• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. REKAYASA POLA AGROESTAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5. REKAYASA POLA AGROESTAT"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

5. REKAYASA POLA AGROESTAT

5.1 Konsep Dasar Pola Agroestat

Agroindustri yang berporos pada budidaya pertanian melalui suatu keterpaduan wilayah dalam bentuk kawasan pertanian terpadu menjadi kekuatan sinergis untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah dari keseluruhan sektor pertanian. Kawasan pertanian terpadu dirancang untuk merangkaikan berbagai kegiatan secara vertikal dan horizontal, sejak pemuliaan benih (pembibitan), budidaya, pengolahan, pengepakan, dan pengangkutan, hingga sampai pada konsumen. Pengembangan kawasan juga meningkatkan interaksi yang efektif antara sektor hulu dan hilir dalam mata rantai proses dari produsen awal hingga akhir.

Pengembangan kawasan pertanian terpadu pada sentra-sentra budidaya pertanian yang mempunyai komoditi unggulan merupakan alternatif pembangunan sektor pertanian dengan pendekatan keterpaduan wilayah. Keberhasilan konsep ini tergantung dari kemampuan implementasi dari konsep itu sendiri (aspek pengelolaan), khususnya dalam upaya untuk mendekatkan nilai tambah atau menghadirkan agroindustri masuk ke wilayah sentra budidaya bahan baku. Disamping itu, nilai tunda penanganan komoditi akibat keterisolasian desa harus diatasi dengan peningkatan sarana penyimpanan (gudang) dengan kapasitas dan pengelolaan yang memadai.

Selain itu, adanya kenyataan bahwa 60 persen penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian dari usaha pertanian. Oleh karena itu, lahan pertanian merupakan harta yang tidak ternilai harganya baik dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Komposisi penggunaan tanah atau lahan di Indonesia adalah pekarangan 7.19%, ladang 18.57%, sawah 11.73%, perkebunan 14.64%, hutan 28.94%, dan lain-lain 18.93%. Dalam kenyataannya saat ini secara nasional kira-kira 60% petani tidak memiliki lahan (buruh tani), sedangkan petani yang mempunyai lahan rata-rata seluas 0.5 ha tanah kering (Simarmata, 1977; Johara, 1999).

Rekayasa Sistem Agroestat sebagai pengembangan kawasan pertanian terpadu, dimaksud untuk menjadikan struktur agribisnis terintegrasi secara utuh dalam satu manajemen. Bratakusumah dan Solihin (2001), menyatakan bahwa adanya otonomi daerah, dimana Pemerintah Daerah Otonom Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan

(2)

membentuk Badan Pengelolaan sesuai kebutuhan koordinasi dan fasilitasi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya pengembangan kawasan pertanian terpadu yang berkeunggulan komparatif.

Tujuan utama dari rekayasa sistem Agroestat adalah peningkatan penghasilan petani sesuai dengan kompetensi dan kepemilikan sumberdaya lahan (tanah). Penambahan penghasilan petani diupayakan melalui peningkatan produksi sumberdaya lahan pertanian dan perolehan nilai tambah secara nyata dari keikutsertaan dalam proses industri pengolahan hasil pertanian.

Berlandaskan pada hasil analisis potensi dan permasalahan strategis, serta penyusunan strategi dasar pengembangan Agroestat, maka konsep Agroestat dapat dideskripsikan, sebagai berikut:

Agroestat merupakan pengembangan kawasan pertanian terpadu yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan petani (budidaya) secara berkesinambungan berbasis komoditi unggulan yang berdayasaing melalui pendekatan keterpaduan wilayah. Pola Agroestat dilandaskan pada proses perekonomian dengan mekanisme pasar bebas yang berkeadilan (fair free trade), serta penerapan desentralisasi pemerintahan pada daerah otonom tingkat Kabupaten/Kota.

Dengan konsep tersebut, Agroestat merupakan suatu pola pengembangan wilayah perdesaan melalui pembangunan sektor pertanian secara berkesinambungan (sustainable). Pada hakekatnya rekayasa sistem Agroestat mengacu pada pola pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri (komersial) yang telah dikembangkan sejak akhir abad ke-19 secara internasional dengan mekanisme pasar bebas. Pengembangan kawasan industri dilandasi pemikiran untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan biaya infrastruktur dari economic of scale dan pendekatan keterpaduan industri dalam wilayah. Dengan berkembangnya sektor industri, maka pada saat ini diperkirakan ada 12.000 kawasan industri yang beroperasi di dunia. Dalam perkembangan kawasan industri berwawasan lingkungan (EIP) yang memfokuskan pada kelestarian lingkungan masyarakat sekitar dalam kerangka regional dan dirancang

(3)

komersial menghasilkan pengelolaan yang terorganisasi, sistematis serta memenuhi harapan semua penghuni yang ada serta hubungan sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar (Anonim, 1996; Lown, 2003; Cunningham dan Lamberton, 2005).

Pola Kawasan Industri (komersial) dijadikan rujukan (benchmark) dalam pengembangan Agroestat karena memiliki kesamaan pola, sehingga diperoleh konsep yang realistis dan gambaran yang lebih jelas mengenai penerapan pola Agroestat. Menurut Porter (1990), manfaat dari perkembangan suatu kawasan industri (sebagai pembanding) antara lain adalah: (1) Economic of scale; (2) Akses kepada fasilitas infrastruktur dan support service yang khusus disediakan; (3) Akses ke pabrik dan

supplier (pemasok); (4) Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan staf; (5) Peningkatan produk dari kerjasama dan persaingan lokal; (6) Kepatuhan lingkungan

yang bersih dan teratur; (7) Kualitas lingkungan hidup; (8) Akses ke perguruan tinggi dan lembaga pendidikan.

Secara khusus, keberhasilan kawasan pertanian dengan pola Agroestat ditentukan oleh berbagai faktor-faktor yang mendasar (esensial) dan penting yaitu (Poernomosidi, 1981; UN, 1989; Porter, 1990; Austin, 1992; Eriyatno et al., 1995; Gumbira dan Sandaya, 1998; Johara, 1999; Thoha, 2001; Sudaryanto et al., 2002a, 2002b; Dirdjojuwono, 2004):

1) Pewilayahan yang berbasis kawasan terpadu (functional integration). 2) Ketersediaan jaringan (infrastruktur) yang memadai (network). 3) Kegiatan agroniaga (economic activity).

4) Pembiayaan usahatani (financing).

5) Kelembagaan manajemen pengelola yang utuh dan mampu mengkoordinasi (management).

6) Penataan ruang yang tepat guna dan berwawasan lingkungan (estate ecology).

7) Keikutsertaan (partisipasi) stakeholders (termasuk masyarakat lokal) dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan (social).

Dengan pengolahan pendapat pakar (expert survey), melalui diskusi (brainstorming) dalam focus group, maka faktor-faktor yang mendasar dalam pola pengelolaan dan pengembangan kawasan pertanian terpadu dengan pendekatan Agroestat dapat dikelompokkan dalam lima aspek, yaitu:

(4)

1) Aspek Pewilayahan, yaitu cakupan wilayah perencanaan (planning region) dari kawasan pertanian terpadu sistem Agroestat yang dirancang dengan jelas dan terukur.

2) Aspek Infrastruktur, yaitu penyediaan dan pengelolaan jaringan infrastruktur (sesuai kebutuhan) dalam kawasan pertanian. Penetapan infrastruktur yang menjadi faktor dan kepentingan bersama yang utama sehingga mampu untuk menjadi daya tarik untuk menggabungkan diri dalam dan mendukung keberadaan kawasan pertanian. 3) Aspek Bisnis, yaitu tatanan hubungan bisnis antar pelaku (agribisnis). Pengelolaan

tatanan hubungan bisnis antar pelaku (agribisnis) direkayasa secara adil dan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing pihak mempunyai keyakinan akan tingginya nilai tambah yang akan diperoleh dengan bergabung pada kawasan.

4) Aspek Pembiayaan, yaitu penyediaan permodalan dan pinjaman untuk mendukung usaha pertanian, khususnya bagi petani yang merupakan pelaku yang paling besar perannya tetapi posisi tawarnya sangat rendah.

5) Aspek Manajemen, yaitu pengelolaan kawasan pertanian oleh institusi khusus dengan konsep yang jelas serta didukung tingkat kompetensi dan independensi yang memadai.

5.2 Jaringan infrastruktur Agroestat

Semua kegiatan ekonomi terkait erat dengan ruang dan lokasi tertentu, oleh karena itu perumusan kebijakan pengembangan wilayah dan penyusunan program pembangunan daerah harus diawali dengan penataan ruang dan penyediaan infrastruktur. Perencanaan pengembangan wilayah sebagai upaya perancangan fasilitas investasi harus dapat menciptakan insentif positif untuk wilayah.

Infrastruktur merupakan komponen utama dalam kegiatan ekonomi dan sosial serta menjadi faktor potensial dalam perkembangan suatu wilayah. Dalam konsep pengembangan wilayah, infrastruktur menjadi bagian dalam kegiatan ekonomi yang membutuhkan biaya sangat mahal sekaligus dengan jangka waktu yang lama. Setiap sektor dari kehidupan ekonomi mempunyai kebutuhan prasarana tersendiri, yang terdiri

(5)

dari ruang dan jaringan. Prasarana jaringan (network) terdiri dari empat jenis, yaitu transportasi, komunikasi, utilitas umum, dan jaringan irigasi atau drainase.

Sektor pertanian membutuhkan dua infrastruktur utama, yaitu jaringan irigasi dan sarana perhubungan (jalan). Keduanya dibutuhkan dalam mendukung usaha pertanian disamping faktor-faktor produksi usahatani lainnya. Secara empiris terbukti bahwa determinan dasar untuk peningkatan produksi pangan adalah ketersediaan lahan beririgasi yang saat ini mengalami penyusutan dan degradasi. Pengembangan jaringan irigasi dilaksanakan Pemerintah dengan cara perbaikan (revitalisasi) sistem irigasi, terutama di pulau Jawa, sehingga akan meningkatkan intensitas produksi sumberdaya lahan (Pasandaran, 1991).

