UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK
BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SINJAI,
SULAWESI SELATAN
ASBAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
OPTIMALISASI PEMANFAATAN KAWASAN PESISIR
UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK
BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SINJAI,
SULAWESI SELATAN
ASBAR
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September, 2007
RINGKASAN
ASBAR. Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan SUGENG BUDIHARSONO, KADARWAN SOEWARDI, serta DIETRIECH G. BENGEN sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Kawasan pesisir Kabupaten Sinjai memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial, salah satunya adalah untuk budidaya tambak. Permasalahan utama dalam pengembangan budidaya tambak adalah tingginya (loading) nutrien dan bahan organik dari budidaya tambak yang dapat menurunkan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biofisik, kesesuaian peruntukan lahan, kapasitas asimilasi, daya dukung lingkungan dan lahan yang optimal untuk pengembangan budidaya tambak.
Metode survei digunakan untuk menilai karakteristik biofisik lingkungan sebagai dasar penentuan kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Analisis kesesuaian peruntukan lahan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS), analisis daya dukung lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan mengunakan program tujuan ganda (LGP).
Hasil analisis diperoleh lahan yang sesuai untuk budidaya tambak seluas 1.308,95 ha dengan alokasi 417,22 ha untuk budidaya tradisional dan 891,73 ha untuk semi-intensif dan intensif; 310,90 ha sesuai untuk konservasi mangrove; dan 2.205 ha sesuai peruntukan lain. Volume air yang tersedia di pantai untuk tambak sekitar 68.934.266,17 m3 hr-1, dengan kemampuan asimilasi perairan sebesar 515.570,87 kg. Hasil analisis dengan daya dukung jika semua lahan dimanfaatkan untuk budidaya intensif seluas 245,51 ha. Jika semuanya diperuntukkan semi-intensif seluas 449,93 ha dan tradisional plus seluas 1.473,06 ha. Hasil analisis Skenario-1 (priotitas aspek ekologi), diperoleh alokasi pemanfaatan lahan untuk budidaya intensif seluas 117 ha, 350 ha untuk semi-intensif, 525 ha untuk tradisional plus, 155 untuk polikultur (bandeng dan rumput laut), dan 99,89 ha untuk silvofishery, serta 471,78 ha untuk konservasi mangrove. Hasil Skenario-2 (prioritas aspek sosial) diperoleh alokasi pemanfaatan lahan seluas 117 ha untuk intensif, 370 ha untuk semi-intensif, 426 ha untuk tradisional plus dan 255 ha untuk polikultur bandeng dan rumput laut, kemudian 451,81 ha untuk konservasi mangrove. Hasil Skenario-3 (prioritas aspek ekonomi), mengalokasikan pemanfaatan lahan untuk budidaya intensif seluas 117 ha, 449,92 ha untuk semi-intensif, 426 ha untuk tradisional plus, 255,15 ha untuk polikultur bandeng dan rumput laut, dan 371,92 untuk konservasi mangrove.
ABSTRACT
ASBAR. Optimalization of Coastal Area Utilization for Sustainable Brackish water ponds in Sinjai Regency, South Sulawesi. Under supervision of DEDI SOEDHARMA, SUGENG BUDIHARSONO, KADARWAN SOEWARDI, and DIETRIECH G. BENGEN.
The coastal area of Sinjai Regency has potential natural resources, one of them is brackish water pond cultures. The problems in the development of them are loading of organic substance and nutrients, they influence environmental carrying capacity. These matters can be overcome by building model of optimal land use for brackish water ponds based on land suitability and carrying capacity. The aims of this research are to study the characteristic of biophysics, land suitability, assimilation capacities, carrying capacity and optimalization of land for the development of fishpond cultures.
The survey methods used to assess characteristics of environmental biophysics which are used for determination of land suitability and carrying capacity. The analyses are land suitability, carrying capacity analysis, and optimalization of land utilization. Land suitability analysis uses GIS and optimalization of land utilization employs linear goal programming (LGP).
Results of land suitability show that only 1,308.95 hectares are suitable for brackish water ponds, with allocation of 417.22 hectares for traditional culture and 891.73 hectares for semi-intensive and intensive cultures, and 310.90 hectares for the mangrove conservation, and the rest is 2,205.00 hectares. The water volume in coast to brackish water fishponds about 68,934,266.17 m3 hr-1, with assimilate capacity about 515,570.87 kgs. According to carrying capacity analysis, the areas allocated for intensive, semi-intensive and traditional cultures consecutively as follows 245.51 hectares, 449.93 hectares, and 1,473.06 hectares.
The result of scenario 1 (ecological priority) is the allocation of land utilization for intensive shrimp culture 117 hectares, 350 hectares for the semi-intensive, 525 hectares for traditional shrimp, 155 for the poly-culture of (milkfish and sea grass), and 99.89 hectares for silvofishery, and also 471.78 hectares for the conservation of mangrove. The result of scenario 2 (social priority) is the allocation of land optimal utilization for intensive shrimp culture 117 hectares, 370 hectares for the semi-intensive of, 426 hectares to traditional plus and 255 hectares for the poly-culture of milkfish and sea grass; then 451.81 hectares for the conservation of mangrove. The result of scenario 3 (economical priority) is the allocation of land optimal utilization for intensive shrimp culture 117 hectares, 449.92 hectares for the semi-intensive of, 426 hectares to traditional plus, 255.15 hectares for the poly-culture of milkfish and sea grass, and 371.92 hectares for the conservation of mangrove
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Eddy Supriono Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil
Judul Disertasi : Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir Untuk
Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan
Nama : Asbar
NRP : C 226010131
Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Departemen Dekan
Manajemen Sumberdaya Perairan Sekolah Pascasrjana
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Buntu Lamba, Enrekang Sulawesi Selatan pada tahun 1964 sebagai anak keempat dari pasangan Maraguni dan Hj. Sia. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP) Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (UNHAS) pada tahun 1989. Pada tahun 1991, Penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Ilmu Perairan (AIR), dan menamatkannya pada tahun 1994. Pada tahun 2001, penulis mendapat kesempatan melanjutkan program doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Institut Pertanian Bogor (IPB).
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, sejak tahun 1989 – sekarang. Mata kuliah yang diasuh antara lain : Dinamika Populasi Ikan, Manajemen Sumberdaya Perikanan, dan Manajemen Penangkapan Ikan.
Pada tahun 1996, penulis menikah dengan Hj. Mutahharah Mas, SE dan telah dikaruniai 3 orang anak Muhammad Faturrahman, Nur Fadhillah, dan Muhammad Furqan.
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia dan rakhmat-Nya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tema yang penulis kaji adalah ”Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan”.
Perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang sampai saat ini masih rendah merupakan salah satu pemicu yang menginspirasi mengapa penelitian ini perlu dilakukan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan sering kali hanya didasari atas pencapaian manfaat ekonomi serta tanpa mengindahkan kaidah-kaidah ekologi yang telah menjadi pendukung bagi keberlanjutan fungsi sumberdaya pesisir dan lautan bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumberdaya yang melebihi kapasitas daya dukung lingkungan pesisir dan lautan banyak dipraktekkan dan bahkan menjadi kecenderungan dalam setiap aktifitas pemanfaatannya. Akibatnya adalah, resultante dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pemanfaatan sering tidak memperhatikan kesesuaian peruntukan lahan dan melebihi kapasitas asimilasi dari lingkungan perairan dalam penerima beban pencemaran baik yang berasal dari kegiatan itu sendiri maupun dampak akibat kegiatan sektor lainnya.
