KAJIAN EFEKTIFITAS KOMUNIKASI ATASAN BAWAHAN
PADA KARYAWAN HOTEL X
(
The analysis of downward communication efectiveness at Hotel X)
TESIS
FRANDAWATI
097029008
MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Abstrak
Hotel merupakan salah satu faktor pendukung pariwisata. Dalam pengelolaannya, hotel harus responsif dan tanggap terhadap perubahan lingkungan. Begitu pula dengan Hotel X yang merupakan salah satu hotel berbintang tiga di Medan. Dikaitkan dengan perubahan, Hotel X mengalami perubahan bentuk badan usaha dari CV menjadi PT yang diiringi oleh pembangunan Hotel Grand X. Perubahan ini mengakibatkan perubahan struktur perusahaan dan perubahan cara sosialisasi kebijakan perusahan. Perubahan ini mengakibatkan berbagai masalah yakni karyawan kurang mengetahui perubahan sistem, merasakan kekecewan terhadap manajemen, merasa tidak puas terhadap atasan langsungnya, kurang berkerjasama dalam mengikuti program-program yang difasilitasi oleh departemen HRD, kurang berkoordinasi dengan atasan.
Secara umum masalah-masalah tersebut mengarah kepada komunikasi atasan bawahan yang tidak berjalan secara efektif. Dalam upaya untuk membangun efektifitas komunikasi atasan bawahan, maka para atasan perlu mengavaluasi diri. Penelitian ini menggunakan teori Thona (2005) bahwa ada 8 dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi efektifitas komunikasi atasan bawahan yakni (1) intensi, (2) kekhususan, (3) deskriptif, (4) kemanfaatan, (5) tepat waktu, (6) kesiapan, (7) kejelasan, dan (8) validitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran efektifitas komunikasi atasan bawahan pada karyawan Hotel X.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatitf deskriptif. Seluruh populasi dalam penelitian ini dijadikan sampel penelitian kuantitatif, yaitu 68 orang karyawan Hotel X. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan efektifitas komunikasi atasan bawahan pada karyawan Hotel X tergolong sedang, serta masih terdapat dua dimensi yang tergolong rendah, yaitu dimensi deskriptif dan kejelasan. Rendahnya dimensi deskriptif mengindasikan bahwa atasan kurang dapat memberikan informasi dengan bahasa yang objektif. Sedangkan rendahnya dimensi kejelasan mengindikasikan bahwa atasan kurang mendapatkan umpan balik dari bawahannya. Penelitian kualitatif melibatkan 4 orang partisipan yakni 2 orang atasan dan 2 orang bawahan. Hasil penelitian juga menunjukan dimensi kejelasan dan dimensi deskriptif kurang optimal. Selain itu, tambahan hasil penelitian menunjukan dimensi kesiapan kurang optimal.
Abstract
Hotel is one sector that has a prominent role in tourism. That‟s why in it‟s
management, a hotel must be responsive and sensitive about change taking place in environment. So does Hotel X, of which one three stars hotel in Medan. Hotel X itself went through a change of business entity from CV to PT that accompanied by developing Hotel Grand X. This change results in change in the structure of the organization and change in the way organization policies socialized. This change
results some problem such as employees don‟t know the system change, feel
dissapointed towards management, unsatifisty with the head, lack of cooperation to participate programs, lack of coordination with the head.
Commonly, this problem leads to efectivity of downward communication. In gaining an effective communication, it is important for superordinates to evaluate their way of communicating. This research is based on theory from Thona (2005) that describes there are eight dimensions that can be used to evaluate the downward communication, they are : 1) intention, 2) specificity, 3) descriptive, 4) expediency, 5) right timing, 6) readiness, 7) clarity, and 8) validity. This research is aimed to gain the description of communication effectiveness between superordinates and subordinates in Hotel X.
This research is developed by using quantitative and qualitative approach, and is a kind of descriptive research. All population in this research are occupied to be the sample of the quanititative research, which amounts to 68 employees of Hotel “X”. The result of this research has proven that the communication between superordinates and
subordinates in Hotel “X” is quite effective. Yet, there are some prominent weaknesses in two dimensions of communication effectiveness, they are descriptive dimension and clarity dimension. Descriptive dimension indicates that supervisor less can give information in objective language. Clarity dimension indicates that supervisor less can get feedback from his subordinate. Qualitative research includes 4 participants, 2 supervisor and 2 subordinates.
Therefore, it is important to design a training programme which is more concentrated to two dimensions of communication effectiveness between superordinates and subordinates in increasing effectiveness of communication between superordinates
and subordinates in Hotel “X”.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kajian
Efektifitas Komunikasi Atasan Bawahan Pada Karyawan Hotel X” ini. Tesis ini
diajukan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada kedua orangtua, Ibunda Suriyati dan
Ayahanda Mawarno, yang telah memberikan cinta, pengorbanan, motivasi, dan
perhatian yang berlimpah sehingga peneliti bisa menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu
peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
dan dosen penguji. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk
menguji dan memberikan masukan, saran dan ilmunya yang sangat berarti bagi
peneliti demi penyempurnaan tesis ini.
2. Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku dosen pembimbing pertama penulis. Terima kasih
banyak atas arahan dan bimbingan yang bapak berikan. Terima kasih kepada bapak
yang telah banyak bersabar dan membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini dan
juga selalu menenangkan dan mendukung penulis ketika penulis menemui kesulitan.
3. Kak Cherly Kemala Ulfa, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing kedua penulis.
Terima kasih atas masukan dan semangat yang kakak berikan selama proses
pembuatan tesis ini. Terima kasih juga telah meluangkan waktu untuk mendengarkan
4. Kepada seluruh dosen pengajar di Fakultas Psikologi, terima kasih atas ilmu
yang telah diberikan kepada penulis.Tanpa bapak dan ibu dosen semua, penulis
bukanlah apa-apa.
5. Kepada sahabat-sahabatku Laila Maya, Suryati, Kerry Desiana, Farah,
Marintan, dan Annisa yang selalu menambah pengetahuanku dengan berbagi
informasi serta berbagi suka duka selama di Magister Psikologi Profesi.
6. Kepada kak Maya, semangat ya mengerjakan semua tugas-tugasnya. Waktu
yang dilewatkan selama Magister Profesi ini sangat banyak kenangan ama kak
Maya. Semoga doa-doa kakak selama ini akan tercapai dalam waktu
secepat-cepatnya. Selain itu, terima kasih sudah menjadi tempat mendengarkan
keluhan-keluhan peneliti selama ini.
7. Kepada kak Surti, terima kasih ya kak sudah membantu peneliti dalam
menyelesaikan Magister Profesi khususnya pada semester 3 dan 4 yang begitu
banyak cobaan dan tantangan. Tanpa dukungan dan bantuan kak surti, penulis
tidak akan mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik.
8. Kepada kak Keke, semoga cepat dapat momongan ya. Terima kasih ya kak
Keke karena telah memberikan banyak inspiratif dalam menyelesaikan
kasus-kasus dan tugas-tugas .
9. Kepada kak Nisa, Farah, dan Intan, kenangan dengan kalian sangat banyak
sekali. Saya akan merindukan saat-saat kita karoeke dan berbagi fakta tentang
kampus tercinta. Kalian adalah penghibur di Magister Profesi ini. Tanpa
adanya kalian, Magister Profesi ini tidak akan berwarna.
10.Pihak perusahaan Hotel X yang telah memberikan ijin pengambilan data dan
Akhir kata, penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga tesis ini
bermanfaat.
