TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN
MALAPRAKTEK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR
29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK
KEDOKTERAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
CAESARIO INDRA NUGRAHA
NIM : 050200025
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN
MALAPRAKTEK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR
29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK
KEDOKTERAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Oleh :
CAESARIO INDRA NUGRAHA
NIM : 050200025
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
KETUA DEPARTEMEN
MUHAMMAD HAMDAN,SH.MH.
NIP. 195703261986011001
Dosen Pembimbing I
LIZA MARLINA,SH.M.Hum
NIP. 196110241989032002
Dosen Pembimbing II
DR.MARLINA,SH.M.Hum
NIP. 197503072002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN
MALAPRAKTEK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK KEDOKTERAN DI INDONESIA
ABSTRAKSI
CAESARIO INDRA NUGRAHA
*)
LIZA ERWINA,SH.M.Hum.
**)
DR. MARLINA,SH.M.Hum
***)
Maraknya kasus dugaan malapraktek kedokteran di Indonesia terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat untuk menuntut keadilan dan juga menuntut hak-haknya sebagai pasien. Malapraktek kedokteran adalah merupakan suatu bentuk kejahatan yang juga dapat dipidanakan. Malapraktek merupakan suatu tindakan medis yang melanggar standar prosedur. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai menimbulkan kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan, bahkan merenggut nyawa orang lain, maka diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal. Secara keseluruhan Hukum positif (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia kurang relevan untuk menaungi atau menjadi payung hukum tindakan malapraktek. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, yang diharapkan dapat mengatur tindak malapraktek kedokteran.Tetapi kenyataannya tidak dapat mengakomodir berbagai hal tentang malapraktek serta belum efektif dalam menyelesaikan kasus malapraktek kedokteran. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menganggulangi kasus-kasus malapraktek di Indonesia adalah dengan membentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bersifat independen dimana hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
_____________________
CAESARIO INDRA NUGRAHA*)
LIZA ERWINA,SH.M.Hum.**) Staf Pengajar/Sekretaris Depertemen Fakultas Hukum USU, Dosen Pembimbing I
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena hanya
dengan rahmat serta karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunya.
Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Pidana Terhadap
Kejahatan Malapraktek dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran di Indonesia”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian
dari syarat-syarat guna Memenuhiu persyaratan mencapai gelar Sarajana Hukum
di Fakultas Hukum Sumatra Utara.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan,
namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan
yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setulus-tulusnya kepada:
1. Allah SWT karena hanya dengan rahmat serta karunia-Nyalah penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
2. Teristimewa kepada Kedua Orang Tua, Terima kasih atas cinta kasih
sayangnya yang tak terbatas, doa-doa yang tak pernah putus, motivasi yang
selalu membangun, bantuan moriil dan materi yang takkan mungkin
terbalaskan
3. Bapak Prof.Dr Runtung,SH,M.Hum selaku Dekan fakultas hukum Universitas
4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,.M,Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
5. Bapak Syafrudin Sulung Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku pembantu II Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapaka Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera
7. Bapak Muhammad hamdan, SH, M,Hum Selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana Universitas Sumatera Utara
8. Ibu Liza erwina SH, M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana
sekaligus Dosen Pembimbing I, yang telah memberi banyak arahan,
bimbingan dan masukan bagi penulis.
9. Ibu Dr Marlina SH, M.Hum , selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis
10.Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih
telah membagi ilmu pengetahuannnya kepada penulis.
11.Segenap karyawan serta karyawati Sekretariat Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
12..Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, atas segala bantuannya kepada penulis.
13.Special to : Kartika Pratidina thank you so much for everything…your support
and strength trough the good and the bad times
14.Kakak Senior Liza Fauzia yang selalu membantu, dan memberikan dorongan
15.Sahabat-sahabat yang selalu membantu dan mendampingi penulis dalam suka
dan duka. “
16.Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2005,
yang selanjutnya penulis harapkan persahabatan ini tidak akan berakhir
sampai akhir usia kita dan kalian dapat menjadi pembesar-pembesar Negeri
ini. amin.
17.Bang Rahman yang juga banyak membantu dalam menyelsaikan segala
urusan tentang kampus selagi saya mengerjakan karya tulis ini.
18.Berbagai pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa pembahasan dalam
skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi maupun dari tata
bahasanya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi
siapa saja yang memerlukannya, semoga Tuhan yang maha Esa, selalu
memberikan kasih dan Karunianya kepada kita semua. Amin
Medan, April 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Abstraksi ... iv
Daftar Isi ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 6
A.Definisi Hukum dan Norma-norma Sosial ... 9
B. Definisi Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran ... 11
C. Definisi Dokter dan Pasien ... 14
1. Definisi dokter dan Pasien ... 14
2. Hak dan Kewajiban Dokter ... 16
3. Hak dan Kewajiban Pasien ... 20
4. Hubungan Antara Dokter dan Pasien ... 23
D. Tinjauan Umum Malapraktek Kedokteran (Medical MalApraktek) ... 25
1. Definisi Malapraktek ... 25
2. Jenis-Jenis Malapraktek Medik ... 29
F. Metode Penelitian ... 32
G. Sistematika Laporan Hasil Penelitian ... 34
BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK DI INDONESIA ... 37
2. Malapraktek Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor. 29
Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran ... 44
3. Malapraktek Kedokteran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan ... 47
BAB III INFORMED CONSENT DAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS MALAPRAKTEK KEDOKTERAN DI INDONESIA ... 50
A. Tinjauan Umum Informed Consent ... 50
1. Pengertian Informed Consent ... 51
2. Aspek Hukum Pidanan Atas Informed Consent ... 54
3. Informed Consent Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran ... 55
B. Pembuktian Dalam Kasus Malapraktek Di Indonesia ... 56
1. Barang Bukti Dalam Proses Pembuktian ... 56
2. Alat Bukti Dalam Prosos Pembuktian ... 57
C. Kronologis Kasus Malapraktek Di Indonesia ... 60
D. Data Kasus Malapraktek Di Indonesia ... 63
E. Penanganan Terhadap Kasus Malapraktek Di Indonesia ... 65
BAB IV PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 72
B. Saran-Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. Surat Keterangan
II. Putusan
III. Peraturan Perundang-undangan
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN
MALAPRAKTEK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK KEDOKTERAN DI INDONESIA
ABSTRAKSI
CAESARIO INDRA NUGRAHA
*)
LIZA ERWINA,SH.M.Hum.
