• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AL-WAIL DALAM AL-QUR AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II AL-WAIL DALAM AL-QUR AN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Al-Qur’anul karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturaan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akherat.1

Al-Qur’an pada hakekatnya menempati posisi sentral dalam studi Islam. Di samping berfungsi sebagai hudan (petunjuk), ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebathilan termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw.

Keberadaan al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam, ditambah dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan mukjizat-mukjizatnya, telah banyak melahirkan disiplin ilmu keislaman dan metode-metode penelitian. Ini dimulai dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu oleh Abu al-Aswad al-Dualiy, sampai dengan lahirnya ilmu ushul fiqh oleh Imam Syafi’i, bahkan hingga kini dengan berbagai metode penafsiran al-Qur’an.2

Allah SWT memilih bahasa Arab sebagai wadah pengejawantahan kata-kata-Nya yang suci, yakni al-Qur’an. Pemilihan ini dari satu segi tentu saja menempatkan bahasa Arab pada kedudukan yang istimewa, terutama dimata umat Islam. Terpilihnya bahasa Arab menjadi bahasa al-Qur’an sangat berdampak positif bagi perkembangan bahasa ini, baik ditinjau dari segi kualitas maupun dari segi popularitasnya.

1

Departemen Agama, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Aqur’an, Jakarta 1982, hlm. 27

2

(2)

Al-Qur’an yang hanya dipandang suci bila tetap dalam bahasa aslinya (Arab), menyebabkan para pemeluk Islam terdorong untuk mempelajari bahasa kitab suci mereka agar mereka mendapat ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Para ahli bahasa Arabpun terpanggil untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa ini agar lebih mudah dipelajari dan dipahami oleh orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab.

Munculnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya, sangat erat kaitannya dengan kehadiran al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat muslim yang semakin kompleks dan heterogen.3

Harus diakui bahwa peranan kaidah-kaidah bahasa Arab sangat besar dalam upaya pemahaman ayat-ayat al-Qur’an, akan tetapi dalam kenyataannya banyak ayat-ayat al-Qur’an yang sulit dipahami secara utuh bila hanya mengandalkan kaidah bahasa tersebut. Untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang lain yang khusus menyangkut al-Qur’an. Yang dimaksud adalah kaidah-kaidah yang berhasil disusun dan diformulasikan oleh para ulama dan ahli tafsir, sebagai hasil kajian dan telaah terhadap ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh al-Qur’an. Kaidah-kaidah seperti ini dikenal dengan istilah Qawaid al-Tafsir.4

A. Pengertian Al-Wail

1. Pengertian Secara Bahasa Arab

Al-Wail

(

ﻞﻳﻮﻟﺍ

)

adalah isim ma’rifat dikhususkan pada nama sebuah neraka yaitu neraka wail. Sedangkan isim nakirohnya adalah

wailun (

ﻞﻳﻭ

) yang artinya celaka. Al-Wail

(

ﻞﻳﻮﻟﺍ

)

secara bahasa (etimologi) artinya celaka, binasa. Bentuk kata lain al-Wail diantaranya

3 Harifudin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 25 4

(3)

)

ﻚﻟ ﻞﻳﻭ

(

(celaka kamu) artinya lembah di neraka,

(

ﺔﻠ

ﻳﻮﻟﺍ

)

bencana, musibah, cobaan.5

Menurut Abi Fadhil Jamaluddin dalam kitabnya Lisanul Arab al

Wail diartikan dengan siksa, datang kejelekan, musibah, bencana6 Al-Wail diartikan juga lembah neraka Jahannam.7

B. Ayat-Ayat Tentang Al-Wail

Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, juga al-Qur’an telah menjelaskan masalah kehidupan itu dari awal sampai akhir, dan berdialog dengan manusia dengan segala keterbukaan, sampai mereka memahami hakekat dari kehidupan dan jangan sampai terjerat oleh pandangan yang semu. Semua itu demi keselamatan dan kebahagiaan manusia sendiri. Dengan meyakini adanya kelanjutan dari hidupnya yang sekarang, tentang manusia senantiasa berupaya melangkah berhati-hati, penuh kesadaran akan segala akibat perbutannya, dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya pada saat berhadapan dengan kebenaran mutlak dan keadilan yang menetapkan nilai hidupnya.8

Secara historis dan kronologis, awal isi al-Qur’an adalah surat al-Alaq ayat 1-5 dan paling terakhir turun surat al-Maidah ayat 3. Adapun susunan tertib ayat dan surat yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an yang sekarang tersebar pada umat Islam seluruh dunia, adalah diawali dengan al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Dalam kitab al-Qur’an terkandung 114 surat 6.236 ayat.9 Dari sejumlah ayat tersebut menguraikan berbagai aspek hidup dan kehidupan

5

Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, hlm. 1586

6 Abi Fadhil Jamaluddin Muhammad bin Makrom bin Mandzur, Lisanul Arab, Darshadir, Beirut, 1955, hlm. 737

7 Nadim Mar’asyari, Mu’jam Mufrodatil Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut., t.th., hlm. 573 8

K.H Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan: Bandung, 1994, hlm. 27. 9

(4)

yang menyangkut masalah aqidah, ibadah, akhlaq, hidup dan mati. Dari masing-masing sub tersebut mengandung tema bahasan yang lebih kecil, misalnya dalam masalah ancaman atau wail Allah terhadap manusia yang tidak mempercayai-Nya. Kata al-wail tersebut terulang dalam al-Qur’an sebanyak 27 kali diantaranya adalah dalam surat al-Baqarah ayat 79 terulang 3 kali , surat Ibrahim ayat 2, surat Maryam ayat 37, surat al-Anbiya’ ayat 18, surat Shaad ayat 27, surat Az-Zumar ayat 22, surat Fushilat ayat 6, surat Az Zukhruf ayat 65, surat al-Jaatsiyah ayat 7, suraat Adz dzaariyat ayat 60, surat Ath Thuur ayaat 11, surat al Mursalat ayat 15 terulang 10 kali, al Muthaffifin ayat 1, surat al Humazah ayat 1, surat al Ma’un ayat 4.

