• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahaya lisan: studi kualitas hadis senda gurau dalam Kitab Ihya ‘Ulum Al-Din

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahaya lisan: studi kualitas hadis senda gurau dalam Kitab Ihya ‘Ulum Al-Din"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM KITAB IH

YÂ` ‘ULÛM AL

-DÎN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh

Zaenuri NIM: 1110034000056

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 Oktober 2014

(3)
(4)
(5)

i Zaenuri

Bahaya Lisan : (Studi Kualitas Hadis Senda Gurau dalam Kitab Ihyâ`‘Ulûm

al-Dîn)

Lisan merupakan salah satu anggota tubuh yang mempunyai beberapa fungsi, diantaranya untuk berbicara. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah luput dari peran lisan karena lisan adalah sarana untuk berkomunikasi dengan yang lainnya. Lisan ibarat dua mata pedang yang pada sisi lain bisa membawa manfaat dan di sisi lain bisa membawa mudharat.

Dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn karya imam al-Ghazali terdapat

pembahasan yang membahas tentang bahaya lisan, salah satu poinnya adalah senda gurau. Senda gurau memang suatu hal yang biasa dilakukan dalam upaya untuk mencairkan suasana sebagai refreshing agar suasana tidak terlalu kaku. Namun dalam senda gurau juga harus memperhatikan etika-etika agar tidak menyinggung pihak lain.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan library research yaitu dengan mengumpulkan data-data yang terdapat dalam sumber primer yaitu kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn dan sumber sekunder yaitu buku-buku,

skripsi, artikel, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini.

Dalam kajian terhadap hadis Nabi, penulis menemukan hadis-hadis yang berhubungan dengan senda gurau yang terdapatdalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn

pada bab Bahaya Lisan. Dari sekian banyak hadis Nabi yang menjadi pembahasan tentang senda gurau,penulis hanya meneliti empat hadis sebagai sampel dari 20 hadis senda gurau yang terdapat dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn.Setelah ditelusuri

kualitas hadis tersebut melalui metode takhrij hadis, ditemukanlah sebagai berikut: hadis pertama yang menjelaskan larangan bersenda gurau dan kualitas hadisnyaadalah hasan, hadis kedua yang menerangkan akibat apabila seseorang

bersenda gurau dan kualitas hadisnya adalah hasan, hadis ketiga yang

menjelaskan Nabi juga bersenda gurau kecuali kebenaran dan kualitas hadisnya adalah sahih, dan hadis keempat yang menerangkan bagaimana Nabi tertawa

(6)

ii Kata Pengantar

Syukur yang sangat mendalam saya curahkan kepada Allah swt. Atas semua yang telah Allah berikan selama ini kepada saya, baik nikmat, karunia, hidayah, dan cobaan. Sehingga dengan mengucapkan Alhamdulillah akhirnya skripsi ini bisa saya selesaikan.

Salawat serta salam, saya junjungkan untuk Nabi Muhammad saw. Sebagai tauladan bagi kita semua, dengan akhlak mulianya sehingga kita patut untuk mengikuti jejak beliau.

Selanjutnya, dalam usaha menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan waktu, pengetahuan, dan biaya sehingga tanpa bantuan dan bimbingan dari semua pihak tidaklah mungkin berhasil dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidaklah berlebihan apabila penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

- Bapak Maulana, M.Ag, selaku pembimbing dalam pembuatan skripsi saya, yang tidak pernah lelah untuk memotivasi supaya bisa lebih semangat dan terus meperbaiki dalam pembuatan skripsi ini.

- Ibu Lilik Ummi Kaltsum, selaku ketua jurusan Tafsir Hadis beserta sekretaris prodi Tafsir Hadis, Bapak Jauhar Azizy.

- Seluruh dosen jurusan Tafsir Hadis yang telah member pengetahuan kepada saya dari semester awal sampai semester akhir ini, beserta seluruh staf dan karyawan yang bekerja di Fakultas Ushuluddin. - Kedua orang tua saya, H. Zawawi dan Hj. Ely Horyanti, yang sangat

(7)

iii materi maupun non materi.

- Seluruh keluarga saya, dari jalur baba dan mama, yang selalu memberikan support kepada saya selama ini dan saya harapkan kehadiran kalian ketika saya wisuda nanti.

- Khusushan untuk Ukhty yang selalu memberikan support, kekuatan

serta semangat dalam menyusun skripsi ini hingga selesai.

- Semua teman-teman seperjuangan, keluarga besar TH B 2010 yang tetap menjaga kekompakan dan tali silaturrahmi, serta seluruh mahasiswa/i angkatan 2010.

Demikian kata pengantar dari penulis, mudah-mudahan penelitian ini dapat diambil manfaat untuk kita, amin.

(8)

iv

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. TinjauanPustaka ………. 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II BIOGRAFI AL-GHAZALI A. Riwayat Hidup al-Ghazali... 12

B. Sekilas mengenai Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn... 17

1. Isi Kitab... 17

2. Pendapat Ulama... 20

BAB III LISAN DAN SENDA GURAU A. Pengertian Lisan dan Senda Gurau... 23

B. Etika Senda Gurau... 25

C. Pandangan Ulama……….. 30

BAB IV STUDI KRITIK HADIS SENDA GURAU A. Pengertian dan Kedudukan Hadis ... 32

(9)

v D. Kritik Matan Hadis ... 41

E. Kritik Hadis Tentang Senda Gurau……… 43

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89 B. Saran-saran ... 90

(10)

vi No. Huruf Arab Huruf Latin No. Huruf Arab Huruf Latin

1. ا 16. T

2. B 17. ظ Z

3. ت T 18. ع „

4. ث Ts 19. غ gh

5. ج J 20. ف F

6. ح H 21. ق Q

7. خ Kh 22. ك K

8. د D 23. ل L

9. ذ Dz 24. م M

10. ر R 25. ن N

11. Z 26. و W

12. س S 27. ه H

13. ش Sy 28. ء `

14. ص S 29 ي Y

15. ض D

Vokal Panjang

TandaVokal Arab TandaVokal Latin

ان Â

ين Î

(11)

vii Kata sandang, yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.

Syaddah/tasydîd

Syaddah atau tasydîd yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah

tandaّ , dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu menggandakan huruf yang diberitanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika

huruf yang menerima syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf-huruf syamsiyyah. Contoh: ةرورّ لا tidak tertulis ad-darûrah

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lisan merupakan karunia yang amat vital dan sangat penting pada manusia. Lisan juga merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan dalam keseharian. Oleh karena itu sangat penting untuk menjaga lisan, apakah banyak kebaikannya dengan menyampaikan yang hak ataupun malah terjerumus ke dalam dosa dan maksiat. Lisanlah yang menghubungkan manusia dengan manusia, lisanlah yang menciptakan segala bahasa, lisanlah yang memberi suara semua pikiran dan cita, lisanlah yang memperindah nyanyi dan irama, lisan yang memberi nasihat dapat menerangkan gelora amarah dalam dada.1 Allah swt telah menyebutkan dalam firman-Nya salah satu nikmat yang besar yang diberikan kepada manusia berupa lisan:





































“(Tuhan) yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Ar-Rahmaan : 1-4)

Namun, masih banyak orang yang kurang menyadari akan bahaya lisan ini, sehingga banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi disebabkan oleh lisan itu sendiri, seperti kasus pembakaran rumah, pembakaran kios, kerusuhan, tawuran massal, baku hantam antar warga masyarakat, sampai keributan pun terjadi di kalangan pejabat. Hal ini terjadi karena lisan yang tak dijaga dengan baik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.2

1 Imam al-Ghazali,

Bahaya Lidah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 2 2 Dikalustian Rizkiputra,

Bahaya Lisan dan Pencegahannya dalam al-Qur’an, (Skripsi S1, Fakultas

(13)

Agar umatnya tidak saling bertengkar dan terpecah belah karena lisan, Nabi memberikan cara khusus untuk tidak menggunakan lisan kepada hal-hal yang bisa menjerumuskan seseorang ke dalam bahayanya, yaitu dengan cara diam. Nabi saw bersabda:

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Hushain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”

Di samping itu, al-Ghazali dalam bukunya menyatakan bahwa seseorang wajib untuk memelihara lisan. Sebab, di antara anggota badan dan panca indera yang paling banyak menimbulkan kerusakan adalah mulut.4

Salah satu bahaya lisan yang telah menyebar di kalangan masyarakat Islam dan sudah menjadi kebiasaan adalah senda gurau. Setiap hari dalam kehidupan zaman sekarang ada saja senda gurau yang dimunculkan dalam setiap kesempatan baik itu formal maupun non formal. Sebenarnya hal itu tidak dilarang dalam agama Islam, namun yang menjadi masalah adalah sudah banyak sekali di zaman sekarang yang berlebihan dalam bersenda gurau. Acara-acara seminar sering sekali memunculkan senda gurau yang berlebihan dari para nara sumber yang biasanya dilakukan dengan

3 Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, jilid III, (Beirut: Daar al-Fikr,

2002), h. 116. Lihat juga Muslim ibn Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, jilid I,

(Beirut: Daar al-Fikr), h. 68.