Medan , Desember 2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... 0
LEMBAR PENGESAHAN ... 0
LEMBAR PERNYATAAN ... 0
ABSTRAK ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
1.Manfaat Praktis ... 11
2.Manfaat Teoritis ... 11
E. Sistematika Penulisan ... 11
F. Kerangka Konsep Permasalahan ... 13
BAB II LANDASAN TEORI ... 14
A. Komunikasi Atasan Bawahan ... 14
A.1. Definisi Komunikasi atasan bawahan ... 15
A.2. Jenis informasi yang dikomunikasi ke bawah ... 16
A.3. Bentuk komunikasi atasan bawahan ... 16
A.4. Faktor yang mempengaruhi komunikasi Atasan Bawahan ... 17
A.5. Dimensi komunikasi atasan-bawahan ... 18
A.6. Dampak komunikasi efektif ... 21
A.7. Hambatan Komunikasi ... 21
B. Deskripsi Hotel X ... 23
B.1. Sejarah ... 23
B.2. Komunikasi atasan bawahan di Hotel X ... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 27
A. Penelitian Kuantitatif ... 27
A.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 27
1. Variabel Penelitian ... 27
2. Definisi operasional ... 28
A.2. Populasi dan Sampel Penelitan ... 29
A.3. Instrumen Penelitian ... 29
A.4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 30
1. Validitas alat ukur ... 31
2. Reliabilitas alat ukur ... 32
3. Daya beda aitem ... 36
A.5. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 32
A.6. Metode Analisis ... 33
B. Penelitian Kualitatif ... 35
B.1. Variabel yang diamati ... 35
B.2. Subjek penelitian ... 35
B.3. Instrumen penelitian ... 36
C. Prosedur Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif ... 38
BAB IV ANALISA DATA ... 39
A. Hasil Penelitian Kuantitatif ... 39
A.1. Gambaran umum komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X ... 40
A.2.Gambaran komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X berdasarkan dimensi komunikasi atasan bawahan ... 41
B. Hasil Penelitian Kualitatif ... 49
C. Pembahasan ... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
A. Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 65
B.1. Saran metodologis ... 65
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Rekapitulasi identifikasi masalah di Hotel X ... 6 Tabel 3.1. Definisi operasional komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X ... 28 Tabel 3.2. Gambaran penilaian skala komunikasi atasan bawahan ... 30
Tabel 3.3. Blue print distribusi aitem dalam skala komunikasi atasan bawahan sebelum uji coba ... 30
Tabel 3.4. Blue print distribusi atiem dalam skala komunikasi atasan bawahan setelah ujicoba ... 33 Tabel 3.5. Kategorisasi norma gambaran komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel
X ... 33 Tabel 4.1. Pengkateorisasian komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X ... 35 Tabel 4.2. Uji normalitas komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X ... 36 Tabel 4.3. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X . 36 Tabel 4.4. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X ... 36 Tabel 4.5. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan dimensi intensi
karyawan Hotel X... 37 Tabel 4.6. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan dimensi intensi karyawan
Hotel X ... 37 Tabel 4.7. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan dimensi
kekhususan karyawan Hotel X ... 38 Tabel 4.8. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan dimensi kekhususan
karyawan Hotel X ... 38 Tabel 4.9. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan dimensi deskriptif
karyawan Hotel X ... 39 Tabel 4.10. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan dimensi deskriptif
karyawan Hotel X... 39 Tabel 4.11. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan dimensi
kemanfaatan karyawan Hotel X ... 40 Tabel 4.12. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan dimensi kemanfaatan
karyawan Hotel X ... 40 Tabel 4.13. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan dimensi tepat
waktu karyawan Hotel X ... 41 Tabel 4.14. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan dimensi tepat waktu
karyawan Hotel X ... 41 Tabel 4.15. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan dimensi kesiapan
karyawan Hotel X ... 42 Tabel 4.16. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan dimensi kesiapan
karyawan Hotel X ... 42 Tabel 4.17. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan dimensi kejelasan
karyawan Hotel X ... 43 Tabel 4.18. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan dimensi kejelasan
karyawan Hotel X ... 43 Tabel 4.19. Skor empirik dan hipotetik komunikasi atasan bawahan dimensi validitas
karyawan Hotel X ... 44 Tabel 4.20. Kriteria kategorisasi komunikasi atasan bawahan dimensi validitas
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A: Rancangan Pelatihan
Lampiran B: Data Skala TryOut
Lampiran C: Hasil Analisa Data Skala TryOut
Lampiran D: Skala Penelitian
Lampiran E: Data Skala Penelitian
Abstrak
Hotel merupakan salah satu faktor pendukung pariwisata. Dalam pengelolaannya, hotel harus responsif dan tanggap terhadap perubahan lingkungan. Begitu pula dengan Hotel X yang merupakan salah satu hotel berbintang tiga di Medan. Dikaitkan dengan perubahan, Hotel X mengalami perubahan bentuk badan usaha dari CV menjadi PT yang diiringi oleh pembangunan Hotel Grand X. Perubahan ini mengakibatkan perubahan struktur perusahaan dan perubahan cara sosialisasi kebijakan perusahan. Perubahan ini mengakibatkan berbagai masalah yakni karyawan kurang mengetahui perubahan sistem, merasakan kekecewan terhadap manajemen, merasa tidak puas terhadap atasan langsungnya, kurang berkerjasama dalam mengikuti program-program yang difasilitasi oleh departemen HRD, kurang berkoordinasi dengan atasan.
Secara umum masalah-masalah tersebut mengarah kepada komunikasi atasan bawahan yang tidak berjalan secara efektif. Dalam upaya untuk membangun efektifitas komunikasi atasan bawahan, maka para atasan perlu mengavaluasi diri. Penelitian ini menggunakan teori Thona (2005) bahwa ada 8 dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi efektifitas komunikasi atasan bawahan yakni (1) intensi, (2) kekhususan, (3) deskriptif, (4) kemanfaatan, (5) tepat waktu, (6) kesiapan, (7) kejelasan, dan (8) validitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran efektifitas komunikasi atasan bawahan pada karyawan Hotel X.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatitf deskriptif. Seluruh populasi dalam penelitian ini dijadikan sampel penelitian kuantitatif, yaitu 68 orang karyawan Hotel X. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan efektifitas komunikasi atasan bawahan pada karyawan Hotel X tergolong sedang, serta masih terdapat dua dimensi yang tergolong rendah, yaitu dimensi deskriptif dan kejelasan. Rendahnya dimensi deskriptif mengindasikan bahwa atasan kurang dapat memberikan informasi dengan bahasa yang objektif. Sedangkan rendahnya dimensi kejelasan mengindikasikan bahwa atasan kurang mendapatkan umpan balik dari bawahannya. Penelitian kualitatif melibatkan 4 orang partisipan yakni 2 orang atasan dan 2 orang bawahan. Hasil penelitian juga menunjukan dimensi kejelasan dan dimensi deskriptif kurang optimal. Selain itu, tambahan hasil penelitian menunjukan dimensi kesiapan kurang optimal.
Abstract
Hotel is one sector that has a prominent role in tourism. That‟s why in it‟s
management, a hotel must be responsive and sensitive about change taking place in environment. So does Hotel X, of which one three stars hotel in Medan. Hotel X itself went through a change of business entity from CV to PT that accompanied by developing Hotel Grand X. This change results in change in the structure of the organization and change in the way organization policies socialized. This change
results some problem such as employees don‟t know the system change, feel
dissapointed towards management, unsatifisty with the head, lack of cooperation to participate programs, lack of coordination with the head.
Commonly, this problem leads to efectivity of downward communication. In gaining an effective communication, it is important for superordinates to evaluate their way of communicating. This research is based on theory from Thona (2005) that describes there are eight dimensions that can be used to evaluate the downward communication, they are : 1) intention, 2) specificity, 3) descriptive, 4) expediency, 5) right timing, 6) readiness, 7) clarity, and 8) validity. This research is aimed to gain the description of communication effectiveness between superordinates and subordinates in Hotel X.
This research is developed by using quantitative and qualitative approach, and is a kind of descriptive research. All population in this research are occupied to be the sample of the quanititative research, which amounts to 68 employees of Hotel “X”. The result of this research has proven that the communication between superordinates and
subordinates in Hotel “X” is quite effective. Yet, there are some prominent weaknesses in two dimensions of communication effectiveness, they are descriptive dimension and clarity dimension. Descriptive dimension indicates that supervisor less can give information in objective language. Clarity dimension indicates that supervisor less can get feedback from his subordinate. Qualitative research includes 4 participants, 2 supervisor and 2 subordinates.
Therefore, it is important to design a training programme which is more concentrated to two dimensions of communication effectiveness between superordinates and subordinates in increasing effectiveness of communication between superordinates
and subordinates in Hotel “X”.
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan pariwisata sangat diperhatikan oleh seluruh lapisan
masyarakat di dunia karena memberikan peluang usaha bagi siapa saja yang terlibat
didalamnya. Demikian pula di Indonesia, pariwisata merupakan salah satu sektor yang
menyumbang devisa terbesar di Indonesia. Menurut data yang dirilis dari Biro Pusat
Statistik (BPS, 2010), jumlah wisatawan asing di Indonesia sebesar 5.002.101
wisatawan, sedangkan jumlah wisatawan domestik adalah 109,9 juta wisatawan dan
menghasilkan pendapatan sektor pariwisata sebesar Rp.86,6 Triliun.