Dalam penelitian ini tekah diupayakan untuk mengkaji optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir melalui pengelolaan yang terpadu, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya agar tetap lestari. Upaya untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya lahan dan kebutuhan manusia adalah menentukan jenis komoditi, teknologi dan besaran aktivitas manusia dengan daya dukung lingkungan untuk menampungnya. Dengan demikian, setiap aktivitas ekonomi atau pembangunan di suatu kawasan harus didasarkan pada analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan.
didasarkan pada : (1) kesesuaian peruntukan lahan; dan (2) daya dukung lingkungan, sebagai informasi ilmiah dalam memformulasikan kebijakan pengelolaan, regulasi dan pemberian lisensi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, dan Bapak Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, Bapak Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, dan Bapak Prof. Dr. Ir.Dietriech G. Bengen, DEA, masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan, dan dukungannya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua dan Sekertaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta staf atas bimbingan dan bantuannya selama penulis studi di IPB.
Pada kesempatan ini juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang telah memberikan kesempatan tugas belajar ke jenjang S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional, atas kerjasama dan bantuan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang telah diberikan.
Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Ibunda Hj. Sia dan Ayahanda Maraguni yang telah banyak berkorban mulai sejak penulis lahir telah mendidik, membimbing, membesarkan dan memberikan doa agar sukses dalam meraih cita-cita, dan juga kepada kanda Drs. Anshar, Pahri, Drs. Ashri, MM, dan adinda Andzir, serta seluruh keluarga atas dukungan moril, doa dan bantuannya selama penulis studi.
Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan perbaikannya akan sangat kami harapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Bogor, September, 2007
xii
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
... i
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xviii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Pendekatan Masalah... 2
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Pembangunan Berkelanjutan... 6
Konsep Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan... 9
Beban Limbah Budidaya dan Dampaknya terhadap Lingkungan ... 10
Kelayakan Lahan Tambak... 13
Daya Dukung Lingkungan untuk Tambak... 13
Kemampuan Pengenceran Limbah di Perairan Pantai ... 18
Konsep Konservasi... 20
Fungsi dan Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove... 21
KERANGKA PEMIKIRAN... 27
METODOLOGI PENELITIAN... 35
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
Bahan dan Alat... 35
Metode Penelitian ... .. 35
Analisis Data ... 40
xiii
Kesesuaian Kawasan Budidaya Tambak ... 43
Analisis Potensi Ekosistem Mangrove... 44
Korelasi Antara Stasiun Pengamatan dengan Kualitas Air... 46
Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Tambak ... 46
Estimasi Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove ... 47
Kapasitas Asimilasi Perairan Terhadap Limbah Tambak... 49
Kuantifikasi Limbah dari Kegiatan Pertambakan ... 52
Daya Dukung Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak... 53
Metode Optimasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir... 54
HASIL DAN PEMBAHASAN... 59
Karakteristik Biofisik dan Kelayakan Bioteknis Kawasan Pesisir Sinjai untuk Pengembangan Budidaya Tambak... 59
Karakteristik Kawasan Pesisir Kabupaten Sinjai... 59
Karakteristik Biofisik Perairan Pantai... 63
Parameter Kualitas Air... 64
Korelasi antara Parameter Kualitas Air dengan Stasiun Pengamatan 67 Parameter Biologi Perairan ... 69
Produktivitas Primer ... 70
Parameter Kualitas Tanah ... 70
Potensi Pemanfaatan Lahan Kawasan Pesisir ... 73
Potensi Areal untuk Budidaya Tambak ... 73
Potensi Areal untuk Konservasi Mangrove... 78
Potensi Ekosistem Mangrove... 84
Produktivitas Ekosistem Mangrove ... 83
Kandungan Bahan Organik dan Unsur Hara... 85
Kerapatan dan Penutupan Hutan Mangrove ... 88
Kelayakan Usaha dan Valuasi Ekonomi Kawasan Pesisir... 86
Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove untuk Konservasi ... 91
Analisis Manfaat Hutan Mangrove ... 92
xiv
Daya Dukung Berdasarkan Volume Air Laut Penerima Limbah .. 100
Daya Dukung Perairan berdasarkan Ketersediaan Oksigen Terlarut... 101
Daya Dukung Perairan berdasarkan Kapasitas Asimilasi... 103
Kombinasi Teknologi Budidaya Tambak Berdasarkan Daya Dukung... 105
Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir... 107
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dengan Aspek Ekologi Sebagai Prioritas Utama (P1) ... 113
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dengan Aspek Sosial Sebagai Prioritas Utama (P1).. ... 115
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dengan Aspek Ekonomi Sebagai Prioritas Utama (P1) ... .. 116
Model Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak Secara Optimal ... .. 118
PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN PESISIR BERBASIS KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN... 121
KESIMPULAN DAN SARAN... 130
Kesimpulan ... 130
Saran... 131
DAFTAR PUSTAKA... 132
xv
Halaman
1. Beberapa kriteria sistem budidaya tambak udang ... 10
2. Penilaian daya dukung lahan untuk areal budidaya tambak... 17
3. Hubungan luas hutan mangrove dengan jumlah tangkapan udang …… 24
4. Perkiraan luas mangrove Rhizophora yang dibutuhkan untuk asimilasi
limbah N dan P untuk satu hektar tambak semi-intensif dan intensif ... 26
5. Konversi kebutuhan areal mangrove dengan luasan lahan budidaya
perikanan ... 26
6. Parameter biofisik yang diukur serta alat dan metode yang digunakan . 37
7. Parameter kualitas tanah dan metode analisis substrat tanah... 38
8. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi ... 42
9. Pembobotan dan pemberian skor parameter kesesuaian lahan untuk
kawasan konservasi ... 43
10. Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya tambak ... 44
11. Pembobotan dan pemberian skor parameter kesesuaian lahan untuk
budidaya tambak... 44
12. Luas dan produksi budidaya tambak di Kabupaten Sinjai ... 63
13. Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi tambak, mangrove
dan perairan pantai... 65
14. Hasil pengukuran kualitas air pada musim hujan, peralihan dan
kemarau ... 65
15. Matriks korelasi antara variabel kualitas air... 68
16. Akar ciri dan kontribusi komponen utama variabel kualitas air ... 68
17. Parameter kualitas tanah yang diamati selama penelitian di pesisir
Kabupaten Sinjai... 70
18. Rata-rata produksi serasah (ton kering ha-1 th-1) ... 86 19. Persentase laju dekomposisi serasah mangrove... 86
20. Hasil analisis (P, K, C dan N) daun mangrove di kawasan pesisir
xvi
kawasan pesisir Kabupaten Sinjai ... 87
22. Estimasi nilai ekonomi usaha budidaya tambak di lokasi studi... 89
23. Estimasi nilai ekonomi budidaya rumput laut di lokasi studi ... 89
24. Estimasi nilai ekonomi usaha penangkapan kepiting bakau ... 90
25. Sebaran nilai ekonomi penangkapan kelelawar di lokasi studi... 90
26. Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai ... 91
27. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove per hektar ... 92
28. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir Sinjai berdasarkan masing-masing manfaat ... 93
29. Hasil pengukuran kemiringan dasar pantai di lokasi studi... 95
30. Debit andalan Sungai Sinjai (m3 dt-1)... 96
31. Debit air sungai, volume air di pantai dan rata-rata volume air perbulan di pantai Kabupaten Sinjai... 97
32. Karakteristik perairan pantai Kabupaten Sinjai ... 98
33. Perhitungan luas tambak berdasarkan volume air di pantai dengan volume limbah ... 100
34. Daya dukung lingkungan untuk mendukung usaha budidaya intensif, semi-intensif dan tradisional plus ... 101
35. Kegiatan budidaya udang berdasarkan tingkat teknologi di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai ... 102
36. Daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas asimilasi limbah budidaya tambak... 102
37. Parameter dalam penentuan kapasitas asimilasi perairan pesisir ... 103
38. Konsentrasi N dan P di perairan pantai Sinjai pada kondisi daya dukung lingkungan... 104
