TESIS
OLEH
FAHMI FAUZAN
097011064/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
T E S I S
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FAHMI FAUZAN
097011064/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
Nama Mahasiswa : Fahmi Fauzan
Nomor Pokok : 097011064
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum
bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman. UU Perlindungan Konsumen merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen (nasabah/debitur), khususnya dalam perjanjian baku/standar di Kantor Perum Pegadaian. Penggunaan perjanjian baku dalam sistem pembiayaan pada Perum Pegadaian merupakan suatu hal yang tidak terelakkan lagi, karena alasan efisiensi operasional perbankan dan jaminan kepastian untuk melindungi kepentingan Perum Pegadaian selaku pelaku usaha jasa atau pihak kreditur yang mengeluarkan dana. Begitu juga halnya nasabah/debitur juga memerlukan jaminan kepastian hukum atas perlindungan hak-haknya selaku konsumen atau pihak debitur yang memanfaatkan dana Perum Pegadaian.
Berkaitan dengan hal-hal diatas objek permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian baku pada Perum Pegadaian, bagaimana perlindungan hukum atas debitur gadai dalam sistem hukum perlindungan konsumen dan bagaimana perlindungan hukum nasabah dalam syarat-syarat baku perjanjian gadai di Perum Pegadaian Cabang Kota Binjai ditinjau dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam rangka membahas masalah tersebut metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analistis, artinya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian dilapangan. Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yurudis normatif, yaitu pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian baku pada Perum Pegadaian secara yuridis-teoritik telah melekatkan hak dan kewajiban dalam isi perjanjian tidak proporsional, yaitu kewajiban nasabah diatur secara rinci dalam perjanjian, sedangkan kewajiban kreditur kurang tampak dalam perjanjian (SBK). Tidak proporsionalnya hak dan kewajiban dalam perjanjian gadai menjadi penyebab penumpukan hak pada kreditur dan penumpukan kewajiban pada debitur. Perlindungan hukum atas debitur gadai dalam sistem hukum perlindungan konsumen, yaitu apabila dalam perjanjian gadai terjadi adanya tindakan wanprestasi yang dilakukan Perum Pegadaian terhadap benda jaminan gadai milik debitur. Tindakan wanprestasi tersebut dapat berupa: kelalaian menyebabkan benda jaminan tertukar, hilang dan rusak. Perlindungan hukum yang diberikan dapat dilihat dalam isi SBK nomor 4 yang mengatakan Perum Pegadaian akan memberikan penggantian kerugian sebesar 125 % dari nilai taksiran Barang jaminan yang mengalami kerusakan/hilang. Perlindungan hukum nasabah dalam syarat-syarat baku perjanjian gadai di Perum Pegadaian Cabang Kota Binjai ditinjau dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumenyaitu mengenai larangan penggunaan syarat-syarat baku dikaitkan dengan dua hal yaitu: isi dan bentuk penulisannya.
become his right and obligation so that he will feel safe. Law on Consumer Protection constitutes an umbrella which integrates and strengthens law enforcement in consumer’s protection (clients/debtors), especially in the standard agreement at Pawnbroking Public Corporation. The use of standard agreement in the financial system at Pawnbroking Public Corporation is inevitable due to the banking operational efficiency and the guarantee to protect the interest of Pawnbroking Public Corporation as the agent of business service of the creditor who provides funds. On the other hand, the clients/debtors also need guarantee for legal certainty in order to protect their rights as consumers or debtors who use the loan of Pawnbroking Public Corporation.
Based on the explanation above, the problems of this research were about how the right and obligation of the creditors and debtors in the standard agreement at the Pawnbroking Public Corporation was, how the protection for the pawners in the system of Law on Consumer Protection was, and how the legal protection on clients stipulated in the standard requirements of pawn agreement at Pawnbroking Public Corporation Office, Binjai, viewed from Law No. 8/1999 on Consumer Protection.
The research was descriptive analytic; namely a study which described, explained, and analyzed legal matters theoretically and practically of the field study. The materials for the research were obtained from judicial normative approach; namely, an approach to the problems based on legal provisions.
The right and obligation of both the creditors and the debtors in the standard agreement at Pawnbroking Public Corporation which was reflected judicially and theoretically in the content of the agreement was not proportional; namely, the clients’ obligation was regulated in detail in the agreement, while the creditor’s obligation was not clear enough in the agreement (SBK). The absence of proportional right and obligation in the agreement caused the creditor to have more right, and the debtors to have more obligation. The legal protection for the pawners in the law on consumer protection is needed when Pawnbroking Public Corporation breaks the agreement about the debtor’s collaterals. This default can be : negligence which causes the collaterals to be accidentally exchanged, lost, and damaged. The legal protection for the clients can be seen in SBK No. 4 which states that Pawnbroking Public Corporation will reimburse 125% of the accessed value of the collaterals which are damaged or lost. The legal protection for the clients in the standard requirements of pawn agreement at Pawnbroking Public Corporation Office, Binjai, viewed from Article 18 of Law No. 8/1999 on Consumer Protection ; namely, prohibition of using standard requirements concerning two things: content and form of the writing.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan
hidayah-Nya. Shalawat beriring salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan baik.
Banyak hal yang terjadi dialami saat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Adapun tujuan dibuat penulisan tesis ini untuk memenuhi sebagian
syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi
Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Adapun judul tesis ini adalah: “PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH ATAS SYARAT-SYARAT BAKU PERJANJIAN GADAI (Studi Pada Kantor Perum Pegadaian Di Kota Binjai)”.
Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan
yang bersifat masukan yang membangun demi melengkapi kesempurnaan dalam
penulisan tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
dan penyelesaian tesis ini terutama kepada yang terhormat :
l. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.AK) selaku
Rektor atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada program studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Univenitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. DR. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Prof. DR. Muhammad Yamin, S.H, M.S, C.N, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan,
serta saran dan kritik dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat
menyelesaikan perkuliahan;
5. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dukungan, serta saran dan kritik
dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan.
6. Bapak DR. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji yang
telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian
tesis ini.
7. Bapak DR. Dedi Harianto, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji yang
telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian
tesis ini
8. Ibu Gelorina Ginting, SE (Kepala Pimpinan Cabang Perum Pegadaian Kota
Binjai), Bapak H.M Darma Bakti Nasution, SE, SH, M.H (Wakil Ketua Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Medan - Sumatera Utara) dan Bapak abu
Bakar Siddik, SH (Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Medan –
Sumatera Utara) yang telah memberikan masukan serta data-data sehingga
penelitian tesis ini dapat diselesaikan.