**)
DR. MARLINA,SH.M.Hum
***)
Maraknya kasus dugaan malapraktek kedokteran di Indonesia terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat untuk menuntut keadilan dan juga menuntut hak-haknya sebagai pasien. Malapraktek kedokteran adalah merupakan suatu bentuk kejahatan yang juga dapat dipidanakan. Malapraktek merupakan suatu tindakan medis yang melanggar standar prosedur. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai menimbulkan kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan, bahkan merenggut nyawa orang lain, maka diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal. Secara keseluruhan Hukum positif (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia kurang relevan untuk menaungi atau menjadi payung hukum tindakan malapraktek. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, yang diharapkan dapat mengatur tindak malapraktek kedokteran.Tetapi kenyataannya tidak dapat mengakomodir berbagai hal tentang malapraktek serta belum efektif dalam menyelesaikan kasus malapraktek kedokteran. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menganggulangi kasus-kasus malapraktek di Indonesia adalah dengan membentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bersifat independen dimana hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
_____________________
CAESARIO INDRA NUGRAHA*)
LIZA ERWINA,SH.M.Hum.**) Staf Pengajar/Sekretaris Depertemen Fakultas Hukum USU, Dosen Pembimbing I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai naluri untuk selalu berhubungan
dengan sesamanya semenjak ia dilahirkan. Hubungan ini juga merupakan suatu
kebutuhan bagi setiap manusia, oleh karena itu dengan berhubungan dengan
sesamanya maka ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Selain itu
berhubungan dengan sesamanya juga menunjukkan bahwa manusia itu merupakan
makhluk sosial di samping kedudukannya sebagai makhluk individu. Segala
keterbatasan, kekurangan serta kelemahan yang ada pada manusia juga
menghendaki ia untuk selalu berhubungan dengan orang lain.
Keadaan sakit merupakan contoh bahwa manusia (penderita) dalam
keadaan lemah, kekurangan (sakit) sehingga pada saat itu ia membutuhkan
seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan yang
utama bagi orang itu adalah kebutuhan akan adanya orang lain yang dapat
membantu menyembuhkan penyakitnya. Orang yang dimaksud itu adalah dokter.
Menurut Prof Dr. H.J.J Leenen, hukum kesehatan adalah suatu bidang hukum
yang mencakup seluruh aturan hukum yang berhubungan langsung dengan bidang
pemeliharaan kesehatan/ pelayanan kesehatan dan penetapan dari hukum perdata,
hukum administrasi dan hukum pidana dalam hubungan tersebut. Sedangkan
Hukum Kedokteran dalam arti luas yakni medical law yaitu ketentuan-ketentuan
medis dan para medis lainnya. Hukum Kedokteran dalam arti sempit yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang hanya berkaitan dengan profesi dokter saja, dan
biasa disebut dengan Hukum Profesi Dokter1
1
Husein Kerbala,SH, Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.24.
.
Pada zaman sekarang ini hampir tidak ada satu pun bidang kehidupan
masyarakat yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai keadaan maupun
sebagai perilaku yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai keadaan maupun
sebagai perilaku yang unik dan teratur. Hal ini disebabkan manusia mempunyai
hasrat untuk hidup teratur. Hukum juga kini telah menjamah bidang pelayanan
kesehatan dalam bentuk spesialisasinya yaitu hukum kesehatan maupun hukum
kedokteran. Masuknya disiplin hukum dalam bidang kesehatan terutama dalam
menyelesaikan pesoalan-persolan hukum yang timbul dari praktek profesi tenaga
kesehatan, khususnya profesi dokter, yang telah menimbulkan dua pandangan
yang saling bertentangan.
Pandangan pertama berpendapat bahwa profesi kedokteran harus dibiarkan
bebas untuk mengatur dirinya. Tidak ada kewenangan dari luar kalangan profesi
kedokteran untuk turut campur menangani profesi kedokteran ini.
Profesi kedokteran telah mempunyai kode etik kedokteran sendiri yang berisi
aturan-aturan perilaku yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang
dokter dalam hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan teman sejawat,
hubungan dengan pasien, sehingga tidak diperlukan lagi campur tangan dari luar
Kelompok ini juga berpendapat bahwa apabila hukum mengharuskan dokter
bertindak berdasarkan kaedah-kaedah hukum maka dikhawatirkan bahwa dokter
menjalankan kewajiban-kewajibannya karena takut akan sanksi hukum belaka
bukan karena kesadaran dan tanggung jawab moralnya. Dan suatu sikap saling
percaya antara dokter dan pasien akan lebih besar kemungkinan berkembang
berdasarkan moralitas daripada hubungan yang hanya diatur oleh
ketentuan-ketentuan hukum saja2
Sebaliknya pandangan kedua berpendapat bahwa dokter tidak dapat
dibiarkan bebas mengatur dan menentukan yang terbaik dalam hubungannya
dengan pasien. Harus dibuat suatu ketentuan-ketentuan hukum yang dapat
mengatur hak-hak dan kewajiban pasien maupun dokter. Sehingga diharapkan
adanya keserasian antara dua kepentingan yang berbeda antara dokter dan pasien .
3
2
Ibid, hlm.22. 3
Ibid, hlm. 23.
.
Bahwa tidaklah adil dan tidak tepat bila dokter diberikan hak sepenuhnya untuk
menentukan atau memutuskan masalah yang berhubungan dengan hidup atau
matinya orang lain yaitu pasien tanpa adanya campur tangan dari yang
berkepentingan yaitu pasien dan atau keluarga pasien. Ada juga dokter junior
yang menggunakan izin praktek dokter senior dalam memberikan tindakan medis
kepada pasien. Ini jelas melakukan praktek tanpa izin.
Dalam praktek kedokteran, mungkin saja terjadi adanya suatu pelanggaran
disiplin. Jadi ada penilaian khusus, yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan
Disiplin artinya, majelis yang melakukan suatu penelitian apakah suatu ilmu
dilakukan dengan betul oleh para dokter . Jika ada penyimpangan dari
penggunaan ilmu tersebut disengaja atau tidak, atau berada di luar garis-garis
standar yang sudah di gariskan, mungkin terjadi suatu penyimpangan yang
kemudian bisa dinilai sebagai suatu pelanggaran disiplin. Walaupun pelanggaran
disiplin sendiri definisnya lebih dari sekedar penyimpangan dari standar.