Kegiatan kawasan pertanian terpadu yang berupa proses produksi (budidaya) membutuhkan dukungan sumberdaya air (SDA), karena air mutlak diperlukan oleh semua jenis komoditi pangan. Peningkatan produksi sumberdaya lahan (pertanian), infrastruktur jaringan irigasi sangat diperlukan terutama pada musim kemarau. Sebagian besar jaringan irigasi yang ada masih tergantung pada run-off river flow dari aliran air di sungai dan tingkat curah hujan. Peningkatan intensitas tanam hortikultura diupayakan untuk dapat mencapai tiga kali panen (atau lebih) dalam setahun.

Pengalaman di India menunjukkan bahwa subsidi tidak langsung dari Pemerintah dalam bentuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur jaringan irigasi sangat efektif untuk meningkatkan produksi dan penghasilan petani. Kebijakan desentralisasi mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyusun Perencanaan Pengembangan Terpadu (Integrated Development Planning) dengan mengalokasikan dana pembangunan yang terbatas secara tepat guna. Pemerintah Daerah harus menemukan prasarana yang paling efektif dalam pelayanan masyarakat dan mengutamakan pemecahan penyebab dari permasalahan yang ada, misalnya pembangunan jaringan irigasi untuk menaikkan budidaya pertanian, atau pembangunan kanal untuk mencegah banjir yang secara rutin melanda daerah pertanian.

Pengembangan Daerah Irigasi (DI) di lingkup Kabupaten melalui program Penyiapan Lahan Berpengairan (PLB), dimaksud untuk meningkatkan jaringan irigasi semi teknis menjadi irigasi teknis untuk dapat memberikan jaminan kepada petani akan ketersediaan air irigasi sepanjang tahun. Kebutuhan sumber air irigasi dapat dilakukan

(6)

dari sumber air permukaan (air hujan) dan air tanah. Ketersediaan air irigasi akan memampukan petani untuk bertanam dengan intensitas yang lebih tinggi, sekaligus pengembangan wilayah perdesaan (AIT, 1994; FAO, 2000; Mardianto et al., 2005).

Tabel 15

Pengembangan dan Tata Guna Lahan di Indonesia, 1990-2010 (juta hektar)

1990 2000 2010

A. Lahan basah / sawah Jawa Irigasi teknis Lainnya 2,8 (1,8) 1,0 (1,2) 2,4 (1,9) 0,9 (1,2) 2,4 (2,0) 0,7 (1,3) Luar Jawa Irigasi Teknis Lainnya 1,8 (1,6) 3,3 (1,1) 3,0 (1,6) 3,2 (1,1) 3,6 (1,6) 2,7 (1,2) Indonesia 8,5 (1,42) 9,5 (1,47) 9,4 (1,57) B. Luas Pertanaman Lahan basah

Lahan kering (tanaman pangan) Lahan kering (perkebunan rakyat) Lahan kering (perkebunan besar)

12,3 17,1 7,3 1,1 14,2 7,6 10,1 1,8 15,0 9,4 12,6 2,9 Sumber: Lembaga Penelitian IPB, 1992

Keterangan: Angka ( ) adalah intensitas tanam

Investasi irigasi hanya dapat dilakukan dengan anggaran pemerintah sebagai strategi pokok dalam pembangunan pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui peningkatan intensitas tanam usahatani. Reorientasi strategi pengembangan lahan irigasi juga diperlukan dalam rangka meningkatkan efisiensi investasi. Dengan menyadari keterbatasan anggaran pembangunan maka perluasan lahan beririgasi dilakukan dengan cara revitalisasi jaringan (Tabel 15), sehingga dapat menurunkan ketergantungan petani terhadap curah hujan dengan jaminan ketersediaan air. Secara tradisional, cost-benefit analysis dari jaringan irigasi dilakukan dengan memperhitungkan unsur biaya (cost) yaitu biaya pembangunan dan pengelolaan jaringan dibandingkan manfaat yang diperoleh (benefit) yaitu nilai peningkatan budidaya. Biaya dan manfaat lingkungan dan sosial diabaikan dan diperhitungkan

(7)

Tabel 16

Pengelolaan Infrastruktur Agroestat dibanding Kawasan Komersial

Aspek Kawasan Komersial Agroestat

Kawasan Perumahan

Pengolahan air minum Jaringan jalan dan penerangan Fasilitas umum (sekolah,

komersial)

Fasilitas sosial (tempat ibadah, jalur hijau dan taman)

Jenis infrastruktur

Kawasan Industri

Pengolahan air bersih Pengolahan air limbah Jaringan listrik PLN/ Swasta Jaringan gas

Jaringan telepon dari Telkom Fasilitas umum (halte,

komersial)

Fasilitas sosial (tempat ibadah, jalur hijau dan taman)

Empat jenis infrastruktur yang menjadi tanggung jawab PemKab, yaitu:

Usahatani:

Jaringan pelayanan (irigasi)

Agroindustri / Agroniaga:

1. Jaringan pengangkutan (jalan) 2. Jaringan utilitas umum (listrik)

– oleh perusahaan PLN

3. Jaringan komunikasi (telepon) – oleh perusahaan Telkom Selain fasilitas umum dan sosial

sebagai tanggung jawab sosial kemasyarakatan Pemerintah

Sifat layanan Komersial Pelayanan publik

Sistem pembayaran Berlangganan dengan tarif Melalui mekanisme pajak, kecuali

yang diadakan oleh perusahaan PLN/ Telkom

Salah satu manfaat pembangunan infrastruktur pada pengembangan kawasan adalah peningkatan skala ekonomis, pemanfaatan yang luas, dan jangka waktu yang panjang sehingga menjadi layak. Hal ini menjadi pertimbangan dalam penerapan pola Agroestat dalam pengelolaan kawasan pertanian terpadu. Perbedaan antara Kawasan Industri (komersial/swasta) dibandingkan Agroestat dalam hal pengadaan infrastruktur, adalah pihak swasta melakukan mekanisme investasi komersial, sedangkan bagi Pemerintah hal itu merupakan layanan untuk peningkatan ekonomi masyarakat (Cunningham dan Lamberton, 2005).

Tabel 16 menunjukkan adanya kesamaan mendasar antara Agroestat dengan Kawasan Industri (komersial), terutama tentang ketergantungannya terhadap ketersediaan infrastruktur oleh Pengembang (Pengelola) untuk dinikmati secara bersama oleh para pengguna/pelaku. Dalam Agroestat, usahatani membutuhkan prasarana jaringan irigasi, sedangkan agroindustri tergantung pada prasarana jalan, komunikasi dan energi (listrik), serta ketersediaan air bersih.

(8)

5.3 Pewilayahan Agroestat

Pewilayahan pola Agroestat yang dirancang dalam studi ini menggunakan kriteria subyektif dan obyektif. Secara subyektif batas pewilayahan ditentukan dengan pendekatan wilayah fungsional untuk pengembangan sektor pertanian hortikultura. Pendekatan ini digunakan untuk memudahkan rekayasa pengembangan pola Agroestat secara ideal. Kenyataan pada penelitian lapang, dijumpai kesulitan dalam ketersediaan data yang dibutuhkan sesuai dengan batas wilayah fungsional, maka pewilayahan Agroestat kemudian disusun berdasarkan pendekatan obyektif sesuai dengan ketersediaan data Kabupaten (wilayah administrasi otonom) dengan tetap melandaskan pada prinsip-prinsip dasar subyektif (teoritis).

5.3.1 Pendekatan wilayah fungsional

Keterpaduan wilayah Agroestat dengan pendekatan fungsional (ideal) meliputi tiga Satuan Wilayah Ekonomi (Economic Planning Region) yang mengikat simpul-simpul kegiatan dalam Satuan Wilayah Ekonomi yang terdiri dari: Usahatani, Agroindustri, dan Agroniaga, yang secara fungsional saling tumpang-tindih (overlapping) sebagaimana disajikan Gambar 9.

Gambar 9. Struktur Pewilayahan Agroestat (Fungsional).

Kegiatan ekonomi utama pada usahatani adalah pembibitan dan budidaya. Pengadaan bibit dapat dilakukan dengan dua sistem, yaitu: (1) seleksi bibit dari produk berdasarkan persyaratan bibit yang baik dan (2) pembelian bibit dari usaha pembibitan atau penyedia bibit. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi dalam usahatani melibatkan

(9)

sub-simpan-pinjam modal maupun pertukaran barang. Sub-sistem ekonomi usahatani dalam pembibitan dan budidaya tidak dapat saling dipisahkan, meskipun pengadaan bibit dilakukan dengan seleksi produk sendiri. Dengan demikian, sub-sistem usahatani menjadi overlapping dengan agroindustri maupun agroniaga.

Kegiatan agroindustri selain mencakup beberapa jenis industri, juga harus dibedakan pada skala industrinya. Dalam kegiatan agroindustri skala usaha menentukan jalur perniagaan yang dilalui, jumlah kebutuhan bahan baku secara rutin bulanan, dan tingkat pembiayaan (investasi) yang diperlukan. Dengan memperhatikan klasifikasi skala industri maka aktivitas ekonomi di agroindustri bawang merah dapat dibedakan dalam industri mikro (rumah tangga), kecil, menengah, dan besar. Industri yang menggunakan bahan baku bawang merah umumnya berukuran mikro/kecil/sedang, sedangkan industri besar pada umumnya menggunakan bawang merah hanya sebagai bahan baku penambah kesedapan.

Dalam mata rantai ekonomi kegiatan agroindustri, peranan pemasaran (niaga) sangat dominan dan dinamis sehingga sering terjadi overlapping kegiatan ke dalam sub-sistem satuan wilayah ekonomi lainnya dalam wilayah Agroestat. Kegiatan ekonomi agroniaga mencakup kegiatan pelaku pemasaran mulai dari pengumpul, tengkulak, pedagang, dan pedagang besar, serta (lembaga) pasar induk. Proses agroniaga ini mencakup wilayah yang luas, mulai dari wilayah budidaya hingga pasar ekspor.

