• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan

Bhrem (1992) menyatakan bahwa pernikahan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.

Ditambahkan oleh Dyer (1983) yang mendefinisikan pernikahan sebagai suatu subsistem dari hubungan yang luas dimana dua orang dewasa dengan jenis kelamin berbeda membuat sebuah komitmen personal dan legal untuk hidup bersama sebagai suami dan istri.

Pernikahan bukanlah peristiwa hidup tunggal, tetapi satu set tahapan dimana pasangan mencoba untuk mencapai keseimbangan antara ketergantungan dan otonomi sebagaimana mereka bernegosiasi terhadap masalah kontrol, kekuasaan, dan otoritas (Kovacs, dalam Kurdek, 1999)

Duvall (1985) menyatakan bahwa pernikahan adalah persetujuan masyarakat atas penyatuan suami dan istri dengan harapan mereka akan menerima tanggung jawab dan melakukan peran sebagai pasangan suami istri dalam kehidupan pernikahan.

(2)

Undang-Undang RI tahun 1974 pasal 1 tentang pernikahan menyebutkan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Astuti, 2003).

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka pernikahan disimpulkan sebagai suatu hubungan yang diawali ketika dua orang individu yang berlainan jenis saling mengucapkan janji didepan umum untuk hidup bersama sebagai suami istri dan membentuk keluarga atas keinginan dan harapan untuk menetapkan hubungan yang bahagia dan kekal sepanjang hidup berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Faktor-Faktor Yang Memotivasi Pernikahan

Setiap orang mungkin mempunyai pertimbangan yang berbeda ketika harus memutuskan untuk memasuki lembaga pernikahan. Namun secara umum hal tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua faktor utama, push factors, yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk segera memasuki pernikahan; dan pull factors, yaitu faktor-faktor daya tarik yang menetralisir kekhawatiran seseorang untuk terikat dalam pernikahan yang akan mengurangi kebebasan (Turner & Helms, dalam Domikus, 1999).

Adapun yang termasuk push factors, antara lain:

a. Konformitas. Orang memutuskan untuk menikah karena demikian pula yang dilakukan oleh sebagian besar orang. Agaknya kebanyakan struktur

(3)

kebudayaan yang ada di muka bumi ini adalah sedemikian rupa sehingga konformitas merupakan hal yang utama.

b. Cinta. Cinta merupakan komitmen emosional manusia yang perlu diterjemahkan ke dalam suatu bentuk yang lebih nyata dan permanen, yaitu pernikahan.

c. Legitimasi seks dan anak. Secara tradisional, masyarakat memberikan dukungan terhadap hubungan seksual hanya kepada mereka yang telah menyatakan komitmennya secara legal. Sedangkan lahirnya anak-anak yang tidak berasal dari pernikahan yang sah akan menimbulkan stigma sosial yang tidak dapat disepelekan.

Sementara yang termasuk dalam pull factors, antara lain:

a. Persahabatan. Salah satu harapan terhadap pernikahan adalah terjadinya persahabatan yang terus-menerus. Banyak pasangan menyatakan bahwa hal terpenting dalam pernikahan sesungguhnya adalah terjalinnya suatu persahabatan.

b. Berbagi. Berbagi dalam gaya hidup, pikiran-pikiran dan juga penghasilan dianggap sebagai daya tarik seseorang untuk memasuki pernikahan.

c. Komunikasi. Pasangan suami istri perlu terlibat secara mendalam dalam komunikasi yang akrab dan bermakna. Pasangan yang bahagia adalah mereka yang terampil berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal dan saling peka terhadap kebutuhan satu sama lain.

(4)

3. Pengertian Kepuasan Pernikahan

Symonds & Horvath (dalam Judge, dkk, 2006, hal. 446) menyebutkan pengertian kepuasan pernikahan yaitu:

"an attitude of greater or lesser favorability toward one's own marital relationship".

Menurut Roach, dkk (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) kepuasan pernikahan merupakan persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu.

Secara umum, Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.

Menurut Durodoye (dalam Domikus, 1999), kepuasan perkawinan merupakan kesan subyektif individu terhadap komponen spesifik dalam hubungan perkawinannya. Penyebab ketidakpuasan perkawinan biasanya berkisar pada tiga wilayah utama, yaitu: komunikasi, keuangan dan anak (Snyder, dalam Domikus, 1999).