Pelanggaran disiplin bisa saja terjadi pada pekerjaan apapun, apakah dokter,
akuntan, insinyur, bisa saja terjadi kesalahan yang namanya human error
(kesalahan karena kesalahan manusia). Tapi seberapa besar kesalahan manusia,
itu harus jelas pembuktian dan sanksinya. Pelanggaran disiplin tersebut karena
adanya suatu kesenjangan dalam pemberian informasi kepada pasien, sehingga
pasien tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang sakitnya, serta
upaya-upaya apa yang dilakukan terhadap dirinya dan kemungkinan berhasil atau
tidak upaya-upaya itu. Kesenjangan ini jika tidak dijembatani, akan terjadi
ketidakpuasan dan menuju ke suatu penuntutan pelanggaran kedisiplinan. Tidak
ada standar pelayanan kedokteran yang legal. Standar prosedur operasi yang
adapun tidak seragam. Banyak rumah sakit di Indonesia menerbitkan standar
berbeda dengan rumah sakit lainnya. Sehingga, pembuktian malapraktek tentu
saja semakin sulit jika pasien berpindah-pindah rumah sakit. Padahal dugaan
malapraktek bisa saja timbul karena dokter tidak sepenuhnya menerapkan
informed consent, yaitu suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi. Artinya, dokter tidak menceritakan secara panjang lebar mengenai
mendapatkan haknya. Jangankan tahu prosedur bedah dan pengobatan banyak
pasien keluar dari ruang dokter tidak tahu diagnosisnya. Pasien pun terpaksa
menandatangani surat persetujuan karena ingin cepat sembuh. Seharusnya dokter
menemui pasien dan menceritakan semua informasi tersebut.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran. Dalam kasus malapraktek, dokter bisa diajukan ke meja hijau. Tetapi
di Indonesia, Undang-Undang Praktek Kedokteran justru diarahkan untuk
membuat profesi dokter jadi lebih spesial di depan hukum. Mengenai kasus
malapraktek yang sering terjadi di Indonesia, banyak mengakibatkan pasien tewas
di tangan dokter. Karena di Indonesia belum ada standarisasi .Sehingga sulit
membedakan malapraktek dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan.
Pemahaman malapraktek pun belum seragam. Sehingga kerap pasien menuding
terjadi malapraktek, tapi dokter membantahnya. Untuk Kasus-kasus malapraktek
di Indonesia, korban haknya sering tidak diperhatikan. Kesalahan dokter
seringkali dibela, karena dalam pembuktian, saksi ahlinya adalah seorang dokter
juga.
Saat ini banyak terjadi kasus kedokteran yang disalahgunakan oleh profesi
seorang Dokter. Banyak pasien yang mengalami kasus malapraktek. Hari demi
hari, pengaduan kasus malapraktek di berbagai rumah sakit bermunculan . Ini
dipicu oleh kualitas pelayanan kesehatan yang dirasa semakin merugikan pasien.
Permasalahan malapraktek di Indonesia kini sudah sangat mengkhawatirkan dan
disinyalirkan adanya dokter yang melakukan praktek tanpa memiliki izin. Dengan
kasus malapraktek yang menyebabkan berjatuhan korban-korban yang tidak
berdosa. Untuk itu penulis berusaha mengangkat dan melakukan penelitian
hukum dalam penulisan hukum ini, yang berjudul tinjauan hukum pidana terhadap
kejahatan malapraktek dalam undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka perumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengaturan tentang malapraktek dalam praktek kedokteran
menurut hukum pidana Indonesia?
2. Apakah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran dapat digunakan secara efektif untuk menangani kasus-kasus
malapraktek yang terjadi di Indonesia khususnya untuk melindungi korban
malapraktek?
3. Upaya apa saja yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi
kasus-kasus malapraktek di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui segala pengaturan tentang malapraktek dalam praktek
mana hukum pidana Indonesia dapat diterapkan terhadap kejahatan
malapraktek kedokteran.
2. Untuk mengetahui sejauh mana Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran dapat mengatasi permasalahan malapraktek,
bahwa seyogyanya undang-undang tersebut tidak hanya melindungi para
profesional saja, khususnya dokter, tetapi juga para pasien yang terkadang
buta akan ilmu kedokteran.
3. Untuk mengetahui segala upaya yang di lakukan pemerintah dalam hal
penanggulangan kasus-kasus malapraktek di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan Skripsi ini didasarkan oleh ide dan gagasan maupun pemikiran
penulis secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penelusuran di
perpustakaan USU , penulisan mengenai Malapraktek dalam Undang –
undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran di Indonesia belum
pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama karena itu
keaslian penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan walaupun ada pendapat
atau kutipan dalam penulisan ini sematta – mata adalah sebagai faktor
penolong dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan
E.. Tinjauan Kepustakaan
Pada hakekatnya manusia memiliki naluri dalam berhubungan dengan
sesamanya. Oleh sebab itulah manusia seringkali disebut sebagai mahluk sosial.
Karena didalam kehidupannya setiap manusia selalu saling membutuhkan satu
dengan yang lain, dan juga saling berinteraksi dengan sesamanya. Segala
keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang ada di dalam diri manusia
memaksa mereka untuk selalu berhubungan dengan orang lain. Seperti yang kita
ketahui bersama bahwa tidak ada seorangpun yang dilahirkan sempurna, Tuhan
memberikan suatu kekurangan atau suatu keadaan yang membuat kita sebagai
seorang manusia merasa lemah baik dalam segi fisik maupun mental. Hal tersebut
dapat juga berarti kita ada dalam keadaan sakit. Keadaan sakit seorang manusia
bukan hanya dikarenakan oleh bawaan lahir atau seringkali dikatakan cacat lahir
ataupun penyakit bawaan sejak lahir, tetapi didalam suatu kehidupan, dengan
melihat faktor sekitar dimana manusia tersebut hidup, baik faktor cuaca, makanan,
keadaan lingkungan yang kurang baik terlebih lagi buruk, atau oleh karena gaya
hidup manusia itu sendiri, maka kita sebagai manusia dapat terkena penyakit
karena berbagai faktor tersebut. Misalkan penyakit demam berdarah yang sering
disebabkan oleh karena faktor lingkungan yang kurang terjaga kebersihannya,
seperti air didalam bak mandi yang tidak pernah dikuras sehingga banyak
jentik-jentik nyamuk aedes aegypty didalamnya. Pada saat sakit seperti itulah manusia
membutuhkan pertolongan dari manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhannya
agar dapat pulih kembali dari sakit yang dideritanya, dan juga mengobati rasa
penyembuhan atau pemulihan bagi penderita penyakit, dalam ruang lingkup medis
biasa kita sebut dengan sebutan dokter. Pada saat ini ada berbagai pihak yang
melakukan proses pengobatan tidak dengan menggunakan jasa seorang dokter,
dimana hal itu seringkali disebut dengan pengobatan alternatif. Dengan melalui
pengobatan alternatif itu, maka proses pengobatan tidak dilakukan didalam jalur
medis.
Seorang dokter memiliki peranan yang sangat penting dan juga menempati
posisi teratas didalam hal kesehatan, baik pada tahap pemeriksaan, diagnosa,
pengobatan suatu penyakit sampai ketahap pemulihan, serta pemeliharaan
kesehatan. Pada sebagian masyarakat peran seorang dokter terkadang dianggap
lebih tinggi dan mendapat suatu penghormatan yang lebih bila dibandingkan
dengan profesi lain, dengan kata lain profesi dokter memiliki nilai social yang
tinggi. Hal ini terjadi karena pada sejarah terjadinya pengobatan, dokter
diidentikkan dengan dewa penyembuh yang diagung-agungkan oleh masyarakat
laksana dewa penyelamat karena kemampuannya mengetahui hal yang tidak
tampak dari luar. Dengan kemampuannya itu dokter dapat menyembuhkan
penyakit yang diderita oleh pasiennya. Walaupun sebenarnya dokter dapat berbuat
hal demikian tidaklah dengan cara yang sembarang, melainkan hal tersebut
didapatkan dari proses pembelajaran dan pelatihan atas kurikulum pendidikan
kedokteran yang ditekuninya sehingga memberikan kesempatan untuk
menjadikan seseorang agar memiliki pengetahuan dan ketrampilan dibidang sains
tekhnologi kedokteran. Padahal dokter dan ilmu kedokteran masih sangat terbatas
penyakit yang diderita oleh manusia. Selain itu pula pengobatan dokter sangat
tergantung dari tekhnologi yang mahal dalam memecahkan masalah kesehatan
walau terkadang kurang efektif.