Perkembangan agroindustri pada sentra-sentra budidaya di perdesaan masih terkendala oleh ketersediaan bahan baku yang tidak menentu. Akibatnya mendatangkan bahan baku dari beberapa sentra budidaya yang tersebar di pulau Jawa, atau bahkan diimpor dari luar negeri, karena komoditi hortikultura Indonesia masih berada pada posisi impor. Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang diperlukan dalam pengembangan agroindustri adalah peningkatan dan kesinambungan pasokan hasil budidaya (Usahatani) hortikultura (Sudaryanto et al., 2002a).

Struktur pewilayahan Agroestat dapat lebih dirinci dengan memasukkan simpul-simpul kegiatan yang ada dalam rangkaian kawasan pertanian Agroestat sebagaimana tampak pada Gambar 10.

(10)

Gambar 10. Pewilayahan Agroestat (fungsional).

Dari segi pewilayahan geografis, struktur simpul-simpul yang ada menunjukkan bahwa subsistem Usahatani bersifat menyatu (solid), sedangkan subsistem yang lain (Agroindustri dan Agroniaga) dan usaha-usaha pendukung bersifat menyebar luas pada keterkaitan antar wilayah (pulau Jawa), nasional, dan internasional. Gambar 11 menunjukkan keterkaitan subsistem yang lebih jelas dan menjadi landasan dalam pemilihan prioritas pengembangan pola Agroestat.

(11)

Proses pertambahan nilai berjalan searah kegiatan usahatani hortikultura, sejak dari simpul-simpul kegiatan awal, pemuliaan benih (pembibitan) hingga pada konsumen akhir. Sepanjang alur proses terjadi pertambahan nilai hingga mencapai konsumen akhir dengan akumulasi nilai tambah tertinggi. Dalam hierarki rantai nilai tambah yang ada, tampak dari Tabel 27, nilai keuntungan sebagai representasi nilai tambah terkecil terjadi pada tingkat petani budidaya. Oleh karena itu peningkatan nilai tambah harus diupayakan dengan menambahkan lingkup kerja petani dengan kegiatan usaha industri mikro (rumah tangga). Melalui upaya ini maka petani mampu menghasilkan komoditi untuk konsumen akhir, bukan sekedar bahan baku industri. Sebagai ilustrasi, petani menanamkan bawang merah akan mampu menghasilkan bawang merah goreng.

Dengan demikian orientasi Agroestat diarahkan kepada Satuan Wilayah Ekonomi Usahatani sebagai simpul utama (central node). Beberapa pertimbangan penting dalam menentukan orientasi Agroestat dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Tujuan terukur dari pengembangan pola Agroestat adalah meningkatkan penghasilan nyata dari petani (budidaya) melalui peningkatan produksi lahan budidaya serta penganekaragaman (enrichment) lingkup usaha pengolahan hasil pertanian.

2) Subsistem Usahatani (pertanian) mempunyai wilayah yang terkonsentrasi sehingga lebih mudah dikelola dalam suatu manajemen kawasan, bahkan di daerah otonom sentra produksi budidaya merupakan sebagian dari subsistem Agroindustri (menengah dan besar) serta sebagian dari subsistem Agroniaga. Kegiatan niaga yang bersifat makro menyebar (scattered) dalam wilayah yang lebih luas (Gambar 10). 3) Keberhasilan peningkatan produksi Usahatani dapat menghidupkan dan

menghadirkan dan perluasan industri pasca panen di daerah budidaya sehingga akan meningkatkan daya serap industri atas peningkatan hasil panen. Hal ini juga meningkatkan penyerapan nilai tambah produk hortikultura di perdesaan.

Oleh karena itu, konsentrasi upaya pengembangan kawasan pertanian secara terpadu harus diarahkan kepada peningkatan Agroindustri, karena:

1) Agroindustri mempunyai peran yang sangat besar dalam pengembangan sektor pertanian, terutama dalam rangka transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri (agroindustri).

(12)

2) Keberhasilan suatu wilayah menarik industri masuk ke perdesaan merupakan tahap penting yang menentukan keberhasilan perkembangan suatu wilayah, khususnya untuk agroindustri berbasis bahan baku pertanian (material-oriented industries) (North, 1973).

3) Secara rasional investor cenderung untuk memilih lokasi yang dapat menghasilkan keuntungan maksimal, sehingga pelaku industri hortikultura tertarik pada lokasi di sentra budidaya dengan jaminan ketersediaan pasokan bahan baku.

5.3.2 Pendekatan wilayah secara obyektif

Keterbatasan data menjadi kendala pendekatan fungsional dalam analisis pewilayahan Agroestat. Untuk itu digunakan pendekatan yang obyektif dengan metode Analisis Gravitasi (Raymond, 1996), yang didasarkan pada asumsi bahwa kekuatan interaksi antara dua kutub (poles) ditentukan oleh besarnya massa. Jenis massa yang digunakan dalam menentukan batas pewilayahan ditentukan oleh faktor yang paling dominan dalam pengembangan Agroestat.

Sesuai dengan maksud dan tujuan pengembangan Agroestat maka tingkat pemanfaatan air (jaringan irigasi) dipilih menjadi acuan utama untuk penentuan batas pewilayahan Agroestat, dengan beberapa pertimbangan yaitu:

1) Pertanian merupakan sektor yang paling banyak menggunakan air untuk berproduksi.

2) Jaringan irigasi sangat penting bagi distribusi air dan pengembangan suatu kawasan pertanian.

3) Peningkatan efisiensi penggunaan air dapat memperluas lahan pertanian beririgasi dengan menggunakan jumlah air yang sama.

4) Sistem produksi (pola dan jadwal tanam, kegiatan penyuluhan, penyediaan sarana produksi, dan keterkaitan musim tanam) sangat dipengaruhi oleh jadwal pengelolaan dan penggunaan air. Kegiatan hilir seperti perdagangan, produksi di industri dan investasi juga mengacu pada jadwal panen yang ditentukan oleh penyediaan air.

(13)

Gambar 12. Struktur Jaringan Irigasi untuk Pertanian.

Jaringan irigasi yang ada di wilayah Kabupaten Brebes pada dasarnya terdiri dari tiga aliran (Gambar 12). Air yang berasal dari mata air di pegunungan pada suatu titik dibendung dan disimpan dalam suatu waduk buatan. Jumlah waduk buatan di Kabupaten Brebes adalah dua waduk yaitu: Waduk Malahayu di Kecamatan Banjarharjo (944 hektar) dan Waduk Penjalin di Kecamatan Paguyangan (125 hektar). Melalui saluran induk atau sungai utama air kemudian dialirkan ke bendung (BD) dan didistribusikan melalui saluran sekunder dan saluran tersier. Air asal Waduk ini dapat mengairi sawah selama setahun penuh, walaupun pada musim kemarau debitnya menurun.

Air yang berasal dari mata air dapat dialirkan langsung ke bendung (BD) dan didistribusikan melalui saluran sekunder/tersier. Dengan cara ini air hanya dapat mengairi sawah selama musim hujan. Dalam kasus tertentu air secara alami terbendung dan ditampung dalam Telaga. Kabupaten Brebes hanya memiliki Telaga Renjeng yang mengairi Kali Erang sebagai sungai utama yang dapat mengairi sawah selama setahun penuh. Wilayah cakupan air dari Waduk/Sungai terurai pada Tabel 17 dan Gambar 13.

Penggunaan jaringan irigasi sebagai kriteria tunggal dalam pewilayahan Agroestat ternyata tidak memadai karena jaringan irigasi tidak hanya diperuntukkan bagi lahan pertanian hortikultura, tetapi juga untuk tanaman pangan lainnya (padi). Oleh karena itu, untuk mempertajam pewilayahan hortikultura bawang merah, maka diperhitungkan pula dua kriteria yang lain, yaitu:

1) Kriteria ketinggian untuk tanaman hortikultura bawang merah yang tumbuh terbaik pada 250 m dpl. Pada suhu yang rendah di dataran tinggi, umbi bawang merah

(14)

kurang baik (Rahayu dan Berlian, 2004). Peta ketinggian ini ditampilkan dalam Gambar 14 yang memisahkan Kecamatan sesuai dengan ketinggiannya. Ada tiga kecamatan yang mempunyai ketinggian di atas 250 m dpl sehingga tidak sesuai untuk budidaya bawang merah.

2) Kriteria tingginya curah hujan maksimum 2500 mm/tahun, bahwa persyaratan untuk tumbuhnya tanaman hortikultura jenis bawang merah diperlukan kondisi lahan dengan curah hujan 300-2.500 mm/tahun. Peta curah hujan ini ditampilkan dalam Gambar 15 yang memisahkan masing-masing kecamatan sesuai dengan tingkat curah hujannya. Berdasarkan peta tersebut, ada lima kecamatan dengan curah hujan di atas 2.500 mm/tahun.

Dalam analisis pewilayahan dan keterkaitan antar subsistem dalam masing-masing wilayah, maka pewilayahan Agroindustri yang merupakan komponen wilayah Agroestat harus dapat mengakomodasi potensi pewilayahan usahatani. Pewilayahan Agroindustri dilandaskan pada ketersediaan fasilitas (berupa pengembangan kawasan agroindustri) serta perkembangan industri yang telah ada saat ini, baik pada tingkat industri mikro (rumah tangga), kecil, dan menengah. Beberapa lokasi fasilitas yang telah ada serta berpotensi untuk perkembangan Agroindustri tampak (Gambar 16adalah sebagai berikut:

1) Industri mikro (rumah tangga) dan kecil di Kecamatan Brebes, Wanasari, Jatibarang, Bulakamba dan Kersana.

2) Industri berskala sedang merupakan industri acar bawang merah untuk ekspor di Kecamatan Paguyangan.

3) Kawasan industri di desa Cimohong, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, untuk industri-industri berskala sedang.

Secara keseluruhan dalam menyusun pewilayahan Agroestat perlu adanya beberapa kondisi yang harus diperhatikan, yaitu:

1) Wilayah Kabupaten telah berkembang sebagaimana adanya, bukan daerah baru yang dapat didesain dan ditata dengan bebas. Oleh karena itu perancangannya harus mengakomodasi berbagai keadaan dan fasilitas yang telah ada sebagai kompromi.