(5)

pernikahan, kesepakatan akan nilai, prioritas dan ”peraturan” keluarga bagi pasangan dalam pernikahan, frekuensi berhubungan seksual, frekuensi perbedaan pendapat; ada atau tidak ada penyesuaian tentang pernikahan, keterlibatan emosional dengan anak-anak, dan berbagai perasaan lain, ekspresi verbal dan tingkah laku yang menjadi ciri evaluasi dari suatu hubungan.

Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Huges & Noppe, 1985).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi mengenai kehidupan pernikahan yang dapat diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan yang mencakup: komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.

4. Area-Area Dalam Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (dalam Saragih, 2003). Adapun area-area tersebut adalah sebagai berikut:

a. Komunikasi

Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi

(6)

dan menerima informasi tentang perasaan dan fikirannya. Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan dalam lima elemen dasar, yaitu: openness (adanya keterbukaan antara pasangan), honesty (kejujuran terhadap pasangan), ability to trust (kemampuan untuk mempercayai satu sama lain), emphaty (kemampuan mengidentifikasi emosi pasangan) dan listening skill (kemampuan menjadi pendengar yang baik).

b. Kegiatan di waktu luang

Area ini menilai pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat menikmati kebersamaan yang mereka ciptakan.

c. Orientasi keagamaan

Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan pernikahan. Menurut Landis & Landis (dalam Wahyuningsih, 2002), tingkat religiusitas dalam pernikahan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan pernikahan. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orang tua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya, dan merasa bahwa mereka wajib memberi teladan kepada anaknya

(7)

dengan membiasakan diri beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembahyang secara teratur, ikut dalam kegiatan atau organisasi agama (Hurlock, 1999).

d. Penyelesaian konflik

Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Kail dan Cavanaugh (2000) bahwa kebahagiaan dalam perkawinan dapat terbina dengan melakukan komunikasi yang konstruktif dan positif mengenai masalah yang sedang dihadapi.

e. Pengelolaan keuangan

Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Henslin (1985) mengemukakan bahwa pasangan yang senang dengan pemasukan yang mereka peroleh akan cenderung puas terhadap pernikahannya, tetapi mungkin saja keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang buruk dapat bahagia dan langgeng selama tercipta kesepakatan bersama dalam pengelolaan keuangan. Konflik dapat muncul jika salah seorang dari pasangan menunjukan otoritas terhadap pasangannya dan meragukan kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan. f. Hubungan seksual

Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam hal kasih sayang dan hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang berhubungan

(8)

dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan dan memilih waktu yang tepat untuk berhubungan seksual sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan pernikahan.

g. Keluarga dan teman

Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman dapat dilihat dalam area ini. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dan mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Pernikahan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama (Hurlock, 1999).

h. Anak dan pengasuhan anak

Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana

(9)

pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan jika itu dapat tercapai. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan.

i. Kepribadian

Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasan serta kepribadian pasangan. Biasanya, sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Namun setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul dan perbedaan dari apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dapat menimbulkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

j. Kesetaraan peran

Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock (1999) menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama

(10)

dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan antara lain, sebagai berikut:

a. Kehadiran anak

Duvall (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa hadirnya anak di kemudian hari terbukti potensial dalam mengurangi kepuasan pernikahan, mengingat keakraban dan perhatian suami istri terbagi dengan anak. Selain itu, anak menuntut banyak energi dan juga uang yang dalam banyak hal akan menambah kompleks beban keluarga. Ditambahkan oleh Kurdek (dalam Bhrem, 2002) bahwa anak adalah pekerjaan yang tidak ada akhirnya, dan sebagian besar orangtua mengalami penurunan yang drastis dan tidak diharapkan dalam menikmati waktu berdua. Ketika bayi lahir, konflik meningkat dan kepuasan pernikahan (dan cinta terhadap pasangan) menurun, khususnya pada wanita (Belsky, dalam Bhrem, 2002). Selain menambah stres pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992), kehadiran anak dalam keluarga juga meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian (Katvetz, Warner & Acock, dalam Bhrem, 2002).