39. Pendugaan kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Sinjai... 104
40. Luas tambak dan produksi udang pada berbagai kombinasi dalam batas daya dukung produksi maksimum ... 106
41. Luas lahan budidaya tambak, jumlah tenaga kerja dan kebutuhan air masing-masing teknologi... 107
42. Kebutuhan tenaga kerja (TK), produksi, harga dan kebutuhan air ... 107
xvii ekologi sebagai P1, ekonomi P2 dan sosial P3... 119
45. Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek
ekonomi sebagai P1, sosial P2 dan ekologi P3... 119
46. Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek
sosial sebagai P1, ekonomi P2 dan ekologi P3... 119
47. Kondisi bioekologi dan lingkungan pesisir Sinjai bagi pengembangan
budidaya tambak berkelanjutan ... 122
xviii Halaman
1. Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan
kerangka transdisiplin (Munasinghe, 2002) ... 7
2. Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)... 8
3. Penentuan volume perairan pantai untuk pengenceran limbah... 19
4. Kerangka pikir dalam penelitian ... ... 33
5. Kerangka analisis dalam penelitian... 34
6. Peta lokasi penelitian kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan ... 36
7. Peta administrasi Kabupaten Sinjai ... 60
8. Rata-rata curah hujan bulanan tahun 1995 - 2004 di Kab. Sinjai ... 61
9. Kondisi klimatologi di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai, Tahun 1986-1998... 61
10. Penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi Citra Landsat ... 62
11. Data produksi perikanan tangkap dan budidaya Kabupaten Sinjai Tahun 1994 – 2003... 63
12. Histogram parameter kualitas air di perairan pesisir Kabupaten Sinjai berdasarkan musim ... 66
13. Fluktuasi perubahan oksigen terlarut selama 26 jam pengamatan (17 – 18 Februari 2005) ... 66
14. Korelasi variabel fisik-kimia perairan pada sumbu faktorial utama (F1 dan F2) ... 68
15. Korelasi variabel fisik-kimia perairan dan stasiun pada sumbu faktorial utama (F1 dan F2)... 69
16. Peta sebaran dasar sedimen perairan pantai di Kabupaten Sinjai... 72
17. Kondisi tambak ideal untuk budidaya udang tradisional dengan sistem gravitasi ... 74
18. Kelayakan areal budidaya tambak Tradisional, Semi-intensif dan Intensif di Pesisir Kabupaten Sinjai... 74
xix
pesisir Kabupaten Sinjai ... 79
21. Layer-layer yang digunakan untuk penentuan kesesuaian lahan konservasi mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai ... 80
22. Peta kesesuaian lahan untuk konservasi mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai... 82
23. Peta komposit kesesuaian lahan di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai 83 24. Pola pemanfaatan kawasan konservasi mangrove di Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai... 84
25. Perubahan penutupan lahan mangrove berdasarkan Citra Landsat TM tahun 1989, 1999 dan 2002... 85
26. Grafik persentase serasah daun mangrove yang mengalami dekomposisi berdasarkan waktu (hari) ... 86
27. Volume air yang tersedia di pantai saat pasang ... 95
28. Debit air sungai Sinjai setiap bulan... 97
29. Volume air yang tersedia di pantai untuk budidaya tambak ... 97
30. Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama... 113
31. Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek sosial sebagai prioritas utama ... 116
32. Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek ekonomi sebagai prioritas utama ... 117
33. Skenario alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak berdasarkan variabel optimalisasi ... 120
34. Integrasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan budidaya tambak dengan sistem silvofishery ... 125
xx Halaman
1. Data klimatologi rata-rata bulanan dari tahun 1996 - 2005 ... 140
2. Data pengamatan pasang surut satu bulan (tgl 1 – 28 Februari)
perairan pantai Kabupaten Sinjai ... 140
3. Konstanta harmoni pasang surut dan tipe pasang surut di perairan
pantai Kabupaten Sinjai ... 141
4. Pengukuran kecepatan arus pasang surut di muara dan hulu sungai
Sinjai pada waktu spring tide dan neep tide... 142 5. Hasil analisis kualitas air di perairan pesisir Kabupaten Sinjai
(Agustus 2004 s/d Januari 2005)... 143
6. Fluktuasi harian suhu, salinitas, DO, pH, ORP, TDS di tambak
(17-18 Februari, 2005) ... 144
7. Kelimpahan phytoplankton (sel/l) pada musim kemarau,
September 2004 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai... 145
8. Kelimpahan Phytolankton (sel/l) pada musim hujan, Januari 2005 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai... 146
9. Kelimpahan Zooplankton (sel/l) pada musim kemarau, September 2004 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai... 148
10. Kelimpahan Zooplankton (sel/l) pada musim Hujan, Januari 2005 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai... 149
11. Parameter kualitas tanah di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai ... 150
12. Analisis permukaan tanah tambak pada kedalaman ( 0 - 20 cm) di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai... 151
13. Parameter kriteria kesesuaian lahan untuk budidaya tambak ... 153
14. Parameter kriteria kesesuaian lahan untuk konservasi mangrove. 154
15. Hasil analisis diameter batang, jumlah pohon, tinggi pohon, angka bentuk, volume tegakan dan penutupan hutan mangrove ... 155
16. Analisis kelayakan usaha budidaya tambak udang dan bandeng. 156
17. Analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut ... 156
18. Analisis kelayakan usaha penangkapan kepiting ... 157
xxi 21. Analisis kelayakan usaha penangkapan benur per hektar ... 157
22. Analisis kelayakan usaha penangkapan nener per hektar ... 158
23. Posis kedalaman perairan pesisir Sinjai tgl 12 Pebruari 2005 .... 158
24. Rata-rata curah hujan bulanan (mm) pada stasiun Baringin dan
Stasiun Panaikang ... 159
25. Proses perhitungan debit bulanan sungai Sinjai dari tahun
1995 – 2004... 160
26. Perhitungan neraca air dengan pola tanam budidaya udang pada
MT pertama dan udang MT kedua... 162
27. Perhitungan neraca dengan pola tanam budidaya udang pada MT
pertama dan bandeng pada MT kedua ... 163
28. Luas lahan tambak budidaya udang yang dapat dimanfaatkan
berdasarkan debit andalan bulanan sungai Sinjai... 164
29. Hasil analisis optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan
aspek ekologi prioritas I, ekonomi II, dan sosial III ... 165
30. Hasil analisis sensitivitas optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya
tambak dengan aspek ekologi prioritas I, ekonomi II, dan sosial III .... 166
31. Hasil analisis optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak
dengan aspek sosial prioritas I, ekonomi II, dan ekologi III... 168
32. Hasil analisis sensitivitas optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek sosial prioritas I, ekonomi II, dan ekologi III ... ... 169
33. Hasil analisis optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak
dengan aspek ekonomi prioritas I, sosial II, dan ekologi III... 171
34. Hasil analisis sensitivitas optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekonomi prioritas I, sosial II,
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai dengan luas sekitar 31.837 km2 (belum termasuk Selayar, Muna, Buton dan kota Bau-Bau), memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang melimpah, sebagai aset pembangunan wilayah ini yang sangat penting.
Besarnya potensi sumberdaya Teluk Bone kini mendapatkan momentumnya untuk dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan wilayah pesisir, dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan peluang besar bagi kabupaten/kota dan provinsi di wilayah ini untuk mengelola pesisir dan laut dengan seluruh kekayaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut diharapkan dapat menciptakan perubahan dan pertumbuhan yang bersifat mutlidimensional dan berkesinambungan
Permasalahan dalam pengelolaan pesisir Teluk Bone saat ini telah terjadi kerusakan lingkungan, akibat konversi lahan mangrove menjadi tambak. Dari aspek ekonomis dapat meningkatkan nilai ekspor perikanan, namun dari aspek ekologis telah terjadi kerusakan lingkungan. Sebagai contoh kasus hutan mangrove di Kabupaten Wajo pada tahun 1989 seluas 16.205 ha, 15.119 ha telah dikonversi menjadi tambak. Akibatnya hanya dalam waktu 12 tahun terjadi abrasi pantai antara 400-1000 meter ke arah daratan (BAPEDAL WIL. III, 2000).