Mengenai ayat-ayat Al-Qur’an tentang al-Wail dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 79

ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺪﻨِﻋ ﻦِﻣ ﺍﹶﺬﻫ ﹶﻥﻮﹸﻟﻮﹸﻘﻳ ﻢﹸﺛ ﻢِﻬﻳِﺪﻳﹶﺄِﺑ ﺏﺎﺘِﻜﹾﻟﺍ ﹶﻥﻮﺒﺘﹾﻜﻳ ﻦﻳِﺬﱠﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”.

2. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 79

ﻢﻬﹶﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

ﺎﻤِﻣ

ﺖﺒﺘﹶﻛ

ﻢِﻬﻳِﺪﻳﹶﺃ

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri”.

3. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 79

ﹶﻥﻮﺒِﺴﹾﻜﻳ ﺎﻤِﻣ ﻢﻬﹶﻟ ﹲﻞﻳﻭﻭ

Artinya: “Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan”.

(5)

4. Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 2

ٍﺪﻳِﺪﺷ ٍﺏﺍﹶﺬﻋ ﻦِﻣ ﻦﻳِﺮِﻓﺎﹶﻜﹾﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻭﻭ

Artinya: “Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih”.

5. Al-Qur’an surat Maryam ayat 37

ٍﻢﻴِﻈﻋ ٍﻡﻮﻳ ِﺪﻬﺸﻣ ﻦِﻣ ﺍﻭﺮﹶﻔﹶﻛ ﻦﻳِﺬﱠﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar”.

6. Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 18

ﹶﻥﻮﹸﻔِﺼﺗ ﺎﻤِﻣ ﹸﻞﻳﻮﹾﻟﺍ ﻢﹸﻜﹶﻟﻭ

Artinya: “Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya)”.

7. Al-Qur’an surat Shaad ayat 27

ِﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦِﻣ ﺍﻭﺮﹶﻔﹶﻛ ﻦﻳِﺬﱠﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

Artinya: “Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”.

8. Al-Qur’an surat Az Zumar 22

ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺮﹾﻛِﺫ ﻦِﻣ ﻢﻬﺑﻮﹸﻠﹸﻗ ِﺔﻴِﺳﺎﹶﻘﹾﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membantu hatinya untuk mengingat Allah”.

9. Al-Qur’an surat Fushilat ayat 6

(6)

Artinya: “Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya)”.

10. Al-Qur’an surat Az Zukhruf ayat 65

ٍﻢﻴِﻟﹶﺃ ٍﻡﻮﻳ ِﺏﺍﹶﺬﻋ ﻦِﻣ ﺍﻮﻤﹶﻠﹶﻇ ﻦﻳِﺬﱠﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

Artinya: “Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim yakni siksaan hari yang pedih (kiamat)”.

11. Al-Qur’an surat Al Jaatsiyah ayat 7

ٍﻢﻴِﺛﹶﺃ ٍﻙﺎﱠﻓﹶﺃ ﱢﻞﹸﻜِﻟ ﹲﻞﻳﻭ

Artinya: “Kecelakaan yang besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa”.

12. Al-Qur’an surat Adz Dzaariyat ayat 60

ﱠﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

ﹶﻥﻭﺪﻋﻮﻳ ﻱِﺬﱠﻟﺍ ﻢِﻬِﻣﻮﻳ ﻦِﻣ ﺍﻭﺮﹶﻔﹶﻛ ﻦﻳِﺬ

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang kafir pada hari yang diancamkan kepada mereka”.

13. Al-Qur’an surat Ath Thuur ayat 11

ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

ٍﺬِﺌﻣﻮﻳ

ﲔِﺑﱢﺬﹶﻜﻤﹾﻠِﻟ

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan”.

14. Al-Qur’an surat Al Mursalat ayat 15

ﹲﻞﻳﻭ

ٍﺬِﺌﻣﻮﻳ

ﲔِﺑﱢﺬﹶﻜﻤﹾﻠِﻟ

Artinya: “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan”.

(7)

ﲔِﻔﱢﻔﹶﻄﻤﹾﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻭ

Artinya: “Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang curang”. 16. Al-Qur’an surat Al Humazah ayat 1

ٍﺓﺰﻤﹸﻟ ٍﺓﺰﻤﻫ ﱢﻞﹸﻜِﻟ ﹲﻞﻳﻭ

Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”. 17. Al-Qur’an surat Al Ma’un ayat 4

ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

ﲔﱢﻠﺼﻤﹾﻠِﻟ

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”.

C. Penafsiran Terhadap ayat-ayat al-Wail

Telah disebutkan sebelumnya, pembicaraan al-Qur’an tentang al-Wail dituangkan dalam ayat-ayatnya yang tergelar dalam beberapa surat, akan tetapi informasi itu hanya bersifat garis-garis besar atau prinsip dasar saja. Berikut ini penulis akan menukilkan ayat-ayat yang menginformasikan tentang al-Wail yang berkaitan dengan al-Wail dengan tidak seluruh ayat-ayat tersebut di atas penulis tampilkan, melainkan beberapa ayat yang penulis nilai telah mewakili ayat-ayat lainnya. Adapun ayat-ayat tersebut antara lain :

1. Q.S. Al Ma’un ayat 4-7

ﲔﱢﻠﺼﻤﹾﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ

.

