• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 DESKRIPSI DATA PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 DESKRIPSI DATA PENELITIAN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

2 DESKRIPSI DATA PENELITIAN

Deskripsi Umum Kabupaten Indramayu

ada umumnya secara geologis, wilayah Jawa Barat bagian utara terdiri dari dataran aluvial (alluvial plain). Berdasarkan pada peta Physiographic Regions dataran ini memanjang dari Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, hingga Kabupaten Cirebon. Di sebelah selatan dataran aluvial, dalam arah timur barat terdapat zona lipatan utara (Northern Folded Zone). Di sebelah selatannya lagi, terdapat zona pegunungan tengah (Central Volcano Zone). Sementara itu, di pantai selatan Jawa Barat, sepanjang timur-barat terdapat Zona Plato Selatan (Southern Plateau Zone). Kondisi pantai pada umumnya relatif datar di sebelah utara. Semakin ke arah tengah, ketinggian tempat semakin meningkat. Berdasarkan pada peta Digital Elevation Model (DEM) dengan skala 1:25.000, ketinggian tempat di Jawa Barat bagian utara berkisar 1 sampai dengan lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut (Swarinoto 2004).

Secara garis besar, morfologi wilayah Kabupaten Indramayu dibagi menjadi daerah perbukitan rendah bergelombang dan dataran rendah. Perbukitan rendah bergelombang menempati daerah sempit di bagian barat daya membentuk perbukitan yang memanjang dengan arah barat laut-tenggara sedangkan dataran rendah menempati bagian tengah sampai ke utara. Ketinggian wilayah Kabupaten Indramayu berada antara 0-18 m dpl, dimana wilayah dataran rendah menempati bagian terluas dari wilayah Kabupaten Indramayu yakni ± 90% (Haryoko 2004).

Kabupaten Indramayu berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Cirebon di tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di barat. Terdapat 24 kecamatan di Kabupaten Indramayu sejak tahun 2002, yang terdiri dari sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir Laut Jawa. Indramayu dilintasi jalur pan tura, yakni salah satu jalur terpadat di Pulau Jawa.

(2)

8

Wilayah Kabupaten Indramayu meliputi luas 204.011 Ha dan secara georafis terletak diantara 107º 52´-108º 36´ BT dan 6º 15´-6º 40´ LS. Pada umumnya keadaan topografi merupakan daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0%–2%. Jenis tanah di Kabupaten Indramayu meliputi Alluvial (63%), Clay Grumosol (24%) dan Podsolik (12%). Musim hujannya berlangsung pada Oktober sampai dengan Maret dan kemarau pada April sampai dengan September. Kabupaten Indramayu menurut klasifikasi Scmid & Ferguson mempunyai tipe iklim D (iklim sedang) dengan karakteristik : temperatur berkisar 180–28ºC. Curah hujan rata-rata per tahun berkisar 1.418 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 75 hari, curah hujan yang tertinggi pada bulan Januari dengan curah hujan 364 mm, sedangkan curah hujan terendah pada bulan Agustus dengan curah hujan 10 mm (http://www.indramayu.go.id/1profil/geografis.php). Keadaan ini berpengaruh terhadap drainase. Jika curah hujan tinggi maka akan terjadi genangan air pada daerah-daerah tertentu (Anonim 2010).

Pada umumnya, curah hujan tahunan meningkat mengikuti ketinggian di Jawa Barat bagian utara. Dari pesisir utara, curah hujan meningkat ke arah pedalaman di selatan (Swarinoto 2004). Dari Kabupaten Indramayu di utara ke arah selatan, puncak curah hujan semakin tinggi di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Majalengka. Curah hujan tahunan semakin berkurang ke arah timur. Kabupaten Indramayu memiliki karakteristik wilayah yang hampir datar dengan ketinggian antara 1-12 meter dari permukaan laut (BMG 2003).

Kabupaten Indramayu dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu kabupaten yang sangat sensitif terhadap kejadian iklim ekstrim. Luas lahan yang terkena kekeringan pada tahun El Nino selalu melonjak tinggi dibanding tahun normal. Kerugian yang dialami dapat berupa kehilangan investasi yang sudah digunakan untuk kegiatan penanaman, dan kerugian ekonomi akibat gagalnya panen.