4 Imam al-Ghazali,

(14)

menggunakan lisan atau perbuatan yang bertujuan untuk membuat suasana menjadi lebih hidup atau sebagai icebreaking dalam komunikasi yang membeku. Sekarang

banyak juga dalam acara televisi yang hampir disetiap chanel menampilkan acara-acara berbentuk senda gurau yang berlebihan dengan hal-hal berbagai macam bentuk yang terkadang membuat seseorang merasa sakit hati ataupun tersinggung, disadari atau tidak hal-hal seperti itulah yang membuat senda gurau menjadikan bahaya pada diri seseorang. Dalam hadis Nabi disebutkan:

“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Az Zubair bin Sa'id lalu ia menyebutkan hadits dari Shafwan bin Sulaim berkata; dan Shafwan bin Sulaim telah menceritakan juga dari 'Atho` bin Yasar dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Seorang laki-laki mengatakan suatu kalimat yang dengannya ia ingin menjadi bahan tertawaan orang-orang disekelilingnya, maka ia akan masuk ke dalam neraka sejauh bintang-bintang di langit."

Bahkan yang lebih mengherankan, orang-orang Indonesia yang bermayoritas pemeluk agama Islam seakan senang sekali dipertontonkan dengan sebuah acara senda gurauan. Hal itu terbukti dengan banyaknya acara-acara senda gurau yang menjadi rating tertinggi di dalam penayangan acara televisi di Indonesia. Sebagai salah satu acara yang di dalamnya banyak sekali senda gurauan, program YKS (Yuk Keep Smile)6 lah yang dapat menyita perhatian public Indonesia dengan menempati rating teratas. Dalam salah satu sumber meyebutkan “Banyak yang menilai bahwa program YKS tidak mendidik dan dapat merusak moral. Selain itu program YKS juga pernah berkali-kali mendapat teguran KPI karena dinilai melanggar norma kesopanan

5 Ahmad bin Hambal,

Musnad li al-imam Ahmad ibn Hambal, (Beirut: Dar al-Fikri, 1991).

6Tayangan yang awalnya bernama “Yuk Kita Sahur” untuk mengisi program ramadhan di Trans TV

(15)

dan membuat lawakan yang menyerang fisik dan kehormatan seseorang. Anehnya, justru setelah mendapat teguran berkali-kali dari KPI, bukannya tenggelam dan mati karena ditinggal sponsor (iklan) dan penontonnya, justru YKS semakin berkibar dan menempati rating dan share yang semakin tinggi. Dan untuk kasus YKS, semakin dihujat dan dicaci maki ternyata rating dan sharenya semakin menjulang ini membuat YKS menjadi “raja rating” di Indonesia”.7

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam juga melakukan senda gurau akan

tetapi itu bertujuan untuk sebuah maslahat, yaitu menyenangkan hati lawan bicara dan beramah tamah dengannya bukan untuk senda gurau yang berlebihan apalagi dengan mencela orang lain yang membuat seseorang sakit hati atau tersinggung.8

Dalam sabda Nabi saw:

Artinya: “Sesungguhnya aku juga bercanda dengan mu namun aku tidak berkata kecuali yang benar.

Dalam realita kehidupan sekarang ini, ternyata masih banyak sekali orang yang tidak tahu tentang senda gurau sebagai salah satu bahaya lisan dan tidak memperhatikan terhadap masalah kecil ini. Bahkan masih banyak orang-orang yang tidak menyadari bahwa ia sesungguhnya telah menggunakan lisannya untuk bersenda gurau dengan tidak baik di dalam setiap pembicaraan sehingga tanpa disadari akan mengakibatkan bahaya terhadap dirinya sendiri.

7

http://media.kompasiana.com/new-media/2014/01/06/yks-semakin-dihujat-ratingnya-semakin-menjulang-624438.html diakses pada tanggal 10 Juli 2014

8 http://wika-online.blogspot.com/2013/01/humor-dalam-islam.html diakses pada tanggal 10 Juli 2014 9

(16)

Hadis sebagai salah satu pedoman bagi umat Islam selain al-Qur‟an, sudah selayaknya menjadi salah satu referensi utama pula terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di dalam segala aspek kehidupan yang terjadi pada manusia yang menganut agama Islam di dunia ini.

Dalam kesempatan ini, penulis akan mengkhususkan diri untuk mengambil salah satu kitab yang memuat berbagai hadis Nabi saw yang salah satunya hadis tentang senda gurau yaitu kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn karya Imam Ghazali. Imam

al-Ghazali yang di zamannya terkenal sebagai tokoh yang menjadi panutan masyarakat saat itu, menjadi sandaran umat, menjadi hujjah, yang tentunya dalam perjalanan hidupnya beliau tidaklah akan dengan beraninya mempertaruhkan dirinya dalam sebuah kebatilan dengan cara mengutip kata-kata sembarangan yang kemudian diklaim sebagai kata-kata Nabi. Namun, di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn ini

al-Ghazali banyak mengutip hadis-hadis Nabi dan sama sekali tidak menyertakan sanad-sanad secara lengkap dan juga tidak mencantumkan kualitas hadisnya.

Ibnu al-Jauzi salah satu ulama yang kontra terhadap al-Ghazali, beliau mengkritik Ghazali dalam masalah hadis dengan memberikan julukan kepada al-Ghazali sebagai “pencari kayu di malam hari”, maksudnya mengambil setiap yang

ditemuinya tanpa ada penyeleksian atau penyaringan terlebih dahulu.10

Dengan demikian penulis berinisiatif untuk meneliti hadis-hadis yang berada di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn khususnya dalam poin senda gurau karena kitab ini

sering disajikan dalam pembelajaran oleh para kyai/ustadz kepada masyarakat atau para santri dengan harapan masyarakat dan santri dapat memiliki moral yang tinggi. Akan tetapi yang patut diperhatikan juga adalah apakah hadis-hadis tersebut dapat diamalkan atau tidak.

10 Ahmad Satori Ismail,

(17)

Penulis akan mencoba meneliti apa saja bahaya lisan yang di paparkan al-Ghazali dalam kitabnya, dan dalam penelitian penulis, hal ini akan menjelaskan bagaimana kualitas hadis senda gurau yang terdapat dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn

sehingga penelitian ini -dalam harapan penulis- akan membuka cara pandang masyarakat luas umat Islam tentang lisan khususnya berkaitan dengan senda gurau menurut al-Ghazali maupun para ulama. Karena itu, penulis akan membuat sebuah penelitian hadis yang bertemakan “Bahaya Lisan: (Studi Kualitas Hadis Senda

Gurau dalam Kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah lisan merupakan masalah yang cukup luas dan penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan di dalam hadis banyak sekali yang menjelaskan mengenai bahaya lisan. Namun demikian untuk menghindari pembahasan yang tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini, yang dimaksud bahaya lisan disini adalah lebih menitik beratkan pada poin “senda gurau” saja. Menurut penulis pembahasan poin ini menarik jika ditelusuri lebih dalam, banyak orang-orang yang meremehkan tentang senda gurau ini.