ﹶﻥﻮﻫﺎﺳ ﻢِﻬِﺗﺎﹶﻠﺻ ﻦﻋ ﻢﻫ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

.

ﹶﻥﻭُﺀﺍﺮﻳ ﻢﻫ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

.

ﹶﻥﻮﻋﺎﻤﹾﻟﺍ ﹶﻥﻮﻌﻨﻤﻳﻭ

Artinya: “Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.

(8)

Munasabah surat al-Ma’un, menurut pendapat banyak ulama’ Nabi Muhammad Saw menerima surat ini ketika beliau masih bertempat tinggal di Makkah, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa hanya awal surat ini yang turun di Makkah, sedangkan bagian akhirnya yang berbicara tentang mereka yang riya’(tidak ikhlas dengan sholatnya) turun di Madinah.

Surah ini merupakan wahyu yang ke 16 yang beliau terima. Sebelumnya adalah surat al-Takatsur, yang mengandung arti: perlombaan dalam menumpuk kekayaan.

Di dalam mushaf al-Qur’an, surat ini ditempatkan pada urutan ke-107. Sebelumnya adalah surat Quraisy yang merupakan surat ke-106. sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian yang lalu, urutan surat-surat al-Qur’an ditetapkan Nabi Muhammad Saw atas perintah Allah. Urutan itu ditetapkan sedemikian rupa, sehingga diperoleh darinya keserasian hubungan uraian, antara satu ayat dengan ayat yang sebelumnya atau surat dengan surat sebelumnya.

Pada surat Quraisy, dijelaskan bahwa Allah SWT memberi anugerah pangan kepada manusia (dalam arti mempersiapkan lahan dan sumber daya alam sehingga dengan anugerah itu mereka tidak kelaparan), sedang dalam surat al-Ma’un ini, Allah mengancam mereka yang berkemampuan, tetapi enggan. Jangankan memberi pangan menganjurkan pun tidak. Disisi lain dalam surat Quraisy, Allah memerintahkan manusia agar mengabdi kepada Allah, sedangkan dalam surat al-Ma’un ini, Allah mencela orang-orang yang tidak menyembah Nya sama sekali, dan mempersekutukan pengabdian Nya.

Keserasian lain dapat ditemukan, bahwa surat Quraisy berbicara menyangkut anugerah Allah kepada para pedagang, yang atas berkat-Nya, terjamin keamanan jalur perdagangan mereka ke Syam dan Zaman, sedang surat al-Maun merupakan kecaman terhadap mereka yang berkemampuan. Para pedagang yang memperoleh anugerah seperti yang diuraikan dalam surat Quraisy dinilai tidak beragama dan tidak percaya adanya hari

(9)

kemudian, apabila mereka tidak mengulurkan tangan kepada kaum lemah yang membutuhkan pertolongan.

Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa ada seseorang yang diperselisihkan yaitu antara Abu Sofyan atau Abu Jahl. Konon setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir. Peristiwa ini merupakan latar belakang turunnya surah ini. Dari sebab turun ayat yang diriwayatkan itu, dapat terbaca bahwa kecaman dapat tertuju, walaupun kepada mereka yang membagi-bagikan bantuan, apabila bantuan yang diberikan itu tidak mengenai sasaran yang dikehendaki Allah, dalam hal ini, sasaran tersebut adalah mereka yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Boleh jadi seseorang memberi kepada pihak lain tetapi dibalik pemberian itu, dia mengharapkan sesuatu, dia enggan memberi kepada yatim dan miskin, karena tidak terdapat sesuatu yang diharapkan dari mereka. Anda dapat menjumpai sekian banyak orang yang memberi kepada mereka yang sebenarnya tidak membutuhkan bantuan, tetapi pada saat yang sama ia mengabaikan banyak orang lainnya yang justru yang sangat membutuhkan, dan akan sangat bergembira bila memperoleh walaupun sekecil apapun. 10

Sayyid Qutub menafsirkan ayat ini adalah do’a atau ancaman kebinasaan bagi orang-orang yang shalat yang lalai dari shalatnya. Siapakah gerangan orang-orang yang lalai dari shalatnya itu? Mereka adalah orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Mereka mengerjakan shalat, tetapi tdak menegakkan shalat. Mereka menunaikan gerakan-gerakan shalat dan mengucapkan do’a-do’anya, tetapi hati mereka tidak hidup bersama shalat, tidak hidup dengannya. Ruh-ruh mereka tidak menghadirkan hakikat shalat dan hakikat bacaan-bacaan, do’a-do’a, dan zikir-zikir yang ada di dalam shalat. Mereka melakukan

10

M. Quraish Shihab, Tafsir al Qur’an al Karim, Pustaka Hidayah, Bandung, 1999, hlm. 611-613

(10)

shalat hanya ingin dipuji orang lain, bukan ikhlas karena Allah. Karena itu, mereka melalaikan shalat, meskipun mereka mengerjakannya. Mereka lalai dari shalat dan tidak menegakkannya, padahal yang dituntut adalah menegakkan shalat, bukan sekedar mengerjakannya. Selain itu, menegakkan shalat itu adalah dengan menghadirkan hakikatnya dan melakukannya hanya karena Allah semata-mata.