Pola dan Karakteristik Curah Hujan

Salah satu proses alam yang termasuk dalam siklus hidrologi yakni curah hujan. Dengan adanya curah hujan, pergerakan air dari hilir dapat

(3)

terangkut kembali menuju hulu. Hal ini akan tetap berlangsung selama komponen-komponen siklus hidrologi dapat terpenuhi. Curah hujan merupakan air yang jatuh pada permukaan tanah selama jangka waktu tertentu. Jumlah hari hujan dapat dinyatakan per minggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode tanam (tahap pertumbuhan tanaman). Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dibagi dengan selang waktu terjadinya hujan. Salah satu proses alam yang termasuk dalam siklus hidrologi adalah curah hujan. Satu hari hujan merupakan periode 24 jam dan terkumpul hujan setinggi 0.5 mm atau lebih. Jika curah hujan kurang dari ketentuan tersebut, maka hari hujan dianggap nol (WMO 1971). Dengan adanya curah hujan, pergerakan air dari hilir dapat terangkut kembali menuju hulu. Hal ini akan tetap berlangsung selama komponen-komponen siklus hidrologi dapat terpenuhi. Curah hujan dapat dikategorikan berdasarkan intensitas curah hujan dengan satuan tinggi curah hujan per satuan waktu dan karakteristik lingkungan saat terjadinya hujan.

Curah hujan memiliki keragaman yang besar dalam ruang dan waktu. Keragaman curah hujan menurut ruang sangat dipengaruhi oleh letak geografi (letak terhadap daratan dan lautan), topografi, ketinggian tempat, arah angin dan letak lintang (Bruce & Clark 1966). Keragaman curah hujan terjadi juga secara lokal di suatu tempat yang menyebabkan penyebaran hujan tidak merata.

Secara klimatologis pola iklim di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga yakni pola monsun, pola equatorial dan pola lokal. Pola monsun dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan). Menurut Aldrian dan Susanto (2003), pola curah hujan Indonesia dibagi menjadi tiga daerah utama dan satu daerah peralihan (pada Gambar 2) :

1 Daerah A merupakan pola yang dominan di Indonesia karena melingkupi hampir seluruh wilayah indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada bulan November-Maret yang dipengaruhi oleh monsun barat laut yang basah dan satu palung pada bulan Mei-September yang dipengaruhi oleh monsun tenggara yang kering. Hal ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Selain itu, daerah A berkorelasi kuat dengan perubahan suhu permukaan laut.

(4)

10

2 Daerah B mempunyai dua puncak yakni pada bulan Oktober-November dan bulan Maret-Mei. Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke utara dan selatan dari Intertropical Convergence Zone (ITCZ).

3 Daerah C mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli dan satu palung pada bulan November-Februari. Pola daerah ini merupakan kebalikan dari pola daerah A.

Gambar 2 Pola curah hujan di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003)

Faktor eksogen curah hujan

Secara fisik curah hujan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain SST/anomali Nino 3.4, DMI dan SOI. Berikut merupakan uraian faktor-faktor yang mempengaruhi curah hujan.

1 Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4

Variabilitas iklim Samudra Pasifik memiliki fenomena khas. Fenomena internal dari variabilitas iklim tersebut merupakan sirkulasi zonal (sejajar lintang) arah Timur Barat yang terjadi di Pasifik Timur menuju Pasifik Barat (dekat kepulauan Indonesia) yang disebut sebgai sirkulasi Walker. Gangguan yang terjadi pada sirkulasi Walker dikenal sebagai fenomena ENSO (EL-Nino Southern Oscillation). EL Nino merepresentasikan fase panas (dingin) dari siklus ENSO (Wiratmo 1998). Kondisi SST di Pasifik Ekuator sangat