Kemudian di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn terdapat cukup banyak memuat

hadis-hadis tentang senda gurau akan tetapi penulis akan membatasi empat hadis saja yang akan diteliti kualitasnya (kritik sanad maupun matannya) karena kelima hadis tersebut menarik untuk di bahas lebih lanjut dalam skripsi ini dan tentu kualitas keempat hadis tersebut masih dipertanyakan dimana belum terdapat di dalam kitab

Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn itu sendiri, hadis ini juga yang mewakili dari poin senda gurau

(18)

Hadis pertama menjelaskan larangan bersenda gurau. Hadis kedua menerangkan bagaimana akibat bila seseorang bersenda gurau. Selanjutnya hadis ketiga menjelaskan Nabi juga bersenda gurau kecuali kebenaran dan tidak berlebihan. Kemudian hadis keempat contoh tertawa Nabi ketika sedang bersenda gurau, berikut hadis-hadis tersebut:

Sedangkan metode pembahasan dalam penelitian hadis ini yaitu:

a. Melakukan Takhrij hadis melalui salah satu lafadz hadis dengan menggunakan kitab kamus hadis yaitu: Al-Mu’jam al-Mufahras Fî Alfâdz

al-Hadîts al-Nabawî karya A.J Wensick, melalui topik hadis dengan

menggunakan kitab Miftâh al-Kunûz al-Sunnah, kitab al-Jâmi’ al-Saghîr

min Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr karya „Abd al-Rahmân ibn Abû Bakar

al-Suyûtî.

b. Mencari data yang telah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada kitab asli yang ditunjukan oleh kitab kamus.

c. Melakukan penelitian kritik sanad dari data yang diambil dari kitab asli, kemudian melakukan penelusuran pada periwayatan hadis sehingga diketahui kepribadian setiap periwayatan, menilai keadaannya, hubungan antar guru-guru dan murid guna mendapatkan kesimpulan tentang kredibilitas periwayat hadis tersebut.

(19)

e. Memberikan kesimpulan dari hasil penelitian.

Dari pembatasan tersebut, kemudian penulis merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini dirumuskan dengan:

Bagaimana kualitas keempat hadis di atas yang terdapat dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm

al-Dîn tentang senda gurau?

C. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan buku-buku atau skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat pemasalahan yang sama, sehingga diharapkan kajian ini tidak plagiat dari kajian yang telah ada.

Berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai buku-buku, skripsi, maupun semua yang berkaitan dengan judul ini, penulis menemukan ada beberapa karya yang membahas permasalahan bahaya lisan ini, yaitu: Buku karya Imam al-Ghazali, ”Bahaya

Lidah”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), isi buku Bahaya Lidah karya Imam al-Ghazali ini hanya menerjemahkan apa yang ada di kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn menjadi bahasa

Indonesia saja. Skripsi oleh Eneng Maria Ulfa dengan judul “Etika Menjaga Lisan

dalam al-Qur’an; Kajian Terhadap QS. Al-Nisa ayat 114 dan QS. Al-Hujuraat ayat

12”, tahun 2005, no. 429, isi skripsi ini sendiri adalah hanya kajian dari beberapa ayat

al-Qur‟an saja yang tercantum dalam judul. Skripsi oleh Dikalustian Rizkiputra dengan

judul “Bahaya Lisan dan Pencegahannya dalam al-Qur’an”, tahun 2011, no. 2886,

adapun isi dari skripsi ini adalah kumpulan-kumpulan ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan bahaya lisan.

(20)

memfokuskan kepada poin senda gurau dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn dan meneliti

kualitas hadis-hadis tersebut kemudian diambil kesimpulan berdasarkan data-data yang terkumpul.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui secara mendalam hadis tentang senda gurau melalui pandangan al-Ghazali maupun para ulama lain.

2. Agar dapat mengungkapkan data-data hadis yang berkaitan dengan bahaya lisan terutama pada poin senda gurau, dan juga membuktikan data kualitas hadis yang terdapat di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn mengenai senda

gurau.

3. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(21)

menyakiti hati orang lain. Sekaligus penulis dapat memberikan sumbangsih dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam.

E. Metodologi Penelitian

Metode penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian dengan metode Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu mengumpulkan data-data yang memiliki relevansinya dengan masalah yang dibahas, baik itu yang bersumber dari buku-buku, kitab-kitab, kamus, majalah, koran, artikel, dan sebagainya, mengungkapkan data-data yang ada, mengolah dan menyimpulkan dalam suatu kesimpulan.

Ada dua jenis data dalam membuat skripsi ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung

berupa buku-buku, kitab-kitab hadis, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini. Adapun tipe kajiannya bersifat Deskriptif-Analitis, yakni mengumpulkan data, memaparkan dan menganalisa pemikiran al-Ghazali maupun para pakar dalam bidang hadis sehingga menjadi kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

[image:21.595.98.533.142.554.2]
(22)

Pada bab kedua, penulis menguraikan secara rinci dari berbagai literatur tentang riwayat hidup al-Ghazali dan karya-karya beliau.

Pada bab ketiga, penulis membahas gambaran umum tentang lisan dan mengkhususkan tentang senda gurau yang meliputi: pengertian senda gurau, etika bersenda gurau, dan pendapat ulama tentang senda gurau. Bab ini menjelaskan tentang lisan secara umum dan lebih khusus kepada senda gurau baik ditinjau dari segi kebahasaan. Output yang diharapkan pada bab ini adalah dapat memahami pengertian lisan atau senda gurau serta hikmahnya secara baik dan benar.

Pada bab keempat, penulis akan meneliti kualitas keempat hadis yang terdapat dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn pada poin senda gurau dengan cara mengkritik sanad

dan matan hadis. Adapun output yang diharapkan adalah dapat memahami senda gurau dengan berbagai bentuk dan dampaknya berdasrkan hadis yang ada sehingga dapat memberi dorongan kepada pembaca untuk menghindarinya, serta pembaca dapat mengetahui kualitas hadis Nabi yang berhubungan dengan senda gurau.

(23)

12

BAB II

AL-GHAZALI DAN IHYÂ` ULÛM AL-DÎN

A. Biografi

Nama lengkap beliau adalah Abû Hamîd Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, beliau lahir di Thus pada tahun 405 H. Beliau dijuluki Abû Hamîd karena mempunyai putra bernama Hamîd yang meninggal sewaktu kecil. Hidup dari keluarga yang sederhana, sebelum ayahnya wafat ia berpesan kepada sahabatnya agar mendidik anaknya. Al-Ghazali menuntut ilmu bersama beberapa Imam lainnya di Naisabur, dan sempat menjadi sahabat baik. Mereka adalah Kayya Haras, Abû al-Muzhfar al-Khawwafi serta Abâ al-Ma‟âlî al-Juwainî (dari al-Juwainî juga al-Ghazali memperoleh ilmu ushul fiqh, ilmu mantiq, dan ilmu kalam).

Mereka bertiga sempat menjuluki al-Ghazali sebagai “lautan yang tak bertepi” dan beliau juga terkenal dengan sebutan “al-Ghazzala”. Al-Ghazali wafat pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505/18 Desember 1111, di makamkan di Taban, Thus dan makamnya banyak sekali orang yang datang untuk menziarahi. Menurut laporan adiknya, al-Ghazali wafat sesudah berwudhu, sholat subuh kemudian minta diambilkan kain kafan lalu ia mengambil dan menciumnya serta menutupkannya kepada kedua matanya seraya berkata, tâ’atan li al-dukhûl ‘alâ al-malak, yang artinya aku rela dan patuh, silahkan

masuk wahai malaikat ku. Kemudian beliau menelentangkan kakinya dan menghadap

kiblat, sehingga wafat sebelum matahari terbit.

Pendidikan dan Karir Intelektual Imam al-Ghazali

(24)

al-Razâkanî al-Tûsî, seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka, dan kepadanyalah pertama kali al-Ghazali mempelajari ilmu Fiqh. Namun, setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh, mereka dimasukkan kesebuah madrasah di Thus. Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Naisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Imâm Abû Nasr al-Ismâ‟ilîy.

Kemudian al-Ghazali yang sudah berusia 20 tahun berangkat kembali ke Naisabur pada tahun 470 H untuk belajar kepada salah seorang ulama Asy‟ariyah, yaitu Imâm Abû al-Ma‟âlî al-Juwainî yang dijuluki sebagai Imâm al-Haramain dan mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478 H, al-Ghazali belajar kepadanya dalam bidang Fiqh, Manthiq, Filsafat dan Ilmu Kalam.

