DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN ANTARA LAMA TIMBULNYA GEJALA
KLINIS AWAL HINGGA TINDAKAN OPERASI
DENGAN LAMA RAWATAN PADA PENDERITA INVAGINASI
YANG DIRAWAT DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
PENELITI
MOHD IBNU JOKO SANTOSO
PEMBIMBING
Dr. Asmui Yosodiharjo, SpB. SpBA
Dr. Erjan Fikri, SpB. SpBA
DIVISI BEDAH ANAK
DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur bagi Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, serta dapat melakukan penelitian sebagai salah satu syarat akhir pendidikan, sekaligus menuangkannya dalam bentuk karya tulisan akhir dengan judul:
“
Hubungan Antara Lama Timbulnya Gejala Klinis Awal Hingga Tindakan
Operasi Dengan Lama Rawatan Pada Penderita Invaginasi Yang Dirawat
Di RSUP. Haji Adam Malik Medan
”.Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dr. Bachtiar Surya, SpB, KBD. Ketua Departemen / SMF Ilmu Bedah dan Kepala Sub Departemen Bedah Anak Departemen Ilmu Bedah FK-USU/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik. dr. Asmui Yosodiharjo SpB,SpBA dan dr. Erjan Fikri SpB, SpBA sebagai pembimbing penulis dalam penelitian, dr. Arlinda Sari Wahyuni MKes, sebagai Konsultan Metodologi dan Statistik, Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dr. Emir Taris Pasaribu SpB(K)Onk, Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr. Asrul, SpBKBD sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah dan para Guru Besar dan guru-guru kami serta seluruh staf Departemen Ilmu Bedah FK-USU yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Kepada kedua orangtua, abang-abang, kakak-kakak dan adik – terima kasih atas segala dorongan moril dan pengertian selama ini serta dorongan semangat, kesabaran dan kesetiaan yang tulus dalam suka maupun duka mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan ini.
Medan, agustus 2010
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI………...ii
ABSTRAK……….iii
ABSTRACT………...iv
PENDAHULUAN Latar Belakang……….1
Identifikasi Masalah……….2
Tujuan Penelitian……….2
Hipotesa Penelitian………..3
Kontribusi Penelitian………...3
TINJAUAN KEPUSTAKAAN Definisi ………4
Insidensi ………..4
Etiologi ………5
Faktor-Faktor yang Dihubungkan dengan Terjadinya Invaginasi………...6
Jenis Invaginasi………7
Patologi………7
Gambaran Klinis………..8
Diagnosis……….10
Pemeriksaan Laboratorium……….11
Pemeriksaan Radiologi………11
Diagnosa Banding………11
Penatalaksanaan………...12
Perawatan Pasca Operasi……….16
METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian……… 18
Sampel Penelitian………18
Kerangka Konsep………19
Variable Penelitan………...19
Definisi Operasional………20
Pelaksanaan Penelitian……….21
Analisa Data……….21
Hasil Penelitian………23 Pembahasan ……….30 KESIMPULAN dan SARAN
KLINIS AWAL HINGGA TINDAKAN OPERASI
DENGAN LAMA RAWATAN PADA PENDERITA INVAGINASI
YANG DIRAWAT DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
M.I.J. Santoso; A. Yosodiharjo; dr; SpBA; Erjan F, dr; SpBA
DIVISI BEDAH ANAK DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Latar Belakang Pada penderita invaginasi, semakin lama penderita mendapat pertolongan maka kondisi usus Akan semakin buruk. Dengan kemungkinan terjadinya perforasi yang dapat meningkatkan lamanya masa rawatan akibat infeksi yg ditimbulkan.
Metode Penderita dengan tanda" klinis invaginasi yang berusia dibawah 14 tahun. dilakukan
pengamatan apakah di dapatkan hubungan antara timbulnya gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan masa lama rawatan.
Hasil Pengamatan yg d lakukan terhadap 27 anak penderia invaginasi, tdk dijumpainya hubungan yg bermakna antara lama timbulnya gejala klinis awal dgn tindakan operasi dgn lamaya masa rawatan.
Kesimpulan Lamanya gejala klinis yang timbul hingga tindakan operasi tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan lama rawatan. hal ini terihat masih lamanya orang tua untuk memberi pertolongan.
TIMING
OF
SURGERY
WITH
DURATION
OF
HOSPITAL
STAY
IN
INTUSSUSCEPTION
PATIENTS
AT
ADAM
MALIK,
MEDAN
M.I.J. Santoso; A. Yosodiharjo; dr; SpBA; Erjan F, dr; SpBA
Pediatric
Surgery
Subdivision
Medical
Faculty
of
North
Sumatera
University
Background In patients with intussusception, the bowel would get worse if the surgery was not performed as soon as possible and therefore increased the risk of infection which can lengthen the duration of hospital stay.
Method We retrospectively analyzed 27 patients with intussusception who were 14 years old or younger to demonstrate whether the length from clinical onset to the timing of surgery is strongly correlated with duration of hospital stay
Result There is no significant correlation between the length from clinical onset to the timing of surgery with duration of hospital stay in our analysis of 27 patients.