(15)

Notasi : = Waduk = Telaga = Bangunan Bendung (BD)

= Saluran sekunder dan distribusi

Daerah beririgasi Daerah tidak beririgasi

Gambar 13. Peta Daerah Beririgasi di Kabupaten Brebes

Kabupaten Banyumas Salem Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Cilacap Kabupaten Kuningan Pantura Jatibarang Brebes Wanasari Bulakamba Tanjung Losari Kersana Banjarharjo Songgom Larangan Ketanggungan Bantarkawung Tonjong Sirampog Paguyangan Bumiayu Daerah Beririgasi Kabupaten Banyumas Bulakamba Wanasari Tanjung Songgom Larangan Salem Tonjong Bantarkawung Sirampog Bumiayu Paguyangan Brebes Kersana Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Cilacap Losari Kabupaten Kuningan Pantura Ketanggungan Banjarharjo Jatibarang Waduk Malahayu Telaga Renjeng Waduk Penjalin Jaringan Irigasi L A U T J A W A S A M U D E R A I N D O N E S I A Jawa Tengah Brebes

(16)

L A U T J A W A S A M U D E R A I N D O N E S I A Jawa Tengah Brebes Kabupaten Banyumas Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Cilacap Kabupaten Kuningan Pantura Tanjung Losari Bulakamba Wanasari Brebes Jatibarang Kersana Songgom Larangan Ketanggungan Banjarharjo Salem Bantarkawung Tonjong Sirampog Bumiayu Paguyangan

(17)

Notasi Curah Hujan

(mm/tahun) : < 2.000 2.000 - 2.500 2.500 –

3.000 3.000 – 3.500 > 3.500

< 2.500 mm/tahun > 2.500 mm/tahun

Gambar 15. Peta Curah Hujan di Kabupaten Brebes

Kabupaten Banyumas Jatibarang Bulakamba Wanasari Banjarharjo Tanjung Songgom Ketanggungan Larangan Salem Tonjong Bantarkawung Sirampog Paguyangan Brebes Kersana Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Cilacap Losari Kabupaten Kuningan Pantura Bumiayu

Sumber: Bapeda Kabupaten Brebes, 2003

Data Curah Hujan 2003

L A U T J A W A S A M U D E R A I N D O N E S I A Jawa Tengah Brebes Kabupaten Banyumas Salem

Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Cilacap Kabupaten Kuningan Pantura Jatibarang Brebes Wanasari Bulakamba Tanjung Losari Kersana Banjarharjo Songgom Larangan Ketanggungan Bantarkawung Tonjong Paguyangan Bumiayu

(18)

Notasi : Industri Non Industri L A U T J A W A S A M U D E R A I N D O N E S I A Jawa Tengah Brebes Kabupaten Banyumas Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Cilacap Kabupaten Kuningan Pantura Tanjung Losari Bulakamba Wanasari Brebes Jatibarang Kersana Songgom Larangan Ketanggungan Banjarharjo Salem Bantarkawung Tonjong Sirampog Bumiayu Paguyangan

(19)

Tabel 17

Analisis Batas Wilayah Agroestat

Cakupan Irigasi No Kecamatan

Waduk/Telaga Sungai/ Kali

Ketinggian < 250 m dpl Klimat curah hujan < 2.500 mm/ thn Industri Posisi dan potensi

Kesimpulan Wilayah Agroestat

1 Brebes mikro&kecil usaha tani + industri

2 Jatibarang mikro&kecil usaha tani + industri

3 Songgom usaha tani

4 Wanasari mikro&kecil usaha tani + industri

5 Bulakamba kawasan industri usaha tani + industri

6 Tanjung usaha tani + benih

7 Losari mikro&kecil usaha tani + industri

8 Kersana mikro&kecil usaha tani + industri

9 Banjarharjo waduk usaha tani

10 Ketanggungan usaha tani

11 Larangan usaha tani

12 Tonjong tinggi sumber mata air

13 Sirampog tinggi tinggi daerah perkebunan

14 Paguyangan waduk & telaga mata air tinggi tinggi sedang industri

15 Bumiayu mata air tinggi mikro&kecil mata air + industri

16 Bantarkawung mata air tinggi sumber mata air

17 Salem tidak ada irigasi teknis tinggi tinggi klimat tidak cocok

Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Konservasi Tanah Kab. Brebes dan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kab. Brebes (2006) - (data diolah)

(20)

Notasi : Agroindustri Usahatani Sumber mata air L A U T J A W A S A M U D E R A I N D O N E S I A Jawa Tengah Brebes Kabupaten Banyumas Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Cilacap Kabupaten Kuningan Pantura Tanjung Losari Bulakamba Jatibarang Kersana Songgom Larangan Ketanggungan Banjarharjo Salem Bantarkawung Tonjong Sirampog

BATAS WILAYAH AGROESTAT

Bumiayu

Paguyangan

Brebes

(21)

2) Rencana Tata ruang Wilayah (RTRW) Propinsi dan Kabupaten harus diperhatikan sebagai instrumen yang mengatur keterkaitan pada pengembangan regional dengan wilayah-wilayah sekitar.

3) Satuan Wilayah Ekonomi Usahatani bersifat:

a. Terbuka, dalam arti tidak mempunyai batas hak kepemilikan tanah individual, sehingga menggunakan batas wilayah administratif dan dirancang dengan memperhatikan pengaruh dan interaksi dengan daerah sekitar yang berbatasan. b. Berbasis pengembangan wilayah, jadi tidak merupakan enclave.

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Wilayah Agroestat merupakan penggabungan pewilayahan subsektor usahatani dan Agroindustri sebagaimana tampak dalam Gambar 17 dan Tabel 17 di atas. Kedua subsektor ini dijadikan acuan karena secara fisik dapat dipetakan, sedangkan subsektor agroniaga dan kegiatan pendukung lebih dinamis dan fleksibel sehingga sulit dipetakan secara tegas. Pengembangan Pewilayahan Agroestat dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1) Wilayah Agroindustri:

a. Jalur Pantai Utara (Pantura) di Kecamatan Brebes, Wanasari, Jatibarang, Bulakamba, Kersana, dan Losari didukung fasilitas angkutan laut ke pulau-pulau di luar Jawa melalui Pelabuhan Tegal, serta distribusi regional (agroniaga) ke Jakarta dan Surabaya melalui jalan Pantura.

b. Jalur Selatan di Kecamatan Bumiayu dan Paguyangan, mendukung pengembangan industri di Kota Purwokerto dengan distribusi melalui laut lewat pelabuhan Cilacap atau melalui angkutan darat jalur Selatan.

2) Wilayah Usahatani untuk memberi pasokan bahan baku dengan jumlah, mutu dan harga yang memadai, dikembangkan wilayah usahatani pada 11 Kecamatan di Kabupaten Brebes, yaitu: Brebes, Jatibarang, Songgom, Wanasari, Bulakamba, Tanjung, Losari, Kersana, Banjarharjo, Ketanggungan, Larangan. Pengembangan wilayah budidaya didukung oleh:

a. Wilayah pengembangan benih bermutu yang berada di Tanjung.

b. Wilayah waduk Malahayu di Kecamatan Banjarharjo, serta wilayah waduk Penjalin dan Telaga Renjeng di Kecamatan Paguyangan.

(22)

c. Wilayah sumber mata air yang potensial untuk pengairan sepanjang tahun, di empat Kecamatan, yaitu: Tonjong, Bantarkawung, Bumiayu, dan Paguyangan. 3) Satuan Wilayah Ekonomi Usahatani dikembangkan di seluruh wilayah administrasi

otonom Kabupaten Brebes, kecuali dua Kecamatan yang tidak dicakup, yaitu: a. Kecamatan Sirampog yang memiliki klimat yang tidak cocok untuk hortikultura,

dan secara historis sampai saat ini masih berfungsi sebagai daerah perkebunan. b. Kecamatan Salem yang secara klimat dan curah hujan yang tidak cocok untuk

hortikultura, karena itu lebih berkonsentrasi pada non-hortikultura (padi).

5.4 Agroniaga Komoditi Unggulan dalam Agroestat

Globalisasi diindikasikan oleh meningkatnya keterbukaan hubungan ekonomi antar bangsa dalam semangat perdagangan dan pasar bebas dengan sasaran memperluas peluang usaha. Kenyataan ini harus dianggap sebagai peluang penguatan daya saing dengan kesadaran terhadap tuntutan konsumen serta pemenuhan standar mutu yang berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan. Pengembangan sektor pertanian harus berorientasi pada pasar bebas yang berdaya saing tinggi (free competitive market) yang sudah menjadi kecenderungan (trend) tatanan perekonomian dunia. Implikasi yang timbul dari kecenderungan ini adalah peningkatan persaingan di pasar domestik dan internasional. Bagi negara berkembang hanya ada satu pilihan yaitu peningkatan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan produksi usaha pertaniannya.

Oleh karena itu pemikiran dalam pengembangan wilayah harus diarahkan untuk memacu keterkaitan ekonomi perdesaan dengan ekonomi nasional dan global. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah dalam pembangunan perdesaan harus mengacu kepada mekanisme pasar, penyediaan fasilitas insentif investasi yang positif, dan menekan kebijakan yang mendistorsi pasar. Sebagaimana diingatkan oleh Gwynne (2004) bahwa Pemerintah harus lebih selektif dalam penerapan kebijaksanaan yang berpihak, untuk menghindari dampak kebijaksanaan yang justru counter-productive karena menimbulkan inefisiensi dan biaya sosial yang tinggi, serta tidak mendukung keberpihakan kepada golongan lemah.

(23)

tetap diperlukan di sektor pertanian dengan prioritas sebagai berikut (Anonim, 1996; Arsyad, 1999; Sadjad et al., 2001):

1) Dalam peran sebagai fasilitator: a. Pengaturan tata ruang.

b. Peningkatan prasarana (infrastruktur) pertanian. c. Penyediaan kredit (pinjaman) lunak untuk petani.

d. Penyediaan pergudangan untuk menampung sementara kelebihan hasil produksi. 2) Dalam peran koordinasi:

Membentuk dan ikut-serta secara aktif dalam unit kerja atau lembaga yang berfungsi sebagai Pengelola.