Berbicara tentang pariwisata, maka hotel merupakan salah satu faktor pendukung
pariwisata yang mempunyai peranan sangat penting dalam mengembangkan sarana dan
prasarana pariwisata. Hotel sebagai salah satu jenis akomodasi yang terlibat secara
langsung dalam penyediaan jasa penginapan, makan dan minum serta fasilitas lain,
diharapkan memberikan kepuasan bagi setiap orang yang memakai jasa tersebut
(Mattendon, 2007). Hal ini berdampak pada tingginya kompetisi antar hotel. Hasil
survei Badan Pusat Statistik Indonesia (2010) terdapat 1240 industri perhotelan
berbintang yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan tingkat hunian wisatawan
mancanegara dan domestik per harinya mencapai 84.566 tamu. Di kota Medan, jumlah
industri perhotelan melonjak cukup tajam, tercatat ada 30 industri hotel pada tahun
2005, menjadi 41 industri hotel pada tahun 2010, sehingga tidak mengherankan bila
pada tahun ini, sektor industri hotel menempati urutan pertama sebagai penyumbang
Berdasarkan data statistik dari BPS Provinsi Sumatera Utara, diketahui bahwa
tingkat hunian kamar hotel bintang tiga pada tahun 2011 mencapai 51,37 % dan
merupakan tingkat hunian hunian tertinggi dibanding kelas berbintang lainnya
(Waspada, 2011). Hal ini relatif selaras dengan data tahun 2007 bahwa hotel bintang
tiga telah mendominasi pasar sekitar 56.73% (BPS, 2008).
Pengelola hotel harus responsif dan tanggap terhadap perubahan lingkungan untuk
bisa bertahan dan mempertahankan pangsa pasar serta menciptakan peluang yang baru.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sulastiyono (1999) bahwa hotel yang gagal
mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perubahan cenderung akan mengalami
penurunan pendapatan dan jumlah tamu serta tidak akan mampu bertahan.
Hotel X merupakan salah satu hotel bintang tiga di Medan juga mengalami
perubahan. Hotel yang sudah berdiri sejak tahun 2003 ini mengalami perubahan badan
hukum perusahaannya. Pada awal berdirinya, Hotel X berbadan hukum Comanditaire
Vennootschap (CV), kemudian pada tahun 2007, berubah menjadi Perseroan Terbatas
(PT). Perubahan ini diakibatkan oleh pembangunan Hotel Grand X yang berbintang
empat di Medan dan bertujuan agar Hotel X dan Hotel Grand X dapat berada dalam satu
badan usaha yakni PT. SK. Hal ini berdampak pada perubahan organisasi Hotel X yakni
perubahan struktur organisasi dan perubahan cara sosialisasi kebijakan perusahaan.
General Manager dan Semua manajer di Hotel X merangkap jabatan manajer di
Hotel Grand X, dan berkantor di Hotel Grand X yang berjarak sekitar 1 km dari Hotel
Diagram 1: GM dan M berkantor di Hotel X sebelum Diagram 2: GM dan M tidak berkantor di adanya Hotel Grand X Hotel X sesudah adanya Hotel Grand X
Ket: GM: General Manager; M:Manajer; ASM: Asisten Manajer
Diagram dua memperlihatkan tidak ada yang bertanggung jawab sebagai General
Manager (GM) dan Manajer (M) di Hotel X, yang ada hanyalah Asisten Manajer.
Padahal idealnya suatu perusahaan harus memiliki seorang pemimpin untuk
mengarahkan atau mengawasi operasional perusahaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Thoha (2005) bahwa pemimpin berperan penting dalam menginspirasi bawahan,
menyelesaikan hambatan-hambatan dalam operasional usaha, memberikan teladan
kepada karyawan, mengerahkan karyawan untuk mencapai target perusahaan dan
memperbaiki kesalahan atau kekeliruan. Ketiadaan pemimpin di Hotel X, mengakibatkan
kurang efektifnya operasional hotel, para asisten manajer di Hotel X harus melaporkan
dan menunggu instruksi dari Hotel Grand X jika terjadi hambatan dalam operasional
hotel. Selain itu, para manajer yang posisinya berada di Hotel Grand X jarang datang
dan mengawasi langsung kinerja bawahannya di Hotel X. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh salah seorang supervisor engineering (komunikasi personal, 2 Mei
2011):
“....hmm.. jarang sih bu.. biasanya kita yang datang ke Grand. Kalo ada masalah
kita melapor ke Grand. Kalo gak ada masalah, ngapaen kita lapor ke sana? Lagian jarang kali manajer itu datang ke sini bu....”
“....kalopun ada masalah, palingan kami disuruh buat laporan tertulis bu. mana ada
manajer tuh datang, setidaknya buat lihat keadaan. Misalnya mesin itu rusak, ya kami di sini yang memperbaikinya sendiri. setelah selesai perbaikan pun, manajernya gak ada datang. cuman kami disuruh buat laporan kerusakannya apa
dan apa yang kami lakukan..” GM
M M M M M
Perubahan lainnya yaitu perubahan cara sosialisasi kebijakan perusahaan, yakni
berubah dari komunikasi lisan menjadi tulisan. Perubahan kebijakan yang diambil oleh
para manajer disosialisasikan kepada karyawan di Hotel X secara tertulis dengan
membagikan memorandum. Pembagian memorandum dirasakan kurang efektif, karena
karyawan di Hotel X kurang membaca secara teliti dan terjadi berbagai penafsiran arti
dari memorandum tersebut. Berikut penuturan dari salah seorang staf tata graha di Hotel
X (komunikasi personal, 3 Mei 2011):
“ya mana tau kak perubahan peraturan. Nanti tiba-tiba aja uang servis dipotong kalo terlambat, padahal dulunya gak ada. Sudah dipotong baru dikasih tau kalo
keterlambatan akan memotong uang servis. Sebelumnya gak ada...”
“kemaren itu ada ditulis di memorandum kak, yang terlambat akan dipotong uang
servisnya. Tapi saya gak tau kak kalo telat 1 menit aja pun akan dianggap sebagai keterlambatan 30 menit. Tau gitu, dah telat, bagusan merokok di luar aja sambil
nunggu waktu..”
Selain itu, ASM di Hotel X kurang mensosialisasikan perubahan kebijakan sistem
kerja kepada bawahan sehingga mengganggu tugas operasional harian dan
menimbulkan rasa ketidaknyamanan karyawan yang berbeda departemen. Hal ini
seperti diungkapkan oleh salah seorang staf resepsionis (komunikasi personal, 3 Mei
2011):
“palingan kek di resepsionis, kemaren itu kan terjadi perubahan mengenai sistem
pelaporan ke bagian accounting. Tapi si pak A gak ada dijelaskannya, jadinya laporannya jadi double dan ada perbedaan jumlah yang ada dan dalam laporan..kemaren itu ampe gak enak ama orang accounting.. pikirnya kami yang di FO ini malas kali membuat laporan ke accounting...”
Adanya kenyataan bahwa ASM cenderung tidak peduli untuk menyampaikan
perubahan kebijakan kepada bawahan berimbas pada munculnya kekecewan karyawan
terhadap manajemen di Hotel X. Pemicu munculnya kekecewaan karyawan adalah
berupa uang servis. Berikut penjelasan manajer HRD (komunikasi personal, 3 Mei
2011):
“...Kalo masalah kebijakan yang sering dibilang karyawan itu gak pernah diumumkan, tiba-tiba terjadi pemotongan uang gaji. Sebelum dikeluarkan kebijakan baru itu, sudah disampaikan kok ama para headnya.. jadi headnya sudah tau apa kebijakan terserbut. Bahkan para head juga memberikan masukan tentang kebijakan baru tersebut. Kan kamu tau fran, kita seminggu sekali setidaknya ada briefing buat mendiskusikan kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi.. jadi kalo dibilang kebijakan itu tiba-tiba, saya rasa gak benar itu...yang benar itu, para headnya gak
ada menyampaikan ama anak buahnya...”