Conclusion There is no significant correlation between the length of time from clinical onset to operation with hospital stay.
KLINIS AWAL HINGGA TINDAKAN OPERASI
DENGAN LAMA RAWATAN PADA PENDERITA INVAGINASI
YANG DIRAWAT DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
M.I.J. Santoso; A. Yosodiharjo; dr; SpBA; Erjan F, dr; SpBA
DIVISI BEDAH ANAK DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Latar Belakang Pada penderita invaginasi, semakin lama penderita mendapat pertolongan maka kondisi usus Akan semakin buruk. Dengan kemungkinan terjadinya perforasi yang dapat meningkatkan lamanya masa rawatan akibat infeksi yg ditimbulkan.
Metode Penderita dengan tanda" klinis invaginasi yang berusia dibawah 14 tahun. dilakukan
pengamatan apakah di dapatkan hubungan antara timbulnya gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan masa lama rawatan.
Hasil Pengamatan yg d lakukan terhadap 27 anak penderia invaginasi, tdk dijumpainya hubungan yg bermakna antara lama timbulnya gejala klinis awal dgn tindakan operasi dgn lamaya masa rawatan.
Kesimpulan Lamanya gejala klinis yang timbul hingga tindakan operasi tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan lama rawatan. hal ini terihat masih lamanya orang tua untuk memberi pertolongan.
TIMING
OF
SURGERY
WITH
DURATION
OF
HOSPITAL
STAY
IN
INTUSSUSCEPTION
PATIENTS
AT
ADAM
MALIK,
MEDAN
M.I.J. Santoso; A. Yosodiharjo; dr; SpBA; Erjan F, dr; SpBA
Pediatric
Surgery
Subdivision
Medical
Faculty
of
North
Sumatera
University
Background In patients with intussusception, the bowel would get worse if the surgery was not performed as soon as possible and therefore increased the risk of infection which can lengthen the duration of hospital stay.
Method We retrospectively analyzed 27 patients with intussusception who were 14 years old or younger to demonstrate whether the length from clinical onset to the timing of surgery is strongly correlated with duration of hospital stay
Result There is no significant correlation between the length from clinical onset to the timing of surgery with duration of hospital stay in our analysis of 27 patients.
Conclusion There is no significant correlation between the length of time from clinical onset to operation with hospital stay.
1.1.Latar belakang
Invaginasi disebut juga dengan intususepsi merupakan penyebab tersering dari obstruksi usus pada
anak, meskipun bukan merupakan penyakit anak yang sangat sering dijumpai. Insidennya sendiri
diperkirakan mencapai 1 dari 2000 bayi atau anak. Bahkan pada beberapa studi di Inggris dan Skotlandia
melaporkan insiden yang lebih tinggi yaitu antara 1,5 sampai 4 per 1000 kelahiran hidup. Jenis kelamin
laki‐laki merupakan predominan dengan rasio berkisar 3:2 sampai dengan 2:1. 75% kasus ditemukan
pada usia 2 tahun pertama, dimana 40%nya didapatkan pada usia antara 3 dan 9 bulan. 1‐4
Gejala klasik yang paling umum (85%) dari invaginasi adalah nyeri perut yang sifatnya
muncul secara tiba‐tiba, kolik, intermiten, berlangsung hanya selama beberapa menit,. Pada 15% bayi
dan anak tidak menunjukkan gejala nyeri yang jelas. Tidak ditemukannya nyeri perut tetapi disertai
dengan muntah, kembung, dan perdarahan perektal akan menyebabkan tertundanya diagnosis (51 jam)
hampir dua kali lipat dari waktu rata‐rata dalam penegakkan diagnosis invaginasi. Ravitch menyatakan
bahwa didapatkannya nyeri perut lebih umum pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Tetapi tidak
didapatkannya nyeri perut tidak akan mengesampingkan invaginasi. Gejala awal lain yang sering
dikeluhkan yaitu muntah. Kerusakan usus berupa nekrosis hingga perforasi usus dapat terjadi antara hari
ke 2 – 5 dengan puncaknya pada hari ke 3 setelah gejala klinis terjadi.Hal tersebut akan memperberat
gejala obstruksi yang dtimbulkan oleh invaginasi dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 1,2,5,6
Pada sejumlah serial penelitian menunjukkan angka reduktibilitas yang sangat tinggi untuk
invaginasi inisial dan rekuren, masing‐masing mencapai angka 90% dan 95% tanpa adanya perforasi.
Tingginya angka ini karena beberapa faktor seperti: waktu antara munculnya tanda dan gejala rekurensi
dan saat tiba di rumah sakit tergolong singkat rata‐rata 8 jam. Hal ini dimungkinkan karena tingginya
tingkat kepedulian orang tua pasien. Semakin dini diagnosis ditegakkan semakin besar kemungkinan
berhasilnya reduksi.1,2,3
Melihat beratnya komplikasi yang ditimbulkan akibat terlambatnya penderita datang kesarana
kesehatan sejak ditemukannya gejala klinis invaginasi, maka peneliti hendak mengetahui hubungan
antara waktu timbulnya gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita
invaginasi yang datang ke Rumah Sakit adam malik.