Berdasarkan fungsi ekologi, hutan mangrove di kawasan pesisir Sinjai, berperan untuk : (1) menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari abrasi, menjadi penyangga terhadap limbah, serta mempercepat pertumbuhan daratan; (2) penghasil detritus sebagai dasar rantai makanan dari berbagai jenis ikan, udang, kepiting, kerang, dll; (3) mengurangi intrusi air laut ke pemukiman penduduk.
Secara ekonomi saat ini mulai berkembang : (1) penangkapan bibit (nener dan benur), (2) penangkapan kepiting di alam, (3) kegiatan budidaya kepiting dengan sistem kurungan bambu dan sistem karamba, dan (4) budidaya ikan/udang dan kepiting dengan sistem empang parit dan komplangan (silvofishery).
Usaha budidaya intensif merupakan kegiatan ekonomi yang sangat produktif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan devisa negara, namun legitimasi keberlanjutan ditentukan oleh dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Budidaya udang intensif menghasilkan limbah organik terutama berasal dari sisa pakan, feses, dan bahan-bahan terlarut, yang terbuang ke perairan dan secara signifikan mempengaruhi kualitas lingkungan pesisir (Johnsen et al., 1993).
Pesatnya perkembangan budidaya tambak di pesisir Sinjai, jika tidak dilakukan pengelolaan secara bijaksana, maka suatu saat akan menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan budidaya. Untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia, maka perlu menetapkan jenis dan besaran aktivitas manusia yang didasarkan pada kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan untuk menampungnya. Oleh karena itu, penelitian tentang ”Optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak berkelanjutan” penting dilakukan sebagai dasar dalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan.
Pendekatan Masalah
jumlah pakan yang diberikan, sekitar 30 % tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan disekresikan (McDonald
et. al., 1996). Untuk usaha budidaya udang intensif 15% dari pakan yang diberikan akan larut dalam air (tidak dikonsumsi) dan 20% dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk faeces (Primavera dan Apud, 1994).
Teknologi budidaya udang intensif dengan padat penebaran 210.000 ekor/ha dengan luas tambak 5.000 m2, total pakan 3,6 ton menghasilkan limbah (TSS) sebesar 1.230 kg selama 120 hari (Soewardi, 2002). Boyd (1999) menyebutkan bahwa retensi nitrogen antara 25-35% dan phosphor antara 15-25% yang tertinggal di dalam jaringan udang. Untuk memproduksi 1 (satu) ton udang, sekitar 12,6 - 21,0 kg nitrogen dan 1,8 - 3,6 kg phosphorous hilang ke dalam lingkungan perairan.
Komponen utama yang menentukan beban N dan P dalam sistem budidaya udang bersumber dari pakan, penggantian air, pemupukan dan benur (bibit). Limbah yang bersumber dari pakan sekitar 6 % N dan 1,3 % P, pada sistem budidaya semi-intensif dengan jumlah pakan 3.000 kg ha-1 MT-1 menghasilkan N sekitar 162 kg ha-1 MT-1 dan 35,1 kg ha-1 MT-1 (Subandar, 2000).
Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi dan hasil ekskresi umumnya dicirikan oleh adanya peningkatan Total Suspended Solid (TSS), BOD, dan COD, dan kandungan N dan P. Akan tetapi secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya nutrien dan bahan organik dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir seperti : peningkatkan sedimentasi dan siltasi, hypoxia, hypernutrifikasi, perubahan produktivitas dan struktur komunitas bentik (Barg, 1992).
Kesesuaian lahan budidaya tambak udang dicirikan oleh karakteristik biofisik lingkungan perairan (volume air yang tersedia di pantai, tipe pantai, pasang surut, arus, debit air tawar, fisika-kimia-biologi perairan, fisika-kimia tanah, iklim), ketersediaan benih dan pakan baik kualitas maupun kuantitas, manajemen budidaya, serta sarana dan prasarana produksi.
luas. Aspek sosial ekonomi merupakan faktor pendorong terjadinya tekanan lingkungan yang menitikberatkan pada pencapaian target maksimasi keuntungan dalam jangka pendek. Hal ini akan memicu terjadinya mismanagement dalam alokasi sumberdaya budidaya yang mengarah pada kerusakan sumberdaya dan lingkungan perairan. Karena itu pola pendekatan optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak harus didasarkan pada kemampuan daya dukung lingkungan perairan.
Pakan memberikan kontribusi terbesar dari total biaya produksi budidaya udang, sekaligus pemasok limbah nutrien yang potensial, karena itu manajemen pakan sangat menentukan efisiensi budidaya udang. Sisa pakan dan feses yang terbuang ke badan air merupakan potensi sumber bahan organik, N dan P yang dapat mempengaruhi kelayakan kualitas air bagi kehidupan budidaya udang dan ikan. Upaya untuk mengatasinya, perlu dilakukan melalui pendugaan beban limbah organik dari kegiatan perikanan budidaya udang di tambak.
Kapasitas asimilasi ditentukan oleh beban limbah organik, kondisi oseanografi, dan karakteristik biofisik perairan, merupakan peubah penentu dalam menentukan daya dukung lingkungan perairan sebagai acuan optimasi pemanfaatan lahan budidaya tambak berkelanjutan, yang meliputi alokasi pemanfaatan lahan yang optimal, kapasitas produksi, penerapan tingkat teknologi budidaya, dan pola tanam.
Permasalahan tersebut di atas, dapat diminimalisasi dengan menentukan model alokasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak secara optimal, sehingga secara ekologi kualitas lingkungan tetap terjaga, secara ekonomi meningkatkan pendapatan masyarakat, dan secara sosial menyerap tenaga kerja dan diterima oleh masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu dikaji secara mendalam dalam penelitian ini adalah :
1. Potensi sumberdaya pesisir, serta karakteristik biogeofisik kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak secara berkelanjutan.
2. Lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya tambak dan konservasi mangrove agar kelestarian lingkungan tetap terjamin
4. Daya dukung lingkungan perairan yang dapat menunjang kegiatan budidaya tambak secara berkelanjutan.
5. Luas lahan optimal yang dimanfaatkan untuk budidaya tambak intensif, semi intensif dan tradisional plus yang layak berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat pesisir.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui karakteristik biogeofisik, kelayakan bioteknis perairan dan
sosial-ekonomi masyarakat dalam pengembangan budidaya tambak.
2. Menentukan luas lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya tambak. 3. Menentukan jumlah limbah organik yang berasal dari kegiatan budidaya tambak
dan kemampuan asimilasi perairan pesisir.
4. Mengestimasi daya dukung lingkungan untuk pengembangan budidaya tambak ramah lingkungan di kawasan pesisir Sinjai.
5. Menentukan model pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaan bagi :
1. Ilmu pengetahuan, dimana hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dalam penerapan model pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan secara berkelanjutan.
2. Masyarakat dan investor, dimana hasil penelitian ini sangat berguna dalam menentukan luas dan lokasi teknologi budidaya yang sesuai untuk dikembangkan. 3. Pemerintah, sebagai acuan dalam memformulasikan kebijakan pemanfaatan lahan
Pembangunan Berkelanjutan
Dasar pemikiran dari penelitian ini adalah konsep pembangunan
berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan
perspektif ekonomi dan ekologi (WCED, 1987). Konsep konservasi hanya
mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan saja, sedangkan
pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan manusianya.
Definisi pembangunan berkelanjutan menurut (FAO, 1995) dalam konteks
pengelolaan sumberdaya perikanan adalah: “pengelolaan dan konservasi berbasis
sumberdaya alam serta orientasi perubahan teknologi dan institusi dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi kebutuhan
generasi mendatang”. Pembangunan berkelanjutan seperti sektor pertanian, kehutanan
dan perikanan, konversi lahan, sumberdaya air, tumbuhan, dan hewan, tidak
terdegradasi secara lingkungan, sesuai secara teknis, menguntungkan secara ekonomi,
dan dapat diterima secara sosial.