3) Dalam peran sebagai regulator:

a. Menyiapkan peraturan daerah untuk menunjang agribisnis dari komoditi unggulan daerah.

b. Menjaga agroniaga dari tindakan monopoli dan oligopoli yang merugikan pelaku ekonomi kecil (UMKM).

Keterkaitan antara berbagai subsistem dalam sektor agribisnis hortikultura, diupayakan melalui rekayasa bentuk-bentuk Agroniaga yang alami dan berkelanjutan. Kemitraan dibangun secara informal dalam kerangka pasar bebas yang berkeadilan, bersifat lebih kepada keterikatan bisnis, dimana sistem kelembagaannya mengikuti norma adat istiadat setempat. Sebagaimana disimpulkan oleh Lewis (1966), pengelolaan kawasan pertanian terpadu dengan keterikatan formal semakin rentan terhadap keberpihakan dan peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar. Disamping itu, keberhasilan dan kesinambungan Agroniaga yang wajar (alami) membutuhkan prasyarat kesetaraan (bargaining position) dari semua pelaku yang terlibat, karena itu petani harus dilepaskan dari ketergantungan kepada tengkulak.

Pola Agroestat mempunyai perbedaan mendasar dibanding dengan pola pengelolaan kawasan komersial, terutama dari segi motivasi dan orientasi pengelolaan, Kawasan komersial berorientasi pada keuntungan finansial (profit oriented) semata tetapi pola Agroestat berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin (public wealth) dengan mata pencaharian berbasis pertanian.

(24)

Komoditas merupakan kunci keberhasilan meningkatkan kesejahteraan, sehingga diperlukan strategi penguatan komoditi unggulan yang berdaya saing tinggi.

Dengan demikian, tatanan Agroniaga untuk komoditi unggulan dalam pola Agroestat didasarkan pada lingkungan, sistem dan pelaku bisnis sebagai berikut :

1) Pasar Bebas yang berkeadilan. Pada dasarnya tata laksana perdagangan dikondisikan dan diberikan fasilitas dan dorongan yang maksimal menuju kepada terciptanya mekanisme pasar bebas yang adil (fair) dan etika niaga yang adil, sebagai berikut:

a. Tatanan bisnis dilaksanakan dengan mengikuti mekanisme kekuatan pasar (supply-demand) sehingga proses niaga berjalan secara alami. Hal ini dicapai dengan cara membatasi campur tangan langsung oleh Pemerintah dan melepaskan bentuk-bentuk kerjasama formal yang mengikat. Hal ini dimaksud untuk menjaga agar pasar tetap kompetitif dan mampu bertahan (sustainable) karena didukung kompetensi dan kualitas produk. Bekerjanya sistem pasar yang bersaing secara sehat tapi juga adil, merupakan prakondisi dalam memacu pertumbuhan ekonomi perdesaan. Peran Pemerintah tetap dibutuhkan untuk menjaga tata laksana pasar melalui instrumen peraturan dan ketentuan Pemerintah untuk menciptakan kondisi yang tetap berpihak kepada petani dan tidak memungkinkan terjadinya praktek monopoli.

b. Tatanan bisnis dilandasi etika niaga dengan motivasi utama rasa kepedulian dari para pelaku yang merupakan sebuah kualitas dari empati yang mendalam yang muncul dalam bentuk rasa kebersamaan yang aktif dalam kesetaraan. Hal ini dikembangkan untuk menghilangkan motivasi keserakahan yang menggerakkan kapitalisme dan bisnis saat ini. Keserakahan bukanlah budaya perdesaan karena nafsu ini tidak pernah dapat dipuaskan bahkan dilandasi pemikiran hak untuk mendapat tanpa keinginan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain. 2) Pelaku Pasar. Keberhasilan dan keberlanjutan suatu pola perdagangan

membutuhkan prasyarat kesetaraan dan bargaining position yang sama dari masing-masing pelaku yang terlibat. Hubungan keterkaitan antar pelaku dan antar subsektor di reposisi dengan memberdayakan petani yang selama ini selalu menjadi pelaku

(25)

menerapkan perhitungan cost-plus profits (Gwynne, 2004). Keberpihakan yang diberikan kepada pelaku ekonomi lemah (petani dan pengusaha UMKM, khususnya di perdesaan) bisa efektif hanya dalam kondisi dimana:

a. Mekanisme pasar bekerja dengan baik.

b. Kemampuan kewirausahaan dari pelaku ekonomi lemah cukup memadai.

Petani secara perorangan Petani secara kelompok

Kelompok Tani Tengkulak Pengumpul Pedagang Industri / Pabrik Besar (luar kota) Pasar Sayur (daerah sekitar) Gudang Swasta / Pemda (dalam Kota) Industri Pengolahan Kecil (dalam kota) Pedagang Besar / Eksportir (luar kota) Petani Produsen Pedagang Perantara Pengguna

Konsumen Luar kota

Luar negeri / Ekspor Luar pulau

Jalur utama Jalur alternatif

Gambar 18. Alur Niaga Komoditi Hortikultura.

Peningkatan martabat petani sebagai pelaku bisnis dicapai melalui upaya menjadikan petani mandiri melalui subsidi tidak langsung, dengan cara menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pengaturan ulang (re-arrangement) dari peran tengkulak.

b. Mengurangi ketergantungan finansial petani kepada tengkulak, melalui penyediaan pinjaman untuk usaha ekonomi skala mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan mendukung kebutuhan petani termasuk biaya hidup sehari-hari. 3) Lembaga logistik. Sebagai penyeimbang dari besarnya tingkat pasokan ke pasar

maka dijalankan mekanisme pengendalian stok (stock control) oleh Pengelola Kawasan dimana saat pasokan (supply) terlalu tinggi, lembaga ini akan membeli, dan melepas produk saat tingkat pasokan di pasar membutuhkan. Untuk menjalankan fungsi ini, maka Pengelola diberi kewenangan untuk menggunakan

(26)

gudang yang telah ada ataupun membangun tambahan gudang sesuai kebutuhan. Dengan terciptanya keseimbangan tingkat ketersediaan, maka dapat dipenuhi kebutuhan pasokan bahan baku bawang merah industri secara berkesinambungan. 4) Penciptaan pasar industri. Untuk menyerap hasil budidaya bawang merah, tingkat

permintaan (demand) diupayakan naik dengan cara merangsang usaha kecil di tingkat rumah tangga (lokal) dan melakukan terobosan-terobosan guna menarik investor industri pengolahan (eksternal).

5) Lingkup pengelolaan. Agroestat mencakup seluruh alur agribisnis bawang merah sebagaimana digambarkan dalam Gambar 18. Kegiatan budidaya terkonsentrasi di perdesaan, namun kegiatan Agroindustri menyebar ke luar daerah tidak terbatas dalam wilayah administrasi Kabupaten. Pada alur ini tercakup banyak usaha penunjang agroindustri sebagaimana digambarkan dalam Tabel 18, sehingga dapat dimengerti banyaknya tenaga kerja dan modal yang terlibat dalam perdagangan komoditi hortikultura. Sebagian besar kegiatan usaha dilaksanakan di wilayah perdesaan, namun beberapa kegiatan yang mempunyai nilai tambah tinggi masih dilaksanakan di luar Kabupaten.

Ruiz (2004) dan Gwynne (2004) menyatakan bahwa dalam alur niaga komoditi hortikultura diperlukan (Gambar 18):

1) Peran pelaku perantara yang sangat menentukan keberhasilan jaringan pemasaran, terdiri dari pengumpul, tengkulak, pedagang, pedagang pasar induk, dan pedagang besar ekspor. Para perantara (middleman) berorientasi kepada keuntungan dan jenis komoditi, tanpa memperdulikan daerah asal komoditi, serta tidak mau menanggung resiko. Keberadaan rantai distribusi vertikal ini mengakibatkan kenaikan harga yang berlipat, bahkan lebih besar dari para petani produsen (budidaya) komoditi, namun upaya menghilangkan peran pelaku perantara akan berakibat lebih parah pada para petani produsen. Integrasi distribusi vertikal tetap merupakan alternatif pemasaran komoditi hortikultura dalam pasar nasional dan ekspor secara efisien yang menghindarikan petani dari biaya-biaya pengangkutan dan pemasaran yang mahal. 2) Keterikatan dan keterkaitan dalam keterpaduan antara:

(27)

b. Kerjasama antara petani dan agroindustri pengolahan pasca panen.

c. Kerangka kerjasama antar kelompok dari semua subsektor dalam jalur pertanian komoditi spesifik unggulan daerah pengembangan.

Tabel 18

Rantai Usaha Agro-industri dalam Alur Niaga Bawang Merah.

Usaha-usaha dalam lingkup Agro-industri

Di Brebes Di luar Al ur Kegiatan utama Pembersiha n So rt as i Pe ngema sa n An gk ut an Pe rguda nga n Keu ang an Tr ansportas i C o ld st orage Ko nt ain er Pe ngka pa la n

1 Pengumpulan hasil budidaya dari petani ■ ■ ■ ■ 2 Usaha pemasaran bersama melalui koperasi atau

kelompok tani ■ ■ ■ ■ ○

3 Penjualan langsung kepada pedagang ■ ■ ■ ■ ○ 4 Penjualan dalam volume besar ke tengkulak ■ ■ ■ ■ 5 Penjualan dalam volume besar ke pedagang ■ ■ ■ ■ ○ ○ 6 Penjualan ke pasar sayur ke daerah sekitar ■ ■ ■ ■ ○ 7 Penjualan ke industri pengolahan lokal (kecil) ■ ■ ■ ■ ○ 8 Penyimpanan di gudang oleh pedagang/tengkulak

di kota sekitar ■ ■ ■ ■ ■ ■

9 Penjualan tengkulak kepada pedagang pelanggan ■ ■ ■ ■ 10 Penjualan dari koperasi kepada pedagang dalam

volume besar ■ ■ ■ ■ ■ ■

11 Penjualan dari koperasi kepada industri besar

biasanya dengan kontrak tertulis ■ ■ ■ ■ ■ ■

12 Penjualan dari pedagang kepada pedagang besar

di luar kota ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■

13 Penjualan dari pedagang kepada industri besar

biasanya dengan kontrak tertulis ■ ■ ■ ■ ■ ■

14 Penjualan dari pedagang ke pasar induk di

kota-kota besar ■ ■ ■ ■ ■ ■

15 Penjualan dari pedagang ke pedagang di luar

pulau ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■

16 Penjualan dari pedagang ke luar negeri (ekspor)

(28)

Keterkaitan dan keterpaduan ini harus diatur dalam koordinasi yang dilandasi kepercayaan antar unsur pelaku yang terlibat.

