D O S E R E S P O N S E
B I OT I P R UM P U T B E L U L A N G
(
E l e u s i n e i n d i c a
( L . ) G a e r t n. ) RESISTEN-PARAKUAT
TERHADAP PARAKUAT, DIURON, DAN AMETRIN
SKRIPSI
OLEH: DANI HAMBALI
100301189/BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
D O S E R E S P O N S E
B I OT I P R UM P U T B E L U L A N G
(
E l e u s i n e i n d i c a
( L . ) G a e r t n. ) RESISTEN-PARAKUAT
TERHADAP PARAKUAT, DIURON, DAN AMETRIN
SKRIPSI
OLEH: DANI HAMBALI
100301189/BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Usulan penelitian merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
Judul Penelitian : Dose Response Biotip Rumput Belulang (Eleusine indica (L.) Gaertn.) Resisten-Parakuat Terhadap Parakuat, Diuron, dan Ametrin.
Nama : Dani Hambali
NIM : 100301189
Program Studi : Agroekoteknologi
Minat : Budidaya Pertanian dan Perkebunan
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
Prof. Ir. Edison Purba, Ph.D Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc
Ketua Anggota
Mengetahui:
ABSTRAK
DANI HAMBALI: Dose Response Biotip Rumput Belulang (Eleusine indica (L.) Gaertn.) Resisten-Parakuat Terhadap Parakuat, Diuron, dan
Ametrin, dibimbing oleh Edison Purba dan E. Harso Kardhinata.
Gulma Eleusine indica merupakan salah satu gulma yang cukup berpengaruh negatif yang biasa ditemukan pada perkebunan sawit dan keberadaan gulma ini di Kebun Adolina PTPN IV diketahui semakin sulit untuk dikendalikan dengan parakuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons dosis populasi yang diduga resisten parakuat terhadap herbisida parakuat, diuron, dan ametrin. Taraf dosis parakuat yang digunakan, yaitu 0, 50, 100, 200, 400, 800, 1600 g b.a/ha; diuron pada 0, 187,5, 375, 750, 1500, 3000, 6000 g b.a/ha, dan ametrin pada 0, 62,5, 125, 250, 500, 1000, 2000 g b.a/ha. Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dan setiap perlakuan dibuat dalam tiga ulangan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa populasi resisten-parakuat yang berasal dari Kebun Adolina PTPN IV masih dapat bertahan hidup sebanyak 30,20% pada dosis 1600 g b.a/ha. Sedangkan diuron dan ametrin menunjukkan hasil yang baik dalam pengendalian populasi gulma tersebut.
ABSTRACT
DANI HAMBALI : Dose Response of Goosegrass (Eleusine indica (L.) Gaertn. Paraquat-Resistance Biotype to Paraquat, Diuron, and Ametryn. Supervised by Edison Purba and E. Harso Kardhinata.
Goosegrass is one of weeds that had negative effect which is commonly found in oil palm plantation. In the past few years, the existence of this weed in Adolina Estate, PTPN IV has been reported that population was difficult to control with paraquat. This research aims to determine the dose response of the suspisioned resistant population to paraquat, diuron, and ametryn. The levels of
paraquat applied were 0, 50, 100, 200, 400, 800, 1600 g a.i. ha-1; diuron at 0,
187,5, 375, 750, 1500, 3000, 6000 g a.i. ha-1, and ametryn at 0, 62,5, 125, 250,
500, 1000, 2000 g a.i. ha-1. The treatments were arranged in randomised block
design (RDB) and each treatments was made in three repetition.
The results showed that the paraquat-resistant population from area of Adolina Estate, PTPN IV still survived as much of 30,20% at the rate of 1600 g a.i ha-1. Meanwhile, diuron and ametryn controlled satisfactorily this population.
RIWAYAT HIDUP
Dani Hambali, lahir di Purwakarta pada tanggal 08 Januari 1993, putra dari Bapak Jasman dan Ibu Eriani. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan SMA tahun 2010 dari SMA Negeri 3 Binjai dan pada tahun 2010 terdaftar masuk ke Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Penulis aktif berorganisasi, yaitu pernah menjabat sebagai Sekretaris UKM Himadita Nursery FP USU (Periode 2013-2014), anggota HIMAGROTEK (2013-2014), penulis juga aktif menjadi asissten Laboratorium Biologi (2011 -sekarang), asisten Laboratorium Ilmu Gulma (2013-2014) dan asisten Laboratorium Teknologi Pangan (2013-sekarang).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul “Dose Response Biotip Rumput Belulang (Eleusine indica (L.) Gaertn.) Resisten-Parakuat terhadap Ametrin, Diuron, dan Parakuat.
Pada kesempatan ini penulis berterima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Ir. Edison Purba, Ph.D dan Bapak Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing yang telah memberikan banyak masukan berharga kepada penulis dan kepada Ayahanda Jasman dan Ibunda Eriani yang tiada hentinya memberikan cinta kasihnya hingga saat ini, serta kepada seluruh staff dan karyawan Afdeling III Kebun Adolina PTPN IV , Perbaungan.
Di samping itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak, abang, dan adik penulis atas semua dukungannya dan seluruh keluarga besar UKM HN FP USU atas semangat, doa, motivasi, dan rasa kekeluargaan yang telah diberikan selama perkuliahan, penelitian serta penyusunan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat.
Medan, Oktober 2014
DAFTAR ISI
TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Resisten Herbisida ... 5
Gambaran Umum Gulma Resisten Herbisida Pada Perkebunan Kelapa Sawit ... 16
Manajemen Resisten Herbisida ... 18
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 20
Bahan dan Alat ... 20
Metode Penelitian ... 21
Pelaksanaan Penelitian ... 22
Penentuan Populasi Resisten-Parakuat ... 22
Pengambilan Biji ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 25
Jumlah Gulma yang Bertahan Hidup ... 25
Bobot Kering ... 33 Lethal Dose 50 (LD50) ... 37 Pembahasan ... 38
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 42 Saran ... 42 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Rumput Belulang yang Resisten Terhadap Herbisida Secara Global ... 16 2. Pengaruh aplikasi parakuat terhadap kemampuan bertahan hidup
rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif-parakuat (EFH) 3 MSA ... 25 3. Pengaruh aplikasi diuron terhadap kemampuan bertahan hidup
runput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif-parakuat (EFH) 3 MSA ... 27 4. Pengaruh aplikasi ametrin terhadap kemampuan bertahan hidup
rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif-parakuat (EFH) 3 MSA ... 28 5. Pengaruh aplikasi parakuat terhadap rataan jumlah anakan rumput
belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif - parakuat (EFH)6 MSA ... 30 6. Pengaruh aplikasi diuron terhadap rataan jumlah anakan rumput
belulang biotip resisten - parakuat (EAD) dan biotip sensitif - parakuat (EFH) 6 MSA ... 31 7. Pengaruh aplikasi ametrin terhadap rataan jumlah anakan rumput
belulang biotip resisten - parakuat (EAD) dan biotip sensitif-parakuat (EFH)6 MSA ... 32 8. Pengaruh aplikasi parakuat terhadap bobot kering rumput belulang biotip
resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif-parakuat (EFH)6 MSA ... 33 9. Pengaruh aplikasi diuron terhadap bobot kering rumput belulang
biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif-parakuat (EFH)6 MSA ... 34 10. Pengaruh aplikasi ametrin terhadap bobot kering rumput belulang biotip
resisten-parakuat (EFH) dan biotip sensitif-parakuat (EFH) 6 MSA ... 35 11. Nilai LD50 herbisida parakuat, diuron, dan ametrin yang diaplikasikan
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Rumput Belulang (Eleusine indica (L.) Gaertn. ...5 2. Grafik perbandingan rumput belulang yang bertahan hidup populasi
EAD dan EFH terhadap parakuat pada 3 MSA ...26 3. Grafik perbandingan rumput belulang yang bertahan hidup populasi EAD
dan EFH terhadap diuron pada 3 MSA ...28 4. Grafik perbandingan rumput belulang yang bertahan hidup populasi EAD
dan EFH terhadap ametrin pada 3 MSA ...29 5. Grafik perbandingan jumlah anakan rumput belulang populasi EAD dan
EFH terhadap parakuat pada 6 MSA ...31 6. Grafik perbandingan jumlah anakan rumput belulang populasi EAD dan
EFH terhadap diuron pada 6 MSA...32 7. Grafik perbandingan jumlah anakan rumput belulang populasi EAD dan
EFH terhadap ametrin pada 6 MSA ...33 8. Grafik perbandingan bobot kering rumput belulang populasi EAD dan
EFH terhadap parakuat pada 6 MSA ...34 9. Grafik perbandingan bobotkering rumput belulang populasi EAD dan
EFH terhadap diuron pada 6 MSA...35 10. Grafik perbandingan bobot kering rumput belulang populasi EAD dan
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Bagan Penelitian ...46 2. Kalibrasi Alat Semprot ...47
3. E. indica populasi EAD yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada
penyemprotan parakuat ...51