Dengan meninggalnya Imâm al-Haramain, maka al-Ghazali dengan bekal kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin pada madarasah yang didirikan Imâm al-Haramain di Naisabur. Di samping itu, al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu Imâm Yusuf al-Nasaj dan Imâm Abû „Alî al-Fadl bin Muhammad bin „Alî al-Farmazî al-Tûsî. Ia juga belajar hadis kepada

banyak ulama, seperti Abû Sahal Muhammad bin Ahmad Haisi Marwâzî, Abû al-Fath Nasr bin „Alî bin Ahmad al-Hâkimî al-Tûsî, Abû Muhammad „Abdullah bin Ahmad

(25)

Setelah al-Juwainî meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi tempat kediaman seorang wazir (mentri) pada masa pemerintahan Sultan „Adûd al-Daulah Al-Arselan (455 H/1063 M-465 H/1072 M) dan Jalâl al-Daulah Mâlik Syah (465 H/1072 M-1092 M) dari dinasti Salajiqah di al-„Askar sebuah kota di Persia. Wazir kagum atas pandangan-pandangan al-Ghazali sehingga al-Ghazali diminta untuk mengajar Fiqh al-Syafi‟iyah di perguruannya Nizham al-Mulk di Baghdad, yang lebih dikenal dengan perguruan atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali mengajar di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M, pada saat inilah al-Ghazali yang pada waktu itu berusia 34 tahun memeperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai puncak karirnya yang ia capai dalam usia yang masih relatif muda.

(26)

Presiden dari perguruan di Naisabur pada tahun 1105 M. Tidak cukup lama di Naisabur, al-Ghazali kembali ke Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari Teologi dan Tasawuf, serta madrasah fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah

al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah memperoleh kebenaran yang sejati. 1

Karya-karya al-Ghazali

Beliau seorang yang sangat produktif menulis. Karya Ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:

a. Pertama, dalam masalah Ushuluddin dan Aqidah:

1) Arba’in fi Usûl al-dîn. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawâhir al-Qur’ân.

2) Qawâ’id al-‘Aqâ`id, yang beliau satukan dengan Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn pada jilid

pertama.

3) Al-Iqtisâd fi al-I’tiqâd.

4) Tahâfut al-Falâsifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran

para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy‟ariyah. 5) Faysâl al-Tafrîqahbain bain al-Islâm wa Zanâdiqah.

b. Kedua, dalam ilmu Ushul, Fiqh, Filsafat, Manthiq, dan Tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak, di antaranya:

1) Al-Mustasyfâ min ‘Ilmi al-Usûl.

2) Mahak al-Nadzar.

3) Mi’yâr al-‘Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang ilmu Manthiq.

4) Ma’ârif al-‘Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdul Karim „Ali „Ustman.

1 Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ`‘Ulûm al

(27)

5) Misykât al-Anwâr. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abu al-A‟laAfifi.

6) Al-Maqsad al-Asnâ fî Syarh Asmâ` Allah al-Husnâ.

7) Mizân al-A’mal. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Sulaiman Dunya.

8) Al-Madmûnbihî ‘alâ Ghairi Ahlihî.

9) Al-Ajwibah al-Ghazâliyyah fî al-Masâ’il al-Ukhrawiyyah.

10)Ma’ârij al-Quds fî Madârij al-Ma’rifat ‘an al-Nafs.

11)Qanûn al-Ta’wîl.

12)Fadâ’ih al-Bâtiniyyahdan al-Qistâs al-Mustaqîm.

13)Iljâm al-A’wâm ‘an ‘ilm al-Kalâm.

14)Rawdat al-Tâlibînwa‘Umdat al-Sâlikhîn.

15)Al-Risâlah al-Ladûniyah.

16)Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn.

17)Minhaj al-‘Abidin2

B. Sekilas mengenai Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn

1. Isi Kitab

Al-Ghazali membagi kitabnya pada empat bagian, yaitu: pertama, Rub’ al

-‘Ibâdât. Bagian mengenai ibadah ini terdiri dari sepuluh pembahasan, yaitu: Kitab ilmu,

Kitab kaidah-kaidah i‟tikad, Kitab rahasia (hikmah) bersuci, Kitab hikmah salat, Kitab hikmah zakat, Kitab hikmah puasa, Kitab hikmah haji, Kitab adab membaca Alquran, Kitab dzikir dan doa, dan Kitab tartib wirid pada masing-masing waktunya.3

2 Abû Hamîd al-Ghazali,

Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn,terj. Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, h.11 3 Abû Hamîd al-Ghazali,

Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, tahqiq: Badawi Thibanah, Juz I (Semarang: Karya Thaha

(28)

Kedua, rub’ al-‘Âdât. Bagian kedua ini merupakan pembahasan yang terkait

dengan pekerjaan sehari-sehari atau adat kebiasaan. Terdapat sepuluh hal adat yang ia bahas pada bagian ini, yaitu: kitab adab makan, kitab adab perkawinan, kitab hukum berusaha, kitab halal dan haram, kitab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan manusia, kitab „uzlah (pengasingan diri), kitab adab musafir, kitab mendengar

dan merasa, kitab amr ma‟ruf nahi munkar, dan kitab adab kehidupan dan akhlak

kenabian.4

Ketiga, rub’ al-muhlikât. Bagian ketiga ini merupakan bahasan yang terkait

dengan perbuatan-perbuatan yang membinasakan. Ada sepuluh bab yang mengisi bagian ini, yaitu: kitab menguraikan keajaiban hati, kitab latihan diri, kitab bahaya hawa nafsu perut dan kemaluan, kitab bahaya lidah, kitab bahaya marah, dendam, dan dengki, kitab tercelanya dunia, kitab tercelanya harta dan kikir, kitab tercelanya sifat suka kemegahan dan cari muka, kitab tercelanya sifat takabur dan menyombongkan diri, dan kitab tercelanya sifat tertipu dengan kesenangan duniawi.5

Keempat, rub’ al-munjiyât. Ini merupakan seperempat bagian terakhir yang ada

dalam kitab Ihya. Isinya terkait dengan perbuatan yang dianggap melepaskan dari perbuatan tercela, atau dengan kata lain budi pekerti yang terpuji. Ada sepuluh bab dalam bagian ini, yaitu: kitab taubat, kitab sabar dan syukur, kitab tajut dan harap, kitab fakir dan zuhud, kitab tauhid dan tawakkal, kitab cinta kasih, rindu, lembut hati, dan rela, kitab niat, benar, dan ikhlas, kitab muraqabah dan menghitung amalah, kitab tafakkur, dan kitab ingat mati.6

4Abû Hamîd al-Ghazali,

Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, tahqiq Badawi Tabanah, h.389. 5Abû Hamîd al-Ghazali,

Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, tahqiq Badawi Tabanah, h.402. 6 Abû Hamîd al-Ghazali,

(29)

Di Indonesia, kitab Ihyâ` Ulûm al-Dîn ini sudah banyak dikenal oleh masyarakat.

Dalam pelacakan penulis, tahun 1963 merupakan tahun pertama kitab ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Hamka memberikan pengantar pada buku tersebut dan ia menyatakan kesenangannya telah ada orang yang mau menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Indonesia, adapun yang menerjemahkan kitab ini adalah Isma‟il Ya‟kub dan

diterbitkan oleh penerbit Imbalo Medan.7 Setelah itu ada beberapa penerbit yang turut serta menerjemahkan kitab ini, di antaranya Penerbit Pustaka Indonesia di Medan dengan jumlah 9 jilid pada tahun 1976, Penerbit Faizan di Jakarta dengan jumlah 4 jilid pada tahun 1984, Penerbit al-Syifa di Semarang pada tahun 1992, dan Penerbit Republika dengan jumlah 9 jilid pada tahun 2011.