9. Para Guru Besar serta seluruh Dosen Staf Pengajar Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama mengikuti proses
perkuliahan;
10. Seluruh Rekan Staf dan Pegawai Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun
2009 yang telah memberikan motivasi dan dukungan baik moril dan spritual
dalam penyelesaian penelitian tesis ini;
12. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
Serta ucapan terima kasih teristimewa penulis sampaikan kepada :
1. Kedua Orang Tua Penulis Ayahanda Refwandi Sanan dan Ibunda Emy Syafrani
tercinta yang telah mendidik dan membesarkan penulis serta memberikan
dorongan moril, sprituil dan materil kepada penulis.
2. Kakanda Mutia, SP, Kakanda Kumala Sari, Amd, Abangnda Darwis, Amd,
Abangda Joeanda, ST dan Adinda Fahrul Reza, SE, serta Keponakan Habibi yang
memberikan dorongan moril dan sprituil .
Akhirulkalam penulis mengembalikannya dan berdoa kepada Allah SWT,
agar kita selalu mendapat taufik dan hidayah-Nya, penulis berharap semoga tesis ini
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Kenotariatan terlebih pada
penulis sendiri dan orang lain.
Medan, Agustus 2011 Penulis,
A. Data Pribadi
Nama : FAHMI FAUZAN
Tempat/Tanggal Lahir : Binjai, 23 Juli 1986
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jalan Cut Nyak Dhien No. 176 Binjai
Kelurahan Tanah Tinggi
KecamatanBinjai Timur
Kota Binjai, 20731
E-mail : fauzan_lagood@yahoo.co.id
Nama Ayah : Refwandi Sanan
Nama Ibu : Emy Syafrani
Anak ke : 3 (tiga) dari 4 (empat) bersaudara
No. Handphone : 08126569306
B. Pendidikan
1992 – 1998 : SD Negeri 023900 Binjai di Binjai
1998 – 2001 : SLTP Negeri 4 Binjai di Binjai
2001 – 2004 : SMA Negeri 3 Binjai di Binjai
2005 – 2009 : Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara di Medan
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian... 15
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 17
1. Kerangka teori ... 17
2. Konsepsional ... 34
G. Metode Penelitian... 40
1. Sifat dan jenis penelitian ... 40
2. Sumber data... 41
3. Alat Pengumpul Data ... 42
4. Analisis Data ... 43
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN KREDITUR DAN DEBITUR DALAM PERJANJIAN BAKU PADA PERUM PEGADAIAN 44 A. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Baku ... 44
1. Pengertian perjanjian baku... 44
2. Hak dan kewajiban dalam perjanjian baku di Perum Pegadaian ... 48
1. Pengertian gadai ... 78
2. Debitur gadai dalam Perum Pegadaian ... 80
3. Bentuk dan substansi perjanjian gadai ... 86
B. Perlindungan Hukum Debitur Gadai Dalam Sistem Hukum Perlindungan Konsumen ... 89
1. Pengertian hukum perlindungan konsumen ... 89
2. Debitur gadai dalam sistem hukum perlindungan konsumen ... 91
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH DALAM SYARAT-SYARAT BAKU DI PERUM PEGADAIAN CABANG KOTA BINJAI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 100 A. Perum Pegadaian Kota Binjai ... 100
B. Perlindungan Hukum dalam Syarat-Syarat Baku pada Perjanjian Gadai ... 104
1. Perlindungan konsumen melalui syarat-syarat baku... 104
2. Perlindungan konsumen nasabah berdasarkan syarat-syarat baku pada Perum Pegadaian... 110
C. Standar Larangan Syarat Baku Dalam UU Perlindungan Konsumen ... 124
D. Klausula-Klausula Baku Dalam Perjanjian Gadai di Perum Pegadaian Bila Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen ... 141
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 149
A. Kesimpulan ... 149
B. Saran... 150
bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman. UU Perlindungan Konsumen merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen (nasabah/debitur), khususnya dalam perjanjian baku/standar di Kantor Perum Pegadaian. Penggunaan perjanjian baku dalam sistem pembiayaan pada Perum Pegadaian merupakan suatu hal yang tidak terelakkan lagi, karena alasan efisiensi operasional perbankan dan jaminan kepastian untuk melindungi kepentingan Perum Pegadaian selaku pelaku usaha jasa atau pihak kreditur yang mengeluarkan dana. Begitu juga halnya nasabah/debitur juga memerlukan jaminan kepastian hukum atas perlindungan hak-haknya selaku konsumen atau pihak debitur yang memanfaatkan dana Perum Pegadaian.
Berkaitan dengan hal-hal diatas objek permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian baku pada Perum Pegadaian, bagaimana perlindungan hukum atas debitur gadai dalam sistem hukum perlindungan konsumen dan bagaimana perlindungan hukum nasabah dalam syarat-syarat baku perjanjian gadai di Perum Pegadaian Cabang Kota Binjai ditinjau dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam rangka membahas masalah tersebut metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analistis, artinya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian dilapangan. Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yurudis normatif, yaitu pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian baku pada Perum Pegadaian secara yuridis-teoritik telah melekatkan hak dan kewajiban dalam isi perjanjian tidak proporsional, yaitu kewajiban nasabah diatur secara rinci dalam perjanjian, sedangkan kewajiban kreditur kurang tampak dalam perjanjian (SBK). Tidak proporsionalnya hak dan kewajiban dalam perjanjian gadai menjadi penyebab penumpukan hak pada kreditur dan penumpukan kewajiban pada debitur. Perlindungan hukum atas debitur gadai dalam sistem hukum perlindungan konsumen, yaitu apabila dalam perjanjian gadai terjadi adanya tindakan wanprestasi yang dilakukan Perum Pegadaian terhadap benda jaminan gadai milik debitur. Tindakan wanprestasi tersebut dapat berupa: kelalaian menyebabkan benda jaminan tertukar, hilang dan rusak. Perlindungan hukum yang diberikan dapat dilihat dalam isi SBK nomor 4 yang mengatakan Perum Pegadaian akan memberikan penggantian kerugian sebesar 125 % dari nilai taksiran Barang jaminan yang mengalami kerusakan/hilang. Perlindungan hukum nasabah dalam syarat-syarat baku perjanjian gadai di Perum Pegadaian Cabang Kota Binjai ditinjau dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumenyaitu mengenai larangan penggunaan syarat-syarat baku dikaitkan dengan dua hal yaitu: isi dan bentuk penulisannya.
become his right and obligation so that he will feel safe. Law on Consumer Protection constitutes an umbrella which integrates and strengthens law enforcement in consumer’s protection (clients/debtors), especially in the standard agreement at Pawnbroking Public Corporation. The use of standard agreement in the financial system at Pawnbroking Public Corporation is inevitable due to the banking operational efficiency and the guarantee to protect the interest of Pawnbroking Public Corporation as the agent of business service of the creditor who provides funds. On the other hand, the clients/debtors also need guarantee for legal certainty in order to protect their rights as consumers or debtors who use the loan of Pawnbroking Public Corporation.