4. E. indica populasi EAD yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada
penyemprotan diuron ...52
5. E. indica populasi EAD yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada
penyemprotan ametrin ...53
6. E. indica populasi EFH yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada
terhadap penyemprotan parakuat ...57 10. Transformasi data (√y+0,5) jumlah anakan E. indica populasi EAD per
pot pada 6 MSA terhadap penyemprotan parakuat...58 11. Jumlah anakan E. indica populasi EAD per pot pada 6 MSA
terhadap penyemprotan diuron ...59 12. Transformasi data (√y+0,5) jumlah anakan E. indica populasi EAD per
pot pada 6 MSA terhadap penyemprotan diuron ...60 13. Jumlah anakan E. indica populasi EAD per boks pada 6 MSA
terhadap penyemprotan ametrin ...61 14. Transformasi data (√y+0,5) jumlah anakan E. indica populasi EAD per
15. Jumlah anakan E. indica populasi EFH per pot pada 6 MSA terhadap penyemprotan parakuat ...63 16. Transformasi data (√y+0,5) jumlah anakan E. indica populasi EFH per
pot pada 6 MSA terhadap penyemprotan parakuat...64 17. Jumlah anakan E. indica populasi EFH per pot pada 6 MSA terhadap
penyemprotan diuron ...65 18. Transformasi data (√y+0,5) jumlah anakan E. indica populasi EFH per
pot pada 6 MSA terhadap penyemprotan diuron ...66 19. Jumlah anakan E. indica populasi EFH per pot pada 6 MSA terhadap
penyemprotan ametrin ...67 20. Transformasi data (√y+0,5) jumlah anakan E. indica populasi EFH per
pot pada 6 MSA terhadap penyemprotan ametrin ...68 21. Bobot kering E. indica populasi EAD per pot pada 6 MSA terhadap
penyemprotan parakuat ...69 22. Bobot kering E. indica populasi EAD per pot pada 6 MSA terhadap
penyemprotan diuron ...70 23. Transformasi data (√y+0,5) bobot kering E. indica populasi EFH per
pot pada 6 MSA terhadap penyemprotan diuron ...71 24. Bobot kering E. indica populasi EAD per pot pada 6 MSA terhadap
penyemprotan ametrin ...72 25. Bobot kering E. indica populasi EFH per pot pada 6 MSA terhadap
penyemprotan parakuat ...73 26. Bobot kering E. indica populasi EFH per pot pada 6 MSA terhadap
penyemprotan diuron ...74 27. Bobot kering E. indica populasi EFH per pot pada 6 MSA terhadap
penyemprotan ametrin ...75 28. Jumlah rataan bertahan hidup populasi EAD dan populasi EFH pada 3
MSA terhadap masing-masing herbisida ...76 29. Jumlah rataan jumlah anakan populasi EAD dan populasi EFH pada 3
MSA terhadap masing-masing herbisida ...77 30. Jumlah rataan bobot kering populasi EAD dan populasi EFH pada 3
ABSTRAK
DANI HAMBALI: Dose Response Biotip Rumput Belulang (Eleusine indica (L.) Gaertn.) Resisten-Parakuat Terhadap Parakuat, Diuron, dan
Ametrin, dibimbing oleh Edison Purba dan E. Harso Kardhinata.
Gulma Eleusine indica merupakan salah satu gulma yang cukup berpengaruh negatif yang biasa ditemukan pada perkebunan sawit dan keberadaan gulma ini di Kebun Adolina PTPN IV diketahui semakin sulit untuk dikendalikan dengan parakuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons dosis populasi yang diduga resisten parakuat terhadap herbisida parakuat, diuron, dan ametrin. Taraf dosis parakuat yang digunakan, yaitu 0, 50, 100, 200, 400, 800, 1600 g b.a/ha; diuron pada 0, 187,5, 375, 750, 1500, 3000, 6000 g b.a/ha, dan ametrin pada 0, 62,5, 125, 250, 500, 1000, 2000 g b.a/ha. Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dan setiap perlakuan dibuat dalam tiga ulangan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa populasi resisten-parakuat yang berasal dari Kebun Adolina PTPN IV masih dapat bertahan hidup sebanyak 30,20% pada dosis 1600 g b.a/ha. Sedangkan diuron dan ametrin menunjukkan hasil yang baik dalam pengendalian populasi gulma tersebut.
ABSTRACT
DANI HAMBALI : Dose Response of Goosegrass (Eleusine indica (L.) Gaertn. Paraquat-Resistance Biotype to Paraquat, Diuron, and Ametryn. Supervised by Edison Purba and E. Harso Kardhinata.
Goosegrass is one of weeds that had negative effect which is commonly found in oil palm plantation. In the past few years, the existence of this weed in Adolina Estate, PTPN IV has been reported that population was difficult to control with paraquat. This research aims to determine the dose response of the suspisioned resistant population to paraquat, diuron, and ametryn. The levels of
paraquat applied were 0, 50, 100, 200, 400, 800, 1600 g a.i. ha-1; diuron at 0,
187,5, 375, 750, 1500, 3000, 6000 g a.i. ha-1, and ametryn at 0, 62,5, 125, 250,
500, 1000, 2000 g a.i. ha-1. The treatments were arranged in randomised block
design (RDB) and each treatments was made in three repetition.
The results showed that the paraquat-resistant population from area of Adolina Estate, PTPN IV still survived as much of 30,20% at the rate of 1600 g a.i ha-1. Meanwhile, diuron and ametryn controlled satisfactorily this population.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Gulma merupakan tumbuhan yang berasal dari spesies liar yang telah lama menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, atau spesies baru yang telah berkembang biak sejak timbulnya pertanian. Dalam pengertian ekologis gulma adalah tumbuhan yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah. Salah satu faktor penyebab terjadinya evolusi gulma adalah faktor manusia. Manusia merupakan penyebab utama dari perubahan lingkungan dan gulma mempunyai sifat mudah mempertahankan diri terhadap perubahan tersebut dan segera beradaptasi dengan lingkungan tempat tumbuhnya.
Secara kualitatif, pengaruh buruk dari gulma pada tanaman yang kurang mendapat perawatan yang teratur adalah pertumbuhan tanaman terhambat, cabang produksi berkurang, dan pertumbuhan tanaman muda tidak normal, serta daunnya berwarna kuning. Selain faktor kompetisi dan alelopati, keberadaan gulma di pertanaman dapat menjadi inang patogen atau hama bagi tanaman (Daud, 2008).
sedangkan setelah tahun 1970 sekitar 75% pengendalian dilakukan secara kimia
Teknik pengendalian gulma yang umum dilakukan di PTPN IV Kebun Adolina adalah pengendalian manual, yaitu dengan memakai garuk dan pembabatan dan pengendalian kimiawi dengan menggunakan herbisida sistemik pada TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) dan TM (Tanaman Menghasilkan). Dengan cara kimiawi pengendalian gulma pada areal tanaman dilakukan secara menyeluruh, sehingga semua areal disemprot. Hal ini dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma pada areal pertanaman. Setelah 26 tahun menggunakan glifosat dan parakuat pada areal kelapa sawit dimana terjadi bahwa glifosat dan parakuat tidak lagi efektif untuk mengendalikan Eleusine indica. Pada areal kebun sawit Adolina (Afdeling III) kebun induk E.indica menjadi gulma yang dominan di areal tersebut.
Pengaruh dominansi gulma tersebut cukup berdampak negatif pada produksi Kebun Adolina, seperti pada tahun 2012, kebun Adolina PTPN IV (Afdeling III) kebun induk memiliki produksi sebesar 506.250 Kg TBS dan di tahun 2013 produksi turun sekitar 6% menjadi 504.450 Kg TBS.
gulma pada piringan (circle) kelapa sawit menyebabkan kesulitan penghitungan buah jatuh (brondolan) sebelum panen untuk menentukan kriteria panen. Sedangkan pada saat panen, brondolan yang tersembunyi diantara gulma di piringan sulit untuk dikumpulkan sehingga membutuhkan tenaga kerja tinggi atau akan terbuang percuma, dan kemudian malah dapat tumbuh menjadi gulma. Lebih dari itu, manajemen pemanenan, pemupukan, dan pengawasan lainnya juga akan terganggu jika gulma tidak dikendalikan dengan baik (Purba, 2009).
Untuk mengendalikan keberadaan gulma yang dapat mendominasi areal pertanian, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah penyemprotan menggunakan herbisida. Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida dapat mempengaruhi satu atau lebih proses-proses (seperti pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim, dsb) yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Riadi, 2011).
Sesuai dengan peraturan pemerintah No. 7 tahun 1973 tentang peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, penggunaan herbisida harus dilakukan sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditetapkan. Pemakaian herbisida dengan dosis yang berlebihan dan diaplikasikan secara berulang-ulang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap herbisida (DirjenPTP, 1984).
sekali dan jenis gulma yang dominan menjadi lebih sulit dikendalikan. Oleh sebab itu, pengendalian dengan herbisida tersebut menjadi tidak efektif lagi (purba, 2009).