Oleh karena itu, shalat semacam ini tidak memberi bekas didalam jiwa orang-orang yang mengerjakan shalat, tetapi lalai dari shalatnya itu, mereka enggan memberikan bantuan dengan barang-barang yang berguna. Mereka enggan pertolongan, dan enggan berbuat kebaikan dan kebajikan kepada saudara-saudaranya sesama manusia. Mereka enggan memberikan bantuan dengan barang-barang yang berguna kepada sesama hamba Alah. Seandainya mereka menegakkan shalat dengan sebenar-benarnya karena Allah niscaya mereka tidak akan enggan memberikan bantuan kepada hamba-hamba Allah. Karena demikianlah sumber ibadah yang benar dan diterima di sisi Allah.

Demikianlah kita dapati diri kita pada kali lain didepan hakikat aqidah dan tabiat agama ini. Kita dapati nash Qur’an mengancam orang-orang yang shalat dengan wail, kecelakaan yang besar, karena mereka tidak menegakkan shalat dengan sebenarnya. Mereka hanya melakukan gerakan-gerakan yang tidak ada ruhnya. Lagi pula mereka tidak tulus karena Allah didalam melakukannya, melainkan hanya karena riya, supaya dipuji orang lain. Shalatnya tidak meninggalkan bekas di dalam hati dan amal perbuatan mereka. Karena itu, shalat mereka menjadi debu yang berhamburan, bahkan sebagai kemaksiatan yang menunggu pembalasan yang buruk.11

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari esensi shalat mereka, yaitu orang-orang yang senantiasa berbuat riya,

11

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an: di Bawah Naungan al-Qur’an, Jilid 24, Bina Insani Press, Jakarta, 2002, hlm. 269

(11)

pamrih serta bermuka dua dan menghalangi dirinya dan orang lain untuk menolong dengan barang berguna.

Kata (

ﻞﻳﻭ

) wail digunakan dalam arti kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat pelanggaran dan kedurhakaan. Ia biasanya digunakan sebagai ancaman. Ada juga yang memahaminya dalam arti nama dari salah satu tingkat siksaan neraka, dengan demikian ayat ini merupakan ancaman terjerumus ke neraka “wail”. Ada juga yang memahaminya dalam arti ancaman kecelakaan tanpa menetapkan waktu serta tempatnya. Ini berarti bahwa kecelakaan itu dapat saja menimpa pendurhakaan dalam kehidupan duniawi atau ukhrawi. Pendapat ini baik, karena tidak ada indikator pada konteks ayat ini, demikian juga ayat-ayat lain yang menggunakan kata wail yang menunjukkan adanya pembatasan waktu atau tempat. Benar, bahwa ada ayat yang secara tegas menyatakan bahwa salah satu penyebab keterjerumusan kedalam neraka saqar adalah mengabaikan shalat, namun ini bukan berarti bahwa wail adalah nama salah satu tingkat neraka, atau bahwa kecelakaan dan kebinasaan itu hanya dialami diakhirat kelak.

Kata

(

ﲔﻠﺼﳌﺍ

)

al-mushallin walaupun dapat diterjemahkan dengan orang-orang yang shalat, tetapi dalam penggunaan al-Qur’an ditemukan makna khusus baginya. Biasanya al-Qur’an menggunakan kata aqimu dan yang seakar dengannya bila dimaksudnya adalah shalat yang sempurna rukun dan syarat-syaratnya, karena kata aqimu atau yang seakar dengannya itu, mengandung makna pelaksanaan sesuatu dalam bentuk yang sempurna.

Kata

(

ﻥﻮﻫﺎﺳ

)

terambil dari kata

(

ﺎﻬﺳ

)

atau lupa, lalai yakni seseorang yang hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.

(12)

Kata

(

ﻦﻋ

)

berarti tentang atau menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi

(

ﻢ ﻼﺻ ﰱ

)

maka ia merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang-orang yang pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesuatu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang yang tidak khusyu’ dalam shalatnya, atau celakalah orang-orang yang lupa jumlah rakaat shalatnya. Untung ayat ini tidak berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya di antara kita yang demikian itu halnya. Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi ‘an shalaatihim sehingga kecelakaan tertuju kepada mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat.

Kata

(

ﻥﻭﺀﺍﺮﻳ

)

terambil dari kata

(

ﻯﺃﺭ

)

yang berarti melihat. Dari akar kata yang sama lahir kata riya’ yakni siapa yang melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tak ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya. Kata itu juga berarti bahwa mereka ketika melakukan suatu pekerjaan selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat dan diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian mereka. Dari sini kata

(

ﺀﺎﻳﺭ

)

atau

(

ﻥﻭﺀﺍﺮﻳ

)

diartikan sebagai ”melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi untuk mencari pujian dan popularitas.”

Riya adalah sesuatu yang abstrak, sulit bahkan mustahil dapat dideteksi oleh orang lain, bahkan yang bersangkutan sendiri terkadang tidak menyadarinya, apalagi jika ia sedang tenggelam dalaam satu kesibukan. Riya’ diibaratkan sebagai semut kecil lagi hitam berjalan dengan perlahan ditengah kelamnya malam di tubuh seseorang.

(13)

Kata

(

ﻥﻮﻋﺎﳌﺍ

)

menurut sementara ulama terambil dari akar kata

)

ﺔﻧﻮﻌﻣ

(

yang berarti bantuan. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ma’un

adalah bentuk maf’ul dari kata

(

ﲔﻌﻳ

-

ﻥﺎﻋﺃ

)

yang berarti membantu dengan bantuan yang jelas baik dengan alat-alat maupun fasilitas yang memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Tetapi kedua pendapat di atas tidak populer. Tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata

(

ﻦﻌﳌﺍ

)

yang berarti sedikit.

Tidak kurang dari sepuluh pendapat tentang maksud kata al-ma’un atau bantuan (yang sedikit itu), antara lain

1). Zakat

2) Harta benda.