Menurut Palunsu (1996) pembangunan berkelanjutan mengandung tiga
pengertian yaitu : (1) memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan
masa yang akan datang, (2) tidak melampaui daya dukung lingkungan, dan (3)
mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan
menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam.
Munasinghe (2002) dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga
komponen utama yang sangat diperhitungkan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan.
Setiap komponen saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan
dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumberdaya manusia,
khususnya melalui peningkatan konsumsi barang dan jasa pelayanan. Sektor
lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor sosial
bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu
Gambar 1 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka trans-disiplin (Munasinghe 2002)
Selanjutnya Munasinghe (2002) menyatakan pembangunan berkelanjutan
harus berdasar pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep “equity” lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus
aspek ekonomi; (3) aspek lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus aspek
sosial budaya.
Gambar 2 menjelaskan bagaimana menggabungkan kerangka “sustainomics”, dan dasar hubungan pengetahuan trans-disiplin, yang akan mendukung pendugaan
komprehensif dan keseimbangan trade-off dan sinergi yang mungkin terjadi dalam pembangunan berkelanjutan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan
jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yangdisesuaikan dengan tempat.
Konsep pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial,
ekologi/lingkungan, dan hukum untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya pesisir
dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002).
Munasinghe (2002) menyatakan bahwa perkembangan dimensi ekonomi
seringkali dievaluasi dari makna manfaat yang dihitung sebagai kemauan untuk
membayar (willingnes to pay) terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi. Konsep modern dari keberlanjutan ekonomi adalah mencari untuk memaksimalkan aliran
peranan dalam memastikan alokasi sumber daya dalam produksi dan efisiensi
konsumsi yang memaksimalkan pemanfaatan.
Menurut Anwar (2001) pencapaian pembangunan secara berkelanjutan, tidak
cukup hanya melihat aspek ekonomi, sosial dan lingkungan saja, namun
mempertimbangkan aspek spasial dan temporal. Konsep keberlanjutan ini akan terus
berkembang melalui proses perkembangan secara evolusi dengan berjalan melintas
waktu yang ditentukan oleh nilai-nilai dalam masyarakat, manusia, perubahan
keadaan ekonomi, serta perubahan dalam realitas politik.
Interaksi ketiga aspek pendukung pembangunan berkelanjutan (ekologi,
ekonomi dan sosial) dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut
bertujuan untuk perbaikan tingkat kesejahteraan masyakat bukan hanya
dipertimbangkan secara lokal untuk skala waktu masa kini saja, tetapi juga dalam
sistem hirarki yang lebih luas melalui lintas skala manajemen dan temporal. Menurut
Charles (2001) konsep pembangunan berkelanjutan mengandung aspek (Gambar 2) :
Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)
1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga
melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem
dengan perhatian utama.
2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku
perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat
3) Keberlanjutan komunitas: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan
masyarakat menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
4) Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan
administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan.
Menurut Charles (2001), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem
perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam yang mencakup ikan, ekosistem, dan
lingkungan biofisik; (2) sistem manusia yang mencakup nelayan, sektor pengolah,
pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosial/ekonomi/budaya; dan (3) sistem
pengelolaan perikanan yang mencakup perencanaan dan kebijakan perikanan,
manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan.
Konsep Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan
Budidaya tambak ramah lingkungan adalah budidaya tambak yang didalam
proses pembuatannya dan proses produksi udangnya dilakukan dengan tidak merusak
lingkungan, harus memperhatikan peraturan tata tertib lingkungan seperti : greenbelt, tandon buangan dan pemasukan air, perbandingan tambak dan hijauan (60% : 40%),
tanpa antibiotika (Soewardi, 2007).
Tambak tradisional adalah tambak yang cara pembuatan hingga
pengoperasiannya tidak menggunakan peralaran moderen, umumnya dilakukan oleh
petani yang berpengetahuan rendah, berorientasi pada kelestarian, dan
produktivitasnya tergantung dari alam. Teknologi budidaya tambak dibedakan atas,
yaitu budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif. Pembagian sistem budidaya
tersebut didasarkan pada beberapa kriteria berikut, yaitu : pakan, pengelolaan air,
padat penebaran, ukuran petak tambak, dan produksi (Tabel 1).
Budidaya tambak intensif dapat menghasilkan produksi yang besar/ maksimal
namun rentang waktu operasinya pendek, sebaliknya budidaya tambak tradisional
produksinya kecil namun rentang waktu operasinya panjang. Strategi pengelolaan
budidaya secara berkelanjutan (Boers (2001).
Pada umumnya, isu utama dalam perencanaan pembangunan budidaya tambak
tersebut, (3) perhatikan daya dukung lingkungan, (4) minimumkan penyakit, (5)
maksimumkan nilai produksi, dan (6) kurangi kemiskinan (Nautilus Consultants,
2000). Isu utama yang terkait dengan kondisi daerah studi akan dikaji dalam
penentuan optimasi pemanfaatan lahan untuk pertambakan.
Tabel 1 Beberapa kriteria sistem budidaya tambak udang
Tingkat sistem budidaya Kriteria
Tradisional Semi-Intensif Intensif
Pakan alami alami dan tambahan pakan formula lengkap
Pengelolaan air pasang surut pasut dan pompa pompa dan aerasi Padat penebaran
(ekor ha-1 musim-1) 1.000 – 10.000 10.000 – 50.000 100.000 - 500.000
Ukuran petak tambak (ha) 3 - 20 1 - 5 0,1 – 1,0
Produksi (kg ha-1th-1) 100 - 500 500 - 1000 2.000 – 20.000 Sumber : Suyanto dan Mujiman (2003)
Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan adalah buangan
limbah budidaya selama operasi berupa bahan organik dan nutrien konsentrasi tinggi
sebagai konsekuensi dari masukan faktor produksi dalam budidaya yang
menghasilkan sisa pakan dan faeses yang larut ke dalam perairan sekitarnya (Johnsen
et al., 1993; McDonald et al., 1996; Boyd, 1999). Dalam budidaya intensif sekitar 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25 - 30%
dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan (McDonald et al., 1996).
Beban Limbah Budidaya dan Dampaknya terhadap Lingkungan
Kibria et al., (1996) menyatakan terdapat hubungan linier yang positif antara laju kehilangan fosfor per ton ikan silver perch (Bidayus bidyus) dengan food conversion rasio (FCR). Karena itu, perbaikan FCR sangat penting untuk mereduksi beban limbah P dari sistem akuakultur ke dalam perairan.
Kehilangan P yang utama adalah yang bersumber dari feses dan pakan yang
tidak termakan. Akan tetapi, pelepasan P tersebut ke dalam lingkungan perairan
tergantung pada karakteristik fisika-kimia perairan seperti pH, temperatur, oksigen,
Buangan limbah akuakultur dan hatchery dapat mendegradasi kualitas perairan jika mengandung konsentrasi TP 0,15 ppm (Waren-Hakanson diacu dalam
Kibria et al., 1996) dan 0,1 ppm terlarut (Alabaster, 1982 diacu dalam Kibria et al., 1996), cenderung dapat menimbulkan proses eutrofikasi badan air yang menerima
beban limbah dari sistem budidaya. Menurut Subandar (2000) komponen utama yang
menentukan loading N dan P dalam sistem budidaya udang bersumber dari pakan,
penggantian air, pemupukan dan benur (bibit). Limbah yang bersumber dari pakan
sekitar 6% N dan 1,3% P, pada sistem budidaya semi-intensif dengan jumlah pakan
3.000 kg ha-1 MT-1 menghasilkan N sekitar 162 kg ha-1 MT-1dan 35,1 kg ha-1 MT-1. Input pakan dalam budidaya intensif merupakan pemasok utama limbah bahan
organik dan nutrien ke lingkungan perairan serta menyebabkan pengkayaan nutrien
dan bahan organik yang diikuti oleh eutrofikasi dan perubahan ekologi fitoplankton,
peningkatan sedimentasi, siltasi, hypoxia, perubahan produktivitas dan struktur
komunitas benthos (Barg, 1992; Buschmann et al., 1996). Sisa pakan dalam tambak diurai oleh mikroba menjadi unsur hara, apabila kondisi di dasar tambak terdapat
cukup banyak oksigen (aerob), maka proses penguraiannya akan menghasilkan
senyawa tidak beracun seperti : NO3, PO4, N2, namun apabila kondisi dasar
tambaknya kekurangan oksigen (anaerob), maka proses penguraiannya akan
menghasilkan senyawa beracun seperti : H2S, CH4, dan NH3 (Boyd, 1999).