Menurut Badawi8, kitab ini pada dasarnya terbagi menjadi tiga bahasan pokok, yaitu: al-‘Aqliyah al-Syarî’ah, al-‘Aqliyah al-Falsafiyah, dan al-‘Aqliyah al-Sufiyah.

a. Al-‘Aqliyah al-Syarî’ah

Pokok bahasan dari al-‘Aqliyah al-Syarî’aholeh al-Ghazali disariakn dari

hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan fiqih dan usulnya, yang itu dinukilkan dari sumber hukum Islam terbesar yaitu Alquran dan hadis, serta disarikan dari pendapat para Imam madzhab, ditambahkan pula dari pendapat ahli fikih, ulama syari‟ah, ulama hadis dan ta‟wil. Meski demikian, semuanya itu tidak

menyimpang dari sandaran hukum pokok yang utama dalam Islam, yaitu Alquran, Hadis, dan ijma‟ ulama yang diridhai Allah.9

7Abû Hamîd al-Ghazali,

Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, terjemahan Isma‟il Ya‟kub (Medan:Penerbit Imbalo,

1964), h.19-22.

8Ia adalah orang yang mentahqiq kitab

Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn 9Abu Hafsa,

Pintu Masuk Buku Ini, dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn,

(30)

b. Al-‘Aqliyah al-Falsafiyah

Pokok bahasan dari al-‘Aqliyah al-Falsafiyah oleh Imam al-Ghazali

disandarkan pada kemampuan akal manusia untuk memahami, sebagai saran yang telah Allah anugrahkan kepada setiap manusia yang mau menggunakan akal sesuai aturan dan petunjuknya. Sekaligus sebagai pembenar dan saksi atas kebenaran aturan hidup yang disampaikan, yang itu bertujuan untuk memudahkan kita dalam menjalani hidup, serta seluruh aturan yang diperintahkan oleh Allah swt. Di dalamnya penggunaan akal yang dimaksud disini adalah metode berfikir yang dirancang untuk tidak menyimpang dari fithrahnya yang suci, dengan menggunakan logika yang lurus dan cara-cara berfikir yang sahih.10

c. Al-‘Aqliyah al-Shufiyyah

Sedangkan pokok bahasan dari al-‘aqliyah al-shufiyyah oleh Imam

al-Ghazali disandarkan untuk lebih mempersiapkan kepentingan urusan akhirat, melalui cara-cara seperti bersikap zuhut terhadap urusan dunia, menucikan diri dari segala bentuk urusan yang meragukan, maupun usaha pembersihan jiwa dari kotoran yang sanggup melingkupinya. Serta di atas semua permasalahan tersebut, tujuan utamanya adalah pembersihan qalbu melalui pendekatan diri secara langsung kepada Allah swt, menggunakan beberapa metode yang sudah ditentukan-Nya.11

10 Abu Hasfa,

Pintu Masuk Buku Ini dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, h. 14 11 Abu Hasfa,

(31)

2. Pandangan Ulama atas Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn

Terdapat satu buku yang berupa mengumpulkan pandangan-pandangan kurang baik atas kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Buku ini disusun oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

dengan judul terjemahannya Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn dalam pandangan Ulama. Ia

meneyebutkan beberapa pandangan ulama yang menyatakan adanya kekurangan dalam kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Di bawah ini, penulis kutip dua diantaranya:

1) Ibn al-Jauzi bahwa “kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn di dalamnya terdapat banyak

kerusakan (penyimpangan) yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan (dibandingkan dengan penyimpangan-penyimpangan besar lainnya) adalah hadis-hadis palsu dan batil (yang termaktub di dalamnya), juga hadis-hadis mauqûf (ucapan sahabat atau tabi‟in) yang

dijadikan sebagai hadis marfû’ (ucapan Rasulullah shallallah „alaihi wa sallam).

Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia yang memalsukannya. Serta (sama sekali) tidak dibenarkan mendekatkan diri (kepada Allah swt) dengan hadis palsu, dan tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan (atas nama Rasulullah shallallah „alaihi wa sallam).”12

2) Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah: “Dalam kitab ini terdapat hadis-hadis dan riwayat-riwayat yang lemah bahkan banyak hadis yang palsu. Juga banyak kebatilan dan kebohongan orang-orang ahli Tasawuf.”13 Dalam tulisannya, ia menyatakan: “Kitab ini berisi pembahasan-pembahasan yang tercela, (yaitu) pembahasan yang

rusak (menyimpang dari Islam) dari para ahli filsafat yang berkaitan dengan

12 Ibn al-Jauzi,

Minhajul Qashidin, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga (Jakarta: Darul Qolam, tt), h. 14-17

13Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, Juz X, h. 552, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul

(32)

tauhid (Pengesaan Allah swt), kenabian dan hari kebangkitan. Maka, ketika penulisnya menyebutkan pemahaman orang-orang ahli Tasawuf (yang sesat) keadaanya seperti seseorang yang mengundang seseorang musuh bagi kaum muslimin tetapi (disamarkan dengan) memakaikan padanya pakaian kaum muslimin (untuk merusak agama mereka secara terselubung). Sungguh para Imam (ulama besar) Islam telah mengingkari (kesesatan dan penyimpangan) yang ditulis oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya.”14

Sebenarnya orang yang menyebutkan sisi baik dari kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, juga

tidak sedikit. Buya Hamka, saat memberikan kata pengantar pada terjemahan kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn cetakan pertama berbahasa Indonesia, menyebutkan begitu besar

pengaruh kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn pada masyarakat Muslim dan Ulama di Indonesia.

Contohnya, penyebaran Islam di Kerajaan Pasai dipengaruhi juga oleh karya al-Ghazali ini. Untuk contoh lainnya karya Seykh „Abd al-Shamad al-Falimbani, Sa’ir al-Salikin,

banyak dipengaruhi kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Buya Hamka menambahkan, bahwa buku

Tasawuf Modern miliknya, “amat banyak mengambil buah renungan al-Ghazali ini”.15

Bila kitab ini memiliki kekeliruan besar tenyata tidak akan banyak orang yang akan terpengaruhi olehnya. Namun apabila kitab ini sedikit kekeliruan, hal itu penulis pandang sebagai suatu normal dalam sebuah karya.

14Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, Juz X, h. 552, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul

Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga, h. 20

(33)

23

BAB III

LISAN DAN SENDA GURAU

A. Pengertian Lisan dan Senda Gurau

Menurut Bahasa ٌنا سل berasal dari akar kata yang terdiri atas tiga huruf; lam-sin-nun yang dihubungkan menjadi ن س لdan mempunyai makna dasar yaitu panjang yang agak lembut. Dalam lisân al-‘arab, kata ٌنا سل diartikan jârihat al-kalâm, yaitu

anggota badan yang bisa mengeluarkan perkataan. Sedangkan bentuk jamak dari lisan adalah ْنس اْل “alsun” dan نْهسْل ا“alsinah”. Samin Halabi, penulis buku kosakata Alquran, ‘Umdat al-Huffâdz fî Tafsîr Asyrâf al-Alfâdz, membedakan dua bentuk

jamak tersebut. Jika kata lisan diposisikan sebagai mudzakar maka bentuk jamaknya adalah ْه نسْل ا , tetapi jika lisan diposisikan sebagai muannats maka bentuk jamaknya adalah ْنسْل ا . Para ahli bahasa memaknai lisan sebagai salah satu organ tubuh yang terdapat di bagian mulut yang menghasilkan kekuatan berbicara yang dapat dimengerti oleh sesama manusia atau disebut juga bi tahrîk al-fasâhah, yaitu

ketajaman lisan oleh pengguna bahasa Arab disebut ْن سل ا ل“al-lasan”. 1

Lisan Menurut Istilah adalah sekumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lisan berada di dalam mulut manusia, dan bertetangga dengan gigi dan gusi. Lisan

1Ibnu Mandzûr,

Lisân al-‘Arabi,juz 12 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Arabi), h. 275-276.