1.2.Identifikasi masalah
Apakah ada hubungan antara lama timbulnya gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan
lama rawatan pada penderita invaginasi
1.3.Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan antara lama timbulnya gejala klinis awal invaginasi hingga tindakan
operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi.
Mengetahui faktor2 yang berhubungan dengan viabilitas usus pada kasus invaginasi anak.
Dapat melakukan penegakkan diagnosa yang cepat dan tepat sehingga akan memberikan
penanganan terbaik.
1.4.Hipotesa Penelitian
Adanya hubungan antara lama timbulnya onset kejadian invaginasi hingga tindakan operasi
dengan lama rawatan pada penderita invaginasi dimana semakin lama mendapat pertolongan maka
akan semakin lama masa rawatan.
1.5.Kontribusi Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran kejadian invaginasi sehingga dapat
memberikan penanganan yang terbaik bagi penderita invaginasi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1.Definisi
Invaginasi disebut juga intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam
segmen lainnya; yang bisa berakibat dengan obstruksi / strangulasi. Umumnya bagian yang
peroksimal (intususeptum) masuk ke bagian distal (intususepien).
1.2.Insidensi
Insidens penyakit ini tidak diketahui secara pasti, masing – masing penulis mengajukan jumlah
penderita yang berbeda – beda. Kelainan ini umumnya ditemukan pada anak – anak di bawah 1
tahun dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia anak.
Umumnya invaginasi ditemukan lebih sering pada anak laki – laki, dengan perbandingan antara
laki – laki dan perempuan tiga banding dua.
Insidens pada bulan Maret – Juni meninggi dan pada bulan September – Oktober juga meninggi. Hal
tersebut mungkin berhubungan dengan musim kemarau dan musim penghujan dimana pada musim
– musim tersebut insidens infeksi saluran nafas dan gastroenteritis meninggi. Sehingga banyak ahli
yang menganggap bahwa hypermotilitas usus merupakan salah satu faktor penyebab.
1.3.Etiologi
Terbagi dua :
1. Idiophatic
2. Kausal
I. Idiophatic
Menurut kepustakaan 90 – 95 % invaginasi pada anak dibawah umur satu tahun tidak
dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai “infatile idiphatic
intussusceptions”.
Pada waktu operasi hanya ditemukan penebalan dari dinding ileum terminal berupa hyperplasia
jaringan follikel submukosa yang diduga sebagai akibat infeksi virus. Penebalan ini merupakan
titik awal (lead point) terjadinya invaginasi.
II. Kausal
Pada penderita invaginasi yang lebih besar (lebih dua tahun) adanya kelainan usus sebagai
penyebab invaginasi seperti : inverted Meckel’s diverticulum, polip usus, leiomioma,
leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma, duplikasi usus.
Gross mendapatkan titik awal invaginasi berupa : divertikulum Meckel, polip,duplikasi usus
dan lymphoma pada 42 kasus dari 702 kasus invaginasi anak.
Ein’s dan Raffensperger, pada pengamatannya mendapatkan “Specific leading points” berupa eosinophilik, granuloma dari ileum, papillary lymphoid hyperplasia dari ileum
hemangioma dan perdarahan submukosa karena hemophilia atau Henoch’s purpura.
Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab invaginasi pada anak yang berusia diatas
enam tahun.
Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul setelah dua
minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus
yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.
1.4.Faktor – faktor yang dihubungkan dengan terjadinya invaginasi
Penyakit ini sering terjadi pada umur 3 – 12 bulan, di mana pada saat itu terjadi perubahan diet
makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan ini dicurigai sebagai penyebab terjadi
invaginasi. Invaginasi kadang – kadang terjadi setelah / selama enteritis akut, sehingga dicurigai
akibat peningkatan peristaltik usus. Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata kuman
rota virus adalah agen penyebabnya, pengamatan 30 kasus invaginasi bayi ditemukan virus ini dalam
fesesnya sebanyak 37 %.
Pada beberapa penelitian terakhir ini didapati peninggian insidens adenovirus dalam feses penderita
invaginasi.
1.5.Jenis Invaginasi
Jenis invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana yang terlibat, pada
ileum dikenal sebagai jenis ileo ileal.
Pada kolon dikenal dengan jenis colo colica dan sekitar ileo caecal disebut ileocaecal, jenis – jenis
yang disebutkan di atas dikenal dengan invaginasi tunggal dimana dindingnya terdiri dari tiga
lapisan.
Jika dijumpai dindingnya terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada keadaan yang lebih lanjut
disebut jenis invaginasi ganda, sebagai contoh adalah jenis – jenis ileo – ileo colica atau colo colica.
Suwandi J. Wijayanto E. di Semarang selama 3 tahun (1981 – 1983) pada pengamatannya
mendapatkan jenis invaginasi sebagi berikut:
Ileo – ileal 25%, ileo – colica 22,5%, ileo – ileo – colica 50% dan colo – colica 22,5%.