3) Alat-alat rumah tangga. 4) Air.

5) Keperluan sehari-hari seperti, periuk, piring, pacul, dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada suatu alasan untuk menolak pendapat-pendapat terperinci di atas, sebagaimana tidak pula beralasanuntuk memilih salah satunya, karena ayat itu sendiri tidak menetapkan suatu bentuk atau jenis bantuan. Penulis cenderung memahami kata al-ma’un dalam arti suatu yang kecil dan dibutuhkan, sehingga dengan demikian ayat ini menggambarkan betapa kikir pelaku yang ditunjuk, yakni jangankan bantuan yang sifatnya besar, haal-hal yang kecil pun enggan.12

12

M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 549

(14)

Sedangkan menurut al-Razi lafadz (

ﻞﻳﻭ

) menunjukkan lafadz yang memuat hukuman yang berat. Dalam surat ini ada tiga pelajaran atau isi yaitu:

1. Orang yang lalai dalam shalatnya. 2. Pamer.

3. Mencegah memberikan atau meminjamkan.

Maka wail (dalam surat ini) diperuntukkan bagi orang-orang munafiq, yaitu orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan diatas.13

13

(15)

2. S. Al Mutaffifin ayat 1-3

ﺍ ﹶﻥﻮﹸﻓﻮﺘﺴﻳ ِﺱﺎﻨﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻮﹸﻟﺎﺘﹾﻛﺍ ﺍﹶﺫِﺇ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

.

ﲔِﻔﱢﻔﹶﻄﻤﹾﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻭ

َنوُﺮِﺴْﺨُﻳ ْﻢُهﻮُﻧَزَو ْوَأ ْﻢُهﻮُﻟﺎَآ اذِإَو

Artinya: “Kecelakaan bagi orang-orang yang curang, (yaitu) mereka yang apabila menerima takaran atas orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.

Munasabah surat ini terdiri atas 36 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan sesudah surat-surat Al-Ankabut atau merupakan surat yang terakhir diturunkan di Mekkah sebelum hijrah. “Al-Muthaffifin” yang dijadikan nama bagi surah ini diambil dari kata “Al-Muthaffifin” yang terdapat pada ayat pertama. Hubungan surat Al-Muthaffifin dengan Al-Insyiqaaq :

1. Dalam surat Al-Muthaffifin, Allah SWT menerangkan bahwa segala amal perbuatan manusia, yang baik maupun yang buruk tercatat dalam satu buku yang terpelihara. Dalam surat al-Insyiqaaq Allah SWT, menjelaskan bahwa buku-buku catatan itu akan diberikan kepada manusia pada hari kiamat.

2. Dalam kedua surat ini, Allah juga menggambarkan ancaman bagi orang yang kafir dan ganjaran yang tidak terhingga bagi orang-orang yang beriman.14

M. Quraish Syihab menafsirkan ayat tersebut adalah kecelakaan dan kerugian besar di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang curang, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan atas yakni dari orang lain, mereka minta yakni menurut secara sungguh agar dipenuhi atau bahkan cenderung minta dilebihkan, dan apabila mereka menakar atau

14

Khadim al Haramain asy Syarifani, al-Qur’an dan Terjemahannya, Madinah Munawaroh, t.th, hlm. 1036-1038

(16)

menimbang untuk orang lain, mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang mestinya mereka berikan.

Kata (

ﻞﻳﻭ

) wail pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa

Arab sebagai do’a jatuhnya siksa. Tetapi al-Qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalam arti satu lembah yang sangat curam di neraka.

Kecelakaan, kebinasaan dan kerugian akan dialami oleh yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku perdagangan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan, maka pada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah orang-orang yang melanjutkan hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi. Berinteraksi dengan pihak lain, baru dapat langgeng jika dijalin oleh sopan santun serta kepercayaan dan amanat antar kedua pihak. Dalam berinteraksi kedua sifat tersebut melebihi jalinan persamaan agama, suku bangsa bahkan keluarga, karena itu bisa saja Anda menemukan seorang muslim lebih suka berinteraksi dagang dengan non muslim yang terpercaya dan sopan dari pada berinteraksi dengan sesamanya yang muslim atau suku bangsa dan keluarga yang tidak memiliki sifat amanat dan sopan santun.

Adapun kecelakaan diakhirat, maka ini sangat jelas, apalagi dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di hari kemudian nanti, menuntut agar pahala amal-amal kebajikan yang boleh jadi pernah dilakukan oleh yang mencuranginya itu, diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangannya itu.15

Sedangkan menurut penafsiran Sayyid Qutub “Al Wail” berarti kebinasaan, kecelakaan yang besar. Terlepas apakah yang dimaksud ayat itu sebagai penetapan bahwa ini merupakan keputusan atau do’a, maka

15

(17)

dalam kedua keadaannya ini substansinya adalah satu, karena do’a Allah juga berarti ketetapan.

Kemudian dua kata berikutnya menjelaskan makna “muthaffifin” itu maka, mereka adalah, orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.

Mereka menuntut dipenuhinya takaran dan timbangan barang-barang yang diperjualbelikan itu bila mereka membeli. Namun, mereka menguranginya bila menjual untuk orang lain.

Kemudian tiga ayat berikutnya menunjukkan keheranan terhadap sikap orang-orang curang itu. Mereka berbuat semaunya saja sekan-akan disana nanti tidak ada perhitungan dan pertanggungjawaban terhadap apa saja yang mereka kerjakan selama hidup di dunia, juga seakan-akan disana tidak ada peradilan dihadapan Tuhan, pada hari yang besar, untuk mendapatkan perhitungan dan balasan didepan Tuhan semesta alam.16

3. Q.S. Al Mursalat ayat 15

َﻦﻴِﺑﱢﺬَﻜُﻤْﻠِﻟ ٍﺬِﺌَﻣْﻮَﻳ ٌﻞْﻳَو

Artinya: “Kecelakaan pada hari itu bagi para pengingkar”.