5.5 Pembiayaan Usahatani

Salah satu penghambat kemajuan sektor pertanian adalah kurangnya dukungan pasar finansial perdesaan. Pengembangan pasar finansial yang berkembang hingga saat ini masih sangat bias pada sektor industri dan jasa di perkotaan. Penyamarataan sektor pertanian dan perdesaan di satu sisi, dengan sektor industri (jasa) dan perkotaan di sisi lain dalam pasar finansial harus menjadi perhatian para perumus kebijakan pembangunan ekonomi. Implikasi yang timbul adalah sektor pertanian yang seharusnya bisa diperkuat dan dipercepat petumbuhannya untuk menopang perekonomian nasional, ternyata justru menjadi sektor yang paling lemah dan lambat tingkat perkembangannya.

Kebutuhan dana pinjaman menjadikan petani selalu pada posisi yang lemah (inferior) dalam tawar-menawar. Dengan posisi demikian tidak akan terlaksana mekanisme pasar bebas secara adil dan alami. Petani seringkali terikat hutang pada pelaku lainnya khususnya tengkulak, pedagang besar dan industri. Mata rantai ini harus dipecahkan demi terlaksananya pasar dengan petani sebagai pelaku yang bermartabat.

Kredit Usahatani (KUT) dan Kredit Umum Perdesaan (KUPEDES) merupakan kredit bersubsidi dari Pemerintah untuk usahatani yang bertujuan untuk memacu penerapan teknologi pertanian (input produksi). Kredit program semacam KUT ini sangat strategis dalam peningkatan produksi melalui program intensifikasi. Tingkat bunga yang rendah dan prosedur yang relatif mudah dalam pelaksanaan penyaluran kredit program telah mendorong adopsi teknologi rekomendasi oleh petani kearah yang lebih baik. Kredit program adalah langkah awal yang strategis untuk memberdayakan golongan ekonomi lemah, karena aksesibilitasnya terhadap kredit umum yang rendah.

Prosedur administrasi yang panjang dari kredit program ini dan skema KUT memerlukan perbaikan sehingga tidak menimbulkan penyebab keengganan masyarakat perdesaan untuk berhubungan dengan perbankan. Selama ini biaya transaksi perkreditan juga masih dirasakan sulit karena berbagai persyaratan birokrasi yang berbelit, yaitu: 1) Persyaratan jaminan kredit.

(29)

3) Keberlanjutan tidak terjamin dan terbatas selama program Pemerintah masih berjalan.

4) Manajemen terpusat, dan

5) Petani cenderung diperlakukan sebagai obyek dan kredit merupakan paket.

Pemberian kredit modal kerja kepada petani sering tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan petani dalam memberikan jaminan kredit (kolateral), tetapi di lain pihak perbankan tidak bisa memberikan perlakuan yang diskriminatif kepada petani, dimana semua aturan dan persyaratan standar perbankan harus diberlakukan seutuhnya. Dalam kenyataan, peningkatan jumlah nasabah maupun nilai pinjaman belum merupakan indikator keberhasilan suatu kebijakan kredit, karena seringkali hal itu dibarengi dengan peningkatan jumlah dan nilai kredit macet. Alternatif yang lebih realistis adalah pemberian kredit kepada industri, sehingga selanjutnya pembayaran oleh industri (yang biasanya bankable) kepada petani dapat dilakukan secara tunai.

Lembaga-lembaga keuangan yang ada di perdesaan ternyata hampir semuanya belum mampu membangkitkan martabat petani yang terikat pada hutang yang tidak pernah bisa terlunaskan. Hal ini berkaitan dengan karakter pertanian yang penuh resiko alam yang tidak dapat diramalkan seperti gagal panen oleh hama, banjir, dan jatuhnya harga jual di pasar.

Dikaitkan dengan arah pembangunan pertanian, maka karakteristik skema permodalan dan pembiayaan usaha pertanian harus memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Dapat mengakomodasi besaran kredit yang diperlukan petani skala kecil.

2) Dapat melayani subsistem produksi (budidaya dan pengolahan), juga subsistem lainnya (industri, distribusi dan pemasaran).

3) Bersifat lentur dalam hal waktu pelayanan dan penyaluran sesuai dengan musim di pertanian, khsususnya untuk kredit produksi.

4) Memiliki prosedur pengajuan, penyaluran dan pengembalian yang sederhana.

5) Dapat memberikan pelayanan, monitoring penggunaan pinjaman dan kontrol terhadap penyaluran kredit yang menjamin kredit disalurkan kepada sasaran dalam jumlah dan waktu yang tepat.

(30)

yang pada gilirannya dapat mengurangi ketergantungan petani kepada sumber pembiayaan dari luar (tengkulak).

Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa bentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang paling dekat dengan masyarakat adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan KUD-Unit Simpan Pinjam. Koperasi merupakan bentuk LKM yang harus didukung dengan dana pinjaman serta dibina/dikembangkan dengan produk-produk baru yang merupakan terobosan. KUD telah menjalankan perannya dengan baik dalam arti dapat menjangkau para petani sampai ke pelosok, demikian pula manajemen pengelolaannya telah berjalan lebih baik dari waktu ke waktu. Namun demikian, pendanaan KUD yang sampai sekarang masih sangat terbatas sehingga perlu dicarikan sumber yang potensial. Beberapa alternatif sumber dana yang perlu dikembangkan oleh KUD adalah:

1) Dana simpanan wajib dan sukarela anggota yang terus digalang. 2) Dana yang digalang sendiri oleh KUD melalui usaha-usaha lainnya.

3) Pinjaman tetap dari Pemerintah Kabupaten dengan anggaran tetap dalam APBD. 4) Pinjaman tetap (bergulir) dari Pemerintah Propinsi/Pusat cq Departemen Koperasi.

Pinjaman petani yang masih tergolong masyarakat miskin dirancang dengan sangat sederhana, yaitu untuk kebutuhan hidup sehari-hari, memulai penanaman, dan saat pemeliharaan, sehingga dapat dikemas produk-produk, sebagai berikut:

Tabel 19

Produk Pinjaman Khusus Petani

Jenis kebutuhan Nilai maksimal Agunan Tenor

Kredit konsumsi Rp. 3 juta per keluarga Kredit tanpa agunan 12 bulan

Kredit tanam Rp. 5 juta per petani Hasil panen dengan harga pasar 1 musim tanam

Kredit pengolahan Rp. 5 juta per petani Hasil panen dengan

harga pasar 1 musim tanam

Sebagian petani lainnya, juga berperan sebagai wiraswasta yang melakukan usaha mikro (UMKM) walaupun bersifat non-formal. Karakter kebutuhan pinjaman bagi petani yang telah berpikir maju demikian sangat khusus dan perlu dikemas dalam

(31)

5.6 Tata Guna Lahan

Tata guna lahan merupakan instrumen formal dalam penataan ruang suatu wilayah administrasi, hasilnya kemudian dituangkan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menjadi patokan pengaturan perijinan penggunaan tanah di wilayah tersebut. Tata guna lahan disusun berdasarkan pertimbangan yang komprehensif, menyangkut banyak kepentingan, tetapi tetap menggambarkan arah pengembangan yang ingin dicapai sesuai Rencana Strategis (Renstra) dari wilayah tersebut. Pewilayahan Agroestat Hortikultura merupakan bagian penting dan harus memenuhi persyaratan tata guna lahan dan tata ruang wilayah Kabupaten Brebes.

Ciri-ciri penggunaan tanah di wilayah perdesaan di Kabupaten Brebes adalah untuk perkampungan dalam rangka kegiatan sosial, serta untuk pertanian dan industri dalam rangka kegiatan ekonomi. Dengan demikian kampung di perdesaan di wilayah pertanian merupakan tempat kediaman (dormitory settlement) dan penduduk umumnya bekerja di luar kampung. Di pulau Jawa pada umumnya, perkampungan/pemukiman sederhana (traditional) di daerah perdesaan berbentuk pemukiman memusat, yakni rumah-rumahnya mengelompok (agglomerated rural settlement), yang merupakan beberapa dukuh/dusun (hamlet) yang terdiri kurang dari 40 rumah dan beberapa kampung (village) yang terdiri lebih dari 40 rumah yang masing-masing kampung dihubungkan oleh jalan desa. Jenis tata guna lahan yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi dua pemanfaatan lahan, yaitu lahan pertanian (khususnya hortikultura), dan industri pengolahan yang menggunakan bahan baku hortikultura.

Penilaian tata guna lahan terutama didasarkan pada data angka-angka yang ada di Kabupaten Brebes, termasuk fasilitas-fasilitas besar yang telah ada. Hal ini sebagai bagian dari kompromi yang harus dilakukan untuk mendapatkan keterpaduan yang lebih realistis. Penyesuaian atas faktor obyektif ini diperlukan agar pengembangan Agroestat dapat dijalankan tanpa mengorbankan fasilitas perekonomian dan sosial yang telah ada.

5.6.1 Tata guna lahan pertanian hortikultura

Untuk menentukan lahan pertanian hortikultura dalam analisis tata guna lahan digunakan beberapa parameter. Parameter utama adalah jenis tanah dan klimat

(32)

(ketinggian). Selain itu ada tiga faktor yang harus pula dipertimbangkan dari segi sumberdaya setempat untuk penilaian, sebagaimana tampak dalam Tabel 20, yaitu: 1) Prosentasi fasilitas irigasi dari total lahan sawah yang ada.