1.6.Patologi
Pada invaginasi dapat berakibat obstruksi strangulasi.
Obstruksi yang terjadi secara mendadak ini, akan menyebabkan bagiian apex invaginasi
menjadi oedem dan kaku, jika hal ini telah terjadi maka tidak mungkin untuk kembali normal secara
spontan.
Pada sebagian besar kasus invaginasi keadaan ini terjadi pada daerah ileo – caecal.
Apabila terjadi obstruksi system llimfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit berjalan progresif
dim ana ileum dan mesenterium masuk kedalam caecum dan colon, akan dijumpai mukosa
intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan
dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus.
1.7.Gambaran Klinis
Secara klasik perjalanan suatu invaginasi memperlihatkan gambaran sebagai berikut :
Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan gizi yang baik, tiba – tiba
menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas, penderita tampak seperti kejang dan
pucat menahan sakit, serangan nyeri perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Diluar
serangan, anak / bayi kelihatan seperti normal kembali. Pada waktu itu sudah terjadi proses
invaginasi. Serangan nyeri perut datangnya berulang – ulang dengan jarak waktu 15 – 20 menit,
lama serangan 2 – 3 menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut itu diikuti dengan muntah
berisi cairan dan makanan yang ada di lambung, sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya
memerlukan tenaga, maka di luar serangan si penderita terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai
datang serangan kembali. Proses invaginasi pada mulanya belum terjadi gangguan pasase isi usus
secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa, kemudian feses bercampur darah segar
dan lendir, kemudian defekasi hanya berupa darah segar bercampur lendir tanpa feses.
Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang, dengan demikian mudah
teraba gumpalan usus yang terlibat invaginasi sebagai suatu massa tumor berbentuk bujur di dalam
perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah.
bawah teraba kosong yang disebut “dance’s sign” ini akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut
proses invaginasi.
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan gangguan venous return
sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus, ini
memperlihatkan gejala berak darah dan lendir, tanda ini baru dijumpai sesudah 6 – 8 jam serangan
sakit yang pertama kali, kadang – kadang sesudah 12 jam. Berak darah lendir ini bervariasi
jumlahnya dari kasus ke kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur.
Sesudah 18 – 24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya tersumbat partial berubah
menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem yang semakin bertambah, sehingga pasien dijumpai
dengan tanda – tanda obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang
jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi.
Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan defekasi hanya berupa
darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan dijumpai muntah feses, dengan demam
tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya aliran pembuluh darah arteri, pada segmen yang terlibat
menyebabkan nekrosis usus, ganggren, perforasi, peritonitis umum, shock dan kematian.
Pemeriksaan colok dubur didapati:
‐ Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa massa seperti portio
‐ Bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.
Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi gejala – gejala invaginasi tidak khas, tanda –
tanda obstruksi usus berhari – hari baru timbul, pada penderita ini tidak jelas tanda adanya sakit
berat, defekasi tidak ada darah, invaginasi dapat mengalami prolaps melewati anus, hal ini mungkin
disebabkan pada pasien malnutrisi tonus yang melemah, sehingga obstruksi tidak cepat timbul.
Suatu keadaan disebut dengan invaginasi atipikal, bila kasus itu gagal dibuat diagnosa yang
tepat oleh seorang ahli bedah, meskipun keadaan ini kebanyakan terjadi karena ketidaktahuan
dokter dibandingkan dengan gejala tidak lazim pada penderita.
1.8.Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa invaginasi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan radiologi.
Gejala klinis yang menonjol dari invaginasi adalah suatu trias gejala yang terdiri dari :
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba – tiba, nyeri bersifat serang –serangan., nyeri
menghilang selama 10 – 20 menit, kemudian timbul lagi serangan baru.
2. Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian kanan atas, kanan bawah, atas
tengah, kiri bawah atau kiri atas.
3. Buang air besar campur darah dan lendir
Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba adanya tumor, oleh
karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias invaginasi. Mengingat
invaginasi sering terjadi pada anak berumur di bawah satu tahun, sedangkan penyakit disentri
umumnya terjadi pada anak – anak yang mulai berjalan dan mulai bermain sendiri maka apabila ada
pasien datang berumur di bawah satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak menjadi
rewel sepanjang hari / malam, ada muntah, buang air besar campur darah dan lendir maka
pikirkanlah kemungkinan invaginasi.
1.9.Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan peningkatan jumlah leukosit ( leukositosis >
10.000/mm3. ).
1.10. Pemeriksaan Radiologi
Photo polos abdomen : didapatkan distribusi udara didalam usus tidak merata, usus terdesak ke
kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda – tanda obstruksi usus dengan gambaran “air fluid level”.
Dapat terlihat “ free air “ bilah terjadi perforasi.
Barium enema : dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila
gejala – gejala klinik meragukan, pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled spring
appearance.
1.11. Diagnosa Banding
‐ Gastro – enteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika dijumpai perubahan rasa
sakit, muntah dan perdarahan.
‐ Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
‐ Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila
disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.
‐ Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
‐ Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok
dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada invaginasi
didapati adanya celah.