Dalam berinteraksi dengan ASM, karyawan merasa tidak puas terhadap atasan
langsungnya. Adanya rasa tidak puas ini disebabkan karena kurangnya umpan balik
yang diberikan oleh ASM kepada bawahannya. Ketika bawahan melakukan kesalahan,
ASM kurang memberikan masukan cara memperbaiki kesalahan tersebut. Berikut
penjelasan salah seorang staf tata graha (komunikasi personal, 3 Mei 2011):
“mana ada kasi feedback kak.. kalo kerjaan kita beres, ya udah diam-diam aja. Kalo kerjaan kita ada yang salah, yang ada dimarah-marahi tapi gak dikasi tau cara memperbaikinya. Untungnya kita berpengalaman.. jadi kita tau gimana memperbaikinya. Apalagi soal aturan aturan baru, mana ada dikasi tau ama atasan.. tiba-tiba aja keluar surat memorandum gitu”
“oo, headnya mana mau kak mem back up kami.. yang ada dia malah bangga kak
memarahi kami di depan orang lain. Kalo misalnya ada salah, ya berikan lah masukan.. jangan marah-marah, pemimpin macam apa lah kak kalo kek gitu?”
Permasalahan lain yang dirasakan oleh Manajer HRD Hotel X, yakni kurangnya
kepedulian karyawan untuk mengikuti program-program yang difasilitasi oleh
departemen HRD, karena program tersebut ternyata disampaikan hanya secara tertulis
yang berupa memorandum dan kurangnya sosialisasi dari para ASM . Hal ini seperti
dituturkan oleh Manajer HRD (komunikasi personal, 3 Mei 2011):
“....ada program training pun kurang efektif. gak dikasih tau ama head nya kalo itu
wajib. Terpaksalah kita ngeluarin memorandum. itu pun sedikit yang datang...”
“ya gitu lah headnya.. padahal sudah saya ingatkan untuk memberitahukan ama
peduli kali, dipikirnya dengan memorandum itu bisa membuat karyawan datang. padahal saya sudah mengingatkan agar para headnya ngomong dan menjelaskan pelatihan ini, biar para bawahan ini datang ke pelatihan. Buktinya asal ada pelatihan, bawahan yang datang cuman sedikit. Nanti sudah saya tegur mengenai jumlah karyawan yang datang pada pelatihan, baru headnya marah-marah.. dah
sering itu kek gitu.. jadi maklum maklum aja..”
Selain permasalahan di atas, masalah lain yang dihadapi oleh Hotel X adalah
kurangnya koordinasi antara bawahan dan atasan sehingga menimbulkan gangguan
dalam pelayanan. Hal ini dirasakan cukup mengganggu kenyamanan pelanggan dan
menyebabkan pelanggan tidak ingin menginap di Hotel X lagi, seperti dituturkan oleh
salah satu staf resepsionis (komunikasi personal, 19 Oktober 2011):
“...oo yang itu kak, yang pelanggan bapak dari aceh itu? Kan bapak itu pelanggan lama. Waktu itu, uang bapak itu kurang 2 juta buat bayar biaya hotel. Dia minta utang kak.. nah, saya kan cuman resepsionis.. saya tanyakan ama pak A. Kata pak A nanti didiskusikan ama orang accounting.. tapi dah 1 jam an , pak A gak ngasih kabar apa-apa.. sedangkan tamunya mendesak.. jadi saya bilang bahwa belum ada keputusan. Mungkin bapak itu mendesak terus, ya saya bilang aja kalo gak bisa.. dan bapak itu malah marah dan mengatakan „gak akan kuinjakkan lagi kaki ku ke hotel
ini‟ “
“trus, setelah itu saya malah kena marah ama pak A katanya gak bisa melayani
pelanggan. Dan katanya kalo dihutangi 2 juta gak apa -apa.. soalnya bapak itu
pelanggan lama, aneh kan kak?”
Tabel 1.1. berikut ini merupakan rekapitulasi identifikasi masalah yang terjadi di
Hotel X Medan.
Tabel 1.1. Rekapitulasi identifikasi masalah di Hotel X
Hasil wawancara Indikasi masalah
....palingan kek di resepsionis, kemaren itu kan terjadi perubahan mengenai sistem pelaporan ke bagian accounting. Tapi si pak A gak ada dijelaskannya, jadinya laporannya jadi double dan ada perbedaan jumlah yang ada dan dalam laporan..kemaren itu ampe gak enak ama orang accounting.. pikirnya kami yang di FO ini malas kali membuat laporan ke accounting...
Karyawan kurang mengetahui perubahan sistem kerja sehingga mengganggu operasional harian dan memicu rasa ketidaknyamanan karyawan antar departemen.
...kalo masalah visi dan misi itu, semua head taunya..kan kemaren itu dibuat bersama. Kalo masalah kebijakan yang sering dibilang
terjadi pemotongan uang gaji. Sebelum dikeluarkan kebijakan baru itu, sudah disampaikan kok ama para headnya.. jadi headnya sudah tau apa kebijakan terserbut. Bahkan para head juga memberikan masukan tentang kebijakan baru tersebut. Kan kamu tau fran, kita seminggu sekali setidaknya ada briefing buat mendiskusikan kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi.. jadi kalo dibilang kebijakan itu tiba-tiba, saya rasa gak benar itu...yang benar itu, para headnya gak ada menyampaikan ama anak buahnya... ....mana ada kasi feedback kak.. kalo kerjaan kita beres, ya udah diam-diam aja. Kalo kerjaan kita ada yang salah, yang ada dimarah-marahi tapi gak dikasi tau cara memperbaikinya. Untungnya kita berpengalaman.. jadi kita tau gimana memperbaikinya. Apalagi soal aturan aturan baru, mana ada dikasi tau ama atasan.. tiba-tiba aja keluar surat memorandum gitu..
...oo, headnya mana mau kak mem back up kami.. yang ada dia malah bangga kak memarahi kami di depan orang lain. Kalo misalnya ada salah, ya berikan lah masukan.. jangan marah-marah, pemimpin macam apa lah kak kalo kek gitu?...
Karyawan merasa tidak puas terhadap atasan langsungnya karena kurangnya umpan balik yang diberikan oleh atasan kepada bawahannya. Ketika bawahan melakukan kesalahan, atasan kurang
memberikan masukan cara
memperbaiki kesalahan tersebut
....ada program training pun kurang efektif. gak dikasih tau ama head nya kalo itu wajib. Terpaksalah kita ngeluarin memorandum. itu pun sedikit yang datang...
....ya gitu lah headnya.. padahal sudah saya ingatkan untuk memberitahukan ama bawahannya pada tanggal segini itu ada pelatihan. Tapi para headnya juga gak peduli kali, dipikirnya dengan memorandum itu bisa membuat karyawan datang. padahal saya sudah mengingatkan agar para headnya ngomong dan menjelaskan pelatihan ini, biar para bawahan ini datang ke pelatihan. Buktinya asal ada pelatihan, bawahan yang datang cuman sedikit. Nanti sudah saya tegur mengenai jumlah karyawan yang datang pada pelatihan, baru headnya marah-marah.. dah sering itu kek gitu.. jadi maklum maklum aja..
Karyawan kurang peduli untuk mengikuti program-program yang difasilitasi oleh departemen HRD, karena program tersebut ternyata disampaikan hanya secara tertulis yang berupa memorandum.
...oo yang itu kak, yang pelanggan bapak dari aceh itu? Kan bapak itu pelanggan lama. Waktu itu, uang bapak itu kurang 2 juta buat
bayar biaya hotel. Dia minta utang kak.. nah, saya kan cuman resepsionis.. saya tanyakan ama pak A. Kata pak A nanti didiskusikan ama orang accounting.. tapi dah 1 jam an , pak A gak ngasih kabar apa-apa.. sedangkan tamunya mendesak.. jadi saya bilang bahwa belum ada keputusan. Mungkin bapak itu mendesak terus, ya saya bilang aja kalo gak bisa.. dan bapak itu malah marah dan mengatakan „gak akan kuinjakkan lagi kaki ku ke hotel ini‟...
...trus, setelah itu saya malah kena marah ama pak A katanya gak bisa melayani pelanggan. Dan katanya kalo dihutangi 2 juta gak apa-apa.. soalnya bapak itu pelanggan lama, aneh kan kak?....
Berbagai indikasi masalah yang telah ditemukan dan dipaparkan diatas,
mengindikasikan adanya permasalahan yang berkaitan dengan komunikasi dalam
organisasi.