Seorang dokter memiliki fungsi sosial untuk melayani masyarakat umum
atau pasien yang datang kepadanya dengan keahlian yang dimilikinya. Hal
tersebut berkaitan agar terpenuhinya kepentingan dari masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu. Dalam hubungan
sosial tersebut, manusia dibatasi dengan nilai-nilai yang mengatur sikap dan
tingkah laku mereka, yang bertujuan agar terjadi keseimbangan antara
masing-masing kepentingan. Hubungan antara dokter dan pasien ditandai dengan
beberapa prinsip-prinsip yang utama, yaitu:
1. Berbuat baik, yaitu tidak melakukan sesuatu yang merugikan. Dalam
berbuat baik ini dokter dituntut untuk rela berkorban walaupun dia sendiri
mengalami kesulitan. Seorang dokter harus lebih mementingkan nyawa
orang lain daripada nyawanya sendiri.
2. Keadilan, yaitu memberikan perlakuan yang sama, tanpa memandang jasa,
kekayaan, status sosial dan kemampuan membayar dari pasiennya.
3. Otonomi, yaitu hak atas perlindungan privacy pasiennya.
A. Definisi Hukum Dan Norma-Norma Sosial
Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia bermacam-macam corak,
penilaian. Jenis-jenis ketentuan itu berbeda dalam berbagai hal dan akan kelihatan
nyata jika suatu ketentuan dilanggar oleh manusia. Jikalau suatu ketentuan
kesopanan atau kesusilaan tidak diindahkan oleh seseorang, maka sanksinya
hanya dikenakan oleh orang yang ada hubungan langsung dengan pelanggarnya
dan sifat sanksi itu ringan. Berlainan halnya dengan ketentuan hukum. Setiap
ketentuan hukum fungsinya mencapai tata tertib antar hubungan manusia didalam
hubungan sosial. Hukum sebagai suatu sistem hukum mempunyai bentuk-bentuk
sistematikanya sendiri berdasarkan hasil pemikiran dalam pembentukan sistem
itu. Hukum berasal dari kata bahasa belanda “recht orde”, ialah susunan hukum,
artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum4
Terdapat dua fungsi dari hukum, yaitu perlindungan dan kepastian bagi mereka
yang melaksanakan kewajibannya dalam dengan pihak lain. Hukum kegunaannya
adalah untuk menciptakan dan memelihara kedamaian, dan juga untuk mencegah
dan menindak ketidakdamaian hidup antar pribadi serta lingkungan sekitarnya. .
Yang dimaksud dengan peraturan hukum, adalah peraturan yang berisi
tentang kumpulan kaidah-kaidah hukum. Dan yang dimaksud dengan peraturan
non hukum adalah peraturan yang berisi tentang kumpulan kaidah-kaidah non
hukum. Hukum positif sebagai aturan hukum yang ketentuan-ketentuannya
berlaku disuatu saat, waktu, dan tempat tertentu, ditaati oleh manusia dalam
pergaulan hidup selama timbulnya ketentuan itu berdasarkan kesadaran hukum
masyarakat disamping cara yang digunakan oleh pergaulan hidup itu untuk
mencapai keadilan.
4
Sesuai dengan tujuan dan fungsinya untuk mencapai tata tertib demi keadilan
serta kepastian hukum, maka aturan-aturan hukum akan berkembang sejalan
dengan perkembangan pergaulan hidup manusia. Dalam bidang Hukum
Kedokteran yang sangat terkait dengan fungsi hukum, yaitu perlindungan dan
kepastian hukum. Hukum Kedokteran akan membahas hubungan dokter dengan
pasien, dimana dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada pasien,
sedangkan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
dokter5
1. Berdasarkan persetujuan .
Dalam upaya pelayanan medis, timbulnya suatu hubungan hukum antara
dokter dan pasien. Dengan timbulnya suatu perikatan medis tersebut dapat terjadi
melalui dua bentuk, yaitu:
Hubungan hukum antara dokter-pasien berdasarkan perjanjian timbul pada
saat si pasien tersebut datang ketempat praktek dokter atau ke rumah sakit,
lalu meminta pelayanan medis, kemudian sang dokter langsung melakukan
pemeriksaan . Pada saat itulah sang dokter harus berupaya untuk dapat
menyembuhkan pasiennya.Tetapi seorang dokter
juga tidak akan menjamin 100% bahwa pasien tersebut akan sembuh total,
sebab banyak faktor yang akan mempengaruhi hasil usaha dokter tersebut.
2. Berdasarkan Undang-Undang
Berdasarkan Undang-Undang, apabila ada pasien gawat membutuhkan
pertolongan dokter sesegera mungkin yang jika tidak diberi pertolongan
5
nyawanya akan melayang. Dalam keadaan ini, Undang-Undang
mewajibkan seorang dokter untuk segera melakukan pertolongan baik
dengan maupun tanpa persetujuan pasiennya.
Selain dari segi hubungan hukum antara dokter-pasien, manusia juga
dibatasi oleh norma-norma sosial yang mengatur sikap dan tingkah laku mereka,
yang bertujuan agar terjadi keseimbangan antara masing-masing kepentingan di
dalam masyarakat. Norma ini merupakan aturan atau kaidah yang dipakai sebagai
tolak ukur untuk menilai sesuatu. Ada tiga macam norma sosial yang dapat
dijadikan pedoman untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu:
1. Norma Kesopanan, merupakan aturan yang memberikan pedoman
terhadap perilaku manusia tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan di dalam berinteraksi antar sesama dalam bentuk
perilaku sopan santun.
2. Norma hukum, merupakan peraturan yang dibuat secara resmi oleh Negara
yang mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat
Negara sehingga kaidah hukum dapat selalu dipertahankan berlakunya.
3. Norma moral atau etika, lebih mengatur tentang cara suatu perbuatan
harus dilakukan, sedang etika mengatur perbuatannya sendiri dan berlaku
secara umum, kapanpun dan dimanapun.