1.12. Penatalaksanaan
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan diberikan, jika
pertolongan sudah diberikan kurang dari 24 jam dari serangan pertama maka akan memberikan
prognosis yang lebih baik.
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup
dua tindakan penanganan yang dinilai berhasil dengan baik :
1. Reduksi dengan barium enema
2. Reduksi dengan operasi
Sebelum dilakukan tindakan reduksi, maka terhadap penderita : dipuasakan, resusitasi cairan,
dekompressi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah dijumpai tanda gangguan pasase usus
dan hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah leukosit maka saat ini
antibiotika berspektrum luas dapat diberikan. Narkotik seperti Demerol dapat diberikan (1mg/ kg BB)
untuk menghilangkan rasa sakit.
Reduksi Dengan Barium Enema
Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema berfungsi dalam diagnostik dan
terapi. Barium enema dapat diberikan bila tidak dijumpai kontra indikasi seperti :
‐ Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun pada foto abdomen
‐ Dijumpai tanda – tanda peritonitis
‐ Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam
‐ Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.
‐ Usia penderita diatas 2 tahun
Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak menangis atau gelisah
karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat membantu.
Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi dengan plester, melalui
kateter bubur barium dialirkan dari kontainer yang terletak 3 kaki di atas meja penderita dan aliran
bubur barium dideteksi dengan alat floroskopi sampai meniskus intussusepsi dapat diidentifikasi dan
dibuat foto. Meniskus sering dijumpai pada kolon transversum dan bagian proksimal kolon
descendens.
Bila kolom bubur barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi bila
kolom bubur barium berhenti dapat diulangi 2 – 3 kali dengan jarak waktu 3 – 5 menit. Reduksi
dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10 – 15 menit tetapi tidak dijumpai
kemajuan. Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, bubur barium dievakuasi terlebih
dahulu.
Reduksi barium enema dinyatakan berhasil apabila :
‐ Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan disertai massa feses dan
udara.
‐ Pada floroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus halus, jadi
adanya refluks ke dalam ileum.
‐ Hilangnya massa tumor di abdomen.
‐ Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur serta norit test positif.
Penderita perlu dirawat inap selama 2 – 3 hari karena sering dijumpai kekambuhan selama 36
jam pertama.
Keberhasilan tindakan ini tergantung kepada beberapa hal antara lain, waktu sejak timbulnya gejala
pertama, penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis pelaksanaannya,
Reduksi Dengan Tindakan Operasi
1. Memperbaiki keadaan umum
Tindakan ini sangat menentukan prognosis, janganlah melakukan tindakan operasi sebelum
terlebih dahulu keadaan umum pasien diperbaiki.
Pasien baru boleh dioperasi apabila sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik, hal ini di
tandai apabila produksi urine sekitar 0,5 – 1 cc/kg BB/jam. Nadi kurang dari 120x/menit,
pernafasan tidak melebihi 40x/menit, akral yang tadinya dingin dan lembab telah berubah
menjadi hangat dan kering, turgor kulit mulai membaik dan temperature badan tidak lebih dari
38o C.
Biasanya perfusi jaringan akan baik apabila setengah dari perhitungan dehidrasi telah masuk,
sisanya dapat diberikan sambil operasi berjalan dan pasca bedah.
Yang dilakukan dalam usaha memperbaiki keadaan umum adalah :
a. Pemberian cairan dan elektrolit untuk rehidrasi (resusitasi).
b. Tindakan dekompresi abdomen dengan pemasangan sonde lambung.
c. Pemberian antibiotika dan sedatif.
Suatu kesalahan besar apabila buru – buru melakukan operasi karena takut usus menjadi nekrosis
padahal perfusi jaringan masih buruk.
Harus diingat bahwa obat anestesi dan stress operasi akan memperberat keadaan umum penderita
serta perfusi jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya hasil metabolik di jaringan
yang seharusnya dibuang lewat ginjal dan pernafasan, begitu pula perfusi jaringan yang belum baik
akan mengakibatkan oksigenasi jaringan akan buruk pula. Bila dipaksakan kelainan – kelainan itu
akan irreversible.
2. Tindakan untuk mereposisi usus
Tindakan selama operaasi tergantung kepada penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan
cara “milking” dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung pada keterampilan dan
pengalaman operator. Insisi operasi untuk tindakan ini dilakukan secara transversal (melintang),
pada anak – anak dibawah umur 2 tahun dianjurkan insisi transversal supraumbilikal oleh karena
letaknya relatif lebih tinggi.
Ada juga yang menganjurkan insisi transversal infraumbilikal dengan alasan lebih mudah untuk
eksplorasi malrotasi usus, mereduksi invaginasi dan tindakan apendektomi bila dibutuhkan.
Tidak ada batasan yang tegas kapan kita harus berhenti mencoba reposisi manual itu.
Reseksi usus dilakukan apabila : pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual,
bila viabilitas usus diragukan atauditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi.
Setelah usus direseksi dilakukan anastomosis ”end to end”, apabila hal ini memungkinkan, bila
tidak mungkin maka dilakukan “exteriorisasi” atau enterostomi.