Apabila telah terjadi kehancuran sistem alam raya yang berlaku dalam kehidupan duniawi ini. Sebagaimana digambarkan oleh ayat-ayat yang lalu, maka kecelakaan yang besar lagi mantap dan langgeng pada hari itu bagi para pengingkar.

Munasabah surat al Mursalat terdiri atas 50 ayat, termasuk golongan surat-surat Makiyyah, diturunkan sesudah surat al Humazah. Dinamakan al Mursalat yang berarti malaikat-malaikat yang diutus, diambil dari perkataan “al Mursalat” yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Surat al Mursalat menerangkan azab yang akan diderita oleh

16

(18)

orang yang menolak kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw sebagaimana azab yang telah diderita umat-umat yang dahulu yang menolak kebenaran yang dibawa rasul-rasul mereka.

Hubungan surat al Mursalat dengan an-Naba’:

1. Kedua surat ini sama-sama menerangkan keadaan neraka tempat

orang kafir menerima adzab, dan keadaan surga tempat orang-orang yang bertaqwa merasakan nikmat dari Allah.

2. Dalam surat al Mursalat diterangkan tentang”Yaumul Fashl”(hari

keputusan) secara umum, sedang surat an Naba’ menjelaskannya.17 M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al Misbah menjelaskan bahwa kata (

ﻞﻳﻭ

) wail digunakan untuk menggambarkan kecelakaan, keburukan atau siksa yang besar. Ada Ulama yang memahaminya sebagai do’a tetapi lebih tepat memahaminya sebagai informasi tentang adanya ancaman. Penggunaannya pada awal kata menjadikannya mengandung makna pemantapan dan kelanggengan kecelakaan itu.

Pada surah ini bunyi ayat 15 itu diulangi sebanyak 10 kali. Pengulangan tersebut menurut Al-Qurthubi bagaikan isyarat bahwa kecelakaan dan siksa yang dijatuhkan itu dibagi-bagi antara para pendurhaka sesuai kadar kedurhakaan mereka. Setiap kedurhakaan seorang pendurhaka mempunyai jenis atau kadar siksaan yang berbeda dengan kedurhakaannya yang lain. Karena sekian banyak kedurhakaan yang lebih buruk dari kedurhakaannya yang lain. Atas dasar itu sehingga siksaan tersebut terbagi-bagi.

Al-Baqa’i menulis bahwa bunyi ayat itu terulang dalam surah ini sebanyak 10 kali, sedang makhluk-makhluk yang disebut dalam konteks sumpah beserta peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari kiamat yang dimulai hilangnya cahaya bintang-bintang keseluruhannya berjumlah

17

(19)

9. Jika setiap sumpah dan peristiwa dikaitkan dengan ancaman, maka itu berarti masih ada kelebihan satu ancaman, dan ini berfungsi sebagai ta’kid (penguat) sekaligus mengisyaratkan bahwa para pembangkang itu akan memperoleh siksa yang berakhir sebagaimana angka satu tidak berakhir. Atau dapat juga dikatakan bahwa ayat 15 merupakan ancaman sedang ayat-ayat serupa ditempat-tempat lain, surat kesemuanya menjadi penguat bagi ancaman itu.18

Al Razi menjelaskan surat al mursalat ayat 15 kata wail (kecelakaan) bagi orang yang mendustakan keesaan (Allah) kenabian dan janji dan segala sesuatu yang datang atau dibawa oleh para Nabi. Ada dua permasalahan yaitu:

1. Wailun dibaca rafa’ karena menunjukkan tetapnya kerusakan dan

terus-menerus dan bisa di baca wailan.

2. Ayat 19 surah ini bermaksud tentang orang-orang kafir yang

menganggap enteng atau ringan tentang kekufurannya.

Dalam ayat ini seakan-akan Allah berkata: Semua urusan kehidupan dunia akan rusak dan kehidupan akhirat akan mendapat siksaan yang pedih. Mereka akan dirusak dan disiksa dalam kehidupan di dunia dan akan mendapat balasan (musibah) yang besar di hari kiamat.19

Sedangkan menurut Sayyid Qutub surat ini juga membentangkan pemandangan-pemandangan dunia dan akhirat, hakikat hakikat alam dan jiwa, dan pemandangan-pemandangan yang mengerikan beserta azab dalam seluruh paparannya. Setiap bentangan dan pemandangan dikomentari dengan pukulan terhadap hati yang berdosa seakan-akan pukulan api, “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang

yang mendustakan!”.

Komentar seperti itu diulang sepuluh kali dalam surah ini. Apa yang disebutkan dalam komentar ini pasti terjadi, dan ia sangat cocok

18

M. Quraish Shihab, op. cit., Vol 14, hlm. 683-684 19

(20)

dengan sifat-sifatnya yang tajam, pemandangannya yang keras, kesannya yang kuat.

Ketetapan ini mengingatkan kita kepada apa yang disebutkan secara berulang-ulang di dalam surah Al Rahnaan yang memberi komentar pada setiap kali selesai menyebutkan kenikmatan Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan kalimat, “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah

yang kamu dustakan?”. Juga mengingatkan kita kepada ketetapan yang

disebutkan berulang-ulang di dalam surah Al Qomar setiap kali usai menyebut satu putaran azab dengan kalimat, “Maka alangkah dahsyatnya

azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku!”.