Based on the explanation above, the problems of this research were about how the right and obligation of the creditors and debtors in the standard agreement at the Pawnbroking Public Corporation was, how the protection for the pawners in the system of Law on Consumer Protection was, and how the legal protection on clients stipulated in the standard requirements of pawn agreement at Pawnbroking Public Corporation Office, Binjai, viewed from Law No. 8/1999 on Consumer Protection.
The research was descriptive analytic; namely a study which described, explained, and analyzed legal matters theoretically and practically of the field study. The materials for the research were obtained from judicial normative approach; namely, an approach to the problems based on legal provisions.
The right and obligation of both the creditors and the debtors in the standard agreement at Pawnbroking Public Corporation which was reflected judicially and theoretically in the content of the agreement was not proportional; namely, the clients’ obligation was regulated in detail in the agreement, while the creditor’s obligation was not clear enough in the agreement (SBK). The absence of proportional right and obligation in the agreement caused the creditor to have more right, and the debtors to have more obligation. The legal protection for the pawners in the law on consumer protection is needed when Pawnbroking Public Corporation breaks the agreement about the debtor’s collaterals. This default can be : negligence which causes the collaterals to be accidentally exchanged, lost, and damaged. The legal protection for the clients can be seen in SBK No. 4 which states that Pawnbroking Public Corporation will reimburse 125% of the accessed value of the collaterals which are damaged or lost. The legal protection for the clients in the standard requirements of pawn agreement at Pawnbroking Public Corporation Office, Binjai, viewed from Article 18 of Law No. 8/1999 on Consumer Protection ; namely, prohibition of using standard requirements concerning two things: content and form of the writing.
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka bertambah meningkatnya pembangunan
nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, yang para pelakunya meliputi
Pemerintah maupun masyarakat sebagai orang-perseorangan dan badan hukum,
sangat diperlukan dana dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dengan
meningkatnya kegiatan pembangunan tersebut, maka meningkat pula keperluan akan
tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui pinjaman dengan membuat
suatu bentuk perjanjian.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang perjanjian pada umumnya dijumpai
pada Buku III KUH Perdata yang esensinya adalah hukum Perdata materil Belanda
yang diatur dalam Burgelijke Wetboek (BW), sedangkan di Indonesia lazimnya
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang diberlakukan di Hindia Belanda
berdasarkan asas konkordansi dan selanjutnya disebut KUH Perdata.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa dalam
pembuatan perjanjian harus berpedoman pada hukum perjanjian dalam KUH Perdata.
Di mana dalam melakukan suatu perjanjian haruslah mengandung
(aanvullend, optional). Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak
mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
lain dalam perjanjian yang mereka buat. Namun terhadap ketentuan-ketentuan
undang-undang yang bersifat mengatur, para pihak bebas menyimpanginya dengan
mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan
kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan-ketentuan yang opsional itu,
adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh
para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara
tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang
dimaksud.1
Dalam hal kegiatan perjanjian pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal
dengan istilah kredit dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan
sesuatu yang asing lagi, bahkan istilah kredit ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat
perkotaan, tetapi juga sampai pada masyarakat di pedesaan. Kredit umumnya
berfungsi untuk menambah modal kegiatan usaha, dan khususnya bagi kegiatan
perekonomian di Indonesia sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk
usaha produksi maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandiri karena
bertujuan meningkatkan taraf kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah berusaha menyediakan fasilitas kredit melalui
lembaga perbankan maupun lembaga non perbankan untuk membantu golongan
ekonomi lemah dengan persyaratan ringan. Salah satu lembaga perkreditan dalam
1Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang
penelitian ini adalah non perbankan, yaitu perum pegadaian yang diharapkan dapat
memberikan kredit dengan syarat-syarat yang tidak dapat memberatkan masyarakat dan
dengan jaminan ringan kepada masyarakat luas, khususnya kredit golongan ekonomi
menengah ke bawah yang banyak menginginkan kredit untuk kebutuhan sehari-hari,
sedangkan digolongan ekonomi menengah ke atas dipergunakan untuk menambah modal
usaha.2
Perum Pegadaian turut melaksanakan dan mendukung kebijakan program
pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan nasional yaitu menyalurkan dana
kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman uang kepada debitur dengan jaminan
berupa barang yang secara langsung / nyata dilakukan penyerahan kekuasaan atas barang
sebagai jaminan (gadai) kepada kreditur.3
Di dalam Pasal 1150 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.4
Dari isi Pasal 1150 KUH Perdata, gadai merupakan hak debitur atas suatu barang
bergerak yang diserahkan kepada kreditur untuk suatu utang piutang antara keduanya,
sehingga dari hubungan utang piutang tersebut akan timbul hubungan hukum yang
2 Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hal. 156
3 Wawan Widjaya dan Ahmad Yani,2000, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta,hal 88
mengakibatkan perikatan diantara penerima gadai dan pemberi gadai sehingga hak gadai
ini timbul dari perjanjian yang mengikuti perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit.
Perjanjian gadai dapat dilihat dari dua sisi, yaitu disalah satu sisi disebut sebagai
penerima gadai (kreditur) memberikan pinjaman uang dan di sisi lain disebut pemberi
gadai (debitur) memberikan jaminan berupa suatu barang, dengan kata lain kreditur
memberikan pinjaman sejumlah uang dengan meminta barang sebagai jaminan kepada
debitur, atau sebaliknya debitur memberikan barang untuk dikuasai kreditur kepada
debitur, atau debitur memberikan barang untuk dikuasai kreditur untuk pinjaman
sejumlah uang dari kreditur.5Barang yang menjadi obyek gadai tersebut harus diserahkan
oleh debitur (masyarakat) kepada kreditur (Perum Pegadaian). Jadi barang-barang yang
digadaikan berada di bawah kekuasaan pemegang gadai. Asas ini disebut asas
Inbezitstelling
6
yang merupakan syarat mutlak dalam perjanjian gadai.
Dalam perjanjian gadai kedua belah pihak memiliki masing-masing hak dan
kewajiban. Yang merupakan kesepakatan para pihak untuk menjalankan isi perjanjian
tersebut, begitu juga dalam hal untuk menghindari terjadinya suatu resiko dari apa
yang mereka perjanjikan salah satunya resiko terhadap keselamatan barang-barang
debitur yang dijaminkan dalam perjanjian gadai. Dengan demikian gadai masih
diperlukan dalam perjanjian kredit di dalam masyarakat.