Komunikasi dalam organisasi merupakan sarana penghubung antara atasan dan
bawahan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Komunikasi yang terjalin antara
atasan dan bawahan (komunikasi vertikal) memiliki peran penting dalam suatu
organisasi karena dua per tiga dari komunikasi yang dilakukan dalam organisasi
berlangsung antara atasan dan bawahan (Stoner dan Freeman, 1994). Menurut Larkin
dan Larkin (dalam Baker, 2002), pola komunikasi atasan ke bawahan merupakan bentuk
komunikasi yang paling banyak digunakan dalam rantai kerja organisasi, sehingga
sering menjadi potensi konflik dalam organisasi.
Komunikasi atasan-bawahan sangat penting dalam organisasi karena dapat membawa
pengaruh yang besar terhadap organisasi. Komunikasi atasan kepada bawahan sangat
berkaitan erat dengan fungsi kepemimpinan dalam roda organisasi, yaitu sebagai
Adanya hubungan komunikasi atasan-bawahan yang efektif dapat menciptakan suatu
kondisi yang menyenangkan dalam organisasi yang kemudian berpengaruh terhadap
kepercayaan dan kepuasan kerja karyawan yang pada akhirnya ikut menentukan kinerja
karyawan dan motivasi karyawan (Irawati, 2004). Hal senada diungkapkan oleh Pace &
Faules (2000) bahwa komunikasi atasan bawahan yang efektif dapat meningkatkan
motivasi karyawan dengan cara menginformasikan dan mengklarifikasi bawahan
mengenai tugas yang harus dikerjakan, perilaku yang diharapkan dalam melakukan
tugasnya, dan bagaimana memperbaiki kinerja bawahan.
Sedangkan hasil penelitian Johlke & Duhan (2008), komunikasi atasan bawahan yang
kurang efektif dapat menimbulkan ambiguitas yang dialami bawahan dan menurunkan
hasil kerja dan produktivitas serta motivasi karyawan.
Berkaitan dengan Hotel X, diindikasikan terjadi penurunan produktivitas. Hal ini
dapat dianalisis dari pendapatan dan okupasi kamar pada Hotel X. seperti pada tabel
berikut ini:
Tabel 1.2. Tingkat pendapatan Hotel X
Tahun Total Pendapatan Okupasi Kamar
2008 5.364.370.691 80,46 %
2009 5.094.480.935 74,03 %
2010 4.896.708.876 73,02%
Sumber: Rekapan Laporan Keuangan Hotel X
Tabel 1.2 diatas memperlihatkan Hotel X mengalami penurunan tingkat hunian tamu
yang mengakibatkan penurunan pendapatan yang cukup signifikan dari Rp
5.364.370.691 pada tahun 2008 bergerak menurun hingga Rp 4.896.708.876 pada tahun
2010 dan okupasi kamar menurun dari 80,46 % hingga 73,02 % (rekap laporan
keuangan hotel X, departemen accounting, 2011).
Selain itu, indikasi penurunan motivasi karyawan terlihat dari adanya kejenuhan dan
keinginan karyawan untuk berpindah tempat kerja. Seperti yang diungkapkan oleh salah
“ya kalo ada kerjaan lain sih pengennya sih pindah.. kemaren sih udah masukin lamaran ke Hotel lain kak.. tapi belum ada panggilan, kalo ada panggilan sih
pengennya pindah aja.. dah gak enak kali di sini kak..”
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat produktivitas Hotel
X terus mengalami penurunan setiap tahunnya dan terdapat indikasi motivasi karyawan
yang rendah. Kedua hal ini sangat dipengaruhi oleh efektifitas komunikasi atasan
bawahan.
Dalam upaya untuk membangun efektifitas komunikasi atasan bawahan di Hotel X,
idealnya semua atasan memiliki pemahaman yang jelas tentang hal-hal yang mendukung
efektifitas komunikasi atasan bawahan, sehingga mampu mencapai tujuan organisasi.
Agar tercapainya komunikasi atasan bawahan yang efektif di Hotel X, maka para atasan
perlu dievaluasi dengan cara memberikan kuesioner komunikasi atasan bawahan kepada
karyawan bawahan di Hotel X. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh
Thoha (2005) bahwa ada 8 dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
efektifitas komunikasi atasan bawahan yakni (1) intensi, (2) kekhususan, (3) deskriptif,
(4) kemanfaatan, (5) tepat waktu, (6) kesiapan, (7) kejelasan, dan (8) validitas. Tanpa
adanya komunikasi atasan bawahan yang efektif kemungkinan tujuan organisasi tidak
tercapai dan atasan tidak mampu mengkoordinasi bawahannya (Thoha, 2005).
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin meneliti efektifitas komunikasi atasan
bawahan yang diindikasikan kurang berjalan efektif di Hotel X. Perumusan masalah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
Mengetahui kondisi efektifitas komunikasi atasan bawahan Hotel X dan memberikan
informasi tentang kondisi tersebut kepada manajemen Hotel X.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis
Tesis ini bermanfaat sebagai bahan masukan dan informasi bagi para praktisi dan
konsultan human resource serta staf departemen HRD Hotel X tentang efektifitas
komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X. Apabila hasil penelitian terhadap
efektifitas komunikasi kurang optimal, maka dapat diusulkan strategi untuk mengatasi
hal tersebut.
2. Manfaat Teoritis
a. Dapat menjadi referensi bagi penelitian komunikasi atasan bawahan.
b. Dapat menjadi bukti empiris mengenai kondisi komunikasi atasan bawahan.
E. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang masalah yang diteliti, kerangka berfikir,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjaun teoritis tentang komunikasi atasan bawahan,
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini memuat tentang pendekatan penelitian, metode pengumpulan
data, subjek penelitian, tahapan penelitian.
Bab IV : Analisa Data
Bab ini memuat deskripsi analisa data hasil penelitian kuantitatif dan
kualitatif
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menjelaskan kesimpulan dan saran yang berkaiatan dengan
F. Kerangka Konsep Permasalahan
Persaingan hotel semakin ketat di Medan, termasuk Hotel X berbintang tiga
Bagaimana gambaran efektifitas komunikasi atasan bawahan di Hotel X berdasarkan kedelapan dimensi tersebut?
Hotel X melakukan perubahan organisasi, dari badan hukum CV menjadi PT yang diikuti oleh lahirnya anak perusahaan baru yakni Hotel Grand X.
Perubahan ini menimbulkan berbagai masalah yakni:
Karyawan kurang mengetahui perubahan sistem kerja sehingga mengganggu operasional harian dan ketidaknyamanan karyawan antar departemen. Selain itu, menimbulkan kekecewaan karyawan terhadap manajemen.
Karyawan merasa tidak puas terhadap atasan langsungnya
Karyawan kurang berkerjasama dalam mengikuti program-program yang difasilitasi oleh departemen HRD.
Kurang adanya koordinasi antara bawahan dan atasan sehingga menimbulkan gangguan dalam pelayanan
Menurut Thoha (2005), efektifitas komunikasi atasan bawahan ditentukan oleh 8 dimensi yaitu dimensi intensi, dimensi kekhususan, dimensi deskriptif, dimensi kemanfaatan, dimensi tepat waktu, dimensi kesiapan, dimensi kejelasan, dan dimensi validitas.
Berdampak:
Menurunnya produktivitas
Menurunnya motivasi karyawan
Terganggunya operasional harian dan pelayanan kepada tamu
Menurunnya kepuasan kerja. Terjadi perubahan struktur organisasi dan cara sosialisasi kebijakan
Pengelola hotel harus responsif dan tanggap terhadap perubahan lingkungan
Secara umum mengarah kepada komunikasi atasan bawahan yang tidak berjalan secara efektif.
Keterangan:
BAB II
LANDASAN TEORI
C.Komunikasi Atasan Bawahan
Manusia di dalam kehidupannya harus berkomunikasi, artinya memerlukan orang
lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini
merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari hasil
integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam
kelompok/organisasi itu selalu terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan masalah
penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari pemimpin dan
bawahan/karyawan. Di antara kedua belah pihak harus ada komunikasi dua arah untuk
itu diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk mencapai cita, baik
cita-cita pribadi, maupun kelompok, untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Salah satu
bentuk komunikasi tersebut adalah komunikasi atasan bawahan.
Komunikasi atasan bawahan meliputi komunikasi interpersonal. Komunikasi
interpersonal adalah transaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya, yang
meliputi orang lain seperti teman, keluarga, anak, rekan kerja, dan bahkan orang asing
(Myers & Myers, 1992). Dalam lingkup organisasi, komunikasi interpersonal
menentukan keberhasilan sebuah organisasi.