Pengulangan kalimat, “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu

bagi orang-orang yang mendustakan”, memberikan ciri khusus bagi surah

ini dan memberikan nilai rasa yang berbeda secara tajam dengan surah lainnya. Segmen-segmen dan bagian-bagian surah disebutkan secara beruntun dengan kalimat kalimat yang pendek, cepat, keras, dan rimanya (sajak) bermacam-macam.

Setiap segmen dari sepuluh segmen yang ada dalam surah ini, menggambarkan suatu perjalanan dialam semesta. Surah ini berpindah bersamanya kehamparan-hamparan yang luas dari renungan, perasaan, getaran-getaran hati, dan respons-respons. Ia beralih dari hamparan ungkapan dan kalimat, seakan-akan ia adalah anak-anak panah yang menunjukkan kepada alam yang beraneka macam.

Perjalanan pertama adalah berkeliling-keliling pada pemandangan hari keputusan, yang melukiskan terjadinya pembalikan-pembalikan alam makro di langit dan di bumi. Yaitu, saat berakhirnya tugas para Rasul dalam membuat perhitungan bersama manusia.

Perjalanan kedua adalah bersama orang-orang dahulu dan isyarat tentang sunnah Allah yang terjadi pada orang-orang yang mendustakan agama-Nya.

Perjalanan ketiga adalah bersama dengan penciptaan pertama dengan takdir dan pengaturan yang menyertainya.

(21)

Perjalanan yang keempat adalah di bumi tempat dihimpunnya aneka manusia hidup dan mati, yang disediakan bagi mereka untuk tempat tinggal. Disediakan pula di sana air dan segala sesuatu yang menjadi unsur kebutuhan hidup duniawi.

Perjalanan kelima adalah bersama orang-orang yang mendustakan beserta azab dan siksaan yang akan mereka peroleh pada hari keputusan (kiamat).

Perjalanan keenam dan ketujuh adalah melanjutkan penjelasan tentang keadaan orang-orang yang mendustakan itu, dan tambahan pelecehan dan penghinaan terhadap mereka.

Perjalanan kedelapan adalah bersama orang-orang yang bertaqwa beserta kenikmatan yang disediakan untuk mereka.

Perjalanan kesembilan adalah perjalanan sepintas bersama orang-orang yang mendustakan, mengenai pelecehan terhadap mereka.

Perjalanan kesepuluh adalah kilatan yang cepat bersama orang-orang yang mendustakan, mengenai sikap pendustaan mereka.

Di dalam surah ini terdapat suasana baru dalam menampilkan pemandangan neraka, dan dalam menghadapi orang-orang yang mendustakan pemandangan-pemandangan ini, sebagaimana juga terdapat nuansa baru dalam metde penyampaian dan semua pemaparannya. Karena itu, tampaklah kepribadian khusus surah ini, yang tajam sifatnya, menyengat rasanya, dan halus kesannya.20

4. Q.S Al Humazah ayat 1

ٍﺓﺰﻤﹸﻟ ٍﺓﺰﻤﻫ ﱢﻞﹸﻜِﻟ ﹲﻞﻳﻭ

Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”.

Munasabah surat al Humazah, surat ini merupakan wahyu yang ke 31 dan diterima oleh Nabi Muhammad Saw. dalam mushaf al Qur’an, surat

20

(22)

ini ditempatkan setelah surat alAshr. Surat al Humazah ini menempati urutan ke 104.

Terdapat kaitan yang cukup erat antara kedua surat tersebut diatas. Surat al Ashr berbicara tentang orang-orang yang tidak akan mengalami kerugian, yakni yang mengamalkan empat hal pokok, yaitu: beriman, beramal sholeh, berwasiat menyangkut kebenaran dan ketabahan. Sedang surat al Humazaah menjelaskan secra tersurat dan tegas, siapa yang akan mengalami kerugian, bahkan kecelakaan itu.

Surat ini secara umum berbicara tentang orang-orang yang sering mengumpat dan mencela orang lain, yang menimbun-nimbun harta, seakan-akan dengan penimbunan ityu ia akan dapat kekal hidup didunia ini.21

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat diatas menyatakan: Wail yakni kecelakaan yang besar bagi setiap pengumpat dan pencela yakni yang melakukan keburukan tersebut secara berulang-ulang.

Kata wail (

ﻞﻳﻭ

) digunakan untuk menggambarkan kesedihan,

kecelakaan dan kenistaan. Kata ini juga digunakan untuk mendo’akan seseorang agar mendapatkan kecelakaan dan kenistaan itu. Dengan demikian ia dapat menggambarkan keadaan buruk yang sedangatau akan dialami. Banyak Ulama memahaminya dalam arti kecelakan atau kenistaan yang akan dialami, dan dengan demikian ia menjadi ancaman buat pengumpat dan pencela. Sementara Ulama berpendapat bahwa wail adalah nama satu lembah di neraka, yang melakukan pelanggaran tertentu akan tersiksa disana.

Rasul Saw. bersabda: “Tahukah kamu apakah gunjingan itu?” para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui” Beliau menjelaskan bahwa: “menggunjing adalah membicarakan menyangkut saudaramu (orang lain) apa yang ia tidak senangi. “Apabila memang

21

(23)

demikian keadaan orang itu, apakah juga dinamai gunjingan?” tanya salah seorang sahabat Nabi, “Ya itulah dia ghibah (gunjingan), sebab seandainya kejelekan yang dibicarakan itu tidak terdapat pada orang yang dibicarakan itu, maka yang Anda lakukan (tidak dinamai ghibah) tetapi kebohongan besar.” Demikian penjelasan Rasul Saw.