1.13. Perawatan Pasca Operasi
Pada kasus tanpa reseksi Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi pada saluran
cerna selama 1 – 2 hari dan penderita tetap dengan infus. Setelah oedem dari intestine
menghilang, pasase dan peristaltik akan segera terdengar. Kembalinya fungsi intestine ditandai
dengan menghilangnya cairan kehijauan dari nasogastric tube. Abdomen menjadi lunak, tidak
distensi. Dapat juga didapati peningkatan suhu tubuh pasca operasi yang akan turun secara
perlahan. Antibiotika dapat diberikan satu kali pemberian pada kasus dengan reduksi. Pada
kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan
rancangan crossectional study yang mengukur variabel independent dan dependent pada waktu yang bersamaan.
3.2 Sampel Penelitian
Data pasien diambil dari rekam medik RSUP. H. Adam Malik dalam kurun waktu
januari 2006 hingga Desember 2009.
Kriteria inklusi
1. Bayi dan anak < 14 tahun.
2. Laki – laki dan perempuan.
3. Penderita dengan tanda – tanda klinis invaginasi.
4. Penemuan intra operasi : invaginasi (+).
Kriteria Eksklusi :
• Penderita pulang atas permintaan sendiri
3.3 Kerangka Konsep
Onset kejadian
3.4 Variabel Penelitian
• Variabel independen: onset kejadian, temuan intra operatif.
• Variabel dependen: lama rawatan
Lama rawatan
Gejala klinis
Laboratorium
3.5 Definisi Operasional
• Onset kejadian
Berupa mulai timbulnya gejala awal yang dialami penderita hingga penderita
mendapat tindakan operasi. Data di observasi dari rekam medik yang dinilai
dalam satuan jam.
• Temuan intraoperatif
Berupa penilaian terhadap viabilitas usus yang ditemukan saat operasi. Data
dinilai dari rekam medik
• Lama rawatan
Berupa lamanya penderita dirawat, mulai dari pasca operasi hingga penderita
diperbolehkan pulang. Data diobservasi dari rekam medik yang dinilai dalam
hitungan hari.
• Gejala Klinis awal
Berupa keluhan yang timbul yg didapat pada penderita yang di observasi dari
rekam medik. Gejala klinis berupa nyeri perut, buang air besar bercampur
lendir dan darah, teraba massa di daerah abdomen
• Viabilitas usus
Penilaian dilakukan terhadap usus pada saat operasi. Penilaian berdasarkan
warna, kontraktilitas, perdarahan. Data d observasi dari rekam medik.
3.6 Pelaksanaan Penelitian
Seluruh penderita invaginasi yg memenuhi kriteria inklusi dalam kurun waktu
tahun 2006‐2009 diambil datanya dari rekam medik mulai data pribadi, data
laboratorium, data penyakit (saat penderita datang, temuan intra operatif dan selama
perawatan).
3.7 Analisa Data
Data yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan
Kolmogorv‐Smirnov. Jika data berdistribusi normal selanjutnya di analisa dengan
korelasi Pearson atau uji t‐test independen dengan tingkat kebermaknaan p < 0,05.
Sedangkan jika data distribusi tidak normal dianalisa dengan uji non parametrik seperti
korelasi Spearman atau Mann‐Whitney test.
3.8 Kerangka Kerja
Data pasien invaginasi anak
di RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN
Variabel independen
Variabel dependen
•
• Onset kejadian Lama rawatan
• Gejala klinis
• Temuan intraoperatif
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Dari tahun 2006 hingga akhir tahun 2009 diperoleh data 48 kasus invaginasi, tetapi hanya 27
kasus yang dapat di evaluasi datanya. Sebanyak 21 kasus tidak dapat dilakukan evaluasi karena
penderita meninggal, operasi berulang dan penderita pulang paksa.
Dari 27 kasus invaginasi didapati yang berumur dibawah 6 bulan sebanyak 17 anak(63%) dan
yang berumur di atas 6 bulan berjumlah 10 anak (37%) penderita terbanyak adalah perempuan
dengan 17 anak (63%) dibandingkan anak laki‐laki yang berjumlah 10 anak (37%). Hal ini terlihat
pada tabel 6.1
Tabel 6.1
Distribusi Post Invaginasi Berdasarkan Umur dan jenis Kelamin
Variabel N %
Umur
< 6 bulan
¾ 6 bulan
17
10
63
37
Jenis Kelamin
Laki laki
Perempuan
10
17
37
63
[image:31.612.85.525.434.644.2]
Pada tabel 6.2 penderita invaginasi yang berumur dibawah 6 bulan dijumpai dengan berat rata‐rata
6,62 kg dengan standar deviasi 0,64.sedangkan yang berumur di atas 6 bulan dijumpai dengan berat
rata‐rata 8,92 kg dengan standar deviasi 1,75
Tabel 6.2
Berat Badan Penderita Invaginasi Berdasarkan Umur
Berat Badan n Mean SD
Umur
< 6 bulan
¾ 6 bulan
17
10
6,62
8,92
O,64
1,75
Pada tabel 6.3, di dapatkan bahwa penderita invaginasi mendapatkan pertolongan rata‐rata 45
jam setelah gejala yg di keluhan timbul. Dan pada pemeriksaan dijumpai kadar leukosit sejumlah
16900.