Dari norma-norma sosial diatas dapat dikatakan dokter sebagai seseorang
yang professional dibidangnya berkewajiban menyarankan kepada pasien untuk
B. Definisi Hukum Kesehatan Dan Hukum Kedokteran
Sejak berdirinya republik ini, pemerintah telah menerbitkan berbagai
peraturan dan ketentuan hukum dalam bidang kesehatan agar pelayanan dan
pemeliharaan kesehatan dapat berjalan dengan baik. Pemerintah menyadari rakyat
yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil dan
makmur. Peraturan dan ketentuan hukum ini tidak saja di bidang kedokteran,
tetapi mencakup seluruh bidang kesehatan seperti farmasi, obat-obatan, rumah
sakit, kesehatan jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan
lingkungan. Sampai sekarang sudah ada puluhan peraturan perundang-undangan
dibidang kesehatan yang diterbitkan pemerintah. Kumpulan peraturan-peraturan
dan ketentuan hukum inilah yang dimaksud dengan Hukum Kesehatan. Indonesia
telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang ini merupakan salah satu usaha pemerintah dalam mencapai
derajat kesehatan yang lebih baik bagi seluruh anggota masyarakat. Seperti
disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Kesehatan, bahwa Kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Dilihat dari kacamata hukum, hubungan antara dokter-pasien termasuk
dalam ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan sebagai perjanjian karena
adanya kesanggupan dari dokter untuk menyembuhkan pasiennya. Dilihat dari
sudut hukum pidana, persoalan yang menjadi benang merah antara hukum
PERHUKI organisasi yang menghimpun mereka yang mempunyai kaitan dengan
hubungan kesehatan, semula pada waktu berdirinya bernama PERHIMPUNAN
untuk HUKUM KEDOKTERAN INDONESIA. Dengan berbagai pertimbangan,
nama yang sekarang adalah Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia.
Anggaran Dasar PERHUKI menyebutkan:
“Yang dimaksud dengan Hukum Kesehatan adalah semua yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban sebagai penerima pelayanan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medis nasional/internasional,hukum di bidang kesehatan, jurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang kesehatan-kedokteran”.6
“ Hukum Kesehatan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban, baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu atau masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspeknya yaitu aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan diperhatikan pula aspek organisasi dan sarana.Pedoman-pedoman medis international, hukum kebiasaan dan hukum otonom di bidang kesehatan, ilmu pengetahuan dan literature medis merupakan pula sumber hukum kesehatan”.
Rumusan Tim Pengkajian Hukum Kesehatan BPHN Depkeh RI menyebutkan:
7
Hukum Kedokteran, sebagai bagian dari hukum kesehatan yang
terpenting, meliputi ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan medis.
Hukum Kedokteran disebut juga hukum kesehatan dalam arti sempit. Apabila
objek hukum Kesehatan adalah pelayanan kesehatan maka objek hukum
kedokteran adalah pelayanan medis. Hukum Kedokteran dianggap bagian
6
Dr. Danny Wiradharma, S.H., M.S. Jm., Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Binarupa Aksara, 1996, hlm.33.
7
terpenting dari hukum kesehatan karena hampir selalu terdapat persinggungan
atau daerah-daerah kelabu antara hukum kedokteran dengan bidang-bidang
hukum lainnya. Hukum Kedokteran sendiri, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Hukum Kedokteran dalam arti luas yaitu medical law yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut bidang medis baik profesi medis
dokter maupun tenaga medis dan para medis lainnya.
2. Hukum Kedokteran dalam arti sempit yaitu artzrecht yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang hanya berkaitan dengan perofesi dokter saja, dan
biasa disebut dengan Hukum Profesi Dokter.
Hukum Kedokteran sebagai suatu bentuk spesialisasi dari ilmu hukum
mempunyai ruang lingkup yang sebenarnya belum mempunyai bentuk yang baku.
C. Definisi Dokter dan Pasien
1. Definisi Dokter dan Pasien
Di dalam masyarakat seorang yang menyandang profesi dokter seringkali
dianggap mempunyai status sosial dan status ekonomi yang cukup tinggi di
tengah-tengah masyarakat. Tapi saat ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan
yang sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Walaupun pada
kenyataannya dokter tidaklah berdiri sendiri. Pada prakteknya dokter
menggunakan tekhnologi kedokteran guna menunjang tujuannya untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari
memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau di puskesmas, meskipun
kenyataannya yang memberikan pelayanan kesehatan itu hanya seorang mantri
atau perawat saja. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabadikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran, yang dimaksud dokter sesuai dengan Pasal 1 (satu), Dokter dan
dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi,dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar
negri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan8
8
Praktek Kedokteran,Undang No. 29 Tahun 2004 dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Bandung, Penerbit: Fokusmedia, 2004, hlm. 3.
. Sedangkan dokter spesialis adalah seseorang yang telah
memenuhi seluruh tuntutan di suatu fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan
pendidikan spesialisasi tertentu dan telah memperoleh ijazah atau sertifikat untuk
bidang spesialisasinya itu. Setiap dokter harus menyadari sepenuhnya bahwa
dirinya tidak akan pernah mengetahui semua permasalahan di bidang kedokteran
karena bidang ini sangat luas. Sehingga konsultasi dengan sesama dokter maupun
spesialis bagi dokter umum sangatlah diperlukan, tidak saja bagi kebaikan pasien
tapi juga kebaikan dokter yang bersangkutan. Namun yang dimaksud dengan
dokter oleh penulis disini, bahwa dokter adalah seorang yang mempunyai
pendidikan ilmu kedokteran yang mempunyai izin praktek dari pihak-pihak yang
berwenang. Oleh Soerjono Soekanto dikatakan pula bahwa dokter disini tidak
termasuk dokter yang tidak memiliki izin praktek sesuai standard kode etik
kedokteran, dan tenaga paramedis yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan
individual, seperti bidan, dukun, dan lainnya9
Seperti halnya dengan pengertian dokter, seorang pasien juga memiliki
pengertian tersendiri. Pasien adalah seorang yang berdasarkan pemeriksaan dokter
dinyatakan mengidap penyakit baik di dalam tubuh maupun di dalam jiwanya. Di
dalam perkembangannya maka pasien juga diartikan secara luas yaitu termasuk
orang yang datang kepada dokter hanya untuk check-up, untuk konsultasi tentang
suatu masalah kesehatan, dan lain-lain. Jadi tidak terbatas pada orang yang sakit
atau dianggap sakit oleh dokter. Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran, yang dimaksud dengan Pasien sesuai dengan Pasal 1
(satu) adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperolah pelayanan kesehatan yang diperlukan secara langsung maupun
tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Jika dilihat dari cara perawatan
maka pasien dapat dibedakan atas
.
10
a. Pasien opname, adalah pasien yang memerlukan perawatan khusus dan terus
menerus secara teratur serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan
dari luar yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan penyakitnya, bahkan
dapat menghambat kesembuhan pasien. :
9
Prof.Dr.Soerdjono Soekanto,SH, Aspek Hukum Kesehatan, Cet.1, Jakarta, Penerbit:NUD HILL.CO, 1989, hlm.89.