(5)

berpengaruh pada sirkulasi angin zonal yang terjadi di kawasan mulai dari Indonesia hingga Amerika Selatan. Pada suatu ketika SST Pasifik Equator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata-ratanya, kondisi tersebut disebut sebagai El-Nino. Gejala ENSO membawa implikasi laut Indonesia lebih dingin pada kejadian El Nino, hal ini mengakibatkan penurunan curah hujan pada tahun El-Nino (Gutman et al. 2000). Sebagai indikator untuk memantau kejadian ENSO, biasanya dipergunakan data SST. Dupe dan Tjasyono (1998) telah melakukan analisis terhadap grafik data SST dan anomali SST untuk seluruh daerah pengamatan El Nino, hasil visual menunjukkan bahwa daerah Nino 3.4 (1700BB-1200BB, 50LS-50LU) memperlihatkan sebaran yang lebih berpola sehingga dapat dikategorikan bahwa daerah Nino 3.4 merupakan kawasan yang representatif berperan membangkitkan El-Nino.

2 Anomali Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4

Nilai positif pada anomali SST Nino3.4 mengindikasikan bahwa SST Pasifik Equator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata-ratanya yang berimplikasi bahwa laut Indonesia lebih dingin. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan hujan di wilayah Indonesia (Gutman et al. 2000). Sebaliknya, nilai negatif mengindikasikan bahwa SST Pasifik Equator Tengah dan Timur terjadi lebih rendah dari rata-ratanya yang berimplikasi bahwa laut Indonesia lebih panas.

3 Southern Oscillation Index (SOI)

Southern Oscillation adalah osilasi tekanan di atmosfir kawasan laut Pasitik dan atmosfir kawasan laut Indonesia-Australia. SOI dibuat untuk memonitor osilasi selatan dengan menggunakan nilal perbedaan antara tekanan atmosfer di atas permukaan laut di Darwin (Australia) dan Tahiti (Pasifik Selatan) (Boer 1999).

Pada saat tekanan di Tahiti lebih tinggi dibanding dengan tekanan udara di Darwin, nilai SOI akan tinggi (positif). Bersamaan itu suhu muka laut di Pasifik Timur lebih dingin dan sebagai pusat tekanan tinggi dan di Pasifik Barat lebih panas dan menjadi pusat tekanan rendah. Dengan keadaan tersebut terjadi angin pasat yang menguat dan bergesernya pusat konvergensi sirkulasi Walker ke arah Pasifik Barat yang menyebabkan penguapan di wilayah Pasifik

(6)

12

Barat bertambah dan sebagai dampaknya jumlah hujan di Indonesia meningkat yang umumnya sebagai indikasi munculnya La Nina.

Jika tekanan udara di Tahiti lebih rendah dibanding dengan tekanan udara di Darwin, maka nilai SOI rendah (negatif). Permukaan air laut yang panas dan pemanasan daratan oleh radiasi matahari di Pasifik Timur mengakibatkan suhu permukaan lautnya meningkat dan menciptakan pusat tekanan rendah. Sebaliknya, pada wilayah Pasifik Barat yang suhu permukaan lautnya lebih dingin menciptakan pusat tekanan tinggi, angin pasat menjadi melemah seiring dengan bergesernya pusat konvergensi sirkulasi Walker ke Pasifik Tengah dan Timur. Hal ini mengakibatkan penguapan bergeser kearah Pasifik Tengah dan Timur sehingga Pasifik Barat mengalami kekurangan ketersediaan uap air yang ada di udara dan ini merupakan indikasi munculnya El Nino.

4 Indian Ocean Dipole Mode (IODM)

IODM merupakan sebuah fenomena samudra dan atmosfer di samudra Hindia yang ditandai dengan anomali negatif suhu permukaan laut di Sumatera dan anomali suhu positif di bagian barat samudra Hindia (Saji et al. 1999). IODM diasosiasikan dengan perubahan angin tenggara di samudra Hindia sehingga akan mempengaruhi daerah konvektif di ekuator, Sirkulasi Walker, dan presipitasi.

Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM yakni Dipole Mode Index (DMI). DMI merupakan gradien anomali suhu permukaan laut bagian barat dan bagian timur Samudera Hindia. Saji et al. (1999) mempelajari posisi titik anomali suhu permukaan laut (dipole) di Samudra Hindia tropis bagian barat dengan Samudera Hindia tropis bagian timur. DMI positif (+) terjadi saat anomali suhu muka laut Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya. Akibatnya, terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat sedangkan di benua maritim Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat DMI negatif (-), seperti yang dikemukakan Ashok et al. (2001).