Tabel 6.3
Onset kejadian dan Kadar Leukosit
Variabel N Mean Median SD
Onset Kejadian 27 45,2 48,0 21,1
Kadar Leukosit 27 22885,2 16.900,0 26480
[image:32.612.87.530.249.354.2] [image:32.612.81.527.549.627.2]
Sedangkan pada tabel 6.4 didapatkan bahwa penderita datang tersering dengan keluhan buang
air besar berlendir dan berdarah sebanyak 18 kasus (66,7%). Sedangkan temuan intraoperatiif tersering
adalah tipe ileo‐colica sebanyak 20 kasus (74,1%) dengan tindakan tersering adalah milking sebanyak 19
kasus (70,4%)
Tabel 6.4
Gejala, Type dan Tindakan Pada Kasus Invaginasi
Variabel n %
Gejala
Nyeri Perut
Bab Lendir &darah
9 18 33,3 66,7 Type
Ileo – colica
Ileo – caecal
Ileo – Ileal
Ileo – colo – colica
[image:33.612.84.532.241.558.2]
Pada penelitian ini didapati rata‐rata lama rawatan penderita invaginasi selama 8,1 hari dengan standar
deviasi 3,3. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6.5
Tabel 6.5
Waktu Lama Rawatan Penderita Invaginasi
N Lama Rawatan
minimal
Lama Rawatan maksimal
Mean SD
Lama rawatan 27 5,0 19,0 8,1 3,3
Pada penelitiian ini tidak dijumpainya hubungan antara onset kejadian. Hal ini dapat dilihat pada tabel
6.6 dimana tidak dijumpainya kebermaknaan pada penelitian
`
Tabel 6.6
Hubungan Antara Onset kejadiann & Kadar Leukosit Dengan Lama Rawatan
Analisis r P
Hubungan Onset dengan Lama Rawatan 0,297 0,133*
Hubungan kadar Leukosit dengan Lama Rawatan
0,333 0,089**
Keterangan : * Korelasi Person
** Korelasi Spearman
[image:34.612.78.565.195.283.2] [image:34.612.89.530.479.567.2]
Dari grafik 1 terlihat tidak dijumpai adanya hubungan antara lamanya gejala yg dikeluhkan dengan
lamanya rawatan.
20.00 40.00 60.00
onset 5.00 10.00 15.00 la m a ra w a ta n $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $
Grafik 1: hubungan antara lama gejala yang timbul (onset) dengan lama rawatan
Juga terlihat pada grafik 2 tidak terlihat hubungan yg bermakna antara kadar leukosit dengan lamanya
rawatan pada penderita invaginasi
[image:35.612.138.386.159.425.2]
0.00 40000.00 80000.00 120000.00
lekosit 5.00 10.00 15.00 la m a ra w a ta n $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $ $
Grafik 2: hubungan antara kadar leukosit dengan lama rawatan
Pada penelitian ini di dapati bahwa pada penderita invaginasi yang mendapat tindakan operasi berupa
reseksi akan mengalami perawatan lebih lama daripada yang hanya mandapat tindakan milking. Hal ini
terlihat pada tabel 6.7
Tabel 6.7
Hubungan Antara Tindakan Intraoperatif Dengan Lama Rawatan
Analisis n mean SD p*
Milking Reseksi 19 8 6,8 11,3 2,1 3,7 0,002
*Mann Whitney test
[image:36.612.111.470.110.373.2] [image:36.612.82.576.561.647.2]
Pada penelitian hubungan antara gejala klinis dengan lama rawatan (tabel 6.8). Peneliti tidak menjumpai
adanya hubungan antara gejala klinis yang dikeluhkan dengan lamanya rawatan.
Tabel 6.8
Hubungan Antara Gejala Klinis Dengan Lama Rawatan
Analisis n Mean SD p*
Nyeri perut
BAB berlendir dan darah
9
18
7,9
8,2
2,4
3,8
0,774
*Mann Whitney test
[image:37.612.84.572.276.353.2]
4.2 Pembahasan
Gejala klasik dari invaginasi adalah nyeri perut yang sifatnya muncul secara tiba‐tiba, kolik, intermiten, berlangsung hanya selama beberapa menit,. Pada anak yang berusia lebih tua dapat mengeluhkan nyeri perut dan menentukan lokasinya. Ravitch mengemukakan bahwa pada 15% bayi dan anak tidak menunjukkan gejala nyeri yang jelas. Ravitch dan Young mendapatkan gambaran klinis invaginasi yang serupa pada kebanyakan negara, dengan muntah menjadi gejala inisial yang paling umum (44%) melampaui gejala klasik nyeri perut.Penelitian 25 tahun di Canada didapatkan bahwa muntah adalah gejala kedua yang paling umum setelah nyeri perut. Muntah cenderung didapatkan pada bayi daripada anak yang berusia lebih tua.1,2,3,4 Dalam penelitian ini didapatkan, sebanyak 18 anak ( 66,7%) penderita datang ke Rumah Sakit dengan gejala klinis berupa buang air besar berlendir dan berdarah dan sisanya 9 penderita (33,3%) datang dengan keluhan nyeri perut. Hal tersebut dapat menggambarkan masih kurangnya kepedulian orang tua terhadap gejala awal invaginasi berupa nyeri perut dan muntah yang di derita anaknya untuk membawa penderita ke sarana kesehatan. Hal tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan dinegara maju (Ravitch) bahwa rata rata penderita datang ke rumah sakit setelah gejala klinis timbul dalam 8 jam sedangkan pada penelitian ini peneliti mendapati penderita yang meminta pertolongan rata‐ rata setelah 45 jam gejala invaginasi timbul.