Proses komunikasi yang terjadi di dalam organisasi khususnya yang menyangkut
komunikasi antara pimpinan dan karyawan merupakan faktor penting dalam
menciptakan suatu organisasi yang efektif. Komunikasi efektif tergantung dari
ada kepercayaan dan keterbukaan antara atasan dan bawahan (Muhammad, 2001).
Keterbukan dan kepercayaan ini terbentuk dari proses komunikasi interpersonal yang
efektif.
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi dalam
organisasi merupakan bentuk dari komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal
yang baik akan membentuk komunikasi atasan bawahan yang baik pula. Pada penulisan
selanjutnya, peneliti akan menggunakan istilah komunikasi atasan bawahan di mana
komunikasi atasan bawahan ini telah meliputi komunikasi interpersonal.
A.1. Definisi komunikasi atasan bawahan
Komunikasi atasan bawahan dalam sebuah organisasi memiliki pengertian yaitu
informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas
lebih rendah (Pace & Faules, 2000).
Komunikasi ke bawah menunjukkan arus pesan yang mengalir dari para atasan atau
para pemimpin kepada bawahannya. Kebanyakan komunikasi ke bawahan digunakan
untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkenaan dengan pengarahan, tujuan, disiplin,
perintah, pertanyaan dan kebijakan umum. Tujuan komunikasi ke bawah adalah untuk
menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi
ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah
kesalahpahaman karena kurang informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan (Muhammad, 2004).
A.2. Jenis informasi yang dikomunikasikan ke bawah
Menurut Katz dan Kahn dalam Purwanto (2003), komunikasi dari atas ke bawah
a. Memberikan pengarahan atau instruksi kerja tertentu. Tipe informasi ini memusatkan
pada apa yang harus karyawan lakukan dan bagaimana melakukannya. Instruksi
kerja yang berbentuk perintah, pengarahan, penjelasan dan deskripsi pekerjaan
merupakan cara untuk menyampaikan informasi jenis ini.
b. Memberikan informasi mengapa suatu pekerjaan harus dilaksanakan. Tipe informasi
ini bertujuan agar karyawan mengetahui bagaimana pekerjaan mereka berhubungan
dengan tugas-tugas dan posisi lainnya dalam organisasi dan mengapa mereka
melakukan pekerjaannya. Dengan kata lain, tipe informasi ini membantu karyawan
mengetahui bagaimana pekerjaan mereka membantu organisasi dalam mencapai
tujuannya.
c. Memberikan informasi tentang prosedur dan praktik organisasional. Karyawan
diberikan informasi mengenai jumlah jam kerja, gaji, program pensiun, asuransi
kesehatan, liburan dan ijin cuti, program insentif, penalti dan hukuman.
d. Memberikan umpan balik pelaksanaan kerja kepada para karyawan. Informasi
mengenai hasil kerja karyawan sangat penting dalam mempertahankan operasional
perusahaan. Karyawan sering mengeluh, seperti mereka tidak tau bgaimana
supervisor melihat performans mereka.
e. Menyajikan informasi mengenai aspek ideologi dalam membantu organisasi
menanamkan pengertian tentang tujuan yang ingin dicapai.
A.3. Bentuk komunikasi atasan bawahan
Bentuk komunikasi yang digunakan dalam komunikasi ke bawah (Muhammad,
2004):
a. Bentuk lisan: rapat, diskusi, interview, telepon, sistem interkom, kontak
b. Bentuk tulisan: surat, memo, telegram, majalah, surat kabar, deskripsi pekerjaan,
panduan pelaksaan pekerjaan, laporan tertulis, pedoman kebijaksanaan.
c. Bentuk gambar: grafik, poster, peta, film, slide.
A.4. Faktor yang mempengaruhi komunikasi atasan bawahan
Arus komunikasi dari atasan kepada bawahan tidaklah selalu berjalan lancar, tetapi
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain yaitu sebagai berikut (Thoha, 2005):
a. Keterbukaan
Kurangnya sifat terbuka antara pimpinan dan karyawan akan menyebabkan
pemblokan atau tidak mau menyampaikan pesan dan gangguan dalam pesan.
Umumnya para pimpinan tidak begitu memperhatikan arus komunikasi ke bawah.
Pimpinan mau memberikan informasi kebawah bila mereka merasa pesan itu penting
bagi penyelesaian tugas. Tetapi apabila suatu pesan tidak relevan dengan tugas pesan
tersebut tetap dipengangnya. Misalnya seorang pimpinan akan mengirimkan pesan
untuk memotivasi karyawan guna menyempurnakan produksi, tetapi tidak mau
mendiskusikan kebijaksanaan baru dalam mengatasi masalah-masalah organisasi.
b. Kepercayaan pada pesan tulisan
Kebanyakan para pimpinan lebih percaya pada pesan tulisan dan metode difusi
yang menggunakan alat-alat elektronik daripada pesan yang disampaikan secara lisan
dan tatap muka. Hal ini menjadikan pimpinan lebih banyak menyampaikan pesan
secara tertulis berupa buletin, booklet, dan film sebagai pengganti kontak personal
secara tatap muka antara atasan dan bawahan.
Banyaknya pesan-pesan yang dikirimkan secara tertulis maka karyawan dibebani
dengan memo, buletin, surat pengumuman, majalah dan pernyataan kebijaksanaan
sehingga banyak sekali pesan-pesan yang harus dibaca oleh karyawan. Reaksi
karyawan terhadap pesan tersebut biasanya cenderung tidak membacanya. Banyak
karyawan hanya membaca pesan-pesan tertentu yang dianggap penting bagi dirinya
dan yang lain dibiarkan saja tidak dibaca.
d. Ketepatan waktu
Ketepatan waktu pengiriman pesan mempengaruhi komunikasi ke bawah.
Pimpinan hendaklah mempertimbangkan saat yang tepat bagi pengiriman pesan dan
dampak yang potensial kepada tingkah laku karyawan. Pesan seharusnya dikirimkan
ke bawah pada saat saling menguntungkan kepada kedua belah pihak yaitu pimpinan
dan karyawan. Tetapi bila pesan yang dikirimkan tersebut tidak pada saat dibutuhkan
oleh karyawan maka mungkin akan mempengaruhi kepada efektifitasnya.
e. Penyaringan
Pesan-pesan yang dikirimkan kepada bawahan tidaklah semua diterima mereka,
tetapi mereka saring mana yang mereka perlukan. Penyaringan pesan ini dapat
disebabkan oleh bermacam-macam faktor diantaranya perbedaan persepsi di antara
karyawan, jumlah mata rantai dalam jaringan komunikasi dan perasaan kurang
percaya kepada seorang supervisor mungkin memblok supervisor.
A.5. Dimensi komunikasi atasan-bawahan
Persoalan utama dalam komunikasi atasan bawahan adalah sejauh mana
komunikasi atasan dan bawahan dapat berjalan dengan efektif atau tidak. Apabila hasil
yang didapat sama dengan tujuan yang diharapkan maka hasil komunikasi dinyatakan
komunikasi dapat dikatakan sangat efektif, tetapi apabila hasil yang didapatkan lebih
kecil dari tujuan yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa komunikasi tidak atau
kurang efektif. komunikasi disebut efektif apabila penerima menginterpretasikan pesan
yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim (Thoha, 2005).