Deposisi limbah organik dapat mempengaruhi perubahan fisika-kimia substrat
dan kehidupan biota lainnya. Pengkayaan bahan organik di dalam sedimen akan
menstimuli aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga dapat
menimbulkan deoxygenasi pada substrat dan kolom air akibat pengurangan konsentrasi interstial oksigen dan meningkatkan konsumsi oksigen, meningkatkan
reduksi sulfat, meningkatkan denitrifikasi, dan meningkatkan pelepasan nutrien
inorganik seperti nitrat, nitrit, amonium, silikat, dan fosfat (Barg, 1992; Buschman et al., 1996; McDonald et al., 1996).
Limbah nutrien dan bahan dari budidaya tambak berasal dari pakan yang tidak
membawa bakteri atau mikroorganisme pembawa penyakit. Namun demikian bakteri
atau mikroorganisme tersebut tidak berbahaya bagi manusia dan hanya merupakan
hambatan dalam budidaya tambak.
Laju penggantian air dengan arus dan pasang surut berperan di dalam proses
pembuangan limbah dan pemasok oksigen (Barg, 1992; Cornel and Whoriskey,
1993). Pengenceran atau penyebaran areal dan sedimentasi dari pembuangan limbah
dan dampaknya terhadap ekologi sekitarnya ditentukan oleh dinamika arus dan
kedalaman badan air yang menerima beban limbah (Silvert, 1992; Buschmann et al., 1996). Di lingkungan perairan fosfat mempengaruhi standing stock, komposisi spesies, atau produktivitas fitoplankton dan makroalga (Barg, 1992).
Beberapa hasil penelitian yang dikutip oleh Barg (1992) bahwa partikel bahan
organik akan mengendap di sekitar lokasi budidaya jika kecepatan pengendapan dari
partikel jauh lebih besar dari kecepatan arus. Pengendapan partikel solid akan
menutupi dasar perairan yang relatif lebih kaya akan C, N, dan P dibandingkan
dengan sedimen alami, yang kemungkinan disebabkan oleh perubahan fisika-kimia di
bawah sedimen, peningkatan kandungan karbon organik, diikuti oleh peningkatan
laju konsumsi oksigen sedimen, dan penurunan potensi redox sedimen, terbentuknya hidrogen sulfat dan metana, dan meningkatnya nitrogen inorganik dan organik, fosfat,
silikon, calcium, copper, dan zinc.
Luasnya wilayah dampak dan pengkayaan nutrien tergantung pada
karakteristik produksi budidaya, kedalaman badan air, topografi dasar perairan,
kecepatan arus, dan angin, yang akan menentukan penyebaran pengendapan partikel,
input organik per unit area, dan redistribusi limbah dasar (Barg, 1992; Silvert, 1992;
Johnsen et al., 1993). Komunitas budidaya yang mampu memanfaatkan kekosongan
niche, yang dapat diintegrasikan dalam suatu kawasan, memiliki kemampuan untuk mengasimilasi dan mineralisasi limbah organik, diduga sangat penting peranannya
dalam meminimalisasi dampak lingkungan perairan pesisir (Barg, 1992; Silver, 1992;
Shpigel et al., 1993; Buschamann et al., 1996; Troell et al., 1999). Dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pengembangan perikanan budidaya tergantung
alami maupun limbah budidaya yang dihasilkan, volume beban air, laju penggantian
air, dan karakteristik dari badan air (Phillips, 1985 diacu dalam Cornel and
Whoriskey, 1993).
Kelayakan Lahan Tambak
Menurut Widigdo (2000) bahwa lahan yang sesuai untuk budidaya adalah
kawasan yang masih terjangkau pasang surut, lebih ideal lagi bila terdapat sungai
sehingga salinitas untuk pertumbuhan hewan air dapat tersedia. Kawasan yang layak
untuk budidaya tambak adalah lahan yang masih mudah mendapatkan suplai air
laut/payau, selain itu juga harus didukung oleh: (1) pola arus dan pasang surut, dan
(2) tipe dasar pantai.
Mustafa, et al., (1998) mengemukakan lahan untuk budidaya tambak harus memenuhi persyaratan biologis, teknis, sosial, ekonomi, higienik dan legal.
Ketinggian lahan yang baik untuk budidaya tambak adalah ketinggian yang
memungkinkan tambak tersebut dapat diairi setinggi 0,8 – 1,5 m selama periode
rata-rata pasang tinggi dan dapat dikeringkan secara sempurna setiap diperlukan.
Lahan tambak sebaiknya terletak di daerah muara sungai atau dekat dengan jaringan
irigasi dan sumber air tawar lainnya dengan kelimpahan yang cukup pada musim
kemarau. Kualitas air untuk budidaya tambak hendaknya memenuhi kriteria tertentu
dan tergantung pada komoditas yang dibudidayakan.
Pemilihan dan penetapan lokasi pertambakan kepiting harus didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan ekologis, fisik (kondisi tanah), biologis (temasuk
kesediaan benih) dan sosial ekonomi, pertimbangan fisik juga termasuk desain
tambak. Gunarto (2000) menyatakan bahwa teknologi budidaya pembesaran dan
pematangan gonad telah tersedia. Beberapa permasalahan dari segi teknis
operasional dalam budidaya kepiting adalah suplai benih untuk budidaya pembesaran,
kemudian ketersedian ikan rucah sebagai pakan utama masih sangat terbatas.
Daya Dukung LingkunganUntuk Budidaya Tambak
Permasalahan utama dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah pencemaran,
ruang, akibat tingginya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk beserta
segenap kiprah kehidupan dan pembangunannya terhadap lingkungan wilayah pesisir
yang memiliki kemampuan terbatas (Dahuri, 2001).
Menurut Bengen (2002b), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran
bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu
pertumbuhan organisme. Definisi daya dukung dibedakan atas :
1. Daya Dukung Ekologis : tingkat maksimum (baik jumlah maupu volume)
pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh
suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.
2. Daya Dukung Fisik : jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau
ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan
penurunan kualitas fisik.
3. Daya Dukung Sosial : tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu
sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna
lain dalam waktu bersamaan.
4. Daya Dukung Ekonomi : tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu
sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara
berkesinambungan.
Scones (1993) daya dukung lingkungan dibagi atas 2 (dua) yakni daya dukung
ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum
organisme pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian
karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen.
Sedangkan daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi dari usaha yang
memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara
ekomoni.
Turner (1988) menyatakan, daya dukung merupakan populasi organisme
akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan atau volume perairan yang
ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Quano (1993) menyatakan bahwa
daya dukung adalah kemampuan perairan dalam menerima pencemaran limbah tanpa
Menurut Krom (1986), daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu
ekosistem pesisir untuk menerima sejumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi
terjadinya kerusakan lingkungan. Daya dukung lingkungan erat kaitannya dengan
kapasitas asimilasi lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat
dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993).