Menurut Celina Tri S.K bahwa: “Pengertian perjanjian baku adalah perjanjian
yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang
5J. Satrio, 1993,Hukum Perikatan,Alumni, Bandung, hal 254
6 Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT Grafindo Persada,
lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan.”7 Rahman Hasanudin mengatakan bahwa: “Pengertian dari perjanjian
baku lebih cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak
yang ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa
menerima keadaan itu karenanya posisinya yang lemah.”8
Kontrak bisnis yang pada umumnya berbentuk standar senantiasa terkesan
sebagai kontrak yang tidak seimbang, karena hanya menguntungkan salah satu pihak,
dalam kontrak standar berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang antara pihak
yang mempunyai bargaining position (posisi penawaran) yang kuat dengan pihak
yang lemah bargaining position-nya. Pihak yang posisinya lemah hanya sekedar
menerima segala isi kontrak yang standar dengan terpaksa. Bilamana ia mencoba
menawar dengan alternatif lain, kemungkinan besar akan menerima konsekuensi
kehilangan apa yang dibutuhkan.
Kontrak dimaksud formatnya dan norma-norma hukum yang ada didalamnya
tidak dapat diubah dan sudah dirancang sedemikian rupa, sehingga tidak memberi
peluang kepada salah satu pihak (biasanya debitur), untuk memahami dan mendalami
lebih lanjut isi atau materi kontrak yang disepakatinya.
Berkenaan dengan kontrak baku (kontrak standar) dalam perjanjian kredit
tersebut, Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa:
“Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang hampir seluruh klausal-klausalnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain, pada
dasarnya tidak mempunyai peluang kepada calon nasabah/debitur untuk merundingkan atau meminta perubahan. Klausul-klausul baku yang lazim terjadi dalam masyarakat, adalah klausul baku yang berkaitan dengan jenis harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan.”9
Perjanjian dalam bentuk kontrak baku, biasanya menggunakan formulir yang
didalamnya memuat sejumlah klausul-klausul baku yang telah disusun sebelumnya
secara sepihak dan calon nasabah tinggal membubuhkan tanda tangannya saja bila
bersedia menerima isi klausul baku yang dibuat calon kreditur. Setiap nasabah hanya
diberi dua pilihan yaitu “take it or leave it” (ambil atau tinggalkan). Calon nasabah
tidak diberi kesempatan untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausul-klausul
baku yang diajukan, sehingga tampak adanya kedudukan calon nasabah sangat lemah.
Akibatnya, calon debitur menerima saja syarat-syarat yang disodorkan demi
mendapatkan apa yang diharapkannya.10
Salah satu bentuk perjanjian standar yang diberlakukan kepada debitur
terdapat pada perjanjian yang dilakukan oleh Perusahaan Umum Pegadaian.
Keberadaan Perum Pegadaian sebagai salah satu lembaga perkreditan non bank
dengan mottonya “mengatasi masalah tanpa masalah”, merupakan jalan keluar bagi
masyarakat golongan ekonomi lemah sebagai alternatif penyaluran uang pinjaman
dalam waktu singkat, yang tidak mungkin dilakukan bila mengambil kredit dari bank
dengan perjanjian. Dalam perjanjian ini, masyarakat dapat memperoleh dana dalam
jumlah yang disesuaikan dengan agunan barang yang ditaksir untuk menentukan
berapa dana dengan dasar hukum gadai. Penyaluran uang pinjaman tersebut dilakukan
dengan cara yang mudah, cepat, aman, dan hemat. Sehingga tidak memberatkan bagi
masyarakat yang melakukan pinjaman dan tidak menimbulkan masalah yang baru bagi
peminjam setelah melakukan pinjaman di Pegadaian.
Penggunaan perjanjian baku dalam sistem pembiayaan pada Perum Pegadaian
merupakan suatu hal yang tidak terelakkan lagi, karena alasan efisiensi operasional
perbankan dan jaminan kepastian untuk melindungi kepentingan pegadaian selaku
pelaku usaha jasa atau pihak kreditur yang mengeluarkan dana. Namun, nasabah
debitur juga memerlukan jaminan kepastian hukum atas perlindungan hak-haknya
selaku konsumen atau pihak debitur yang memanfaatkan dana pegadaian. Di Perum
Pegadaian perjanjian baku yang dibuat secara baku dan ditentukan sepihak oleh
pegadaian yang dilakukan secara adil, sehingga dapat menjamin kepentingan para
pihak dan memberikan perlindungan hukum secara berimbang, yaitu dengan
penitipan barang. Dimana nasabah debitur yang melakukan perjanjian kredit akan
menitipkan barang agunanya sebagai jaminan kredit.
Salah satu lembaga perkreditan non perbankan yang dapat melayani
masyarakat guna untuk mendapatkan kredit dengan mudah yaitu Perum Pegadaian.
Perum Pegadaian merupakan “Badan Usaha Milik Negara yang mengemban misi
untuk menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk
kepada masyarakat ini didasarkan hukum gadai”.11 Perum Pegadaian menyalurkan
dana pinjaman kepada setiap debiturnya untuk memperoleh kredit jika ada jaminan
berupa benda bergerak.Penyaluran dana pinjaman tersebut dilakukan dengan cara yang
mudah, cepat, aman, dan hemat, sehingga tidak memberatkan bagi masyarakat yang
melakukan pinjaman dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari bagi peminjam
setelah melakukan perjanjian kredit di pegadaian.
Pegadaian bertujuan untuk membantu masyarakat golongan ekonomi lemah
mengatasi kesulitan akan dana yang dibutuhkan segera. Di samping itu, Pegadaian
juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lapisan bawah yang
berpenghasilan rendah dengan mencegah dan menghindari praktek lintah darat dan
Pegadaian gelap dengan bunga tinggi. Pegadaian juga turut melaksanakan dan
menunjang pelaksanaan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan
nasional.12
Dengan demikian perjanjian gadai yang didukung oleh dokumen hukum
utama dibuat secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320
KUH Perdata. Akibat hukum perjanjian gadai yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi Perum Pegadaian dan peminjam (Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata). Konsekuensi yuridis selanjutnya perjanjian tersebut harus dilaksanakan
dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Dokumen pendukung
11Mariam Darus Badrulzaman, 1994,Aneka Hukum Bisnis,Cet. I, Edisi I, Alumni, Bandung,
hal. 28 (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman (A))
12 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2004,Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan
perjanjian gadai berfungsi sebagai dokumen bukti yang sah, melengkapi dan
memperkaya hukum perdata tertulis.13
Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, bahwa pembuatan kontrak baku
antara Perum Pegadaian dengan nasabah/debitur, semestinya berada pada tatanan
yang menempatkan posisi para pihak yang membuat perjanjian dalam kedudukan
yang seimbang (sama), sehingga bentuk kontrak baku yang dibuat oleh pihak perum
pegadaian, tidak merugikan dan memberatkan nasabah/debitur, sebagaimana
ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen).
Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen mengatur asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamaan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Sedangkan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen mengatur format klausul baku yang
dibuat pihak produsen tidak boleh merugikan pihak konsumen. Kenyataan
menunjukkan bahwa kontrak baku (standar) yang dibuat Perum Pegadaian, cenderung
membuat kontrak sejumlah klausula yang hanya menguntungkan pihak Perum
Pegadaian sendiri dengan tidak mengakomodasi kepentingan nasabah/debitur. Dapat
dilihat dari isi kontrak baku, bilamana debitur tidak sanggup bayar, maka barang
jaminan atau agunan akan dilelang sesuai dengan perjanjian baku yang telah dibuat
oleh pihak pegadaian.