Komunikasi atasan bawahan yang efektif dapat dianalisis dengan menggunakan
beberapa dimensi berikut ini (Thoha, 2005):
a. Intensi
Komunikasi yang efektif jika diarahkan secara langsung untuk menyempurnakan
pelaksanaan pekerjaan dan lebih menjadikan pegawai sebagai harta milik perusahaan
yang paling berharga. Komunikasi semacam ini tidak bersifat hal-hal pribadi dan
seharusnya tidak berkompromi dengan perasaan-perasaan pribadi, harga diri, dan
cita-cita pribadi. Komunikasi yang efektif hanyalah mengurusi atau hanya diarahkan
pada aspek-aspek pekerjaan pegawai.
b. Kekhususan
Komunikasi yang efektif dirancang untuk membekali penerima dengan informasi
yang khusus sehingga mereka mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan untuk
suatu situasi yang benar. Suatu komunikasi yang tidak efektif jikalau bersifat umum
dan meninggalkan tanda tanya bagi penerimanya. Misalnya mengatakan pada
pegawainya bahwa pekerjaannya jelek, tanpa ada penjelesasan apanya yang jelek,
mengapa dia menilai jelek dan sebagainya.
c. Deskriptif
Komunikasi yang efektif dapat dilakukan dengan lebih bersifat deskriptif
dibandingkan dengan yang bersifat evaluatif. Ini berarti hendakanya memberikan
penjelasan mengenai pelaksanaan pekerjaan, diceritakan kepada pegawai apa-apa
bersifat penilaian yang cenderung menggunakan dasar-dasar pertimbangan yang
subjektif.
d. Kemanfaatan
Karakteristik ini meminta agar setiap komunikasi mengandung informasi yang
dapat dipergunakan oleh pegawai untuk memperbaiki dan menyempurkan
pekerjaannya dengan memberikan petunjuk atau latihan untuk menambah
kecakapannya.
e. Tepat waktu
Komunikasi yang efektif jika terdapat pertimbangan-pertimbangan yang
memperhitungkan faktor waktu yang tepat.
f. Kesiapan
Para pegawai hendaknya mempunyai kesiapan untuk menerima informasi
tersebut. Dalam hal ini, setiap komunikasi hendaknya diperhitungkan apakah
pegawai yang akan diberi informasi sudah siap atau belum.
g. Kejelasan
Komunikasi dapat dimengerti secara jelas oleh penerima. Suatu cara yang baik
untuk mengetahui hal ini ialah membuktikan secara langsung dengan meminta
kepada penerima untuk menyataan secara pokok-pokok apa yang telah dibicarakan
bersama. Cara lain ialah dengan melihat ekspresi raut muka sebagai salah satu
indikator adanya pengertian.
h. Validitas
Komunikasi hendaknya dapat dipercaya dan sah, memberikan informasi dengan
benar dan tidak membiarkan pegawai memperbaiki kesalahan dengan informasi yang
salah.
Dampak komunikasi efektif dalam organisasi dapat disimpulkan yakni (Pace &
Faules, 2000):
a. Komunikasi meningkatkan motivasi karyawan dengan cara menginformasikan dan
mengklarifikasi bawahan mengenai tugas yang harus dikerjakan, perilaku yang
diharapkan dalam melakukan tugasnya, dan bagaimana memperbaiki performans
bawahan.
b. Komunikasi merupakan sumber bagi anggota organisasi dalam proses pembuatan
keputusan, membantu mengindentifikasi dan memperkirakan tindakan alternatif
dalam pemecahan masalah.
c. Komunikasi dapat mengubah sikap individual. Individual yang diberikan
d. informasi memiliki sikap yang lebih baik dibandingkan dengan individual yang tidak
mendapatkan informasi.
e. Komunikasi membantu dalam hal sosialisasi peraturan perusahaan.
f. Komunikasi dapat berperan dalam hal proses kontrol. Komunikasi mengontrol
perilaku anggota organisasi dalam berbagai cara. Ada beberapa level hirarki dan
peraturan yang harus diikuti oleh karyawan dalm organisasi. Karyawan harus
mematuhi peraturan organisasi, menunjukan performa kerja yang efisien dan
mengkomunikasi masalah yang dihadapi kepada atasannya. Oleh karena itu,
komunikasi membantu dalam mengontrol fungsi manajemen.
A.7. Hambatan komunikasi
Hambatan atau gangguan merupakan sifat yang melekat pada komunikasi.
Hambatan dapat menghalangi pengirim dalam mengirimkan pesan dan penerima
dalam menerima pesan. Sehingga membuat pesan yang disampaikan pengirim
berbeda dengan pesan yang diterima di penerima (Curtis, Floyd& Winsor, 2005).
a) Hambatan fisik
Faktor fisik dari pengirim dapat menjadi hambatan dalam komunikasi.
Misalnya gangguan kesehatan (suara serak), kecepatan bicara dan intonasi
suara. Faktor fisik dari lingkungan juga dapat menjadi hambatan dalam
komunikasi. Misalnya gangguan alat komunikasi, suara mobil atau pesawat
yang lewat, dengungan komputer, suara genset, dll.
b) Hambatan psikologis
Faktor psikologis sering kali menjadi hambatan dalam komunikasi.
Umumnya disebabkan oleh si pengirim. Sebelum berkomunikasi, tidak
mengkaji/melihat kondisi si penerima. Komunikasi sulit untuk berhasil jika
saat berlangsungnya komunikasi tersebut, penerima sedang sedih, bingung
marah, kecewa, iri hati, dan kondisi psikologis lainnya; juga jika penerima
menaruh prasangka kepada pengirim. Prasangka merupakan salah satu
hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang sudah
berprasangka belum apa-apa sudah bersikap menentang pengirim. Apalagi
kalau prasangka itu sudah berakar, seseorang tdk dapat lagi berpikir objektif,
dan apa saja yang dilihat atau didengarnya selalu akan dinilai negatif.
c) Hambatan dalam proses komunikasi
1) Hambatan dari si pengirim, misalnya pesan yang akan disampaikan belum
jelas bagi si pengirim itu sendiri. Hal ini sering dipengaruhi oleh perasaan
atau situasi emosional dari si pengirim ketika mengirimkan pesan.
2) Hambatan dari si penerima, seperti kurangnya perhatian pada saat menerima
atau mendengarkan pesan tanggapan yang keliru dan tidak mencari
3) Hambatan dalam memberikan umpan balik. Umpan balik yang diberikan
tidak apa adanya, tidak tepat waktu, tidak jelas, dan sebagainya.
d) Hambatan semantik
Menyangkut bahasa yang dipergunakan pengirim sebagai „alat‟ untuk
menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada penerima. Seorang pengirim
harus benar-benar memperhatikan hambatan semantis ini, sebab salah ucap
dapat menimbulkan salah pengertian yang pada akhirnya bisa menimbulkan
salah komunikasi.
Seringkali pengirim salah ucap karena berbicara terlalu cepat sehingga ketika
pikiran dan perasaan belum mantap terformulasikan, kata-kata sudah terlanjur
dilontarkan. Hambatan semantis ini kadang-kadang disebabkan pula oleh aspek
antropologis, yakni kata-kata yang sama bunyinya dan tulisannya, tetapi memiliki
makna yang berbeda. Salah komunikasi adakalanya disebabkan oleh pemilihan
kata yang tidak tepat dan kata-kata yang sifatnya konotatif.
D. Deskripsi Hotel X B.1. Sejarah
CV X merupakan suatu badan usaha yang bergerak di bidang perhotelan, dan
memiliki hotel yang bernama Hotel X. Hotel X dibangun oleh abang adik yakni Bapak
H dan D. Dalam proses pembangunan Hotel X yang dimulai pada tahun 2002, yang
paling berperan penting ialah Bapak D karena dialah yang mencetuskan ide untuk
membangun usaha perhotelan, dan mengatur pembangunan Hotel X. Pengaturan ini
meliputi desain bangunan, desain kamar, desain perabotan, dan mencari tenaga kerja
yang akan diperkerjakan di Hotel X. Sedangkan Bapak H sebagai penanam modal di
Hotel X terletak di jalan raya yang berdekatan dengan lokasi bersejarah dan pusat
kota, bandara, dan biro perjalanan. Hotel X siap beroperasi pada tahun 2003. Pada tahun
2007, badan usaha CV. X berubah menjadi PT. SK. Perubahan ini seiring dengan
pembangunan Hotel Grand X. Perubahan ini bertujuan agar Hotel X dan Hotel Grand X
berada dalam satu payung badan usaha yakni PT.SK.
Setelah Hotel Grand X mulai beroperasi pada tahun 2007, terjadi beberapa
perubahan. Salah satunya adalah terciptanya visi dan misi perusahaan. Visi dan misi
Hotel X disamakan dengan Hotel Grand X sebagai berikut:
Visi : The best four star hotel in Medan Misi:
a. Meraih keuntungan dan GOP (Gross Operating P rofit = Revenue - Cost)
b. Meningkatkan hubungan dengan pelanggan/tamu.
c. Lingkungan yang bersih dan aman
d. Senyum dan bekomunikasi dengan pelanggan
e. Membuat karyawan sebagai aset terpenting
f. Strategi pemasaran yang fleksibel
g. Marawat peralatan hotel dan memaksimalkan kegunaan dari alat-alat yang ada.
h. Mengelola arus uang dan biaya
i. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan
j. Meningkatkan keuntungan dan fasilitas karyawan
k. Menciptakan karyawan sebagai tenaga penjual di dalam
l. Menjadi kelompok yang terbaik/hebat, bukan orang yang terbaik/hebat
m.Pemasaran horizontal dengan sistem komunal
n. Membangun pelayanan terbaik (Excellent Service) dengan sistem perhatian (Caring
o. Melatih seluruh anggota menerapkan Caring System
Motto: Be happy with us
B.2. Komunikasi Atasan Bawahan di Hotel X
Hotel X melakukan perubahan organisasi dalam upaya beradaptasi dan
mempertahankan pangsa pasarnya yakni perubahan badan usaha dari CV menjadi PT
yang diikuti oleh pembangunan Hotel Grand X. Hal ini berdampak pada perubahan
organisasi Hotel X yakni perubahan struktur organisasi dan perubahan cara sosialisasi
kebijakan perusahaan.