(7)

Metode Eksplorasi Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data curah hujan bulanan dan faktor eksogen seperti yang telah disebutkan sebelumnya yang terdiri dari SST Nino 3.4, anomali SST 3.4, DMI dan SOI selama 21 tahun dari bulan Januari 1980 sampai dengan Desember 2000. Tahap awal yang dilakukan untuk mengidentifikasi model dengan eksplorasi data. Berdasarkan eksplorasi data akan diketahui bentuk sebaran data, pola kecenderungan data terhadap waktu, keeratan hubungan curah hujan dengan faktor eksogen. Pola sebaran dan kesimetrikkan dapat diketahui berdasarkan diagram kotak dan garis.

Model deret waktu diidentifikasi dengan menggunakan plot autokorelasi (Auto Correlation Function/ACF) dan plot autokorelasi parsial (Parsial Autocorrelation Function/PACF). Fungsi ACF berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu t dengan pengamatan pada waktu (t+k) dari proses stokastik yang sama dan hanya dipisahkan oleh selang waktu k. Fungsi PACF berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu t dengan pengamatan pada waktu (t+k) setelah hubungan linier dalam pengamatan pada waktu (t+1) sampai waktu (t+k-1) telah dihilangkan. Untuk mengukur tingkat keeratan hubungan curah hujan dengan faktor eksogen digunakan plot korelasi silang (Cross Correlation Function/CCF).

Hasil Eksplorasi data curah hujan di Indramayu

1 Pendugaan data hilang

Stasiun-stasiun penakar curah hujan telah dibangun untuk memantau dan mengetahui pola curah hujan dari waktu ke waktu, di Indramayu terdapat 26 stasiun penakar hujan aktif yang dipergunakan dalam penelitian ini. Gambar 3 menunjukkan tebaran dan posisi masing-masing stasiun tersebut.

(8)

Gambar 3 Peta stasiun curah hujan di Kabupaten Indramayu (Sumber : BMKG)

(9)

Eksplorasi data curah hujan dilakukan untuk mengetahui kelengkapan data dan pola data yang dipergunakan dalam pemodelan. Berdasarkan hasil eksplorasi, pada setiap bulan terdapat data hilang, seperti yang tercantum pada Gambar 4. Pada bulan Januari terdapat 5.46% data hilang (tertinggi) dan pada bulan Maret terdapat 2.82% (terendah).

Gambar 4 Persentase data hilang

Data hilang dengan persentase kehilangan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 mengindikasikan bahwa tidak ada data yang tersimpan pada peubah amatan. Hal tersebut dapat disebabkan berbagai hal di antaranya: alat ukur yang kurang akurat, tidak tercatat dan masalah-masalah teknis lainnya. Data hilang merupakan masalah yang penting dalam berbagai bidang penelitian karena dapat menyebabkan bias dan inefisiensi dalam memprediksi respon dari amatan.

Penanganan data hilang dapat dilakukan berdasarkan prosedur : amatan lengkap, imputasi, pembobotan dan pemodelan (Little & Rubin 1987). Di antara teknik yang berbasiskan prosedur yakni metode rata-rata bergerak (moving average). Proses perhitungan pendugaan data hilang dengan rata-rata bergerak dilakukan terhadap semua stasiun-stasiun penakar hujan. Berdasarkan proses tersebut, diperoleh rata-rata nilai Mean Absolute Deviation (MAD) pada setiap bulan (Gambar 5) dengan persentase kehilangan rata-rata sebesar 3.7% memiliki rata-rata galat pendugaan sebesar 34.78%.

(10)

16

Gambar 5 Persentase nilai Mean absolute deviation (MAD) pada setiap bulan

Setelah data dilengkapi, deskripsi data curah hujan ditunjukkan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut, nampak bahwa rata-rata yang tinggi terjadi pada musim hujan yakni bulan Desember, Januari, Pebruari dan Maret. Penurunan nilai rata-rata curah hujan terjadi pada saat peralihan musim (April-Mei), demikian juga kenaikkan nilai rata-rata terjadi pada peralihan musim (Oktober-November). Nilai rata-rata curah hujan rendah terjadi pada musim kemarau yakni bulan Juni, Juli, Agustus, dan September.