(11)

b. Tingkat pendidikan

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Kurdek (dalam Lefrancois, 1993), ditemukan bahwa bagi pria dan wanita, rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya persengketaan dalam pernikahan. Hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan akan mengurangi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan verbal dan sosial dalam menyelesaikan konflik, dan persiapan yang kurang baik yang terjadi pada awal-awal pernikahan. Ditambahkan oleh Hendrick & Hendrick (1992) bahwa pasangan yang memiliki tingkat pendidikan rendah akan merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih benyak menghadapi stressor seperti pengangguran dan tingkat penghasilan yang rendah.

c. Latar belakang ekonomi

Status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan pernikahan (Hendrick & Hendrick, 1992). Umumnya, individu dengan status pekerjaan rendah, kurang pendidikan, dan pendapatan yang rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk bercerai (Kitson et al; Karney & Brabury, dalam Bhrem, 2002).

d. Usia ketika menikah.

Pada wanita, usia ketika pertama kali menikah merupakan faktor penting yang berhubungan dengan kepuasan pernikahan. Pada umumnya, semakin dewasa wanita ketika menikah, maka akan semakin bahagia ia dalam pernikahannya. Selain itu, ditemukan juga bahwa remaja yang menikah memiliki frekuensi dua

(12)

kali lebih besar untuk bercerai dibandingkan dengan wanita yang lebih dewasa (Lefrancois, 1993).

e. Lama Pernikahan

Sebagaimana dikemukakan oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993) bahwa tingkat kepuasan tertinggi terjadi pada awal pernikahan, menurun setelah kelahiran anak pertama, dan meningkat kembali setelah anak terakhir meninggalkan rumah.

B. Tahap-Tahap Pernikahan

1. Pengertian Tahap-Tahap Pernikahan

Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers, dalam Sigelman & Rider, 2003)

Duvall (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahap-tahap pernikahan menjadi 8 (delapan) tahap yang disebut juga sebagai Family Life Cycle, sebagai berikut:

1. Keluarga awal: Pasangan baru menikah dan belum memiliki anak, berlangsung selama lebih kurang 2 tahun

2. Childbearing family (kelahiran anak pertama sampai berusia 30 bulan), berlangsung sekitar 2.5 tahun

3. Keluarga dengan anak prasekolah (anak tertua berusia 30 bulan - 6 tahun), berlangsung sekitar 3.5 tahun

(13)

4. Keluarga dengan anak sekolah (anak tertua berusia 6 - 13 tahun), berlangsung sekitar 7 tahun

5. Keluarga dengan anak remaja (anak tertua berusia 13 - 20 tahun), berlangsung sekitar 7 tahun

6. Keluarga dalam periode launching young adults (kepergian anak pertama sampai anak terakhir), berlangsung sekitar 8 tahun

7. Middle – aged parents (masa emptynest dan retirement), merupakan periode terlama yang berlangsung sekitar 15 tahun

8. Aging family members (dari masa pensiun hingga meninggalnya salah seorang pasangan), berlangsung selama lebih kurang 10 - 15 tahun.

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Family Life Cycle oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993)

2 y 1 2.5 y 2 3.5 years 3 7 years 4 7 years 5 8 years 6 7 8 15+ years 10 to 15 + years

Dalam masing-masing tahap-tahap, anggota keluarga memegang peran berbeda dan tugas perkembangan yang berbeda yaitu: membangun hubungan yang memuaskan pada fase “newlywed“, menyesuaikan dari sebagai orangtua pada fase

(14)

“childbearing“, beradaptasi terhadap keluarnya anak-anak pada fase “launching“ (Sigelman & Rider, 2003).

Secara umum, Anderson, Russel & Schumn (Dalam Hoyer & Roodin, 2003) membagi tahap pernikahan menjadi tahap sebelum kehadiran anak pertama, kehadiran anak & setelah keluarnya anak dari rumah. Sementara, Cole (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahap pernikahan menjadi awal pernikahan, kelahiran & mengasuh anak & emptynest sampai usia tua.

a. Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple)

Berdasarkan family life cycle dari Duvall, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah & berakhir ketika anak pertama lahir. Selama tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa penyesuaian utama (Hurlock, 1999), yaitu: a. Penyesuaian dengan pasangan

Merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh keluarga baru. Tidak mudah menyatukan dua orang yang berlainan jenis, kepribadian, sifat dan juga kebiasaan-kebiasaan. Dalam penyesuaian pernikahan yang jauh lebih penting adalah kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta.

b. Penyesuaian seksual

Masalah ini merupakan salah satu penyesuaian yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan tak dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit

(15)

untuk mengakhirinya secara memuaskan dikarenakan wanita sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya dan tidak dapat dengan segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami (Rubin, dalam Hurlock, 1999)

c. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan pernikahannya. Suami dan istri harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan kebiasaan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi awal percekcokan antara suami dan istri

d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan.