Perubahan struktur menyebabkan General Manager dan semua manajer di Hotel X
merangkap jabatan manajer di Hotel Grand X, dan berkantor di Hotel Grand X .
Perubahan lainnya yaitu perubahan cara sosialisasi kebijakan perusahaan dari lisan
menjadi tulisan yakni dengan pembagian memorandum. Selain itu, asisten manajer di
Hotel X kurang mensosialisasikan perubahan kebijakan sistem kerja kepada bawahan
sehingga mengganggu tugas operasional harian dan menimbulkan rasa
ketidaknyamanan karyawan yang berbeda departemen, yang pada akhirnya
menimbulkan kekecewaan karyawan terhadap manajemen. Karyawan juga tidak puas
terhadap atasan langsungnya karena kurangnya umpan balik yang diberikan oleh atasan
kepada bawahannya. Disamping itu, kurangnya koordinasi antara atasan dan bawahan
menimbulkan gangguan dalam pelayanan terhadap tamu serta kuranngya kerjasama
karyawan dalam mengikuti program HRD.
Berbagai indikasi masalah yang telah ditemukan dan dipaparkan diatas,
mengindikasikan adanya permasalahan yang berkaitan dengan komunikasi dalam
organisasi khususnya komunikasi atasan bawahan. Komunikasi yang terjalin antara
organisasi karena dua per tiga dari komunikasi yang dilakukan dalam organisasi
berlangsung antara atasan dan bawahan (Stoner dan Freeman, 1994).
Menurut Irawati (2004), adanya hubungan komunikasi atasan-bawahan yang efektif
dapat menciptakan suatu kondisi yang menyenangkan dalam organisasi yang kemudian
berpengaruh terhadap kepercayaan dan kepuasan kerja karyawan yang pada akhirnya
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif deskriptif dimaksudkan untuk
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data
sampel atau populasi sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2007). Selain itu, penelitian kualitatif
sebagai prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Poerwandari, 2005).
Masalah penelitian deskriptif adalah masalah penelitian yang hanya mempersoalkan
satu variabel pada satu kelompok. Satu variabel yang dipersoalkan tidak dihubungkan
dengan variabel yang lain. Kelompok yang diteliti juga tidak dibandingkan dengan
kelompok lain dalam variabel (Purwanto, 2008).
Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat
mengenai fakta dan karakteristik memgenai populasi atau bidang tertentu. Data yang
dikumpulkan bersifat deskriptif sehingga tidak mencari penjelasan, menguji hipotesis
maupun membuat prediksi (Azwar, 2004).
A.Penelitian Kuantitatif
A.1. Variabel penelitian dan definisi operasional 1. Variabel penelitian
2. Definisi operasional
Suatu definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur
suatu variabel atau memanipulasinya. Suatu definisi operasional merupakan semacam
buku pegangan yang berisi petunjuk bagi peneliti. Definisi ini memberikan batasan atau
arti suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk
mengukur variabel tersebut (Kerlinger, 2003).
Komunikasi atasan bawahan adalah informasi yang mengalir dari jabatan
berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah dengan
memperhatikan intensi, kekhususan, deskriptif, kemanfaatan, tepat waktu, kesiapan,
[image:40.595.93.533.346.650.2]kejelasan dan validitas dari informasi.
Tabel 3.1. Definisi operasional komunikasi atasan bawahan karyawan pada Hotel X No. Dimensi
komunikasi atasan bawahan
Definisi operasional
1 Intensi Komunikasi diarahkan secara langsung untuk mengarahkan pelaksanaan pekerjaan.
2 Kekhususan Komunikasi diarahkan untuk memberikan informasi yang spesifik.
3 Deskriptif Komunikasi menggunakan bahasa yang objektif, tanpa menggunakan pertimbangan yang subjektif.
4 Kemanfaatan Komunikasi mengandung informasi yang dapat dipergunakan oleh pegawai untuk memperbaiki pekerjaannya.
6 Kesiapan Komunikasi mempertimbangkan kesiapan pegawai untuk menerima informasi tersebut.
7 Kejelasan Pegawai menerima informasi yang diberikan oleh atasan dengan jelas dengan meminta umpan balik dari bawahan.
8 Validitas Komunikasi memberikan informasi yang benar.
A.2. Populasi dan sampel penelitian
Dalam penelitian, populasi yang dipakai merupakan salah satu faktor penting yang
harus diperhatikan. Menurut Sugiyono (2007), populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti dan ditarik kesimpulannya. Pada penelitian ini, seluruh populasi
penelitian dikenakan sebagai subjek penelitian yang berjumlah 68 orang karyawan
pelaksana.
A.3. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti dalam upaya
mengumpulkan data penelitian yang diperlukan. Penelitian ini menggunakan alat ukur
skala. Menurut Azwar (2004), skala adalah prosedur pengambilan data yang merupakan
suatu alat ukur bagi aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis
yang menggambarkan aspek individu. Adapun manfaat dan alasan penggunaan skala
adalah:
a. Pernyataan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan
diri subjek sendiri yang tidak disadari.
c. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang sesungguhnya diungkap dari pernyataan
skala.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada 8 dimensi komunikasi
atasan bawahan berdasarkan teori yang dikemukan oleh Thoha (2005). Setiap dimensi
ini akan diuraikan ke dalam sejumlah pernyataan. Aitemnya berbentuk pernyataan
dengan pilihan. Variasi bentuk pilihan menunjukkan tingkat kesesuaian dengan
responden. Dalam skala ini ada 5 pilihan respon yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), N
(Netral), TS (tidak setuju), STS (sangat tidak setuju). Setiap pilihan tersebut memiliki
skor masing-masing tergantung dari jenis aitem, apakah favorabel atau unfavorabel.
Jumlah item yang digunakan adalah sebanyak 64 (lima puluh) aitem. Dengan perincian
[image:42.595.105.534.391.459.2]penilaian sebagai berikut:
Tabel 3.2: Gambaran penilaian skala komunikasi atasan bawahan pada penelitian
BENTUK PERNYATAAN SKOR
1 2 3 4 5
Favourable STS TS N S SS
Unfavourable SS S N TS STS
Tabel 3.3. : Blue print distribusi aitem-aitem dalamskala komunikasi atasan bawahan sebelum uji coba
No. Dimensi Aitem Total
Favorable Unfavorable
1. Intensi 8,9,17,25,33,41,49, 57 - 8
2. Kekhusuan 2,10,42, 50 18, 26, 34, 58 8
3. Deskriptif 3,27,35, 11,19, 43,51, 59 8
4. Kemanfaatan 4,12,20,36,44,52 28, 60 8
5. Tepat waktu 5,21,29,37,45,53,61 13 8
6. Kesiapan 6, ,30,38,46, ,62 14,22, 54 8
7. Kejelasan 7,15,31,47,63 23,39,55 8
8. Validitas 1,24,32,40,48,64 16,56 8
Total 44 20 64
A.4. Validitas dan reliabilitas alat ukur
[image:42.595.94.534.510.660.2]Dalam penelitian yang berkaitan dengan gejala-gejala sosial, validitas alat ukur
sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena pengkuran gejala-gejala sosial
membutuhkan alat pengukur yang adekuat agar dapat mengidentifikasi gejala-gejala
yang diteliti (Hadi, 2000).
Validitas artinya adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur dikatakan mempunyai validitas tinggi
apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau data yang dihasilkan relevan
dengan tujuan pengukurannya (Azwar, 2000).
Dalam penelitian ini digunakan 2 (dua) jenis validitas yaitu validitas tamp