Resistensi herbisida adalah kemampuan tumbuhan untuk bertahan hidup dan berkembang biak terhadap dosis herbisida yang biasanya mematikan tumbuhan tersebut. Resiten herbisida pertama kali dilaporkan pada tahun 1970 sejak saat itu 60 spesies tumbuhan berubah menjadi resisten terhadap herbisida triazine. Munculnya resistensi herbisida pada suatu tanaman meningkat seiring dengan munculnya resisten terhadap fungisida dan insektisida (Prather, 2000). Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan respon dosis biotip rumput belulang resisten-parakuat dari areal pertanaman kelapa sawit di Kebun Adolina, PTPN IV, Perbaungan terhadap parakuat, ametrin, dan diuron.
Hipotesis Penelitian
Telah terjadi resistensi populasi rumput belulang yang berasal dari areal pertanaman kelapa sawit di Kebun Adolina, PTPN IV, Perbaungan dibanding dengan populasi sensitif yang berasal dari kompleks Universitas Sumatera Utara. Kegunaan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Resisten Herbisida
Kasus resisten pestisida sebenarnya telah terjadi dari tahun 1908. Lambatnya pemberitaan tentang penggunaan herbisida di lahan pertanian dan panjangnya siklus kehidupan tanaman menyebabkan kasus resisten herbisida tidak cepat ditangani. Resisten terhadap herbisida pertama kali dilaporkan pada awal tahun 1957 di Hawaii terhadap herbisida 2,4-D, dan laporan tentang resisten herbisida pertama kali dikonfirmasi adalah kasus resisten Senecio vulgaris terhadap herbisida triazine, dan dilaporkan pada tahun 1968 di Amerika (Santhakumar, 2002).
Pengendalian gulma dengan herbisida dapat menimbulkan terbentuknya populasi gulma resisten atau toleran herbisida. Gulma resisten-herbisida muncul sudah ada sejak lama. Resistensi muncul telah ada setelah penemuan herbisida fenoksi 2,4-D. Populasi gulma resisten-herbisida adalah populasi yang mampu bertahan hidup normal pada dosis herbisida yang biasanya mematikan populasi tersebut. Populasi resisten terbentuk akibat adanya tekanan seleksi oleh penggunaan herbisida sejenis secara berulang-ulang dalam periode yang lama (Purba, 2009).
umumnya, karakteristik yang luar biasa itu dapat berupa ketahanan/resistensi spesies terhadap suatu herbisida. Munculnya resistensi herbisida pada suatu populasi merupakan suatu contoh terjadinya evolusi gulma yang sangat cepat (Hager dan Refsell, 2008).
Evolusi Resisten Herbisida
Resisten herbisida bukan karena lemahnya pengaruh herbisida. Terkadang gulma yang resisten dapat bertahan pada aplikasi herbisida berdosis tinggi daripada dosis yang direkomendasikan. Dengan memahami implikasi dan proses evolusi dari resisten herbisida, pengendalian gulma yang tepat dapat digunakan untuk meminimalisasi akibat dari gulma yang resisten terhadap herbisida dan menunda terjadinya peningkatan kasus resisten (Preston et al., 2008).
Gulma yang resisten terhadap herbisida bukan suatu keunikan. Gulma resisten herbisida adalah suatu daya tahan genetik dari populasi gulma yang bertahan terhadap pemberian dosis herbisida yang dianjurkan untuk mengendalikan populasi gulma. Beberapa pengendalian dapat meningkatkan resitensi terhadap herbisida. Resisten dapat muncul karena penggunaan herbisida yang sama atau penggunaan herbisida yang memiliki mekanisme kerja yang sama secara berulang-ulang (Mathers, 2002).
Untuk suatu biotip gulma yang digolongkan menjadi biotip resisten, seharusnya memiliki beberapa kriteria berikut :
berkembangbiak setelah pemberian dosis herbisida yang seharusnya mematikan tumbuhan tersebut. Dan menurut survey, resisten herbisida adalah berkembangnya kemampuan populasi gulma yang sensitif herbisida untuk bertahan terhadap suatu herbisida dan tetap hidup ketika herbisida tersebut digunakan pada dosis normal.
2. Data yang telah dikonfirmasi oleh ahlinya. Resistensi seharusnya dikonfirmasi oleh seorang ahli yang telah melakukan perbandingan antara tumbuhan resisten dan sensitif pada spesies yang sama berulang kali dan diuji secara ilmiah.
3. Resistensi telah terjadi secara turun-temurun. Pada beberapa kasus, para ahli gulma melakukan uji resistensi dengan memindahkan tumbuhan dari lapangan, lalu menanamnya kembali, dan melakukan percobaan dose response untuk tumbuhan tersebut. Ini merupakan uji cepat untuk
menentukan pemeriksaan lanjutan, tetapi ini tidak berlaku untuk kasus resisten yang baru dikonfirmasi.
4. Pengaruh di lapangan. Penentuan hasil sebuah survey harus relevan dengan respon herbisida terhadap populasi gulma di lapangan. Jika tidak ada perbedaan dalam pengendalian gulma di lapangan dengan dosis yang dianjurkan, maka hal ini tidak termasuk kasus resisten.
5. Merupakan suatu gulma dan telah diidentifikasi bukan hasil dari seleksi buatan. Seleksi yang sengaja terjadi akibat resisten herbisida, termasuk tanaman resisten herbisida, tetapi tidak termasuk ke dalam survey.
sensitif herbisida, yaitu nilai 1 atau 0 mengindikasikan tidak ada resistensi yang terjadi (sensitif), 4-10 tergolong resisten sedang, dan >10 termasuk resisten tingkat tinggi (Heap, 2005).
Pada tabel 1 dapat dilihat beberapa kasus resisten rumput belulang yang tersebar di berbagai negara (berdasarkan data International Survey of Herbicide Resistance)
Tabel 1. Rumput Belulang yang Resisten Terhadap Herbisida Secara Global.
Negara Tahun Lokasi Bahan Aktif Lokasi Kerja
US
(Carolina Utara) 1973 Kapas Trifluralin
Mikrotubulus Inhibitor US
(Carolina Selatan) 1974
Kapas,
Kedelai Trifluralin
Mikrotubulus Inhibitor US
(Alabama) 1987 Kapas Trifuralin
Mikrotubulus
Industri Imazapyr ALS Inhibitor Malaysia 1990 Sayur Fluazifop-P-butyl
Propaquizafop ACCase Inhibitor
Malaysia 1990 Sayur Parakuat PSI Elektron
Diverter US
(Georgia) 1992
Kapas,
Lap.Golf Trifluralin
Mikrotubulus
Colombia 2006 Kopi Glifosat EPSPS Inhibitor Malaysia 2009 Kelapa
sawit Ammonium glufosinat
Glutamine synthase inhibitor
China 2010 - Glifosat EPSPS Inhibitor
China 2010 - Parakuat PSI Elektron
Diverter Mississippi 2010 Kapas Glifosat EPSPS Inhibitor
US
(Tennessee) 2011 Kedelai Glifosat EPSPS Inhibitor Argentina 2012 kedelai Glifosat EPSPS Inhibitor
Sumber : (Heap, 2014).
Karakteristik Eleusine indica (L.) Gaertn
Dalam dunia tumbuhan rumput belulang termasuk ke dalam kingdom : Plantae; divisio : Spermatophyta; subdivisio : Angiospermae; kelas : Monocotyledoneae; ordo : Poales; famili : Poaceae; genus : Eleusine. Deskripsinya yaitu merupakan rumput semusim berdaun pita, membentuk rumpun yang rapat agak melebar dan rendah. Perakarannya tidak dalam tetapi lebat dan kuat menjangkar tanah sehingga sukar untuk mencabutnya. Berkembang biak terutama dengan biji, bijinya banyak dan kecil serta mudah terbawa (Nasution, 1983). Tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun dan tiap tanamannya dapat menghasilkan hingga 140.000 biji tiap musimnya (Lee dan Ngim, 2000).
Sumber : Breeden (2010).
Eleusine indica (L.) Gaertn., atau dikenal dengan nama rumput belulang
termasuk anggota famili Poaceae yang tergolong gulma yang cukup berpengaruh negatif terhadap tanaman (ganas), biasanya terdapat di lahan jagung, karet, dan kelapa sawit. Memiliki ciri-ciri yang paling mencolok, yaitu memiliki batang yang mendatar, dapat tumbuh dengan panjang mencapai 0,7 meter. Di beberapa negara telah dilaporkan bahwa terjadi peningkatan pada gulma ini yang resisten terhaadap herbisida, seperti di Malaysia terdapat beberapa biotip rumput belulang yang resisten terhadap glifosat dan di Brazil terdapat biotip rumput belulang yang resisten terhadap herbisida inhibitor ACCase (Steckel, 2010).