Tabel 1 Nilai curah hujan minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

Bulan Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari 189 461 285 57 Pebruari 132 245 182 29 Maret 77 246 141 41 April 59 192 136 32 Mei 32 109 70 20 Juni 17 103 49 20 Juli .00 33 17 9 Agustus .00 19 8 7 September .00 23 5 6 Oktober 24 126 58 25 November 67 211 149 37 Desember 96 287 190 44 51.01 50.01 43.38 32.63 27.32 27.26 16.26 13.10 20.53 38.26 52.58 45.02 B u l a n

(11)

2 Pola sebaran curah hujan

Diagram kotak dan garis rata-rata curah hujan di 26 stasiun curah hujan pada bulan Januari 1980 sampai dengan Juni 2000 ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram kotak dan garis curah hujan di setiap stasiun curah hujan dari bulan Januari 1980 sampai dengan bulan Juni 2000

Pada umumnya pola sebaran data di setiap stasiun tidak simetrik dengan banyak pencilan pada nilai-nilai besar dan tampak lebar kotak kuartil antar stasiun curah hujan tidak sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa keragaman data antar stasiun curah hujan tidak homogen.

Demikian juga diagram kotak dan garis rata-rata curah hujan di 26 stasiun curah hujan mulai bulan Juli 1980 sampai dengan Desember 2000 (Gambar 7).

(12)

18

Gambar 7 Diagram kotak dan garis curah hujan di setiap stasiun curah hujan dari bulan Juli 1980 sampai dengan bulan Desember 2000

Pada umumnya pola sebaran data di setiap stasiun tidak simetrik dengan banyak pencilan pada nilai-nilai besar dan tampak lebar kotak kuartil antar stasiun curah hujan tidak sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa keragaman data antar stasiun curah hujan tidak homogen.

Ketidakhomogenan ragam dan pola sebaran curah hujan yang tidak simetrik seperti ditunjukkan dengan diagram kotak garis (Gambar 6 dan 7) dapat diatasi dengan melakukan transformasi. Bentuk transformasi data ditentukan dengan metode transformasi kuasa (power transformation), yang dikenalkan dan dikembangkan oleh Box dan Cox sekitar tahun 1964. Persamaan transformasi,

(13)

Dengan merupakan parameter transformasi, merupakan curah hujan ke-t, . Nilai untuk masing-masing stasiun ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai masing-masing stasiun curah hujan No Nama Stasiun No Nama Stasiun

1 Anjatan 0.2 14 Salam Darma 0.3

2 Bugel 0.2 15 Gantar 0.3 3 TL Kacang 0.3 16 Bangkir 0.3 4 Cikedung 0.3 17 Cidempet 0.2 5 Kroya 0.3 18 Indramayu 0.2 6 Sukadana 0.3 19 Jatibarang 0.3 7 Smr Watu 0.3 20 Juntinyuat 0.3

8 Tugu 0.3 21 Ked Bunder 0.2

9 Kr.Asem 0.3 22 Lohbener 0.2

10 LW Semut 0.2 23 Losarang 0.3

11 Wanguk 0.2 24 Sudi Mampir 0.3

12 GBWetan 0.3 25 Krangkeng 0.4

13 Bondan 0.3 26 SudiKamp 0.3

3 Plot autokorelasi dan plot autokorelasi parsial

Plot ACF dan PACF curah hujan dilakukan untuk beberapa satsiun yakni stasiun Anjatan, Sumurwatu, Salam Darma, Gantar, Kedokan Bunder dan Sudimampir ditunjukkan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut, stasiun curah hujan memiliki plot ACF dan PACF yang mirip. Pada plot ACF, tampak nilai ACF turun lambat pada lag 12, 24, 36, dan kelipatan 12 lainnya. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh musiman dengan panjang musiman 12 bulan. Pada plot PACF, tampak nilai PACF yang nyata pada lag 1, sekitar lag 4 dan sekitar lag 12. Nilai PACF yang nyata di sekitar lag 12 menunjukkan adanya pengaruh musiman. Berdasarkan plot ACF dan PACF diduga model deret waktu untuk curah hujan yakni autoregressive lag-(1) atau AR(1) dengan musiman 12 bulan.

