• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective Well-Being

Pinquart & Sorenson (2000) mendefinisikan subjective well-being sebagai evaluasi positif dari kehidupan individu terkait dengan perasaan yang baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being sebagai suatu bidang dalam ilmu perilaku mengenai evaluasi individu terhadap kehidupan yang dipelajarinya. Diener, dkk (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa subjective well-being merupakan suatu analisis ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi kehidupan, baik pada saat ini dan pada masa lalunya, seperti kehidupannya di tahun lalu. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional individu terhadap peristiwa, suasana hati individu, dan penilaian individu tentang kepuasan hidup mereka, pemenuhan, dankepuasan dengan domain seperti perkawinan dan pekerjaan.

Compton (2005) menjelaskan subjective well-being merupakan suatu proses kognitif individu mengenai penilaian yang global tentang penerimaan hidup individu. Sedangkan Diener ( dalam Eid, &Larnsen 2008)subjective

well-being adalah penilaian individu terhadap kehidupan yang positive dan

berjalan dengan baik. Individu dikatakan memiliki subjective well-being tinggi jika individu tersebut memiliki kepuasan hidup dan lebih sering merasakan kebahagiaan, serta jarang mengalami emosi yang tidak

(2)

menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki subjective well-being rendah jika individu merasa tidak puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kebahagiaan dan kasih sayang serta lebih sering merasakan emosi yang negatif seperti kemarahan atau kecemasan.

Diener, dkk (dalam Snyder & Lopez, 2008) subjective well-being diartikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif individu dari dirinya sendiri. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian,

subjective well-being merupakan suatu konsep umum yang mencakup

pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat pengalaman negatif yang terdapat dalam tingkat subjective well-being yang tinggi adalah konsep inti dari psikologi positif karena mereka membuat hidupnya bermanfaat.

Diener (2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai penilaian global dari semua aspek kehidupan individu. Sedangkan Diener, Oishi, & Lucas (dalam Utami, 2009) kesejahteraan subjektif merupakan salah satu kajian psikologi positif, didefinisikan sebagai suatu fenomena yang meliputi evaluasi kognitif dan emosional individu terhadap kehidupa mereka, seperti apa yang disebut orang awam sebagai kebahagiaan, ketentraman, berfungsi penuh, dan kepuasan hidup.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

(3)

kehidupannya yang penuh dengan kepuasan dan kebahagiaan sehingga individu mampu merasakan emosi yang positif yang melimpah dan sedikit emosi yang negatif.

2. AspekSubjective Well-Being

Aspek-aspek subjective well-being menurut Diener (dalam Lopez & Snyder, 2008) adalah sebagai berikut:

a. Kepuasan Hidup

Kepuasan merupakan kondisi subyektif dari keadaan pribadi seseorang sehubungan dengan perasaan senang atau tidak senang sebagai akibat dari adanya dorongan atau kebutuhan yang ada pada dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan (Chaplin, 1999).

Kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman - pengalaman yang disertai dengan tingkat kegembiraan. Kepuasan hidup timbul dari pemenuhan kebutuhan atau harapan dan merupakan penyebab atau sarana untuk menikmati. Seorang individu yang dapat menerima diri dan lingkungan secara positif akan merasa puas dengan hidupnya (Hurlock, 2000).

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Hidup Lanjut Usia Menurut Harlock (2000) ada beberapa faktor yang relatif penting untuk menunjang kepuasan hidup yaitu :

1) Kesehatan

Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk

(4)

akan menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan mereka.

2) Daya tarik fisik

Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai oleh masyarakat dan sering merupakan penyebab dari prestasi yang lebih besar daripada apa yang mungkin dicapai individu kalau kurang mempunyai daya tarik.

3) Tingkat Otonomi

Semakin besar otonomi yang dicapai, semakin besar kesempatan untuk merasa bahagia.

4) Kesempatan – kesempatan Interaksi di luar keluarga

Karena nilai sosial yang tinggi ditekankan pada popularitas, maka tingkat usia berapa pun orang akan merasa bahagia apabila mereka mempunyai kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial dengan orang–orang di lingkungan luar keluarga seperti dengan masyarakat sekitar, teman seusia baik sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin dengan cara mengikuti kegiatan yang diadakan di lingkungan atau di masyarakat sekiatar tempat tinggal lansia seperti arisan, pengajian, kerja bhakti, maka lansia tersebut akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungannya.