Rumput belulang, berasal dari Afrika lalu menyebar ke daerah-daerah tropis, sub tropis, dan beberapa wilayah di dunia termasuk Afrika, Asia, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika. Gulma ini dapat tumbuh dengan subur dengan cahaya matahari penuh dan juga dapat tumbuh di lahan marginal. Batang, daun, dan biji tumbuh mendatar di tanah yang berbentuk roset sehingga tidak dapat di siangi dengan mudah. Bunga memiliki 2-6 cabang dengan panjang 4- 15 cm (Willcox, 2012).
pada TBM- 1. Gulma ini juga di jumpai pada tanah kosong, di pinggir jalan, di taman dan pekarangan rumah (Nasution, 1983).
Karakteristik Herbisida yang Diuji Ametrin
Nama umum : Ametrin
Nama kimia : (2-ethylamino)-4-(isopropylamino)-6-(methythio)-s-triazine
Rumus bangun :
Ametrin adalah salah satu golongan dari herbisida triazine. Ametrin pertama kali terdaftar sebagai pengendali gulma berdaun lebar pada kebun tebu di tahun 1969, dan secara umum digunakan untuk mengendalikan gulma dilahan jagung. Pada akhir-akhir ini penggunaan ametrin semakin luas, yaitu digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan gulma semusim pada kebun pisang, anggur, jeruk, nenas, dan kentang (EPA, 2005).
Meskipun telah dilarang di Uni Eropa, herbisida ini masih banyak digunakan di dunia. Senyawa ini paling banyak digunakan dalam sistem konservasi tanah, yang dirancang untuk mencegah erosi tanah (Riadi, 2011).
Tanaman dapat menyerap atrazine melalui akar dan dapat juga melalui daun. Pada saat diabsorbsi, senyawa ini berakumulasi dalam titik tumbuh dan pada daun muda dari tanaman, menghambat fotosintesis tanaman yang rentan terhadap herbisida ini dan pada tanaman yang resisten, senyawa ini dapat dimetabolis. Senyawa yang tergolong dalam triazine memiliki persistensi yang tinggi dalam tanah dan dapat bertahan selama 1 tahun baik dalam keadaan kering maupun lembab (Beyond pesticides, 2003).
Ametrin menghambat fotosintesis, terutama dalam fotosistem II pada saat pecahnya air. Ternyata reaksi ini menimbulkan senyawa lain yang mematikan tumbuhan. Gejala yang ditimbulkan karena aplikasi herbisida ametrin adalah klorosis dan nekrosis pada daun. Gejala yang lain adalah menurunnya fiksasi CO2. Ametrin lebih banyak diserap oleh tanah dengan kandungan liat dan bahan organik yang tinggi (Tjitrosoedirdjo et al, 1984).
Ametrin lebih banyak diserap melalui daun dari pada lewat akar. Ametrin yang diserap melalui akar akan ditranslokasikan ke jaringan tubuh gulma secara acropetal dan terakumulasi di daun. Ametrin bekerja dengan cara menghambat proses fotosintesis dengan jalan menghambat transfer elektron hasil fotolisis air pada reaksi Hill (Ashton et al, 1991).
Diuron
Nama umum : Diuron
Rumus bangun :
Diuron adalah salah satu herbisida yang termasuk golongan urea. Diuron pertama kali dikenalkan pada tahun 1966 di Amerika Serikat oleh E.I duPont de Nemours and company. Herbisida diuron digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman keras dan lahan kosong, total penggunaan diuron di Amerika antara 2-4 juta pound pertahun. Diuron membunuh tanaman dengan menghaambat fotosintesis, proses yang dilakukan oleh tanaman menggunakan cahaya, air, CO2 dari udara untuk membentuk glukosa dan selulosa, diuron menghambat transport elektron yang merupakan titik penting dalam proses ini (Cox, 2003).
Diuron biasanya digunakan untuk mengendalikan gulma di perkebunan kelapa sawit, contohnya Paspalum conjugatum, Ottochloa nodosa,
Eleusine indica (rumput belulang), Asytasia intrusa dan Cleome rutidosperma
(berdaun lebar), Desmodium triflorum dan Mimosa pudica (legume), Lygodium
flexuosum dan Nephrolepis biserrata (paku-pakuan). Diuron berbentuk kristal
tidak berbau yang 93 % murni bubuk, titik didih antara 158-159oC dan relatif stabil di lingkungan (Ramli et al., 2012).
digunakan dalam berbagai bidang pertanian, seperti pengendali gulma pada saluran irigasi dan pipa-pipa di areal industri. Diuron adalah penghambat yang kuat pada fotosintesis II melalui reaksi Hill. Reaksi Hill melibatkan transfer elektron dari air ke penerima elektron, yang memungkinkan penangkapan cahaya oleh klorofil a. Diuron menghambat transfer elektron dari air ke penerima elektron yang menghambat pembentukan ATP dan NADPH yang dibutuhkan oleh tanaman dalam berbagai reaksi biokimia (APVMA, 2011).
Diuron lebih cepat diserap melalui akar tumbuhan dan dengan segera ditranslokasikan ke bagian atas tumbuhan (daun dan batang) melalui sistem simplastik. Ada dua hal yang menyebabkan diuron tetap berada di permukaan tanah dalam waktu yang relatif agak lama yaitu : (1) tidak mudah larut dalam air sehingga diuron mempunyai kemampuan untuk bertahan dari pencucian dan (2) tingkat absorbsi yang tinggi oleh koloid tanah. Toksisitas diuron sangat tinggi untuk kecambah tumbuhan pengganggu (Ashton et al.1982).
Parakuat
Nama umum : Parakuat
Nama kimia : 1,1´ - Dimethyl - 4,4´ - bipyridinium dichloride Rumus bangun :
aaktif pada herbisida relatif stabil pada suhu, tekanan dan pH yang normal sehingga memungkinan untuk tinggal lebih lama di dalam tanah. Bahan aktif ini juga mudah larut dalam air sehingga memungkinkan untuk tercuci oleh air hujan atau air irigasi sehingga dapat mencemari lingkungan atau sistem perairan (Riadi, 2011).
Parakuat terikat kuat pada partikel tanah dan cenderung bertahan dalam waktu yang lama dalam keadaan tidak aktif. Akan tetapi, ini dapat diserap kembali dan menjadi aktif, keberadaannya dalam tanah dapat mencapai 20 tahun. Parakuat diserap melalui daun yang merusak jaringan tanaman dengan mengganggu fotosintesis dan memecahkan membran sel, yang mengakibatkan keluarnya air sehingga daun menjadi kering. Bahan ini juga dapat ditranslokasikan alam tanaman dan memungkinkan meningkatnya residu (Watts, 2011).
Mekanisme Kerja Herbisida
Mekanisme kerja menunjukan pengaruh herbisida terhadap tumbuhan. Herbisida bekerja dengan berbagai cara, jika kita mengerti mekanisme kerja herbisida kita mengetahui apa saja yang disebabkan oleh letal dosis maupun sub letal dosis. Mekanisme kerja antara herbisida sistemik dan kontak juga berbeda, herbisida sistemik ditranslokasikan ke dalam tumbuhan yang telah diserap melalui daun, batang, maupun akar. Dan herbisida yang tidak ditranslokasikan setelah masuk ke dalam tumbuhan disebut herbisida kontak (Baumann et al., 2009).
Pada umumnya, herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme senyawa penting seperti, pati, asam lemak atau asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang “normal” dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi substrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan (Riadi, 2011).
Gambaran Umum Gulma Resisten Herbisida Pada Perkebunan Kelapa Sawit
Malaysia dan Indonesia menguasai produksi kelapa sawit di dunia, yaitu sebanyak 80 % dari produksi global. Kebayakan di Malaysia ada 200.000 pemegang saham kecil dan berkembang yang menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma. Gulma adalah komponen terbesar pada sistem produksi kelapa sawit. Gulma – gulma tersebut terdiri dari rumput, teki-tekian dan berdaun lebar yang sering muncul secara bergantian tergantung pada tingkat pertumbuhan tanaman yang menyediakan keadaan yang sesuai untuk pertumbuhan gulma. Naungan yang tersedia karena tajuk kelapa sawit mempengaruhi komposisi gulma secara alami dan spesies rumputan cenderung mendominasi di kelapa sawit (Mohamad et al., 2010).
Gulma yang resisten terhadap herbisida sangat umum terjadi di alam. Hal ini juga terjadi pada pestisida lainnya, seperti serangga dan jamur resisten. Resisten meningkat saat pestisida yang sama digunakan berulang kali pada satu organisme. Ada beberapa faktor yang dapat mempercepat terbentuknya populasi gulma yang resisten, antara lain 1) hadirnya biotip resisten diantara populasi sensitif sehingga populasi resisten menjadi dominan, dan 2) Penerapan penanaman monokultur. Penggunaan herbisida yang sama atau herbisida pada tanaman yang sama, di lahan yang sama, dan untuk gulma yang sama selama bertahun-tahun akan meningkatkan berkembangnya gulma secara cepat. Contohnya di perkebunan tanaman tahunan (Ferrell et al., 2014).
dengan cara dikored atau dicangkul. Gulma diantara polybag dapat disemprot dengan diuron 2,0-2,5 kg/ha. Pada Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), jika dibandingkan pengendalian manual, biaya pengendalian dengan herbisida kontak lebih rendah 13-21%, sedangkan dengan herbisida sistemik mampu menekan hingga lebih rendah 33 – 42%. Pengendalian gulma di Tanaman Menghasilkan (TM) dapat dilakukan dengan kombinasi glifosat dan metil-metsulfuron
Manajemen Resisten Herbisida
Dari data base internasional untuk resisten herbisida 183 spesies gulma yang resisten. Manajemen resisten yang terbaik tentunya pencegahan, menggunakan startegi yang efektif dari segi teknik dan ekonomi. Pencegahan yang efektif adalah salah satu cara yang dapat mengurangi masalah tenakan seleksi (Palou et al., 2008).