Dengan demikian, UU Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang
mengintergrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan
konsumen, walaupun sudah diberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
namun di Indonesia perjanjian baku/standar yang substansinya mencantumkan
klausula eksonerasi kenyataannya sudah merambah sektor bisnis, namum dari kajian
akademik oleh para pakar hukum memandangnya secara yuridis masih kontrolversial
eksistensinya.14
Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih
kebebasan para pihak sesuai dengan asas kebebasan untuk membuat perjanjian
sedangkan di sisi lain dengan dalih kebebasan yang dimiliki secara sepihak oleh
pelaku usaha, yaitu dengan melanggar hak konsumen, walaupun pada asasnya para
pihak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, namun konsep dasar
keseimbangan antara para pihak dalam membuat perjanjian merupakan konsep yang
tidak dapat ditawar.
Dengan demikian, model kontrak baku dalam masyarakat sudah menjadi
polemik tentang eksistensinya, dimana dalam perjanjian baku tersebut didalamnya
selalu mencantumkan syarat-syarat eksonerasi. Model perjanjian baku yang
berklausula eksonerasi tersebut dibuat oleh salah satu pihak yang mempunyai
kedudukan ekonomi kuat. Dalam pola hubungan yang demikian itu yang ekonominya
14 Shidarta, 1987, ”Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia”, PT Grasindo, Jakarta, Hal,
lemah hanya mempunyai 2 (dua) pilihan yaitu menerima dengan segala macam
persyaratan atau menolaknya sama sekali.
Hal ini dapat diamati pada prosedur pembuatan kontrak dalam bentuk
formulir dan klausul-klausul baku yang telah disusun sedemikian rupa secara sepihak.
Pada umumnya nasabah tidak berfikir panjang untuk menerima syarat-syarat dan
mengisi formulir yang disodorkan tanpa meneliti secara cermat, mengingat nasabah
dalam keadaan terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan hanya Perum
Pegadaian yang mampu mengatasi masalah dengan cepat dan mudah, oleh karenanya
nasabah tidak lagi memperhitungkan resiko yang akan diterimanya jika terjadi
wanprestasi.
Selain itu terdapat beberapa klausul baku yang dapat menjadi sumber konflik
antara nasabah/debitur dengan kreditur, yaitu penentuan kualitas barang jaminan
debitur secara sepihak dan tidak melibatkan nasabah dalam penentuan nilai barang
jaminan, jika terjadi salah taksir yang dilakukan oleh Perum Pegadaian dan
menyebabkan nilai barang jaminan tidak dapat menutupi uang pinjaman, maka
nasabah diharuskan untuk menutupi uang pinjaman dan sewa modal paling lama 14
hari. Dengan melihat keberadaan Perum Pegadaian ditengah-tengah masyarakat yang
membantu penyediaan kredit secara cepat dan mudah bagi ekonomi lemah, dapat
menjadi sumber masalah di masyarakat yaitu tidak tercapainya tujuan hukum yang
memberi kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
Berdasarkan penelitian pendahuluan perjanjian gadai tersebut dibuat secara
yang membuat perjanjian gadai merupakan kebijakan dari Perum Pegadaian yang
berada di Jakarta yang diterapkan di seluruh Perum Pegadaian di Indonesia.
Perjanjian gadai hanya untuk mengikat perjanjian antara pihak perum pegadaian dan
nasabah dalam menggadaikan barangnya untuk mempermudah pelayanan dari pihak
perum pegadaian kepada nasabah dalam bertransaksi atau menggadaikan.
Jangka waktu pinjaman dalam perjanjian gadai di perum pegadaian ditetapkan
dengan berdasar penggolongan barang jaminan. Dalam jangka waktu pinjaman untuk
tiap-tiap golongan adalah sama, yaitu selama 4 bulan ditambah masa tunggu lelang
maksimal 15 hari. Masa tunggu lelang yaitu pada bulan ke-5 tidak dikenai sewa
modal. Bulan ke-5 merupakan bulan bebas bunga, dimana bunga tidak
diperhitungkan dan peminjam mempunyai pertimbangan apakah benda gadai akan
ditebus atau tidak. Jangka waktu pinjaman tersebut dihitung berdasarkan bulan
kalender, dihitung sejak bulan diberikannya pinjaman.15
Jangka waktu 4 bulan tersebut di atas merupakan ketentuan mutlak. Jika nasabah ingin memperpanjang jangka waktu peminjaman hanya dapat dilakukan dengan pembaharuan hutang. Nasabah harus melunasi bunga pinjaman terlebih dahulu dan lama perpanjangan harus menurut golongan
barang jaminan masing-masing. Karena masing-masing golongan mempunyai waktu yang sama, maka lama perpanjangan adalah 4 (empat) bulan. Perpanjangan jangka waktu peminjaman dapat dilakukan dengan cara dicicil dengan menyerahkan sejumlah uang bunga sesuai perhitungan bunga ditambah sebagian uang pinjaman. Atau dengan gadai ulang yaitu memberikan sejumlah uang bunga sesuai perhitungan hari bunga dengan menaksir kembali barang jaminannya.16
Dua cara tersebut otomatis akan memperpanjang jangka waktu peminjaman.
Batas waktu pelunasan pinjaman adalah pada bulan ke-5 bulan kalender, untuk semua
golongan benda gadai, yaitu:
1. Golongan A mulai dari Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 200.000,-.
2. Golongan B mulai dari Rp. 210.000,- sampai dengan Rp.
1.000.000,-2. Golongan C mulai dari Rp. 1.100.000,- sampai dengan Rp.
20.000.000,-4. Golongan D mulai dari Rp. 20.100.000,- sampai dengan diatas Rp.
250.000.000,-(Semua tergantung pinjaman dan barang yang akan diagunkan)
Apabila batas tertentu yang telah ditetapkan perum pegadaian sampai bulan
waktu batas lelang, nasabah tidak datang melunasi atau ulang gadai maka barang nasabah
tersebut dapat dilelang secara umum.
Dengan demikian perjanjian gadai pada perum pegadaian pada dasarnya
merupakan suatu perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak
antara nasabah (pemberi gadai) dan perum pegadaian (pemegang gadai) di mana pemberi
gadai menyerahkan benda tersebut kepada pemegang gadai. Benda jaminan tersebut
tertuju pada benda bergerak maka hak kebendaan itu berupa gadai.17
Dari latar belakang diatas peneliti ingin meneliti lebih lanjut dalam tesis yang
judul : “Perlindungan Hukum Nasabah Atas Syarat-Syarat Baku Perjanjian Gadai
(Studi Pada Kantor Pegadaian Kota Binjai)”.