10
Biasanya pasien yang diopname adalah pasien yang telah mendapat diagnosa
dokter bahwa pasien ini harus dirawat secara khusus karena penyakitnya
membutuhkan perawatan dan pengobatan secara intensif dan khusus.
Dengan demikian perawatan itu akan mengikuti cara-cara pengobatan secara
teratur dan terus menerus, sehingga diharapkan dalam waktu yang singkat
pasien akan sembuh.
b. Pasien berobat jalan, adalah pasien yang tidak memerlukan perawatan secara
khusus di rumah sakit seperti pasien opname. Hal ini karena pasien yang
berobat jalan itu hanyalah mengidap penyakit yang dianggap dokter tidak
membutuhkan perawatan khusus dan untuk menjalani pengobatannya cukup
datang pada waktu-waktu tertentu saja.
2. Hak dan Kewajiban Dokter
Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat
melawan hukum dengan tujuan perawatan yang sifatnya konkrit, dan dilakukan
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam bidang ilmu kedokteran.Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Pasal 50, hak dokter:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional.
b. Memberikan pelayanan menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.
c. Memperolah informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
Pada pasal tersebut yang dimaksud mengenai standard profesi ialah
batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang
harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi.
Dan yang dimaksud dengan standard prosedur operasional ialah suatu perangkat
instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses
kerja rutin tertentu.
Hak – hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan
sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan
diagnosis maupun terapeutik.
b. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanannya yang
diberikan kepada pasien.
c. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya.
d. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas
pelayanan kesehatan yang diberikannya.
e. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien
Selain Hak-hak dokter diatas, dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang
harus ia laksanakan sesuai dengan tanggung jawab profesionalis. Jika diperhatikan
Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1983, di dalamnya terkandung
beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter di Indonesia.
Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi:
a. Kewajiban umum
b. Kewajiban terhadap penderita
c. Kewajiban terhadap teman sejawatnya
d. Kewajiban terhadap diri sendiri11
Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Harmien
Hadiati Koeswaji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban dokter dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia
miliki secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak
menjanjikan menghasilkan satu hasil tertentu, karena apa yang
dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh mungkin sesuai
dengan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dokter wajib berusaha
dengan hati-hati dan kesungguhan menjalankan tugasnya.
b. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi
dan bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah
11
diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya
seseorang yang mewakilinya.
c. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya.
Kewajiban dokter ini dalam hal perjanjian perawatan menyangkut dua
hal yang ada kaitannya dengan kewajiban pasien.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 51, kewajiban dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien tersebut meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi
Sepanjang diketahui di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, penulis hanya dapat menemui dua buah pasal yang berkaitan
dengan kewajiban dokter, yakni pasal 50 dan pasal 53 ayat (2). Pasal 50
menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian atau kewenangan tenaga
kesehatan yang bersangkutan. Dari perumusan pasal tersebut dapat diketahui
atau melakukan kegiatan kesehatan yang sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya saja. Dan selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (2) menyebutkan
Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan mematuhi hak pasien. Artinya bahwa standar profesi adalah
pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam melaksanakan profesi
secara baik. Tenaga Kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan
perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien.
Kode etik kedokteran mengandung tuntutan agar Dokter menjalankan
profesinya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Malahan tugas dokter
tidak terbatas pada pekerjaan kuratif dan preventif saja, karena dokter harus ikut
aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan. Atas hal tersebut jika
motivasi seseorang dokter dalam bekerja karena uang dan kedudukan, dokter
tersebut dapat digolongkan dalam motivasi rendah. Jika dokter cenderung untuk
bekerja sedikit dengan hasil banyak, dokter tersebut akan tergelincir untuk
melanggar kode etik dan sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya berdasarkan
pada keinginan untuk memenuhi prestasi, tanggung jawab dan tantangan dari
tugas itu sendiri, akan mudah baginya untuk menghayati dan mengamalkan kode
etik dan sumpahnya. Disamping itu dia senantiasa akan melakukan profesinya
menurut ukuran yang tertinggi, serta meningkatkan ketrampilannya sehingga
kemampuan untuk melaksanakan tugasnya tidak perlu disangsikan lagi.
3. Hak dan Kewajiban Pasien
Dalam pandangan hukum, pasien adalah subyek hukum mandiri yang
hubungan hukum yang bersifat timbal balik akan selalu mempunyai dua segi yang
isinya di satu pihak adalah hak dan di pihak lain adalah kewajiban. Dengan lain
perkataan bahwa hak pihak pertama merupakan kewajiban pihak kedua dan
sebaliknya kewajiban pihak pertama itu merupakan hak bagi pihak kedua.
Demikian juga dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya pun
terdapat hak dan kewajiban. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 52, pasien dalam menerima pelayanan
pada praktek kedokteran, mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. Menolak tindakan medis
e. Mendapatkan isi rekam medis
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 53 pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,
mempunyai kewajiban:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di dalam sarana pelayanan kesehatan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak
pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut12
a. Hak pasien atas perawatan
:
12
b. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu
c. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan
merawat pasien
d. Hak atas informasi
e. Hak untuk menolak perawatan tanpa izin
f. Hak atas rasa aman
g. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan
h. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan
i. Hak atas twenty for a day visitor rights j. Hak pasien mengenai bantuan hukum
k. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga
kesehatan atau ahlinya.
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, dikatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Bersamaan dengan hak tersebut juga
pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara
yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan
menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang
merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam
pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban memberikan informasi
c. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam
hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan
d. Kewajiban memberikan imbalan jasa
e. Kewajiban memberikan ganti rugi, apabila tindakannya merugikan
dokter atau tenaga kesehatan
Selain kewajiban yang disebutkan diatas, Pasien juga memiliki kewajiban
dalam membantu kesembuhan dirinya. Pasien-pasien juga mempunyai kewajiban
kewajiban yang oleh Jusuf Hanafiah disebutkan sebagai berikut13
a. Pasien wajib memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter.
Memang ada tuntutan bahwa dokter harus siap melayani pasien setiap :
waktu, namun alangkah baiknya bila pasien dapat berobat pada jam
kerja karena dokter adalah manusia biasa yang juga memerlukan
istirahat yang cukup. Ini diperkecualikan untuk kasus gawat darurat.
b. Memberikan informasi yang benar dengan lengkap tentang
penyakitnya. Informasi yang benar dan lengkap dari
pasien/keluarganya merupakan hal yang penting bagi dokter dalam
membantu menegakkan diagnosis penyakit.
c. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
d. Pasien berkewajiban mematuhi petunjuk dokter yang berkaitan dengan
penyakitnya baik tentang yang berkaitan dengan makan dan minum,
maupun istirahat cukup, dan sebagainya.
13
e. Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh.Dalam mengusahakan
kesembuhannya, pasien harus yakin kalau dokter akan berupaya
semaksimal mungkin di dalam mengobat dirinya.Karena itu, pasien
harus bisa bekerja sama dan kooperatif pada saat dokter akan
melakukan pemeriksaan.
f. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan, dan
pengobatan serta honorarium dokter.
4. Hubungan antara Dokter dan Pasien
Hubungan dokter dan pasien selain hubungan antara sesama manusia,
lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia.
Dalam hubungan seseorang dengan dokter maka faktor kepercayaan menjadi
salah satu dasarnya artinya pasien berhubungan dengan dokter itu, yakin bahwa
dokter tersebut dapat dan mampu membantu menyembuhkan penyakitnya.
Kepercayaan dari pesien inilah yang mengakibatkan kedudukan dokter lebih
tinggi daripada kedudukan pasien, di samping faktor keawaman pasien terhadap
profesi dokter dan faktor adanya sikap solider antar teman sejawat, serta adanya
sikap isolatif terhadap profesi lain. Hubungan antara dokter dan pasien yang
terjadi karena adanya hubungan hukum merupakan salah satu ciri transaksi
terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur
dalam KUHPerdata. Dalam praktiknya, baik hubungan antara pasien dengan
zaakwaarneming, sering menimbulkan terjadinya kesalahan atau kelalaian, dalam
hal ini jalur penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur hukum dengan
melanjutkan perkaranya ke pengadilan.
Sebenarnya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan
keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola
hubungan, yaitu :
a. Activity – passivity
Pola hubungan orang tua anak seperti ini merupakan pola klasik sejak
profesi kedokteran mulai mengenal kode etik. Disini Dokter seolah-olah
dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien
dengan suatu motivasi altruistis. Biasanya hubungan ini berlaku pada
pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau
menderita gangguan mental berat.
b. Guidance-Cooperation
Hubungan membimbing kerjasama, seperti halnya orang tua dengan
remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya
penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien
tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. Ia berusaha
c. Mutual participation
Hubungan ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya
seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis.Pasien secara
sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya.
Apabila hubungan dokter dan pasien dilihat dari sudut pandang hukum,
hubungan tersebut merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal yang
umumnya terjadi melalu suatu perjanjian atau kontrak. Dokter tidak menjanjikan
kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya agar pasien sembuh.
Apabila Dokter bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur
kelalaian serta hubungan dokter-pasien merupakan hubungan yang saling
pengertian, umumnya tidak akan ada permasalahan yang menyangkut jalur
hukum.
D. Tinjauan Umum Malapraktek Kedokteran (Medical Malpractice)
1. Definisi Malapraktek
Malapraktek berasal dari kata “mal” yang artinya salah dan “praktek” yang
artinya tindakan. Jadi secara harfiah malapraktek berarti tindakan yang salah.14
Malapraktek adalah istilah yang tidak menyenangkan. Dengan langsung
digunakan ungkapan ‘malapraktek (medis) oleh pengacara, LSM, dan pers pada
setiap kasus klinik dengan hasil yang tidak sesuai harapan, opini publik serta
14
secara apriori diarahkan, bahwa penyebab kasus tertentu adalah kesalahan dokter
dan dokter serta rumah sakit harus dituntut. Malapraktek sebenarnya adalah istilah
umum yang tidak hanya ditujukan untuk dunia medis. Dewasa ini belum ada
keseragaman mengenai istilah “malpractice”. Didalam bahasa Inggris
malapraktek disebut malpractice yang berarti wrong doing atau neglect of duty.
Sedangkan dalam bahasa Belanda malapraktek dikenal dengan istilah Kunstfout,
yang berarti tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja akan tetapi ada
unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia medis yang
mengakibatkan sesuatu yang fatal.
Di Indonesia berbagai pihak ada yang menggunakan istilah malapraktek,
malpraktek, malapraktik, malpraktik, marapraktek, perkara tindak pidana, dan
sebagainya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua terbitan Balai
Pustaka, dirumuskan bahwa malapraktek adalah praktek kedokteran yang
dilakukan salah atau tidak tepat, menyalahi Undang-Undang atau kode etik.
Istilah malapraktek juga terdapat pada Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam
Bahasa Indonesia Oleh J. S. Badudu yang diterbitkan oleh Penerbit Buku
Kompas, dimana didalamnya dirumuskan bahwa malapraktek, ialah praktek
dokter yang salah dan menyalahi undang-undang serta kode etik kedokteran.
Walau belum ada kesamaan atau keseragaman mengenai penggunaan istilah
“malpractice” namun didalam penulisan skripsi ini, penulis lebih cenderung untuk
menggunakan istilah malapraktek. Malapraktek medis adalah isu medico-legal,
tentang kerugian atau cidera yang dialami pasien dan disebabkan oleh atau terkait
Malapraktek juga dapat dikatakan suatu tindakan dokter yang tidak sesuai dengan
standard perawatan, kurang mampu atau kurang terampil, kelalaian, sehingga
secara langsung menimbulkan kerugian.
Black’s Law Dictionary, memberikan perumusan sebagai berikut:
“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practise, or illegal or immoral conduct.”
Malapraktek adalah setiap sikap-tindak yang salah, kekurangan keterampilan
dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan
terhadap sikap-tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk
memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat
ketrampilan dan kepandaian yang wajar didalam masyarakatnya oleh teman
sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau
kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh
kepercayaan kepada mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap tindak
profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang
kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk, atau ilegal atau sikap imoral.
“Malpractice is mistreatment of a disease or injury through ignorance, carelessness of criminal intent.”
Malapraktek adalah salah cara mengobati suatu penyakit atau luka, karena
disebabkan sikap-tindak yang acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi
kriminal.
Coughlin’s Dictionary of Law:
“Professional misconduct on the part of a professional person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian.
Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrongdoing; or unethical practice.”
Malapraktek adalah sikap-tindak profesioanal yang salah dari seorang yang
berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan.
Malapraktek bisa diakibatkan karena sikap-tindak yang bersifat tak pedulian,
kelalaian. Atau kekurangan ketrampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanaan
kewajiban profesionalnya; tindakan yang salah yang sengaja atau praktek yang
bersifat tidak etis.
The Oxford Illustrated Dictionary, 2nd edition, 1975:
Malapraktek = sikap-tindak yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap
pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang ilegal untuk
memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.15
a. Dalam arti umum, malapraktek merupakan suatu praktek (khususnya
praktek dokter)yang buruk dan tidak memenuhi standar yang telah
dilakukan oleh profesi.
Malapraktek menurut Ninik Mariyanti, SH, Definisi malapraktek
mempunyai arti yang luas, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
b. Dalam arti khusus, dilihat dari pasien malapraktek dapat terjadi dalam:
1) Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag tapi
ternyata pasien sakit lever.
2) Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata
sebelah kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri.
3) Selama menjalankan perawatan.
4) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah
ditentukan.16
Malapraktek menurut Dr. Kartono Mohammad merupakan “kelalaian
tindakan dokter yang berakibat kerusakan fifik, mental, atau finansial pada
15
J. Guwandi, S.H., Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004, hlm. 22-24.
16
pasien”.17 Selain definisi-definisi dari para pakar diatas, DR. Veronica
Komalawati,SH.MH juga memberikan pengertian mengenai malapraktek yang
berasal dari “malpractice” yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam
menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban
yang harus dilakukan dokter. Beliau juga memberikan pengertian bahwa medical
mapractice atau kesalahan profesional dokter adalah kesalahan dalam
menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam
menjalankan profesinya18. Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical
Malpractice diartikan sebagai kesalahan dalam melaksanakan profesi medis
berdasarkan standar profesi medis. Dengan banyaknya kasus malpraktek yang
terjadi, barangkali menandakan bahwa aparat kesehatan masih kurang profesional.
Atau merupakan bukti bahwa pelayanan kesehatan masih belum memadai19
2. Jenis-jenis Malapraktek Medik
.
Dari berbagai definisi malapraktek diatas, kegagalan medis dapat
menimbulkan akibat negatif. Di Indonesia, tindakan malapraktek dokter sering
terjadi, yang sebagian besarnya tidak sampai diketahui masyarakat karena
umumnya tindakan malapraktek tersebut tidak sampai ke permukaan. Sehingga di
17
Dr. Kartono Mohammad, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran, Jakarta, Makalah dari Simposium Kedokteran, diselenggarakan oleh BPHN Departeman Kehakiman kerjasama dengan IDI, 6-7 Juni 1983, hlm.3.
18
Dr. Hj. Anny Isfandyarie Sp. An. SH, Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Op.cit., hlm.20 & 22.
19
Indonesia sangat jarang adanya kasus malpraktek dokter yang sampai ke
pengadilan. Berbeda halnya di negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika
Serikat. Disana, sungguhpun kemampuan, profesionalisme, dan peralatan
kedokteran relatif cukup canggih, tetapi sangat banyak pula pasien yang tidak
puas yang pada akhirnya menggugat dokter ke pengadilan dengan tuduhan
malapraktek tersebut.
Malapraktek dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malpraktek etika
dan malapraktek yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum20
a. Malapraktek Etik
:
Yang dimaksud dengan malapraktek etik adalah dokter melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan Etika
Kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat
standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Malapraktek ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi, yang
bertujuan memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan
membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan cepat,
lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,
ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Contoh konkritnya
adalah di bidang diagnostik, misalnya pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau
memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji
untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya,
20
maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
Dan di bidang terapi, seperti kita ketahui berbagai perusahaan yang
menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan
diperoleh dokter bila mau mengunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa
mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.
Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu
digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan
indikasi medisnya, mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk
dihormati, mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan
terhadap mutu kehidupan pasien. Yang terakhir adalah, mempertimbangkan
hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi pasien, misalnya, aspek
sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya.21
b. Malapraktek Yuridik
Dalam malapraktek yuridik ini Soedjatmiko membedakannya
menjadi tiga bentuk, yaitu22
1) Malapraktek Perdata (Civil Malpractice) :
Malapraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang
menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian didalam transaksi
terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya
21
Ibid, hlm.32-33. 22
perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada
pasien. Untuk perbuatan atau tindakan yang melawan hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat, seperti harus adanya suatu perbuatan (baik
berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut melanggar hukum (baik
tertulis atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada hubungan sebab
akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
Sedangkan untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian
dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya 4 (empat) unsur,
yaitu:
a) Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien
b) Dokter telah melanggar standard pelayanan medik yang lazim
dipergunakan
c) Pengugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan
ganti ruginya
d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah
standard.
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan
adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang
berbunyi “Res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya
karena kelalaian dokter, terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut
sang pasien. Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul
Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan tidak ada
kelalaian pada dirinya.
2) Malapraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Malapraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang
hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap
pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
a) Malapraktek pidana karena kesengajaan, misalnya, pada
kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan
pada kasus gawat padahal diketahui tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak
benar.
b) Malapraktek pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan standard profesi serta mlakukan
tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c) Malapraktek pidana karena kealpaan, misalnya, terjadi cacat atau
kematian terhadap pasien sebagai akibat tidakan dokter yang
kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi
didalam rongga tubuh pasien.
Malapraktek administratif terjadi apabila dokter atau tenaga
kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi
negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa izin
praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan izinnya,
menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan
praktek tanpa membuat catatan medik.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum
normatif dan yuridis sosiologis. Pada penelitian hukum normatif penulis
sepenuhnya menggunakan data sekunder, dimana memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, yaitu bahan- bahan hukum yang mengikat. Bagi
suatu penelitian hukum normatif yang mempergunakan data sekunder sebagai
sumbernya, tata cara sampling tidak perlu dilakukan. Pada penelitian hukum
normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data
sekunder yang ada dalam keadaan siap terbuat, bentuk dan isinya telah disusun
peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu atau tempat.
Penulis dalam menggunakan metode penelitian normatif, melakukan penelitian
literatur, penulis berusaha membandingkan kasus dengan peraturan
perundang-undangan yang ada serta berlaku, dan juga temuan penelitian lapangan.
Sedangkan metode penelitian yuridis sosiologis, melihat hukum tampak dalam
kenyataan dimasyarakat, melihat efektivitas hukum yang sedang berlaku
2. Metode penelitian kepustakaan (Library research)
Dengan metode ini, penelitian diadakan melalui perpustakaan, dengan
mencari bahan, data yang dibutuhkan berupa buku, artikel-artikel, surat
kabar dan majalah, pendapat para sarjana, hasil simposium dan seminar
yang berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas. Bahan-bahan
data tersebut lalu dikumpulkan untuk dijadikan sumber dan dasar
pembahasan masalah.
Dalam penelitian kepustakaan ada 3 (tiga) macam bahan hukum, yaitu:
a. Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan hukum mengikat kepada masyarakat, misalnya adalah
norma dasar, peraturan perundang-undangan, kasus-kasus
malapraktek yang telah masuk ke meja hijau. Bahan hukum primer
bentuk perundang-undangan yang akan dipakai dan dijelaskan
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khususnya
pasal-pasal yang menyangkut tentang jenis-jenis tindak pidana yang
dilakukan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik
Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf, Keputusan
Presiden dan peraturan yang setaraf, dan Keputusan Menteri dan
peraturan yang setaraf, dan juga Peraturan daerah yang berlaku.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang isinya
menjelaskan menhenai bahan hukum primer, misalnya adalah
tulis yang isinya berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam
skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan penunjang yang
menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
misalnya kamus hukum, ensiklopedia, indeks majalah hukum dan
lain-lain.
3. Metode penelitian lapangan (Field Research)