(14)

20

Gambar 8 Plot ACF dan PACF curah hujan untuk stasiun Anjatan, Sumur Watu, SalamDarma, Gantar, Kedokan Bunder dan SudiMampir

(15)

Hasil eksplorasi data eksogen

Tebaran nilai SST di kawasan Nino 3.4 ditunjukkan pada Gambar 9, nampak dari gambar bahwa beberapa waktu tertentu terjadi kenaikkan nilai SST yang signifikan dan juga penurunan yang signifikan. Pada saat terjadi kenaikkan suhu yang signifikan akan menurunkan curah hujan di Indonesia. Sebaliknya, pada saat terjadi penurunan suhu yang signifikan, di Indonesia akan terjadi kenaikkan curah hujan.

Gambar 9 Tebaran nilai SST di kawasan Nino 3.4

Deskripsi data SST Nino 3.4 ditunjukkan pada Tabel 3. Rata-rata tertinggi tertinggi nilai SST Nino 3.4 terjadi pada bulan Mei sebesar 27.92 dan terendah terjadi pada bulan November sebesar 26.59. Nilai ragam antar bulan tidak memperlihatkan adanya perubahan yang mencolok. Hal ini menunjukkan bahwa SST di kawasan tersebut tidak terdapat kecenderungan naik terus ataupun turun terus dari waktu ke waktu.

Tabel 3 Nilai SST Nino 3.4 minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

Bulan Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari 24.6 29.0 26.6 1.2 Pebruari 25.2 29.0 26.8 1.1 Maret 25.9 29.0 27.3 0.9 April 26.7 29.2 27.8 0.7 Mei 26.8 29.1 27.9 0.8 Juni 26.2 28.9 27.7 0.7 Juli 25.7 28.8 27.2 0.7 Agustus 25.4 28.8 26.8 0.8 September 25.4 28.8 26.7 0.8 Oktober 24.6 29.0 26.7 1.2 November 24.4 29.1 26.6 1.2 Desember 24.6 28.9 26.7 1.2

(16)

22

Tebaran nilai anomali SST Nino3.4 ditunjukkan pada Gambar 10. Dalam beberapa waktu tertentu menunjukkan nilai positif dan beberapa waktu lainnya negatif.

Gambar 10 Tebaran data anomali SST Nino3.4

Deskripsi data anomali SST 3.4 ditunjukkan pada Tabel 4, nilai anomali sebesar 2.48 pada bulan November (tertinggi). Nilai anomali sebesar -2.15 terjadi pada bulan November (terendah). Nilai ragam sebesar 1.52 terjadi pada bulan Januari (terbesar).

Tabel 4 Anomali SST Nino 3.4 minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

Bulan Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari -2.02 2.39 -0.012 1.23 Pebruari -1.61 2.16 -0.006 1.08 Maret -1.40 1.64 0 0.88 April -1.16 1.37 -0.003 0.72 Mei -1.13 1.21 -0.001 0.75 Juni -1.48 1.23 -0.009 0.74 Juli -1.52 1.64 -0.001 0.72 Agustus -1.43 1.99 0.005 0.79 September -1.35 2.12 0.003 0.84 Oktober -2.07 2.33 0.002 1.10 November -2.15 2.48 -0.003 1.19 Desember -2.03 2.31 0.031 1.23

Tebaran nilai SOI tampak pada Gambar 11. Pada beberapa tahun tertentu bernilai positif tertinggi, yang berarti jumlah curah hujan di Indonesia

(17)

meningkat. Pada beberapa tahun tertentu bernilai negatif (terendah), yang berarti jumlah curah hujan di Indonesia menurun.

Gambar 11 Tebaran nilai SOI

Deskripsi data nilai SOI ditunjukkan pada Tabel 5, dengan nilai SOI tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 1.61, sedangkan nilai SOI terendah terjadi pada bulan Agustus dengan nilai -1.69.