Lihat juga: Sihabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia al-Qur’an; kajian kosa kata, vol II (Jakarta: Lentera

(34)

hanyalah segumpal otot lentur yang melintang dan panjang sehingga dapat digerakkan atau dijulurkan. Normalnya, lisan memiliki ukuran 5-6 cm. Lisan juga dikenal sebagai indera pengecap yang banyak memiliki struktur tunas pengecap.2 Lisan juga turut membantu dalam tindakan bicara.3

Pengertian Senda Gurau menurut bahasa ialah: Mazaha, yang berasal dari kata

4

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti senda

gurau adalah main-main (canda) dengan kata-kata seperti olok-olok; kelakar; seloroh.5

Bersenda gurau merupakan salah satu cara yang di syari‟atkan dan sifat agar kita

disukai banyak orang. Juga merupakan salah satu perantara yang utama untuk dapat dicintai orang lain dan cara yang mudah untuk memperoleh simpati hati mereka. Rasulullah mencontohkan bersenda gurau dengan para sahabatnya, menanamkan kegembiraan dan keceriaan di hati mereka.6

Terdapat unsur humor dalam senda gurau, karena biasanya senda gurau menghasilkan sebuah tawa. Istilah humor sendiri merupakan kata- kata yang memiliki

2Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papilla, terdiri dari dua sel yaitu

sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor. Sedangkan sel penyokong berfungsi untuk menopang. Terdapat lebih dari 10.000 tunas pengecap pada lidah manusiausianya hanya seminggu. Tunas itu akan mati dan segera digantikan oleh sel-sel yang baru. Sel-sel reseptor terdapat pada tonjolan-tonjolan kecil pada permukaan lidah (papila). Sel-sel inilah yang bias membedakan rasa manis, asam, pahit, dan asin. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah.

3 http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. Diakses pada tanggal 8 Juni 2014. 4

Ibnu Mandzûr, Lisân al-‘Arabi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Arabi), h. 92 5 Tim Penyusun Kamus,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),

h.812

(35)

banyak makna. Pada Abad Pertengahan, humor menunjuk kepada suatu energi yang berpikir untuk berhubungan dengan suatu keadaan emosional. Energi ini telah dipercaya untuk menentukan kesehatan dan karakter. Menurut Freud, tujuan dari lelucon atau humor adalah untuk memberikan kesenangan, memunculkan hal yang sebelumnya tersembunyi atau tidak diakui.

Sedang Dalam literatur Islam masa lalu, cukup banyak tokoh-tokoh muslim yang telah menghasilkan karya-karya humor. Namun humor dan canda mereka selalu mengandung unsur akidah, muamalah dan akhlak. Di antaranya Nasruddin Hoja, Hani al Arabiy. Para tokoh humor ini, digambarkan sebagai manusia-manusia unik.

Dari ucapan dan perbuatan mereka, semuanya mengandung pengajaran dan dakwah. Jadi, di dalam Islam sama sekali tidak ada larangan humor dan cara bersenda gurau. Tentu saja selama masih berada dalam koridor yang benar. Kita tidak diperbolehkan bersenda gurau yang berlebihan hingga akhirnya jatuh pada ghibah atau olok-olok.7

B. Etika Senda Gurau

Yusuf Qardhawi telah mengariskan lima etika dalam bersenda gurau :

1)Tidak menggunakan perkara yang bohong sebagai alat untuk manusia tertawa. Nabi SAW bersabda,

Artinya: Celaka orang yang bercakap kemudian berbohong supaya manusia ketawa.

Celakalah dia dan celakalah dia!!!

(36)

2) Gurauan tidak mengandung penghinaan terhadap orang lain melainkan diizinkan oleh orang tersebut.

Allah telah berfiman dalam surat al-Hujurat, ayat 11,

                                                                         

"Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah satu kaum itu menghina kaum yang lain, kemungkinan orang yang dihina lebih baik daripada orang yang menghina. Janganlah wanita menghina wanita lain, kemungkinan wanita yang dihina lebih baik daripada wanita yang menghina.."

Nabi juga ada bersabda,

Cukuplah seorang itu melakukan kejahatan apabila dia menghina saudaranya semuslim.

Penghinaan itu juga termasuk cara seseorang itu meniru perbuatan orang lain. (sabah : mengolok-ngolok).

Saidatina Aisyah RA berkata, "Aku telah meniru perbuatan seorang manusia." Lalu, Baginda bersabda,

Aku tidak suka meniru perbuatan orang lain.

8 Muslim ibn Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi,

Shahih Muslim, (Beirut: Daar

al-Fikr).

9 Ahmad bin Hanbal,

(37)

3) Bergurau yang tidak menakutkan orang lain.

Nukman bin Basyir RA berkata, "Sesungguhnya, kami bersama Rasulullah SAW dalam satu perjalanan. Seorang lelaki mengantuk di atas tunggangannya. Seorang lelaki yang lain mengambil anak panah dari busurnya, dan mengejutkan lelaki yang mengantuk itu, menyebabkan dia terperanjat." Rasulullah SAW bersabda,

Tidak boleh bagi seorang muslim untuk menakutkan sesama saudara muslim.

Nabi juga bersabda,

“Janganlah kamu mengambil barang kepunyaan saudara seIslamnya dengan niat bergurau atau betul-betul.”

4) Janganlah bergurau di tempat yang serius dan janganlah serius di tempat yang bergurau.

Dalam Islam, ada tiga perkara yang dianggap diambil hukumnya walaupun dalam keadaan bergurau. Nabi SAW bersabda,

“Tiga perkara yang mana diambil hukumnya sama dalam keadaan bergurau atau serius yaitu nikah, cerai dan membebaskan hamba.”

10 Sulaiman bin al-„Asy‟asy Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi,

Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar

al-Fikr).

11 Sulaiman bin al-„Asy‟asy Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi,

Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar

al-Fikr).

12

Abî Hisyâm Muhammad bin „Isâ bin Tsaurah, Sunan Tirmîdzî, (Beirut:Dâr al-Ma‟rifah,

(38)

Sesungguhnya, Allah telah mencela orang-orang musyrikin yang ketawa ketika mendengar bacaan al-Quran. Firman Allah SWT dalam surah an-Najm, ayat 59-61,                   



"Adakah kamu hai musyrikin rasa hairan dengan ayat-ayat suci al-Quran?

Kamu ketawa ketika mendengarnya, tidak menangis ketika mendengranya dan kamu

dengar dengan keadaan lalai."

5) Hendaklah bergurau sekedar yang perlu dan tidak berlebihan. Nabi SAW bersabda,

"Janganlah kamu banyak ketawa. Sesungguhnya banyak ketawa boleh mematikan hati.".

Saidina Ali RA juga pernah berkata, "Masukkan gurauan dalam kata-kata sekedar kamu memasukkan garam dalam makanan kamu." 14

Adapun adab Bersenda Gurau sebagai berikut:

a) Bercanda adalah perkataan yang dimaksudkan untuk melapangkan dada, dan

tidak sampai menyakiti, bila menyakiti maka berubah menjadi mengejek.

b) Bercanda juga dianjurkan di antara saudara dan sahabat sebab hal itu dapat

membuat hati menjadi tenang.

13

Abî Hisyâm Muhammad bin „Isâ bin Tsaurah, Sunan Tirmîdzî, (Beirut:Dâr al-Ma‟rifah,

2002).

14 Yusuf Qardhawi,

Fiqih Al-lahwi At-Tarawih, Terj. Dimas Hamsyah, Fiqih Hiburan,

(39)

c) Saat bercanda jangan sampai menuduh, menceritakan aib orang, tenggelam

dalam canda yang dapat menurunkan harga diri, mengurangi kewibawaan pribadi, perkataan kotor yang dapat menimbulkan permusuhan, tidak memunculkan keributan dan tindakan bodoh, tidak memunculkan pengkhianatan dan tidak pula bermuatan kebohongan.

d) Di antara canda para shahabat radhiallahu anhum adalah saling melempar

semangka, sementara dalam pentas realita mereka adalah para pejuang.

e) Di antara bercanda dan bermain yang tidak diperbolehkan sebagaimana

diterangkan dalam hadits riwayatkan Abdullah bin As-Saib dari Ayahnya dan dari kakeknya ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

15

"Janganlah seseorang diantara kalian mengambil harta saudaranya dengan main-main atau sengaja, Jika di antara kalian mengambil tongkat saudaranya maka hendaklah dia mengembalikannya".

f) Tidak memperbanyak bersendra gurau, jika hal tersebut melewati batas

sehingga terbentuk menjadi tabi‟at pribadi, akhirnya menjatuhkan harga

dirimu dan para penganggur mempermainkanmu.