2) Jumlah petani dalam prosentasi populasi petani dari total penduduk.

3) Tingkat produksi tanaman hortikultura saat ini yang menggambarkan kecocokan jenis tanah, klimat, teknik penanaman dan ketrampilan petani.

5.6.2 Tata Guna Lahan Industri dengan Bahan Baku Hasil Pertanian Hortikultura

Sebagaimana halnya dengan pertanian, tata guna lahan perindustrian yang dimaksudkan disini terbatas dari sudut pandang pemakaian bahan baku komoditi hortikultura yang mencakup juga banyak usaha mikro/kecil. Untuk menentukannya digunakan beberapa parameter, yaitu (Tabel 20):

1) Kepadatan penduduk sebagai sumber tenaga kerja industri.

2) Tingkat pendidikan yang menggambarkan mutu dari tenaga kerja tersedia. 3) Jarak dari ibukota kabupaten sebagai pusat perdagangan.

Dari uraian sebagaimana tampak dalam Tabel 20 dan Tabel 21, maka dapat diperbandingkan antara tata ruang menurut kepentingan pewilayahan Agroestat sebagaimana telah dibahas pada Bab 5.3 terdahulu terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Brebes. Bilamana ternyata pengaturan tata guna lahan untuk hortikultura tidak dapat dipenuhi oleh RTRW Kabupaten Brebes, maka studi dan proposal, dengan data pertimbangan yang lengkap harus diajukan kembali kepada pihak Pemerintah Kabupaten serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tampak dari Tabel 20 bahwa konsep pewilayahan Agroestat telah dapat dipenuhi/diakomodasi oleh RTRW Kabupaten Brebes dan telah digambarkan dengan lebih jelas pada Gambar 19.

(33)

Tabel 20

Analisa Tata Guna Lahan dalam Sistem Agroestat (1)

saw ah % Produksi Urutan penduduk % Jarak ke Urutan

% Irigasi Petani per Ha Prioritas per km2 SLTA Ibukota Kab prioritas

Brebes 11 10 3 24 2 15 17 17 49 1 Jatibarang 8 11 4 23 3 17 14 14 45 2 Songgom 6 1 5 12 11 12 15 13 40 5 Wanasari 5 8 2 15 8 14 12 16 42 4 Bulukamba 10 2 1 13 10 13 16 15 44 3 Tanjung 1 7 8 16 7 9 6 12 27 9 Losari 9 9 10 28 1 11 10 10 31 7 Kersana 7 3 6 16 6 16 7 9 32 6 Banjarharjo 3 6 11 20 4 3 2 7 12 15 Ketanggungan 2 5 7 14 9 7 5 11 23 10 Larangan 4 4 9 17 5 4 1 8 13 14 Tonjong 5 11 6 22 11 Sirampog 8 8 3 19 12 Paguyangan 6 9 4 19 13 Bumiayu 10 13 5 28 8 Bantarkaw ung 2 3 2 7 16 Salem 1 4 1 6 17

Klimat tidak cocok untuk baw ang merah Klimat tidak cocok untuk baw ang merah

Industri

Total

Klimat tidak cocok untuk baw ang merah Klimat tidak cocok untuk baw ang merah Klimat tidak cocok untuk baw ang merah Klimat tidak cocok untuk baw ang merah

Kecamatan

Pertanian

Total

(34)

Tabel 21

Analisa Tata Guna Lahan dalam Sistem Agroestat (2) Faktor khusus

Kecamatan Pertanian Prioritas Prioritas Industri

Prasarana Gudang

Peruntukan usulan

(bawang merah) Peruntukan saat ini

Brebes 2 1 1 (satu) pertanian industri industri

Jatibarang 3 2 pasar 1 (satu) pertanian industri industri

Songgom 11 5 1 (satu) pertanian pertanian

Wanasari 8 4 2 (dua) pertanian industri pertanian industri

Bulukamba 10 3 1 (satu) pertanian industri pertanian industri Tanjung 7 9 sentra benih 1 (satu) pertanian industri pertanian industri

Losari 1 7 pertanian industri pertanian industri

Kersana 6 6 pertanian industri pertanian

Banjarharjo 4 15 pertanian pertanian

Ketanggungan 9 10 1 (satu) pertanian pertanian industri

Larangan 5 14 2 (dua) pertanian pertanian

Tonjong 11 pertanian

Sirampog 12 1 (satu) perkebunan

Paguyangan 13 industri ekspor industri pertanian industri

Bumiayu 8 industri pertanian industri

Bantarkawung 16 1 (satu) pertanian

Salem 17 pertanian industri

(35)

Pertanian Industri Sumber Mata Air Perkebunan

Gambar 19. Perbedaan Tata Guna Lahan versi Agroestat dengan RTRW Kabupaten

Kabupaten Banyumas Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Kuningan Kabupaten Cilacap Pantura Tanjung Losari Bulakamba Jatibarang Kersana Songgom Larangan Ketanggungan Banjarharjo Salem Bantarkawung Tonjong Sirampog Paguyangan Wanasari Brebes Bumiayu Kabupaten Banyumas Laut Jawa Kota Tegal Kabupaten Cirebon Kabupaten Tegal Kabupaten Cilacap Kabupaten Kuningan Pantura Jatibarang Kersana Songgom Larangan Banjarharjo Bantarkawung Tonjong Sirampog Paguyangan Brebes Bumiayu Salem Ketanggungan Wanasari Bulakamba Tanjung Losari

(36)

5.7 Organisasi Pengelolaan Kawasan

Konsep kawasan pertanian, seperti halnya dengan kawasan lainnya, membutuhkan unit kerja atau lembaga yang bekerja khusus untuk pengelolaan kawasan. Unit Kerja atau Lembaga yang digunakan untuk pengelolaan sebaiknya diambilkan dari Unit Kerja atau Lembaga yang sudah ada (USAID, 2006). Fungsi, peran dan tugas utama dari Pengelola mencakup dua hal, yaitu pengelolaan kawasan secara fisik dan koordinasi (sinergi) serta pelayanan kepada para pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam kegiatan kawasan, termasuk (terutama) masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan. Pengelolaannya menggunakan pendekatan tradisional namun sekaligus juga membutuhkan pemikiran yang inovatif untuk menghasilkan nilai tambah. Lowe (2001) mendeskripsikan sifat dasar kelembagaan dari Pengelola adalah: independen (tidak memihak), otonom dan mampu menggabungkan pola pemikiran dari para pelaku, Pemerintah dan Swasta (public private partnership) secara proporsional. Pengelola juga bertugas untuk mengatur dan mengawasi, namun sekaligus mendorong dan memfasilitasi kerjasama dari para pelaku dalam kawasan.

Studi yang dilakukan oleh The African Rural Development Study (ARDS) tentang perlunya melakukan perubahan kelembagaan dan prosedur untuk meningkatkan efektivitas dari program pengembangan wilayah perdesaan. Hal itu penting karena dalam kenyataannya, seringkali program menghadapi kendala karena tidak tersedianya lembaga Pengelola dan sumberdaya manusia yang trampil dan mampu-kelola (Lele, 1975). Pengelola suatu kawasan saat ini dituntut untuk lebih berperan pada fungsi pelayanan (service) dan pendampingan (assistance) (Ho dan Hsieh, 2006).

Kemampuan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan pengembangan wilayah pertanian seringkali tidak memadai, karena tidak memiliki sumberdaya manusia dengan kemampuan untuk:

1) mempengaruhi kebijakan dan koordinasi dari fungsi-fungsi yang diatur oleh Pemerintah Pusat.

2) berpola pikir komersial dan kewirausahaan untuk menjalankan fungsi-fungsi niaga yang biasanya ditangani oleh pihak Swasta.

(37)

Organisasi pengelolaan kawasan merupakan hal yang sangat penting dalam kawasan pertanian Agroestat. Organisasi ini bersifat baku namun dalam penerapannya harus dilekatkan pada dan disesuaikan dengan organisasi Pemerintah Daerah (lihat Lampiran 2). Pengelola berkewajiban untuk menjaga operasionalisasi dari keseluruhan pengelolaan, sehingga mampu mencapai keterpaduan dalam kesetaraan. Bentuk dasar (pattern)organisasi Manajemen Pengelola dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Organisasi Pengelola dengan struktur profesional yang dilengkapi dengan unsur pengawasan, serta majelis pertimbangan.

2) Pengelola merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Daerah, tetapi bersifat independen, otonom, dan profesional. Hal ini dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

a. Pengelola merupakan bagian, melibatkan dan ditangani oleh para pejabat struktural dari Pemerintah Daerah di bidang yang bersangkutan (ex-officio), sehingga tidak akan timbul dualisme kebijakan serta sifat konsultasi bisa ditingkatkan menjadi koordinasi kebijakan.

b. Pengelola terdiri dari para stakeholders Agroestat, termasuk pelaku-pelaku dari Usahatani, Agroindustri, dan Agroniaga hortikultura/bawang merah, serta melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan bisnis di kabupaten Brebes.

c. Pengelola dilengkapi tenaga profesional yang berpengalaman di bidang pengelolaan kawasan sebagai Pelaksana Harian atau Direktur Eksekutif.