Ada enam hal yang dikecualikan dari larangan diatas, dengan kata lain agama dapat membenarkan seseorang menyebut kejelekan orang lain dibelakang yang bersangkutan, selama salah satu yang sebut dibawah ini terpenuhi.

Pertama, mengadukan penganiayaan yang dialami seseorang

kepada pihak yang diduga dapat mengatasi penganiayaan itu.

Kedua, mengharapkan bantuan dari siapa yang disampaikan

kepadanya keburukan itu agar keburukannya tersingkirkan.

Ketiga, menyebut keburukan dalam rangka meminta fatwa

keagamaan.

Keempat, menyebut keburukan seseorang dengan tujuan memberi

peringatan kepada orang lain agar tidak terkecoh olehnya.

Kelima, membicarakan keburukan seseorang yang secara

terang-terangan dan tanpa malu melakukannya.

Keenam, mengidentifikasi seseorang, atau memberinya gelar atau

ciri tertentu, yang tanpa hal tersebut yang bersangkutan tidak dikenal. Kata lumazah (

ﺓﺰﳌ

) adalah bentuk jamak dari lummaz (

ﺯﺎﹼﳌ

) yang

terambil dari kata al-lamz (

ﺰﻤﻠﻟﺍ

). Kata ini digunakan untuk

menggambarkan ejekan yang mengundang tawa.

Sementara Ulama berpendapat bahwa al-lamz adalah “mengejek dengan menggunakan isyarat mata atau tangan yang disertai dengan kata-kata yang diucapkan secara berbisik, baik dihadapan maupun dibelakang orang yang diejek.”

(24)

Seperti halnya bentuk humazah demikian pula bentuk kata yang dibahas ini. Itu berarti bahwa ancaman ayat ini pun baru berlaku terhadap mereka yang telah amat terbiasa melakukan pelanggaran ini.

Yang pasti adalah terlarang melakukan segala bentuk ejekan dan cemoohan, sehingga tidak mustahil ketiga makna diatas dicakup pengertiannya oleh ayat Al-Humazah ini.22

Sedangkan menurut Al Razi bahwa wail mempunyai tiga pengertian yaitu:

1. Wail merupakan kalimat penghinaan dan ancaman.

2. Sebagian riwayat, makna wail adalah suatu gunung di neraka Jahannam.

3. Dapat dikatakan bahwa wail merupakan kalimat yang menganggap sesuatu pekerjaan itu kotor.23

Selanjutnya Sayid Qutub menafsirkan surat Al Humazah ayat 1 yaitu seorang manusia yang tercela lagi kerdil jiwanya. Orang tersebut berlaku sombong dan menganggap remeh terhadap seluruh kemuliaan dan kehormatan manusia, mengumpat dan mencelanya. Ia memcaci mereka dengan mulutnya dan menghina mereka dengan gerak-gerik dan suaranya dengan merendahkan sifat-sifat dan keadaannya, dengan perkataan ataupun dengan isyarat, dengan lirikan dan makian, dan dengan gaya meremehkan dan gerakan-gerakan yang menghinakan.

Itulah gambaran yang hina dan tercela bagi jiwa manusia ketika sudah kosong dari harga diri dan lepas dari iman. Islam melarang manusia dari perbuatan menghina, mencela, dan mencaci maki. Maka disebutkanlah tindakan mengumpat dan mencela itu dengan gambaran yang sangat buruk disertai dengan ancaman yang keras.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy menafsirkan bahwa wail adalah azab dan hina, di hari itu untuk yang mendustakan. Walaupun

22

M. Qurash Shibab, op. cit., Vol 15, hlm. 511-513 23

(25)

mereka di dunia telah di ahzabkan dengan berbagai azab namun azab yang ganas kelak akan menimpa mereka di akhirat.24

Sedangkan menurut Ahmad Mustofa al Maraghi, menjelaskan wailun berarti kehinaan dan sika. Kata ini dipakai untuk mencela dan mencaci. Maksudnya adalah mengingatkan keburukan yang akan disebut sebagai sifat-sifat manusia.25

24

Teungku Muhammad Hasbi As Shiddiqy, Tafsir al Qur’anul Majid a Nur, cet II, 1995, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, Jakarta, hlm. 4275

25

Ahmad Musthofa al Maraghi, Terjemah Tafsir al Maraghi, jus 30, CV. Toha Putra Semarang, 1985, hlm. 415

Referensi

Dokumen terkait

luonnehtinut  pitkään  myös  politiikan  tutkimusta  ja  tätä  seuraten  uskonnolliset  elementit  on   nähty  epärelevantteina  tutkimuskohteita  ja

Selain itu, teraniaya anak-anak yang tidak berdosa akibat ulah orang-orang (orang tua yang melakukan perziaan) yang tidak bertanggung jawab, sehingga mereka

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN SUBTEMA 4 KEBERSAMAAN DALAM KELUARGA MENGACU KURIKULUM SD 2013

Aplikasi ini nantinya akan memberikan informasi letak – letak ATM dalam bentuk peta dan dapat menentukan lokasi ATM terdekat dari posisi nasabah menggunakan formula

Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan jeruk manis dalam membeli jeruk manisdan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran jeruk manis

Aplikasi ini merupakan aplikasi dari analisa yang terjadi di lapangan bagaimana prosedur penyewaan fasilitas yang ada digambarkan ke dalam rancangan sistem

Untuk peserta Seleksi Tertulis dan Keterampilan Komputer harap mengambil undangan di kantor KPU Kota Jakarta Pusat pada Hari Sabtu tanggal 2 Juli 2016 pukul 01.00 WIB

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kemudahan yang diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan