstraksi pektin

disini dilakukan dengan metode konvensional yakni secara pemanasan langsung,

menurut Srivastava dan Malviya (2011) ada dua metode ekstraksi pektin yang

biasa dilakukan yaitu pemanasan langsung dan pemanasan menggunakan

microwave.

Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi pektin disini adalah menggunakan

pelarut asam organik berupa larutan asam laktat dengan variasi pH. Larutan asam

laktat digunakan untuk merombak protopektin yang tidak larut menjadi pektin

yang dapat larut. Berdasarkan Tarigan, et al., (2012) ekstraksi pektin dilakukan

dengan hidrolisis asam atau enzimatis. Ekstraksi pektin pada penelitian ini

dilakukan dengan hidrolisis asam, asam yang berperan adalah larutan asam laktat.

Penggunaan asam laktat dalam ekstraksi pektin sesuai dengan yang dikemukakan

oleh Fellow (2002) dalam Perina, et al., (2007) bahwa asam lain selain HCl (asam

klorida), H2SO4 (asam sulfat) dan CH3COOH (asam asetat) yang dapat digunakan

adalah asam sitrat, asam laktat dan asam tartrat.

Bahan baku berupa serbuk kering kulit pisang kepok berukuran 105

mikrometer, berdasarkan Fellow (2002) di dalam Perina, et al., (2007)

menjelaskan bahwa semakin kecil ukuran partikel berarti semakin luas permukaan

yang kontak antara padatan dan pelarut serta semakin pendek jarak difusi solut

sehingga kecepatan ekstraksi lebih besar. Sebanyak 60,0 gram serbuk kering kulit

Gambar

Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin ...........................................................
Gambar 2.1. Struktur Dinding Sel Tanaman
Gambar 2.2. Struktur Pektin
Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan dari 50 g sampel tepung limbah kulit pisang kepok yang digunakan, kadar gula pereduksi terbanyak dihasilkan pada sampel dengan konsentrasi asam sulfat

Jenis pelarut terbaik yang diperoleh pada ekstraksi pektin dari kulit dan dami buah cempedak, yaitu pelarut asam sitrat selama waktu 90 menit dengan rendemen pektin

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat potensi bioplastik berbahan baku dari pektin kulit pisang kepok yang dicetak menjadi bentuk kemasan dengan variasi temperatur dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri asam laktat yang terdapat pada kulit pisang kepok Musa balbisiana yang telah difermentasi sebagai antibakteri E.. Penelitian

Melalui hasil data penelitian ini penentuan ketebalan pada edible film dengan penambahan tepung tapioka, ekstraksi pektin kulit pisang kepok dan variasi massa

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai penggunaan kulit pisang kapok dalam menyerap logam berat kadmium, dapat disimpulkan bahwa Pektin kulit pisang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi pelarut dan komposisi campuran kulit pisang kepok dan kulit pisang ambon terhadap yield pektin yang dihasilkan

Ekstraksi pektin dari kulit pisang kepok ini menggunakan ultrasonik, adapun variasi pada penelitian ini menggunkan variasi massa bahan baku yang kemudian dibandingkan dengan perolehan