Para petani pasti mengharapkan keuntungan yang maksimal untuk pertaniannya. Masalahnya, resisten meningkat beberapa tahun setelah penggunaan bahan kimia, sedangkan biaya-biaya berbagai manajemen lain yang dibutuhkan sangat besar. Berdasarkan (Gorddard et al., 1995) hal tersebut, kita harus fokus pada situasi dimana penanaman dapat terus-menerus dilakukan dan penggunaan lahan menjadi lebih maksimal sebelum meningkatnya resisten terhadap herbisida. Beberapa pilihan manajemen tersebut adalah :
1. Menggunakan cara pengendalian gulma non-kimia 2. Menurunkan dosis herbisida yang diaplikasikan.
3. Tidak menggunakan herbisida selektif dan gulma dikendalikan dengan metode alternatif yang tidak meningkatkan level resisten gulma tersebut.
Ada beberapa petunjuk yang dapat membantu untuk mencegah atau menunda gulma yang resisten terhadap herbisida agar tidak menjadi masalah ekonomi, yaitu :
1. Mengadakan rotasi tanaman. Melakukan rotasi tanaman berarti menggunakan berbagai herbisida dalam pengendalian gulma sehingga biotip resisten sulit untuk berkembang.
2. Melakukan pencampuran herbisida. Pencampuran beberapa herbisida dengan mekanisme kerja yang juga berbeda dapat membatasi pertumbuhan biotip resisten.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian , Medan pada ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan Bulan Mei-September 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas biji rumput belulang biotip reesisten dan sensitif.
Populasi pertama, rumput belulang resisten-parakuat berasal dari areal di kebun induk (Afdeling III), Kebun Adolina, PTPN IV, Perbaungan disebut sebagai populasi resisten rumput belulang Adolina yang disebut EAD. Biotip ini telaah terbukti resisten terhadap glifosat dan parakuat dan telah dikendalikan dengan glifosat dan parakuat selama 26 tahun; Populasi kedua adalah populasi dari rumput belulang dari kampus Universitas Sumatera Utara, sekitar lapangan bola yang disebut EFH dimana glifosat, parakuat dan herbisida lain tidak pernah digunakan untuk pengendaliannya, populasi digunakan sebagai populasi pembanding dan disebut sebagai populasi sensitif herbisida.
Herbisida yang digunakan adalah Parakuat (Gramoxone 276 SL), Ametrin (Amexon 500 SC), Diuron (Bimaron 80 WP), top soil, pasir, kompos, dan pot.
Metode Penelitian
Kedua populasi rumput belulang yang berasal dari dua lokasi pengambilan biji berbeda disemaikan dengan cara disebar merata di boks perkecambahan berukuran 30 cm × 22 cm x 5 cm yang telah diisi tanah dan ditutup dengan lapisan tanah tipis. Pada umur dua minggu setelah disemaikan, tanaman dipindah tanam ke dalam pot berdiameter 20 cm yang berisi media tanam topsoil, pasir, dan kompos (2 : 1 : 1) sebanyak 10 bibit per pot dan ditempatkan di tempat terbuka. Pada saat tiga minggu setelah tanam (MST) atau telah berdaun 3-4 helai tanaman disemprot dengan masing-masing jenis herbisida berbeda, yaitu populasi R (Resisten) dan pembandingnya S (Sensitif) dengan parakuat, ametrin, diuron untuk mendapatkan dose response.
Untuk mendapatkan respons dosis kedua populasi rumput belulang (EAD dan EFH) disemprot dengan herbisida dalam beberapa taraf dosis herbisida sebagai berikut:
Parakuat : 0, 50, 100, 200, 400, 800, 1600 g b.a/ha Diuron : 0, 187,5, 375, 750, 1500, 3000, 6000 g b.a/ha Ametrin : 0, 62,5, 125, 250, 500, 1000, 2000 g b.a/ha
Setiap perlakuan dibuat dalam tiga ulangan. Perlakuan tersebut disusun dalam sebuah rancangan acak kelompok (RAK). Data kemampuan bertahan hidup masing-masing biotip (EAD dan EFH) dibandingkan pada setiap dosis yang diuji untuk menentukan respons kedua biotip tersebut.
LD50(Lethal Dose 50) dihitung berdasarkan analisis probit yang berdasarkan pada jumlah gulma yang bertahan hidup dari masing-masing dosis yang diuji.
Pelaksanaan Penelitian
Penentuan Populasi Resisten-Parakuat
Rumput belulan yang diambil berasal dari tanaman induk yang masih bertahan hidup setelah disemprot dengan herbisida parakuat. Biji-biji tersebut diambil dari areal Kebun Adolina PTPN IV (Afdeling III) lalu dibawa dan ditanam di lahan percobaan Fakultas Pertanian USU, Medan.
Pengambilan Biji
Persiapan Lahan dan Media
Lahan disiapkan dengan cara dibersihkan dari gulma. Media tumbuh yang digunakan adalah topsoil, pasir, dan kompos dengan perbandingan 2:1:1. Media tersebut dimasukkan ke dalam pot berdiameter 20 cm sebanyak 10 bibit untuk tiap pot.
Penyemaian dan Penanaman
Biji kedua populasi tersebut disemaikan pada hari yang sama di dalam boks perkecambahan berukuran 30 cm × 22 cm x 5 cm secara terpisah. Media yang digunakan untuk penyemaian adalah top soil, kompos, pasir dengan perbandingan 2 : 1 : 1, lalu pada umur empat belas hari setelah tanam (HST), pada saat berdaun satu dipindahtanamkan ke dalam pot berdiameter 20 cm sebanyak 10 bibit untuk tiap pot dengan yang sama pada saat penyemaian.
Pemeliharaan Penyiraman
Penyiraman dilakukan apabila diperlakukan. Hal ini dilihat berdasarkan kondisi cuaca di lapangan.
Aplikasi Herbisida
sebelumnya agar tidak terjadi dari kesalahan aplikasi. Saat pengaplikasian nozel diarahkan pada tanaman dengan tinggi yang disesuaikan dengan tinggi tanaman. Penyemprotan dilakukan pada waktu cuaca cerah. Untuk menghindari kemungkinan terkena hujan, pot yang telah disemprot ditutupi dengan naungan plastik selama satu malam lalu dibuka kembali pada pagi hari berikutnya.
Pengamatan Parameter
Jumlah gulma bertahan hidup
Jumlah gulma yang bertahan hidup dihitung untuk masing-masing pot pada 21 hari setelah aplikasi (HSA). Gulma dikatakan bertahan hidup apabila masih mungkin untuk tumbuh.
Jumlah anakan
Jumlah anakan yang dihasilkan oleh tiap rumput lulangan dihitung pada masing-masing pot pada 6 MSA.
Bobot Kering
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Jumlah Gulma yang Bertahan Hidup
Data pengamatan dan hasil sidik ragam jumlah gulma yang bertahan hidup terhadap pemberian dosis herbisida parakuat (Lampiran 4-5), menunjukakan bahwa perlakuan dosis herbisida parakuat berpengaruh nyata terhadap jumlah gulma yang bertahan hidup 3 MSA, baik populasi resisten (EAD) maupun populasi sensitif (EFH). Pada data pengamatan dan hasil sidik ragam jumlah bertahan hidup terhadap pemberian dosis herbisida diuron (Lampiran 6-7), menunjukkan bahwa perlakuan dosis herbisida diuron berpengaruh nyata terhadap jumlah gulma yang bertahan hidup 3 MSA, baik populasi resisten (EAD) maupun populasi sensitif (EFH) sedangkan pada data pengamatan dan hasil sidik ragam jumlah bertahan hidup terhadap pemberian dosis herbisida ametrin (Lampiran 8-9) juga berpengaruh nyata terhadap jumlah gulma yang bertahan hidup 3 MSA, baik populasi resisten (EAD) maupun populasi sensitif (EFH).
Pengaruh masing-masing dosis herbisida parakuat terhadap gulma rumput belulang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh aplikasi parakuat terhadap kemampuan bertahan hidup rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip
sensitif-parakuat (EFH) 3 MSA.