3) Pengelola dibekali dengan ketentuan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Perda) dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Tabel 22

Profil Badan Pengelola Agroestat dibanding Kawasan Komersial

Aspek Kawasan Komersial Agroestat

Legalitas Direksi Perusahaan Pemerintah Daerah otonom Masa tugas Sesuai penugasan Maksimum 5 tahun

Personalia Sesuai penilaian profesional ƒ Profesional sebagai pelaksana

ƒ Pejabat Pemerintah Daerah (ex officio) ƒ Tokoh masyarakat dan bisnis setempat

Sifat pekerjaan Pengaturan dan pelayanan

(38)

Pengelola mencakup lembaga-lembaga yang saling melengkapi, yaitu: 1) Fungsi-fungsi Pengelola Agroestat, terdiri dari:

a. Dewan Pengawas (DPs), diketuai oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten. b. Dewan Pengurus Harian (DPH), diketuai oleh Wakil Bupati atau Kepala Bapeda

Kabupaten dengan anggota dari dinas-dinas terkait (maksimum 10 orang). c. Pelaksana Harian dijabat oleh tenaga profesional yang memiliki pengalaman di

bidang pengelolaan kawasan atau sejenis.

d. Majelis Pertimbangan (MP), beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh bisnis dan tokoh industri berfungsi memberikan jalan musyawarah terhadap semua masalah perselisihan antar pelaku dalam kawasan Agroestat.

2) Perangkat kebijakan dan peraturan daerah untuk menunjang tata laksana Agroestat, terdiri dari:

a. Jaringan Infrastruktur, menyangkut tentang:

ƒ Kebijakan keruangan dan tata guna lahan di masing-masing kecamatan. ƒ Kebijakan pembangunan jaringan jalan penghubung.

ƒ Kebijakan pembangunan jaringan irigasi dan sarana pompa/kincir air. b. Perdagangan, menyangkut tentang:

ƒ Kebijakan (Perda) tentang Ketentuan Umum Agroniaga komoditi. ƒ Kebijakan (Perda) tentang wajib daftar tengkulak (tengkulak). ƒ Kebijakan (Perda) tentang perpajakan dalam agroniaga komoditi.

c. Tata Kelola, tentang pembentukan unit kerja atau lembaga Pengelola Agroestat. Dalam kenyataan, distorsi perdagangan tidak hanya terjadi di tingkat pasar, tapi juga di tingkat kelembagaan, termasuk kebijakan yang membingkainya. Dengan mengacu pada organisasi Pemerintah Daerah Otonom Kabupaten di atas maka bentuk Pengelola Agroestat dapat digambarkan seprti tamp[ak pada Gambar 20.

Mengingat Pemerintah Daerah belum mempunyai pengalaman dan kemampuan kewirausahaan dalam pengelolaan Agroestat, maka proyek pengembangan terintegrasi ini harus dikelola bersama-sama dengan tokoh-tokoh masyarakat, bisnis dan perusahaan-perusahaan agroindustri setempat. Bersamaan dengan itu, kemampuan Pemerintah Daerah, terutama sumberdaya manusianya harus ditingkatkan untuk dapat

(39)

Dewan Pengurus Harian (DPH) Wakil Bupati sebagai Ketua Majelis Pertimbangan (MP) Tokoh-tokoh

Masyarakat yang disegani dan berwawasan luas

Sektor Perindustrian : Industri Pengolahan Komoditi Hortikultura

Sektor Perdagangan :

Perdagangan, pergudangan dan distribusi

Sektor Pertanian : Pemuliaan Benih

Budidaya Komoditi Hortikultura

Asosiasi Pengusaha / Industri Agro

Pemerintah Kabupaten

selaku

Dewan Pengawas (DPs)

Badan Pengelola Kawasan

Koperasi Pertanian

(Koptan)

Pusat Koperasi Pertanian

Kelompok Tani

Petani Petani Petani Petani

Gambar 20. Organisasi Pengelola Kawasan.

Dalam konsep ini, pengelolaan Agroestat akan banyak bertautan dengan beberapa dinas teknis yang merupakan bagian dari Pemerintah Kabupaten, yaitu Dinas Pekerjaan Umum (pelaksana pembangunan jaringan irigasi), Dinas Pertanian, Kehutanan dan Konservasi Tanah (pelaksana pembinaan pertanian) dan Dinas Penanaman Modal, Industri dan Perdagangan (pembina industri serta regulasi perdagangan, tetapi juga berperan dalam menarik investor industri pertanian).

5.8 Kelayakan Lingkungan Kawasan

Kawasan yang dikelola secara komersial (termasuk kawasan industri) sering menimbulkan degradasi eco-system (lingkungan) dan menjadi sumber konflik di masyarakat, karena itu harus dapat dikendalikan secara menyeluruh (Anonim, 1996;

(40)

Djarwadi dan Broto, 1999; Widiati, 1999; Cunningham dan Lamberton, 2005). Hal ini menimbulkan keprihatinan internasional sehingga dikenal istilah Cleaner Production yang didefinisikan oleh UN Industrial Development Organization sebagai:

Penerapan dari strategi pencegahan pencemaran lingkungan terpadu secara berkesinambungan sejak dari proses, produk dan layanan untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi resiko bagi manusia dan lingkungannya (Lowe, 2001). Konsep ini mendorong timbulnya Teknologi Serasi Lingkungan (Clean Technology) dengan pemikiran dasar bahwa setiap aktivitas teknologi harus disesuaikan dengan lingkungan, sehingga aspek lingkungan tidak ada yang dikorbankan akibat penerapan suatu teknologi (Kristanto, 2004).

Secara umum kesadaran dari kalangan Pemerintah Daerah maupun masyarakat Kabupaten Brebes tentang pembangunan yang berkesinambungan (sustainable), masih rendah. Faktor kelestarian lingkungan belum mendapat perhatian yang memadai, terutama pada sektor pertanian bawang merah, hal ini tampak dari:

1) Tidak ada Dinas atau Bagian yang menangani atau bertanggung jawab atas masalah lingkungan hidup dalam struktur Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes. Permasalahan lingkungan hidup masih dilekatkan kepada masing-masing Dinas, walaupun secara implisit dirangkap oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU).

2) Tidak ada data tentang vegetasi dan biota yang dilestarikan, sehingga tidak ada upaya perlindungan yang secara nyata dilaksanakan.

Menyadari hal ini maka upaya (spesifik) yang diperlukan di daerah Kabupaten Brebes adalah penegakan hukum berdasarkan Undang-undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diawali dengan langkah-langkah sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran dari pimpinan formal dan informal tentang manfaat menjaga kelestarian lingkungan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Pengalaman dari beberapa perusahaan besar (Astra, Sampoerna, dan Unilever) dalam melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR), dalam Konferensi Nasional Produk Bersih (2006) menyatakan bahwa sosialisasi harus dilaksanakan dalam bentuk program yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat setempat, serta dilaksanakan secara bertahap mulai dari sel-sel terkecil tingkat RT/RW/Kelurahan/

(41)

sosialisasi tentang kesadaran lingkungan (environmental concern) adalah:

1) Perencanaan yang melibatkan pimpinan dan tokoh-tokoh formal dan informal yang bersedia untuk memimpin gerakan sosialisasi kelestarian lingkungan, sekaligus menjadi tokoh panutan bagi masyarakat luas (khususnya petani).

2) Penetapan visi dan strategi (spesifik) daerah dalam rangka pelestarian lingkungan, yang disusun secara bersama oleh Pemerintah Daerah dan organisasi/lembaga masyarakat lokal, terutama untuk menampung aspirasi, kebiasaan, budaya lokal, serta menumbuhkan rasa memiliki.

3) Kelembagaan yang jelas sebagai pelaksana program desiminasi dan sosialisasi, sekaligus sebagai embrio dari perencana dan pengelola yang akan memonitor terlaksananya langkah-langkah nyata pemeliharaan kelestarian lingkungan.

4) Implementasi program diawali dengan langkah sosialisasi dengan batas waktu yang jelas dari tahapan pelaksanaan yang disertai ketentuan, peraturan, dan perijinan.

Subsektor dalam sistem Agroestat yang mempunyai potensi menimbulkan gangguan pada kelestarian lingkungan, adalah:

1) Usahatani, terutama dalam pelaksanaan pengembangan Daerah Irigasi (DI).

2) Agroindustri, sesuai dengan jenis industri yang beroperasi di dalam kawasan yang memang dirancang untuk itu.

5.8.1 Pengembangan Daerah Irigasi (DI)

Pengembangan daerah irigasi yang berkesinambungan memerlukan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang terdiri dari Andal (Analisa Dampak Lingkungan), RKL (Rencana Kelola Lingkungan), dan RPL (Rencana Pengawasan Lingkungan) sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang Lingkungan Hidup. Lingkup dampak yang harus dicakup meliputi antara lain:

1) Pengaruh terhadap vegetasi dan biota air tawar akibat perubahan pola aliran air permukaan.

2) Pengaruh geologi daerah bangunan air dan saluran induk. 3) Perubahan status kepemilikan tanah akibat adanya proyek.

Gambar

Gambar 9. Struktur Pewilayahan Agroestat (Fungsional).
Gambar 10.  Pewilayahan Agroestat (fungsional).
Gambar 12. Struktur Jaringan Irigasi untuk Pertanian.
Gambar 13.  Peta Daerah Beririgasi di Kabupaten Brebes
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pengembangan kawasan permukiman perdesaan di Kabupaten Bondowoso seluas kurang lebih 6.303,81 Ha, yang meliputi seluruh wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan

Indonesia merupakan negara yang terletak di wilayah tropis, serta beriklim basah. Daerah seperti ini memungkinkan tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dengan

Melalui Program Penataan daerah Otonomi Baru, dengan kegiatan Fasilitasi Percepatan Penyelesaian Batas Wilayah Administrasi Antar Daerah, Pemerintah Kabupaten Lombok

melayani trayek dalam Kabupaten/Kota yang menghubung-kan daerah tertinggal dan terpencil dengan wilayah yang telitl berkembang pada wilayah yang tersedia alur sungai

bahwa telah terjadi perubahan tatanan wilayah administratif Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dengan pembentukan daerah otonomi baru yakni Kabupaten Buol,

Wilayah yang sebelumnya merupakan daerah bebas DBD, tidak dapat dianggap sebagai suatu daerah aman, karena dengan berbagai sebab baik yang berkaitan dengan perilaku

Tersedianya kapal laut yang beroperasi pada lintas atau trayek dalam Kabupaten/Kota untuk menghubungkan daerah tertinggal dan terpencil dengan wilayah yang telah berkembang pada

(1) Dengan adanya pembentukan desa baru di Kabupaten Sekadau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah ini maka Desa-desa di dalam wilayah