Menurut Ravitch dari penelitian yang dilakukan multi senter dikatakan bahwa kerusakan usus
dapat terjadi antara hari ke 2 – 5 dengan puncaknya pada hari ke 3 setelah gejala klinis terjadi. Kerusakan usus yang terjadi mulai dari edema, nekrosis hingga perforasi akan memperberat keadaan penyakit. Dimana mediator inflamasi yang terjadi akan berefek sitemik dan semakin memperburuk keadaan umum penderita1,2. Gambaran tingginya morbiditas akibat komplikasi yang terjadi akibat intususepsi ini tercermin dari lama rawatan penderita.
Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang bermakna terhadap lamanya penderita mengeluhkan gejala invaginasi dengan lamanya rawatan. Tetapi peneliti melihat bahwa dengan adanya tindakan reseksi akan memperpanjang masa rawatan.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN
SARAN
Kesimpulan
1. Studi retrospektif terhadap 27 penderita invaginasi dari tahun 2006‐2009, dijumpai distribusi
penyakit dimana lebih banyak diderita anak perempuan (63%) daripada anak laki‐laki (37%).
2. Pada penelitian ini dijumpai bahwa penderita invaginasi mendapat tindakan operasi rata‐rata 45
jam setelah mengeluhkan gejala invaginasi, dengan keluhan terbanyak berupa BAB berlendir
dan berdarah (66,7%) dan dijumpai tipe invaginasi adalah tipe ileo‐colica (74,1%) dan tindakan
tersering adalah prosedur milking (70,4%)
3. Terlihat adanya hubungan bermakna antara tindakan operatif dengan lama rawatan tetapi tidak
dijumpai hubungan bermakna antara onset kejadian dengan lamanya rawatan.
Saran
1. Pengisian, pencatatan identitas penderita, maupun pemeriksaan pada status pasien sebaiknya
dibuat dalam bentuk format yang lebih sistimatis dan tidak menyulitkan bagi siapa saja yang
mengisi status penderita.
2. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk waktu yang lebih lama dengan jumlah sampel yang lebih
besar sehingga dapat di peroleh data yang lebih akurat untuk data invaginasi di RSHAM.
3. Dapat menemukan cara terbaik utk menginformasikan kepada orang tua tentang klinis dari pada
invaginasi sehingga mereka dapat lebih waspada terhadap tanda klinis invaginasi.
Daftar
Pustaka
1. Fallat ME. Intussusception. Dalam: Ashcraft KW, Holcomb GW, Murphy JP, Pediatric Surgery. Edisi ke‐4. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. h. 533‐42.
2. Ein SH & Daneman A. Intussusception. Dalam: Ziegler MM, Azizkhan RG, Weber TR, Operative
Pediatric Surgery. Edisi International. New York: McGraw‐Hill; 2003. h. 647‐55.
3. Waag KL. Intussusception. Dalam: Puri P, Hollwarth M, Pediatric Surgery. Berlin: Springer‐ Verlag; 2006. h. 313‐20.
4. Raffensperger JG. Intussusception, Swenson’s Pediatrics Surgery, 5th edition, Appleton Century Crofts, New York; 1990. h. 221 – 229.
5. Doody DP, Foglia RP. Intussusception. Dalam : Oldham, KT.; Colombani, P
6. M.; Foglia RP.; Skinner, MA. Principles and Practice of Pediatrics Surgery Vol II, 4th edition, Lippincot Williams & Wilkins. H. 1298 – 1306.
7. Winslet MC. Intestinal Obstruction. Dalam Russell RCG, William NS, Bulstrode CJK, Short Practice of Surgery, 24th edition, Arnold, London; 2004. H. 1194 – 1197.
8. Wood BP. Intussusception, Child. eMedicine. Available on line at:
http://emedicine.medscape.com/article/409870‐overview
(akses 5 Februari 2009).
9. Irish MS & Shellnut J. Intussusception: Surgical Prespective. eMedicine. Available on line at:
http://emedicine.medscape.com/article/937730‐overview
(akses 5 Februari 2009).
10. Lalit Bajaj, MD, MPH, and Mark G. Roback, MD. Postreduction Management of Intussusception in a Children’s Hospital Emergency Department. Available on line at:
http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/112/6/1302
(akses 5 Februari 2009).