Parakuat Bertahan Hidup
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada populasi EAD dosis 50 g b.a/ha sampai 400 g b.a/ha dan parakuat tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Perbedaan yang nyata hanya terdapat dosis 0 g b.a/ha sampai 200 g b.a/ha terhadap 1600 g b.a/ha. Pada populasi EFH dosis 0 g b.a/ha sampai 1600 g b.a/ha berbeda nyata dengan semua dosis. Pada dosis 200 g b.a/ha tersebut rumput belulang populasi EAD yang bertahan hidup adalah 63,35% atau lebih tinggi 26,70% dari rataan populasi sensitif EFH. Pada dosis 1600 g b.a/ha sudah tidak ada tanaman populasi sensitif EFH yang bertahan hidup sedangkan pada populasi EAD masih ada tanaman yang bertahan hidup, yaitu sebesar 30,20%.
Gambar 2. Grafik perbandingan rumput belulang yang bertahan hidup 3 MSA pada populasi EAD dan EFH terhadap parakuat.
Sedangkan pengaruh masing-masing dosis herbisida diuron terhadap rumput belulang yang bertahan hidup pada 3 MSA dapat dilihat pada Tabel 3.
0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
Tabel 3. Pengaruh aplikasi diuron terhadap kemampuan bertahan hidup rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif (EFH) 3 MSA.
Diuron Bertahan Hidup
(g b.a/ha) EAD EFH
...%...
0 100,00 a 100,00 a
187,5 79,36 b 76,85 b
375 53,76 c 27,50 c 750 3,70 d 13,70 cd 1500 0,00 d 0,00 d 3000 0,00 d 0,00 d 6000 0,00 d 0,00 d
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Gambar 3. Grafik perbandingan rumput belulang yang bertahan hidup 3 MSA pada populasi EAD dan EFH terhadap diuron.
Pengaruh masing-masing dosis herbisida ametrin terhadap rumput belulang dapat dilihat pada Tabel 4
Tabel 4. Pengaruh aplikasi ametrin terhadap kemampuan bertahan hidup rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif (EFH) 3 MSA.
Ametrin Bertahan Hidup
(g b.a/ha) EAD EFH Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada populasi EAD resisten parakuat dosis 0 g b.a/ha sampai 2000 g b.a/ha ametrin berbeda nyata terhadap semua dosis, tetapi tidak menunjukan berbeda nyata pada dosis 62,5 g b.a/ha terhadap dosis 0 g b.a/ha
0
0 750 1500 2250 3000 3750 4500 5250 6000 6750
dan 125 g b.a/ha, dosis 125 g b.a/ha terhadap 250 g b.a/ha sedangkan populasi EFH sensitif pada dosis 0 g b.a/ha sampai 2000 g b.a/ha berbeda nyata terhadap semua dosis dan hanya yang tidak menujukkan berbeda nyata pada populasi EFH sensitif yaitu pada dosis 125 g b.a/ha terhadap dosis 62,5 g b.a/ha dan 250 g b.a/ha. Pada dosis 500 g b.a/ha tersebut rumput belulang yang bertahan hidup dari populasi EAD adalah 36,09%, persentase tersebut lebih besar dari pada populasi EFH yang hanya sebesar 26,50%. Pada dosis 1000 g b.a/ha hingga 2000 g b.a/ha sudah tidak ada lagi populasi EAD dan EFH yang bertahan hidup.
Gambar 4. Grafik perbandingan rumput belulang yang bertahan hidup 3 MSA pada populasi EAD dan EFH terhadap ametrin.
Jumlah Anakan
Dari data pengamatan dan hasil sidik ragam jumlah anakan terhadap pemberian dosis herbisida parakuat (Lampiran 10-12), menunjukkan bahwa jumlah anakan dosis herbisida parakuat tidak berpengaruh nyata, keduaanya tidak menunjukkan berbeda yang nyata terahadap jumlah anakan pada 6 MSA. Pada data pengamatan dan hasil sidik ragam dosis diuron (Lampiran 14-16) hanya
0
0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250
memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anakan EAD sedangkan EFH tidak menunjukkan berbeda nyata terhadap jumlah anakan pada 6 MSA. Sedangkan data pengamatan dan hasil sidik ragam dosis herbisida ametrin (Lampiran 18-20) memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada populasi EAD, dan populasi EFH terhadap jumlah anakan pada 6 MSA.
Pengaruh masing-masing dosis herbisida parakuat terhadap jumlah anakan rumput belulang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh aplikasi parakuat terhadap jumlah anakan rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif (EFH) 6 MSA.
Parakuat Jumlah anakan/pot
(g b.a/ha) EAD EFH
0 0,30 0,70
50 1,30 1,00
100 0,70 0,30
200 0,30 0,00
400 1,30 0,00
800 1,00 0,00
1600 1,70 0,00
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Gambar 5. Grafik perbandingan jumlah anakan rumput belulang populasi EAD dan EFH terhadap parakuat pada 6 MSA.
Pengaruh masing-masing dosis herbisida diuron terhadap jumlah anakan rumput belulang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengaruh aplikasi diuron terhadap jumlah anakan rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif (EFH) 6 MSA.
Diuron Jumlah anakan/pot
(g b.a/ha) EAD EFH
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Tabel 6. menunjukkan bahwa jumlah anakan dosis herbisida diuron populasi EAD berbeda nyata tetapi yang tidak berbeda nyata yaitu dosis 187,5 g b.a/ha terhadap dosis 0 g b.a/ha dan 375 g b.a/ha namun hanya berbeda nyata dengan dosis 187,5 g b.a/ha terhadap dosis 750 g b.a/ha sampai 6000 g b.a/ha sedangkan populasi EFH tidak menunjukkan berbeda nyata. paling tinggi rataan
0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
terdapat pada populasi EAD adalah 2,00 pada aplikasi diuron dengan dosis 187,5 g b.a/ha sedangkan pada populasi EFH rataan tertinggi juga terdapat pada perlakuan dosis 187,5 g b,a/ha yaitu sebesar 2,00. Dapat dilihat bahwa pada dosis 750 g b.a/ha hingga 6000 g b.a/ha sudah tidak terdapat anakan yang tumbuh pada populasi EAD dan EFH.
Gambar 6. Grafik perbandingan jumlah anakan rumput belulang populasi EAD dan EFH terhadap diuron pada 6 MSA.
Pengaruh masing-masing dosis herbisida ametrin terhadap jumlah anakan rumput belulang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh aplikasi ametrin terhadap jumlah anakan rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif (EFH) 6 MSA.
Ametrin Jumlah anakan/pot
(g b.a/ha) EAD EFH
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
0 2 4 6
0 750 1500 2250 3000 3750 4500 5250 6000 6750
Tabel 7 menunjukkan bahwa penyemprotan dosis ametrin memberikan pengaruh yang tidak nyata pada populasi EEH sedangkan pada populasi EAD penyemprotan dosis ametrin ini telah menunjukkan berbeda nyata pada dosis 0 g b.a/ha terhadap dosis 125 g b.a/ha, 500 g b.a/ha, 1000 g b.a/ha dan 2000 g b.a/ha, tetapi yang tidak menunjukkan berbeda nyata pada dosis 62,5 g b.a/ha dan 250 g b.a/ha terhadap dosis 0 g b.a/ha dan dosis 125 g b.a/ha, 500 g b.a/ha sampai 2000 g b.a/ha
Gambar 7. Grafik perbandingan jumlah anakan rumput belulang populasi EAD dan EFH terhadap ametrin pada 6 MSA
Bobot Kering
Pada data pengamatan dan sidik ragam bobot kering terhadap pemberian dosis herbisida parakuat (Lampiran 22-23), menunjukkan bahwa perlakuan dosis herbisida parakuat berpengaruh nyata terhadap bobot kering populasi EAD dan populasi EFH pada 6 MSA. Pada data pengamatan dan sidik ragam bobot kering pemberian dosis herbisida diuron (Lampiran 24-25), menunujukkan bahwa perlakuan dosis herbisida diuron berpengaruh nyata terhadap bobot kering populasi EAD dan populasi EFH pada 6 MSA. Pada data pengamatan dan sidik
0
0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250
ragam bobot kering terhadap pemberian dosis herbisida ametrin (Lampiran 27-28) memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering dari kedua populasi pada 6 MSA.
Pengaruh masing-masing dosis herbisida parakuat terhadap bobot kering rumput belulang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengaruh aplikasi parakuat terhadap bobot kering rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif (EFH) 6 MSA.
Parakuat Bobot Kering
(g b.a/ha) EAD EFH
...g/pot...
0 3,10 a 4,30 a
50 2,70 ab 3,40 a
100 2,60 ab 1,90 b
200 2,20 bc 1,20 b
400 1,20 bc 0,00 c 800 1,60 cd 0,00 c 1600 1,03 d 0,00 c
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak Duncan pada taraf 5%.
Gambar 8. Grafik perbandingan bobot kering rumput belulang populasi EAD dan EFH terhadap parakuat pada 6 MSA.
Pengaruh masing-masing dosis herbisida diuron terhadap bobot kering rumput belulang pada 6 MSA dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Pengaruh aplikasi diuron terhadap bobot kering rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif (EFH) 6 MSA.
Diuron Bobot Kering
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
0
0 750 1500 2250 3000 3750 4500 5250 6000 6750
B Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah rataan bobot kering pada populasi EAD berpengaruh nyata terhadap dosis 0 g b.a/ha sampai dosis 6000 g b.a/ha, begitu juga respon yang ditunjukkan oleh populasi EFH berpengaruh nyata terhadap dosis 0 g b.a/ha sampai 6000 g b.a/ha hanya pada populasi EFH pada dosis 187,5 g b.a/ha tidak menunjukkan berbeda nyata terhadap dosis 375 g b.a/ha sampai 6000 g b.a/ha. Jumlah rataan bobot kering populasi EAD dan populasi EFH juga dapat dilihat pada grafik 9.
Gambar 9. Grafik perbandingan bobot kering rumput belulang populasi EAD dan EFH terhadap diuron pada 6 MSA.
Tabel 10. Pengaruh aplikasi ametrin terhadap bobot kering rumput belulang biotip resisten-parakuat (EAD) dan biotip sensitif (EFH) 6 MSA.
Ametrin Bobot Kering
(g b.a/ha) EAD EFH
...g/pot...
0 2,90 a 2,70 a
62,5 3,20 b 1,80 ab
125 2,40 ab 1,90 ab
250 1,80 b 1,40 b
500 0,00 c 0,00 c
1000 0,00 c 0,00 c
2000 0,00 c 0,00 c
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Gambar 10. Grafik perbandingan bobot kering rumput belulang populasi EAD dan EFH terhadap ametrin pada 6 MSA.
Lethal Dose 50 (LD50)
Berdasarkan pada jumlah gulma yang bertahan hidup dari tujuh taraf dosis herbisida yang diuji dapat diketahui nilai LD50 dari masing-masing herbisida yang diuji terhadap rumput belulang yang dihitung berdasarkan probit analisis. Nilai LD50 dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai LD50 herbisida parakuat, diuron, dan ametrin yang diaplikasikan pada rumput belulang.
Herbisida LD50 (g b.a/ha) Rasio
EAD/EFH Populasi EAD Populasi EFH
Parakuat 856,962 134,124 6,4
Diuron 383,084 366,665 1,04
Ametrin 392,307 351,666 1,11
Tabel 11 menunjukkan nilai LD50 yang didapat melalui perhitungan menggunakan program Minitab 16 berdasarkan jumlah rumput belulang yang bertahan hidup pada tujuh taraf dosis herbisida yang diberikan. Nilai LD50 herbisida parakuat tertinggi terdapat pada aplikasi terhadap populasi EAD yang mencapai 856,962 g b.a/ha, sedangkan nilai LD50 populasi EFH hanya sebesar 134,124 g b.a/ha. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan resistensi populasi
0
0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250
ETS ± 6 kali lebih tinggi dari pada populasi EFH. Sedangkan untuk nilai LD50 pada aplikasi ametrin perbandingan nilai LD50 untuk populasi EAD dan EFH adalah 1,11. Rasio perbandingan nilai LD50 populasi EAD dan EFH pada aplikasi diuron menunjukkan nilai yang sangat kecil, yaitu 1,04. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat sensitifitas kedua populasi terhadap herbisida ametrin dan diuron masih tinggi sehingga tidak menunjukkan adanya resistensi terhadap herbisida tersebut.
Pembahasan
sensitif dan meninggalkan individu yang resisten. Jumlah individu-individu yang resisten tersebut pada suatu ketika menjadi signifikan dan menyebabkan kegagalan dalam pengendalian.
Penanaman dengan sistem monokultur dan pemakaian parakuat secara terus-menerus selama 26 tahun di lahan perkebunan sawit kebun Adolina, kebun induk (Afdeling III) merupakan beberapa penyebab terjadinya resistensi pada gulma rumput belulang. Meskipun, rasio EAD/EFH sebesar 6,4 menunjukkan tingkat resistensi gulma terhadap parakuat masih tergolong resistensi sedang, namun perkembangan rumput belulang telah berkembang pesat dan menutupi piringan kelapa sawit . Hal ini sesuai dengan Ferrell et al (2014) yang menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempercepat terbentuknya populasi gulma yang resisten, antara lain 1) hadirnya biotip resisten diantara populasi sensitif sehingga populasi resisten menjadi dominan, dan 2) Penerapan penanaman monokultur. Penggunaan herbisida yang sama atau herbisida pada tanaman yang sama, di lahan yang sama, dan untuk gulma yang sama selama bertahun-tahun akan meningkatkan berkembangnya gulma secara cepat. Contohnya di perkebunan tanaman tahunan.
tumbuhan penutup, dan menggunakan benih yang bersih), dan menurunkan tekanan seleksi. Menurunkan tekanan seleksi dengan aplikasi herbisida dosis rendah dapat mempermudah berkembangnya resisten non-target. Dosis sedang (menengah) seharusnya cukup untuk mengendalikan individu yang memiliki tingkat resistensi rendah. Hal ini juga penting untuk mengenal mekanisme kerja dan resistensi agar dapat memilih beberapa pilihan manajemen.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Populasi resisten-parakuat (EAD) resisten terhadap parakuat tetapi tidak terhadap diuron dan ametrin.
2. Tingkat resistensi populasi resistensi-parakuat (EAD) terhadap parakuat, diuron, dan ametrin adalah sebesar 6,4 ; 1,04 dan 1,11 kali lebih tinggi dibandingkan populasi sensitif-parakuat (EFH).
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Alla, M. M. N dan N. M, Hassan. 2008. Recognition, Implication, and Management of Plant Resistance to Herbicides. Ann. J. Plant Physiol.,3(2):50-66
Ashton, F. M., G. C Klingman and L.J Noordhoff. 1982. Weed and Science : Principles and Practices (2nd ed.). John Wiley and Sons, Inc. New York. p257-259.
Ashton, F. M., G. C Klingman and T. J. Monaco. 1991. Weed Sc ience : Principles and Practices (3rd ed). John Wiley and Sons, Inc. New York. 466 p.
Australian Pesticides and Veterinary Medicine Authority (APVMA). 2011. Diuron. Autralia Government, Australia.
Baumann, P. A., P. A, Dotray dan E. P, Prostko. 2009. Herbicides, How They Work and The Symptoms They Cause. Texas Agricultural Extention Services, Texas.
Breeden, G. 2010. Goosegrass (Eleusine indica). Turfgrass Weed Science at The University of Tennessee, Tennessee. Diaksses pada tanggal 10 Maret 2014.
Carrier, M., M. Besson., C, Guillard., E, Gonze. 2009. Removal of Herbicide Diuron and Thermal Degradation Product Under Catalytic Wet Air Oxidation Conditions. Université de Savoie, France.
Chuah, T. S., B. J. Nor Asmah., T. S, Cha., Sayed M. Z, Hasan dan I. B, Sahid. 2008. The Use of Reduced Rates of Herbicide Combinations in Tank-mixes for Goosegrass Control. World Applied Sciences Journal 5 (3): 358-362.
Cox, C. 2003. Diuron. Journal of Pesticide Reform, 23(1).
Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1984. Pestisida Untuk Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Perlindungan Tanaman, Jakarta.
Environmental Protection Agency (EPA). 2005. Ametryn. United States.
Environmental Protection Agency (EPA). 2005. Reregistration Eligibility Decision (RED) for Ametryn. United States.
Gunsolus, J. L dan W. S, Curran. 2007. Herbicide Mode of Action and Injury Symptoms. Department of Agronomy Pennsylvania State University, Pennsylvania.
Hager, A. G dan D. Refsell. 2008. Weed Resistance to Herbicides. Department of Crop Sciences, America Desember 2013.
Februari 2014.
Jachetta, J. 2003. Amino Acid Biosynthesis Inhibiting Herbicides. Dow Agrosciences LLC, US.
Lee, L. J. dan J. Ngim. 2000. A First Report of Glyphosate-Resistant Goosegrass (Eleusine indica (L.) Gaertn) in Malaysia. Melaka, Malaysia. http://ag.udel.edu. Diakses tanggal 30 Januari 2014.
Lingenfelter, D. D dan N. L, Hartwig. 2007. Introduction to Weeds and Herbicides. Agriculture Research and Cooperative Extention, Pennsylvania.
Mathers, H. M. 2002. Herbicide Resistance: Development, Prevention and Recognition. 10 Maret 2014.
Nasution, U. 1983. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Tanjung Morawa.
Neve, P. 2007. Challenges for Herbicide Resistance Evolution and Management. University of Warwick, Wellesbourne.
Steckel, L. 2010. Goosegrass. The University of Tennessee.
Palou, A. T., A. C, Ranzenberger dan C. Z, Larios. 2008. Management of Herbicide-Resistant Weed Populations. Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO), Rome. http: Diakses pada tanggal 17 Maret 2014.
Preston, C., V. Stewart., A. Storrie., S. Walker., dan A. Hashem. 2008. Herbicide Resistance. CRC For Australian Weed Management, Australia.
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara, Medan.
Ramli, M. I., Z. Zakaria., I. Sahid., T. Y, Ai., H. Muhammad. 2012. Determination of Herbicide Diuron Levels in Palm Oil Matrices Using HPLC-UV. Sains Malaysiana 41(11): 1451-1459.
Riadi, M. 2011. Herbisida dan Aplikasinya. UNHAS Press, Makassar.
Santhakumar, N. T. 2002. Mechanism of Herbicide Resistance in Weeds. University of Massachussets, Amherst. pada tanggal 10 Februari 2014.
Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmodjo (Eds). 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Kerjasama Biotrop Bogor – PT. Gramedia. Jakarta.225 hal.
Watts, M. 2011. Paraquat. PANAP, New York. Diakses pada tanggal 10 Februari 2012.
Lampiran 3. Kalibrasi Alat Semprot Herbisida yang digunakan, yaitu :
1. Gramoxone 276 SL : 0, 50, 100, 200, 400, 800, 1600 g /ha 2. Bimaron 80 WP : 0, 187,5, 375, 750, 1500, 3000, 6000 g /ha 3. Amexon 500 SC : 0, 62,5, 125, 250, 500, 1000, 2000 g /ha Ket : Gramoxone = P; Bimaron = Dn; Amexon = Am
P1 = Parakuat diklorida 50 g/ha = 50
200
× 1 L Gramoxone
= 0,25 L Gramoxone/ha P2 = Parakuat diklorida 100 g/ha
= 100 200
× 1 L Gramoxone
= 0,50 L Gramoxone/ha P3 = Parakuat diklorida 200 g/ha
= 200 200
× 1 L Gramoxone
= 1 L Gramoxone/ha
P4 = Paraquat diklorida 400 g/ha = 400
200
× 1 L Gramoxone
= 2 L Gramoxone/ha
P5 = Parakuat diklorida 800 g/ha = 800
200
× 1 L Gramoxone
Am1 = Ametrin 62,5 g/ha
1. Perlakuan P1 (Pq50) Pq 50 = 0,25 L × 1 L
205 L
= 0,00121 L = 1,21 mL
2. Perlakuan P2 (Pq100) Pq 100 = 0,50 L × 1 L
6. Perlakuan P6 (Pq 1600) Pq 1600 = 8 L × 1 L
205 L
= 0,03902 L = 39,02 mL
• Jumlah produk herbisida Diuron yang ditambahkan ke dalam tangki penyemprotan 1 L :
1. Perlakuan Dn1 (Dn 187,5) Dn 187,5 = 2,33 Kg × 1 L
205 L
= 0,011 Kg = 11 gr
2. Perlakuan Dn2 (Dn 375) Dn 375 = 4,66 Kg × 1 L
205 L
= 0,022 Kg = 22 gr
Dn750 = 9,33 Kg × 1 L 205 L
= 0,045 Kg = 45 gr
4. Perlakuan Dn4 (Dn 1500) Dn 1500 = 18,36 Kg × 1 L
205 L
= 0,089 Kg = 89 gr
5. Perlakuan Dn5 (Dn3000) Dn 3000 = 37,33 Kg × 1 L
205 L
= 0,182 Kg = 182 gr
6. Perlakuan Dn6 (Dn 6000) Dn 6000 = 74,66 Kg × 1 L
205 L
= 0,364 Kg = 364 gr
• Jumlah produk herbisida Ametrin yang ditambahkan ke dalam tangki penyemprotan 1 L :
1. Perlakuan Am1 (Am 62,5) Am 62,5 = 0,125 L × 1 L
205 L
= 0,00609 L = 6,09 mL
2. Perlakuan Am2 (Am 125) Am 125 = 0,25 L × 1 L
205 L
= 0,01219 L = 12,19 mL
3. Perlakuan Am3 (Am 250) Am 250 = 0,5 L × 1 L
205 L
= 0,02439 L = 24,39 mL
4. Perlakuan Am4 (Am 500) Am 500 = 1 L × 1 L
205 L
= 0,04878 L = 48,78 mL
5. Perlakuan Am5 (Am 1000) Am 1000 =2 L × 1L
205 L
6. Perlakuan Am6 (Am 2000) Am 2000 = 4L × 1 L
205 L
Lampiran 4. E. indica populasi EAD yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada penyemprotan parakuat (%).
Parakuat (g b.a/ha)
Ulangan
Total Rataan
1 2 3
Pq 0 (Kontrol) 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00
Pq 1 (50) 78,57 88,88 70,00 237,45 79,15
Pq 2 (100) 84,61 77,77 54,54 216,92 72,31
Pq 3 (200) 45,45 84,61 60,00 190,06 63,35
Pq 4 (400) 54,54 66,66 40,00 161,2 53,73
Pq 5 (800) 63,63 25,00 62,5 151,13 50,38
Pq 6 (1600) 27,27 30,00 33,33 90,6 30,20
Total 454,07 472,92 420,37 1347,36 449,12
Rataan 64,87 67,56 60,05 64,16
Sidik Ragam
SK Db JK KT F.hit F.05 KET
Blok 2 202,50 101,25 0,47 3,88 tn
Perlakuan 6 9084,61 1514,10 6,99 3,00 * Galat 12 2598,10 216,51
Total 20 11885,21
FK = 86446,62 KK = 23%
Lampiran 5. E. indica populasi EFH yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada penyemprotan Parakuat (%).
Parakuat (g b.a/ha)
Ulangan
Total Rataan
1 2 3
Pq0(Kontrol) 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00
Pq 1 (50) 60,00 77,70 50,00 187,70 62,57
Pq 2 (100) 69,23 69,23 36,36 174,82 58,27 Pq 3 (200) 27,27 42,85 40,00 110,12 36,71
Pq 4 (400) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Pq 5 (800) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Pq 6 (1600) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Total 256,51 289,78 226,36 772,64 257,54
Rataan 36,64 41,40 32,34 36,79
Sidik Ragam
SK Db JK KT F. Hit F.0.5 KET
Blok 2 287,53 143,76 1,79 3,88 tn
Perlakuan 6 27545,98 4590,99 57,15 3,00 *
Galat 12 963,93 80,33
Total 20 28797,44
FK = 28427,27
KK = 24%
Lampiran 6. E. indica populasi EAD yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada penyemprotan diuron (%).
Diuron (g b.a/ha)
Ulangan
Total Rataan
1 2 3
Dn 0 (Kontrol) 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 Dn 1 (187,5) 71,42 77,77 88,88 238,07 79,36
Dn 2 (375) 46,15 33,33 81,81 161,29 53,76
Dn 3 (750) 0,00 0,00 11,11 11,11 3,70
Dn 4 (1500) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Dn 5 (3000) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Dn 6 (6000) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Total 217,57 211,10 281,80 710,47 236,82
Rataan 31,08 30,16 40,26 33,83
Sidik Ragam
SK Db JK KT F.hit F.05 KET
Blok 2 436,46 218,23 2,46 3.88 tn
Perlakuan 6 33568,52 5594,75 63,09 3,00 *
Galat 12 1064,12 88,67
Total 20 35069,11
FK = 24036,55
KK = 28%
Lampiran 7. E. indica populasi EFH yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada penyemprotan Diuron (%).
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
Dn0(Kontrol) 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00 Dn 1 (187,5) 88,88 75,00 66,67 230,55 76,91
Dn 2 (375) 18,18 14,28 50,00 82,46 27,52
Dn 3 (750) 11,11 0,00 30,00 41,11 13,73
Dn 4 (1500) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Dn 5 (3000) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Dn 6 (6000) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Total 218,17 189,28 246,67 654,12 218,04
Rataan 31,16 27,04 35,24 31,15
Sidik Ragam
SK db JK KT F.hit F. 0.5 Ket
Blok 2 235,26 117,63 1,13 3,88 tn
Perlakuan 6 30172,76 5028,79 48,49 3,00 * Galat 12 1244,48 103,71
Total 20 31652,50
FK = 20374,9
KK = 33%
Lampiran 8. E. indica populasi EAD yang bertahan hidup hingga 3 MSA pada penyemprotan Ametrin (%).
Ametrin (g b.a/ha)
Ulangan
Total Rataan
1 2 3
AM0(Kontrol) 100,00 100,00 100,00 300,00 100,00
AM 1 (62,5) 83,33 90,00 90,00 263,33 87,78
AM 2 (125) 90,00 66,66 80,00 236,66 78,89
AM 3 (250) 63,36 62,50 88,88 214,74 71,58
AM 4 (500) 37,50 40,00 30,76 108,26 36,09
AM 5 (1000) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
AM 6 (2000) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Total 374,19 359,16 389,64 1122,99 374,33
Rataan 53,466 51,31 55,66 53,48
Sidik Ragam
SK Db JK KT F.hit F.05 KET
Blok 2 66,36 33,18 0,54 3,88 tn
Perlakuan 6 31008,69 5168,12 84,66 3,00 *
Galat 12 732,52 61,04
Total 20 31807,57
FK = 60052,69
KK = 15%