Melalui pernikahan, setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenek/kakek, yang kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda, bahkan sering sekali sangat berbeda dari segi pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya. Suami istri harus mempelajari dan menyesuaikan diri bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.

b. Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing)

Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun (Duvall,

(16)

dalam Lefrancois, 1993). Rata-rata masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak (Levy & Shiff, dalam Sigelman & Rider, 2003).

Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Sigelman & Rider, 2003) bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stres orangtua (O’ Brien, dalam Sigelman & Rider, 2003).

Semakin dewasa usia anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orangtua walaupun sebagian besar orangtua menyatakan lebih puas terhadap pernikahan dan hubungan dengan anak-anak, namun anak-anak menyulitkan terhadap orangtua dengan memaksa orangtua untuk memberi waktu dan tenaga kepada mereka sehingga menambah stres orangtua. Dalam hubungan pernikahan, kehadiran anak-anak hanya memberikan dampak negatif (Kurdek, 1999).

c. Tahap III: Kekosongan (Emptynest)

Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Istilah emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah (Hoyer & Roodin,

(17)

2003). Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan

berlangsung selama lebih kurang 15 tahun (Duvall, dalam Lefrancois, 1993). Usia rata-rata ibu pada awal tahap ini sekitar 52 tahun dan 54 tahun untuk ayah,

sedangkan menurut Hurlock (1999), tahap ini terjadi pada usia 40 sampai 49 tahun.

Ketika remaja atau dewasa awal meninggalkan rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan yang dalam yang disebut sebagai Sindrom Emptynest (Hoyer & Roodin, 2003). Hal ini didukung oleh penelitian Rubin (dalam Lefrancois, 1993) bahwa pada masa emptynest, wanita mengalami kesedihan, namun tidak ditemukan adanya depresi. Kenyataannya banyak orangtua yang memandang ketidakhadiran anak dalam keluarga sebagai saat untuk membangun kebebasan hidup sebagai orang dewasa. Tekanan yang berat dikarenakan kondisi ekonomi dan pekerjaan terjadi ketika anak-anak tidak benar-benar membuat masa emptynest terjadi sebagaimana diharapkan atau mereka kembali lagi ke rumah (Glick & Lin, dalam Lefrancois, 1993)

Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka berlangsung baik hampir setiap waktu. Kebahagiaan dan kepuasan tertinggi terjadi pada tahap pertama semakin rendah ketika anak tertua memasuki usia remaja. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun ( Rollin & Feldman, dalam Lefrancois, 1993) dan usia tua (Foner & Schwab, dalam Lefrancois, 1993).

(18)

2. Tugas Perkembangan Keluarga

Tugas perkembangan merupakan suatu kemampuan atau tantangan yang jika dapat dicapai dan diselesaikan dengan tepat akan memberikan kepuasan pada tahap tersebut dan menjadi dasar yang kuat untuk kesuksesan di tahap berikutnya (Havighurst, dalam Lemme, 1995).

Setiap anggota dalam keluarga mengalami level perkembangan yang berbeda dengan tugas perkembangan yang berbeda pula. Hal ini sering menimbulkan ketegangan dan konflik dalam keluarga, karena masing-masing anggota keluarga memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda dan harus dipenuhi, sementara pada saat yang sama mereka juga harus memperhatikan posisi anggota keluarga yang lain (Lemme, 1995).

Duvall (dalam Lemme, 1995) menjelaskan tugas-tugas perkembangan dalam tiap tahap perkembangan keluarga dalam Tabel 1 berikut ini:

(19)

Tabel 1. Tugas Perkembangan Keluarga dalam Tiap Tahap Tahap-tahap dalam Siklus Kehidupan Keluarga Peran dalam Keluarga Tahap Kritis

Tugas Perkembangan Keluarga

1. Married couple

Istri Suami

Membangun pernikahan yang memuaskan

Menyesuaikan diri dengan kehamilan dan peran orangtua

2. Childbearing Istri-ibu Suami-ayah

Bayi laki-laki dan/atau perempuan

Punya anak, menyesuaikan diri, dan mengendalikan perkembangan anak Membangun keluarga yang memuaskan bagi anak dan orangtua