5) Jenis Pekerjaan

Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan untuk otonomi dalam pekerjaan, semakin kurang memuaskan.

(5)

6) Status Kerja

Semakin berhasil seseorang melaksanakan tugas semakin hal itu dihubungkan dengan prestise, maka semakin besar kepuasan yang ditimbulkan.

7) Kondisi Kehidupan

Kalau pola kehidupan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang di lingkungan keluarga maupun luar keluarga, maka kondisi demikian akan memperbesar kepuasan hidup.

8) Pemilikan Harta Benda

Pemilikan harta benda yaitu cara orang merasakan pemilikan benda. Dengan memiliki harta benda orang akan merasa tercukupi kebutuhannya sehingga orang akan merasa puas.

9) Keseimbangan antara Harapan dan Pencapaian Jika tujuan seseorang tercapai maka orang akan puas. 10) Penyesuaian Emosional

Seseorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tidak secara intensif mengungkapkan perasaan negatif seperti takut, marah dan iri hati.

11) Sikap terhadap Periode Usia Tertentu

Perasaan bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian ditentukan oleh pengalaman–pengalaman pribadi bersama orang lain.

(6)

12) Realisme dari Konsep Diri

Seseorang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari yang sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak tercapai.

13) Realisme dari Konsep Peran

Seseorang cenderung mengangankan peran yang akan dimainkan pada usia mendatang. Apabila peran yang baru tidak sesuai dengan yang diharapkan maka mereka merasa tidak bahagia.

b. Afeksi Positif

Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu sering kali merasakan emosi yang positif seperti penuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif.

c. Afeksi Negatif

Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu jarang sekali mengalami emosi yang negatif seperti sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa subjective

well-being memiliki 3 aspek yakni kepuasan hidup,afeksi positif, dan afeksi

negatif.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Eddington & Shuman (2005) menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being individu yang meliputi faktor

(7)

demografis dan faktor lingkungan. Adapun uraian faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perbedaan Jenis Kelamin

Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global yang sama.

b. Usia

Usia diketahui mempunyai hubungan dengan keadaan sekitar dengan

subjective well-being yang dimeditasi oleh harapan-harapan. Meskipun

demikian, beberapa studi sepakat bahwa usia hanya sedikit mempengaruhi kepuasan hidup.

c. Pendidikan

Hubungan antara pendidikan dan subjective well-being merupakan hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan pendapatan. Namun pengaruh antara pendidikan dan subjective well-being adalah kecil meskipun signifikan.

d. Pendapatan

Pendapatan dengan standar pendapatan nasional dan strata individu, menunjukkan sangat sedikit pengaruh subjective well-being. Beberapa teori mencoba menjelaskan mengapa materi merupakan prediktor negatif

subjective well-being, dalam pencapaian materi terkadang menjadi tidak

(8)

e. Perkawinan

Individu yang menikah memiliki subjective well-being lebih tinggi dibandingkan dnegan individu yang tidak pernah menikah, bercerai, berpisah, atau janda.

f. Kepuasan kerja

Individu yang bekerja akan mempunyai subjective well-being dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja. Individu yang tidak bekerja memiliki tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang bekerja.

g. Kesehatan

Hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well-being muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada penilaian secara objectif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara objektif dalam mempengaruhi subjective well-being.

h. Agama

Banyak survey yang menunjukkan bahwa subjective well-being berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan individu dengan Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan.

i. Waktu Luang

Veenhoven (dalam Eddington & Shuman, 2005) menunjukkan bahwa kebahagiaan berkorelasi cukup tinggi dengan kepuasan waktu luang dan

(9)

tingkatan aktifitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan di waktu luang dapat meningkatkan subjective well-being, seperti aktifitas menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan hiburan. Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan yang berat kurang dapat meningkatkan kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2005).