B. Permasalahan Masalah
Rumusan masalah dalampenulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian baku pada
Perum Pegadaian?
2. Bagaimana perlindungan hukum atas debitur gadai dalam sistem hukum
perlindungan konsumen?
3. Bagaimana perlindungan hukum nasabah dalam syarat-syarat baku perjanjian
gadai di Perum Pegadaian Cabang Kota Binjai ditinjau dari UU Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian baku
pada Perum Pegadaian.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum atas debitur gadai dalam sistem hukum
perlindungan konsumen
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum nasabah dalam syarat-syarat baku
perjanjian gadai di Perum Pegadaian Cabang Kota Binjai ditinjau dari UU Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
a. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan secara
akedemis dalam memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum
perjanjian, terutama tentang perlindungan hukum nasabah dalam syarat-syarat
baku perjanjian gadai di Perum Pegadaian, bagi pengembangan ilmu pengetahuan
penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis yang berupa sumbangan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan hukum tentang penerapan kontrak baku pada
khususnya.
b. Secara praktis hasil penelitian ini pada garis besarnya diharapkan dapat menjadi
masukan bagi kalangan masyarakat sebagai nasabah Perum Pegadaian di dalam
mengadakan perjanjian lebih berhatihati dan juga sebagai bahan perbandingan
bagi yang ingin mengadakan penelitian yang sejenis pada Perum Pegadaian.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap
hasil-hasil penelitian yang sudah ada naupun yang sedang dilakukan khususnya pada
Sekolah pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang
menyangkut masalah perlindungan hokum nasabah terhadap pembuatan syarat-syarat
baku perjanjian gadai baik dari judul maupun permasalahan dalam pennelitian ini.
Tetapi ada penelitian tesis yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan
dengan perjanjian, yaitu:
1. Esther Million, Magister Kenotariatan, tahun 2003, melakukan penelitian tentang
Dengan Sistem Gadai (Penelitian Pada Perum Pegadaian Cabang Medan
Pringgan)”. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah : bagaimana
tugas dan fungsi pegadaian sebagai lembaga pembiayaan dalam pemberian kredit
dengan memakai sistem gadai, bagaimana prosedur pemberian kredit dengan
sistem gadai dilakukan pada lembaga pembiayaan pegadaian, dan upaya apa yang
dilakukan lembaga pembiayaan dalam penyelamatan kredit bermasalah.
2. Herly Gusti Meliana Siagian, mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasajana USU, tahun 2009 dengan judul penelitian “Peranan Notaris Dalam
Perjanjian Kredit Angsuran Sistem Fidusia Para Perum Pegadaian (Studi Di
Kantor Perum Pegadaian Cabang Medan Utama) dengan permasalahan sebagai
berikut: bagaimana kewenangan notaris dalam pembuatan perjanjian kredit
angsuran sistem fidusia pada Perum Pegadaian Cabang Medan Utama,
bagaimana kedudukan benda jaminan dalam perjanjian kredit angsuran sistem
fidusia pada Perum Pegadaian Cabang Medan Utama dan bagaimana peran
notaris dalam pelaksanaan perjanjian kredit angsuran system fidusia pada Perum
Pegadaian Cabang Medan Utama ?
Dilihat dari titik permasalahan penelitian tersebut di atas, terdapat
perbedaan-perbedaan dengan topik permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Dengan demikian, penelitian ini benar-benar asli baik dari segi substansi maupun dari
segi permasalahan, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat
F. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi aktivitas
penelitian, dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.18 Teori berfungsi
untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau suatu proses
tertentu terjadi19 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. Fungsi teori dalam penelitian tesis ini
adalah untuk memberikan arahan dan petunjuk serta meramalkan dan menjelaskan
hal yang diamati, karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normative,
kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.
Penelitian ini menggunakan teori perlindungan hukum yang dikemukakan
oleh Sudikno Mertokusumo, dimana keberadaan hukum dalam masyarakat
merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat,
sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya
dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan
manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan
atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku
bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
18Soerjono Soekanto, 1996,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 6
19 J.J.J. M. Wuisman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M.
dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah.20
Wujud dari peran hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan
hukum kepada anggota masyarakat yang kepentingannya terganggu. Persengketaan
yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku,
sehingga dapat mencegah perilaku main hakim sendiri. Tujuan pokok hukum sebagai
perlindungan kepentingan manusia adalah menciptakan tatanan masyarakat yang
tertib, sehingga terwujud kehidupan yang seimbang.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu bertujuan agar tercapainya
ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban
antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan
pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Menurut Subekti
dalam buku Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa tujuan hukum itu mengabdi
kepada tujuan Negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi
rakyatnya.21
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum
yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang
timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota
masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan
20 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hal. 39
bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau
kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan
kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman.
Dengan demikian perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang
diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat
preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari
fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di
dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup masyarakat.
Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak hanya diberikan kepada
seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan
bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa istilah standar berarti baku,
sesuatu yang dipakai secara patokan, ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan,
berarti bahasa hukum itu ditentukan ukuran patokannya, standarnya, sehingga
memiliki arti yang tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Dengan demikian
perjanjian standar mempunyai pengertian yang sama dengan perjanjian baku.22
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa perjanjian standar adalah
perjanjian yang isinya dibakukan, dan dituangkan dalam bentuk formulir.23
22 Mariam Darus Badrullzaman, 1981, Perjanjian Baku (Standard), Perkembangan di
Indonesia, dimuat dalam Beberapa Guru Besar Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 48 (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrullzaman (B))
23 Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, hal. 35.
Lembaga keuangan dalam arti luas adalah sebagai perantara dari pihak yang
mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana
(lack of funds), sehingga peranan dari lembaga keuangan yang sebenarnya, yaitu
sebagai perantara keuangan/dana masyarakat (financial intermediary). Dalam arti
yang luas ini termasuk di dalamnya lembaga perbankan, peransuransian, dana
pensiun, pegadaian dan sebagainya yang menjembatani antara pihak yang kelebihan
dana dengan pihak yang memerlukan dana.24
Pengertian perjanjian secara otentik yang dirumuskan oleh pembentuk
Undang-undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Subekti berpendapat bahwa: “Walaupun definisi perjanjian tersebut
sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap karena hanya
menekankan pada perjanjian sepihak saja dan disisi lain terlalu luas karena dapat
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai perbuatan yang
terdapat dalam bidang hukum keluarga.”25
Batasan dari Pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian tersebut menurut
para sarjana hukum perdata kurang lengkap dan terlalu luas sehingga banyak
mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahan tersebut dapat
diperinci :
24Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 34
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.
Disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Jadi jelas nampak tanpa adanya konsensus atau kesepakatan antar kedua belah pihak yang membuat perjanjian.
b. Kata perbuatan mencakup juaga konsensus/kesepakatan.