Tabel 5 Nilai SOI minimum, maksimum, , rata-rata, dan simpangan baku

Bulan Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari -1.19 -0.00 -0.68 0.33 Pebruari -1.31 0.09 -0.53 0.35 Maret -0.93 0.49 -0.20 0.40 April -0.44 0.77 0.29 0.31 Mei -0.52 0.58 0.01 0.35 Juni -1.51 -0.23 -0.92 0.33 Juli -1.67 -0.35 -1.19 0.39 Agustus -1.69 0.20 -1.03 0.46 September -1.18 0.29 -0.61 0.41 Oktober -1.21 1.61 -0.32 0.68 November -0.94 1.13 -0.25 0.48 Desember -0.80 0.21 -0.46 0.26

Tebaran nilai DMI ditunjukkan pada Gambar 12, dari waktu ke waktu nilai DMI cenderung stabil, namun ada beberapa waktu yang menunjukkan nilainya melonjak tajam.

(18)

24

Gambar 12 Tebaran nilai indeks dipole mode

Deskripsi data DMI ditunjukkan pada Tabel 6, nilai DMI terbesar 22.4 (November) sedangkan terendah -33.3 (Februari). Simpangan baku terbesar terjadi pada bulan April dan terkecil terjadi pada bulan Desember.

Tabel 6 Nilai DMI minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

Peubah Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari -30.6 15.6 -1.3 12.2 Februari -33.3 13.3 -2.9 11.5 Maret -28.5 9.4 -6.5 11.6 April -24.4 21 -5.5 14.8 Mei -22.4 14.7 -2.4 10.6 Juni -24.1 13.9 -4.3 11.0 Juli -19.3 14.6 -1.4 9.9 Agustus -23.6 14.9 -2.7 10.4 September -21.4 20.1 -1.4 10.9 Oktober -20.2 14.6 -2.4 10.5 November -31.1 22.4 -0.9 11.9 Desember -21.3 13.3 -1.8 9.4

Hubungan antara Curah Hujan dengan Faktor Eksogen

Keeratan hubungan antara curah hujan dengan faktor eksogen dapat diketahui berdasarkan plot CCF. Plot CCF antara curah hujan dengan SST Nino 3.4, anomali SST 3.4 ditunjukkan pada Gambar 13. Nilai CCF lag (k) menunjukkan korelasi antara curah hujan pada waktu t dengan SST Nino 3.4 atau anomali SST pada waktu (t+k).

(19)

Gambar 13 (a)-(f) Plot CCF antara curah hujan dan SST Nino 3.4, (g)-(l) plot CCF antara curah hujan dengan anomali SST Nino 3.4

(l) (f) (k) (e) (j) (d) (c) (i) (a) (b) (g) (h)

(20)

26

Gambar 14 (a)-(f) Plot CCF antara curah hujan dan DMI, (g)-(l) plot CCF antara curah hujan dengan SOI

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k) (l)

(21)

Pada Gambar 14 tampak CCF antara curah hujan di stasiun Anjatan, Sumur Watu, Salam Darma, Gantar, Kedokan Bunder, dan Sudi Mampir dengan SST Nino 3.4 dan anomali Nino 3.4 memiliki pola yang hampir sama. Korelasi curah hujan dengan SST 3.4 lebih tinggi daripada curah hujan dengan anomali SST 3.4. Oleh karena itu, curah hujan cenderung lebih dipengaruhi SST 3.4 daripada anomali SST 3.4. Nilai korelasi bernilai negatif dan korelasi tertinggi terjadi pada sekitar lag (-2) atau sekitar lag (-1), berarti peningkatan SST Nino 3.4 pada saat (t-2) atau (t-1) cenderung menurunkan curah hujan pada saat (t).

Pada Gambar 14 tampak CCF antara curah hujan di stasiun Anjatan, Sumur Watu, Salam Darma, Gantar, Kedokan Bunder, dan Sudi Mampir dengan SOI dan DMI memiliki pola yang hampir sama. Korelasi curah hujan dengan DMI lebih tinggi daripada curah hujan dengan SOI. Oleh karena itu, curah hujan cenderung lebih dipengaruhi DMI daripada SOI. Nilai korelasi bernilai negatif dan korelasi tertinggi terjadi pada lag (-5) atau sekitar lag (-4), berarti peningkatan DMI pada saat (t-5) atau (t-4) cenderung menurunkan curah hujan pada saat (t).

Hubungan Spasial antar Stasiun Curah Hujan

Hubungan curah hujan antar stasiun curah hujan dapat diketahui melalui plot CCF dan lag-nya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai CCF tertinggi terjadi pada lag (0), hal ini berarti bahwa curah hujan antar stasiun memiliki keterkaitan pada waktu (t) yang sama.

Jarak antar stasiun curah hujan dapat ditentukan melalui jarak geodesi (Smith & Kolenikov 2004). Misalkan dan masing-masing merupakan koordinat (longitude, latitude) dari dua stasiun curah hujan, jarak antar dua stasiun curah hujan

Jarak = 12732.4 (km) dengan

(22)

28

(23)

Plot antara nilai CCF dengan jarak antar curah hujan dan persamaan garis ditunjukkan pada Gambar 16. Berdasarkan gambar tersebut, tampak terdapat hubungan yang erat antara nilai CCF dengan jarak antar stasiun curah hujan, namun bila jarak antar stasiun curah hujan semakin jauh maka nilai CCF antar stasiun curah hujan tidak semakin kecil. Dengan demikian jarak antar stasiun curah hujan tidak mempengaruhi besar curah hujan atau dengan kata lain tidak memiliki hubungan spasial.

Gambar 16 Plot antara CCF dengan jarak antar stasiun curah hujan dan persamaan garisnya

Simpulan

Pada data curah hujan di Indramayu, terdapat korelasi temporal dengan model deret waktu AR (1) dengan pengaruh musiman periode 12 bulan. Curah hujan dipengaruhi oleh faktor eksogen: SST Nino 3.4 pada lag (0) dengan korelasi bernilai negatif, dipengaruhi anomali SST Nino 3.4 pada lag (0) dengan korelasi bernilai negatif yang cukup kecil, dan dipengaruhi oleh DMI dan SOI pada lag (0) dengan korelasi bernilai positif. Meskipun korelasinya cukup kecil, namun faktor eksogen tersebut berperan dalam menentukan curah hujan di suatu lokasi tertentu.

Berdasarkan uraian ini, model curah hujan di Indramayu merupakan model deret waktu AR (1). Dalam penelitian ini, model deret waktu AR (1) pada masing-masing lokasi curah hujan digunakan secara simultan dengan menambahkan pengaruh faktor eksogen .

Gambar

Gambar 3   Peta stasiun curah hujan di Kabupaten Indramayu  (Sumber : BMKG)
Tabel 1  Nilai curah hujan minimum, maksimum, rata-rata,                                   dan simpangan baku
Diagram kotak dan garis rata-rata curah hujan di 26 stasiun curah hujan  pada bulan Januari 1980 sampai dengan Juni 2000 ditunjukkan pada Gambar 6
Gambar 7  Diagram kotak dan garis curah hujan di setiap stasiun curah hujan        dari bulan Juli 1980 sampai dengan bulan Desember 2000
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai balas jasa pekerja dibayar (termasuk pengusaha yang dibayar) menurut jenis kelamin pada bulan terakhir produksi Triwulan II 2013..

Di berikan untuk memberi kekebalan kepada bayi terhadap serangan penyakit Hepatitis B.. Di berikan 3 kali

Mencermati nilai UKG SD dan SMP tahun 2013 di Kabupaten Batubara berdasarkan hasil di atas jelas bahwa secara nasional guru-guru pada tingkat Pendidikan Dasar di Kabupaten Batubara

Pada simulasi, dengan menggunakan nilai parameter kontroler PID konstan pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh respon translasi dan rotasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11

Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM), selama 2014 OJK telah melakukan pengawasan terhadap kegiatan pasar modal berupa

Dependent Variable: Penerimaan_Pemerintah. Universitas

2. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki rasa percaya diri. Ingat kembali ketika kita merasa percaya diri.. Jangan terlalu keras kepada diri sendiri. Jangan takut mengambil

produsen dan konsumen dengan sistem MLM.. Perantara ini tidak dapat menjualkan produk sebagaimana layaknya perantara dalam sistem marketing biasa, yaitu barang diambil