15

Sulaiman bin al-„Asy‟asy Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar

(40)

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang yang bersenda gurau:

a) Hendaknya senda gurau dilakukan pada waktunya yang sesuai b) Tidak tenggelam dan terlewat batas

c) Tidak berbicara dengan perkataan yang buruk.

d) Tidak bersenda gurau dengan memperolok-olok agama. e) Tidak bersenda gurau dengan orang-orang yang bodoh. f) Hendaknya menjaga perasaaan orang lain.

g) Bersanda gurau dengan orang yang lebih tua dan alim dengan sesuatu yang

pantas.

h) Tidak terbuai sampai tertawa terbahak-bahak. i) Tidak memudharatkan diri sendiri

C. Pendapat Ulama tentang Senda Gurau

Nabi saw sedikit sekali bersenda gurau. Sekalipun bersenda gurau, beliau hanya mengatakan perkataan yang benar. Umar bin Abdul Aziz ra berkata: “Berhati

-hatilah kalian terhadap senda gurau karena hal itu berbuntut pada dendam dan menimbulkan keburukan.” Dikatakan pula, “Setiap sesuatu itu mempunyai benih, dan

(41)

Naisaburi berkata: “Senda gurau itu memancing untuk saling mencela,

sesungguhnya senda gurau itu awalnya manis tetapi berakhir dengan permusuhan.”16

Hassan Al-Banna telah menyusun dan merintis semula mengenai isu ini dengan meletakkan suatu pesanan yang sangat berguna kepada para da‟i dan setiap Muslim yang beriltizam dengan agama Islam ini. Beliau tidak meletakkan hukum 'haram' dalam gurauan dan ketawa. Namun, beliau seperti Baginda SAW dan Saidina Ali RA, telah menyeru dan memperbaharui seruan melalui wasiatnya supaya umat Islam ini kurangkan bergurau dan lebihkan amalan dan tindakan. Hal ini disebabkan, dengan banyak ketawa atau gurauan, dapat menyebabkan hati dan fikiran 'mati' daripada memikirkan nasib dan permasalahan ummah yang menderita akibat terus-terusan dijajah.

16 Ali al-Dihami,

(42)

32

BAB IV

STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS SENDA GURAU

A.Pengertian dan Fungsi Hadis

Menurut bahasa kata hadits memiliki arti: (sesuatu yang

baru), lawan dari qadîm. Bisa juga diartikan dengan Qarîb (yang dekat), selain

itu juga bisa diartikan dengan khabar yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan

dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Hadis merupakan sumber Islam kedua setelah Alquran. Dimana ia adalah sinonim dari kata sunnah yaitu yang diartikan sebagai segala sesuatu

yang diambil dari Rasulullah saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan.1

Keberadaannya bisa dijadikan sebagai penguat dari Alquran, penjelas dari sesuatu yang masih global yang terdapat dalam Alquran, menerangkan yang sulit, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, dan menguraikan ayat-ayat yang ringkas, bahkan kadangkala menetapkan suatu hukum yang tidak terdapat dalam Alquran.2 Dalam referensi lain juga disebutkan bahwa kedudukan hadis adalah sebagai penjelas, baik berbentuk sabda, perbuatan, maupun penetapan pada hal-hal yang yang masih global dan sebagainya dalam

1 Fathur Rahman,

Ikhtisar Mustalah Hadis, ( Bandung:PT Ma‟arif, 1974), h.24 2Ending Syaifuddin Ansyari,

(43)

Alquran.3 Dengan demikian, hadis merupakan tuntunan praktis terhadap Alquran.4

B. Kegiatan Takhrij Hadis

Ada 20 hadis yang menjelaskan tentang senda gurau dalam bab bahaya lisan yang terdapat dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, adapun redaksi

semua hadis adalah sebagai berikut:

No Teks Hadis

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

3M.M Azami,

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj.‟Ali Mustafa Ya‟qub

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h.27

4M.‟Ajâj al-Khâtib,

Ushûl al-Hadîts, terj. M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq

(44)

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

Dan berikut adalah redaksi hadis yang dipilih untuk diteliti berdasarkan tema senda gurau:

.

.

.

(45)

1. Pengertian Takhrij

Menurut bahasa takhrij berasal dari kata kharraja ( جّ ر خ) yang berarti

mengeluarkan.5 Dalam kamus al-Munawwir lafaz جّ ر خ : ج ر تْخإ : ج ْ ر ت ْسإ

bermakna ل خ اْدّ ض (lawannya memasukkan). Kata at-takhrij sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian; dan pengertian-pengertian yang popular untuk kata at-takhrij itu ialah: (1) al-istinbât (hal mengeluarkan);

(2) al-tadrîb (hal melatih atau hal pembiasaan); (3) al-taujîh (hal

memperhadapkan).6

Adapun menurut istilah takhrij adalah:

“Menunjukan posisi hadis dalam sumber-sumber asli yang yang dikeluarkan dengan sanadnya, kemudian menjelaskan kedudukan ketika

dibutuhkan.”

Sedangkan dalam bukunya, M. Syuhudi Ismail menjelaskan pengertian takhrijul-hadis yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis ialah “Penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari

hadis yang bersangkutan, di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan”.8

5Mahmud Yunus,

Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h.155 6M. Syuhudi Ismail,

Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),

h. 39. Lihat juga Mahmud at-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Riyad: Maktabah

al-Ma‟arif, 1991), h.8

7Mahmud at-Tahhan,

Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, h.10 8 M. Syuhudi Ismail,

(46)

2. Sebab-sebab Perlunya Kegiatan Takhrij Hadis

Bagi seorang peneliti hadis, kegiatan takhrijul-hadis sangat penting. Tanpa dilakukan kegiatan takhrij hadis terlebih dahulu, maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadis itu, dan ada atau tidak adanya syahid atau muttabi’

dalam sanad bagi hadis yang ditelitinya. Dengan demikian, ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij hadis dan melaksanakan penelitian hadis. Berikut ini dikemukakan tiga hal tersebut:

a) Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti.

Suatu hadis akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila terlebih dahulu tidak diketahui asal-usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadis yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa diketahui susunan sanad dan matan secara benar, maka hadis yang bersangkutan akan sulit diteliti secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asal-usul hadis yang akan diteliti itu, maka kegiatan takhrij perlu dilakukan terlebih dahulu.

b) Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti.

(47)

hubungannya untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang sedang akan diteliti, maka kegiatan takhrij sangat diperlukan.

c) Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan muttabi’ pada sanad

yang diteliti.

Ketika hadis diteliti salah satu sanad-nya, mungkin ada periwayat lain yang sanad-nya mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan itu bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat sahabat nabi, disebut sebagai syahid, sedang bila terdapat

di bagian bukan periwayat tingkat sahabat disebut sebagai muttabi’.

Dalam penelitian sebuah sanad, syahid yang didukung oleh sanad yang

kuat dapat memperkuat sanad yang sedang diteliti. Begitu pula mutabi‟ yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan kekuatannya oleh muttabi’ tersebut. Untuk

mengetahui apakah suatu sanad memiliki syahid atau muttabi’, maka

seluruh sanad hadis itu harus dikemukakan. Itu berarti takhrijul-hadis harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa kegiatan takhrij hadis, tidak dapat diketahui secara pasti seluruh sanad untuk hadis yang sedang diteliti.9

Dalam menelusuri hadis sampai pada sumber asalnya tidak semudah menelusuri ayat Alquran. Untuk menelusuri ayat Alquran, cukup diperlukan sebuah kitab kamus Alquran, misalnya kitab al-Mu’jam al-Mafahras li Alfâdz

al-Qur’ân al-Karîm susunan Muhammad Fuad „Abdul Baqi, dan sebuah

9 M. Syuhudi Ismail,

(48)

rujukan berupa mushaf Alquran. Akan tetapi untuk menelusuri sebuah hadis, tidak cukup hanya menggunakan sebuah kamus atau sebuah kitab hadis yang disusun oleh mukharijnya. Karena hadis terhimpun di dalam banyak kitab sehingga diperlukan kitab-kitab kamus hadis untuk memudahkan kegiatan takhrij hadis dan memahami cara penggunanya. Untuk mengetahui kejelasan hadis beserta sumber-sumbernya seorang peneliti haruslah mengetahui metode-metode dalam mentakhrij hadis.10 Metode-metode tersebut adalah:

1. Men-takhrij hadis melalui periwayatan pertama. Kitab yang digunakan diantaranya adalah kitab-kitab athraf dan kitab-kitab musnad.

2. Men-takhrij melalui lafal pertama hadis (awal matan). Kitab

yang digunakan dalam metode ini adalah al-Jâmi’ al-Saghîr

min ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr, al-Fathu al-Kabîr fî Dammi

al-Ziyâdah ila al-Jâmi’ al-Saghîr dan kitab Mausû’ah al-Atrâf al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf.

3. Men-takhrij hadis melalui lafal yang terdapat dalam matan

hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah

al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawî.

4. Men-takhrij hadis melalui tema hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Kanz al-‘Ummâl, kitab

Muntakab Kanz al-‘Ummâl.

10 M. Syuhudi Ismail,

(49)

5. Men-takhrij hadis melalui klasifikasi jenis hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Azhar

al-Mutanatsiruh, kitab al-Ittihâfât al-Saniyyah, kitab Hadîts al-Qudsiyyah, kitab al-Marâsil, kitab Tanzîh al-Syarî’ah al-Marfû’ah, dan kitab al-Masnû’.

Dari kelima metode tersebut di atas tidak mengharuskan seorang peneliti menggunakan semua metode. Terkadang ditemukan hanya tiga atau dua metode saja, jika yang digunakan itu sudah dapat memenuhi usaha penelusuran hadis.11

C. Kegiatan Penelitian dan I’tibar Sanad

a. Pengertian I‟tibar dan Sanad

Kata i‟tibar (را ت بْعإا) merupakan masdar dari kata ( ر ب تعإ). Menurut

bahasa, arti al-i‟tibar adalah “Peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang jelas.” Menurut istilah ilmu

hadis, al-I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu

hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud.12

11 Abu Muhammad Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, (terj) Said Agil Husain

al-Munawar & H.A. Rifki Mukhtar, Metodelogi Takhrij hadis, (Semarang: Toha Putra Group, 1994),

h.78

12M. Syuhudi Ismail,

(50)

Dengan dilakukannya al-i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas

seluruh jalur sanad hadis yang diteliti demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-i’tibar adalah

untuk mengetahui keadan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus muttabi’ atau

syahid. Yang disebut muttabi’ (biasa juga disebut tabi‟ dengan jama‟

tawabi’) ialah periwayat yang berstatus pendukung para periwayat yang

bukan sahabat Nabi. Pengertian syahid (dalam istilah ilmu hadis biasa

diberi kata jamak dengan syawahid) ialah periwayat yang berstatus

pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. Melalui

al-i’tibar akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti memiliki

muttabi’ dan syahid ataukah tidak.13

Sanad berarti tarîq, yaitu jalan. Sedangkan menurut istilah adalah

jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Dalam referensi lain, sanad menurut bahasa ialah sandaran, tempat bersandar, atau dapat juga berarti yang dapat dipegang atau dipercaya.14 Setelah melalui kegiatan takhrȋ j hadis, kemudian dilanjutkan dengan kritik sanad hadis. Dalam kritik sanad hadis ini menyajikan biografi tiap sanad yang menjadi jalur hadis tersebut yang sampai kepada matan hadis, kemudian menyajikan guru-guru dan murid-murid beliau sehingga sanad dapat dipastikan

13M. Syuhudi Ismail,

Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.50 14Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,

Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,

(51)

bersambung (ittisâl), dan selanjutnya menyajikan tentang komentar

ulama terhadapnya sehingga bisa diketahui melalui kitab rijal hadis apakah sanad tersebut termasuk yang positif (ta’dîl) atau yang negatif (tajrîh). Kriteria kesahihan sanad hadis terdapat beberapa syarat yaitu:

bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh perawi yang ḏâbi, tidak ada

kejanggalan (Syâdz) maupun cacat (‘illat).15

Kritik sanad hadis ini merupakan cara untuk mengetahui kualitas perawi yang menjadi rentetan sanad hadis, melalui kitab-kitab rijal hadis seperti Tahdzȋb al-Tahdzîb, Tahdzîb al-Kamâl, dan lain sebagainya.

D. Kegiatan Penelitian Matan

Untuk mengetahui status kehujjahan hadis, penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting. Karena dalam suatu hadis barulah dinyatakan sahih apabila sanad dan matan hadis itu sama-sama berkualitas sahih. Adapun yang menjadi unsur-unsur acuan utama yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih adalah terhindar dari Syudzudz (kejanggalan) dan ‘Illat (kecacatan).

Namun terdapat juga beberapa kriteria kesahihan matan hadis,16 yaitu: tidak bertentangan dengan akal, tidak bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan dengan hadis yang mutawattir, tidak bertentangan

15Kamaruddin Amin,

Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: PT

Mizan Publika, 2009), h.20.

16Dr.Bustamin M.SI,

Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN

(52)

dengan hadis ahad yang kualitasnya sahih, tidak bertentangan dengan kesepakatan ulama terdahulu.

Dalam kegiatan penelitian matan ini, ada tiga langkah yaitu sebagai berikut:

I. Meneliti matan dengan melihat kualitas hadis

Dilihat dari segi obyek penelitian, matan dan sanad hadis memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam hubungannya dengan status kehujjahan hadis. Suatu matan hadis tidak dianggap sahih apabila sanadnya diragukan.

II. Meneliti susunan lafadz yang semakna

Perbedaan dalam redaksi (matan) dengan matan hadis yang sejalur dengannya karena periwayatan secara makna menurut ulama hadis dapat ditoleransi sepanjang tidak menyalahi kandungan makna hadis dari Rasulullah saw. baik itu pergantian lafal, perbedaan struktur, maupun pengungkapannya sempurna atau tidak, semuanya masih dapat diterima sebagai sabda yang berasal dari Rasulullah saw.

III. Meneliti kandungan matan hadis

Adapun yang dianggap penting diperhatikan terhadap kandungan matan hadis yang sejalan atau tidak bertentangan dan yang dipertentangkan.17

17 Dr.Bustamin M.SI,

Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN

(53)

E. Kritik Hadis tentang Senda Gurau

Hadis Pertama

a. Teks Hadis

Langkah awal dalam melakukan kritik hadis adalah takhrij hadis, dalam kegiatan takhrij ini penulis menelusuri mel

Gambar

gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh periwayat dalam jalur sanad tersebut dinyatakan t ṡ iqah, hadis tersebut tergolong hadis mu’an’an berdasar sighat ta ḥ ammul yang ada dan menggunakan

Kitab ini mengemukakan hadis-hadis yang dianggap mawd } u > ’ , tanpa sanad, namun disertai kritik terhadap perawi dengan mengemukakan argumen ulama baik yang

Sementara itu Syaikh al-Nawawi al-Bantani yang mensyarahi Lubab al-Hadis juga menyebutkan bahwa hadis yang disebutkan oleh as-Suyuthi semuanya shahih, hanya saja dalam

1. Kelengkapan sanad hadis, pada kitab Risȃlah Ahlu Sunnah Wa al- Jamȃ’ah tidak terdapat sanadnya, akan tetapi di dalam Mu’jam al- Ausaṭ lengkap.. Kelengkapan teks

Dalam mengimplementasikan konsep pendidikan karakter dalam kitab Ihya>’ ‘ulu>m al-Di>n Imam al-Ghazali, sangat dibutuhkan seorang pendidik yang memiliki keikhlasan

Terkait dengan tawaran pengembangan kajian hadis, kesimpulan penting yang bisa diambil adalah bahwa kritik sanad perlu dikembangkan pada pemanfaatan data-data yang berasal

Tuduhan bahwa terdapat sebagian hadis dalam kitab Shahih Bukhari diskriminasi terhadap perempuan tidaklah benar, sebab memahami sebuah teks hadis harus secara

Beliau berstatus sebagai sahabat Nabi SAW, oleh sebab itu dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan karena dalam sanad yang sedang diteliti, beliau langsung meriwayatkan