3. Preschool age Istri-ibu Suami-ayah

Anak perempuan-kakak

Anak laki-laki-abang

Beradaptasi terhadap kebutuhan dan minat kritis anak prasekolah

Coping terhadap energi yang terkuras dan kekurangan privasi dengan pasangan

4. School age Istri-ibu Suami-ayah

Anak perempuan-kakak

Anak laki-laki-abang

Memasuki komunitas sekolah dan menyesuaikan keluarga

Membantu pencapaian pendidikan anak

5. Teenage Istri-ibu Suami-ayah Anak perempuan-kakak Anak laki-laki-abang

Menyeimbangkan kebiasaan dan tanggung jawab pada anak remaja

Membangun minat postparental dan perkembangan karir 6. Launching center Istri-ibu-nenek Suami-ayah-kakek Anak perempuan-kakak-bibi Anak laki-laki-abang-paman

Melepas dewasa ke dunia kerja, kuliah, pernikahan, dan lain-lain dengan bantuan yang sesuai

Mempertahankan dukungan bagi keluarga

7. Middle aged parents

Istri-ibu-nenek Suami-ayah-kakek

Membangun kembali hubungan pernikahan

Mempertahankan hubungan dengan generasi yang lebih tua dan lebih muda 8. Aging family

members

Istri-ibu-nenek Suami-ayah-kakek Janda/duda

Coping terhadap kematian pasangan dan hidup sendiri

Beradaptasi terhadap masa tua Adaptasi terhadap masa pensiun

(20)

C. Dinamika Kepuasan Pernikahan Wanita pada Tahap-Tahap Pernikahan Hidup berkeluarga dimulai dengan adanya upacara sakral pengikatan janji nikah yang dilaksanakan di depan umum dengan menggunakan adat dan aturan tertentu, yang dilakukan atas dasar keinginan yang kuat untuk menetapkan hubungan sepanjang hidup.

Tahap awal pernikahan diisi dengan eksplorasi dan evaluasi. Secara bertahap, pasangan mulai menyesuaikan harapan dan fantasi mengenai pernikahan dengan kenyataan yang ada (Hoyer & Roodin, 2003)

Dalam setiap pernikahan, pasangan memperoleh peran masing-masing dan peran ini bertambah seiring berjalannya waktu. Pasangan yang baru menikah, tidak hanya mencari tahu peran-peran dalam pernikahannya, tetapi juga melaksanakan peran-peran tersebut (Hoyer & Roodin, 2003). Ditambahkan oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993), pada masa ini, pasangan mulai mempertimbangkan keputusan untuk memiliki anak atau tidak. Peran sebagai suami dan istri berlangsung sekitar dua tahun sebelum kelahiran anak

Tahap berikutnya dalam Duvall’s family life cycle adalah tahapan dimana hadirnya anggota keluarga baru yaitu anak. Kelahiran anak dan kewajiban untuk mengasuh anak seringkali diasosiasikan dengan porsi yang paling awal dari rentang kehidupan orang dewasa (Hoyer & Roodin, 2003). Gutmann (dalam Hoyer & Roodin, 2003) menjelaskan periode ini sebagai periode dimana orang dewasa membuat suatu pola parental imperative untuk memaksimalkan pembagian tugas masing-masing pasangan dan menjamin kelangsungan komunitas sosial.

(21)

Kelahiran anak pertama memberikan dampak yang besar bagi pasangan karena anak memaksa pasangan untuk menambah peran baru sebagai ibu dan ayah, padahal sebelumnya sudah memiliki identitas sebagai pasangan. Orangtua sering melaporkan bahwa terasa sekali penurunan jumlah waktu yang dapat dilalui bersama setelah kelahiran anak pertama (Campbell, dalam Sadarjoen, 2005). Selain itu, kehadiran anak dalam keluarga akan menambah aktivitas pasangan, dan berdampak pada berkurangnya pendapatan pasangan karena biaya yang harus dikeluarkan (Lefrancois, 1993). Selain itu, pada tahap ini juga terjadi penurunan intensitas komunikasi antara pasangan suami istri dikarenakan kewajiban istri yang bertambah dan disibukkan dengan tugas baru sebagai ibu. Kepuasan pernikahan dilaporkan menurun pada tahap ini dan lebih krusial terjadi pada ibu dikarenakan tanggungjawab dalam mengasuh anak lebih besar dibebankan pada ibu.

Pada tahap ketiga dalam Duvall’s family life cycle adalah tahap dimana pasangan mulai melepaskan anak-anak keluar dari rumah. Tahap ini berlangsung selama 15 tahun dimulai dari keluarnya anak terakhir dalam keluarga meninggalkan rumah. Tahap ini disebut juga dengan masa emptynest.

White dan Edwards (dalam Billindeau, 1997) menemukan bahwa pada tahap emptynest (anak meninggalkan rumah) memiliki efek positif terhadap kebahagiaan pernikahan. Kebahagiaan ditemukan relatif kuat segera setelah anak terakhir keluar dari rumah. Derajat kebahagiaan pasangan pada fase ”post-launch honeymoon” akan lebih tinggi bila anak terakhir yang meninggalkan rumah adalah remaja, daripada dewasa awal ataupun dewasa madya karena masa mengasuh

(22)

anak akan menjadi lebih singkat sehingga stres orangtua berkurang. Dilaporkan bahwa pada tahap ini kepuasan pernikahan akan meningkat kembali terutama pada wanita, dikarenakan lepasnya tanggungjawab dalam mengasuh anak.

Long (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan bersifat temporer yang berubah dari waktu ke waktu yang antara lain tergantung pada periode pernikahan itu sendiri. Sejalan dengan pendapat tersebut, Karney & Bradbury (dalam Domikus, 1999) menambahkan bahwa ketika berbicara tentang pernikahan berarti berurusan dengan sesuatu yang bersifat pasang surut. Artinya, sangat mungkin pada suatu waktu pasangan suami istri merasakan kepuasan yang tinggi dan di lain waktu menjadi sebaliknya.

Studi mengindikasikan adanya hubungan kurva linier antara kebahagiaan perkawinan dan tahapan dalam siklus kehidupan keluarga (Cole, dalam Lefrancois, 1993). Kepuasan pernikahan berhubungan dengan siklus pernikahan dalam bentuk kurva-U, dengan level kepuasan tertinggi pada tahun-tahun awal sebelum anak lahir, menurun pada tahun-tahun mengasuh anak, dan meningkat kembali ke level yang lebih tinggi pada tahun-tahun berikutnya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa perkembangan kepuasan pernikahan bervariasi pada tiap tahapan dalam pernikahan. Perubahan-perubahan dalam pernikahan lebih krusial dan dirasakan oleh istri dikarenakan istri lebih sensitif terhadap masalah dalam pernikahan dan kewajiban yang lebih besar dalam hubungannya dengan anak dibandingkan dengan suami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri melaporkan kepuasan pernikahan yang lebih rendah daripada suami.

(23)

D. Hipotesa

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah ”Ada perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahap-tahap pernikahan.

Gambar

Gambar 1. Family Life Cycle oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993)
Tabel 1. Tugas Perkembangan Keluarga dalam Tiap Tahap  Tahap-tahap  dalam Siklus  Kehidupan  Keluarga  Peran dalam Keluarga  Tahap Kritis

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian hukum berjudul “Implementasi Negosiasi Tingkat Keuntungan terhadap Akad Murabahah Pada Bank Syariah (Studi terhadap Nasabah Debitur pada BRI Syariah

14.. Menurut hasil observasi mentor dan wawancara mentor terhadap pembelajaran yang peneliti lakukan terdapat peningkatan juga dalam hal pengelolaan kelas. Adanya peningkatan

Tingkat penerapan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) berdasarkan persepsi karyawan dengan menggunakan kuesioner indikator SMK3 maka nilai penerapan program

 Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial,

Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa informan terkait pendapat informan definisi SISRUTE, informan mengatakan bahwa SISRUTE adalah Sistem rujukan

Jika dilihat dari sifatnya, DNA mitokondria memiliki sifat yang berbeda dengan DNA inti karena tidak adanya mekanisme perbaikan (repairing system) dan kandungan radikal bebas

Analoginya seperti kita mengisi air didalam jerigen, ketika keran kita buka full, maka air dalam jerigen akan beriak dan akan membuat jerigen seolah- olah sudah penuh, karena

Inkubasi tabung mikrosentrifus kedua selama 10 menit pada temperatur ruang (bolak-balikkan tabung 2-3 kali selama masa inkubasi) untuk melisis sel-sel darah