Berbagai penelitian lain telah menemukan beberapa faktor-faktor

subjective well-being, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kepribadian

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Lucas (dalam Eid & Lanrsen, 2008) menemukan faktor internal yang stabil jelas memainkan peran penting dalam subjective well-being. Pengaruh positif, pengaruh negatif, dan kepuasan hidup yang cukup stabil dari waktu ke waktu sangat berkorelasi dengan indikator psikofisiologis dan ciri-ciri kepribadian seperti sebagai extraversion dan neurotisisme. Hal ini didukung oleh Diener (2009) beberapa variabel kepribadian menunjukkan hubungan yang konsisten dengan

subjective well-being. Harga diri yang tinggi adalah salah satu prediktor

terkuat subjective well-being. b. Penerimaan Diri

Studi yang dilakukan yang dimulai di akhir tahun 1940-an, sebagian besar di bawah pengaruh perspektif humanistik pada penerimaan diri, telah menegaskan bahwa tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif, memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan negatif (Szentagotai & David dalam Bernard, 2013).

(10)

Ryff, dkk (2002) menjelaskan penerimaan diri adalah faktor yang terkait dengan subjective well-being. Apabila individu menerima dirinya maka dapat menyesuaikan diri dan merasa diri berharga sehingga merasakan emosi negatif yang sedikit, dapat merasakan emosi positif yang lebih banyak sehingga individu merasa puas dengan kehidupannya dan mendukung kesejahteraan.

c. Status Pekerjaan

Winkelmann dan Winkelmann (dalam OECD, 2013) menyatakan status pekerjaan dikenal memiliki pengaruh besar pada subjective well-being, pada pengangguran khususnya memiliki kaitan yang kuat dengan dampak negatif pada ukuran kepuasan hidup individu.

d. Status kesehatan

Dolan, Peasgood dan Putih (dalam OECD, 2013) mengemukakan Status kesehatan baik kesehatan fisik dan mental berkorelasi dengan ukuran

subjective well-being, dan ada bukti bahwa perubahan status kecacatan

menyebabkan perubahan dalam kepuasan hidup individu (Lucas dalam OECD, 2013).

e. Hubungan sosial

Kontak sosial adalah salah satu pengendali yang paling penting untuk

subjective well-being, karena kontak sosial individu memiliki dampak yang

besar baik pada evaluasi hidup maupun afek positif dan afek negatif (Helliwell Dan Wang; Kahneman Dan Krueger; Boarini dkk, dalam OECD, 2013).

(11)

Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi subjective

well-being dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempergaruhi subjective well-being adalah perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan,

perkawinan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, kepribadian, penerimaan diri, status pekerjaan, dan hubungan sosial. Penerimaan diri merupakan faktor penting dalam meningkatkan subjective well-being karena tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif, memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan negatif, sehingga individu akan memiliki subjective well-being.

B. Lanjut Usia

1. Pengertian Lanjut Usia

Tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia

lanjut dini, yang berkisar antara usia 60 tahun sampai 70 tahun dan usia lanjut yang mulai pada usia 70 sampai akhir kehidupan seseorang. Orang

dalam usia 60 tahunan biasanya digolongkan sebagai usia tua, yang berarti antara sedikit lebih tua atau setelah usia madya dan usia lanjut setelah mereka mencapai usia 70 tahun, yang menurut standar beberapa kamus berarti makin lanjut usia seseorang dalam periode hidupnya dan telah kehilangan kejayaan masa mudanya (Hurlock, 1980).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia Bab I Pasal 1ayat 2 menyebutkan, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

(12)

keatas. Pasal tersebut juga menerangkan bahwa lanjut usia dibagi menjadi 2, yaitu lanjut usia potensial (ayat 3) dan lanjut usia tidak potensial (ayat 4). Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan lanjut usia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya untuk mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Saputri & Indrawati, 2011).

Hurlock (2001) mengemukakan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang berusia 60 tahun keatas. Menurut Hurlock, lanjut usia merupakan tahap akhir siklus perkembangan manusia, masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Masa lanjut usia dimulai ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun Santrock (dalam Saputri & Indrawati, 2011).

Lansia merupakan periode akhir dari sebuah rentan kehidupan manusia. Usia yang dapat digolongkan sebagai lansia dalam rentang kehidupan adalah antara 60-65 tahun keatas. Batasan usia ini masih relatif berbeda diantara para ahli. Ada yang menggolongkan usia pensiun adalah usia lansia, tetapi ada juga lansia adalah usia setelah pensiun. Namun menurut ahli psikologi perkembangan Neugarten (1969) menyebutkan bahwa usia lansia adalah usia 65 tahun. Usia lansia adalah usia 60 tahun ketika kehidupan seseorang memasuki masa dewasa akhir Santrock (dalam Hamidah & Wrastari, 2012).

(13)

Masa lanjut usia adalah dimana lansia mengalami suatu kehilangan yang bersifat, misalnya berkurangnya fungsi pendengaran, penglihatan, kekuatan fisik dan kesehatan, menatap kembali kehidupan, pensiun, dan penyesuaian diri dengan peran sosial yang baru. Pada masa perkembangan manusia memiliki tahapan atau tugas perkembangannya tersendiri dan sesuai dengan fase pertumbuhannya, demikian halnya dengan lansia, ketika seseorang memasuki fase lansia, seseorang tersebut memiliki tugas perkembangan yang berbeda dengan sebelumnya Papalia & Olds (dalam Napitupulu, 2013)

Menurut Levinson dalam fase perkembangan usia lanjut itu berada dalam fase masa dewasa akhir berusia antara 60 tahun keatas. Thomae berpendapat bahwa proses menjadi tua merupakan suatu struktur perubahan yang mengandung berbagai macam dimensi, yaitu proses biokemis dan fisiologis yang oleh Burger disebut sebagai proses penuaan yang primer, proses fisiologis atau timbulnya penyakit-penyakit, perubahan fungsional-psikologis, perubahan kepribadian, penstrukturan kembali dalam hal sosial psikologis yang berhubungan dengan bertambahnya usia, dan perubahan yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang tidak hanya mengalami keadaan menjadi tua melainkan bahwa seseorang juga mengambil sikap terhadap keadaan. Birren dan Schroots membedakan tiga proses sentral pada masa dewasa lanjut, yaitu penuaan sebagai proses biologis, menjadi senior dalam masyarakat atau penuaan sosial, penuaan psikologis subjektif. Lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun (di negara berkembang) atau 65 tahun

(14)

(dinegara maju) yang telah mengalami proses menjadi tua dan karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani, maupun sosial (Monks, 2002).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah kelompok usia 60 tahun keatas, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.

2. Lanjut Usia Yang Tinggal Sendiri

Individu sebagai bagian dari masyarakat, merupakan makhluk sosial yang selalu bertemu, saling berinteraksi dan saling membutuhkan. Interaksi sosial yang terkecil, yaitu didalam keluarga, bagi kaum lanjut usia tampaknya telah mengalami perubahan. Salah satu efek dari keberhasilan program Keluarga Berencana yang membuat keluarga hanya terdiri dari beberapa anggota dan masing-masing memiliki kesibukan, membuat interaksi antara mereka berkurang apalagi menjadi care provider bagi kaum lanjut usia (Kusumiati, 2009).

Monks, dkk (dalam Kusumiati, 2009) menemukan bahwa di Indonesia telah terjadi pergeseran perubahan keadaan dalam hidup orang tua. Jika semula anak-anak tinggal bersama dengan orang tua maka sekarang kesempatan untuk bersama sangat langka karena mobilitas yang tinggi. Sistem keluarga yang semula extended family telah bergeser menjadi nuclear

family. Keadaan ini dapat menimbulkan alternatif lain bagi para lanjut usia

(15)

ingin tergantung kepada anak-anak atau keluarganya bahkan ketika mereka sudah tidak memiliki pasangan hidup.

Kusumiati (2009) menyatakan tinggal sendiri bisa karena keputusan sendiri yang diambil atau karena keterpaksaan yang membuat individu lanjut usia akhirnya memutuskan untuk tinggal sendiri. Banyak pertimbangan yang diambil sehingga individu harus tinggal sendiri terutama bagi kaum lanjut usia di Indonesia yang sistem sosialnya bersifat kolektif, serta sebagian besar juga masih mennganut sistem extended family. Faktor budaya, latar belakang keluarga, dan juga kepribadian turut mempengaruhi pengambilan keputusan itu.

Semakin tua seseorang, semakin besar hambatan mereka untuk tinggal sendirian. Mayoritas orang dewasa lanjut yang tinggal sendiri adalah janda. Sebagaimana halnya dengan orang-orang dewasa muda, tinggal sendirian sebagai orang dewasa lanjut tidaklah berarti kesepian Kasper (dalam Santrock, 2002). Orang-orang dewasa lanjut yang dapat menopang dirinya sendiri ketika hidup sendiri seringkali memiliki kesehatan yang baik dan sedikit ketidakmampuan, dan mereka selalu memiliki hubungan sosial dengan sanak keluarga, teman-teman, dan para tetangga (Santrock, 2002).

Papalia, Feldman, & Martorell (2014) menyatakan bahwa karena perempuan hidup lebih lama dibandingkan laki-laki dan lebih mungkin untuk manjadi janda, maka lansia perempuan lebih mungkin untuk tinggal sendirian dibandingkan dengan laki-laki, dan kemungkinan ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Lansia yang hidup sendiri lebih mungkin

(16)

dibandingkan lansia dengan pasangan menjadi miskin dan berakhir di panti wredha.

Gambaran yang hampir sama juga terjadi dikebanyakan negara maju, perempuan usia lanjut akan lebih mungkin untuk tinggal sendiri dibandingkan lansia laki-laki, yang biasanya tinggal dengan pasangan atau sanak keluarga. Pertumbuhan keluarga yang terdiri dari lansia tunggal telah melonjak dengan usia panjang lansia, peningkatan pemasukan dan pensiun, peningkatan kepemilikan rumah, lebih banyak rumah yang bersahabat bagi lansia, ketersediaan dukungan lebih dari masyarakat, dan penurunan biaya perawatan pendampingan panti wredha dari pemerintah Kinsella & Philips (dalam Papalia, Fieldman, & Martorell, 2014).

Sepertinya lansia yang tinggal sendiri, terutama lansia tertua, akan merasa kesepian. Meskipun demikian, faktor-faktor seperti kepribadian, kemampuan kognitif, kesehatan fisik, dan jaringan sosial yang berkurang mungkin memainkan peran yang lebih besar terhadap perasaan kesepian. Aktivitas sosial seperti pergi ke pusat lansia atau melakukan pekerjaan sukarela, dapat membantu lansia yang tinggal sendiri untuk tetap terhubung dalam masyarakat (Papalia, Fieldman, & Martorell, 2014).

Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran perubahan keadaan dalam hidup orang tua. Sistem keluarga yang semula extended family telah bergeser menjadi nuclear family. Keadaan ini membuat para lanjut usia untuk memilih tinggal sendiri dan terpisah dari keluarganya. Mereka tidak ingin tergantung kepada anak-anak atau

(17)

keluarganya bahkan ketika mereka sudah tidak memiliki pasangan hidup. Masalah yang sering muncul pada lanjut usia yang tinggal sendiri adalah kesepian. Meskipun demikian, faktor-faktor seperti kepribadian, kemampuan kognitif, kesehatan fisik, kesehatan fisik, dan jaringan sosial yang berkurang akan memainkan peran yang lebih besar terhadap perasaan kesepian.

C. Subjective Well-Being Pada Lanjut Usia

Secara umum, usia lanjut dibatasi oleh rentang usia antara 60-70 tahun mana pada masa tersebut ditandai oleh berbagai perubahan baik secara fisik maupun mental (Hurlock, 1980). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia Bab I Pasal 1 ayat 2 menyebutkan, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (dalam Erlangga, 2011). Lanjut usia merupakan suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Tjahyo & Eli, 2010)

Saat memasuki usia lanjut, lanjut usia dihadapkan pada berbagai tantangan baru seperti pensiun, kehilangan pasangan, tiinggal jauh dari anak-anakmaupun cucu, dan penurunan fungsi fisik. Hal tersebut merupakan

stressor utama bagi lansia, yang menyebabkan lansia merasa tidak berguna

dan tidak mampu berbuat apa-apa. Disfungsi yang dialami oleh lansia memungkinkan lansia akan merasa sedih, cemas, dan tidak berharga.

(18)

Apabila individu mampu menyelesaikan suatu tahap perkembangan dengan penyesuaian diri yang baik, maka individu tersebut akan lebih mudah dalam menempuh tahap perkembangan selanjutnya. Kemampuan individu dalam menyesuiakan diri terhadap kondisi yang berubah tersebut pada akhirnya membawa pengaruh terhadap penilaian mengenai kesejahteraan kesejahteraan hidup (well-being) mereka. Melakukan penyesuaian diri ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi lanjut usia. Lanjut usia memerlukan berbagai dukungan agar tetap melakukan segala hal dengan baik.

Kemunduran fungsi tubuh dan berkurangnya peran di masyarakat bagi lanjut usia dapat membuat emosi yang labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan dan tidak berguna. Lanjut usia dengan problem tersebut menjadi rentan terhadap gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan obat.

Ada bebebrapa masalah yang biasa dialami oleh lanjut usia diantaranya adalah kesepian, keterasingan dari lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lanjut usia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran, kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat, dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Perasaan tersebut muncul dikarenakan rendahnya tingkat subjective well-being pada diri lansia tersebut sehingga.

(19)

Subjective well-being adalah suatu penilaian umum individu terhadap

kehidupannya yang penuh dengan kepuasan dan kebahagiaan sehingga individu mampu merasakan emosi yang positif yang melimpah dan sedikit emosi yang negatif. Aspek-aspek subjective well-being menurut Diener (dalam Lopez & Snyder, 2008) adalah sebagai berikut:

a. Kepuasan Hidup

Kepuasan hidup merupakan penilaian individu mengenai

kehidupannya, apakah kehidupan yang diajalaninya berjalan dengan baik. kepuasan hidup dapat diukur dengan melihat derajat kepuasan individu terhadap hidupnya.

b. Afeksi Positif

Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu sering kali merasakan emosi yang positif seperti penuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif.

c. Afeksi Negatif

Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu jarang sekali mengalami emosi yang negatif seperti sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah.

Berdasarkan dari aspek subjectivewell-being diatas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia yang memiliki subjekctive well-being yang baik itu apabila lanjut usia tersebut lebih banyak memiliki afeksi positif dibanding afeksi negatif. Lanjut usia yang lebih banyak memiliki afek positif akan memiliki

(20)

perasaanpenuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif, maka kehidupannya akan sejahtera. Sedangkan lanjut usia yang lebih banyak memiliki afeksi negatifseperti perasaan sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah, maka kehidupannya tidak akan sejahtera.

D. Kerangka Berfikir

Adapun gambar kerangka berfikir penelitian yaitu sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Lanjut Usia Yang Tinggal Sendiri Laki-laki Perempuan Permasalahan: - Kesepian - Depresi - Penghasilan - Ketakutan menjadi korban kejahatan - Dukungan sosial Subjective Well-Being: - Kepuasan Hidup - Afeksi Positif - Afeksi Negatif

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti menyimpulkan secara keseluruhan bahwa fungsi pengawasan berdasarkan konsep Sarwoto mengenai pengawasan yang diperlukan bagaimana pengawasan itu menjadi lebih

Hal ini disebabkan karena kadar protein protein krupuk kupang sangat tergantung dari pada bahan pengisi , adapun bahan pengisi yang berperan terhadap kadar protein krupuk kupang

Pembentukan komponen plat lengkung pada produk engine mounting dengan metode combination dies adalah gabungan dari dua atau lebih proses pada satu die set dalam satu

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain potong lintang (cross-secsional). Populasi adalah semua rumah tangga Riskesdas 2010. Kriteria inklusi pada penelitian

Proses rendering merupakan proses yang paling memakan waktu, dan karenanya penulis mencoba membandingkan setting texture, lighting dan render untuk mengetahui pengaruhnya

 Peserta test wawancara adalah peserta yang menempati rangking 1 s/d 3 dari hasil penggabungan nilai Test TPA dan Test Kecakapan dari masing-masing formasi.. Sedangkan

Pada tahun 2017 ini barulah mulai dibuatkan data sesuai Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung tentang sanksi akademik yaitu bila ada yang

Peneliti mengasumsikan bahwa terdapat perbedaan subjective well being pada ibu apabila ditinjau dari stuktur keluarga dimana ibu yang tinggal pada struktur