Menurut Haskell (1995 diacu dalam Made, 1989) membuat dua asumsi yang
menyangkut daya dukung, yaitu : (1) dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan
akumulasi metabolit, dan (2) laju tersebut sebanding dengan jumlah pakan yang
dimakan per hari. Salah satu faktor kritis yang menentukan daya dukung perairan
pesisir adalah ketersediaan oksigen terlarut (SE, 2002). Cholik et al., (1990) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam karamba nila merah di laut dengan
kapadatan 750 ekor m-3 mencapai 2,0-1,5 ppm pada malam hari sampai menjelang pagi hari pada pemeliharaan bulan ke-3, sementara di karamba jaring apung (KJA)
bandeng terjadi pada kepadatan 150 ekor m-3 (Pangsapan et al., 2001). Kondisi
hypoxia ini dalam jangka panjang oleh Schmittou (1991) disebut sebagai Low Dissolved Oxygen Syndrome (LODOS), kondisi dimana kelarutan oksigen rendah yang diikuti secara simultan oleh meningkatnya karbondioksida, penurunan pH air,
meningkatnya asam laktat darah dan menurunnya pH darah ikan, meningkatnya
amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya. Karena itu pengurangan oksigen
terlarut merupakan faktor pembatas utama dan penting dalam operasi budidaya ikan
(McLean et al., 1993). Kondisi hypoxia merupakan gejala tekanan lingkungan perairan untuk budidaya dan juga sebagai faktor pembatas daya dukung.
Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk menduga laju beban
maksimum atau daya dukung lingkungan (McLean et al., 1993). Kebutuhan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi
pasokan oksigen melalui stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan
kembali dikonsumsi oleh bakteri dan organisme akuatik. Karena itu, ketersediaan
oksigen terlarut dan beban nutrien akan menentukan daya dukung perairan.
Daya dukung kawasan ditentukan oleh : (1) kondisi biogeofisik kawasan, dan
memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung kawasan ditentukan
dengan menganalisis : (1) kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan kawasan
pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan,
dan (2) kondisi sosial ekonomi budaya dalam memenuhi kebutuhan manusia yang
tinggal di dalam kawasan atau di luar kawasan pesisir, tetapi berpengaruh terhadap
kawasan pesisir akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (Dahuri, 2001).
Agar kegiatan ekonomi di pesisir dapat lestari maka pemanfaatan kawasan
pesisir dibagi ke dalam 3 (tiga) zona yaitu : (1) zona preservasiyaitu : kawasan yang
memiliki nilai ekologis tinggi, sifat-sifat alami yang unik, termasuk green belt); (2) zona konservasi: yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun secara terkontrol,
seperti perumahan dan perikanan tradisional; dan (3) zona pengembangan intensif,
termasuk kegiatan budidaya secara intensif (Dahuri, 1998).
Daya dukung pesisir untuk budidaya tambak dipengaruhi beberapa faktor,
yaitu : tipe pantai, tipe garis pantai, arus perairan, tunggang pasut, elevasi lahan,
kualitas tanah, potensi air tawar, salinitas, jalur hijau dan curah hujan. Daya dukung
pesisir untuk budidaya tambak dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu lahan
bernilai daya dukung tinggi, sedang dan rendah (Purnomo, 1992) (Tabel 2).
Lahan yang sesuai untuk tambak harus memenuhi persyaratan, yaitu : (1)
lahan terletak di daerah pasang surut dengan elevasi terendam air sedalam 0,5 - 1,0 m
selama periode pasang naik, dapat dikeringkan tuntas ketika air pasang rendah, (2)
memiliki sumber air tawar dan payau sepanjang tahun, (3) memiliki sumber air yang
kualitasnya memenuhi baku mutu untuk kehidupan biota akuatik, (4) tanah tekstur
liat, lempung sampai berpasir, (5) lahan tambak harus bebas banjir rutin dan
terlindung dari gelombang laut yang besar, (6) pembukaan tambak di lahan hutan
mangrove wajib mempertahankan jalur hijau di sepanjang pantai dan alur sungai, dan
(7) total luas tambak disetiap hamparan merupakan satu kesatuan ekosistem tidak
boleh melebihi daya dukung lingkungan pada hamparan tersebut (Csavas, 1994).
Daya dukung lahan tambak diartikan sebagai jumlah produksi ikan (biomassa)
optimum yang dapat dihasilkan per satuan luas lahan tambak dengan teknologi
tambak udang intensif dengan padat tebar benur 18 - 30 ekor m-3, memakai kincir (wheel paddle) 8 unit ha-1, FCR 1,5 - 2,0 dan SR 60 - 70% dapat menghasilkan biomassa udang sebesar 5 - 7 ton ha-1; tambak semi intensif dengan padat tebar benur 10 - 15 ekor m-3, menggunakan kincir 4 unit ha-1, FCR 1,3 - 1,5 dan SR 60 – 70% dapat menghasilkan biomassa udang sebesar 2 – 4 ton ha-1, tambak tradisional plus dengan padat tebar 4 - 8 ekor m-3, menghasilkan biomassa udang 0,75 – 1 ton ha-1.
Tabel 2 Penilaian daya dukung lahan untuk areal budidaya tambak
Daya Dukung Tolak Ukur
Tinggi (100) Sedang (90) Rendah (80)
1. Tipe Pantai Terjal, karang berpasir, terbuka
Terjal, karang berpasir, atau sedikit berlumpur
Sangat landai, berlumpur tebal, teluk/
laguna, tertutup 2. Tipe garis pantai Konsistensi tanah stabil Sama dengan kategori
tinggi
Konsistensi tanah sangat stabil
3. Arus Perairan Kuat Sedang Lemah
4. Amplitudo rataan 11 – 21 dm 7-11 dm dan 21 – 29 dm < 6 dan > 29 dm 5. Elevasi (posisi
hamparan)
Dapat diairi saat pasang tinggi dan dikeringkan saat surut rendah rataan
Sama dengan kategori tinggi
Di bawah rataan surut rendah
6. Kualitas Tanah
Tekstur sandy clay, sandy clay loam, tidak
bergambut, tidak berpirit
Tekstur sandy clay, sandy clay loam, tidak bergambut, kandungan
pirit rendah
Tekstur berlumpur atau pasir bergambut, kandungan pirit tinggi.
7. Air Tawar
Tersedia, dekat sungai dengan mutu dan jumlah memadai
Cukup tersedia, sama dengan kategori tinggi
Kurang tersedia, dekat sungai tetapi tingkat
siltasi tinggi 8. Salinitas 15 – 18 ppt 10 – 15 ppt, dan
18 – 30 ppt
< 10 ppt atau > 30 ppt 9. Jalur hijau Memadai Memadai tanpa jalur hijau 10.Curah hujan < 2.000 m 2.000 – 2.500 mm > 2.500 mm
Sumber : Poernomo (1992)
Daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi
seperti peningkatan kadar oksigen dalam air dengan aerator, pengolahan air bakau,
pemupukan untuk meningkatkan kadar nitrat dan fosfat, dan penggunaan pakan
berkualitas, yang pada akhirnya akan menentukan kuantitas dan kualitas limbah
tambak yang dihasilkan (Gang et al., 1998).
Melalui perhitungan matematis sederhana kuantifikasi kemampuan cerna
perairan terhadap daya dukung dapat dengan mudah dilakukan untuk perhitungan
diperhitungkan pula berapa luasan tambak yang dizinkan untuk dibuka dalam suatu
kawasan sesuai dengan tingkat intensitas budidaya.
Kemampuan Pengenceran Limbah di Perairan Pesisir
Kemampuan pengenceran perairan pesisir terhadap limbah dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain : 1) tingkat pencemaran perairan pesisir; 2) volume air
laut yang tersedia di pantai yang dipengaruhi oleh frekuensi pasang surut, tunggang
pasang surut dan kedalaman dasar perairan; dan 3) besar beban limbah yang masuk
(Soewardi, 2002). Tingkat pencemaran perairan pesisir yang masih rendah atau
tercemar ringan mempunyai daya pengenceran yang lebih tinggi terhadap limbah
dibandingkan bila tingkat pencemaran perairan sudah tinggi.
Manahan (2002) menyatakan tingkat pencemaran perairan dapat ditentukan
melalui parameter fisika, kimia dan biologi. Tingkat kekeruhan air merupakan
parameter fisika yang sering digunakan sebagai indikator tingkat pencemaran air.
Bila kekeruhan air sudah mencapai 50 JTU (Jackson Turbidity Unit), maka perairan tersebut telah tercemar berat. Berdasarkan parameter kimia, nilai kebutuhan oksigen
biokimia (BOD) juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air.
Bila nilai BOD-5 < 7 ppm berarti perairan tersebut belum tercemar, sedangkan bila
nilai BOD-5 > 25 ppm berarti perairan tersebut sudah tercemar berat. Baku mutu
BOD-5 kualitas air untuk kehidupan biota akuatik atau kebutuhan perikanan
maksimum 25 ppm (KLH, 1988).
Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan pengenceran perairan adalah
ketersedian valume air di pantai dipengaruhi oleh frekuensi pasang surut. Volume air
laut yang memasuki pantai ketika pasang naik ditentukan dengan formula Widigdo
dan Pariwono (2003) Gambar 3 :
) 2
( . . 5 , 0
θ
tg h X y h
Vo = − ... (1)
dimana : Vo = volume air laut yang tersedia (m3) y = panjang garis pantai
X = jarak dari garis surut kearah laut sampai ketitik kedalaman satu meter dan tidak lagi dipengaruhi oleh gerakan turbulensi air dasar.
Gambar 3 Penentuan volume perairan pantai untuk pengenceran limbah
Selanjutnya dijelaskan, untuk menentukan volume air tersisa ketika air surut
(Vs), dapat ditentukan dengan formula sebagai berikut :
−
−
=
θ
tg
h
x
y
h
Vs
0
,
5
.
2
(
2
1
)
……….. (2)Bila frekuensi pasang surut 2 kali per hari, maka volume air laut yang tersedia
untuk mengencerkan limbah tambak menjadi 2 x Vo, sehingga daya tampungnya
terhadap limbah organik semakin tinggi dibandingkan bila frekuensi pasang surut
hanya 1 kali per hari. Volume air yang ada di pantai dalam satu siklus pasang surut
untuk mengencerkan limbah adalah : Vd = Vo + Vs. Bila volume limbah yang masuk
sebesar Vi, maka volume air yang ada di pesisir adalah : Vt = Vo + Vs + Vi.
Selanjutnya, untuk mengetahui konsentrasi limbah di perairan pesisir pada
siklus pasang surut ke n, dapat ditentukan dengan formula :
1 1 1 − − − = n Vt Vs Vt Vs Ci
Cn ………. (3)
Dimana : Ci = konsentrasi limbah dalam perairan pesisir, dan n = siklus pasut.
Sedangkan konsentrasi limbah di perairan pesisir dapat dihitung dengan rumus :
Vi
Vs
Vo
Ci
Vi
Cs
Vs
Co
Vo
Ci
+
+
+
+
=
.
.
.
……… (4)Shrimp pond area
High tide
Low tide
Depth of water intake
V0; C0
Vs ; Cs
Vt ; Ct
h
x
Dengan mengetahui nilai Vs dan Vt, maka waktu tinggal dari suatu unit
volume massa air di suatu area perairan tertentu dapat ditentukan melalui
perbandingan antara Vt/Vs yang sebanding dengan siklus pasang surut.
Konsep Konservasi
Kawasan konservasi yang dikembangkan di Indonesia mengacu pada UU No.
5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta
PP RI tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. UU No 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No 26 tentang Penataan Ruang, Tata dan UU No
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kawasan
konservasi yang dimaksud adalah kawasan pesisir dan laut yang mencakup daerah
intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial
dan budaya (Bengen, 2000).
Tujuan penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan laut adalah
untuk: (1) melindungi habitat-habitat kritis, (2) mempertahankan keanekaragaman
hayati, (3) mengkonservasi sumberdaya ikan, (4) melindungi garis pantai, (5)
melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya, (6) menyediakan lokasi
rekreasi dan pariwisata alam, (7) merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi,
dan (8) mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan (Kelleher dan
Kenchington, 1992; Jones, 1994; Barr et al., 1997; Salm et al., 2000; Bengen, 2000). Menurut Agardy (1997) dan Bengen (2000) dalam rencana pengalokasian
kawasan konservasi, diperlukan sedikitnya 4 (empat) tahapan dalam proses pemilihan
lokasi, yaitu : (1) identifikasi habitat dan lingkungan kritis, distribusi sumberdaya
ikan ekonomis penting; (2) teliti tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi
sumber-sumber degradasi di kawasan, petakan konflik pemanfaatan sumberdaya,
berbagai ancaman langsung (over eksploitasi) dan tidak langsung (pecemaran) terhadap ekosistem dan sumberdaya; (3) tentukan lokasi dimana perlu dilakukan
konservasi; dan (4) kajian kelayakan suatu kawasan prioritas yang dapat dijadikan
Dasar hukum penetapan jalur hijau mangrove menurut bererapa peraturan
perundangang yang berlaku di Indonesia, adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
5. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990
6. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/1978
tentang Pedoman Silvikultur Hutan Payau.
7. Instruksi Menteri Pertanian Nomor 13/Ins/Um/1975 tentang Pembinaan Hutan
Bakau.
8. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor
KB.550/246/Kpts/4/1984 dan Nomor 082/Kpts-II/1984 tentang Pengaturan
Penyediaan Lahan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya
Pertanian.
9. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1997 tentang Penetapan
Jalur Hijau Mangrove.
Berdasarkan peraturan perundangan yang telah dikeluarkan tersebut di atas
dan ditinjau dari produk hukum, maka materi muatan dari Keputusan Presiden RI No.
32 Tahun 1990 merupakan produk hukum yang paling tinggi dan juga termuat dalam
Undang-undang No. 14 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menetapkan kriteria
pantai berhutan bakau adalah minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang
tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat.
Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove
Sebagai Rantai Makanan. Hutan mangrove merupakan produsen utama
Perpindahan energi, biasanya 80 - 90 % dari energi potensial akan hilang
dalam bentuk panas. Misalnya apabila seekor satwa herbivora memakan tumbuhan
yang nilai energinya 8.000 kcal sehari, sehingga yang tersimpan di dalam tubuh
sebagai energi potensial hanya 800 - 1.600 kcal, dan 6.400 - 7.200 kcal hilang dalam
bentuk panas termasuk melakukan aktivitas (respirasi).
Secara biologi, ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui
serasah. Serasah tersebut setelah melalui proses dekomposisi menghasilkan detritus
dan sebagai fitoplankton yang akan dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri
dari zooplankton, ikan dan crustacea sampai akhirnya dimangsa oleh manusia sebagai
kosumer utama (Salm and Clark, 1989; Bengen, 2001).
Heald and Odum (1972), menemukan 80 – 90% dari makanan ikan, udang
dan kepiting di daerah hutan mangrove terdiri dari detritus. Hal ini menujukkan
bahwa ekosistem hutan mangrove memberikan kontribusi yang sangat penting
sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan dan daerah pemijahan
bermacam-macam biota perairan pantai baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.
Menurut Lugo dan Snedaker (1974), ekosistem mangrove berperan sebagai
ekspor serasah yang mencapai 7,1 - 8,8 ha-1 th-1. Menurut Najamuddi (1998) produksi serasah hutan mangrove di Sinjai yang dikelola pada model komplangan
sekitar 21,75 ton/ha/th, model empang parit sekitar 14,88 ton ha-1 th-1, dan mangrove yang tidak dikonversi sekitar 22,16 ha-1 th-1. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa model pengelolaan mangrove dapat menyebabkan perbedaan produksi serasah
yang dihasilkan. Sedangkan Halidah dan Sumedi (1997) melaporkan bahwa produksi
serasah hutan mangrove rakyat di Sinjai pada tegakan yang berumur 8 tahun sekitar
14 ton ha-1 th-1, 11,97 ton ha-1 th-1 pada tegakan yang berumur 9 tahun dan 13,27 ton ha-1 th-1 pada tegakan y