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan/perbuatan yang tidak mengandung adanya consensus, juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Untuk pengertian perjanjian disni dapat diartikan juga pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, seperti pendapat Subekti diatas. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah hubungan kreditur dan debitur.
d. Tanpa menyebut tujuan.
Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan sehingga apa tujuan untuk mengadakan perjanjian pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaknya jelas maksudnya untuk apa.26
Dari perumusan perjanjian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
perjanjian adalah sebagai berikut :
a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak
c. Ada tujuan yang akan dicapai
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan
e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari suatu perjanjian
f. Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis.
R. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Pokok-pokok Hukum Perikatan
juga berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut
selain belum lengkap juga terlalu luas.27 Belum lengkapnya definisi tersebut karena
hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata
“Perbuatan” yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan
hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki
menjadi :
a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313
KUHPerdata.
Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah “Suatu perbuatan hukum dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.28
Perjanjian Baku merupakan wujud dari kebebasan individu menyatakan
kehendaknya untuk menjalankan usahanya dalam era globalisasi ini, pembakuan dan
syarat-syarat perjanjian merupakan model yang tidak dapat dihindari bagi para
pengusaha dalam mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis dan ekonomis serta
tidak rumit.29
Pemerintah Indonesia secara resmi melalui UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menggunakan istilah klausula baku sebagaimana dapat
ditemukan dalam Pasal 1 angka 10, yaitu
27R. Setiawan, 1979,Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 49 28Ibid.
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Ada juga yang menyebutkan bahwa kontrak standar itu dikatakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh para pihak mengenai sesuatu hal yang telah ditentukan secara baku (standar) serta dituangkan secara tertulis baku (standar).30
Perjanjian baku atau perjanjian standar memiliki dua buah ciri yang sangat
khas. Pertama, perjanjian standar selalu berupa perjanjian yang tertulis yang
substansinya selalu telah dipersiapakan terlebih dahulu. Kedua, perjanjian standar
disusun dan disipakan oleh salah satu pihak kemudian diajukan kepada pihak yang
lain untuk diterima secara utuh. Perjanjian standar adalah suatu bentuk kontrak
definitif yang telah disiapkan dan diusulkan oleh salah satu pihak kepada pihak lain.
Pihak yang disebut terakhir tersebut tidak dapat mengubah isi kontrak, ia hanya
memiliki dua pilihan yaitu menerima (menyetujuinya) atau menolaknya, tanpa dapat
menegosiasikan substansi dari perjanjian itu lagi.
Keuntungan penggunaan perjanjian baku yakni menghemat waktu,
menghemat tenaga kerja, juga kecepatan transaksi. Penggunaan perjanjian baku
merupakan salah satu terobosan dalam bidang hukum perikatan yang cermat, apalagi
dalam bidang ekonomi, dimana segala aktivitas perekonomian harus diperhitungkan
secara cermat, efektivitas dan efesiensi diperhitungkan dengan baik. Penggunaan
perjanjian baku dapat diterima oleh kalangan profesional.
30 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, 2008,”Hukum Perlindungan konsumen”, PT. Raja
Namun, dibalik kemudahan penggunaan perjanjian baku atau perjanjian
standar ada akibat hukum yang mungkin tidak terpikirkan oleh pembuat perjanjian.
Akibat hukum lebih menitikberatkan pada pihak yang mengikatkan diri dalam
perjanjian dengan hanya menyetujui atau menolak tanpa ikut serta membuat
perjanjian, tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat. Pihak kedua berada
dalam posisi lemah dan seringkali klausula-klausula dalam perjanjian baku
memojokkan pihak kedua. Dalam kepustakaan hukum Indonesia, klausula ini disebut
klausula eksonerasi (peristilahan ini digunakan oleh Mariam Darus Badrlzaman,
beliau mengindonesiakan istilah exonoratie clausule dari bahasa Belanda menjadi
klausula eksonerasi) atau klausula eksemsi (diIndonsiakan dari istilah exemption
clausule).31Menurut Mariam Darus Badrulzaman klausula eksonerasi adalah klausula
yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditur32, sedangkan menurut
Sutan Remy Sjahdeini, klausula eksemsi adalah klausula yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan
pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya
melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.33
Klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian baku yang memberatkan
pihak kedua misalkan perjanjian baku dengan klausula sebagai berikut: “apabila
pihak kedua melanggar isi kontrak, maka ia harus mengganti kerugian sebsar ½ atau
31Ibid., hal. 109
¼ dari harga yang telah ditetapkan”, atau klausula lain yang bunyinya dikemudian
hari dapat memberatkan atau merugikan pihak kedua.34
Perjanjian baku ini sendiri dalam teori perjanjian masuk dalam doktrin
ketidakadilan (uncoscionalibility) adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum perjanjian
yang mengajarkan bahwa suatu perjanjian batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang
dirugikan manakala dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan
sangat memberatkan salah satu pihak, sesungguhpun kedua belah pihak telah
menandatangani kontrak yang bersangkutan. Salah satu wujud dari ketidakadilan
dalam kontrak adalah apa yang disebut dengan “Keterkejutan yang tidak adil (Unfair
Suprise). Suatu klausula dalam kontrak dianggap merupakan unfair manakala
klausula tersebut bukan klausula yang diharapkan oleh seorang yang normal dalam
kontrak semacam itu, sementara pihak yang menulis perjanjian mempunyai alasan
untuk mnegtahui bahwa klausula tersebut tidak akan sesuai dengan keinginan yang
wajar dari pihak lain, tetapi pihak yang menulis kontrak tersebut tidak berusaha
menarik perhatian pihak lainnya terhadap klausula tersebut. Contoh, klausula yang
bersifatunfair supriseadalah perjanjian baku atau perjanjian standar.35
Pandangan yang modern dalam hukum perjanjian mengajarkan bahwa
klausula dalam perjanjian baku hanya mengikat sejauh klausula-klausula oleh
manusia yang normal akan dipandangnya sebagai klausula yang wajar dan adil. Jika
ada klausula tersebut bersifat sebaliknya, maka klausula yang bersangkutan oleh
hukum dianggap tidak pernah ada. Perkembangan perjanjian baku ini lebih mendekati
pandangan Max Weber.36Perjanjian akhirnya lebih didominasi oleh pihak yang lebih
kuat dan menempatkan pihak lain dalam posisi lemah. Pihak bank dapat digambarkan
sebagai pihak yang kuat yang lebih mendominasi daripada pihak nasabah. Pihak
nasabah digambarkan sebagai pihak yang lemah. Berkaitan dengan perkembangan
perjanjian yang cenderung menggunakan perjanjian baku atau perjanjian standar,
maka pandangan Durkheim tidak sesuai dengan kenyataan yang berkembang saat ini.
Adanya perjanjian baku di satu pilihan mencerminkan ketidakadilan karena pihak
yang lemah dihadapkan pada pilihan mencerminkan ketidakadilan karena pihak yang
lemah dihadapkan pada pilihan menerima atau menolak ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian tersebut. Padahal, Durkheim menyatakan bahwa perjanjian yang akan
berkembang dimasa depan adalah perjanjian berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak dan itu merupakan kontrak yang adil.37
Dengan demikian, perjanjian baku bertentangan dengan pandangan Durkheim.
Perjanjian baku ini malahan mencerminkan pandangan yang dikemukakan oleh Max
Weber, bahwa:
Dengan berkembangnya perekonomian maka perkembangan kontrak bergeser, dari kesepakatan antara para pihak yang didasarkan dari keinginan bebas dari para pihak yang menjadi kebebasan tidak tak terbatas, pihak yang kuat yang mendominasi isi kontrak dan pihak lain berada di posisi lemah yang tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat.38
Walaupun kontrak baku di satu pihak tidak mencerminkan sisi keadilan,
karena menempatkan posisi salah satu pihak dalam posisi lemah, namun bentuk
perjanjian baku telah diakui secara internasional.
Bentuk kontrak baku tercantum dalam International Commercial Term 1993 yang disponsori oleh International Chamber of Commers dan The General
Conditions of Safe and Standard Form of Contracts yang disponsori oleh
United Nation Economic Commision for Europe. Dalam International
Commercial Terms 1993 danThe general Conditions of Sale and Standard of
Contractsdiakui tiga macam bentuk perjanjian - perjanjian internasional yaitu sebagai berikut, kontrakkontrak hukum perdata internasional, perjanjian -perjanjian baku biasa dan kontrak-kontrak standar internasional.39
Dalam Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of
International Comercial Contract). Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip
hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut : Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20-pasal 2.22. Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya. Ketentuan ini mengatur tentang tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku dan Pengertian kontrak baku.40
Lebih lanjut bahwa perjanjian baku (standar) itu sebagai perjanjian yang
hampir seluruh klausula-klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Adapun yang belum dibakukan adalah beberapa hal lainnya yang sifatnya
sangat spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan demikian perjanjian adalah
perjanjian yang diterapkan secara sepihak oleh produsen/pelaku usaha/penjual yang
39Ibid.,hal. 70
mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) sehingga pihak konsumen hanya
mempunyai 2 pilihan saja yaitu menyetujui atau menolaknya.
Perjanjian baku merupakan salah satu perkembangan hukum perikatan.
Sebagaimana diketahui dari praktek perundang-undangan tentang perlindungan
konsumen di beberapa negara, salah satu aspek yang selalu mendapat tempat
tersendiri dalam pengaturannya adalah masalah Klausula Baku atau Perjanjian Baku.
Istilah lainnnya adalah Perjanjian Standar atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai
“Standard Clause“, “Standard Contract” atau “Standard Agreement“.41 Selama ini,
banyak keluhan yang disampaikan konsumen dengan transaksi kualitas barang yang
dibeli konsumen tidak sesuai dengan yang diiklankan. Bagian customer service yang
seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan baik, justru sering
mengecewakan konsumen. Memang ada beberapa pelaku usaha yang terbuka dan
mau menerima keluhan seperti itu. Mereka bersedia memberi ganti rugi atau
penggantian barang. Namun, ketika UUPK belum diberlakukan, hal itu belum
menjadi kewajiban yang memiliki kekuatan hukum pelaku usaha.
Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut
standard contract, standard agreement.Prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam
perjanjian baku hanya dilihat dari kepentingan pengusaha, bukan kepentingan
konsumen. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi
pengusaha lebih terjamin, karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang
disodorkan oleh pengusaha. Abdul Kadir Muhammad mengatakan dalam kontrak
41 Abdul Kadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan
baku konsumen harus menerima segala akibat yang timbul dari perjanjian tersebut,
walaupun akibat hukum itu merugikan konsumen tanpa kesalahannya. Di sini
konsumen dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima dengan besar hati.42
Perjanjian baku dalam prektek dikenal ada berbagai sebutan untuk jenis
perjanjian/ kontrak semacam ini misalnya di Perancis digunakan Contract
d’adhesion. Perjanjian baku diartikan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda
standard contractatau standard voorwaarden. Kepustakaan jerman mempergunakan
istilah Allgemeine Geschafts Bedingun atau standart vertrag. Hukum inggris
menyebutkan Standard contract, sedangkan Mariam Darus Badrulzaman
menterjemahkannya dengan istilah perjanjian baku.43
Sutan Remy Sjahdeini dalam Munir Fuady, mengatakan bahwa perjanjian
baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh
pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan.44
Perjanjian baku yang diperlukan di Indonesia, khususnya di dunia bisnis
sudah menjadi model perjanjian. Namun sah atau tidaknya perjanjian baku, para
sarjana hukum masing-masing mempunyai pendapat berbeda-beda. Beberapa sarjana
hukum Belanda mengemukakan antara lain Sluijter dalam Sutan Remy Sjahdeini,
bahwa Perjanjian baku ini bukan perjanjian sebab kedudukan pengusaha (yang
42Ibid.,hal. 4
43M.D. Badrulzaman, 2001,Kompilasi Hukum Perikatan,Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal.
75
berhadapan dengan konsumen) di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk
undang-undang swasta(Legio Particuliere wetgever).45
Pitlo dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, menggolongkan perjanjian
baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoretis
yuridis, perjanjian baku tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa
ahli hukum ditolak, namun kenyataan masyarakat membutuhkan sarana hukum sesuai
dengan kebutuhan.46
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat, bahwa keabsahan berlakunya perjanjian
baku tidak perlu dipersoalkan, oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah
merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas
dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya.
Pand, pandrecht atau hak gadai, adalah suatu hak yang diperoleh seseorang
berpiutang (kreditur) atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh si
berhutang (debitur) atau oleh seseorang lain atas namanya dan yang memberikan
kepada si berpiutang (kreditur) itu untuk mengambil pelunasan dari barang-barang
bergerak tersebut, secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang (kreditur)
lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang
telah dikeluarkan untuk memelihara barang itu dan biaya-biaya mana yang harus
didahulukan.47
UU Perlindungan Konsumen bukan satu-satunya hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum disahkannya UUPK pada
45Sutan Remy Sjahdeini,Op. Cit, hal.47.
dasarnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang materinya
melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202-205 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
dan sebagainya. Lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum (umbrella act)
di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan
perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap
konsumen.48
Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang
perbankan menjadi urgen, karena secara faktual kedudukan antara para pihak
seringkali tidak seimbang. Perjanjian kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan
rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena
alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang
mempunyai posisi tawar (bargaining position) dalam hal ini adalah pihak bank.
Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima atau menolak perjanjian
yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it).
Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kredit/pembiayaan pada
bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur
48 Erman Rajagukguk, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju,