• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Malapraktek Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Malapraktek Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Di Indonesia"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN

MALAPRAKTEK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK

KEDOKTERAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

CAESARIO INDRA NUGRAHA

NIM : 050200025

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN

MALAPRAKTEK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK

KEDOKTERAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Oleh :

CAESARIO INDRA NUGRAHA

NIM : 050200025

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

KETUA DEPARTEMEN

MUHAMMAD HAMDAN,SH.MH.

NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I

LIZA MARLINA,SH.M.Hum

NIP. 196110241989032002

Dosen Pembimbing II

DR.MARLINA,SH.M.Hum

NIP. 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN

MALAPRAKTEK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK KEDOKTERAN DI INDONESIA

ABSTRAKSI

CAESARIO INDRA NUGRAHA

*

)

LIZA ERWINA,SH.M.Hum.

**

)

DR. MARLINA,SH.M.Hum

***

)

Maraknya kasus dugaan malapraktek kedokteran di Indonesia terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat untuk menuntut keadilan dan juga menuntut hak-haknya sebagai pasien. Malapraktek kedokteran adalah merupakan suatu bentuk kejahatan yang juga dapat dipidanakan. Malapraktek merupakan suatu tindakan medis yang melanggar standar prosedur. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai menimbulkan kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan, bahkan merenggut nyawa orang lain, maka diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal. Secara keseluruhan Hukum positif (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia kurang relevan untuk menaungi atau menjadi payung hukum tindakan malapraktek. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, yang diharapkan dapat mengatur tindak malapraktek kedokteran.Tetapi kenyataannya tidak dapat mengakomodir berbagai hal tentang malapraktek serta belum efektif dalam menyelesaikan kasus malapraktek kedokteran. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menganggulangi kasus-kasus malapraktek di Indonesia adalah dengan membentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bersifat independen dimana hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

_____________________

CAESARIO INDRA NUGRAHA*)

LIZA ERWINA,SH.M.Hum.**) Staf Pengajar/Sekretaris Depertemen Fakultas Hukum USU, Dosen Pembimbing I

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena hanya

dengan rahmat serta karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat

pada waktunya.

Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Pidana Terhadap

Kejahatan Malapraktek dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktek Kedokteran di Indonesia”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian

dari syarat-syarat guna Memenuhiu persyaratan mencapai gelar Sarajana Hukum

di Fakultas Hukum Sumatra Utara.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan,

namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan

yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

setulus-tulusnya kepada:

1. Allah SWT karena hanya dengan rahmat serta karunia-Nyalah penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

2. Teristimewa kepada Kedua Orang Tua, Terima kasih atas cinta kasih

sayangnya yang tak terbatas, doa-doa yang tak pernah putus, motivasi yang

selalu membangun, bantuan moriil dan materi yang takkan mungkin

terbalaskan

3. Bapak Prof.Dr Runtung,SH,M.Hum selaku Dekan fakultas hukum Universitas

(5)

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,.M,Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Syafrudin Sulung Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku pembantu II Dekan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapaka Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera

7. Bapak Muhammad hamdan, SH, M,Hum Selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Universitas Sumatera Utara

8. Ibu Liza erwina SH, M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana

sekaligus Dosen Pembimbing I, yang telah memberi banyak arahan,

bimbingan dan masukan bagi penulis.

9. Ibu Dr Marlina SH, M.Hum , selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis

10.Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih

telah membagi ilmu pengetahuannnya kepada penulis.

11.Segenap karyawan serta karyawati Sekretariat Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

12..Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, atas segala bantuannya kepada penulis.

13.Special to : Kartika Pratidina thank you so much for everything…your support

and strength trough the good and the bad times

14.Kakak Senior Liza Fauzia yang selalu membantu, dan memberikan dorongan

(6)

15.Sahabat-sahabat yang selalu membantu dan mendampingi penulis dalam suka

dan duka. “

16.Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2005,

yang selanjutnya penulis harapkan persahabatan ini tidak akan berakhir

sampai akhir usia kita dan kalian dapat menjadi pembesar-pembesar Negeri

ini. amin.

17.Bang Rahman yang juga banyak membantu dalam menyelsaikan segala

urusan tentang kampus selagi saya mengerjakan karya tulis ini.

18.Berbagai pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa pembahasan dalam

skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi maupun dari tata

bahasanya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi

siapa saja yang memerlukannya, semoga Tuhan yang maha Esa, selalu

memberikan kasih dan Karunianya kepada kita semua. Amin

Medan, April 2011

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Abstraksi ... iv

Daftar Isi ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

A.Definisi Hukum dan Norma-norma Sosial ... 9

B. Definisi Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran ... 11

C. Definisi Dokter dan Pasien ... 14

1. Definisi dokter dan Pasien ... 14

2. Hak dan Kewajiban Dokter ... 16

3. Hak dan Kewajiban Pasien ... 20

4. Hubungan Antara Dokter dan Pasien ... 23

D. Tinjauan Umum Malapraktek Kedokteran (Medical MalApraktek) ... 25

1. Definisi Malapraktek ... 25

2. Jenis-Jenis Malapraktek Medik ... 29

F. Metode Penelitian ... 32

G. Sistematika Laporan Hasil Penelitian ... 34

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK DI INDONESIA ... 37

(8)

2. Malapraktek Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor. 29

Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran ... 44

3. Malapraktek Kedokteran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan ... 47

BAB III INFORMED CONSENT DAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS MALAPRAKTEK KEDOKTERAN DI INDONESIA ... 50

A. Tinjauan Umum Informed Consent ... 50

1. Pengertian Informed Consent ... 51

2. Aspek Hukum Pidanan Atas Informed Consent ... 54

3. Informed Consent Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran ... 55

B. Pembuktian Dalam Kasus Malapraktek Di Indonesia ... 56

1. Barang Bukti Dalam Proses Pembuktian ... 56

2. Alat Bukti Dalam Prosos Pembuktian ... 57

C. Kronologis Kasus Malapraktek Di Indonesia ... 60

D. Data Kasus Malapraktek Di Indonesia ... 63

E. Penanganan Terhadap Kasus Malapraktek Di Indonesia ... 65

BAB IV PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 72

B. Saran-Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

I. Surat Keterangan

II. Putusan

III. Peraturan Perundang-undangan

(9)

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN

MALAPRAKTEK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK KEDOKTERAN DI INDONESIA

ABSTRAKSI

CAESARIO INDRA NUGRAHA

*

)

LIZA ERWINA,SH.M.Hum.

**

)

DR. MARLINA,SH.M.Hum

***

)

Maraknya kasus dugaan malapraktek kedokteran di Indonesia terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat untuk menuntut keadilan dan juga menuntut hak-haknya sebagai pasien. Malapraktek kedokteran adalah merupakan suatu bentuk kejahatan yang juga dapat dipidanakan. Malapraktek merupakan suatu tindakan medis yang melanggar standar prosedur. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai menimbulkan kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan, bahkan merenggut nyawa orang lain, maka diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal. Secara keseluruhan Hukum positif (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia kurang relevan untuk menaungi atau menjadi payung hukum tindakan malapraktek. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, yang diharapkan dapat mengatur tindak malapraktek kedokteran.Tetapi kenyataannya tidak dapat mengakomodir berbagai hal tentang malapraktek serta belum efektif dalam menyelesaikan kasus malapraktek kedokteran. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menganggulangi kasus-kasus malapraktek di Indonesia adalah dengan membentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bersifat independen dimana hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

_____________________

CAESARIO INDRA NUGRAHA*)

LIZA ERWINA,SH.M.Hum.**) Staf Pengajar/Sekretaris Depertemen Fakultas Hukum USU, Dosen Pembimbing I

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai naluri untuk selalu berhubungan

dengan sesamanya semenjak ia dilahirkan. Hubungan ini juga merupakan suatu

kebutuhan bagi setiap manusia, oleh karena itu dengan berhubungan dengan

sesamanya maka ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Selain itu

berhubungan dengan sesamanya juga menunjukkan bahwa manusia itu merupakan

makhluk sosial di samping kedudukannya sebagai makhluk individu. Segala

keterbatasan, kekurangan serta kelemahan yang ada pada manusia juga

menghendaki ia untuk selalu berhubungan dengan orang lain.

Keadaan sakit merupakan contoh bahwa manusia (penderita) dalam

keadaan lemah, kekurangan (sakit) sehingga pada saat itu ia membutuhkan

seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan yang

utama bagi orang itu adalah kebutuhan akan adanya orang lain yang dapat

membantu menyembuhkan penyakitnya. Orang yang dimaksud itu adalah dokter.

Menurut Prof Dr. H.J.J Leenen, hukum kesehatan adalah suatu bidang hukum

yang mencakup seluruh aturan hukum yang berhubungan langsung dengan bidang

pemeliharaan kesehatan/ pelayanan kesehatan dan penetapan dari hukum perdata,

hukum administrasi dan hukum pidana dalam hubungan tersebut. Sedangkan

Hukum Kedokteran dalam arti luas yakni medical law yaitu ketentuan-ketentuan

(11)

medis dan para medis lainnya. Hukum Kedokteran dalam arti sempit yaitu

ketentuan-ketentuan hukum yang hanya berkaitan dengan profesi dokter saja, dan

biasa disebut dengan Hukum Profesi Dokter1

1

Husein Kerbala,SH, Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.24.

.

Pada zaman sekarang ini hampir tidak ada satu pun bidang kehidupan

masyarakat yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai keadaan maupun

sebagai perilaku yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai keadaan maupun

sebagai perilaku yang unik dan teratur. Hal ini disebabkan manusia mempunyai

hasrat untuk hidup teratur. Hukum juga kini telah menjamah bidang pelayanan

kesehatan dalam bentuk spesialisasinya yaitu hukum kesehatan maupun hukum

kedokteran. Masuknya disiplin hukum dalam bidang kesehatan terutama dalam

menyelesaikan pesoalan-persolan hukum yang timbul dari praktek profesi tenaga

kesehatan, khususnya profesi dokter, yang telah menimbulkan dua pandangan

yang saling bertentangan.

Pandangan pertama berpendapat bahwa profesi kedokteran harus dibiarkan

bebas untuk mengatur dirinya. Tidak ada kewenangan dari luar kalangan profesi

kedokteran untuk turut campur menangani profesi kedokteran ini.

Profesi kedokteran telah mempunyai kode etik kedokteran sendiri yang berisi

aturan-aturan perilaku yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang

dokter dalam hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan teman sejawat,

hubungan dengan pasien, sehingga tidak diperlukan lagi campur tangan dari luar

(12)

Kelompok ini juga berpendapat bahwa apabila hukum mengharuskan dokter

bertindak berdasarkan kaedah-kaedah hukum maka dikhawatirkan bahwa dokter

menjalankan kewajiban-kewajibannya karena takut akan sanksi hukum belaka

bukan karena kesadaran dan tanggung jawab moralnya. Dan suatu sikap saling

percaya antara dokter dan pasien akan lebih besar kemungkinan berkembang

berdasarkan moralitas daripada hubungan yang hanya diatur oleh

ketentuan-ketentuan hukum saja2

Sebaliknya pandangan kedua berpendapat bahwa dokter tidak dapat

dibiarkan bebas mengatur dan menentukan yang terbaik dalam hubungannya

dengan pasien. Harus dibuat suatu ketentuan-ketentuan hukum yang dapat

mengatur hak-hak dan kewajiban pasien maupun dokter. Sehingga diharapkan

adanya keserasian antara dua kepentingan yang berbeda antara dokter dan pasien .

3

2

Ibid, hlm.22. 3

Ibid, hlm. 23.

.

Bahwa tidaklah adil dan tidak tepat bila dokter diberikan hak sepenuhnya untuk

menentukan atau memutuskan masalah yang berhubungan dengan hidup atau

matinya orang lain yaitu pasien tanpa adanya campur tangan dari yang

berkepentingan yaitu pasien dan atau keluarga pasien. Ada juga dokter junior

yang menggunakan izin praktek dokter senior dalam memberikan tindakan medis

kepada pasien. Ini jelas melakukan praktek tanpa izin.

Dalam praktek kedokteran, mungkin saja terjadi adanya suatu pelanggaran

disiplin. Jadi ada penilaian khusus, yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan

(13)

Disiplin artinya, majelis yang melakukan suatu penelitian apakah suatu ilmu

dilakukan dengan betul oleh para dokter . Jika ada penyimpangan dari

penggunaan ilmu tersebut disengaja atau tidak, atau berada di luar garis-garis

standar yang sudah di gariskan, mungkin terjadi suatu penyimpangan yang

kemudian bisa dinilai sebagai suatu pelanggaran disiplin. Walaupun pelanggaran

disiplin sendiri definisnya lebih dari sekedar penyimpangan dari standar.

Pelanggaran disiplin bisa saja terjadi pada pekerjaan apapun, apakah dokter,

akuntan, insinyur, bisa saja terjadi kesalahan yang namanya human error

(kesalahan karena kesalahan manusia). Tapi seberapa besar kesalahan manusia,

itu harus jelas pembuktian dan sanksinya. Pelanggaran disiplin tersebut karena

adanya suatu kesenjangan dalam pemberian informasi kepada pasien, sehingga

pasien tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang sakitnya, serta

upaya-upaya apa yang dilakukan terhadap dirinya dan kemungkinan berhasil atau

tidak upaya-upaya itu. Kesenjangan ini jika tidak dijembatani, akan terjadi

ketidakpuasan dan menuju ke suatu penuntutan pelanggaran kedisiplinan. Tidak

ada standar pelayanan kedokteran yang legal. Standar prosedur operasi yang

adapun tidak seragam. Banyak rumah sakit di Indonesia menerbitkan standar

berbeda dengan rumah sakit lainnya. Sehingga, pembuktian malapraktek tentu

saja semakin sulit jika pasien berpindah-pindah rumah sakit. Padahal dugaan

malapraktek bisa saja timbul karena dokter tidak sepenuhnya menerapkan

informed consent, yaitu suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat

informasi. Artinya, dokter tidak menceritakan secara panjang lebar mengenai

(14)

mendapatkan haknya. Jangankan tahu prosedur bedah dan pengobatan banyak

pasien keluar dari ruang dokter tidak tahu diagnosisnya. Pasien pun terpaksa

menandatangani surat persetujuan karena ingin cepat sembuh. Seharusnya dokter

menemui pasien dan menceritakan semua informasi tersebut.

Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran. Dalam kasus malapraktek, dokter bisa diajukan ke meja hijau. Tetapi

di Indonesia, Undang-Undang Praktek Kedokteran justru diarahkan untuk

membuat profesi dokter jadi lebih spesial di depan hukum. Mengenai kasus

malapraktek yang sering terjadi di Indonesia, banyak mengakibatkan pasien tewas

di tangan dokter. Karena di Indonesia belum ada standarisasi .Sehingga sulit

membedakan malapraktek dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan.

Pemahaman malapraktek pun belum seragam. Sehingga kerap pasien menuding

terjadi malapraktek, tapi dokter membantahnya. Untuk Kasus-kasus malapraktek

di Indonesia, korban haknya sering tidak diperhatikan. Kesalahan dokter

seringkali dibela, karena dalam pembuktian, saksi ahlinya adalah seorang dokter

juga.

Saat ini banyak terjadi kasus kedokteran yang disalahgunakan oleh profesi

seorang Dokter. Banyak pasien yang mengalami kasus malapraktek. Hari demi

hari, pengaduan kasus malapraktek di berbagai rumah sakit bermunculan . Ini

dipicu oleh kualitas pelayanan kesehatan yang dirasa semakin merugikan pasien.

Permasalahan malapraktek di Indonesia kini sudah sangat mengkhawatirkan dan

(15)

disinyalirkan adanya dokter yang melakukan praktek tanpa memiliki izin. Dengan

kasus malapraktek yang menyebabkan berjatuhan korban-korban yang tidak

berdosa. Untuk itu penulis berusaha mengangkat dan melakukan penelitian

hukum dalam penulisan hukum ini, yang berjudul tinjauan hukum pidana terhadap

kejahatan malapraktek dalam undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang

Praktek Kedokteran di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka perumusan masalahnya adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pengaturan tentang malapraktek dalam praktek kedokteran

menurut hukum pidana Indonesia?

2. Apakah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran dapat digunakan secara efektif untuk menangani kasus-kasus

malapraktek yang terjadi di Indonesia khususnya untuk melindungi korban

malapraktek?

3. Upaya apa saja yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi

kasus-kasus malapraktek di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui segala pengaturan tentang malapraktek dalam praktek

(16)

mana hukum pidana Indonesia dapat diterapkan terhadap kejahatan

malapraktek kedokteran.

2. Untuk mengetahui sejauh mana Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktek Kedokteran dapat mengatasi permasalahan malapraktek,

bahwa seyogyanya undang-undang tersebut tidak hanya melindungi para

profesional saja, khususnya dokter, tetapi juga para pasien yang terkadang

buta akan ilmu kedokteran.

3. Untuk mengetahui segala upaya yang di lakukan pemerintah dalam hal

penanggulangan kasus-kasus malapraktek di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi ini didasarkan oleh ide dan gagasan maupun pemikiran

penulis secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penelusuran di

perpustakaan USU , penulisan mengenai Malapraktek dalam Undang –

undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran di Indonesia belum

pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama karena itu

keaslian penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan walaupun ada pendapat

atau kutipan dalam penulisan ini sematta – mata adalah sebagai faktor

penolong dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan

(17)

E.. Tinjauan Kepustakaan

Pada hakekatnya manusia memiliki naluri dalam berhubungan dengan

sesamanya. Oleh sebab itulah manusia seringkali disebut sebagai mahluk sosial.

Karena didalam kehidupannya setiap manusia selalu saling membutuhkan satu

dengan yang lain, dan juga saling berinteraksi dengan sesamanya. Segala

keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang ada di dalam diri manusia

memaksa mereka untuk selalu berhubungan dengan orang lain. Seperti yang kita

ketahui bersama bahwa tidak ada seorangpun yang dilahirkan sempurna, Tuhan

memberikan suatu kekurangan atau suatu keadaan yang membuat kita sebagai

seorang manusia merasa lemah baik dalam segi fisik maupun mental. Hal tersebut

dapat juga berarti kita ada dalam keadaan sakit. Keadaan sakit seorang manusia

bukan hanya dikarenakan oleh bawaan lahir atau seringkali dikatakan cacat lahir

ataupun penyakit bawaan sejak lahir, tetapi didalam suatu kehidupan, dengan

melihat faktor sekitar dimana manusia tersebut hidup, baik faktor cuaca, makanan,

keadaan lingkungan yang kurang baik terlebih lagi buruk, atau oleh karena gaya

hidup manusia itu sendiri, maka kita sebagai manusia dapat terkena penyakit

karena berbagai faktor tersebut. Misalkan penyakit demam berdarah yang sering

disebabkan oleh karena faktor lingkungan yang kurang terjaga kebersihannya,

seperti air didalam bak mandi yang tidak pernah dikuras sehingga banyak

jentik-jentik nyamuk aedes aegypty didalamnya. Pada saat sakit seperti itulah manusia

membutuhkan pertolongan dari manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhannya

agar dapat pulih kembali dari sakit yang dideritanya, dan juga mengobati rasa

(18)

penyembuhan atau pemulihan bagi penderita penyakit, dalam ruang lingkup medis

biasa kita sebut dengan sebutan dokter. Pada saat ini ada berbagai pihak yang

melakukan proses pengobatan tidak dengan menggunakan jasa seorang dokter,

dimana hal itu seringkali disebut dengan pengobatan alternatif. Dengan melalui

pengobatan alternatif itu, maka proses pengobatan tidak dilakukan didalam jalur

medis.

Seorang dokter memiliki peranan yang sangat penting dan juga menempati

posisi teratas didalam hal kesehatan, baik pada tahap pemeriksaan, diagnosa,

pengobatan suatu penyakit sampai ketahap pemulihan, serta pemeliharaan

kesehatan. Pada sebagian masyarakat peran seorang dokter terkadang dianggap

lebih tinggi dan mendapat suatu penghormatan yang lebih bila dibandingkan

dengan profesi lain, dengan kata lain profesi dokter memiliki nilai social yang

tinggi. Hal ini terjadi karena pada sejarah terjadinya pengobatan, dokter

diidentikkan dengan dewa penyembuh yang diagung-agungkan oleh masyarakat

laksana dewa penyelamat karena kemampuannya mengetahui hal yang tidak

tampak dari luar. Dengan kemampuannya itu dokter dapat menyembuhkan

penyakit yang diderita oleh pasiennya. Walaupun sebenarnya dokter dapat berbuat

hal demikian tidaklah dengan cara yang sembarang, melainkan hal tersebut

didapatkan dari proses pembelajaran dan pelatihan atas kurikulum pendidikan

kedokteran yang ditekuninya sehingga memberikan kesempatan untuk

menjadikan seseorang agar memiliki pengetahuan dan ketrampilan dibidang sains

tekhnologi kedokteran. Padahal dokter dan ilmu kedokteran masih sangat terbatas

(19)

penyakit yang diderita oleh manusia. Selain itu pula pengobatan dokter sangat

tergantung dari tekhnologi yang mahal dalam memecahkan masalah kesehatan

walau terkadang kurang efektif.

Seorang dokter memiliki fungsi sosial untuk melayani masyarakat umum

atau pasien yang datang kepadanya dengan keahlian yang dimilikinya. Hal

tersebut berkaitan agar terpenuhinya kepentingan dari masyarakat untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu. Dalam hubungan

sosial tersebut, manusia dibatasi dengan nilai-nilai yang mengatur sikap dan

tingkah laku mereka, yang bertujuan agar terjadi keseimbangan antara

masing-masing kepentingan. Hubungan antara dokter dan pasien ditandai dengan

beberapa prinsip-prinsip yang utama, yaitu:

1. Berbuat baik, yaitu tidak melakukan sesuatu yang merugikan. Dalam

berbuat baik ini dokter dituntut untuk rela berkorban walaupun dia sendiri

mengalami kesulitan. Seorang dokter harus lebih mementingkan nyawa

orang lain daripada nyawanya sendiri.

2. Keadilan, yaitu memberikan perlakuan yang sama, tanpa memandang jasa,

kekayaan, status sosial dan kemampuan membayar dari pasiennya.

3. Otonomi, yaitu hak atas perlindungan privacy pasiennya.

A. Definisi Hukum Dan Norma-Norma Sosial

Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia bermacam-macam corak,

(20)

penilaian. Jenis-jenis ketentuan itu berbeda dalam berbagai hal dan akan kelihatan

nyata jika suatu ketentuan dilanggar oleh manusia. Jikalau suatu ketentuan

kesopanan atau kesusilaan tidak diindahkan oleh seseorang, maka sanksinya

hanya dikenakan oleh orang yang ada hubungan langsung dengan pelanggarnya

dan sifat sanksi itu ringan. Berlainan halnya dengan ketentuan hukum. Setiap

ketentuan hukum fungsinya mencapai tata tertib antar hubungan manusia didalam

hubungan sosial. Hukum sebagai suatu sistem hukum mempunyai bentuk-bentuk

sistematikanya sendiri berdasarkan hasil pemikiran dalam pembentukan sistem

itu. Hukum berasal dari kata bahasa belanda “recht orde”, ialah susunan hukum,

artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum4

Terdapat dua fungsi dari hukum, yaitu perlindungan dan kepastian bagi mereka

yang melaksanakan kewajibannya dalam dengan pihak lain. Hukum kegunaannya

adalah untuk menciptakan dan memelihara kedamaian, dan juga untuk mencegah

dan menindak ketidakdamaian hidup antar pribadi serta lingkungan sekitarnya. .

Yang dimaksud dengan peraturan hukum, adalah peraturan yang berisi

tentang kumpulan kaidah-kaidah hukum. Dan yang dimaksud dengan peraturan

non hukum adalah peraturan yang berisi tentang kumpulan kaidah-kaidah non

hukum. Hukum positif sebagai aturan hukum yang ketentuan-ketentuannya

berlaku disuatu saat, waktu, dan tempat tertentu, ditaati oleh manusia dalam

pergaulan hidup selama timbulnya ketentuan itu berdasarkan kesadaran hukum

masyarakat disamping cara yang digunakan oleh pergaulan hidup itu untuk

mencapai keadilan.

4

(21)

Sesuai dengan tujuan dan fungsinya untuk mencapai tata tertib demi keadilan

serta kepastian hukum, maka aturan-aturan hukum akan berkembang sejalan

dengan perkembangan pergaulan hidup manusia. Dalam bidang Hukum

Kedokteran yang sangat terkait dengan fungsi hukum, yaitu perlindungan dan

kepastian hukum. Hukum Kedokteran akan membahas hubungan dokter dengan

pasien, dimana dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada pasien,

sedangkan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh

dokter5

1. Berdasarkan persetujuan .

Dalam upaya pelayanan medis, timbulnya suatu hubungan hukum antara

dokter dan pasien. Dengan timbulnya suatu perikatan medis tersebut dapat terjadi

melalui dua bentuk, yaitu:

Hubungan hukum antara dokter-pasien berdasarkan perjanjian timbul pada

saat si pasien tersebut datang ketempat praktek dokter atau ke rumah sakit,

lalu meminta pelayanan medis, kemudian sang dokter langsung melakukan

pemeriksaan . Pada saat itulah sang dokter harus berupaya untuk dapat

menyembuhkan pasiennya.Tetapi seorang dokter

juga tidak akan menjamin 100% bahwa pasien tersebut akan sembuh total,

sebab banyak faktor yang akan mempengaruhi hasil usaha dokter tersebut.

2. Berdasarkan Undang-Undang

Berdasarkan Undang-Undang, apabila ada pasien gawat membutuhkan

pertolongan dokter sesegera mungkin yang jika tidak diberi pertolongan

5

(22)

nyawanya akan melayang. Dalam keadaan ini, Undang-Undang

mewajibkan seorang dokter untuk segera melakukan pertolongan baik

dengan maupun tanpa persetujuan pasiennya.

Selain dari segi hubungan hukum antara dokter-pasien, manusia juga

dibatasi oleh norma-norma sosial yang mengatur sikap dan tingkah laku mereka,

yang bertujuan agar terjadi keseimbangan antara masing-masing kepentingan di

dalam masyarakat. Norma ini merupakan aturan atau kaidah yang dipakai sebagai

tolak ukur untuk menilai sesuatu. Ada tiga macam norma sosial yang dapat

dijadikan pedoman untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu:

1. Norma Kesopanan, merupakan aturan yang memberikan pedoman

terhadap perilaku manusia tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang

tidak boleh dilakukan di dalam berinteraksi antar sesama dalam bentuk

perilaku sopan santun.

2. Norma hukum, merupakan peraturan yang dibuat secara resmi oleh Negara

yang mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat

Negara sehingga kaidah hukum dapat selalu dipertahankan berlakunya.

3. Norma moral atau etika, lebih mengatur tentang cara suatu perbuatan

harus dilakukan, sedang etika mengatur perbuatannya sendiri dan berlaku

secara umum, kapanpun dan dimanapun.

Dari norma-norma sosial diatas dapat dikatakan dokter sebagai seseorang

yang professional dibidangnya berkewajiban menyarankan kepada pasien untuk

(23)

B. Definisi Hukum Kesehatan Dan Hukum Kedokteran

Sejak berdirinya republik ini, pemerintah telah menerbitkan berbagai

peraturan dan ketentuan hukum dalam bidang kesehatan agar pelayanan dan

pemeliharaan kesehatan dapat berjalan dengan baik. Pemerintah menyadari rakyat

yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil dan

makmur. Peraturan dan ketentuan hukum ini tidak saja di bidang kedokteran,

tetapi mencakup seluruh bidang kesehatan seperti farmasi, obat-obatan, rumah

sakit, kesehatan jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan

lingkungan. Sampai sekarang sudah ada puluhan peraturan perundang-undangan

dibidang kesehatan yang diterbitkan pemerintah. Kumpulan peraturan-peraturan

dan ketentuan hukum inilah yang dimaksud dengan Hukum Kesehatan. Indonesia

telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Undang-Undang ini merupakan salah satu usaha pemerintah dalam mencapai

derajat kesehatan yang lebih baik bagi seluruh anggota masyarakat. Seperti

disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Kesehatan, bahwa Kesehatan adalah

keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang

hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Dilihat dari kacamata hukum, hubungan antara dokter-pasien termasuk

dalam ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan sebagai perjanjian karena

adanya kesanggupan dari dokter untuk menyembuhkan pasiennya. Dilihat dari

sudut hukum pidana, persoalan yang menjadi benang merah antara hukum

(24)

PERHUKI organisasi yang menghimpun mereka yang mempunyai kaitan dengan

hubungan kesehatan, semula pada waktu berdirinya bernama PERHIMPUNAN

untuk HUKUM KEDOKTERAN INDONESIA. Dengan berbagai pertimbangan,

nama yang sekarang adalah Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia.

Anggaran Dasar PERHUKI menyebutkan:

“Yang dimaksud dengan Hukum Kesehatan adalah semua yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban sebagai penerima pelayanan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medis nasional/internasional,hukum di bidang kesehatan, jurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang kesehatan-kedokteran”.6

“ Hukum Kesehatan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban, baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu atau masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspeknya yaitu aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan diperhatikan pula aspek organisasi dan sarana.Pedoman-pedoman medis international, hukum kebiasaan dan hukum otonom di bidang kesehatan, ilmu pengetahuan dan literature medis merupakan pula sumber hukum kesehatan”.

Rumusan Tim Pengkajian Hukum Kesehatan BPHN Depkeh RI menyebutkan:

7

Hukum Kedokteran, sebagai bagian dari hukum kesehatan yang

terpenting, meliputi ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan medis.

Hukum Kedokteran disebut juga hukum kesehatan dalam arti sempit. Apabila

objek hukum Kesehatan adalah pelayanan kesehatan maka objek hukum

kedokteran adalah pelayanan medis. Hukum Kedokteran dianggap bagian

6

Dr. Danny Wiradharma, S.H., M.S. Jm., Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Binarupa Aksara, 1996, hlm.33.

7

(25)

terpenting dari hukum kesehatan karena hampir selalu terdapat persinggungan

atau daerah-daerah kelabu antara hukum kedokteran dengan bidang-bidang

hukum lainnya. Hukum Kedokteran sendiri, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Hukum Kedokteran dalam arti luas yaitu medical law yaitu

ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut bidang medis baik profesi medis

dokter maupun tenaga medis dan para medis lainnya.

2. Hukum Kedokteran dalam arti sempit yaitu artzrecht yaitu

ketentuan-ketentuan hukum yang hanya berkaitan dengan perofesi dokter saja, dan

biasa disebut dengan Hukum Profesi Dokter.

Hukum Kedokteran sebagai suatu bentuk spesialisasi dari ilmu hukum

mempunyai ruang lingkup yang sebenarnya belum mempunyai bentuk yang baku.

C. Definisi Dokter dan Pasien

1. Definisi Dokter dan Pasien

Di dalam masyarakat seorang yang menyandang profesi dokter seringkali

dianggap mempunyai status sosial dan status ekonomi yang cukup tinggi di

tengah-tengah masyarakat. Tapi saat ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan

yang sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Walaupun pada

kenyataannya dokter tidaklah berdiri sendiri. Pada prakteknya dokter

menggunakan tekhnologi kedokteran guna menunjang tujuannya untuk

menyembuhkan berbagai penyakit. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari

(26)

memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau di puskesmas, meskipun

kenyataannya yang memberikan pelayanan kesehatan itu hanya seorang mantri

atau perawat saja. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan, Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabadikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui

pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek

Kedokteran, yang dimaksud dokter sesuai dengan Pasal 1 (satu), Dokter dan

dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi,dan dokter gigi spesialis

lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar

negri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan8

8

Praktek Kedokteran,Undang No. 29 Tahun 2004 dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Bandung, Penerbit: Fokusmedia, 2004, hlm. 3.

. Sedangkan dokter spesialis adalah seseorang yang telah

memenuhi seluruh tuntutan di suatu fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan

pendidikan spesialisasi tertentu dan telah memperoleh ijazah atau sertifikat untuk

bidang spesialisasinya itu. Setiap dokter harus menyadari sepenuhnya bahwa

dirinya tidak akan pernah mengetahui semua permasalahan di bidang kedokteran

karena bidang ini sangat luas. Sehingga konsultasi dengan sesama dokter maupun

spesialis bagi dokter umum sangatlah diperlukan, tidak saja bagi kebaikan pasien

tapi juga kebaikan dokter yang bersangkutan. Namun yang dimaksud dengan

dokter oleh penulis disini, bahwa dokter adalah seorang yang mempunyai

(27)

pendidikan ilmu kedokteran yang mempunyai izin praktek dari pihak-pihak yang

berwenang. Oleh Soerjono Soekanto dikatakan pula bahwa dokter disini tidak

termasuk dokter yang tidak memiliki izin praktek sesuai standard kode etik

kedokteran, dan tenaga paramedis yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan

individual, seperti bidan, dukun, dan lainnya9

Seperti halnya dengan pengertian dokter, seorang pasien juga memiliki

pengertian tersendiri. Pasien adalah seorang yang berdasarkan pemeriksaan dokter

dinyatakan mengidap penyakit baik di dalam tubuh maupun di dalam jiwanya. Di

dalam perkembangannya maka pasien juga diartikan secara luas yaitu termasuk

orang yang datang kepada dokter hanya untuk check-up, untuk konsultasi tentang

suatu masalah kesehatan, dan lain-lain. Jadi tidak terbatas pada orang yang sakit

atau dianggap sakit oleh dokter. Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktek Kedokteran, yang dimaksud dengan Pasien sesuai dengan Pasal 1

(satu) adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya

untuk memperolah pelayanan kesehatan yang diperlukan secara langsung maupun

tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Jika dilihat dari cara perawatan

maka pasien dapat dibedakan atas

.

10

a. Pasien opname, adalah pasien yang memerlukan perawatan khusus dan terus

menerus secara teratur serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan

dari luar yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan penyakitnya, bahkan

dapat menghambat kesembuhan pasien. :

9

Prof.Dr.Soerdjono Soekanto,SH, Aspek Hukum Kesehatan, Cet.1, Jakarta, Penerbit:NUD HILL.CO, 1989, hlm.89.

10

(28)

Biasanya pasien yang diopname adalah pasien yang telah mendapat diagnosa

dokter bahwa pasien ini harus dirawat secara khusus karena penyakitnya

membutuhkan perawatan dan pengobatan secara intensif dan khusus.

Dengan demikian perawatan itu akan mengikuti cara-cara pengobatan secara

teratur dan terus menerus, sehingga diharapkan dalam waktu yang singkat

pasien akan sembuh.

b. Pasien berobat jalan, adalah pasien yang tidak memerlukan perawatan secara

khusus di rumah sakit seperti pasien opname. Hal ini karena pasien yang

berobat jalan itu hanyalah mengidap penyakit yang dianggap dokter tidak

membutuhkan perawatan khusus dan untuk menjalani pengobatannya cukup

datang pada waktu-waktu tertentu saja.

2. Hak dan Kewajiban Dokter

Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat

melawan hukum dengan tujuan perawatan yang sifatnya konkrit, dan dilakukan

sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam bidang ilmu kedokteran.Sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran

Pasal 50, hak dokter:

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional.

b. Memberikan pelayanan menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.

c. Memperolah informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.

(29)

Pada pasal tersebut yang dimaksud mengenai standard profesi ialah

batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang

harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan

profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi

profesi.

Dan yang dimaksud dengan standard prosedur operasional ialah suatu perangkat

instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses

kerja rutin tertentu.

Hak – hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai

berikut:

a. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan

sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan

diagnosis maupun terapeutik.

b. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanannya yang

diberikan kepada pasien.

c. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya.

d. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas

pelayanan kesehatan yang diberikannya.

e. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien

(30)

Selain Hak-hak dokter diatas, dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang

harus ia laksanakan sesuai dengan tanggung jawab profesionalis. Jika diperhatikan

Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1983, di dalamnya terkandung

beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter di Indonesia.

Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi:

a. Kewajiban umum

b. Kewajiban terhadap penderita

c. Kewajiban terhadap teman sejawatnya

d. Kewajiban terhadap diri sendiri11

Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Harmien

Hadiati Koeswaji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban dokter dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia

miliki secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak

menjanjikan menghasilkan satu hasil tertentu, karena apa yang

dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh mungkin sesuai

dengan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dokter wajib berusaha

dengan hati-hati dan kesungguhan menjalankan tugasnya.

b. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi

dan bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah

11

(31)

diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya

seseorang yang mewakilinya.

c. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala

sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya.

Kewajiban dokter ini dalam hal perjanjian perawatan menyangkut dua

hal yang ada kaitannya dengan kewajiban pasien.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran Pasal 51, kewajiban dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien tersebut meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi

Sepanjang diketahui di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992

tentang Kesehatan, penulis hanya dapat menemui dua buah pasal yang berkaitan

dengan kewajiban dokter, yakni pasal 50 dan pasal 53 ayat (2). Pasal 50

menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan

kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian atau kewenangan tenaga

kesehatan yang bersangkutan. Dari perumusan pasal tersebut dapat diketahui

(32)

atau melakukan kegiatan kesehatan yang sesuai dengan keahlian dan

kewenangannya saja. Dan selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (2) menyebutkan

Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi

standar profesi dan mematuhi hak pasien. Artinya bahwa standar profesi adalah

pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam melaksanakan profesi

secara baik. Tenaga Kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan

perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien.

Kode etik kedokteran mengandung tuntutan agar Dokter menjalankan

profesinya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Malahan tugas dokter

tidak terbatas pada pekerjaan kuratif dan preventif saja, karena dokter harus ikut

aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan. Atas hal tersebut jika

motivasi seseorang dokter dalam bekerja karena uang dan kedudukan, dokter

tersebut dapat digolongkan dalam motivasi rendah. Jika dokter cenderung untuk

bekerja sedikit dengan hasil banyak, dokter tersebut akan tergelincir untuk

melanggar kode etik dan sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya berdasarkan

pada keinginan untuk memenuhi prestasi, tanggung jawab dan tantangan dari

tugas itu sendiri, akan mudah baginya untuk menghayati dan mengamalkan kode

etik dan sumpahnya. Disamping itu dia senantiasa akan melakukan profesinya

menurut ukuran yang tertinggi, serta meningkatkan ketrampilannya sehingga

kemampuan untuk melaksanakan tugasnya tidak perlu disangsikan lagi.

3. Hak dan Kewajiban Pasien

Dalam pandangan hukum, pasien adalah subyek hukum mandiri yang

(33)

hubungan hukum yang bersifat timbal balik akan selalu mempunyai dua segi yang

isinya di satu pihak adalah hak dan di pihak lain adalah kewajiban. Dengan lain

perkataan bahwa hak pihak pertama merupakan kewajiban pihak kedua dan

sebaliknya kewajiban pihak pertama itu merupakan hak bagi pihak kedua.

Demikian juga dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya pun

terdapat hak dan kewajiban. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 52, pasien dalam menerima pelayanan

pada praktek kedokteran, mempunyai hak:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. Menolak tindakan medis

e. Mendapatkan isi rekam medis

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran Pasal 53 pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,

mempunyai kewajiban:

a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya

b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di dalam sarana pelayanan kesehatan

d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima

Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak

pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut12

a. Hak pasien atas perawatan

:

12

(34)

b. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu

c. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan

merawat pasien

d. Hak atas informasi

e. Hak untuk menolak perawatan tanpa izin

f. Hak atas rasa aman

g. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan

h. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan

i. Hak atas twenty for a day visitor rights j. Hak pasien mengenai bantuan hukum

k. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga

kesehatan atau ahlinya.

Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan, dikatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Bersamaan dengan hak tersebut juga

pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara

yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan

menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang

merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam

pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

a. Kewajiban memberikan informasi

(35)

c. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam

hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan

d. Kewajiban memberikan imbalan jasa

e. Kewajiban memberikan ganti rugi, apabila tindakannya merugikan

dokter atau tenaga kesehatan

Selain kewajiban yang disebutkan diatas, Pasien juga memiliki kewajiban

dalam membantu kesembuhan dirinya. Pasien-pasien juga mempunyai kewajiban

kewajiban yang oleh Jusuf Hanafiah disebutkan sebagai berikut13

a. Pasien wajib memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter.

Memang ada tuntutan bahwa dokter harus siap melayani pasien setiap :

waktu, namun alangkah baiknya bila pasien dapat berobat pada jam

kerja karena dokter adalah manusia biasa yang juga memerlukan

istirahat yang cukup. Ini diperkecualikan untuk kasus gawat darurat.

b. Memberikan informasi yang benar dengan lengkap tentang

penyakitnya. Informasi yang benar dan lengkap dari

pasien/keluarganya merupakan hal yang penting bagi dokter dalam

membantu menegakkan diagnosis penyakit.

c. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter

d. Pasien berkewajiban mematuhi petunjuk dokter yang berkaitan dengan

penyakitnya baik tentang yang berkaitan dengan makan dan minum,

maupun istirahat cukup, dan sebagainya.

13

(36)

e. Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh.Dalam mengusahakan

kesembuhannya, pasien harus yakin kalau dokter akan berupaya

semaksimal mungkin di dalam mengobat dirinya.Karena itu, pasien

harus bisa bekerja sama dan kooperatif pada saat dokter akan

melakukan pemeriksaan.

f. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan, dan

pengobatan serta honorarium dokter.

4. Hubungan antara Dokter dan Pasien

Hubungan dokter dan pasien selain hubungan antara sesama manusia,

lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia.

Dalam hubungan seseorang dengan dokter maka faktor kepercayaan menjadi

salah satu dasarnya artinya pasien berhubungan dengan dokter itu, yakin bahwa

dokter tersebut dapat dan mampu membantu menyembuhkan penyakitnya.

Kepercayaan dari pesien inilah yang mengakibatkan kedudukan dokter lebih

tinggi daripada kedudukan pasien, di samping faktor keawaman pasien terhadap

profesi dokter dan faktor adanya sikap solider antar teman sejawat, serta adanya

sikap isolatif terhadap profesi lain. Hubungan antara dokter dan pasien yang

terjadi karena adanya hubungan hukum merupakan salah satu ciri transaksi

terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur

dalam KUHPerdata. Dalam praktiknya, baik hubungan antara pasien dengan

(37)

zaakwaarneming, sering menimbulkan terjadinya kesalahan atau kelalaian, dalam

hal ini jalur penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur hukum dengan

melanjutkan perkaranya ke pengadilan.

Sebenarnya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan

keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola

hubungan, yaitu :

a. Activity – passivity

Pola hubungan orang tua anak seperti ini merupakan pola klasik sejak

profesi kedokteran mulai mengenal kode etik. Disini Dokter seolah-olah

dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien

dengan suatu motivasi altruistis. Biasanya hubungan ini berlaku pada

pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau

menderita gangguan mental berat.

b. Guidance-Cooperation

Hubungan membimbing kerjasama, seperti halnya orang tua dengan

remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya

penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien

tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. Ia berusaha

(38)

c. Mutual participation

Hubungan ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya

seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis.Pasien secara

sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya.

Apabila hubungan dokter dan pasien dilihat dari sudut pandang hukum,

hubungan tersebut merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal yang

umumnya terjadi melalu suatu perjanjian atau kontrak. Dokter tidak menjanjikan

kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya agar pasien sembuh.

Apabila Dokter bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur

kelalaian serta hubungan dokter-pasien merupakan hubungan yang saling

pengertian, umumnya tidak akan ada permasalahan yang menyangkut jalur

hukum.

D. Tinjauan Umum Malapraktek Kedokteran (Medical Malpractice)

1. Definisi Malapraktek

Malapraktek berasal dari kata “mal” yang artinya salah dan “praktek” yang

artinya tindakan. Jadi secara harfiah malapraktek berarti tindakan yang salah.14

Malapraktek adalah istilah yang tidak menyenangkan. Dengan langsung

digunakan ungkapan ‘malapraktek (medis) oleh pengacara, LSM, dan pers pada

setiap kasus klinik dengan hasil yang tidak sesuai harapan, opini publik serta

14

(39)

secara apriori diarahkan, bahwa penyebab kasus tertentu adalah kesalahan dokter

dan dokter serta rumah sakit harus dituntut. Malapraktek sebenarnya adalah istilah

umum yang tidak hanya ditujukan untuk dunia medis. Dewasa ini belum ada

keseragaman mengenai istilah “malpractice”. Didalam bahasa Inggris

malapraktek disebut malpractice yang berarti wrong doing atau neglect of duty.

Sedangkan dalam bahasa Belanda malapraktek dikenal dengan istilah Kunstfout,

yang berarti tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja akan tetapi ada

unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia medis yang

mengakibatkan sesuatu yang fatal.

Di Indonesia berbagai pihak ada yang menggunakan istilah malapraktek,

malpraktek, malapraktik, malpraktik, marapraktek, perkara tindak pidana, dan

sebagainya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua terbitan Balai

Pustaka, dirumuskan bahwa malapraktek adalah praktek kedokteran yang

dilakukan salah atau tidak tepat, menyalahi Undang-Undang atau kode etik.

Istilah malapraktek juga terdapat pada Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam

Bahasa Indonesia Oleh J. S. Badudu yang diterbitkan oleh Penerbit Buku

Kompas, dimana didalamnya dirumuskan bahwa malapraktek, ialah praktek

dokter yang salah dan menyalahi undang-undang serta kode etik kedokteran.

Walau belum ada kesamaan atau keseragaman mengenai penggunaan istilah

“malpractice” namun didalam penulisan skripsi ini, penulis lebih cenderung untuk

menggunakan istilah malapraktek. Malapraktek medis adalah isu medico-legal,

tentang kerugian atau cidera yang dialami pasien dan disebabkan oleh atau terkait

(40)

Malapraktek juga dapat dikatakan suatu tindakan dokter yang tidak sesuai dengan

standard perawatan, kurang mampu atau kurang terampil, kelalaian, sehingga

secara langsung menimbulkan kerugian.

Black’s Law Dictionary, memberikan perumusan sebagai berikut:

“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practise, or illegal or immoral conduct.”

Malapraktek adalah setiap sikap-tindak yang salah, kekurangan keterampilan

dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan

terhadap sikap-tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk

memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat

ketrampilan dan kepandaian yang wajar didalam masyarakatnya oleh teman

sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau

kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh

kepercayaan kepada mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap tindak

profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang

kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk, atau ilegal atau sikap imoral.

(41)

“Malpractice is mistreatment of a disease or injury through ignorance, carelessness of criminal intent.”

Malapraktek adalah salah cara mengobati suatu penyakit atau luka, karena

disebabkan sikap-tindak yang acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi

kriminal.

Coughlin’s Dictionary of Law:

“Professional misconduct on the part of a professional person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian.

Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrongdoing; or unethical practice.”

Malapraktek adalah sikap-tindak profesioanal yang salah dari seorang yang

berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan.

Malapraktek bisa diakibatkan karena sikap-tindak yang bersifat tak pedulian,

kelalaian. Atau kekurangan ketrampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanaan

kewajiban profesionalnya; tindakan yang salah yang sengaja atau praktek yang

bersifat tidak etis.

The Oxford Illustrated Dictionary, 2nd edition, 1975:

(42)

Malapraktek = sikap-tindak yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap

pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang ilegal untuk

memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.15

a. Dalam arti umum, malapraktek merupakan suatu praktek (khususnya

praktek dokter)yang buruk dan tidak memenuhi standar yang telah

dilakukan oleh profesi.

Malapraktek menurut Ninik Mariyanti, SH, Definisi malapraktek

mempunyai arti yang luas, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

b. Dalam arti khusus, dilihat dari pasien malapraktek dapat terjadi dalam:

1) Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag tapi

ternyata pasien sakit lever.

2) Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata

sebelah kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri.

3) Selama menjalankan perawatan.

4) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah

ditentukan.16

Malapraktek menurut Dr. Kartono Mohammad merupakan “kelalaian

tindakan dokter yang berakibat kerusakan fifik, mental, atau finansial pada

15

J. Guwandi, S.H., Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004, hlm. 22-24.

16

(43)

pasien”.17 Selain definisi-definisi dari para pakar diatas, DR. Veronica

Komalawati,SH.MH juga memberikan pengertian mengenai malapraktek yang

berasal dari “malpractice” yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam

menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban

yang harus dilakukan dokter. Beliau juga memberikan pengertian bahwa medical

mapractice atau kesalahan profesional dokter adalah kesalahan dalam

menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam

menjalankan profesinya18. Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical

Malpractice diartikan sebagai kesalahan dalam melaksanakan profesi medis

berdasarkan standar profesi medis. Dengan banyaknya kasus malpraktek yang

terjadi, barangkali menandakan bahwa aparat kesehatan masih kurang profesional.

Atau merupakan bukti bahwa pelayanan kesehatan masih belum memadai19

2. Jenis-jenis Malapraktek Medik

.

Dari berbagai definisi malapraktek diatas, kegagalan medis dapat

menimbulkan akibat negatif. Di Indonesia, tindakan malapraktek dokter sering

terjadi, yang sebagian besarnya tidak sampai diketahui masyarakat karena

umumnya tindakan malapraktek tersebut tidak sampai ke permukaan. Sehingga di

17

Dr. Kartono Mohammad, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran, Jakarta, Makalah dari Simposium Kedokteran, diselenggarakan oleh BPHN Departeman Kehakiman kerjasama dengan IDI, 6-7 Juni 1983, hlm.3.

18

Dr. Hj. Anny Isfandyarie Sp. An. SH, Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Op.cit., hlm.20 & 22.

19

(44)

Indonesia sangat jarang adanya kasus malpraktek dokter yang sampai ke

pengadilan. Berbeda halnya di negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika

Serikat. Disana, sungguhpun kemampuan, profesionalisme, dan peralatan

kedokteran relatif cukup canggih, tetapi sangat banyak pula pasien yang tidak

puas yang pada akhirnya menggugat dokter ke pengadilan dengan tuduhan

malapraktek tersebut.

Malapraktek dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malpraktek etika

dan malapraktek yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum20

a. Malapraktek Etik

:

Yang dimaksud dengan malapraktek etik adalah dokter melakukan

tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan Etika

Kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat

standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.

Malapraktek ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi, yang

bertujuan memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan

membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan cepat,

lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,

ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Contoh konkritnya

adalah di bidang diagnostik, misalnya pemeriksaan laboratorium yang

dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau

memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji

untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya,

20

(45)

maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.

Dan di bidang terapi, seperti kita ketahui berbagai perusahaan yang

menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan

diperoleh dokter bila mau mengunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa

mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.

Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu

digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan

yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan

indikasi medisnya, mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk

dihormati, mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan

terhadap mutu kehidupan pasien. Yang terakhir adalah, mempertimbangkan

hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi pasien, misalnya, aspek

sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya.21

b. Malapraktek Yuridik

Dalam malapraktek yuridik ini Soedjatmiko membedakannya

menjadi tiga bentuk, yaitu22

1) Malapraktek Perdata (Civil Malpractice) :

Malapraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang

menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian didalam transaksi

terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya

21

Ibid, hlm.32-33. 22

(46)

perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada

pasien. Untuk perbuatan atau tindakan yang melawan hukum haruslah

memenuhi beberapa syarat, seperti harus adanya suatu perbuatan (baik

berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut melanggar hukum (baik

tertulis atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada hubungan sebab

akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.

Sedangkan untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian

dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya 4 (empat) unsur,

yaitu:

a) Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien

b) Dokter telah melanggar standard pelayanan medik yang lazim

dipergunakan

c) Pengugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan

ganti ruginya

d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah

standard.

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan

adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang

berbunyi “Res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya

karena kelalaian dokter, terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut

sang pasien. Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul

(47)

Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan tidak ada

kelalaian pada dirinya.

2) Malapraktek Pidana (Criminal Malpractice)

Malapraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau

mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang

hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap

pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.

a) Malapraktek pidana karena kesengajaan, misalnya, pada

kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,

membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan

pada kasus gawat padahal diketahui tidak ada orang lain yang bisa

menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak

benar.

b) Malapraktek pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan

tindakan yang tidak sesuai dengan standard profesi serta mlakukan

tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

c) Malapraktek pidana karena kealpaan, misalnya, terjadi cacat atau

kematian terhadap pasien sebagai akibat tidakan dokter yang

kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi

didalam rongga tubuh pasien.

(48)

Malapraktek administratif terjadi apabila dokter atau tenaga

kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi

negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa izin

praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan izinnya,

menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan

praktek tanpa membuat catatan medik.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum

normatif dan yuridis sosiologis. Pada penelitian hukum normatif penulis

sepenuhnya menggunakan data sekunder, dimana memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, yaitu bahan- bahan hukum yang mengikat. Bagi

suatu penelitian hukum normatif yang mempergunakan data sekunder sebagai

sumbernya, tata cara sampling tidak perlu dilakukan. Pada penelitian hukum

normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data

sekunder yang ada dalam keadaan siap terbuat, bentuk dan isinya telah disusun

peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu atau tempat.

Penulis dalam menggunakan metode penelitian normatif, melakukan penelitian

literatur, penulis berusaha membandingkan kasus dengan peraturan

perundang-undangan yang ada serta berlaku, dan juga temuan penelitian lapangan.

Sedangkan metode penelitian yuridis sosiologis, melihat hukum tampak dalam

kenyataan dimasyarakat, melihat efektivitas hukum yang sedang berlaku

(49)

2. Metode penelitian kepustakaan (Library research)

Dengan metode ini, penelitian diadakan melalui perpustakaan, dengan

mencari bahan, data yang dibutuhkan berupa buku, artikel-artikel, surat

kabar dan majalah, pendapat para sarjana, hasil simposium dan seminar

yang berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas. Bahan-bahan

data tersebut lalu dikumpulkan untuk dijadikan sumber dan dasar

pembahasan masalah.

Dalam penelitian kepustakaan ada 3 (tiga) macam bahan hukum, yaitu:

a. Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang isinya mempunyai

kekuatan hukum mengikat kepada masyarakat, misalnya adalah

norma dasar, peraturan perundang-undangan, kasus-kasus

malapraktek yang telah masuk ke meja hijau. Bahan hukum primer

bentuk perundang-undangan yang akan dipakai dan dijelaskan

adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khususnya

pasal-pasal yang menyangkut tentang jenis-jenis tindak pidana yang

dilakukan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik

Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf, Keputusan

Presiden dan peraturan yang setaraf, dan Keputusan Menteri dan

peraturan yang setaraf, dan juga Peraturan daerah yang berlaku.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang isinya

menjelaskan menhenai bahan hukum primer, misalnya adalah

(50)

tulis yang isinya berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam

skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan penunjang yang

menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

misalnya kamus hukum, ensiklopedia, indeks majalah hukum dan

lain-lain.

3. Metode penelitian lapangan (Field Research)

Gambar

GRAFIK KASUS MALAPRAKTEK TAHUN 1999-2006

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahanya adalah Bagaimana penegakan hukum pidana dalam kasus aborsi berkaitan dengan pelaku yang melakukan dan orang yang membantu pelaku untuk melakukan aborsi tersebut di

Penilitian ini adalah kajian pustaka merupakan analisis hukum tentang tidak pidana perkawinan dalam pasal 279 tentang kejahatan terhdapa asal-usul pernikhan Kitab

PENERAPAN PASAL 374 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ( KUHP ). TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PADA PERKARA NOMOR :

penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan judul Studi Komparasi Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Disamping yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, terdapat juga Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya

PERBANDINGAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA DAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN

Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang